PRAKTIKUM LAPANGAN
EKOLOGI PERAIRAN
Oleh :
Isti’anatul Khairat
26050120120023
Tim Asisten:
Audria Izza Nadira 26050118120021
Alfandy Rafliansyah Subingat 26050118140067
Danang Imaddudin Mahardika 26050118140076
Timotius Putra G.S 26050118130098
Amalia Sekar Ayuningtyas 26050119130135
Az Zahrawaani Tegar 26050119130089
Sri Lestari 26050119130072
Deera Herdi Mardhiyah 26050119130067
Gerald Alfa Daud Manas 26050119140121
Gisela Malya Asoka A 26050119130137
Raffy Bagus Prayudha 26050119130069
Siti Munawaroh 26050119130053
KoordinatorPraktikum:
Ir. Gentur Handoyo,M.Si.
NIP. 19600911 198703 1 002
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
I. PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
1.3.1 Mangrove
1. Dapat mengetahui jenis tumbuhan mangrove.
2. Dapat mengetahui Teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove.
3. Dapat mengetahui tingkat keanekaragaman jenis mangrove.
1.3.2 Lamun
1. Dapat mengetahui keanekaragaman lamun dan biota di ekosistem padang
lamun.
2. Dapat mengetahui interaksi antar lamun dan biota laut.
3. Dapat menganalisa faktor pertumbuhan dari biota di sekitar ekosistem
lamun.
1.3.3 Karang
1. Dapat mengetahui presentase tutupan terumbu karang di laut.
2. Dapat mengetahui interaksi antara ekosistem terumbu karang dengan biota
laut.
3. Dapat mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan biota
laut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem khas pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut.
Mangrove tumbuh lebat di pantai yang berlumpur, delta, muara sungai besar, laguna dan teluk
yang terlindung. Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan factor habitatnya,
di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi,
kondisi sungai dan aktivitas manusia. Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya
penting sebagai pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah
pesisir lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun (Pontoh,
2011).
2.1.1 Definisi Mangrove
Mangrove menurut Odum (1983), berasal dari kata mangal yang menunjukan
komunitas suatu tumbuhan. Menurut Supriharyono (2000) menunjukan bahwa kata mangrove
mempunyai dua arti yakni pertama sebagai komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan
yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas, dan kedua sebagai individu spesies.
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat
tumbuh pada pantai karang, pada dataran koral mati yang diatasnya ditumbuni selapis tipis
pasir atau ditumbuni lumpur atau pantai berlumpur (Rahim dan Wahyuni, 2017).
Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah
lumpur dan daratan secara terus menerus sehingga secara perlahan berubah menjadi semi
daratan.pengertian mangrove yang berbeda beda sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu
formasi hutan daerah tropika dan subtropika yang terdapat di pantai rendah dan tenang,
berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga merupakan
mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan ekosistem perairan laut. Mangrove
dapat tumbuh di pantai dengan syarat pantainya terlindung dan relative tenang dan mendapat
sedimen dari muara sungai (Arief, 2003).
2.1.2 Fungsi Utama Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah
mangrove memasok unsur hara bagi lingkungannya. Unsur hara kemudian dimanfaatkan oleh
plankton dalam fotosintesis, sehingga perairan mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini
menyebabkan kelimpahan organisme pada tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi
tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di perairan tersebut merupakan makanan bagi
ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan ekosistem perairan mangrove sebagai
daerah mencari makan, memijah, dan pembesaran. Jadi mangrove mempunyai nilai ekologis
yang tinggi untuk menunjang keberlangsungan ekosistem akuatik di Kawasan mangrove
Blanakan.
Menurut Rahim dan Wahyuni (2019), Ekosistem mangrove mempunyai beberapa
peran baik secara fisik, kimia maupun biologi yang sangat menunjang bagi pemenuhan
kebutuhan manusia yaitu:
sebagai pelindung dan penahan pantai
sebagai penghasil bahan organic
sebagai habitat fauna
sebagai penahan abrasi, erosi dan sedimen
sebagai sumber bahan industry dan
sebagai kawasan pariwisata dan konservasi
2.1.3 Karakteristik Mangrove
Mangrove menggambarkan spesies pohon-pohon khas atau semak-semak yang hidup
di daerah intertidal dengan habitat yang tergenang dan bersalinitas daerah intertidal
merupakan daerah pesisir yang memiliki fluaktuasi faktor lingkungan yang tinggi, seperti
suhu, sedimen dan pasang surut. Mangrove mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan
tersebut, sekalipun demikian mangrove tidak hanya tumbuh di daerah intertidal saja.
