Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI LAUT TROPIS

“IDENTIFIKASI JENIS MANGROVE DI JENGGALU KOTA


BENGKULU”

Disusun Oleh :
Nama : I Made Aditya Putra
Npm : E1I022019
Kelompok : 2 (Dua)
Dosen : 1. Mukti Dono Wilopo, S.pi.M.Si.
2. Dr. Yar Johan , S.Pi.,M.Si.
3. Nella Tri Agustini. S. Kel., M.Si.
4. Dewi Purnama S.Pi. M.Sc
Co-Ass : 1. Sigit Widianto Firsta (E1I021024)
2. Benny Pabio Pratama (E1I021023)
3. Ryan Malik Fahrizan (E1I021029)
4. Rany Yolanda (E1I021037)
5. Regita Cahya Mutia (E1I021003)

LABORATORIUM PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Mangrove tumbuh pada pantai-
pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang
terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung.
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga
merupakan habitat berbagaisatwa dan biota perairan. Luas mangrove di dunia diperkirakan
beragam. Di Indonesia luas mangrove beragam. Luas mangrove di Indonesia 2,5 juta
hektar. Pada umumnya mangrove juga dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia
yang banyak di jumpai pada pesisir pantai yaitu pada air payau (Dwihantoro dan Rosyidi,
2021).
Memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia sebesar 19% dari luas ekosistem
mangrove dunia membuat Indonesia memiliki banyak tantangan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove, khususnya ekosistem mangrove PPK. Ekosistem mangrove pulau-
pulau kecil sering kali mendapat berbagai tantangan, antara lain adalah dampak dari
aktivitas manusia yang melakukan pemanfaatan di sekitar ekosistem mangrove dan
dampak dari luar seperti pemanasan global. Selain itu ancaman lain berupa bencana alam
seperti badai, angin topan, banjir pasang, dan tsunami juga turut mempengaruhi eksistensi
dari ekosistem mangrove. Di Indonesia mangrove terluas dapat di jumpai di daerah Irian
jaya sekitar 1.350.600 ha (38%), dan daerah Kalimantan sekitar 978.200 ha (28%),
Sumatra sekitar 573.300 ha (19%), dan daerah-daerah lainnya. Mangrove tumbuh dan
berkembang dengan baik pada pantai yang masih memiliki sungai yang masih terlindungi
(Widiastuti, 2016).
Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah
pantai, hidup sekaligus di daerah daratan dan air laut, antara batas air dan pasang surut.
Ekosistem mangrove berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut
dan angin topan. Dan mangrove memiliki peran sebagai buffer (perisai alam) dan
menstabilkan tanah dengan menangkap memerang kependapan material yang terbawa air
sungai yang kemudian yang trbawa ke tengah oleh arus laut (Indrayanti, 2015).
Pada ekosistem mangrove selain melindungi tepi pantai dari gelombang dan angin
merupakan tempat yang banyak di penuhi juga oleh banyak kehidupan lain pada garis
pantai seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, dan serangga dari banyak
ancaman yang berasal dari laut. Hutan bakau menyediakan berbagai jasa ekosistem.
Sebagai ekosistem tropis dan subtropics, ekosistem ini memainkan peran penting dalam
mendukung masyarakat pesisir lokal dan regional melalui jasa ekosistem (ES) dan dengan
demikian meningkatkan penghidupan masyarakat. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang di penuhi oleh pasang surut air
laut. Mangrove tumbuh pada pantai- pantai yang terlindung atau pantai yang datar,
biasanya di sepanjang si pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang
dilepas pantai yang terlindung. Hutan mangrove memiliki bayak fungsi baik fungsi
ekonomis maupun ekologis. dari segi ekonomis menghasilkan kayu (kayu konstruksi, kayu
bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang) (Asyiawati dan Akliyah,
2014).
Untuk menjaga kestabilan mangrove yang ada, di perlukan usaha pengelolaan dan
pelestarian yang dilakukan sejak dini. Seperti yang ada pada taman wisata alam (TWA)
pantai panjang yang memiliki vegetasi mangrove di dalammya dengan bentuk dan ukuran
yang berbeda-beda dilakukan upaya pengelolaan dengan sistem zonasi yang kemudiaan
dicari data mengenai jenis. Struktur vegetasi mangrove dan data ekologis lainnya (Fikri,
2022). Hutan Mangrove memberikan fungsi fisik ,biologis maupun ekonomis. fungsi fisik
antara lain menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pesisir pantai
dari aborsi, menahan dan menghadapkan lumpur serta menyaring bahan pencemar. Fungsi
biologis Hutan Mangrove adalah sebagai sumber bahan pelapukan yang merupakan
sumber makanan bagi pelakton dan invertabalata kecil, sedangkan fungsi ekonomisnya
adalah sebagai penghasil kayu bakar, bahan bagunan, daerah penagkapan ikan, (Fishing
Graun) sumber bahan pakian, (serat sintesis), bahan menta kertas, alkohol, obat-obatan,dan
sebagai tempat Penelitian.

