Disusun Oleh :
Nama : Titin Kartika
Npm : E1I022048
Kelompok : 3 (Dua)
Dosen : 1. Mukti Dono Wilopo, S.pi.M.Si.
2. Dr. Yar Johan , S.Pi.,M.Si.
3. Nella Tri Agustini. S. Kel., M.Si.
4. Ari Anggoro, S.Pi., M.Si
Co-Ass : 1. Afriliati (E1I021001)
2. Rany Yollanda (E1I021037)
3. Zulmansyah (E1I021038)
4. Jaka Ramadhan (E1I021040)
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km2 dan mempunyai
keanekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. tetapi, aktivitas manusia
dalam memanfaatkan potensi sumber daya terumbu karang dan lingkungan di sekitarnya
sering tumpang tindih dan bahkan di antara aktivitas tersebut dapat menyebabkan
kerusakan terumbu karang yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penurunan
nilai ekonomi dari sumber daya tersebut. Ekosistem terumbu karang memiliki manfaat
ekologi yang secara tidak langsung dirasakan oleh masyarakat pesisir khususnya.
Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya
dari ancaman erosi akibat gelombang yang besar dan sebagai penyedia sumber daya ikan.
wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alamnya, baik sumber daya alam dapat pulih (seperti perikanan, hutan
mangrove dan terumbu karang), maupun sumber daya alam yang tidak dapat pulih (seperti
minyak bumi dan gas, serta mineral atau bahan tambang lainnya) (Ikhsan dan Syahrival,
2014).
Terumbu Karang adalah suatu ekositem yang bersimbiosis dengan kelompok hewan
anggota filum Cnidaria yang dapat menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat.
Karang dapat berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan
koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau
kolarit dalam kerangka yang masif. Terumbu karang dikenal sebagai ekosistem yang
sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman biota tinggi seperti moluska,
crustacea dan ikan karang. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu kesatuan
komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trofik, dimana
masing-masing komponen dalam komunitas terumbu karang ini mempunyai
ketergantungan yang erat satu sama lain. Terumbu karang dikenal sebagai suatu komponen
yang memiliki fungsi penting dalam ekosistemnya. Terumbu karang tidak terlepas dari
peranan ekologisnya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan
(nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran
(rearing ground) bagi biota ekonomis penting (Ramadhan dkk., 2017).
Identifikasi karang merupakan tantangan yang cukup berat, diantaranya adalah kunci
identifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan spesies dari genus satu dengan yang
lain tidak bisa menggunakan standar yang sama. Tantangan berikutnya adalah adanya
plastisitas fenotip pada karang, semua scleractinian coral akan sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Perbedaan kedalaman dari spesies yang sama akan membentuk fariasi
morfologi terhadap koralit dan bentuk pertumbuhan karang. Kecilnya ukuran polip,
sehingga diperlukan alat bantu untuk mengidentifikasi suatu karang (Nugroho, 2017).
Identifikasi jenis karang di kawasan Perairan Pulau Tikus, Kota Bengkulu belum pernah
dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan mengingat fungsi
dan manfaat terumbu karang, seperti yang diketahui salah satu fungsi terumbu karang
secara fisik yaitu sebagai salah satu ekosistem penyeimbang di laut dan sebagai peredam
abrasi suatu perairan dan secara ekologi juga berperan sebagai spawing ground, nursery
ground dan feeding ground pada ikan dan biota lainnya serta pentingnya mengetahui jenis
karang apa saja yang hidup di kawasan tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui jenis-jenis karang yang ada di perairan pulau Tikus, Kota Bengkulu, dan
manfaat diharapkan mampu memberikan data dan informasi terkait jenis- jenis karang
yang ada di perairan Pulau Tikus, Kota Bengkulu untuk melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem terumbu karang berkelanjutan bagi masyarakat dan instansi terkait.
Karang merupakan kumpulan dari berjuta juta hewan polip yang menghasilkan
bahan kapur (CaCO3). Sebagian besar karang adalah binatang-binatang kecil disebut Polip
yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Masing-masing polip memiliki kerangka
luar yang disebut koralit. Sebuah koralit umumnya mempunyai septa yang menyerupai
sekat- sekat. Polip karang terdiri dari usus yang disebut filamen mesentri, tentakel yang
memiliki sel nematosis (penyengat) yang berfungsi melumpuhkan musuhnya. Tubuh polip
karang terdiri dari dua lapisan yaitu ectoderm dan endoderm. Diantara kedua lapisan
tersebut terdapat jaringan yang berbentuk seperti jelly yang disebut mesogela. Didalam
lapisan endoderm tubuh polip hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu zooxanthellae.
