Anda di halaman 1dari 35

TUGAS PENDAHULUAN

PRAKTIKUM LAPANGAN
EKOLOGI PERAIRAN

Oleh :
Isti’anatul Khairat
26050120120023
Tim Asisten:
Audria Izza Nadira 26050118120021
Alfandy Rafliansyah Subingat 26050118140067
Danang Imaddudin Mahardika 26050118140076
Timotius Putra G.S 26050118130098
Amalia Sekar Ayuningtyas 26050119130135
Az Zahrawaani Tegar 26050119130089
Sri Lestari 26050119130072
Deera Herdi Mardhiyah 26050119130067
Gerald Alfa Daud Manas 26050119140121
Gisela Malya Asoka A 26050119130137
Raffy Bagus Prayudha 26050119130069
Siti Munawaroh 26050119130053

KoordinatorPraktikum:
Ir. Gentur Handoyo,M.Si.
NIP. 19600911 198703 1 002

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
I. PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang


Ekologi berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘Oikos’ dan
‘Logos’. Oikos berarti rumah atau tempat untuk hidup atau lingkungan biotik (manusia,
hewan, tumbuhan dan jasad renik), dan lingkungan abiotik (salinitas, suhu, pH, oksigen
terlarut dan lainnya) sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga ekologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup
(biotik) dengan lingkungannya (abiotik). Atau ilmu yang mempelajari pengaruh faktor
lingkungan terhadap jasad hidup sehingga dipastikan tidak ada satu makhluk hidup yang
hidup dan kehidupan terisolasi (Ardhana, 2012).
Ekologi perairan adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme perairan dengan lingkungannya serta hubungan antar kelompok organisme dalam
perairan. Hubungan antarkelompok organisme tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu
kelompok organisme maupun lingkungannya mengalami tekanan akibat aktivitas
antropogenik maupun naturogenic yang mertusak. Ekologi perairan dibagi beberapa golongan
seperti ekologi perairan tawar, ekologi perairan estuary dan ekologi perairan laut yang
membahas hubungan timbal balik dan saling memengaruhi atara sesama organisme serta
dengan semua komponen di wilayah perairan laut. Contoh perairan laut meliputi perairan
oseanik, perairan laut dalam dan perairan intertidal meliputu mangrove, padang lamun dan
terumbu karang (Latuconsina, 2019).
1.2 Tujuan
1.2.1 Mangrove
1. Mengetahui jenis tumbuhan mangrove di Perairan Pantai Blebak, Mlonggo,
Jepara
2. Mengetahui Teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan metode
sample plot
3. Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis mangrove
1.2.2 Lamun
1. Mengetahui keanekaragaman lamun dan biota di ekosistem padang lamun
2. Mengetahui interaksi antar lamun dan biota laut
3. Menganalisa faktor pertumbuhan dari biota di sekitar ekosistem lamun
1.2.7 Karang
1. Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,
Kecamatan Mlonggo, Jepara
2. Mengetahui interaksi antara ekosistem terumbu karang dengan biota laut
3. Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan biota laut

1.3 Manfaat
1.3.1 Mangrove
1. Dapat mengetahui jenis tumbuhan mangrove.
2. Dapat mengetahui Teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove.
3. Dapat mengetahui tingkat keanekaragaman jenis mangrove.
1.3.2 Lamun
1. Dapat mengetahui keanekaragaman lamun dan biota di ekosistem padang
lamun.
2. Dapat mengetahui interaksi antar lamun dan biota laut.
3. Dapat menganalisa faktor pertumbuhan dari biota di sekitar ekosistem
lamun.
1.3.3 Karang
1. Dapat mengetahui presentase tutupan terumbu karang di laut.
2. Dapat mengetahui interaksi antara ekosistem terumbu karang dengan biota
laut.
3. Dapat mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan biota
laut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem khas pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut.
Mangrove tumbuh lebat di pantai yang berlumpur, delta, muara sungai besar, laguna dan teluk
yang terlindung. Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan factor habitatnya,
di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi,
kondisi sungai dan aktivitas manusia. Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya
penting sebagai pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah
pesisir lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun (Pontoh,
2011).
2.1.1 Definisi Mangrove
Mangrove menurut Odum (1983), berasal dari kata mangal yang menunjukan
komunitas suatu tumbuhan. Menurut Supriharyono (2000) menunjukan bahwa kata mangrove
mempunyai dua arti yakni pertama sebagai komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan
yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas, dan kedua sebagai individu spesies.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat
tumbuh pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditumbuni selapis tipis
pasir atau ditumbuni lumpur atau pantai berlumpur (Rahim dan Wahyuni, 2017).
Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah
lumpur dan daratan secara terus menerus sehingga secara perlahan berubah menjadi semi
daratan.pengertian mangrove yang berbeda beda sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu
formasi hutan daerah tropika dan subtropika yang terdapat di pantai rendah dan tenang,
berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga merupakan
mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan ekosistem perairan laut. Mangrove
dapat tumbuh di pantai dengan syarat pantainya terlindung dan relative tenang dan mendapat
sedimen dari muara sungai (Arief, 2003).
2.1.2 Fungsi Utama Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah
mangrove memasok unsur hara bagi lingkungannya. Unsur hara kemudian dimanfaatkan oleh
plankton dalam fotosintesis, sehingga perairan mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini
menyebabkan kelimpahan organisme pada tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi
tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di perairan tersebut merupakan makanan bagi
ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan ekosistem perairan mangrove sebagai
daerah mencari makan, memijah, dan pembesaran. Jadi mangrove mempunyai nilai ekologis
yang tinggi untuk menunjang keberlangsungan ekosistem akuatik di Kawasan mangrove
Blanakan.
Menurut Rahim dan Wahyuni (2019), Ekosistem mangrove mempunyai beberapa
peran baik secara fisik, kimia maupun biologi yang sangat menunjang bagi pemenuhan
kebutuhan manusia yaitu:
 sebagai pelindung dan penahan pantai
 sebagai penghasil bahan organic
 sebagai habitat fauna
 sebagai penahan abrasi, erosi dan sedimen
 sebagai sumber bahan industry dan
 sebagai kawasan pariwisata dan konservasi
2.1.3 Karakteristik Mangrove
Mangrove menggambarkan spesies pohon-pohon khas atau semak-semak yang hidup
di daerah intertidal dengan habitat yang tergenang dan bersalinitas daerah intertidal
merupakan daerah pesisir yang memiliki fluaktuasi faktor lingkungan yang tinggi, seperti
suhu, sedimen dan pasang surut. Mangrove mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan
tersebut, sekalipun demikian mangrove tidak hanya tumbuh di daerah intertidal saja.
Mangrove tumbuh juga di sisi sungai hingga muara sungai. Mangrove memiliki karakteristik
pohon yang berbedabeda, baik dari ukuran, bentuk akar, batang dan daun. Perbedaan tersebut
berhubungan dengan adaptasi yang dilakukan terhadap kondisi habitat yang bersalinitas dan
bersifat anaerob (Muarif, 2017).
Mangrove memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai baik estuari
atau muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis dan sub tropis mangrove
merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove
merupakan komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut yang memiliki
karakteristik lingkungan tersendiri, lingkungan yang alami sangat ideal untuk pertumbuhan
mangrove. Faktor lingkungan yang diukur meliputi kelembaban substrat, pH substrat, suhu
udara, suhu substrat, dan salinitas. Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk
kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan sebagai perangkap endapan dan
perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat
dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan. Di
samping itu memiliki kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat
intrusi air laut ke daratan (Hambran et al., 2014)
2.1.4 Identifikasi Mangrove
Mengidentifikasi mangrove dapat dilakukan dengan membedakan karakter morfologi.
Karakter tersebut adalah perawakan seperti herba semak dan pohon, akar seperti akar tunjang,
akar lutut, akar nafas, akar papan dan akar normal. Dan daun seperti susunan dan tata letak
daun pada batang, bentuk helaian daun dan ujung daun. Dan juga dapat dilihat dari karakter
letak bunga, tipe bunga, warna dan jumlah mahkota bunga, Warna dan jumlah kelopak bunga,
Warna dan jumlah benang sari. Serta karakter ukuran buah , warna buah, dan permukaan buah
(Danong et al., 2019).
Menurut Sidik et al. (2018), identifikasi mangrove dapat dilakukan dengan
memperhatikan beberapa hal yaitu :
 Bentuk pohon
 Bentuk akar
 Bentuk buah
 Bentuk dan susunan daun
 Rangkaian bunga
 Habitat tempat tumbuh