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktikum


Praktikum ini bertujuan mengidentifikasi nama tumbuhan komunitas phon
mangrove, menentukan kerapatan populasi komunitas pohon mangrove, menentukan
dominasi relatif komonitas mangrove, menentukan frekuensi relatif komonitas mangrove,
melakukan vegetasi komunitas mangrove dan menentukan kondisi hutan mangrove di
kawasan Taman Wisata Alam (TWA) pantai panjang.
Adapun manfaat dari dilaksanakannya praktikum ini yaitu, agar masyarakat lokal
maupun mahasiswa mampu melakukan kegiatan pengamatan dan pemantauan secara
mandiri, dapat dimanfaatkan oeh peneliti, akademis : LSM dan berbagai pemangku
kepentingan lainnya di bidang mangrove.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Mangrove sebagai ekosistem yang sangat sering dijumpai di lingkungan peisir


memegang arti penting dalam kehidupan di kawasan pesisir baik untuk manusia maupun
organisme yang berlindung ataupun bergantung hidup pada tumbuhan yang tahan akan
kisaran salinitas tinggi. Peranan Mangrove sebagai penahan abrasi sangat nyata di daerah
pesisir karena sistem perakaran mangrove yang bersifat unik. Sistem perakaran mangrove
terutama spesies Rhizophora sp. Dapat menahan sedimen dan mengurangi kuatnya
hempasan gelombang laut (Taluke dkk., 2019).
Kata mangrove di duga berasal dari bahasa Melayu mangi-mangi, yaitu nama yang
diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp.). Nama mangrove diberikan kepada
jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pantai atau goba-goba yang menyesuaikan diri
pada keadaan asin. Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat
supra-pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuari yang didominasi oleh
halofita (Haophyta), yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan
beradaptasi tinggi, yang berkaitan tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan
banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Ekosistem
mangrove teridiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Ia juga diartikan
sebagai ekosistem yang mendapat subsidi energi, karena arus pasut yang banyak
membantu dalam menyebarkan zat-zat hara (Akasia dkk., 2021).
Santoso (2019), Mengatakan Mangrove asosiasi adalah tumbuhan yang toleran
terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya
merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true
mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau
komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas,
seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, beberapa polong,
serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh Ipomoea
pescaprae, Sesuvium portucalastrum dan Salicornia arthrocnemum mengikat pasir pantai.
Spesies seperti Porteresia (Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke
arah darat terdapat kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus,
Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam,
tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan
kondisi lingkungan lainnya.
Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem yang terdapat di zona litoral.
Hutan mangrove dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut (abrasi), menjadi penyangga terhadap gelombang, dan berfungsi sebagai tempat
pembenihan udang, ikan, kerang, dan jenis ikan lainnya serta tempat bersarang burung-
burung. Mangrove hanya dapat ditemukan di daerah tropis dan subtropis serta dapat
berkembang dengan baik pada lingkungan seperti pantai yang dangkal, muara sungai, dan
pulau yang terletak pada teluk dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut: jenis tanahnya
berlumpur, berlempung, atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir,
atau pecahan karang. Produktivitas mangrove mulai dari proses dekomposisi serasah
mangrove. Serasah mangrove memiliki peran penting dalam menjaga kualitas air karena
memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap polutan seperti logam berat Pb, Cd, dan
Cu. Produksi serasah mangrove di beberapa daerah di Indonesia seperti Talidendang Besar,
Sumatera Timur menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar 1.267 gr/m2/th,
B. sexangula 1.269 gr/m2/th, dan 1.096 gr/m2/th untuk komunitas B. sexangula-Nypa
(Yona dkk., 2018). Keanekaragaman hayati tumbuhan mangrove Indonesia tersebar di
seluruh wilayahnya, dimana sebagian telah diketahui manfaatnya, sebagian baru diketahui
potensinya dan sebagian lagi belum dikenal sama sekali baik itu jenis, manfaat maupun
potensinya. Salah satu kawasan atau wilayah yang belum terekspos keanekaragaman
hayatinya adalah ekosistem mangrove di bagian Utara Indonesia khususnya Pulau Mianga.