Mangrove tumbuh juga di sisi sungai hingga muara sungai. Mangrove memiliki karakteristik
pohon yang berbedabeda, baik dari ukuran, bentuk akar, batang dan daun. Perbedaan tersebut
berhubungan dengan adaptasi yang dilakukan terhadap kondisi habitat yang bersalinitas dan
bersifat anaerob (Muarif, 2017).
Mangrove memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai baik estuari
atau muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis dan sub tropis mangrove
merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove
merupakan komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut yang memiliki
karakteristik lingkungan tersendiri, lingkungan yang alami sangat ideal untuk pertumbuhan
mangrove. Faktor lingkungan yang diukur meliputi kelembaban substrat, pH substrat, suhu
udara, suhu substrat, dan salinitas. Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk
kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan sebagai perangkap endapan dan
perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat
dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan. Di
samping itu memiliki kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat
intrusi air laut ke daratan (Hambran et al., 2014)
2.1.4 Identifikasi Mangrove
Mengidentifikasi mangrove dapat dilakukan dengan membedakan karakter morfologi.
Karakter tersebut adalah perawakan seperti herba semak dan pohon, akar seperti akar tunjang,
akar lutut, akar nafas, akar papan dan akar normal. Dan daun seperti susunan dan tata letak
daun pada batang, bentuk helaian daun dan ujung daun. Dan juga dapat dilihat dari karakter
letak bunga, tipe bunga, warna dan jumlah mahkota bunga, Warna dan jumlah kelopak bunga,
Warna dan jumlah benang sari. Serta karakter ukuran buah , warna buah, dan permukaan buah
(Danong et al., 2019).
Menurut Sidik et al. (2018), identifikasi mangrove dapat dilakukan dengan
memperhatikan beberapa hal yaitu :
Bentuk pohon
Bentuk akar
Bentuk buah
Bentuk dan susunan daun
Rangkaian bunga
Habitat tempat tumbuh
2.2 Lamun
Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun yaitu lamun, terumbu
karang serta mangrove. Komunitas Lamun sangat berperan penting pada fungsi-fungsi
biologis dan fisik dari lingkungan pesisir. Pola zonasi padang lamun adalah gambaran yang
berupa rangkaian/model lingkungan dengan dasar kondisi ekologis yang sama pada padang
lamun. Aktivitas manusia di sekitar pesisir dapat berupa pertanian, peternakan dan pelabuhan
tradisional serta pemukiman penduduk. Oleh karena aktivitas manusia yang tidak
memperhatikan lingkungan pesisir akan mengakibatkan perubahan komunitas lamun sebagai
penunjang ekosistem pesisir (Tangke, 2010)
2.2.1 Definisi Lamun
Lamun merupakan satu satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae), memiliki
rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam didalam laut, umumnya membentuk
padang yang luas di dasar laut, hidup di perairan dangkal dengan sirkulasi air yang baik
dengan tipe substrat mulai berlumpur sampai berbatu. Semua lamun adalah tumbuhan berbiji
satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti
halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat. Lamun senantiasa membentuk
hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu spesies atau lebih dari satu spesies
yang selanjutnya di sebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem
pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara
permanen di bawah permukaan air laut (Latuconsina, 2019).
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan tingkat tinggi (Anthophyta) yang hidup dan
tumbuh terbenam di lingkungan laut; berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan
berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang
beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan
karang. Padang Lamun (seagrass bed) adalah hamparan tumbuhan lamun yang menutupi
suatu area pesisir/laut dangkal yang dapat terbentuk oleh satu jenis lamun (monospecific) atau
lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat (dense) sedang (medium) atau
jarang (sparse). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem) adalah satu system (organisasi)
ekologi padang lamun, di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotic
dan komponen biotik hewan dan tumbuhan (Sjafrie et al., 2018)
2.2.2 Karakteristik Lamun
Menurut Latuconsina (2019), karakteristik lamun adalah daun lamun terdapat
sejumlah rongga udara untuk memungkinkan akumulasi dan pendistribusian gas, juga
berfungsi sebagai buoyancy untuk selalu tegak dalam air dan tetap fleksibel terhadap gerakan
arus. Bagian akar terdapat banyak lacunae untuk memungkinkan pengaliran oksigen hasil
fotosintesis dari daun ke akar yang penting untuk respirasi akar yang selalu terbenam. Dan
memiliki system perakaran yang disertai rhizome yang salin menyilang pada dasar perairan,
menyebabkan vegetasi lamun sangat kuat menancap pada dasar perairan laut.