Untuk kemudahan identifikasi mangrove dapat menggunakan kunci identifikasi


berdasarkan system taksonomi. Indentifikasi dimulai dari pengenalan karakteristik daun yang
dijelaskan melalui simbol kunci dan fitografi berupa daun tunggal dan majemuk.
2.1.5 Habitat Mangrove
Habitat merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan, perkembangbiakan, dan
penentu keberhasilan dalam kegiatan rehabilitasi dan pengelolaan mangrove. Faktor habitat
sangat berpengaruh terhadap komposisi penyusun ekosistem mangrove bahkan perubahan
kualitas habitat secara kompleks dapat mengakibatkan pergeseran jenis vegetasi penyusunnya.
Jenis vegetasi yang mampu beradaptasi pada kondisi habitat yang mengalami perubahan di
khawatirkan dapat mendominasi kawasan tersebut. Faktor habitat yang memengaruhi vegetasi
mangrove bersifat kompleks sehingga diperlukan penyederhanaan faktor habitat dengan cara
klasifikasi atau pengelompokan habitat. Pengelompokan habitat merupakan salah satu cara
yang dianggap tepat untuk menunjukkan pengaruh faktor lingkungan terhadap
pertumbuhan vegetasi mangrove (Poedjirahajoe et al., 2017).
Mangrove merupakan ekosistem yang berada pada wilayah intertidal, dimana pada
wilayah tersebut terjadi interaksi yang kuat antara perairan laut, payau, sungai, dan terestrial.
Faktor lingkungan dapat memepengaruhi keanekaragaman mangrove. Hal ini sama dengan
zonasi hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh substrat, salinitas dan pasang surut. Pasang
surut dan arus yang membawa material sedimen yang terjadi secara priodik menyebabkan
perbedaan dalam pembentukan zonasi mangrove. Beberapa faktor lingkungan fisik dan kimia
tersebut adalah jenis tanah, terpaan ombak, salinitas, penggenangan oleh air pasang, suhu, pH,
kandungan oksigen terlarut, dan ketebalan lumpur (Tefarani et al., 2019).
2.1.6 Substrat Ekosistem Mangrove
Analisis substrat digunakan untuk menentukan tekstur substrat berdasarkan
komposisinya dengan menggunakan segitiga miller. menyatakan dalam segitiga miller dapat
dibaca teksurnya, dimana merupakan perbandingan antara banyaknya liat, lempung (debu),
dan pasir yang dalam garis besar lebih dari 30% liat, 35% lempung (debu), dan 60% pasir.
Penetapan substrat atau sedimen kedalam “segitiga miller” dengan melihat nilai persentase
pada fraksi substrat yaitu pasir, debu, dan liat (Rambu et al., 2019).

