Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM KORALOGI

“IDENTIFIKASI JENIS TERUMBU KARANG DI PULAU TIKUS ”

Disusun Oleh :
Nama : Frisca Debora
Npm : E1I022012
Kelompok : 3 (Tiga)
Dosen : 1. Mukti Dono Wilopo, S.Pi., M.Si.
2. Dr. Yar Johan, S.Pi., M.Si.
3. Nella Tri Agustini. S. Kel., M.Si.
Co-Ass : 1. Afriliati (E1I021001)
2. Rany Yollanda (E1I021037)
3. Zulmansyah (E1I021038)
4. Jaka Ramadhan Sait (E1I021040)

LABORATORIUM PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Indonesia kaya akan sumberdaya alamnya dan salah satu kekayaan tersebut
adalah terumbu karang, dimana di daerah ini belum banyak dilakukan kegiatan untukmenggali
informasi yang berkaitan dengan karang. Meskipun kondisi karang yang sangat menarik ini kini
cukup memprihatinkan karena berbagai beban aktivitas manusia yang berlebihan dan kepadatan
penduduk di wilayah pesisir yang terus bertambah, namun berbagai informasi yang dapat
merubah lingkungan menjadi lebih baik sangatlah diperlukan. Cingkuak adalah sebuah pulau
yang berada di perairan Kabupaten Pesisir Selatan yang berada didepan Pantai Cerocok, Sumatra
Barat. Keindahan lautnya yang sangat luar biasa dan melimpah ini membuat daerah merupakan
salah satu tempat wisata unggulan di Sumatera Barat. Terumbu karang adalah sekumpulan
hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae.
Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel.
Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan
Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi. Kondisi
ekosistem karang pada saat ini telah mengalami kerusakan dan penurunan yang disebabkan
antara lain oleh pengeboman ikan, pengambilan ikan dengan menggunakan bahan beracun
serta pengambilan dan perdagangan karang hias illegal. Berdasarkan hasil penelitian Pusat
Penelitian Oseanografi (P2O) - LIPI tahun 2002, dari 556 lokasi yang tersebar di perairan
Indonesia menunjukan bahwa 6,83 % dalam kondisi sangat baik, 25,72 % dalam kondisi baik,
36,87 % dalam kondisi sedang, dan 30,58 % dalam kondisi rusak (Suharsono & Gianto, 2013).

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terbesar kedua di dunia yang
memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km. Dengan data tersebut dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas. Apalagi dengan luas
wilayah pesisir ini didukung juga dengan potensi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati
yang tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, hasil perikanan, minyak
bumi, gas, mineral, dan barang tambang lainnya. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir
yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota
asosiatif seperti rumput laut, algae, cacing laut, molusca, ular laut, bulu babi, teripang, dan
bintang laut. Tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi..
Indonesia merupakan negara yang terletak pada pusat segitiga terumbu karang (the coral
triangle) yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta
km2 dan panjang pantai 95.181 km. Sebagai negara nomor empat terpanjang garis pantainya,
COREMAP melansir luas ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 75.000
km2 yaitu sekitar 12-15 % dari luas terumbu karang dunia. Dan dengan ditemukannya 362
spesies scleractinia (karang batu) yang termasuk dalam 76 genera, Indonesia merupakan
episenter dari sebaran karang batu dunia (Prabowo, 2013).

Wilayah regional Sulawesi Selatan turut menjadi penyumbang keragaman jenis karang
yang ada di Indonesia. Menurut sumber Dokumen Persiapan COREMAP Phase II dalam
(Prabowo, 2013) tahun 2003, bahwa luas total hamparan terumbu karang yang terdapat pada
kawasan kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate diperkirakan sekitar 600 km 2. Untuk wilayah
spermonde, salah satu penyumbang keragaman jenis karang adalah Pulau Badi. Pulau Badi
dengan paparan terumbu karang yang realif luas ditambah kondisi struktur komunitas yang
beragam sangatlah kaya akan keragaman jenis karang Berdasarkan beberapa kondisi faktual
yang ada di ekosistem terumbu karang yang dijelaskan di atas, terkhusus daerah Pulau Badi,
Kabupaten Pangkep, maka dianggap perlu dilakukan praktik lapang koralogi untuk mengeksplor
secara langsung kondisi ekosistem terumbu karang dari segi bio-ekologi, lingkungan, dan
identifikasi per spesies.

