Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM KORALOGI

“IDENTIFIKASI TERUMBU KARANG DI PULAU TIKUS”

Disusun Oleh :
Nama : Titin Kartika
Npm : E1I022048
Kelompok : 3 (Dua)
Dosen : 1. Mukti Dono Wilopo, S.pi.M.Si.
2. Dr. Yar Johan , S.Pi.,M.Si.
3. Nella Tri Agustini. S. Kel., M.Si.
4. Ari Anggoro, S.Pi., M.Si
Co-Ass : 1. Afriliati (E1I021001)
2. Rany Yollanda (E1I021037)
3. Zulmansyah (E1I021038)
4. Jaka Ramadhan (E1I021040)

LABORATORIUM PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara dua ekosistem yaitu ekosistem
darat dan laut. Keberadaan wilayah pesisir menunjukkan besarnya potensi sumber daya
alam dan pembentukan karakteristik wilayah yang dinamis dan khas. Karakteristik wilayah
yang dinamis dan khas akan membawa dampak pembentukan karakteristik sumber daya
manusia dan kelembagaan sosial yang ada disekitarnya. wilayah pesisir memiliki
konsentrasi-konsentrasi keunggulan wilayah yang tidak dimiliki wilayah lain yaitu
keunggulan sumber daya alam (seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun),
karakteristik kultural yang khas dengan ciri egaliter, inward looking dan dinamis serta
adanya keterkaitan hubungan masyarakat dengan sumber daya wilayah pesisir. Wilayah
pesisir atau lingkungan pesisir terdiri dari ekosistem alamiah dan buatan. Ekosistem
alamiah antara lain terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun, Pantai berpasir,
eustaria, laguna dan delta (Assuyuti, 2018).

Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km2 dan mempunyai
keanekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. tetapi, aktivitas manusia
dalam memanfaatkan potensi sumber daya terumbu karang dan lingkungan di sekitarnya
sering tumpang tindih dan bahkan di antara aktivitas tersebut dapat menyebabkan
kerusakan terumbu karang yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penurunan
nilai ekonomi dari sumber daya tersebut. Ekosistem terumbu karang memiliki manfaat
ekologi yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya.
Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya
dari ancaman erosi akibat gelombang yang besar dan sebagai penyedia sumber daya ikan.
wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alamnya, baik sumber daya alam dapat pulih (seperti perikanan, hutan
mangrove dan terumbu karang), maupun sumber daya alam yang tidak dapat pulih (seperti
minyak bumi dan gas, serta mineral atau bahan tambang lainnya) (Ikhsan dan Syahrival,
2014).

Terumbu Karang adalah suatu ekositem yang bersimbiosis dengan kelompok hewan
anggota filum Cnidaria yang dapat menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat.
Karang dapat berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan
koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau
kolarit dalam kerangka yang masif. Terumbu karang dikenal sebagai ekosistem yang
sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman biota tinggi seperti moluska,
crustacea dan ikan karang. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu kesatuan
komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trofik, dimana
masing-masing komponen dalam komunitas terumbu karang ini mempunyai
ketergantungan yang erat satu sama lain. Terumbu karang dikenal sebagai suatu komponen
yang memiliki fungsi penting dalam ekosistemnya. Terumbu karang tidak terlepas dari
peranan ekologisnya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan
(nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran
(rearing ground) bagi biota ekonomis penting (Ramadhan dkk., 2017).

Identifikasi karang merupakan tantangan yang cukup berat, diantaranya adalah kunci
identifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan spesies dari genus satu dengan yang
lain tidak bisa menggunakan standar yang sama. Tantangan berikutnya adalah adanya
plastisitas fenotip pada karang, semua scleractinian coral akan sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Perbedaan kedalaman dari spesies yang sama akan membentuk fariasi
morfologi terhadap koralit dan bentuk pertumbuhan karang. Kecilnya ukuran polip,
sehingga diperlukan alat bantu untuk mengidentifikasi suatu karang (Nugroho, 2017).
Identifikasi jenis karang di kawasan Perairan Pulau Tikus, Kota Bengkulu belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan mengingat fungsi
dan manfaat terumbu karang, seperti yang diketahui salah satu fungsi terumbu karang
secara fisik yaitu sebagai salah satu ekosistem penyeimbang di laut dan sebagai peredam
abrasi suatu perairan dan secara ekologi juga berperan sebagai spawing ground, nursery
ground dan feeding ground pada ikan dan biota lainnya serta pentingnya mengetahui jenis
karang apa saja yang hidup di kawasan tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui jenis-jenis karang yang ada di perairan pulau Tikus, Kota Bengkulu, dan
manfaat diharapkan mampu memberikan data dan informasi terkait jenis- jenis karang
yang ada di perairan Pulau Tikus, Kota Bengkulu untuk melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem terumbu karang berkelanjutan bagi masyarakat dan instansi terkait.

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktikum


Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui jenis-jenis dan kondisi terumbu karang
yang ada di pulau tikus. Untuk mengetahui kondisi masing-masing jenis, menjadi masukan
bagi pemerintah dan masyarakat setempat dan menentukan kebijakan pembangunan, sector
perikanan pantai dan dapat memberikan pengertian tentang peranan terumbu karang dalam
perikanan pantai serta mendapat bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah
dan masyarakat dalam menentukan kebijakan pembangunan khusunya dalam sektor
perikanan pantai dan dapat memberikan pengertian tentang peranan terumbu karang serta
dapat sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan binatang karang (reefcoral),


yang hidup di dasar perairan dan menghasilkan bahan kapur CaCO3. Terumbu karang
makam dengan dua cara pertama dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap
plankton dan kedua melalui alga kecil (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang.
Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang, biasanya mereka di temukan
dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip,
energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip. Zooxanthellae menerima nutrisi-
nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya
(energi dan nutrisi) kepada karang. Karang merupakan Pembangunan utama dalam
ekosistem terumbu karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masiff yang penting
dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria,
Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria= Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur dan organisme- organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Komunitas
karang terbatas keberadaan pada perairan dangkal, karena ganggang simbiotik
membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis. Kebutuhan dan adaptasi sinar dalam koral
seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan fotosintesis
dapat dipertahankan hingga di bawah kedalaman 20 meter dalam kondisi perairan bersih
(Van, 2017).