Gambar 1. Segitiga Miller


(sumber : Rambu et al., 2019).
Tekstur substrat yang ditumbuhi oleh mangrove memiliki kriteria substrat lempung liat
berdebu (Silty Clay Loam), lempung berdebu (Silt Loam), lempung berpasir (Sandy Loam).
Butiran substrat adalah ukuran Silt (lumpur), diikuti ukuran Fine sand (pasir halus) dan
Medium sand (pasir sedang). Serta adanya Hubungan antar kerapatan mangrove tingkat
pohon, pancang dan semai dengan substrat mengikuti model regresi berganda (Lewerissa et
al., 2018)
2.1.7 Flora Fauna Mangrove
Jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut air laut dan terdapat tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis
pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-
tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik, baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh
biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp), pedada (Sonneratia sp), bakau (Rhizophora sp),
lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), dannipah (Nypa sp). (Kustanti, 2011).
Ekosistem hutan mangrove merupakan habitat penting bagi organisme laut. Umumnya
didominasi oleh moluska dan krustasea. Moluska ini terdiri terutama dari Gastropoda dan
selanjutnya didominasi oleh dua keluarga, yaitu Potamidae dan Ellobiidae. Sedangkan untuk
krustasea, terutama terdiri dari Brachyura. Beberapa hewan yang hidup di hutan mangrove
juga dikenal sebagai bahan habis pakai dan secara ekonomi penting seperti Terebralia
palustris, Telescopium telescopium (Gastropoda), Anadara kuno, Coaxans polymesoda,
Ostrea cucullate (Bivalvia), dan Scylla serrate, S. olivacea, Portunus pelagicus, Epixanthus
dentatus, Labnanium politum (Crustacea), oleh sebab itu hutan mangrove harus dijaga
kelestariannya (Karimah, 2017).
2.1.8 Zona Ekosistem Mangrove
Vegetasi mangrove secara khas akan memperlihatkan adanya pola zonasi. Pola zonasi
berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap hempasan
gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut (Lewerissa et al.,2018). Menurut Noor et al.
(2006), mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah,
daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan
yang memiliki air tawar.
a) Mangrove terbuka
Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.  di zona ini didominasi
oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air
laut. S. alba dan A. alba merupakan jenis-jenis ko-dominan pada areal pantai yang
sangat tergenang ini. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat
bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir,
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah
yang lebih berlumpur.  Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan
Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik.
b) Mangrove tengah
Mangrove di zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka.  Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. 
c) Mangrove payau
Mangrove berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar.  Di zona ini
biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.  Ke arah pantai, campuran
komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan.  Di sebagian besar daerah
lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di
Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih
dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar.
d) Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau  atau hampir tawar di belakang jalur hijau
mangrove yang sebenarnya.  Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini
termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera
racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis . Zona ini memiliki kekayaan
jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
2.1.9 Faktor Eksternal Dan Internal Pertumbuhan Mangrove
Menurut Alwidakdo et al. (2014) faktor-faktor Pengaruh Pertumbuhan Mangrove.
Beberapa factor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi
adalah
- Fisiografi pantai (topografi)
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan
mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam
jika dibandingkan dengan pantai yang terjal.
- pasang (lama, durasi, rentang),
- gelombang dan arus
- iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin)
- salinitas
- oksigen terlarut
- tanah
- zat hara.
Adanya perbedaan tinggi tanaman ini disebabkan faktor antara lain ;
- Adanya tanaman yang tumbuhnya tidak normal, yaitu dimana terdapat beberapa
tanaman yang tumbuhnya kecil atau kerdil.
- Adanya tanaman yang diserang hama dan penyakit yang menyebabkan rontoknya
daun sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.
- Penanaman untuk jenis tanaman tidak disesuaikan dengan zonasi yang ada dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
2.1.10 Metode Pengambilan Data Mangrove
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
survey langsung di lapangan untuk mendapatkan data primer. Pengambilaan data struktur
komunitas mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek garis / line transect
Masing-masing stasiun terdapat 3 transek garis lurus sepanjang 50 meter mengarah dari arah
laut ke darat tegak lurus garis pantai, jarak antar jalur transek ± 50 meter. Di setiap jalur
transek terdapat plot dengan ukuran 10 × 10 m2 untuk mangrove kelompok pohon dan sub plot
ukuran 5 × 5 m2 untuk mangrove kelompok anakan (Puasa et al., 2018).
Identifikasi jenis mangrove menggunakan buku identifikasi . Pengambilan data
parameter lingkungan dilakukan pada setiap stasiun dengan tiga kali ulangan yaitu (suhu,
salinitas, pH) air dan pH tanah. Data jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon diolah lebih
lanjut untuk memperoleh data kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif,
frekuensi, frekuensi relatif, indeks nilai penting, dengan menggunakan rumusrumus yang
dikemukakan (Noor et al., 2006).
2.1.11 Kondisi Mangrove di Pantai Utara Jawa
Gambaran tentang luas hutan mangrove di Kawasan pantai utara jawa pada tahun 1982
diperkirakan sekitar 49.934 hektar, kemudian pada tahun 1989 turun menjadi sekitar 33.800
hektar, selanjutnya pada tahun 1993 menjadi 19.077 hektar. Saat ini secara umum Sebagian
besar hutan mangrove di Kawasan pesisir pantai utara jawa hanya tinggal petak petak bekas
perambakan udang atau bandeng, bahkan Sebagian sudah hancur karena diterjang ombak.
Menurunnya luas hutan mangrove pada pantai utara jawa telah memberikan permasalahan
yang sangat besar terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan menyebabkan abrasi yang
semakin luas. Tingginya abrasi dikawasan pesisir sebagai dampak dari hilangnya hutan
mangrove menimbulkan masalah yang sangat pelik (Pramudji, 2015).
Kerusakan hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotic di
dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor
alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove dikarenakan adanya fakta
bahwa Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan ekosistem hutan
mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga,
penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Ramena et al., 2020).

2.2 Lamun
Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun yaitu lamun, terumbu
karang serta mangrove. Komunitas Lamun sangat berperan penting pada fungsi-fungsi
biologis dan fisik dari lingkungan pesisir. Pola zonasi padang lamun adalah gambaran yang
berupa rangkaian/model lingkungan dengan dasar kondisi ekologis yang sama pada padang
lamun. Aktivitas manusia di sekitar pesisir dapat berupa pertanian, peternakan dan pelabuhan
tradisional serta pemukiman penduduk. Oleh karena aktivitas manusia yang tidak
memperhatikan lingkungan pesisir akan mengakibatkan perubahan komunitas lamun sebagai
penunjang ekosistem pesisir (Tangke, 2010)
2.2.1 Definisi Lamun
Lamun merupakan satu satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae), memiliki
rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam didalam laut, umumnya membentuk
padang yang luas di dasar laut, hidup di perairan dangkal dengan sirkulasi air yang baik
dengan tipe substrat mulai berlumpur sampai berbatu. Semua lamun adalah tumbuhan berbiji
satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti
halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat. Lamun senantiasa membentuk
hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu spesies atau lebih dari satu spesies
yang selanjutnya di sebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem
pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara
permanen di bawah permukaan air laut (Latuconsina, 2019).
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan tingkat tinggi (Anthophyta) yang hidup dan
tumbuh terbenam di lingkungan laut; berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan
berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang
beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan
karang. Padang Lamun (seagrass bed) adalah hamparan tumbuhan lamun yang menutupi
suatu area pesisir/laut dangkal yang dapat terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau
lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) sedang (medium) atau
jarang (sparse). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu system (organisasi)
ekologi padang lamun, di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotic
dan komponen biotik hewan dan tumbuhan (Sjafrie et al., 2018)
2.2.2 Karakteristik Lamun
Menurut Latuconsina (2019), karakteristik lamun adalah daun lamun terdapat
sejumlah rongga udara untuk memungkinkan akumulasi dan pendistribusian gas, juga
berfungsi sebagai buoyancy untuk selalu tegak dalam air dan tetap fleksibel terhadap gerakan
arus. Bagian akar terdapat banyak lacunae untuk memungkinkan pengaliran oksigen hasil
fotosintesis dari daun ke akar yang penting untuk respirasi akar yang selalu terbenam. Dan
memiliki system perakaran yang disertai rhizome yang salin menyilang pada dasar perairan,
menyebabkan vegetasi lamun sangat kuat menancap pada dasar perairan laut.
Bentuk vegetatif lamun dapat memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang
tinggi dimana Hampir semua genera memiliki rhizoma yang berkembang dengan baik serta
bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat Panjang seperti ikat pinggang,
kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong (Tangke, 2010). Lamun (seagrass) adalah
tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar
rimpang, daun, bunga dan buah. Struktur dan fungsi lamun sama dengan rumput yang tumbuh
di daratan. Bentuk daun lamun beragam. Ada yang berbentuk seperti pita, lidi atau bulat.
Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-
buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan
berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah lamun tumbuh kokoh di dasar
laut serta tahan terhadap hempasan ombak dan arus (Sjafrie et al., 2018).
2.2.3 Identifikasi Lamun
Identifikasi secara fenotip di lapangan dan pengambilan gambar lamun menggunakan
kamera. Identifikasi secara fenotip dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologi. Pengamatan
morfologi meliputi bentuk daun, bentuk ujung daun,jumlah tulang daun. Jumlah spesies
lamun di dunia adalah 60 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo and McComb
1989). Di perairan Indonesia terdapat 15 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis
lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea. serrulata, Haludole pinifolia, Halodule uninervis,
Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila spinulosa, Syringodium
iseotifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii
merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh Kuo (2007), Halophila becarii yang
ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai
koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih-Jawa Timur.