Zooxanthellae adalah tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis, hasil metabolisme
dan O2 (oksigen) akan diberikan kepada polip karang. Sedangkan polip karang
memberikan tempat hidup dan hasil respirasi CO2 kepada alga zooxanthellae (Barus,
2018).
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya proses simbiosis dengan
zooxanthellae. Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini
mengundang perdebatan sejak awalnya, yakni apakah terbentuknya endo- simbiosis sejak
anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau melalui infeksi dari lepasan
planula yang keluar tanpa pembekalan. Apabila teori pertama yang terjadi maka
bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara
turun temurun meng- alami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima
kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa
pada kenyataannya terdapat endosimbiosis yang perannya besar dalam mekanisme
kehidupan fungsional karang. Pada kondisi awal evolusi dipahami bahwa simbiosis antara
zooxanthellae dengan karang dalam ekosistem laut pada dasarnya merupakan suatu
kejadian yang diawali oleh bertemunya zooxanthellae dengan karang dengan peluang yang
tinggi oleh sebab karang hidup menetap dan zooxanthellae bersifat planktonik.
Bertemunya keduanya mendapat peluang yang besar oleh adanya kondisi dinamik air laut
(Muqsit dkk., 2016).
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
Dari praktikum yang kami lakukan di temukan 10 jenis karang yang ada di pulau
tikus, kota Bengkulu yaitu Acropora acuminata, Montipora flabellata, Favites abdita,
Pectinia lactuca, Siderastrea sidereal, Acropora donei, Polites cylindrica, Pocillopora
verucosa, Millepora alcicornis, Stylophora pistillata. Terumbu karang yang dihuni oleh
berbagai spesies karang ini dapat menciptakan lingkungan yang sangat beragam dan
berinteraksi secara kompleks. Karang Acropora acuminata, dengan cabangnya yang
panjang dan tipis, dapat memberikan struktur fisik yang mendukung keberlanjutan
ekosistem. Montipora flabellata, yang dikenal dengan bentuknya yang pipih dan lebar,
sering kali tumbuh bersama dengan Acropora acuminata, menciptakan lanskap terumbu
yang lebih kompleks. Favites abdita, Pectinia lactuca, dan Siderastrea sidereal
memberikan variasi bentuk dan ukuran koloni karang yang mendukung keanekaragaman
hayati, sementara Acropora donei dan Polites cylindrica dapat memberikan zona
perlindungan yang ideal bagi berbagai organisme laut. Pocillopora verucosa, Millepora
alcicornis, dan Stylophora pistillata, dengan ciri-ciri morfologis unik masing-masing,
berkontribusi pada struktur tiga dimensi terumbu karang dan menawarkan tempat tinggal
bagi beragam biota laut, termasuk ikan-ikan kecil dan invertebrata (Hartati dkk., 2018).