Karang merupakan kumpulan dari berjuta juta hewan polip yang menghasilkan
bahan kapur (CaCO3). Sebagian besar karang adalah binatang-binatang kecil disebut Polip
yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Masing-masing polip memiliki kerangka
luar yang disebut koralit. Sebuah koralit umumnya mempunyai septa yang menyerupai
sekat- sekat. Polip karang terdiri dari usus yang disebut filamen mesentri, tentakel yang
memiliki sel nematosis (penyengat) yang berfungsi melumpuhkan musuhnya. Tubuh polip
karang terdiri dari dua lapisan yaitu ectoderm dan endoderm. Diantara kedua lapisan
tersebut terdapat jaringan yang berbentuk seperti jelly yang disebut mesogela. Didalam
lapisan endoderm tubuh polip hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu zooxanthellae.
Zooxanthellae adalah tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis, hasil metabolisme
dan O2 (oksigen) akan diberikan kepada polip karang. Sedangkan polip karang
memberikan tempat hidup dan hasil respirasi CO2 kepada alga zooxanthellae (Barus,
2018).
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis dengan
zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini
mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya endo- simbiosis sejak
anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau melalui infeksi dari lepasan
planula yang keluar tanpa pembekalan. Apabila teori pertama yang terjadi maka
bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara
turun temurun meng- alami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima
kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa
pada kenyataannya terdapat endosimbiosis yang perannya besar dalam mekanisme
kehidupan fungsional karang. Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara
zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu
kejadian yang diawali oleh bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang
tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik.
Bertemunya keduanya mendapat peluang yang besar oleh adanya kondisi dinamik air laut
(Muqsit dkk., 2016).