Spesies mangrove sejati yang tumbuh dan berkembang di hutan mangrove Pulau Miangas
adalah Lumnitzera littorea, Bruguiera cylindrica, Rhizophora stylosa, dan Xylocarpus
moluccensis. Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat ketebalan dapat
mempengaruhi kondisi ekologisnya. Penelitian di Lampung menunjukkan bahwa
produktivitas serasah mangrove di perairan Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin
Kabupaten Pasawaran Lampung sebesar 1,5 ton/ha/tahun. Di Indonesia, hutan mangrove
yang terluas di dunia dengan garis pantai mencapai 81.000 km, namun sebagian besar
hutan mangrove saat ini dalam kondisi rusak. Di daerah Bengkulu, hutan mangrove juga
terdapat di beberapa wilayah seperti Teluk Pising Utara Pulau Kabaena Propinsi Sulawesi
Tenggara (Fadhila, 2015).
Ekosistem mangrove di kota Bengkulu, Indonesia, merupakan rumah bagi beragam
spesies, termasuk spesies mangrove sejati, spesies mangrove terkait, serta flora pesisir dan
darat. Ekosistem ini berperan penting dalam melindungi wilayah pesisir dari bencana alam
seperti tsunami, angin topan, dan kenaikan permukaan air laut. Namun, degradasi fungsi
ekologi mangrove sebagai habitat makrozoobentos di Wilayah Pesisir Angke Kapuk,
Jakarta, menyoroti kerentanan ekosistem tersebut terhadap tekanan lingkungan. Meskipun
terdapat tantangan-tantangan tersebut, ekosistem mangrove di Bengkulu relatif sehat,
dengan kualitas air yang baik dan beragam spesies. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memahami interaksi kompleks dalam ekosistem ini dan untuk mengembangkan strategi
konservasi dan restorasi yang efektif (Senoaji dan Hidayat ,2017).
Ekosistem mangrove merupakan tipe vegetasi khas daerah pesisir tropis. Vegetasi
mangrove biasanya tumbuh subur di daerah pantai yang curam dekat muara dan pantai
yang terlindung dari aksi gelombang. Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis,
namun tidak stabil. Ekosistem mangrove merupakan tempat pembibitan satwa muda (tahap
juvenil) hingga dewasa dan juga merupakan tempat bertelur beberapa satwa dan populasi
perairan seperti burung, serangga, ular, udang, ikan dan krustasea dll. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden, 62% responden mengatakan bahwa tambak mereka rusak
akibat abrasi, 23% mengatakan pemukiman penduduk tergenang air pasang dan 15%
mengatakan pendapatan mereka berkurang. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, jelaslah
bahwa tegakan ekosistem mangrove yang rusak dan terdegradasi akan mengakibatkan
hilangnya fungsi fisik, fungsi ekologis dan manfaat fungsional ekonomi bagi masyarakat
sekitar kawasan ekosistem mangrove. Untuk mengembalikan manfaat fungsi ekosistem
mangrove, diperlukan tindakan restorasi melalui penanaman kembali jenis tanaman
mangrove yang sesuai dengan ekosistem tempatnya hidup. Pemilihan varietas tanaman
yang sesuai, berkualitas, waktu tanam yang tepat dan perawatan yang intensif tentu akan
menentukan tingkat keberhasilan upaya pemulihan ekosistem mangrove. Berdasarkan
masukan masyarakat terhadap tingkat keberhasilan restorasi kawasan ekosistem mangrove
di lokasi kajian, 46% responden menyatakan tidak berhasil, 35% menyatakan tidak
berhasil, lebih berhasil dan 19% menyatakan gagal. Salah satu faktor penyebab gagalnya
restorasi ekosistem mangrove antara lain adalah penentuan waktu anggaran yang tidak
tepat, kualitas benih yang rendah, pengejaran areal target penanaman yang terus-menerus
yang mengabaikan kebutuhan ekologis dan kurangnya upaya untuk menjaga ekosistem
mangrove (Fidyansari dkk., 2016).
Substrat Tanah di hutan mangrove selalu basah, mengandung garam, kandungan
oksigen sedikit dan kaya bahan organik. Bahan organik yang terdapat di tanah terutama
berasal dari perombakan sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove sendiri. Serasa
secara perlahan hancur dalam kondisi sedikit asam dengan bantuan bakteri dan jamur
(Lewerissa, 2018). Selain zat organik, tanah mangrove juga mengandung sedimen halus
atau partikel pasir, material kasar seperti potongan-potongan batu dan koral, pecahan kulit
kerang, telur dan siput. Menurut Remijawa (2020), umumnya tanah mangrove membentuk
lumpur berlempung dan warnanya bervariasi dari abu-abu muda sampai hitam. Tanah ini
terbentuk oleh pengendapan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai ditambah oleh
material yang dibawa dari laut pada waktu pasang. Sedimen halus dan bahan terlarut
lainnya yang terbawa oleh aliran sungai dapat mengendap di dasar perairan mangrove
karena melambatnya aliran, berkurangnya turbulensi dan proses koagulasi yang disebabkan
oleh pencampuran dengan air laut.