Bentuk vegetatif lamun dapat memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang
tinggi dimana Hampir semua genera memiliki rhizoma yang berkembang dengan baik serta
bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat Panjang seperti ikat pinggang,
kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong (Tangke, 2010). Lamun (seagrass) adalah
tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar
rimpang, daun, bunga dan buah. Struktur dan fungsi lamun sama dengan rumput yang tumbuh
di daratan. Bentuk daun lamun beragam. Ada yang berbentuk seperti pita, lidi atau bulat.
Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-
buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak keatas, berdaun dan
berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizome dan akar inilah lamun tumbuh kokoh di dasar
laut serta tahan terhadap hempasan ombak dan arus (Sjafrie et al., 2018).
2.2.3 Identifikasi Lamun
Identifikasi secara fenotip di lapangan dan pengambilan gambar lamun menggunakan
kamera. Identifikasi secara fenotip dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologi. Pengamatan
morfologi meliputi bentuk daun, bentuk ujung daun,jumlah tulang daun. Jumlah spesies
lamun di dunia adalah 60 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 12 marga (Kuo and McComb
1989). Di perairan Indonesia terdapat 15 spesies, yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Jenis
lamun yang dapat dijumpai adalah 12 jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea. serrulata, Haludole pinifolia, Halodule uninervis,
Halophila decipiens, Halophila ovalis, Halophila minor, Halophila spinulosa, Syringodium
iseotifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Tiga jenis lainnya, yaitu Halophila sulawesii
merupakan jenis lamun baru yang ditemukan oleh Kuo (2007), Halophila becarii yang
ditemukan herbariumnya tanpa keterangan yang jelas, dan Ruppia maritima yang dijumpai
koleksi herbariumnya dari Ancol-Jakarta dan Pasir Putih-Jawa Timur.
Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih
terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu
karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang
tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang. Ekosistem
terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, Eutrofikasi dan memerlukan
kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat
pemanasan global yang melanda perairan tropis pada tahun 1998 telah menyebabkan
pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-
95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia
adalah 2-3 °C di atas suhu normal.
Menurut Muhlis (2019), secara rinci kondisi lingkungan yang dapat mendukung
pertumbuhan karang adalah suhu air lebih dari 18oC ,pada kedalam tidak lebih dari 25 m,
kadar garam 30 - 36 o/∞, pengendapan rendah, air bebas dari polusi, harus ada lebih dahulu
substrat untuk menempel .Sementara Yasin (1984) .mengungkapkan bahwa karang dapat
hidup jika persyaratan berikutnya terpenuhi : suhu air laut sekitar 20 oC pada kedalaman 25 m,
di kawasan LU maupun LS, air laut banyak mengandung oksigen, fluktuasi suhu tidak lebih
dari 6 oC dan air laut harus jernih. Huston (1985) lebih hkusus mengungkapkan bahwa
keberadaan cahaya dalam air adalah faktor utama yang menentukan kecepatan pertumbuhan
panjang dan pertambahan bobot kerangka karang.
2.3.6 Faktor Kerusakan Karang
Menurut Aldyza dan Afkar (2015), Terumbu karang merupakan ekosistem yang rentan
terhadap kerusakan, hal ini disebabkan oleh factor manusia dan faktor alam. Faktor manusia
Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya potensial yang mempunyai berbagai
manfaat. Terumbu karang dapat juga digunakan sebagai bahan pembuatan kapur sirih. Banyak
masyarakat pesisir terpacu untuk melakukan aktivitan pemanfaatan penambangan terumbu
karang. Sudah banyak terjadi aktivitas penambangan karang yang dilakukan oleh masyarakat
pesisir kelurahan tersebut dan digunakan sebagai bahan baku produksi kapur sirih. Aktivitas
pengambilan terumbu karang dilakukan baik sesuai tuntutan rumah tangga yakni sebagai
bahan konsumsi pribadi dan sebagian masyarakat menggunakannya sebagai bahan
komersialnya. Penambangan karang biasanya pada saat air laut surut. Biasanya surut terjadi
pada saat bulan purnama dan bulan sabit. Adanya aktifitas tersebut berdampak pada kondisi
ekosistem terumbu karang menjadi rusak. Selain penambangan dampak kerusakan ekosistem
terumbu karang juga diakibatkan oleh nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan
cara meracun ikan-ikan yang berada disekitar terumbu karang. Aktivitas ini berdampak pada
ekosistem terumbu karang menjadi mati dan memutih.