Zooxanthella adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis pada


hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthellae berasal
dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2
permukaan karang, ada yang mengatakan antara 1-5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak
terikat induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis dalam asosiasi ini, karang
mendapatkan sejumlah keuntungan berupa hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino
danoksigen. mempercepat proses kalsifikasi melalui skema: fotosintesis akan menaikkan
pH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak kemudian dengan pengambilan ion P
untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor klasifikasi. Bagi
zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat
anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh Bytell menemukan bahwa untuk
zooxanthellae dalam Acropora palmata suplai nitrogen anorganik 70% didapat dari
karang. Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil
anorganik diambil dari perairan (Tanaka, 2014).
Karang (Scleractinia) dianggap sebagai batu atau tumbuhan walaupun sesungguhnya
mereka merupakan hewan. Karang itu sendiri merupakan salah satu kelompok
Coelenterata berbentuk polyp yaitu semacam bentuk tabung dengan mulut di bagian atas
yang dikelilingi oleh tentakel. Secara morfologis, binatang ini berbentuk mirip satu dengan
lainnya (species); pembedanya adalah keragaman rangka yang dibentukkannya. Oleh sebab
itu, taksonomi karang didasarkan kepada rangka bentukannya. Karena kemampuannya ini
maka karang bersifat menetap (sessile). Dengan tipe hidup ini membawa konsekuensi
terhadap sifat konservatif dalam kehidupannya. Salah satu sifat konservatif dari biota
karang adalah adanya proses simbiosis dengan zooxanthellae. Proses terbentuknya
simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak
awalnya, yakni apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai
dilepaskan oleh induknya atau melalui infeksi dari lepasan planula yang keluar tanpa
pembekalan (Ampou, 2015). Apabila teori pertama yang terjadi maka bagaimanapun juga
awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara turun temurun
mengalami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima kebenarannya. Di sini
tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya
terdapat endosimbiosis yang perannya besar dalam mekanisme kehidupan fungsional
karang.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks, khas, dan unik
yang ditandai oleh tingginya keanekaragaman jenis biota penghuninya. Hubungan antar
komponen biotik dan abiotik sangat erat, sehingga eksploitasi terhadap suatu jenis biota
dapat mengakibatkan perubahan populasi biota lainya. Penyebab utama kerusakan
ekosistem terumbu karang secara garis besar disebabkan oleh faktor alam dan faktor
manusia. Kabupaten Maluku Tenggara memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang menjadi
unggulan, namun pada saat ini mulai mengalami kerusakan akibat aktifitas manusia yang
kurang terkendali. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kerusakan ekosistem terumbu
karang di Pantai Ngurbloat Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara
menganalisis faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kerusakan ekosistem terumbu
karang di daerah penelitian dan merumuskan kebijakan penanganan kerusakan eskositem
terumbu karang di daereah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei. Analisis strategi pengelolaan lingkungan dapat disusun berdasarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 04 Tahun 2001 mengenai Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang. Hasil penelitian menunjukkan kondisi terumbu karang berada
pada kondisi sangat rusak (LP I), rusak (LPII) dan baik (LP III). Kerusakan tersebut
diakibatkan karena antropogenik (kegiatan manusia) dan non-antropogenik (perubahan
ekologis, faktor alam), antara lain: penangkapan ikan memakai bom ikan; panah; jaring;
bubu; pengambilan karang untuk bahan bangunan dan hiasan akuarium; dan hiasan
dinding. Rencana strategis pengelolaan terumbu karang di perairan Pantai Ngurbloat
diusulkan sebagai berkut penetapan zonasi kawasan terumbu karang sesuai daya dukung
lingkungan, penetapan kegiatan atau usaha yang boleh atau tidak boleh dilakukan pada
setiap zona yang telah ditetapkan, pengendalian penangkapan ikan dengan alat tangkap
yang ramah lingkungan (tidak merusak terumbu karang dan lingkungan) serta dilakukan
pada lokasi dan musim (waktu) yang tepat, meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat nelayan di Pantai Ngurbloat akan pentingnya terumbu karang sebagai upaya
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam (Pustikawati dkk., 2016).
Proses recognisi dan relokasi zooxanthellae pada karang merupakan fenomena
respon biotik sebagai turunan dari aktivitas fisik dinamik air laut dan proses peran aktif
simbiosis zooxanthellae dalam jaringan karang dan biogeografinya bersama dengan faktor
lingkungan dapat dinyatakan sebagai penggerak dalam proses microevolusi dalam
kehidupan karang. Dalam skala ekologi bahwa cahaya bertanggung jawab atas
pembatasan kedalaman untuk semua karang dan terumbu karang sehingga secara prinsipil
cahaya merupakan parameter lingkungan yang dapat mengendalikan morfologi serta
hubungan intra spesifik yang pada gilirannya dapat menentukan diversitas species. Dalam
skala geografis bahwa ketergantungannya terhadap simbiosis menjadikan karang dengan
mudah tumbuh melampaui makroalgae. faktor inilah yang kemungkinan besar
menyebabkan terhalangnya karang atau terumbu karang dari pengaruh faktor-faktor fisika
lingkungan di lintang tinggi.
Dalam skala geologi bahwa gangguan terhadap simbiosis oleh sebab kekurangan cahaya
menjadikan suatu peranan pokok dalam kepunahan massa (yang dibentuk oleh karang dan
terumbu karang) interkoneksitas kimiawi. Dengan demikian peluang bertemunya keduanya
sangat dimungkinkan terjadi di laut dengan dua pertimbangan tersebut (Uar, 2016).
Wibawa (2017) Mengatakan Faktor pembatas terumbu karang mencakup sejumlah
elemen yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang
yang sangat sensitif. Salah satu faktor utama adalah perubahan iklim global, yang
menyebabkan pemanasan laut dan peningkatan suhu permukaan air. Kenaikan suhu laut
dapat menyebabkan pemicu pemutihan karang, di mana karang melepaskan alga
simbionnya, yang memberikan warna dan nutrisi. Jika pemutihan berlanjut dan tidak
diatasi, dapat menyebabkan kematian massal karang. Selain itu, polusi laut merupakan
faktor pembatas yang signifikan. Limbah industri, pertanian, dan limbah rumah tangga
dapat mengakibatkan peningkatan kadar nutrien seperti nitrogen dan fosfor di perairan,
memicu pertumbuhan alga yang berlebihan. Fenomena ini dikenal sebagai bloom alga,
yang dapat merugikan karang dengan menutupi permukaannya dan menghambat
penyerapan cahaya matahari.
Faktor pembatas terumbu karang sering kali saling berinteraksi, menciptakan
tantangan kompleks dalam upaya pelestarian. Langkah-langkah konservasi yang
komprehensif, termasuk pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, perlindungan
terhadap habitat pesisir, dan mitigasi perubahan iklim, diperlukan untuk memastikan
kelangsungan hidup terumbu karang yang penting bagi keanekaragaman hayati laut dan
kesejahteraan manusia. Aktivitas manusia seperti penangkapan ikan yang tidak
berkelanjutan dan penggunaan bahan peledak juga dapat merusak terumbu karang secara
fisik. Overfishing dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dengan menghilangkan
spesies ikan tertentu yang merupakan bagian integral dari rantai makanan terumbu karang .
Pertumbuhan pesisir dan pembangunan dapat meningkatkan sedimentasi, di mana endapan
tanah dan partikel lainnya bawaan air dapat menutupi karang dan menghambat proses
fotosintesis. Akibatnya, terumbu karang menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan dapat
mengalami penurunan pertumbuhan (Widhiatmoko, 2020).
Terumbu karang memiliki dua tipe diantaranya karang yang membentuk bangunan
kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic
corals). Hermatypic corals adalah koloni karang yang membentuk bangunan atau terumbu
dari kalsium karbonat (CaCO3), sehingga sering disebut pula reef building corals.
Sedangkan ahematypic corals adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu.
Sedangkan Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dapat dibagi menjadi
tiga tipe, yaitu terumbu karang tepi (fringring reef), terumbu karang penghalang
(barrierreef), dan terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi tumbuh dari tepian
pantai, terumbu karang penghalang dipisahkan dari daratan pantai oleh goba (laggon), dan
terumbu karang cincin merupakan terumbu karang yang melingkar atau berbentuk oval
yang mengelilingi goba (Prasetyo dan Yuliadi, 2018).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat.


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 04 November 2023. Praktikum ini
dimulai pada pukul 08.00 – sampai selesai. Tempat praktikum ini dilaksanakan di Pulau
Tikus, Kota Bengkulu.
3.2. Alat dan Bahan Praktikum.
Tabel 1. Alat Praktikum
No. ALAT KEGUNAAN
1. Kertas identifikasi jenis terumbu Untuk menganalisa jenis terumbu karang
karang pada saat praktikum.
2. Kamera Untuk mengambil gambar hasil pada
saat praktikum.
3. Alat tulis Untuk mencatat hasil praktikum.
Tabel 2. Bahan Praktikum
No. BAHAN KEGUNAAN
Terumbu karang Sebagai objek praktikum.