Menurut Yuniar (2023) Karang-karang ini memberikan struktur fisik yang penting bagi
kehidupan laut lainnya. Ikan-ikan kecil, seperti yang sering terlihat berada di sekitar
Acropora donei dan Polites cylindrica, menggunakan cabang-cabang karang sebagai
tempat berlindung dari predator dan mencari makan di antara celah-celah karang. Moluska
dan invertebrata, seperti yang berkoloni di Favites abdita, Pectinia lactuca, dan Siderastrea
sidereal, menemukan tempat perlindungan dan makanan di antara struktur kompleks
karang-karang tersebut. Selain itu, karang-karang yang lebih padat seperti Pocillopora
verucosa, Millepora alcicornis, dan Stylophora pistillata menyediakan tempat berlindung
yang ideal bagi udang, krustasea, dan organisme mikroskopis lainn Diantaratiga setruktur
tersebut, terumbu karang yang paling umum
Pada penelitian yang kami lakukan di dapatkan suhu perairan pulau tikus yaitu 30-
32°C. Patty dan Akbar, (2018) Mengatakan Terumbu karang tumbuh optimal pada suhu air
laut yang relatif stabil dan cenderung hangat. Suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu
karang umumnya berkisar antara 23 hingga 29 derajat Celsius. Pada rentang suhu ini,
proses-proses biologis dan kimiawi yang mendukung kehidupan terumbu karang, termasuk
simbiosis dengan alga simbion, fotosintesis, dan reproduksi, dapat berlangsung dengan
efisien. Menurut Darmawan dan Mardiatno (2015), Suhu merupakan faktor kritis yang
sangat memengaruhi kesehatan dan keberlanjutan terumbu karang. Terumbu karang adalah
ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan suhu air laut. Salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi terumbu karang adalah pemanasan global yang menyebabkan peningkatan
suhu permukaan laut. Ketika suhu air naik di atas ambang toleransi tertentu, terumbu
karang dapat mengalami fenomena yang dikenal sebagai pemutihan karang. Pemutihan
terjadi ketika karang melepaskan alga simbionnya yang memberikan warna dan
memberikan nutrisi. Tanpa alga ini, karang kehilangan warna dan menjadi lebih rentan
terhadap stres lingkungan, penyakit, dan kematian. Pemutihan karang telah menjadi
masalah global yang merugikan, mengancam keberlanjutan terumbu karang dan ekosistem
laut yang bergantung padanya.
Menurut Saputra (2021) Ketika suhu air melampaui batas tertentu, terumbu karang
dapat mengalami stres termal. Pemanasan yang berlebihan dapat memicu fenomena
pemutihan karang, di mana karang melepaskan alga simbionnya karena stres, yang dapat
mengakibatkan kematian massal karang jika kondisi stres berlanjut. Oleh karena itu,
perubahan suhu laut yang signifikan, seperti yang terkait dengan perubahan iklim global,
menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan keberlanjutan terumbu karang. Nur dan Fitrah
(2023) Mengatakan Upaya untuk memahami dan mengatasi masalah suhu terumbu karang
melibatkan pemantauan suhu laut secara cermat, serta upaya pencegahan perubahan iklim
global. Penelitian intensif tentang mekanisme adaptasi dan toleransi terumbu karang
terhadap fluktuasi suhu juga sedang dilakukan untuk mengembangkan strategi konservasi
yang lebih efektif. Selain itu, pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca dan memitigasi
dampak pemanasan global menjadi kunci untuk melindungi terumbu karang di seluruh
dunia. Melalui pendekatan holistik yang mencakup pengelolaan suhu laut, pencegahan
pemutihan, dan perlindungan habitat terumbu karang, kita dapat berusaha untuk
melestarikan keberagaman hayati dan fungsi ekologis yang unik dari ekosistem terumbu
karang.
Nilai salinitas wilayah laut Indonesia umumnya berkisar antara 28-33o/oo. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa salinitas lapisan permukaan berkisar antara
30,0-33,0o/oo dengan nilai rata-rata 31,4±0,72o/oo. Tinggi rendahnya nilai salinitas di laut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan
aliran sungai. bahwa perbedaan nilai salinitas air laut dapat disebabkan oleh terjadinya
pengacauan (mixing) akibat gelombang laut ataupun gerakan massa air yang ditimbulkan
oleh tiupan angin (Putra dan Kunarso, 2020). Salinitas, atau kandungan garam dalam air
laut, memainkan peran penting dalam keseimbangan ekosistem terumbu karang. Terumbu
karang sebagian besar ditemukan di perairan laut dengan salinitas yang relatif stabil,
biasanya berkisar antara 32 hingga 40 ‰ (per mil). Salinitas yang tepat menjadi faktor
kritis dalam proses fisiologis dan biokimia terumbu karang. Ketidak stabilan salinitas, baik
penurunan atau peningkatan yang signifikan, dapat menyebabkan stres pada organisme
terumbu karang (Rahmi, 2019).
Substrat terumbu karang mengacu pada dasar atau permukaan tempat tumbuhnya
terumbu karang, yang terdiri dari struktur mineral dan organik. Material utama yang
membentuk substrat terumbu karang adalah kalsium karbonat, yang berasal dari rangka
karang-karang mati dan ekskresi organisme laut seperti karang, moluska, dan foraminifera.