Gambar 2. Thalassia hemprichii


(sumber : Sjafrie et al., 2018)
Gambar 3. Enhalus acoroides
(sumber : Sjafrie et al., 2018)

Gambar 4. Cimodocea rotundata


(sumber : Sjafrie et al., 2018)
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi Kehidupan Lamun
Menurut Alongi (1998) beberapa faktor yang mempengaruhi lamun adalah suhu,
cahaya, salinitas, kedalaman, substrat daras perairan dan pergerakan air laut (ombak, arus, dan
pasang surut). Faktor tersebut juga mempengaruhi kelimpahan dan kerapatan lamun pada
suatu daerah, sehingga jumlah dan kelimpahannya mungkin berbeda-beda.
a. Temperatur
Suhu air memilki pengaruh yang sangat besar untuk proses fotosintesis serta
populasi hewan yang terkait pada padang lamun. Hasil pengukuran suhu di lokasi
penelitian yaitu pada subsrat pasir berlumpur 29,98 °C, pada substrat pasir
28,24 °C dan pada subsrat pasir pecahan karang 28,13 °C (Rawung et al., 2018)
b. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian yaitu pada substrat pasir
berlumpur 29,5 ‰, pada substrat pasir 29,8 ‰ dan pada substrat pasir pecahan
karang 30,2 ‰. Hasil pengukuaran derajat keasaman pada lokasi penelitian yaitu
pada substrat pasir berlumpur 7,13, pada substrat pasir 7,31 dan pada substrat
pasir pecahan karang 8,24. Dari hasil pengukuran derajat keasamaan menunjukan
kisaran pH adalah baik untuk pertumbuhan lamun (Rawung et al., 2018).
c. Kecerahan
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses
fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Lamun membutuhkan
intensitas cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa tersebut dan jika suatu
perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas pembangunan sehingga
meningkatkan sedimentasi pada badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas
maka akan berdampat buruk terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini secara luas
akan menunggu produktivitas primer ekosistem lamun (Rushwahyuni dan
Widyorini, 2014).
d. Kedalaman
Kedalaman sangat mempengaruhi kehidupan organisme perairan. Kedalaman
suatu perairan sangat erat hubungannya dengan penetrasi cahaya matahari ke
dalam kolom air yang digunakan oleh tumbuhan berklorofil untuk fotosintesis.
Tumbuh-tumbuhan ini tidak dapat hidup terus-menerus tanpa adanya cahaya
matahari yang cukup. Penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat
sesuai dengan makin tingginya kedalaman laut. Perairan dalam dan jernih proses
fotosintesanya hanya terdapat sampai kedalaman 200 meter saja (Rushwahyuni
dan Widyorini, 2014).
e. Nutrient
Nutrien di perairan padang lamun dapat berperan sebagai factor pembatas
pertumbuhannya sehingga efisiensi daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi
sangat penting untuk memelihara produktivitas primer padang lamun. konsentrasi
nutrient yang larut dalam perairan lebih rendah jika dibandingkan dengan
konsentrasi nutrient yang ada di sedimen. Lamun memperoleh nutrien melalui dua
jaringan tubuhnya yaitu melalui akar dan daun. Penyerapan nutrien pada kolom
air dilakukan oleh daun sedangkan penyerapan nutrien dari sedimen dilakukan
oleh akar (Handayani et al., 2016)
f. Substrat
Substrat berperan menentukan stabilitas kehidupan lamun yaitu sebagai media
tumbuh bagi lamun sehingga tidak terbawa arus dan gelombang, media untuk daur
dan sebagai sumber unsur hara. Perbedaan komposisi jenis substrat dapat
menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun, juga dapat mempengaruhi
perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran
bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan
nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang
terjadi di dalam substrat (Sahertian dan Wakano., 2017)
2.2.5 Manfaat Lamun
Padang lamun memiliki peranan penting pada ekosistem perairan pantai. Lamun
memiliki banyak fungsi seperti sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari
makan (feeding ground) dan sebagai daerah pemijahan (spawning ground) ikan- ikan dan
biota lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Secara fisik lamun juga berfungsi sebagai
penahan abrasi pantai, dan sebagai penambat sedimen. Secara ekologi lamun mempunyai
peranan penting, salah satunya sebagai penangkap sedimen. Pertumbuhan daun yang lebat dan
sistem perakaran yang padat, maka vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang
disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang. Hal ini
dapat dikatakan bahwa komunitas lamun dapat bertindak sebagai pencegah erosi dan
penangkap sedimen (Rushwahyuni dan Widyorini, 2014).
Menurut Sjafrie et al. (2018), lamun memiliki peran penting sebagai produsen primer,
habitat biota, stabilisator dasar perairan, penangkap sedimen dan pendaur hara.
 Sebagai produsen primer , lamun mengikat karbondioksida (CO2) dan mengubahnya
menjadi energi yang sebagian besar memasuki rantai makanan, baik melalui
pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah.
Produktivitas primr padang lamun relatif tinggi di pesisir
 Sebagai habitat biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai macam organisme. Selain itu, padang lamun dapat juga
berfungsi sebagai daerah asuhan, padang penggembalaan dan makanan dari berbagai
jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang.
 Sebagai penangkap sedimen serta penahan arus Daun lamun yang lebat akan
memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di
sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan
dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar
permukaan. Daun lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen serta penahan
arus dan gelombang yang berperan dalam mencegah erosi pantai Padang lamun
menangkap dan menstabilkan sedimen, sehingga air menjadi lebih jernih.
 Sebagai pendaur zat hara Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai
zat hara dan elemen-elemen langka (mikro nutrien) di lingkungan laut. Fosfat yang
diambil oleh daun-daun lamun dapat bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke
dalam algae epifitik. Akar lamun dapat menyerap fosfat yang keluar dari daun yang
membusuk yang terdapat pada celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara
potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada dalam medium yang
miskin fosfat.
 Sebagai penyerap karbon Padang lamun juga berperan seperti hutan di daratan dalam
mengurangi karbondioksida (CO2). Seperti tanaman darat lainnya, lamun
memanfaatkan karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesa dan menyimpannya
dalam bentuk biomasa. Hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI diketahui
bahwa padang lamun dapat menyerap rata-rata 6,59 ton C/ha/tahun atau setara
dengan 24,13 ton CO2/ha/tahun.
2.2.6 Flora dan Fauna di Ekosistem Lamun
Di padang lamun juga hidup bermacam-macam biota laut seperti crutacea, molusca,
cacing dan berbagai jenis ikan. Ada yang hidup menetap dipadang lamun ada pula sebagai
pengunjung yang setia. Beberapa jenis ikan misalnya berkunjung ke padang lamun untuk
mencari makanan atau untuk memijah. Beberapa jenis biota laut yang mempunyai nilai niaga
menggunakan daerah padang lamun sebagai tempat asuhan antara lain ikan beronang, duyung
merupakan mamalia laut yang makanannya adalah lamun terutama bila komponen utamanya
adalah Enhalus acoroides yang berdaun seperti pita yang memanjang dan hewan yang
berasosiasi dengan padang lamun, ikan ( baronang dan dugong), moluska (kerang), crustasea
(bintang laut, bulu babi, teripang, bintang rapuh). Selanjutnya produktivita selain dari
tumbuhan lamun juga berasal dari algae dan organisme yang menempel didaun. Sejumlah
invetebrata seperti molusca (bipinna, lambis dan strombus), Enchodermata (tripang holutoria,
bulu babi diadema sp), dan bintang laut (Archaster, Linckia) serta Crustasea (udang, kepiting)
(Yanuar et al., 2016).
Menurut Pratiwi (2010),Fauna di ekosistem lamun Kepiting dan udang yang termasuk
kelas Krustasea diketahui berasosiasi dengan baik terhadap ekosisitem lamun. Selain sebagai
salah satu komponen yang penting dalam rantai makanan, beberapa jenis krustasea juga
merupakan hewan yang bernilai ekonomis tinggi karena dagingnya merupakan makanan yang
lezat, seperti beberapa jenis udang dan kepiting dari suku Penaeidae (udang niaga),
Portunidae (rajungan dan kepiting bakau), Syllaridae (udang pasir dan udang kipas),
Palinuridae (udang karang atau lobster) dan Stomatopoda (udang ronggeng atau udang
mantis)