Limbah industri dan domestik diketahui banyak mengandung bahan organik. Selain
itu, ekosistem mangrove juga merupakan salah satu penyuplai bahan organik terbesar di
kawasan pesisir. Ekosistem mangrove merupakan tempat yang dinamis dimana lumpur dan
tanah secara terus-menerus dibentuk oleh vegetasi, kemudian secara perlahan berubah
menjadi kawasan semi-terrestrial. Bahan organik merupakan salah satu substrat dasar
sedimen mangrove. Bahan organik berasal dari sisa-sisa tanaman mangrove (berupa daun,
batang dan cabang) dan hewan yang menempel pada mangrove yang jatuh ke substrat,
sehingga kawasan menjadi subur. Kualitas air merupakan indikator kualitas air karena zat
organik alami terdapat di dalam air melalui dekomposisi, pelapukan atau dekomposisi
tumbuhan dan hewan yang mati. Selain itu, bahan organik juga bermanfaat sebagai
penyangga kehidupan fitoplankton di perairan, yaitu aliran nutrisi dari sungai ke laut,
sehingga ketersediaan nutrisi di perairan dapat menjadi faktor indeks kesuburan perairan
(Kawamuna dkk., 2017).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat.


Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum ini, yaitu pada waktu : 18
November 2023, pukul : 08.00-12.00 WIB. Yang berlokasi di Taman Wisata Alam (TWA)
Pantai Panjang.
3.2. Alat dan Bahan Praktikum.
3.2.1 Alat Praktikum.