Proses akumulasi kalsium karbonat ini membentuk struktur batuan karang yang keras dan
kokoh, menyusun dasar fisik bagi ekosistem terumbu karang (Edrus,2017). Pada praktikum
yang kami lakukan Substrat terumbu karang yang ada di pulau tikus yaitu pasir berbatu.
Secara spesifik, substrat terumbu karang terdiri dari tiga tipe utama karang mati yang
terakumulasi dan membentuk batuan karang, substrat pasir halus yang menciptakan area
terbuka antara formasi karang, dan substrat lumpur yang mungkin hadir di lingkungan
terumbu yang lebih dalam. Karang mati yang terkumpul dan membentuk batuan
menyediakan struktur kompleks dan penopang fisik untuk terumbu karang, sementara
substrat pasir dan lumpur memainkan peran penting dalam menyediakan tempat bagi
organisme yang hidup di dalam sedimen atau yang mencari makanan di permukaan
substrat (Hidayah dan Nuzula, 2019).
Cahaya memiliki peran krusial dalam pertumbuhan dan kesehatan terumbu karang,
karena mayoritas terumbu karang merupakan organisme fotosintetik yang bergantung pada
energi matahari. Proses fotosintesis oleh alga simbion yang hidup di dalam jaringan
karang, khususnya dari genus Symbiodinium, memungkinkan terumbu karang untuk
menghasilkan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
Intensitas cahaya, durasi paparan cahaya, dan spektrum cahaya menjadi faktor-faktor kritis
yang mempengaruhi kesehatan terumbu karang (Yudha, 2017). Cahaya matahari yang
optimal untuk pertumbuhan terumbu karang umumnya berkisar antara 200 hingga 800
μmol photons/(m²·s). Intensitas cahaya di bawah ambang batas ini dapat menghambat
fotosintesis, sementara paparan cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan stres termal
dan pemutihan karang. Selain intensitas, spektrum cahaya juga memainkan peran penting
karena berbagai pigmen fotosintetik karang menyerap cahaya pada panjang gelombang
tertentu. Oleh karena itu, perubahan dalam kualitas dan kuantitas cahaya dapat memicu
respons biologis dan adaptasi dalam ekosistem terumbu karang (Reppie, 2016).
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan sedimen di air laut, yang
dapat menyebabkan penyaringan cahaya dan mengurangi intensitas cahaya yang mencapai
terumbu karang. Perubahan iklim yang terkait dengan polusi, peningkatan suhu laut, dan
penurunan kualitas air dapat mempengaruhi kondisi cahaya di perairan, memberikan
tantangan tambahan terhadap kesehatan terumbu karang. Dalam konteks pelestarian
terumbu karang, pemahaman mendalam tentang kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan
terumbu karang menjadi kunci dalam upaya menjaga ekosistem ini agar tetap sehat dan
berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi yang fokus pada pengurangan tekanan
terhadap kualitas air dan menjaga integritas ekosistem laut akan berkontribusi pada
mempertahankan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis unik dari terumbu karang
(Banurea dan Manurung, 2020). Suhery (2017) Mengatakan Tanpa paparan cahaya yang
memadai, alga simbion yang hidup di dalam jaringan karang, khususnya dari genus
Symbiodinium, mengalami penurunan aktivitas fotosintesis, menghambat produksi zat-zat
organik yang diperlukan oleh karang. Ini dapat menyebabkan stres pada terumbu karang
dan meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit, pemutihan, dan kematian massal.
Kekurangan cahaya juga dapat menghambat pertumbuhan karang, mengurangi struktur
fisik dan kompleksitas terumbu, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi berbagai
organisme laut yang bergantung pada terumbu karang untuk tempat tinggal dan makanan.
Dengan meningkatnya ancaman terhadap keseimbangan ekosistem terumbu karang,
perlindungan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi paparan cahaya menjadi kunci
dalam upaya pelestarian untuk memastikan kelangsungan hidup terumbu karang yang vital.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum kali ini adalah identifikasi terumbu karang di Pulau
Tikus menjadi suatu aspek penting dalam pemahaman ekosistem laut di wilayah tersebut.