3.3. Prosedur Kerja.


Adapun langkah kerja pada saat praktikum dipulau tikus sebagai berikut:

1. Menyiapkan semua peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis


teumbu karang.
2. Mencari jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
3. Mengambil gambar jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
4. Mengidentifikasi jenis terumbu karang menggunakan tabel identifikasi yang
sudah disiapkan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

No Nama Nama Gambar Klasifikasi (dari


Karang Ilmiah jurnal)
1. Karang Acropora Menurut Fukami
Cabang acuminata dkk. (2021)
Kingdom: Animalia
Phylum: Cnidaria
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family:
Acroporidae
Genus: Acropora
Spesies:Acropora
acuminata
2. Karang Montipora Menurut Jaelani,
Biru flabellata (2015)
Kingdom: Animalia
Phylum: Cnidaria
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family:
Acroporidae
Genus: Montipora
Spesies:Montipora
flabellate
3. Karang Favites Menurut Suleman,
Bintang abdita (2017)
Kingdom: Animalia
Phylum:
Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Favidae
Genus: Favites
Spesies: Favites
abdita
4. Karang Pectinia Menurut Djaelani,
Bunga lactuca (2020)
Kingdom: Animalia
Phylum:
Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: pectiniidae
Genus: pectinia
Spesies: Pectinia
lactuca
5. Karang Siderastrea Menurut Mauliza,
Bintang sidereal (2016)
Muda Kingdom: Animalia
Phylum:
Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family:
Siderastreidae
Genus: Siderastrea
Spesies:Siderastrea
sidereal

6. Karang Acropora Menurut Bridge


Jari donei dkk. (2023)
Kingdom: Animalia
Phylum:
Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family:
Acroporaidae
Genus: Acropora
Spesies: Acropora
donei

7. Karang Polites Menurut Johan


Batu cylindrica (2016)
Kingdom: Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Poritidae
Genus: Porites
Spesies: Porites
cylindrica
8. Karang Pocillopor Menurut (Edmunds
Kembang a verucosa dan Burgess, 2016).
Kol Kingdom :
Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili:
Pocilloporidae
Genus: Pocillopora
Spesies:
Pocillopora
verrucosa
9. Karang Millepora Menurut Subhan
Api alcicornis dkk. (2022)
Kingdom :
Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Hydrozoa
Ordo : Milleporina
Famili :
Milleporidae
Genus : Millepora
Spesies : Millepora
alcicornis
10. Karang Stylophora Menurut Karako
Tudung pistillata (2014)
Kingdom :
Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili:
Pocilloporidae
Genus: Stylophora
Spesies: Stylophora
pistillata

4.2 Pembahasan

Dari praktikum yang kami lakukan di temukan 10 jenis karang yang ada di pulau
tikus, kota Bengkulu yaitu Acropora acuminata, Montipora flabellata, Favites abdita,
Pectinia lactuca, Siderastrea sidereal, Acropora donei, Polites cylindrica, Pocillopora
verucosa, Millepora alcicornis, Stylophora pistillata. Terumbu karang yang dihuni oleh
berbagai spesies karang ini dapat menciptakan lingkungan yang sangat beragam dan
berinteraksi secara kompleks. Karang Acropora acuminata, dengan cabangnya yang
panjang dan tipis, dapat memberikan struktur fisik yang mendukung keberlanjutan
ekosistem. Montipora flabellata, yang dikenal dengan bentuknya yang pipih dan lebar,
sering kali tumbuh bersama dengan Acropora acuminata, menciptakan lanskap terumbu
yang lebih kompleks. Favites abdita, Pectinia lactuca, dan Siderastrea sidereal
memberikan variasi bentuk dan ukuran koloni karang yang mendukung keanekaragaman
hayati, sementara Acropora donei dan Polites cylindrica dapat memberikan zona
perlindungan yang ideal bagi berbagai organisme laut. Pocillopora verucosa, Millepora
alcicornis, dan Stylophora pistillata, dengan ciri-ciri morfologis unik masing-masing,
berkontribusi pada struktur tiga dimensi terumbu karang dan menawarkan tempat tinggal
bagi beragam biota laut, termasuk ikan-ikan kecil dan invertebrata (Hartati dkk., 2018).
Menurut Yuniar (2023) Karang-karang ini memberikan struktur fisik yang penting bagi
kehidupan laut lainnya. Ikan-ikan kecil, seperti yang sering terlihat berada di sekitar
Acropora donei dan Polites cylindrica, menggunakan cabang-cabang karang sebagai
tempat berlindung dari predator dan mencari makan di antara celah-celah karang. Moluska
dan invertebrata, seperti yang berkoloni di Favites abdita, Pectinia lactuca, dan Siderastrea
sidereal, menemukan tempat perlindungan dan makanan di antara struktur kompleks
karang-karang tersebut. Selain itu, karang-karang yang lebih padat seperti Pocillopora
verucosa, Millepora alcicornis, dan Stylophora pistillata menyediakan tempat berlindung
yang ideal bagi udang, krustasea, dan organisme mikroskopis lainn Diantaratiga setruktur
tersebut, terumbu karang yang paling umum

Berdasarkan kemampuan memperoduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua


kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah
karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan
penyebarannya hanya ditemukan di daerah tropis.karang ahermatik tidak menghasilkan
terumbu dan ini merupakan klompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedan utama
karang hermatik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antarakarang
hermatik dengan zoxanthellae yaitu sejenis algae unisular (dinoflagellata unisular), Seperti
gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan jarignan polip binatang karang dan
melaksanakan poto sintesis (Seto dan Probosunu, 2014). Ada tiga tipe terumbu karang
menurut Nugraha (2016) sebagai berikut Terumbu karang tepi (fringing reef) ini
berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. terumbu
karang ini tumbuh keataas atau ke rah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapa dibagian
yang cukup arus. Sedangkan diantaraa pantai dan tapi luar terumbu. Karang batu
cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik bahkan banyaak mati karna sering
mengalami kekeingan dan banyak endapan yang dating dari darat. Terumbu karang tipe
penghalang (barrir reef) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari
pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-
70m) umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan akan
merupakan penghalang bagi pendaatang yang datang dari luar. Terumbukarangcincin (atol)
yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45 m jarang
sampai 100m seperti terumbu karang penghalanya.