No Nama alat Jumlah Kegunaan


1 1 Meteran 1 Untuk mengukur diameter
pohon
2 Rool meter (100cm) 1 Mengukur luasan area praktek
3 Kamera digital 2 Untuk mengambil foto
4 Buku panduan 1 Untuk membantu
mengidentifikasi tumbuhan
5 Tali rafia 3 Untuk membuat transek 10x10,
5x5 dan 2x2
6 Alat tulis 3 Untuk mencatat hasil
pengamatan
7 Kertas identifikasi di laminating 3 lembar Untuk membantu
mengidentifikasi jenis
mangrove

3.2.2 Bahan Praktikum.


Mangrove : bahan yang akan di identifikasi
3.3. Prosedur Kerja.
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengunjungi stasiun mangrove yang telah di tentukan
3. Memasang transek 10x10, 5x5, dan 2x2 pada stasiun mangrove yang telah di tentukan
4. Mengidentifikasi jenis mangrove yang ada di dalam transek
5. Mengamati jenis substrat dan kondisi lingkungan serta biota yang ada di setiap stasiun
6. Mengambil foto mangrove secara keseluruhan dan bagian-bagiannya
7. Mengidentifikasi sample (bagian tumbuhan mangrove)
8. Menghitung index keragaman, kelimpahan dan homogenitas
9. Mencatat hasil identifikasi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
3.1.1 Lokasi pertama dekat pantai
Jenis Mangrove Ukuran Klasifikasi
Rhizopora muaronata Tinggi : 25 cm Kingdom : Plantae
Divisi : Magnollophyta
Transek 1m x 1m Kelas : Magnollophyta
Ordo : Mytales
Famili : Rhizoporaceae
Genus : Rhizopora
Spesies : Rhizopora
muaronata
Rhizopora muaronata Tinggi : 24 cm Kingdom : Plantae
Divisi : Magnollophyta
Transek 1m x 1m Kelas : Magnollophyta
Ordo : Mytales
Famili : Rhizoporaceae
Genus : Rhizopora
Spesies : Rhizopora
muaronata
Rhizopora apiculata Tinggi : 2,24 m Kingdom : Plantae
Diameter : 7/3,14 : 2,22 cm Divisi : Magnollophyta
Transek 5m x 5m Lingkaran : 7 cm Kelas : Magnollophyta
Ordo : Mytales
Famili : Rhizoporaceae
Genus : Rhizopora
Spesies : Rhizopora
apiculata
Rhizopora apiculata Tinggi : 2,36 m Kingdom : Plantae
Diameter : 9/3,14 : 2,86 cm Divisi : Magnollophyta
Transek 5m x 5m Lingkaran : 9 cm Kelas : Magnollophyta
Ordo : Mytales
Famili : Rhizoporaceae
Genus : Rhizopora
Spesies : Rhizopora
apiculata
Rhizopora apiculata Tinggi : 2,36 m Kingdom : Plantae
Diameter : 7/3,14 : 2,22 cm Divisi : Magnollophyta
Transek 5m x 5m Lingkaran : 7 cm Kelas : Magnollophyta
Ordo : Mytales
Famili : Rhizoporaceae
Genus : Rhizopora
Spesies : Rhizopora
apiculata
Sonneratia alba Tinggi : 5,5 m Kingdom : Plantae
Diameter : 15/3,14 : 4,77 Divisi : Magnollophyta
Transek 1m x 1m cm Kelas : Magnollophyta
Lingkaran : 15 cm Ordo : Mytales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneraia alba
Sonneratia alba Tinggi : 4,5 m Kingdom : Plantae
Diameter : 14/3,14 : 4,45 Divisi : Magnollophyta
Transek 1m x 1m cm Kelas : Magnollophyta
Lingkaran : 14 cm Ordo : Mytales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneraia alba
Sonneratia alba Tinggi : 6 m Kingdom : Plantae
Diameter : 13/3,14 : 4,14 Divisi : Magnollophyta
Transek 10m x 10m cm Kelas : Magnollophyta
Lingkaran : 13 cm Ordo : Mytales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneraia alba
Sonneratia alba Tinggi : 6,2 m Kingdom : Plantae
Diameter : 12,5/3,14 : 3,98 Divisi : Magnollophyta
Transek 10m x 10m cm Kelas : Magnollophyta
Lingkaran : 12,5 cm Ordo : Mytales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneraia alba