Akibat factor manusia tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu
karang semakin meningkat dan berdampak pada kerusakan eksistem terumbu karang secara
langsung maupun tidak langsung. Selain ulah manusia, ekosistem terumbu karang juga rusak
akibat faktor alam. Kerusakan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian akibat faktor
alam disebabkan oleh derasnya gelombang. Hal ini dapat mempengaruhi ekosistem terumbu
karang, sehingga terjadi patahana-patahan di bagian ujung-ujung karang. Salain itu intensitas
hempasan gelombang besar dapat mengakibat patahan-patahan yang lebih besar bahkan
karang tersebut mati. Karang yang mati karena masa ketuaaanya akan muncul tunas baru pada
sisi tubuh karang dengan munculnya tunas baru (Manlea et al., 2016).
2.3.7 Penyakit Karang
Penyakit pada karang merupakan salah faktor utama yang mengakibatkan degradasi
terumbu karang, dan dapat terjadi pada saat menurunnya kondisi karang sehingga
memudahkan bakteri pathogen menyerang jaringan karang. Hal ini sesuai dengan umumnya
karang terkena penyakit ketika ekosistem karang berada dalam kondisi rentan seperti saat
terjadinya kompetisi dengan pertumbuhan cepat alga atau dalam kondisi fisiologis lemah
setelah terjadinya bleaching. Beberapa penyakit karang dapat menular dan ada yang tidak.
Luka yang ditimbulkan dari penyakit karang dapat terjadi pada awal, tengah atau di akhir fase
penyakit (Abrar et al., 2012).
Jenis jenis penyakit karang menurut Aldyza dan Afkar (2015), adalah
Ulcerative White Spots (UWS) merupakan salah satu penyakit yang mengganggu
kesehatan jaringan karang. Ciri-ciri penyakit ini adalah hilangnya jaringan polip
karang sehingga kerangka skeleton (koralit) menjadi kosong dan menimbulkan bintik-
bintik putih (luka)
Growth Anomalies terlihat berbeda dari jaringan sehat, dan kelainan ini disebut juga
dengan tumor. Penyebab perbedaan ukuran belum diketahui secara pasti. Pigmen pada
jaringan yang mengalami kelainan pertumbuhan pada umumnya lebih pucat atau lebih
muda dari jaringan sehat, karena disebabkan berkurangnya zooxanthellae atau tidak
ada sama sekali
Sediment Damage Penumpukan sedimen akibat kegiatan antropogenik dapat
mempengaruhi pertumbuhan karang dan menimbulkan penyakit karang.
Pink Line Disease Luka dalam bentuk goresan karena terkena jangkar, gigitan ikan
atau akibat biota pengebor.
Alga Overgrowth merupakan koloni alga (makroalga) yang mengalami pertumbuhan
secara berlebih pada permukaan terumbu dan menutupi jaringan karang. Jaringan
karang yang tertutupi oleh banyak alga dapat menyebabkan kematian karang.
Pigmentation Response penyakit karang yang mengalami perubahan warna jaringan
(pigmentasi) sebagai respon terhadap lingkungannya. Bagian karang yang mengalami
pigmentasi terlihat berwarna merah muda yang memiliki pola diffusi
2.3.8 Metode LIT
Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode line intercept transect
(LIT). Metode LIT digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan
melihat tutupan karang hidup, karang mati, jenis substrat, alga dan keberadaan biota lain
(sponge, soft coral). Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh
karang (lifeform). Metode LIT membutuhkan keahlian dalam menentukan bentuk
pertumbuhan karang akan tetapi informasi yang didapatkan terkait dengan komunitas karang
lebih lengkap. Garis transek yang dibuat sejajar dengan garis pantai pada kedalaman 4-5m
berdasarkan kedalaman terumbu karang. Hasil dari metode LIT juga menggambarkan struktur
komunitas karang dengan menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak ,
sedangkan sedangkan data komposisi jenis untuk mengetahui variasi bentuk lifeform dan
variasi jenis karang penyusun komunitas ekosistem karang (Saptarini et al., 2016).