Pada penelitian yang kami lakukan di dapatkan suhu perairan pulau tikus yaitu 30-
32°C. Patty dan Akbar, (2018) Mengatakan Terumbu karang tumbuh optimal pada suhu air
laut yang relatif stabil dan cenderung hangat. Suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu
karang umumnya berkisar antara 23 hingga 29 derajat Celsius. Pada rentang suhu ini,
proses-proses biologis dan kimiawi yang mendukung kehidupan terumbu karang, termasuk
simbiosis dengan alga simbion, fotosintesis, dan reproduksi, dapat berlangsung dengan
efisien. Menurut Darmawan dan Mardiatno (2015), Suhu merupakan faktor kritis yang
sangat memengaruhi kesehatan dan keberlanjutan terumbu karang. Terumbu karang adalah
ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan suhu air laut. Salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi terumbu karang adalah pemanasan global yang menyebabkan peningkatan
suhu permukaan laut. Ketika suhu air naik di atas ambang toleransi tertentu, terumbu
karang dapat mengalami fenomena yang dikenal sebagai pemutihan karang. Pemutihan
terjadi ketika karang melepaskan alga simbionnya yang memberikan warna dan
memberikan nutrisi. Tanpa alga ini, karang kehilangan warna dan menjadi lebih rentan
terhadap stres lingkungan, penyakit, dan kematian. Pemutihan karang telah menjadi
masalah global yang merugikan, mengancam keberlanjutan terumbu karang dan ekosistem
laut yang bergantung padanya.

Menurut Saputra (2021) Ketika suhu air melampaui batas tertentu, terumbu karang
dapat mengalami stres termal. Pemanasan yang berlebihan dapat memicu fenomena
pemutihan karang, di mana karang melepaskan alga simbionnya karena stres, yang dapat
mengakibatkan kematian massal karang jika kondisi stres berlanjut. Oleh karena itu,
perubahan suhu laut yang signifikan, seperti yang terkait dengan perubahan iklim global,
menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan keberlanjutan terumbu karang. Nur dan Fitrah
(2023) Mengatakan Upaya untuk memahami dan mengatasi masalah suhu terumbu karang
melibatkan pemantauan suhu laut secara cermat, serta upaya pencegahan perubahan iklim
global. Penelitian intensif tentang mekanisme adaptasi dan toleransi terumbu karang
terhadap fluktuasi suhu juga sedang dilakukan untuk mengembangkan strategi konservasi
yang lebih efektif. Selain itu, pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi
dampak pemanasan global menjadi kunci untuk melindungi terumbu karang di seluruh
dunia. Melalui pendekatan holistik yang mencakup pengelolaan suhu laut, pencegahan
pemutihan, dan perlindungan habitat terumbu karang, kita dapat berusaha untuk
melestarikan keberagaman hayati dan fungsi ekologis yang unik dari ekosistem terumbu
karang.

Nilai salinitas wilayah laut Indonesia umumnya berkisar antara 28-33o/oo. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa salinitas lapisan permukaan berkisar antara
30,0-33,0o/oo dengan nilai rata-rata 31,4±0,72o/oo. Tinggi rendahnya nilai salinitas di laut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan
aliran sungai. bahwa perbedaan nilai salinitas air laut dapat disebabkan oleh terjadinya
pengacauan (mixing) akibat gelombang laut ataupun gerakan massa air yang ditimbulkan
oleh tiupan angin (Putra dan Kunarso, 2020). Salinitas, atau kandungan garam dalam air
laut, memainkan peran penting dalam keseimbangan ekosistem terumbu karang. Terumbu
karang sebagian besar ditemukan di perairan laut dengan salinitas yang relatif stabil,
biasanya berkisar antara 32 hingga 40 ‰ (per mil). Salinitas yang tepat menjadi faktor
kritis dalam proses fisiologis dan biokimia terumbu karang. Ketidak stabilan salinitas, baik
penurunan atau peningkatan yang signifikan, dapat menyebabkan stres pada organisme
terumbu karang (Rahmi, 2019).

Terumbu karang mampu mengatasi fluktuasi salinitas dalam batas-batas tertentu,


tetapi perubahan yang drastis dapat mengakibatkan kerusakan. Peningkatan salinitas bisa
terjadi sebagai akibat dari penguapan berlebihan, yang umumnya terjadi di daerah dengan
sinar matahari yang intens dan curah hujan yang rendah. Di sisi lain, penurunan salinitas
sering terjadi di kawasan estuari atau sungai yang mengalir ke laut, di mana air tawar dapat
mencampur dengan air laut (Riyantini, 2023). Ketidakstabilan salinitas dapat
mempengaruhi daya tahan terumbu karang terhadap stres lainnya, seperti suhu tinggi atau
polusi. Selain itu, terumbu karang yang berada di daerah di mana air tawar bercampur
dengan air laut, seperti di muara sungai, harus mampu beradaptasi dengan variasi salinitas
yang lebih tinggi daripada di perairan lepas pantai. Dengan adanya perubahan iklim dan
aktivitas manusia yang dapat memengaruhi distribusi air tawar dan air laut, pemahaman
lebih lanjut tentang respons terumbu karang terhadap fluktuasi salinitas menjadi esensial.
Upaya konservasi dan manajemen terumbu karang perlu mempertimbangkan pengelolaan
sumber daya air dan menjaga keseimbangan salinitas untuk mendukung keberlanjutan
ekosistem yang sangat penting ini (As-Syakur dan Wiyanto, 2016).

Substrat terumbu karang mengacu pada dasar atau permukaan tempat tumbuhnya
terumbu karang, yang terdiri dari struktur mineral dan organik. Material utama yang
membentuk substrat terumbu karang adalah kalsium karbonat, yang berasal dari rangka
karang-karang mati dan ekskresi organisme laut seperti karang, moluska, dan foraminifera.
Proses akumulasi kalsium karbonat ini membentuk struktur batuan karang yang keras dan
kokoh, menyusun dasar fisik bagi ekosistem terumbu karang (Edrus,2017). Pada praktikum
yang kami lakukan Substrat terumbu karang yang ada di pulau tikus yaitu pasir berbatu.
Secara spesifik, substrat terumbu karang terdiri dari tiga tipe utama karang mati yang
terakumulasi dan membentuk batuan karang, substrat pasir halus yang menciptakan area
terbuka antara formasi karang, dan substrat lumpur yang mungkin hadir di lingkungan
terumbu yang lebih dalam. Karang mati yang terkumpul dan membentuk batuan
menyediakan struktur kompleks dan penopang fisik untuk terumbu karang, sementara
substrat pasir dan lumpur memainkan peran penting dalam menyediakan tempat bagi
organisme yang hidup di dalam sedimen atau yang mencari makanan di permukaan
substrat (Hidayah dan Nuzula, 2019).