Melalui penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa terumbu karang di Pulau Tikus
memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, mencakup berbagai spesies karang, ikan, dan
organisme laut lainnya. Pemantauan visual dan analisis morfologi terumbu karang menjadi
metode utama untuk mengidentifikasi keadaan kesehatan dan keragaman spesies. Selain
itu, analisis kualitas air dan parameter lingkungan lainnya juga berperan dalam
menentukan kondisi optimal bagi pertumbuhan terumbu karang. Kesimpulannya,
identifikasi terumbu karang di Pulau Tikus memberikan gambaran yang komprehensif
tentang keberagaman ekosistem laut di wilayah tersebut, yang dapat menjadi dasar untuk
upaya konservasi dan manajemen yang berkelanjutan guna melindungi kelestarian terumbu
karang dan kehidupan laut di Pulau Tikus.
5.2 Saran
Untuk meningkatkan efektivitas identifikasi terumbu karang di Pulau Tikus,
diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pertama, disarankan untuk
melakukan survei terumbu karang secara rutin dengan menggunakan teknologi canggih
seperti penginderaan jauh dan citra satelit, yang dapat memberikan pemetaan yang lebih
luas dan akurat. Selain itu, penelitian lapangan dengan penyelaman langsung tetap penting
untuk mendapatkan data lebih rinci tentang kondisi fisik dan biologis terumbu karang.
DAFTAR PUSTAKA
Ampou, E. E., Triyulianti, I., dan Nugroho, S. C. 2015. Bakteri asosiasi pada karang
Scleractinia kaitannya dengan fenomena La-Nina di Pulau Bunaken. Jurnal
kelautan nasional. 10(2) : 55-63.
Assuyuti, Y. M., Zikrillah, R. B., Tanzil, M. A., Banata, A., dan Utami, P. 2018. Distribusi
dan jenis sampah laut serta hubungannya terhadap ekosistem terumbu karang
Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar di Kepulauan Seribu Jakarta.
Majalah Ilmiah Biologi Biosfera: A Scientific Journal. 35(2): 91-102.
As-Syakur, A. R., dan Wiyanto, D. B. 2016. Studi kondisi hidrologis sebagai lokasi
penempatan terumbu buatan di perairan Tanjung Benoa Bali. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology. 9(1) : 85-92.
Banurea, J. S., dan Manurung, M. 2020. Modifikasi Sistem Pemikat Cahaya Kedip pada
Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan di Perairan Sibolga. ALBACORE Jurnal
Penelitian Perikanan Laut. 4(2): 125-131.
Barus, B. S., Prartono, T., dan Soedarma, D. 2018. Pengaruh lingkungan terhadap bentuk
pertumbuhan terumbu karang di perairan teluk lampung. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 10(3): 699-709.
Bridge, T. C., Cowman, P. F., Quattrini, A. M., Bonito, V. E., Sinniger, F., Harii, S., ... and
Baird, A. H. 2023. A tenuis relationship: traditional taxonomy obscures
systematics and biogeography of the ‘Acropora tenuis’(Scleractinia: Acroporidae)
species complex. Zoological Journal of the Linnean Society. zlad062.
Darmawan, B., dan Mardiatno, D. 2015. Analisis Kerusakan Terumbu Karang Akibat
Sampah di Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu. Jurnal Bumi
Indonesia. 4(1).
Djaelani, S., Asyari, Y., Yuliani, Y., dan Suryadi, H. 2020. Strategi Pemasaran Buah Jeruk
Petani Melalui Bumdes Desa Karang Bunga Kecamatan Mandastana. Humanism:
Jurnal Pengabdian Masyarakat. 1(2).
Edmunds, P. J., and Burgess, S. C. 2016. Size-dependent physiological responses of the
branching coral Pocillopora ve.
Edrus, I. N., Arief, S., dan Setyawan, E. 2017. Kondisi kesehatan terumbu karang Teluk
Saleh, Sumbawa: Tinjauan aspek substrat dasar terumbu dan keanekaragaman
ikan karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16(2): 147-161.
Fukami, H., Niimura, A., Nakamori, T., and Iryu, Y. 2021. Species composition and
mitochondrial molecular phylogeny of Acropora corals in Funakoshi, Amami-
Oshima Island, Japan: A proposal for its new taxonomic grouping. Galaxea,
Journal of Coral Reef Studies. 23(1): 17-35.
Guntur, G., Arifin, S., dan Luthfi, O. M. 2016. Komposisi Penyusun Terumbu Karang Tepi
(Fringing Reef) Di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang, Madura The
Composition of Fringing Reef Formation in Pulau Mandangin, Sampang
Province, Madura. Saintek Perikanan: Indonesian Journal of Fisheries Science
and Technology. 11(2): 94-98.