4.2 Pembahasan
4.2.1. Keadaan Umum Lokasi Praktikum

Dari praktikum yang kami lakukan di hasilkan pada lokasi titik satu memiliki
substrat lumpur sedikit berpasir dan pada lokasi titik kedua di dapat substrat pasir
berlumpur. Berdasarkan hasil penelitian dari Piranto (2019), bahwa karakteristik sedimen
sangat menentukan penyebaran mangrove, dimana Rhizophora mucronata, Rhizopora
stylosa, Ceriops tagal, Sonneratia alba dan Avicennia marina dan banyak ditemukan pada
tekstur sedimen pasir lanauan, Avicennia marina, Rhizopora stylosa dan Acanthus
illicifolius ditemukan pada sedimen pasir lanau berlempung, dan Avicennia alba dicirikan
oleh sedimen lanau berpasir dan lanau pasir berlempung. Menurut Arifin (2019), walaupun
terjadi pengendapan tanah di hutan mangrove yang meninggikan lapisan lumpur, tanah
tersebut tidaklah konstan karena pengaruh pasang surut air laut. Aliran pasang surung laut
ini mempengaruhi terdamparnya bibit-bibit tumbuhan untuk tumbuh, hal ini ditunjang
adanya system perakaran jangkung (still root) yang menggantung dari kebanyakan
mangrove ini akan membantu pertumbuhan semai.
Kondisi vegetasi mangrove berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi yang
lainnya, ditinjau dari karakteristik lokasi dan adanya aktivitas manusia yang berhubungan
baik secara langsung maupun tidak dengan vegetasi mangrove yang ada disekitarnya.
kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah sedimentasi, erosi laut dan
sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat
eksploitasi. Bahwa tinggi pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas
air, drainase air dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati
permukaan dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian
vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan
air jauh dari permukaan (Mishbach, 2018).
Menurut Syahrera (2016) banyaknya aktivitas dan kegiatan manusia dalam
mengeksploitasi sumber daya pesisir secara berlebihan akan menyebabkan terganggunya
ekosistem dan kerusakan lingkungan pada wilayah tersebut. Di beberapa daerah wilayah
pesisir di Indonesia cukup terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove. Hal ini
dikarenakan adanya tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan dan pembangunan yang lebih menekankan
pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti
konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota pantai (pemukiman), perluasan
tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali. Ario (2016)
Menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia sudah tergolong cukup
parah yaitu sudah mencapai 68%, bahkan di Pantura Jawa diperkirakan luas mangrovenya
hanya tinggal 10% saja. Oleh sebab itu, konservasi ekosistem mangrove merupakan salah
satu upaya pelestarian ekosistem lingkungan pesisir yang penting, dimana dalam
komponen ada 2 hal penting yaitu rehabilitasi dan perlindungan. Untuk keberhasilan
rehabilitasi mangrove tersebut perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui kondisi
tapak dalam upaya pra rehabilitasi sebagai langkah awal dalam upaya rehabilitasi yang
berkelanjutan dan terpadu terciptanya ekosistem mangrove yang lestari di masa yang akan
datang.
4.2.2 Komposisi Jenis mangrove

Mangrove merupakan suatu tipe ekosistem pantai yang kaya akan keanekaragaman
hayati, terutama di daerah tropis dan subtropis. Komposisi jenis mangrove sangat beragam
dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti salinitas air, tipe tanah, dan tingkat
pasang-surut. Beberapa jenis mangrove yang umum ditemukan meliputi Rhizophora,
Avicennia, dan Sonneratia. Rhizophora cenderung mendominasi di daerah pasang tinggi,
dengan akar tunjangnya yang khas, sementara Avicennia sering ditemukan di daerah
pasang rendah dengan akar napas yang tinggi. Setiap jenis mangrove memiliki peran
ekologisnya sendiri, membentuk habitat yang penting bagi berbagai organisme laut, serta
memberikan berbagai manfaat ekosistem, seperti melindungi garis pantai dari abrasi dan
menyediakan tempat bertelur bagi ikan. Pemahaman mendalam terhadap komposisi jenis
mangrove sangat penting dalam upaya konservasi dan manajemen berkelanjutan ekosistem
ini (Vitasari, 2015). Umayah (2016) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab
kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang
memperhatikan factor lingkungan dan penebangan yang berlebihan.

Komposisi jenis mangrove yang yang terdapat di jenggalu kota Bengkulu tiga jenis
mangrove sejati yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba.
Nilai kerapatan jenis mangrove dikategorikan jarang dan nilai penutupan jenisnya kategori
baik. Banyaknya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata pada stasiun
penelitian dikarenakan perairan di jenggalu kota Bengkulu memiliki substrat pasir
berlumpur yang sangat mendukung pertumbuhan mangrove. Menurut Farhaby (2017)
mengatakan bahwa Rhizophora apiculata banyak ditemukan pada substrat pasir berlumpur
dan menyukai daerah yang cenderun ke muara. Rhizophora mucronate merupakan salah
satu mangrove yang mampu beradaptasi pada substrat yang lebih keras dan berpasir serta
memiliki persebaran yang paling luas. Rhizophora mucronata tumbuh optimal pada daerah
yang tergenang air pasang surut dan memiliki tanah yang kaya akan humus.