Keberagaman substrat terumbu karang sangat mempengaruhi keragaman hayati di


ekosistem ini. Bentuk-bentuk substrat yang berbeda memberikan berbagai habitat untuk
berbagai organisme laut. Sebagai contoh, substrat karang yang keras dapat memberikan
dasar yang kuat untuk pertumbuhan karang dan memberikan perlindungan bagi ikan kecil
dan invertebrata. Substrat pasir dapat menjadi tempat bagi beberapa spesies kerang dan
udang yang menyukai lingkungan terbuka, sementara substrat lumpur mungkin menjadi
tempat bagi organisme yang menyukai sedimen di dasar laut (Guntur dkk., 2016). Najmi
(2021) Mengatakan Penting untuk memahami dan menjaga integritas substrat terumbu
karang karena kerusakan pada substrat dapat berdampak negatif pada ekosistem terumbu
karang secara keseluruhan. Aktivitas manusia seperti penambangan pasir, penangkapan
ikan yang merusak substrat, dan polusi dapat merugikan substrat terumbu karang dan
mengancam keberlanjutan ekosistem ini. Perlindungan substrat terumbu karang menjadi
bagian integral dari upaya konservasi dan pengelolaan terumbu karang global.

Cahaya memiliki peran krusial dalam pertumbuhan dan kesehatan terumbu karang,
karena mayoritas terumbu karang merupakan organisme fotosintetik yang bergantung pada
energi matahari. Proses fotosintesis oleh alga simbion yang hidup di dalam jaringan
karang, khususnya dari genus Symbiodinium, memungkinkan terumbu karang untuk
menghasilkan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
Intensitas cahaya, durasi paparan cahaya, dan spektrum cahaya menjadi faktor-faktor kritis
yang mempengaruhi kesehatan terumbu karang (Yudha, 2017). Cahaya matahari yang
optimal untuk pertumbuhan terumbu karang umumnya berkisar antara 200 hingga 800
μmol photons/(m²·s). Intensitas cahaya di bawah ambang batas ini dapat menghambat
fotosintesis, sementara paparan cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan stres termal
dan pemutihan karang. Selain intensitas, spektrum cahaya juga memainkan peran penting
karena berbagai pigmen fotosintetik karang menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu. Oleh karena itu, perubahan dalam kualitas dan kuantitas cahaya dapat memicu
respons biologis dan adaptasi dalam ekosistem terumbu karang (Reppie, 2016).
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan sedimen di air laut, yang
dapat menyebabkan penyaringan cahaya dan mengurangi intensitas cahaya yang mencapai
terumbu karang. Perubahan iklim yang terkait dengan polusi, peningkatan suhu laut, dan
penurunan kualitas air dapat mempengaruhi kondisi cahaya di perairan, memberikan
tantangan tambahan terhadap kesehatan terumbu karang. Dalam konteks pelestarian
terumbu karang, pemahaman mendalam tentang kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan
terumbu karang menjadi kunci dalam upaya menjaga ekosistem ini agar tetap sehat dan
berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi yang fokus pada pengurangan tekanan
terhadap kualitas air dan menjaga integritas ekosistem laut akan berkontribusi pada
mempertahankan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis unik dari terumbu karang
(Banurea dan Manurung, 2020). Suhery (2017) Mengatakan Tanpa paparan cahaya yang
memadai, alga simbion yang hidup di dalam jaringan karang, khususnya dari genus
Symbiodinium, mengalami penurunan aktivitas fotosintesis, menghambat produksi zat-zat
organik yang diperlukan oleh karang. Ini dapat menyebabkan stres pada terumbu karang
dan meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit, pemutihan, dan kematian massal.
Kekurangan cahaya juga dapat menghambat pertumbuhan karang, mengurangi struktur
fisik dan kompleksitas terumbu, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi berbagai
organisme laut yang bergantung pada terumbu karang untuk tempat tinggal dan makanan.
Dengan meningkatnya ancaman terhadap keseimbangan ekosistem terumbu karang,
perlindungan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi paparan cahaya menjadi kunci
dalam upaya pelestarian untuk memastikan kelangsungan hidup terumbu karang yang vital.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum kali ini adalah identifikasi terumbu karang di Pulau
Tikus menjadi suatu aspek penting dalam pemahaman ekosistem laut di wilayah tersebut.
Melalui penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa terumbu karang di Pulau Tikus
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, mencakup berbagai spesies karang, ikan, dan
organisme laut lainnya. Pemantauan visual dan analisis morfologi terumbu karang menjadi
metode utama untuk mengidentifikasi keadaan kesehatan dan keragaman spesies. Selain
itu, analisis kualitas air dan parameter lingkungan lainnya juga berperan dalam
menentukan kondisi optimal bagi pertumbuhan terumbu karang. Kesimpulannya,
identifikasi terumbu karang di Pulau Tikus memberikan gambaran yang komprehensif
tentang keberagaman ekosistem laut di wilayah tersebut, yang dapat menjadi dasar untuk
upaya konservasi dan manajemen yang berkelanjutan guna melindungi kelestarian terumbu
karang dan kehidupan laut di Pulau Tikus.

5.2 Saran
Untuk meningkatkan efektivitas identifikasi terumbu karang di Pulau Tikus,
diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pertama, disarankan untuk
melakukan survei terumbu karang secara rutin dengan menggunakan teknologi canggih
seperti penginderaan jauh dan citra satelit, yang dapat memberikan pemetaan yang lebih
luas dan akurat. Selain itu, penelitian lapangan dengan penyelaman langsung tetap penting
untuk mendapatkan data lebih rinci tentang kondisi fisik dan biologis terumbu karang.