Hartati, R., Meirawati, E., Redjeki, S., Riniatsih, I., dan Mahendrajaya, R. T. 2018. Jenis-
jenis bintang laut dan bulu babi (Asteroidea, Echinoidea: Echinodermata) di
perairan Pulau Cilik, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1): 41-
48.
Hidayah, Z., dan Nuzula, N. I. 2019. Pemetaan Sebaran Terumbu Karang Studi Kasus
Selat Madura, Jawa Timur. Jurnal Kelautan Tropis. 22(2): 127-134.
Ikhsan dan B. Syahrival. 2014. Willingness to Pay Masyarakat untuk Melindungi Terumbu
Karang di Pulau Weh. Jurnal Kebangsaan. Volume 3 Nomor 5. Januari 2014
Jaelani, L. M., Laili, N., dan Marini, Y. 2015. Pengaruh Algoritma Lyzenga Dalam
Pemetaan Terumbu karang Menggunakan Worldview-2, Studi Kasus: Perairan
Pltu Paiton Probolinggo (The Effect Of Lyzenga’s Algorithm On Coral Reef
Mapping Using Worldview-2, A Case Study: Coastal Waters Of Paiton
Probolinggo). Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital.
12(2).
Johan, O., Soedharma, D., dan Suharsono, S. 2016. Tingkat Keberhasilan Transplantasi
karang batu di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Riset Akuakultur.
3(2): 289-300.
Karako-Lampert, S., Zoccola, D., Salmon-Divon, M., Katzenellenbogen, M., Tambutté, S.,
Bertucci, A., ... and Levy, O. 2014. Transcriptome analysis of the scleractinian
coral Stylophora pistillata. PLoS One, 9(2), e88615.
Mauliza, R., Prihadi, D. J., dan Syamsuddin, M. L. 2016. Keterkaitan Kepadatan Predator
Karang Bintang Laut Berduri (Acanthaster placi) Terhadap Kondisi Terumbu
Karang Di Perairan Pulau Batu Malang Penyu, Kepulauan Belitung. Jurnal
Perikanan Kelautan. 7(2).
Muqsit, A., Purnama, D., dan Ta’alidin, Z. 2016. Struktur Komunitas Terumbu Karang Di
Pulau Dua Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Enggano.
1(1): 75-87.
Najmi, N., Fazillah, M. R., dan Agustiar, M. 2021. Kondisi ekosistem terumbu karang di
Perairan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Perikanan Tropis. 8(1): 11-
21.
Nugraha, M. A., Purnama, D., Wilopo, M. D., dan Johan, Y. 2016. Kondisi Terumbu
Karang di Tanjung Gosongseng Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi
Bengkulu. Jurnal Enggano. 1(1): 43-56.
Nugroho, A. C. 2017. Identifikasi Penyakit Pada Terumbu Karang Menggunakan Ripple
Down Rules. Jurnal Terapan Teknologi Informasi. 1(2): 165-174.
Nur, F., dan Fitrah, S. 2023. Penanggulangan Penyebab Terjadinya Pemutihan Terumbu
Karang Di Perairan Bulukumba. Sensistek: Riset Sains dan Teknologi Kelautan.
Patty, S. I., dan Akbar, N. 2018. kondisi suhu, salinitas, ph dan oksigen terlarut di perairan
terumbu karang Ternate, Tidore dan sekitarnya. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan.
1(2).
Prasetyo, A. B., dan Yuliadi, L. P. S. 2018. Keterkaitan tipe substrat dan laju sedimentasi
dengan kondisi tutupan terumbu karang di Perairan Pulau Panggang, Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Jurnal Perikanan Kelautan. 9(2).
Pustikawati, M., Johan, Y., dan Hartono, D. 2016. Kajian ekosistem terumbu karang untuk
pengembangan ekowisata bahari Pulau Tikus Bengkulu. Jurnal Enggano. 1(1):
113-119.
Putra, T. W. L., dan Kunarso, K. 2020. Distribusi Suhu, Salinitas Dan Densitas Di Lapisan
Homogen Dan Termoklin Perairan Selat Makassar. Indonesian Journal of
Oceanography. 2(2), 188-198.