Jenis Rhizophora mucronata mempunyai peranan yang tinggi dilokasi penelitian


karena mangrove jenis ini memiliki karakteristik dan morfologi yang mendukung dalam
hal bersaing dengan jenis lainnya dan dapat dikatakan kondisi perairan di lokasi penelitian
baik untuk pertumbuhan mangrove. Keadaan ekosistem mangrove seperti ini
mencerminkan bahwa ekosistem hutan mangrove pada lokasi penelitian belum banyak
mengalami perubahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia, walaupun ada sebagian
masyarakat memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu pada alat
tangkap sero, kayu bakar, dan bangunan rumah. Kariada (2014) menjelaskan bahwa area
mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di area
tersebut dalam kondisi baik dan belum mengalami perubahan, sebaliknya apabila kondisi
ini berkurang atau berubah menjadi daratan karena sedimentasi dan rusak karena ulah
manusia, maka perlu dilakukan rehabilitasi agar keseimbangan ekosistem terjaga.
Berdasarkan hasil pengamatan, hutan mangrove di jenggalu kota Bengkulu ini
memiliki 10 jenis mangrove, yang terdiri atas 7 jenis mangrove mayor (6 jenis berupa
pohon dan permudaannya, serta 1 jenis berupa palem-paleman) dan 3 jenis mangrove
minor (2 jenis berupa pohon dan permudaannya, serta 1 jenis berupa tumbuhan bawah).
Tefarani (2019), mengatakan mangrove mayor merupakan tumbuhan yang sepenuhnya
hidup pada ekosistem mangrove di pasang surut dan tidak tumbuh di ekosistem lain, serta
beradaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup dalam lingkungan mangrove.
Adapun mangrove minor merupakan tumbuhan yang hidup di tepian ekosistem mangrove
dan tidak mampu membentuk komponen utama vegetasi yang mencolok. Kusmana (2017),
meyatakan Mangrove minor merujuk pada jenis mangrove yang memiliki kehadiran dan
kontribusi yang relatif kecil dalam suatu ekosistem mangrove. Meskipun mungkin
memiliki peran yang terlihat kurang dominan, mangrove minor tetaplah penting dalam
menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem pantai. Keanekaragaman jenis
mangrove, termasuk yang dianggap minor, menambah kompleksitas struktur ekosistem,
memberikan habitat bagi berbagai organisme, dan mendukung berbagai fungsi ekologis,
seperti perlindungan pantai dari erosi dan tempat berlindung bagi ikan muda.
4.2.3 Kerapatan Jenis

Menurut Buwono (2017) kerapatan jenis mangrove merupakan faktor kunci dalam
memahami dinamika ekosistem pantai. Studi tersebut mencatat bahwa tingkat kerapatan
jenis mangrove dapat bervariasi secara signifikan di berbagai lokasi tergantung pada
sejumlah faktor, termasuk salinitas air, kecepatan arus, dan substrat tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daerah dengan kerapatan jenis mangrove yang tinggi cenderung
mendukung keanekaragaman hayati yang lebih besar, dengan banyaknya organisme yang
teradaptasi dan bergantung pada berbagai spesies mangrove. Selain itu, jurnal tersebut
menyoroti pentingnya memahami interaksi antarjenis mangrove dalam mencapai
kestabilan ekosistem. Dalam konteks ini, kerapatan jenis mangrove dapat memberikan
petunjuk yang berharga untuk upaya konservasi dan rehabilitasi mangrove yang
berorientasi pada keberlanjutan ekologis.
Jenis mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi terdapat pada kategori pohon,
sedangkan kerapatan terendah terdapat pada tingkat pancang. Tingginya kerapatan pada
kategori pohon menyebabkan cahaya matahari yang masuk tidak dapat menyinari lahan
hutan mangove. Hal ini membuat semai dan pancang tidak terlalu banyak tumbuh dengan
baik. Hasil sesuai dengan pendapat Syahrial (2020) bahwa rendahnya kerapatan semai
disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan oleh semai untuk berfotosintesis terhalang oleh
pohon, sehingga semai tidak dapat tumbuh dengan baik. Kerapatan jenis Rhizophora
mucronata untuk semua kategori pada lokasi penelitian tergolong rapat dengan merujuk
pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 bahwa kriteria
baku mutu kerapatan mangrove, kerapatan padat ≥ 1.500 ind/Ha, sedang ≥ 1.000 - 1.500
ind/Ha dan jarang < 1.000 ind/Ha. Tingginya kerapatan jenis mangrove menunjukkan
banyaknya tegakan pohon yang berada dalam kawasan tersebut. Rhizophora mucronata
memiliki kerapatan mangrove tertinggi pada semua kategori. Kondisi ini disebabkan
karena jenis Rhizophora mucronata ini merupakan jenis mangrove yang pertumbuhannya
toleran terhadap kondisi lingkungan, terutama terhadap kondisi substrat, serta penyebaran
bijinya yang sangat luas. Wee (2014) Menyatakan bahwa jenis Rhizophora mucronata
merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan
(seperti substrat, pasang surut, salinitas dan pasokan nutrien), dapat menyebar luas dan
dapat tumbuh tegak pada berbagai tempat.
Jenis Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif tertinggi karena kondisi
substrat yang umumnya lumpur mengandung bahan organik sangat cocok untuk
pertumbuhan jenisnya, selain itu jenis ini merupakan tumbuhan perintis atau pioner. Hal ini
sesuai pendapat Manilal (2015), bahwa ketergantungan jenis tumbuhan pioner terhadap
jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora yaitu merupakan ciri umum untuk tanah
berlumpur yang bercampur dengan bahan organik Jenis Rhizophora mucronata memiliki
nilai frekuensi tertinggi karena kondisi substrat sangat cocok untuk pertumbuhannya,
sehingga mangrove jenis ini menyebar merata pada setiap stasiun pengamatan. Selain itu
Rhizophora mucronata termasuk jenis yang memiliki benih yang dapat berkecambah pada
waktu masih berada pada induknya sangat menunjang pada proses penyebaran yang luas
dari jenis lainnya. Pada tanah lumpur dan lembek ditumbuhi oleh jenis mangrove
Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Lumnitzera littorea dengan penyebaran
yang merata dan luas, sedangkan pada wilayah pesisir yang berpasir dan berombak besar
pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Kumari (2015) juga berpendapat bahwa
daur hidup yang khusus dari jenis bakau (Rhizophora sp) dengan benih yang dapat
berkecambah pada waktu masih berada pada tumbuhan induk sangat menunjang proses
distribusi yang luas dari jenis ini pada ekosistem Mangrove Jenis Rhizophora mucronata
memiliki nilai INP tertinggi pada semua kategori yaitu kategori pohon, pancang dan semai.
Hasil ini mencerminkan bahwa hutan mangrove pada lokasi penelitian dalam kondisi baik.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum kali ini adalah jenis mangrove yang ditemukan
adalah Rhizophora apiculate, Rhizophora mucronata, dan Sonerita alba. Serta jenis
Ekosistem mangrove di Muara Jenggalu memiliki nilai kerapatan jenis tingkat pohon
dengan kategori sedang. Nilai kerapatan tertinggi jenis tertinggi untuk tingkat pohon,
anakan dan semai yaitu Rhizophora apiculate