DAFTAR PUSTAKA

Ampou, E. E., Triyulianti, I., dan Nugroho, S. C. 2015. Bakteri asosiasi pada karang
Scleractinia kaitannya dengan fenomena La-Nina di Pulau Bunaken. Jurnal
kelautan nasional. 10(2) : 55-63.
Assuyuti, Y. M., Zikrillah, R. B., Tanzil, M. A., Banata, A., dan Utami, P. 2018. Distribusi
dan jenis sampah laut serta hubungannya terhadap ekosistem terumbu karang
Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar di Kepulauan Seribu Jakarta.
Majalah Ilmiah Biologi Biosfera: A Scientific Journal. 35(2): 91-102.
As-Syakur, A. R., dan Wiyanto, D. B. 2016. Studi kondisi hidrologis sebagai lokasi
penempatan terumbu buatan di perairan Tanjung Benoa Bali. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology. 9(1) : 85-92.
Banurea, J. S., dan Manurung, M. 2020. Modifikasi Sistem Pemikat Cahaya Kedip pada
Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan di Perairan Sibolga. ALBACORE Jurnal
Penelitian Perikanan Laut. 4(2): 125-131.
Barus, B. S., Prartono, T., dan Soedarma, D. 2018. Pengaruh lingkungan terhadap bentuk
pertumbuhan terumbu karang di perairan teluk lampung. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 10(3): 699-709.
Bridge, T. C., Cowman, P. F., Quattrini, A. M., Bonito, V. E., Sinniger, F., Harii, S., ... and
Baird, A. H. 2023. A tenuis relationship: traditional taxonomy obscures
systematics and biogeography of the ‘Acropora tenuis’(Scleractinia: Acroporidae)
species complex. Zoological Journal of the Linnean Society. zlad062.
Darmawan, B., dan Mardiatno, D. 2015. Analisis Kerusakan Terumbu Karang Akibat
Sampah di Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu. Jurnal Bumi
Indonesia. 4(1).
Djaelani, S., Asyari, Y., Yuliani, Y., dan Suryadi, H. 2020. Strategi Pemasaran Buah Jeruk
Petani Melalui Bumdes Desa Karang Bunga Kecamatan Mandastana. Humanism:
Jurnal Pengabdian Masyarakat. 1(2).
Edmunds, P. J., and Burgess, S. C. 2016. Size-dependent physiological responses of the
branching coral Pocillopora ve.
Edrus, I. N., Arief, S., dan Setyawan, E. 2017. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk
Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman
ikan karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16(2): 147-161.
Fukami, H., Niimura, A., Nakamori, T., and Iryu, Y. 2021. Species composition and
mitochondrial molecular phylogeny of Acropora corals in Funakoshi, Amami-
Oshima Island, Japan: A proposal for its new taxonomic grouping. Galaxea,
Journal of Coral Reef Studies. 23(1): 17-35.
Guntur, G., Arifin, S., dan Luthfi, O. M. 2016. Komposisi Penyusun Terumbu Karang Tepi
(Fringing Reef) Di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang, Madura The
Composition of Fringing Reef Formation in Pulau Mandangin, Sampang
Province, Madura. Saintek Perikanan: Indonesian Journal of Fisheries Science
and Technology. 11(2): 94-98.
Hartati, R., Meirawati, E., Redjeki, S., Riniatsih, I., dan Mahendrajaya, R. T. 2018. Jenis-
jenis bintang laut dan bulu babi (Asteroidea, Echinoidea: Echinodermata) di
perairan Pulau Cilik, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1): 41-
48.
Hidayah, Z., dan Nuzula, N. I. 2019. Pemetaan Sebaran Terumbu Karang Studi Kasus
Selat Madura, Jawa Timur. Jurnal Kelautan Tropis. 22(2): 127-134.
Ikhsan dan B. Syahrival. 2014. Willingness to Pay Masyarakat untuk Melindungi Terumbu
Karang di Pulau Weh. Jurnal Kebangsaan. Volume 3 Nomor 5. Januari 2014
Jaelani, L. M., Laili, N., dan Marini, Y. 2015. Pengaruh Algoritma Lyzenga Dalam
Pemetaan Terumbu karang Menggunakan Worldview-2, Studi Kasus: Perairan
Pltu Paiton Probolinggo (The Effect Of Lyzenga’s Algorithm On Coral Reef
Mapping Using Worldview-2, A Case Study: Coastal Waters Of Paiton
Probolinggo). Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital.
12(2).
Johan, O., Soedharma, D., dan Suharsono, S. 2016. Tingkat Keberhasilan Transplantasi
karang batu di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Riset Akuakultur.
3(2): 289-300.
Karako-Lampert, S., Zoccola, D., Salmon-Divon, M., Katzenellenbogen, M., Tambutté, S.,
Bertucci, A., ... and Levy, O. 2014. Transcriptome analysis of the scleractinian
coral Stylophora pistillata. PLoS One, 9(2), e88615.
Mauliza, R., Prihadi, D. J., dan Syamsuddin, M. L. 2016. Keterkaitan Kepadatan Predator
Karang Bintang Laut Berduri (Acanthaster placi) Terhadap Kondisi Terumbu
Karang Di Perairan Pulau Batu Malang Penyu, Kepulauan Belitung. Jurnal
Perikanan Kelautan. 7(2).
Muqsit, A., Purnama, D., dan Ta’alidin, Z. 2016. Struktur Komunitas Terumbu Karang Di
Pulau Dua Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Enggano.
1(1): 75-87.
Najmi, N., Fazillah, M. R., dan Agustiar, M. 2021. Kondisi ekosistem terumbu karang di
Perairan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Perikanan Tropis. 8(1): 11-
21.
Nugraha, M. A., Purnama, D., Wilopo, M. D., dan Johan, Y. 2016. Kondisi Terumbu
Karang di Tanjung Gosongseng Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi
Bengkulu. Jurnal Enggano. 1(1): 43-56.