Rahmi, S., Hadisusanto, S., Nurdin, N., Yosi, M., dan Gustiantini, L. 2019. Foraminifera
Bentonik Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Terumbu Karang Di Pulau
Tegal, Teluk Lampung, Lampung. Jurnal Geologi Kelautan. 17(2).
Ramadhan, A., Lindawati, L., dan Kurniasari, N. 2017. Nilai ekonomi ekosistem terumbu
karang di Kabupaten Wakatobi. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
11(2): 133-146.
Reppie, E., Patty, W., Sopie, M., and Taine, K. 2016. Pengaruh Pemikat Cahaya Berkedip
Pada Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang (the Effect of Blinking Light
Attractor on Trap Toward the Capture of Coral Fishes). Marine Fisheries:
Journal of Marine Fisheries Technology and Management. 7(1): 25-32.
Riyantini, I., Harahap, S. A., Kostaman, A. N., Aufaadhiyaa, P. A., Yuniarti, M. S.,
Zallesa, S., dan Faizal, I. 2023. Kelimpahan, Keanekaragaman dan Distribusi Ikan
Karang dan Megabentos serta hubungannya dengan kondisi Terumbu Karang dan
kualitas Perairan di Gosong Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jurnal
Buletin Oseanografi Marina. 12(2): 179-191.
Saputra, A., Permana, D. D., Cahyo, F. D., Arif, A., dan Wijonarko, E. A. 2021.
Transplantasi Terumbu Karang Acropora spp, Untuk Rehabilitasi Terumbu
Karang di Pulau Panjang, Teluk Banten. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan
(JKPT). 4(2): 105-115.
Seto, D. S., dan Probosunu, N. 2014. Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Hayati, 43-51.
Subhan, S., Rais, M., Pratikino, A. G., dan Erawan, M. T. F. 2022. Struktur Populasi Ikan
Endemik Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni) Yang Diintroduksi Di
Perairan Pulau Bokori–Sulawesi Tenggara. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal
of Marine Science and Technology. 15(1), 15-22.
Suhery, N., Damar, A., dan Effendi, H. 2017. Indeks kerentanan ekosistem terumbu karang
terhadap tumpahan minyak: kasus Pulau Pramuka dan Pulau Belanda di
Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 9(1), 67-90.
Suleman, Y., Lalamentik, L. T., and Rembet, U. N. 2017. The Distribution of Favites
abdita Coral Reef (Ellis and Solander, 1786) in the Land of Coral Coast Village of
Malalayang Dua, Malalayang sub-district Manado. Jurnal Ilmiah Plata. 5(1), 69-
76.
Tanaka, Y., Inoue, M., Nakamura, T., Suzuki, A., and Sakai, K. 2014. Loss of
zooxanthellae in a coral under high seawater temperature and nutrient enrichment.
Journal of experimental marine biology and ecology. 457, 220-225.
Uar, N. D., Murti, S. H., dan Hadisusanto, S. 2016. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas
manusia pada ekosistem terumbu karang. Majalah Geografi Indonesia. 30(1), 88-
96.
Wibawa, I. G. N. A., dan Luthfi, O. M. 2017. Kualitas air pada ekosistem terumbu karang
di Selat Sempu, Sendang Biru, Malang. Jurnal Segara. 13(1).
Widhiatmoko, M. C., Endrawati, H., dan Taufiq-Spj, N. 2020. Potensi Ekosistem Terumbu
Karang Untuk Pengembangan Ekowisata di Perairan Pulau Sintok Taman
Nasional Karimunjawa. Journal of Marine Research. 9(4), 374-385.
Yudha, A. P. P., Asriyanto, A., dan Pramonowibowo, P. 2017. Analisis Pengaruh
Penggunaan Atraktor Cahaya Warna Merah Dan Perbedaan Waktu Pengoperasian
Alat Tangkap Bubu Karang Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Kerapu
(Epinephelinea) Di Perairan Karimunjawa. Jurnal Perikanan Tangkap:
Indonesian Journal of Capture Fisheries. 1(02).
Yuniar, Z., Riyantini, I., Dewantii, L. P., Johan, O., dan Ismail, M. R. 2023. Korelasi
Kelimpahan Biota Bentik Pemakan Karang terhadap Kesehatan Terumbu Karang
di Perairan Pulau Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kelautan:
Indonesian Journal of Marine Science and Technology.16(1): 17-29.
LAMPIRAN