5.2 Saran
Perlu adanya pengelolaan tambah untuk hutan mangrove berkelanjutan dan demi
kelestariannya. Serta perlu untuk menanam lagi pada lokasi yang kurang rapat. Mengingat
provinsi Bengkulu adalah pesisir yang memiliki garis pantai yang cukup panjang dengan
adanya tambahan penanaman mangrove dapat berguna untuk manahan erosi jika terjadi
tsunami.
DAFTAR PUSTAKA

Akasia, A. I., Putra, I. D. N. N., dan Putra, I. N. G. 2021. Skrining fitokimia ekstrak daun
mangrove Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata yang dikoleksi dari
kawasan mangrove Desa Tuban, Bali. Journal of Marine Research and
Technology. 4(1), 16-22.
Arifin, M. Y., Soenardjo, N., dan Suryono, C. A. 2019. Hubungan pengendapan suspended
sedimen dengan kerapatan mangrove pada Perairan Romokalisari, Surabaya.
Journal of Marine Research. 8(4): 355-360.
Ario, R., Subardjo, P., dan Handoyo, G. 2016. Analisis kerusakan mangrove di pusat
restorasi dan pembelajaran mangrove (PRPM), Kota Pekalongan. Jurnal Kelautan
Tropis. 18(2).
Asyiawati, Y., dan Akliyah, L. S. 2014. Identifikasi dampak perubahan fungsi ekosistem
pesisir terhadap lingkungan di wilayah pesisir kecamatan muaragembong. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. 14(1).
Buwono, Y. R. 2017. Identifikasi dan kerapatan ekosistem mangrove di kawasan Teluk
Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan. 8(1), 32-37.
Dwihantoro, P., dan Rosyidi, M. I. 2021. Kampanye Kesemat dalam Pelestarian Hutan
Mangrove. Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 12(2), 124-
139.
Fadhila, H., Saputra, S. W., & Wijayanto, D 2015. Nilai manfaat ekonomi ekosistem
mangrove di desa kartika jaya kecamatan patebon kabupaten kendal jawa tengah.
Management of Aquatic Resources Journal (MAQUARES). 4(3), 180-187.
Farhaby, A. M. 2017. Kajian Karakteristik Biometrika Kepiting Bakau (Scylla sp) di
Kabupaten Pemalang, Studi kasus di Desa Mojo Kecamatan Ulujami. Akuatik
Jurnal Sumberdaya Perairan.11(1), 48–53
Fidyansari, D., dan Hastuty, S. 2016. Valuasi ekonomi ekosistem mangrove di desa
Barowa Kecamatan Bua Kabupaten Luwu. Perbal: Jurnal Pertanian
Berkelanjutan. 4(3) : 25-35.
Fikri, f., hamzari, h., umar, s., dan setiawan, b. 2022. Engetahuan masyarakat tentang
fungsi ekosistem hutan mangrove di desa kasimbar utara kecamatan kasimbar
kabupaten parigi moutong. Jurnal warta rimba. 10(1), 52-59.
Indrayanti, M. D., Fahrudin, A., dan Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian jasa ekosistem
mangrove di teluk Blanakan kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
20(2), 91-96.
Kariada, N. T., dan Irsadi, A. 2014. Peranan mangrove sebagai biofilter pencemaran air
wilayah tambak bandeng Tapak, Semarang (Role of mangrove as water pollution
biofilter in milkfish pond, Tapak, Semarang). Jurnal manusia dan lingkungan.
21(2), 188-194.
Kawamuna, A., Suprayogi, A., dan Wijaya, A. P. 2017. Analisis kesehatan hutan
mangrove berdasarkan metode klasifikasi NDVI pada citra Sentinel-2 (Studi
kasus: Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Geodesi Undip. 6(1):
277-284.
Kumari, C. S., Yasmin, N., Hussain, M. R., dan Babuselvam, M. 2015. Invitro anti-
inflammatory and anti-artheritic property of Rhizopora mucronata leaves.
International Journal of Pharma Sciences and Research. 6(3), 482-485.
Kusmana, C., dan Chaniago, Z. A. 2017. Kesesuaian Lahan Jenis Pohon Mangrove Di
Bulaksetra, Pangandaran Jawa Barat Land Suitability Mangrove Trees Species in
Bulaksetra, Pangandaran West Java. Journal of Tropical Silviculture. 8(1), 48-54.
Lewerissa, Y. A., Sangaji, M., dan Latumahina, M. B. 2018. Pengelolaan mangrove
berdasarkan tipe substrat di perairan Negeri Ihamahu Pulau Saparua. TRITON:
Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. 14(1): 1-9.
Manilal, A., Merdekios, B., Idhayadhulla, A., Muthukumar, C., dan Melkie, M. 2015. An
in vitro antagonistic efficacy validation of Rhizophora mucronata. Asian Pacific
Journal of Tropical Disease. 5(1), 28-32.
Mishbach, I., Pribadi, R., dan Santoso, A. 2018. Kajian Kawasan Rehabilitasi Mangrove
Di Desa Ketitang Wetan Dan Desa Raci Kecamatan Batangan Kabupaten Pati.
Journal of Marine Research. 7(1), 69-78.
Piranto, D., Riyantini, I., Agung, M. U. K., dan Prihadi, D. J. 2019. Karakteristik sedimen
dan pengaruhnya terhadap kelimpahan gastropoda pada ekosistem mangrove di
Pulau Pramuka. Jurnal Perikanan Kelautan. 10(1).
Remijawa, E. S., Rupidara, A. D., Ngginak, J., dan Radjasa, O. K. 2020. Isolasi dan seleksi
bakteri penghasil enzim ekstraseluler pada tanah mangrove di pantai noelbaki.
Jurnal Enggano. 5(2): 164-180.
Santoso, D., Yamin, M., dan Makhrus, M. 2019. Penyuluhan Tentang Mitigasi Bencana
Tsunami Berbasis Hutan Mangrove Di Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak
Lombok Timur. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA. 2(1).
Senoaji, G., dan Hidayat, M. F. 2017. Peranan ekosistem mangrove di Kota Pesisir
Bengkulu dalam mitigasi pemanasan global melalui penyimpanan karbon (The
role of mangrove ecosystem in the coastal city of Bengkulu in mitigating global
warming through carbon sequestration). Jurnal manusia dan lingkungan, 23(3),
327-333.
Syahrera, B., Purnama, D., dan Zamdial, Z. 2016. Asosiasi Kelimpahan Kepiting Bakau
Dengan Keberadaan Jenis Vegetasi Mangrove Kelurahan Sumber Jaya Kecamatan
Kampung Melayu Kota Bengkulu. Jurnal Enggano. 1(2), 47-55.
Syahrial, S., Saleky, D., Samad, A. P. A., dan Tasabaramo, I. A. 2020. Ekologi Perairan
Pulau Tunda Serang Banten: Keadaan Umum Hutan Mangrove. Jurnal
Sumberdaya Akuatik Indopasifik. 4(1), 53-68.
Taluke, D., Lakat, R. S., dan Sembel, A. 2019. Analisis preferensi masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir pantai kecamatan loloda kabupaten
halmahera barat. Spasial. 6(2), 531-540.
Tefarani, R., Martuti, N. K. T., dan Ngabekti, S. 2019. Keanekaragaman spesies mangrove
dan zonasi di wilayah Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu Kota Semarang.
Life Science. 8(1), 41-53.
Umayah, S., Gunawan, H., dan Isda, M. N. 2016. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove
di Desa Teluk Belitung Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti.
Jurnal Riau Biologia. 1(1), 24-30.
Vitasari, M. 2015. Kerentanan ekosistem mangrove terhadap ancaman gelombang
ektrim/abrasi di kawasan konservasi Pulau Dua Banten. Bioedukasi: Jurnal
Pendidikan Biologi. 8(2), 33-36.
Wee, A. K., Takayama, K., Asakawa, T., Thompson, B., Onrizal, Sungkaew, S., ... and
Webb, E. L. 2014. Oceanic currents, not land masses, maintain the genetic
structure of the mangrove Rhizophora mucronata Lam.(Rhizophoraceae) in
Southeast Asia. Journal of biogeography. 41(5), 954-964.
Widiastuti, M. M., Ruata, N. N., dan Arifin, T. 2016. Valuasi ekonomi ekosistem
mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Merauke. Jurnal Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan. 11(2), 147-159.
Yona, D., Hidayati, N., Sari, S. H. J., Amar, I. N., dan Sesanty, K. W. 2018. Teknik
Pembibitan Dan Penanaman Mangrove Di Banyuurip Mangrove Center, Desa
Banyuurip, Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik. J-Dinamika: Jurnal
Pengabdian Masyarakat. 3(1).

LAMPIRAN

Mengukur diameter Akar mangrove daun mangrove akar mangrove


batang
Bunga mangrove Substrat batang mangrove

Suasana di area pengukuran suhu pengukuran pH pengukuran salinitas


Praktikum

Anda mungkin juga menyukai