2.3.9 Perhitungan Tutupan Karang
Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan
persen tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point
Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar
secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita
berskala (roll meter). Metode PIT digunakan untuk menentukan komunitas bentos sesil (biota
yang hidup di dasar atau melekat di dasar perairan) di terumbu karang berdasarkan bentuk
pertumbuhan dalam satuan persen, dengan jalan mencatat jumlah biota bentik yang ada pada
masing-masing titik di sepanjang garis transek (25m). Metode PIT ditetapkan dan digunakan
untuk memonitor kondisi terumbu karang secara detail dengan meletakkan transek permanen
di lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Pemilihan lokasi transek permanen berdasarkan
keterwakilan dalam suatu luasan DPL sebagai contoh, bila luas area DPL < 200 m2, dapat
dibuat satu transek, bila luasnya 300 m2, dibuat 2 transek. Posisi garis transek sejajar dengan
garis pantai. Posisi geografi masingmasing lokasi transek harus ditentukan dengan GPS
(Manuputty dan Djuwariah, 2009).
Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan berdasarkan persen tutupan karang batu
hidup dengan kriteria CRITC-COREMAP LIPI berdasarkan Gomez & Yap (1988) sebagai
berikut:
rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%.
sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%
baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan
sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%
2.3.10 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Utara Jawa
Meskipun secara umum keadaan terumbu karang di lokasi penelitian tergolong baik
sampai sangat baik, tetapi keadaan ini bisa berubah seiiring dengan waktu dan bertambahnya
aktifitas manusia dikawasan tersebut. Pulau Cemara Kecil termasuk kedalam zona
perlindungan, yaitu zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, yang merupakan
areal untuk mendukung upaya perlindungan spesies, pengembangbiakan alami jenisjenis
satwa liar, termasuk satwa migran serta prosesproses ekologis alami yang terjadi di dalamnya.
Kegiatan yang diperbolehkan adalah yang berhubungan untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penelitian, dan pemanfaatan secara terbatas melalui perizinan (BTNKJ, 2008).
Namun pada kenyataanya saat ini Pulau Cemara Kecil mulai menjadi salah satu tujuan
kegiatan wisata, aktifitas pariwisata yang terjadi di Pulau Cemara Kecil yaitu snorklling,
diving, dan renang, aktifitas penangkapan tanpa melalui izin dari dinas terkait dalam hal ini
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ), jika dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas
yang bersifat prefentif maka bukan tidak mungkin kondisi karang di lokasi tersebut akan terus
menurun. Menurut Suryanti dkk (2009), kondisi ekosistem di Kepulauan Karimunjawa secara
berangsur-angsur mengalami degradasi yang dilihat berdasarkan penurunan ekosistem
penurunan tutupan ekosistem,salah satunya meliputi ekosistem terumbu karang (Suryanti et
al., 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I.P.G. 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University Press, Denpasar, 475 hlm.
Alwidakdo, A., Z.Azham dan L.Kamarubayana. 2014. Studi pertumbuhan mangrove pada
kegiatan rehabilitassi hutan mangrove di desa tanjong limau kecamatan muara badak
kabupaten kutai kartanegara. Jurnal AGRIFOR., 13(1):11-18.
Aswandy,I dan M.H. Azkab. 2000. Hubungan fauna dengan padang lamun. Oseana.,
25(3):19-24.
Arisandi, A., B.Tamam dan A.Fauzan. 2018. Profil terumbu krang pulau kangean, kabupaten
sumenep, Indonesia, JPIK., 10(2):76-83.
Aldyza, N dan Afkar. 2015. Analisis genus dan penyakit karang di perairan pulau tuan
kecamatan peukan bada kabupaten aceh besar. Jurnal Biotik., 3(2): 107-115.
Abrar,M., I.Bachtiar dan A Budiyanto. 2012, struktur komunitas dan penyakit pada karang di
perairan lembta, nusa tenggara timur. Ilmu kelautan., 17(2):109-118
Danong, M.T., M.T.L. Ruma., T.L. Boro dan K.M. Nono. 2019. Identifikasi jenis-jenis
mangrove di Kawasan ekowisata mangrove kelurhan oesapa barat kota kupang.
Jurnal biotropikal sains., 16(3): 10-25.
Handayani, D.R., Armid dan Emiyarti. 2016. Hubungan kandungan nutrient dalam substrat
terhadap kepadatan lamun di perairan desa lalowaru kecamatan moramo utara. Sapa
laut., 1(2):42-53.
Hambran., R. Linda dan I. Lovadi. 2014. Analisa vegetasi mangrove di desa sebubus
kecamatan paloh kabupaten sambas. Jurnal protobiont., 3(2): 201-208.
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press, Bogor, 247 hlm.