2.2.7 Interaksi Lamun dengan Biota Laut


Peranan penting sebagai sumber makanan untuk beberapa konsumer primer Banyak
dari avertebarata epifauna memakan makroskopis epifit dan algae yang ada pada daun lamun.
Mikro dan meiofauna hidup pada algae dan mencari makan Bersama dengan makrograzer.
Gastropoda kecil seperti Trochidae, Rissodae dan Centhiidae merupakan pemakan algae.
Beberapa amphipoda, isopoda dan tanaida juga memakan campuran mikroflora dengan
detritus, dan beberapa dari fauna ini mempunyai mulut yang kuat untuk memakan algae dan
daun lamun. Beberapa dari fital krustasea menempel pada lamun atau algae epifit, hewan ini
mempunyai antene yang bergerak di air dan mengoleksi partikel organik terlarut. Beberapa
krustasea dekapoda, polikhaeta dan beberapa ekhinodermata cukup oportunis dengan
kebiasaan makannya; misalnya satu jenis dari fauna tersebut dapat memakan lamun dan algae
yang telah mati (membusuk), kemudian memakan detritus organik, dan hidup serta mati pada
badan fauna lain. Walaupun beberapa kepiting memakan moluska, krustasea, polikhaeta dan
algae, tetapi juga memakan beberapa porsi dari bagian lamun yang telah mati. Dan juga
beberapa ikan menjadikan lamun sebagai habitat dan tempat bersembunyi dari mangsanya
(Aswandy dan Azkab, 2000).
Menurut Hartati et al (2017), Lamun memiliki peran penting bagi kehidupan di laut,
sebagai produsen primer serta penyusun habitat dan ekosistem yang menyangga kehidupan di
sekitarnya Ekosistem lamun tersebut merupakan sumber makanan penting bagi banyak
organisme oleh sebab itu banyak biota laut yang memanfaatkannya sebagai tempat
memijah .Kepiting dan udang yang termasuk kelas Krustasea diketahui berasosiasi dengan
baik terhadap ekosisitem lamun. Selain sebagai salah satu komponen yang penting dalam
rantai makanan, beberapa jenis krustasea juga merupakan hewan yang bernilai ekonomis
tinggi karena dagingnya merupakan makanan yang lezat, seperti beberapa jenis udang dan
kepiting dari suku Penaeidae (udang niaga), Portunidae (rajungan dan kepiting bakau),
Syllaridae (udang pasir dan udang kipas), Palinuridae (udang karang atau lobster) dan
Stomatopoda (udang ronggeng atau udang mantis)
2.2.8 Persebaran Lamun di Perairan Utara Jawa
Jumlah spesies lamun di dunia adalah 60 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 12
marga .Di perairan Indonesia terdapat 15 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis
lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea. serrulata, Haludole pinifolia, Halodule uninervis,
Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila spinulosa, Syringodium
iseotifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii
merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh Kuo (2007), Halophila becarii yang
ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai
koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih-Jawa Timur (Sjafrie et al., 2018).
Hartati et al (2017) melakukan penelitian di laut jepara yang berada di pantai utara
jawa. Terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus acorodies, thalasia hemprichii, cymodocea
rotundata dan syringodium isoetifolium. Kerapatan tertinggi dan terendah ditemukan pada
thalassia hemprichii yaitu 33,87 dan 4,35 tegakkan/m 2. Presentase penutupan tertinggi
ditemukan pada enhalus acoroides dengan nilai 48,67% dan yang terendah 8,71% oleh T.
hemprichii. Terdapat variasi komposisi dan kerapatan berdasarkan waktu pengamatan hal ini
menunjukkan adanya pengaruh lingkungan dan tidak terjadi persebaran lamun yang merata
pada daerah tersebut