Nugroho, A. C. 2017. Identifikasi Penyakit Pada Terumbu Karang Menggunakan Ripple
Down Rules. Jurnal Terapan Teknologi Informasi. 1(2): 165-174.
Nur, F., dan Fitrah, S. 2023. Penanggulangan Penyebab Terjadinya Pemutihan Terumbu
Karang Di Perairan Bulukumba. Sensistek: Riset Sains dan Teknologi Kelautan.
Patty, S. I., dan Akbar, N. 2018. kondisi suhu, salinitas, ph dan oksigen terlarut di perairan
terumbu karang Ternate, Tidore dan sekitarnya. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan.
1(2).
Prasetyo, A. B., dan Yuliadi, L. P. S. 2018. Keterkaitan tipe substrat dan laju sedimentasi
dengan kondisi tutupan terumbu karang di Perairan Pulau Panggang, Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Jurnal Perikanan Kelautan. 9(2).
Pustikawati, M., Johan, Y., dan Hartono, D. 2016. Kajian ekosistem terumbu karang untuk
pengembangan ekowisata bahari Pulau Tikus Bengkulu. Jurnal Enggano. 1(1):
113-119.
Putra, T. W. L., dan Kunarso, K. 2020. Distribusi Suhu, Salinitas Dan Densitas Di Lapisan
Homogen Dan Termoklin Perairan Selat Makassar. Indonesian Journal of
Oceanography. 2(2), 188-198.
Rahmi, S., Hadisusanto, S., Nurdin, N., Yosi, M., dan Gustiantini, L. 2019. Foraminifera
Bentonik Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Terumbu Karang Di Pulau
Tegal, Teluk Lampung, Lampung. Jurnal Geologi Kelautan. 17(2).
Ramadhan, A., Lindawati, L., dan Kurniasari, N. 2017. Nilai ekonomi ekosistem terumbu
karang di Kabupaten Wakatobi. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
11(2): 133-146.
Reppie, E., Patty, W., Sopie, M., and Taine, K. 2016. Pengaruh Pemikat Cahaya Berkedip
Pada Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang (the Effect of Blinking Light
Attractor on Trap Toward the Capture of Coral Fishes). Marine Fisheries:
Journal of Marine Fisheries Technology and Management. 7(1): 25-32.
Riyantini, I., Harahap, S. A., Kostaman, A. N., Aufaadhiyaa, P. A., Yuniarti, M. S.,
Zallesa, S., dan Faizal, I. 2023. Kelimpahan, Keanekaragaman dan Distribusi Ikan
Karang dan Megabentos serta hubungannya dengan kondisi Terumbu Karang dan
kualitas Perairan di Gosong Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jurnal
Buletin Oseanografi Marina. 12(2): 179-191.
Saputra, A., Permana, D. D., Cahyo, F. D., Arif, A., dan Wijonarko, E. A. 2021.
Transplantasi Terumbu Karang Acropora spp, Untuk Rehabilitasi Terumbu
Karang di Pulau Panjang, Teluk Banten. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan
(JKPT). 4(2): 105-115.
Seto, D. S., dan Probosunu, N. 2014. Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Hayati, 43-51.
Subhan, S., Rais, M., Pratikino, A. G., dan Erawan, M. T. F. 2022. Struktur Populasi Ikan
Endemik Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni) Yang Diintroduksi Di
Perairan Pulau Bokori–Sulawesi Tenggara. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal
of Marine Science and Technology. 15(1), 15-22.
Suhery, N., Damar, A., dan Effendi, H. 2017. Indeks kerentanan ekosistem terumbu karang
terhadap tumpahan minyak: kasus Pulau Pramuka dan Pulau Belanda di
Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 9(1), 67-90.
Suleman, Y., Lalamentik, L. T., and Rembet, U. N. 2017. The Distribution of Favites
abdita Coral Reef (Ellis and Solander, 1786) in the Land of Coral Coast Village of
Malalayang Dua, Malalayang sub-district Manado. Jurnal Ilmiah Plata. 5(1), 69-
76.
Tanaka, Y., Inoue, M., Nakamura, T., Suzuki, A., and Sakai, K. 2014. Loss of
zooxanthellae in a coral under high seawater temperature and nutrient enrichment.
Journal of experimental marine biology and ecology. 457, 220-225.
Uar, N. D., Murti, S. H., dan Hadisusanto, S. 2016. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas
manusia pada ekosistem terumbu karang. Majalah Geografi Indonesia. 30(1), 88-
96.
Wibawa, I. G. N. A., dan Luthfi, O. M. 2017. Kualitas air pada ekosistem terumbu karang
di Selat Sempu, Sendang Biru, Malang. Jurnal Segara. 13(1).
Widhiatmoko, M. C., Endrawati, H., dan Taufiq-Spj, N. 2020. Potensi Ekosistem Terumbu
Karang Untuk Pengembangan Ekowisata di Perairan Pulau Sintok Taman
Nasional Karimunjawa. Journal of Marine Research. 9(4), 374-385.
Yudha, A. P. P., Asriyanto, A., dan Pramonowibowo, P. 2017. Analisis Pengaruh
Penggunaan Atraktor Cahaya Warna Merah Dan Perbedaan Waktu Pengoperasian
Alat Tangkap Bubu Karang Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Kerapu
(Epinephelinea) Di Perairan Karimunjawa. Jurnal Perikanan Tangkap:
Indonesian Journal of Capture Fisheries. 1(02).
Yuniar, Z., Riyantini, I., Dewantii, L. P., Johan, O., dan Ismail, M. R. 2023. Korelasi
Kelimpahan Biota Bentik Pemakan Karang terhadap Kesehatan Terumbu Karang
di Perairan Pulau Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology.16(1): 17-29.
LAMPIRAN

Mengukur diameter Akar mangrove daun mangrove akar mangrove


batang
Bunga mangrove Substrat batang mangrove

Suasana di area pengukuran suhu pengukuran pH pengukuran salinitas


Praktikum

Anda mungkin juga menyukai