Karimah. 2017. Peran ekosistem hutan mangrove sebagai habitat untuk organisme laut. Jurnal
biologi tropis., 17(2): 51-57.
Lawerissa, Y.A., M.Sangaji dan M.B. Latumahina. 2018. Pengelolaan mangrove berdasarkan
tipe substrat di perairan negeri ihamahu pulau saparua. Jurnal triton., 14(1): 1-9.
Latuconsina, H. 2019. Ekologi perairan tropis. UGM Press, Yogyakarta, 308 hlm.
Manuputty dan Djuwariah. 2009. Panduan metode PIT untuk manyarakat. LIPI, Jakarta, 73
hlm.
Manlea,H., L.Ledheng dan Y.M. Sama. 2016. Factor-faktor penyebab kerusakan ekosistem
terumbu karang di perairan wini kelurahan humusu kecamatan insane utara
kabupaten timur tengah utara. Jurnal Pendidikan Biologi., 1(2):21-23.
Muarif. 2017. Karakteristik ekosistem mangrove di Kawasan pesisir kepulauan natuna. Jurnal
mina sains., 3(2): 44-49.
Noor, Y.R., M. Khazah dan I.N.N.Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. WETLANDS, 227 hlm.
Pontoh, O. 2011. Peranan nelayan terhadap rehabilitasi ekosisten hutan bakau (Mangrove).
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis.,7(2):73-79.
Poedjirahajoe, E., D. Marsono dan F.K. Wardhani. 2017. Penggunaan Principal Component
Analysis Dalam Distribusi Spasial Vegetasi Mangrove d Pantai Utara Pemalang.
Jurnal Ilmu Kehutanan., 11 : 29-42.
Puasa,R.N., A.S. Wantasen dan Mandagi. 2018. Pemetaan keanekaragaman mangrove di
kelurahan tongkaina kecmatan bunaken kota manado. Jurnal ilmiah Platax.,6(1):113-
141.
Pramudji. 2015. Status mangrove di Kawasan pesisir utara jawa barae (karawang dan
Indramayu)dan upaya pengelolaannya. Oseana., 40(2):43-52.
Pratiwi, R. 2010. Asosiasi krustasea di ekosistem padang lamun perairan teluk lampung. Ilmu
kelautan., 15(2):66-76.
Rambu, L.P., F. Runtuboi dan F.A. Loinenak. 2019. Keanekaragaman dan distribusi
mangrove berdasarkan tipe substrat di pesisir pantai kampung syoribo distrik numfor
timur kabupaten biak numfor provinsi papua. Jurnal sumberdaya akuatik indopasifik.
3(1):31-34.
Ruswahyuni dan N.Widyorini. 2014. Analisis laju sedimen di derah padang lamun dengan
tingkat kerapatan berbeda di pulau Panjang jepara. Journal of Maquares., 3(3):73-79.
Rawung, S., F.F. Tilaar dan A.B.Rondonuwu. 2018. Inventarisasi lamun di perairan marine
field station fakults perikanan dan ilmu kelautan UNSRAT kecamatan likupang
timur kabupaten minahasa utara. Jurnal ilmiah platax., 6(2):38-45.
Supriyono, D. 2019. Terumbu Karang. ALPRIN, Semarang, 65hlm.
Suryanti., Supriharyono dan Y.Roslinawati. 2011. Pengaruh kedalaman terhadap morfologi
karang di pulau cemara kecil, taman nasional karimunjawa. Jurnal saintek
perikanan., 7(1):63-69.
Sidik, F., N. Wigati., A. R. Zaky., J.J. Hidayat., H.P. Kadarisman dan F. Islamy. 2018.
Panduan mangrove estuary perncak. BROL, Bali, 64 hlm.
Sjafrie., Hernawan., B.Prayuda., I.H Supriyadi., Iswari., Rahmat., K.Anggaraini.,
S.Rahmawati dan Suyarso.2018. status padang lamun Indonesia. LIPI, 50 hlm.
Sehartian, D.E dan D. Wakano.2017. laju pertumbuhan daun Enhalus acoroides pada substrat
berbeda di perairan pantai desa poka pulau ambon. Jurnal biology science
&education., 6(1):62-68.
Tefarani, R., T. Martuti dan S. Ngabekti. 2019. Keanekaragaman spesies mangrove dan
zonasi di wilayah kelurahan mangunharjo kecamatan tugu kota semarang. Life
Science., 8(1): 41-53.
Tangke, U.2010. Ekosistem Padang lamun. Jurnal ilmiah agribisnis dan perikanan., 3(1):9-29.