2.3 Terumbu Karang


Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejunis
tumbuhan alga yang di sebut zooxanthellae. merupakan ekosistem didasar laut tropis yang
dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis jenis karang batu dan alga
berkapur, Bersama sama dengan biota yang hidup didasar lainnya seperti jenis jenis molluska,
crustacea, Echinodermata, polichaeta, porifera dan tunicate serta biota biota lain yang hidup
bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis jenis plankton dan jenis jenis nekton (Supriyono,
2019)
2.3.1 Definisi Karang
Menurut Supriyono, (2019) karang atau disebut juga karang baatu yaitu hewan dari
ordo Scleractinia yang mampu mensekresi CaCO3. Hewan karang tunggal umumnya disebut
polip. Karang menurut KBBI adalah batu kapur di laut yang terjadi dari zat yang dikeluarkan
oleh binatang kecil jenis anthozoa (tidak bertulang punggung), batuan organik sebagai tempat
tinggal binatang karang atau koral. Hewan karang bentuknya aneh, menyerupai batu dan
mempunyai warna dan bentuk beraneka rupa. Hewan karang mempunyai tentakel untuk
menangkap plankton sebagai sumber makanannya. Namun, sumber nutrisi utama hewan
karang sebenarnya berasal dari proses fotosintesis Zooxanthellae. Selain itu zooxanthellae
memberi warna pada hewan karang yang sebenarnya hamper transparan. Sebagai timbal balik
karang menyediakan tempat tinggal dan berlindung bagi sang alga.
Dari proses pembentukan terumbu karang dikenal dua kelompok karang, meliputi
kelompok pertama adalah karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik), yaitu dari
scleractinia (karang batu) dan kelompok kedua adalah karang yang tidak dapat membentuk
terumbu (karang ahermatipik), yaitu dari soft coral (karang lunak). Kelompok pertama adalah
karang batu (scleractinia) mempunyai kemampuan untuk membentuk terumbu karang dalam
prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk
membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building corals, sedangkan
kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non–reef
building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron,
1986). Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu karang (polip) yang
dapat hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni
membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri
hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur
tersebut disebut terumbu karang (Muhlis, 2011)
2.3.2 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting, karena
menjadi sumber kehidupan bagi biota laut. Ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor lingkungan laut seperti tingkat kejernihan air, arus, salinitas dan suhu.
Tingkat kejernihan air dipengaruhi oleh partikel tersuspensi antara lain akibat dari
pelumpuran dan ini akan berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam laut,
sementara cahaya sangat diperlukan oleh zooxanthella yang fotosintetik dan hidup di dalam
jaringan tubuh binatang  pembentuk terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat
terbentuk dari 480 spesies karang, dan di dalamnya hidup lebih dari 1.650 spesies ikan,
molusca, crustacean, sponge, algae dan seagrass (Arisandi et al., 2018).

2.3.3 Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan


Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem produktif di kawasan pesisir yang
memiliki sifat adaptasi stenotolerant. Dengan sifat tersebut kemampuan adaptasi terumbu
karang pada perubahan faktor lingkungan pembatas keberadaannya berada dalam rentang
yang relatif sempit. Menurut bentuk pertumbuhannya (coral lifeform) karang dibedakan
menjadi Acropora dan non Acropora, dengan perbedaan morfologi berupa tipe bercabang
(branching), tipe padat (massive), tipe merayap (encrusting), tipe daun (foliose), tipe meja
(tabulate), serta tipe jamur (mushroom). Pada suatu habitat, bentuk pertumbuhan karang yang
hidup dapat didominasi oleh suatu bentuk pertumbuhan tertentu. Bentuk pertumbuhan karang
yang dominan pada suatu habitat bergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat
karang itu hidup. Dari berbagai bentuk pertumbuhan karang, bentuk pertumbuhan karang
bercabang merupakan jenis yang diketahui cenderung sensitif terhadap perubahan suhu
lingkungan, dibandingkan dengan bentuk pertumbuhan lainnya (Saptarini, 2016).
2.3.4 Habitat
Jenis karang yang dominan disuatu habitat tergantung lingkungan atau kondisi dimana
karang tersebut hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh
suatu jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karang-karang
kecil yang umumnya berbentuk massive dan submassive. Lereng terumbu biasanya ditumbuhi
oleh karang-karang bercabang. Karang massive lebih banyak tumbuh di terumbu terluar
dengan perairan berarus.. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward
zones) memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang, berbeda pada gelombang yang
kuat (windward zones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan pendek, kuat,
merayap atau submasif ( Suryanti et al., 2011)

Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih
terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu
karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang
tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang. Ekosistem
terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, Eutrofikasi dan memerlukan
kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat
pemanasan global yang melanda perairan tropis pada tahun 1998 telah menyebabkan
pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-
95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia
adalah 2-3 °C di atas suhu normal.

2.3.5 Faktor Pertumbuhan Karang

Pertumbuhan dan perkembngan karang mempunyai faktor-faktor pembatas, antara


lain: factor kecerahan, cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air dan substrat. Levinton, (1982);
Nybakken, (1992) mengungkapkan bahwa faktor lingkungan mempunyai pengaruh cukup
besar terhadap pertumbuhan karang, adapun faktor faktor lingkungan tersebut adalah cahaya,
suhu, sedimentasi dan aktivitas biologi Di antara faktor-faktor lingkungan itu, menurut
Levinton (1982) suhu adalah faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap
petumbuhan organisme laut, termasuk karang. Beberapa pengaruhnya dapat dilihat pada
kecepatan metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi serta perombakan bentuk luar dari
karang.

Menurut Muhlis (2019), secara rinci kondisi lingkungan yang dapat mendukung
pertumbuhan karang adalah suhu air lebih dari 18oC ,pada kedalam tidak lebih dari 25 m,
kadar garam 30 - 36 o/∞, pengendapan rendah, air bebas dari polusi, harus ada lebih dahulu
substrat untuk menempel .Sementara Yasin (1984) .mengungkapkan bahwa karang dapat
hidup jika persyaratan berikutnya terpenuhi : suhu air laut sekitar 20 oC pada kedalaman 25 m,
di kawasan LU maupun LS, air laut banyak mengandung oksigen, fluktuasi suhu tidak lebih
dari 6 oC dan air laut harus jernih. Huston (1985) lebih hkusus mengungkapkan bahwa
keberadaan cahaya dalam air adalah faktor utama yang menentukan kecepatan pertumbuhan
panjang dan pertambahan bobot kerangka karang.
2.3.6 Faktor Kerusakan Karang
Menurut Aldyza dan Afkar (2015), Terumbu karang merupakan ekosistem yang rentan
terhadap kerusakan, hal ini disebabkan oleh factor manusia dan faktor alam. Faktor manusia
Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya potensial yang mempunyai berbagai
manfaat. Terumbu karang dapat juga digunakan sebagai bahan pembuatan kapur sirih. Banyak
masyarakat pesisir terpacu untuk melakukan aktivitan pemanfaatan penambangan terumbu
karang. Sudah banyak terjadi aktivitas penambangan karang yang dilakukan oleh masyarakat
pesisir kelurahan tersebut dan digunakan sebagai bahan baku produksi kapur sirih. Aktivitas
pengambilan terumbu karang dilakukan baik sesuai tuntutan rumah tangga yakni sebagai
bahan konsumsi pribadi dan sebagian masyarakat menggunakannya sebagai bahan
komersialnya. Penambangan karang biasanya pada saat air laut surut. Biasanya surut terjadi
pada saat bulan purnama dan bulan sabit. Adanya aktifitas tersebut berdampak pada kondisi
ekosistem terumbu karang menjadi rusak. Selain penambangan dampak kerusakan ekosistem
terumbu karang juga diakibatkan oleh nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan
cara meracun ikan-ikan yang berada disekitar terumbu karang. Aktivitas ini berdampak pada
ekosistem terumbu karang menjadi mati dan memutih.
Akibat factor manusia tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu
karang semakin meningkat dan berdampak pada kerusakan eksistem terumbu karang secara
langsung maupun tidak langsung. Selain ulah manusia, ekosistem terumbu karang juga rusak
akibat faktor alam. Kerusakan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian akibat faktor
alam disebabkan oleh derasnya gelombang. Hal ini dapat mempengaruhi ekosistem terumbu
karang, sehingga terjadi patahana-patahan di bagian ujung-ujung karang. Salain itu intensitas
hempasan gelombang besar dapat mengakibat patahan-patahan yang lebih besar bahkan
karang tersebut mati. Karang yang mati karena masa ketuaaanya akan muncul tunas baru pada
sisi tubuh karang dengan munculnya tunas baru (Manlea et al., 2016).
2.3.7 Penyakit Karang
Penyakit pada karang merupakan salah faktor utama yang mengakibatkan degradasi
terumbu karang, dan dapat terjadi pada saat menurunnya kondisi karang sehingga
memudahkan bakteri pathogen menyerang jaringan karang. Hal ini sesuai dengan umumnya
karang terkena penyakit ketika ekosistem karang berada dalam kondisi rentan seperti saat
terjadinya kompetisi dengan pertumbuhan cepat alga atau dalam kondisi fisiologis lemah
setelah terjadinya bleaching. Beberapa penyakit karang dapat menular dan ada yang tidak.
Luka yang ditimbulkan dari penyakit karang dapat terjadi pada awal, tengah atau di akhir fase
penyakit (Abrar et al., 2012).
Jenis jenis penyakit karang menurut Aldyza dan Afkar (2015), adalah
 Ulcerative White Spots (UWS) merupakan salah satu penyakit yang mengganggu
kesehatan jaringan karang. Ciri-ciri penyakit ini adalah hilangnya jaringan polip
karang sehingga kerangka skeleton (koralit) menjadi kosong dan menimbulkan bintik-
bintik putih (luka)
 Growth Anomalies terlihat berbeda dari jaringan sehat, dan kelainan ini disebut juga
dengan tumor. Penyebab perbedaan ukuran belum diketahui secara pasti. Pigmen pada
jaringan yang mengalami kelainan pertumbuhan pada umumnya lebih pucat atau lebih
muda dari jaringan sehat, karena disebabkan berkurangnya zooxanthellae atau tidak
ada sama sekali
 Sediment Damage Penumpukan sedimen akibat kegiatan antropogenik dapat
mempengaruhi pertumbuhan karang dan menimbulkan penyakit karang.
 Pink Line Disease Luka dalam bentuk goresan karena terkena jangkar, gigitan ikan
atau akibat biota pengebor.
 Alga Overgrowth merupakan koloni alga (makroalga) yang mengalami pertumbuhan
secara berlebih pada permukaan terumbu dan menutupi jaringan karang. Jaringan
karang yang tertutupi oleh banyak alga dapat menyebabkan kematian karang.
 Pigmentation Response penyakit karang yang mengalami perubahan warna jaringan
(pigmentasi) sebagai respon terhadap lingkungannya. Bagian karang yang mengalami
pigmentasi terlihat berwarna merah muda yang memiliki pola diffusi
2.3.8 Metode LIT
Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode line intercept transect
(LIT). Metode LIT digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan
melihat tutupan karang hidup, karang mati, jenis substrat, alga dan keberadaan biota lain
(sponge, soft coral). Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh
karang (lifeform). Metode LIT membutuhkan keahlian dalam menentukan bentuk
pertumbuhan karang akan tetapi informasi yang didapatkan terkait dengan komunitas karang
lebih lengkap. Garis transek yang dibuat sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 4-5m
berdasarkan kedalaman terumbu karang. Hasil dari metode LIT juga menggambarkan struktur
komunitas karang dengan menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak ,
sedangkan sedangkan data komposisi jenis untuk mengetahui variasi bentuk lifeform dan
variasi jenis karang penyusun komunitas ekosistem karang (Saptarini et al., 2016).
2.3.9 Perhitungan Tutupan Karang
Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan
persen tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point
Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar
secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita
berskala (roll meter). Metode PIT digunakan untuk menentukan komunitas bentos sesil (biota
yang hidup di dasar atau melekat di dasar perairan) di terumbu karang berdasarkan bentuk
pertumbuhan dalam satuan persen, dengan jalan mencatat jumlah biota bentik yang ada pada
masing-masing titik di sepanjang garis transek (25m). Metode PIT ditetapkan dan digunakan
untuk memonitor kondisi terumbu karang secara detail dengan meletakkan transek permanen
di lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Pemilihan lokasi transek permanen berdasarkan
keterwakilan dalam suatu luasan DPL sebagai contoh, bila luas area DPL < 200 m2, dapat
dibuat satu transek, bila luasnya 300 m2, dibuat 2 transek. Posisi garis transek sejajar dengan
garis pantai. Posisi geografi masingmasing lokasi transek harus ditentukan dengan GPS
(Manuputty dan Djuwariah, 2009).
Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan berdasarkan persen tutupan karang batu
hidup dengan kriteria CRITC-COREMAP LIPI berdasarkan Gomez & Yap (1988) sebagai
berikut:
 rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%.
 sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%
 baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan
 sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%
2.3.10 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Utara Jawa
Meskipun secara umum keadaan terumbu karang di lokasi penelitian tergolong baik
sampai sangat baik, tetapi keadaan ini bisa berubah seiiring dengan waktu dan bertambahnya
aktifitas manusia dikawasan tersebut. Pulau Cemara Kecil termasuk kedalam zona
perlindungan, yaitu zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, yang merupakan
areal untuk mendukung upaya perlindungan spesies, pengembangbiakan alami jenisjenis
satwa liar, termasuk satwa migran serta prosesproses ekologis alami yang terjadi di dalamnya.
Kegiatan yang diperbolehkan adalah yang berhubungan untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penelitian, dan pemanfaatan secara terbatas melalui perizinan (BTNKJ, 2008).
Namun pada kenyataanya saat ini Pulau Cemara Kecil mulai menjadi salah satu tujuan
kegiatan wisata, aktifitas pariwisata yang terjadi di Pulau Cemara Kecil yaitu snorklling,
diving, dan renang, aktifitas penangkapan tanpa melalui izin dari dinas terkait dalam hal ini
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), jika dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas
yang bersifat prefentif maka bukan tidak mungkin kondisi karang di lokasi tersebut akan terus
menurun. Menurut Suryanti dkk (2009), kondisi ekosistem di Kepulauan Karimunjawa secara
berangsur-angsur mengalami degradasi yang dilihat berdasarkan penurunan ekosistem
penurunan tutupan ekosistem,salah satunya meliputi ekosistem terumbu karang (Suryanti et
al., 2011)

DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press, Denpasar, 475 hlm.
Alwidakdo, A., Z.Azham dan L.Kamarubayana. 2014. Studi pertumbuhan mangrove pada
kegiatan rehabilitassi hutan mangrove di desa tanjong limau kecamatan muara badak
kabupaten kutai kartanegara. Jurnal AGRIFOR., 13(1):11-18.
Aswandy,I dan M.H. Azkab. 2000. Hubungan fauna dengan padang lamun. Oseana.,
25(3):19-24.
Arisandi, A., B.Tamam dan A.Fauzan. 2018. Profil terumbu krang pulau kangean, kabupaten
sumenep, Indonesia, JPIK., 10(2):76-83.
Aldyza, N dan Afkar. 2015. Analisis genus dan penyakit karang di perairan pulau tuan
kecamatan peukan bada kabupaten aceh besar. Jurnal Biotik., 3(2): 107-115.
Abrar,M., I.Bachtiar dan A Budiyanto. 2012, struktur komunitas dan penyakit pada karang di
perairan lembta, nusa tenggara timur. Ilmu kelautan., 17(2):109-118
Danong, M.T., M.T.L. Ruma., T.L. Boro dan K.M. Nono. 2019. Identifikasi jenis-jenis
mangrove di Kawasan ekowisata mangrove kelurhan oesapa barat kota kupang.
Jurnal biotropikal sains., 16(3): 10-25.
Handayani, D.R., Armid dan Emiyarti. 2016. Hubungan kandungan nutrient dalam substrat
terhadap kepadatan lamun di perairan desa lalowaru kecamatan moramo utara. Sapa
laut., 1(2):42-53.
Hambran., R. Linda dan I. Lovadi. 2014. Analisa vegetasi mangrove di desa sebubus
kecamatan paloh kabupaten sambas. Jurnal protobiont., 3(2): 201-208.
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press, Bogor, 247 hlm.
Karimah. 2017. Peran ekosistem hutan mangrove sebagai habitat untuk organisme laut. Jurnal
biologi tropis., 17(2): 51-57.
Lawerissa, Y.A., M.Sangaji dan M.B. Latumahina. 2018. Pengelolaan mangrove berdasarkan
tipe substrat di perairan negeri ihamahu pulau saparua. Jurnal triton., 14(1): 1-9.
Latuconsina, H. 2019. Ekologi perairan tropis. UGM Press, Yogyakarta, 308 hlm.
Manuputty dan Djuwariah. 2009. Panduan metode PIT untuk manyarakat. LIPI, Jakarta, 73
hlm.
Manlea,H., L.Ledheng dan Y.M. Sama. 2016. Factor-faktor penyebab kerusakan ekosistem
terumbu karang di perairan wini kelurahan humusu kecamatan insane utara
kabupaten timur tengah utara. Jurnal Pendidikan Biologi., 1(2):21-23.
Muarif. 2017. Karakteristik ekosistem mangrove di Kawasan pesisir kepulauan natuna. Jurnal
mina sains., 3(2): 44-49.
Noor, Y.R., M. Khazah dan I.N.N.Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. WETLANDS, 227 hlm.
Pontoh, O. 2011. Peranan nelayan terhadap rehabilitasi ekosisten hutan bakau (Mangrove).
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis.,7(2):73-79.
Poedjirahajoe, E., D. Marsono dan F.K. Wardhani. 2017. Penggunaan Principal Component
Analysis Dalam Distribusi Spasial Vegetasi Mangrove d Pantai Utara Pemalang.
Jurnal Ilmu Kehutanan., 11 : 29-42.
Puasa,R.N., A.S. Wantasen dan Mandagi. 2018. Pemetaan keanekaragaman mangrove di
kelurahan tongkaina kecmatan bunaken kota manado. Jurnal ilmiah Platax.,6(1):113-
141.
Pramudji. 2015. Status mangrove di Kawasan pesisir utara jawa barae (karawang dan
Indramayu)dan upaya pengelolaannya. Oseana., 40(2):43-52.
Pratiwi, R. 2010. Asosiasi krustasea di ekosistem padang lamun perairan teluk lampung. Ilmu
kelautan., 15(2):66-76.
Rambu, L.P., F. Runtuboi dan F.A. Loinenak. 2019. Keanekaragaman dan distribusi
mangrove berdasarkan tipe substrat di pesisir pantai kampung syoribo distrik numfor
timur kabupaten biak numfor provinsi papua. Jurnal sumberdaya akuatik indopasifik.
3(1):31-34.
Ruswahyuni dan N.Widyorini. 2014. Analisis laju sedimen di derah padang lamun dengan
tingkat kerapatan berbeda di pulau Panjang jepara. Journal of Maquares., 3(3):73-79.
Rawung, S., F.F. Tilaar dan A.B.Rondonuwu. 2018. Inventarisasi lamun di perairan marine
field station fakults perikanan dan ilmu kelautan UNSRAT kecamatan likupang
timur kabupaten minahasa utara. Jurnal ilmiah platax., 6(2):38-45.
Supriyono, D. 2019. Terumbu Karang. ALPRIN, Semarang, 65hlm.
Suryanti., Supriharyono dan Y.Roslinawati. 2011. Pengaruh kedalaman terhadap morfologi
karang di pulau cemara kecil, taman nasional karimunjawa. Jurnal saintek
perikanan., 7(1):63-69.
Sidik, F., N. Wigati., A. R. Zaky., J.J. Hidayat., H.P. Kadarisman dan F. Islamy. 2018.
Panduan mangrove estuary perncak. BROL, Bali, 64 hlm.
Sjafrie., Hernawan., B.Prayuda., I.H Supriyadi., Iswari., Rahmat., K.Anggaraini.,
S.Rahmawati dan Suyarso.2018. status padang lamun Indonesia. LIPI, 50 hlm.
Sehartian, D.E dan D. Wakano.2017. laju pertumbuhan daun Enhalus acoroides pada substrat
berbeda di perairan pantai desa poka pulau ambon. Jurnal biology science
&education., 6(1):62-68.
Tefarani, R., T. Martuti dan S. Ngabekti. 2019. Keanekaragaman spesies mangrove dan
zonasi di wilayah kelurahan mangunharjo kecamatan tugu kota semarang. Life
Science., 8(1): 41-53.
Tangke, U.2010. Ekosistem Padang lamun. Jurnal ilmiah agribisnis dan perikanan., 3(1):9-29.

Anda mungkin juga menyukai