I.1 Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengenal ekosistem terumbu karang


2. Mahasiswa dapat menerapkan cara pengamatan ekosistem terumbu karang dengan
metode Point Intercept Transect
3. Mahasiswa mampu menilai tingkat keanekaragaman jenis ikan karang pada lokasi
pengambilan data.
4. Mahasiswa mampu memahami karakteristik hidup ikan karang berdasarkan
identifikasi yang dilakukan.
5. Mahasiswa dapat menerapkan identifikasi genus karang menggunakan coral finder
tool secara langsung di ekosistem terumbu karang.
6. Mahasiswa dapat menghitung prevalensi dan mengidentifikasi penyakit karang di
lokasi pengambilan data.
7. Mahasiswa dapat mengetahui hubungan antara persentase tutupan karang dengan
indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi.

1.2 Manfaat

Manfaat dari praktik lapang ini adalah menggalakkan ketertarikan mahasiswa untuk

mengkaji aspek-aspek yang terkait ekosistem terumbu karang terkhusus kondisi bio-ekologinya.

Dan Manfaat yang akan diperoleh dari praktikum lapangan ini adalah agar mahasiswa

mengetahui teknik mengukur persentase tutupan karang dengan metode Line Intersect Transect

dan mengetahui beberapa jenis karang.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh factor biotik dan abiotic yang saling
mempengaruhi. Hal ini berkaitan dengan strategi adaptasi karang dengan bentuk pertumbuhan
yang merepresentasikan dimana zonasi karang berada. Bentuk pertumbuhan karang merupakan
salah satu bentuk strategi ekspansi untuk menguasai ruang baik secara vertical maupun
horizontal. Daerah tropis kerap kali di temukan pembentukan zonasi pertumbuhan vertical
komunitas karang yang merupakan toleransi antar spesies karang terhadap factor fisika perairan
seperti gelombang, arus, pasang surut dan berbagai arameter perairan lainnya. Parameter perairan
tersebut yang dianggap sebagai factor pembatas pertumbuhan karang dan yang mempengaruhi
bentuk pertumbuhan karang. Dalam menghadapi factor fisik maupun kimiawi perairan ini maka
setiap karang memiliki respon yang berbeda mengenai bentuk pertumbuhannya agar bisa
bertahan terhadap fakroe pembatas tersebut (Djunaidi, Sahami, & Hamzah, 2014).

Bentuk pertumbuhan karang merupakan strategi untuk bertahan dari parameter perairan
serta bentuk strategi untuk menguasai ruang baik secara vertical maupun horizontal.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu di bagi menjadi dua yakni karang Acropora
dan non-acropora . perbedaan antar keduanya terletak pada struktur skeletonnya dimana karang
Acropora memiliki bagian yang disebut axial coralit dan radial coralit sedangkan karang non-
acropora tidak memiliki axial coralit dan hanya memiliki radial coralit. Masing-masing dari jenis
ini memiliki bentuk pertumbuhannya. bentuk pertumbuhannya (coral lifeform) karang dibedakan
menjadi Acropora dan non Acropora. Perbedaan morfologi berupa tipe bercabang (branching),
tipe padat (massive), tipe merayap (encrusting), tipe daun (foliose), tipe meja (tabulate), serta
tipe jamur (mushroom). Pada suatu habitat, bentuk pertumbuhan karang yang hidup dapat
didominasi oleh suatu bentuk pertumbuhan tertentu. Bentuk pertumbuhan karang yang dominan
pada suatu habitat bergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup
(Purnama dkk., 2020).

Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur,
terutama oleh hewan karang, bersama-sama dengan biota lain yang hidup di dasar laut maupun
kolom air. Hewan karang, yang merupakan penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip
dan skeleton. Polip merupakan bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian yang
keras. Pada bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk menangkap plankton sebagai
sumber makanannya. Setiap polip karang mengsekresikan zat kapur CaCO3 yang membentuk
kerangka skeleton karang. Coral Finder Toolkit 2.0 adalah sebuah metode identifikasi karang
keras tingkat genera yang diterbitkan oleh Russel Kelley yang diadopsi dari Buku Coral Of The
World. Metode tersebut menghubungkan antara buku Coral Of The World dengan sistem
determinan, dengan karang yang hidup dilaut. Metode tersebut sangat praktis karena buku
identifikasi yang digunakan didesain tahan terhadap air. Hadirnya metode Coral Finder ini
dilakukan oleh orang ahli maupun orang pemula (Adrim dkk., 2017).

Diidentifikasi bentuk pertumbuhan karang dengan dilihat pada kolom key group dalam
halaman pertama Coral Finder Tool. Selanjutnya, ditentukan bentuk dan mengukur besar koralit
pada karang tersebut. Setelah ditentukan besar koralit atau bentuk khusus maka langsung
diarahkan pada halaman utama (look alike). Dibandingkan karang yang diamati dengan gambar
karang pada kolom colony, corallites, dan close up. Dikonfirmasikan ciri-ciri karang tersebut
dengan karakteristik kunci deskripsi dan dilihat gambar karang pada kolom skala. Dicatat nama
genus karang yang telah diamati sesuai dengan keterangan genus yang terdapat pada Coral
Finder Tool (Thovyan dan Parenden, 2017).

Tutupan karang yaitu penempatan permukaan terumbu yang ditutupi oleh karang batu
yang hidup yang terbentuk dari spongia, alga atau organisme lainnya. Batu karang yang
membentuk terumbu karang merupakan contributor utama pembentuk terumbu karang. Dapat di
gunakan sebagai habitat untuk banyak organisme dilaut. Tutupan karang merupakan indikator
pertumbuhan karang yang optimal. Metode PIT (Point Intercept Transect) merupakan salah satu
metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya.
Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin mengetahui kondisi terumbu karang untuk
tujuan pengelolaan dan penelitian. Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di
daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup. Secara teknis, metode Point Intercept
Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak,
dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala atau
roll meter (Wahyulfatwatul dkk., 2017).

Penyakit karang merupakan suatu infeksi mikroba yang bersifat pathogen terjadi pada
karang. Gangguan terhadap kesehatan karang yang menyebabkan gangguan secara fisiologis
bagi biota karang. Munculnya penyakit karang dicirikan dengan adanya perubahan warna,
kerusakan dari skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan jaringannya. Munculnya
penyakit tersebut merupakan interaksi antara inang karang, patogen, dan lingkungan. Ekosistem
terumbu karang dibagi menjadi beberapa kondisi atau tingkat kerusakan berdasarkan kategori
diantaranya 0-24,9% tutupan karang hidup dikategorikan buruk/sangat rusak, 25-49,9 % tutupan
karang hidup dikategorikan sedang, 50-74,9% tutupan karang hidup dikategorikan baik, dan 75-
100 % tutupan karang hidup dikategorikan sangat baik (Hazrul dan Ketjulan, 2016).

Penelitian penyakit karang sudah dimulai sejak tahun 2004 di Indonesia. Sementara
penelitian secara konprehensif telah dilakukan di Kepulauan Seribu dengan mengamati
distribusi, kelimpahan, prevalensi serta komunitas bakteri penyakit karang BBD dan WS
(White Syndrome) di Kepulauan Seribu BBD merupakan penyakit karang bersifat virulen yang
ditemui menyerang pada banyak jenis karang scleractinia. BBD hampir dapat dijumpai di
seluruh ekosistem karang dunia seperti Indo-pasifik, laut karibia, samudera hindia dan atlantik.
Bahwa penurunan kualitas lingkungan perairan sangat berperan terhadap munculnya
mikroorganisme patogen terhadap karang. Sebagai contoh kenaikan dari nitrogen terlarut yang
diikuti dengan penurunan kecerahan perairan menyebabkan munculnya aspergillosis penyebab
penyakit black band disease. Selain itu sedimentasi, polusi yang ditimbulkan oleh limbah
domestik, sampah, sampai dengan air balas berpotensi munculnya patogen penyebab penyakit
karang. Di perairan Indonesia masih jarang dilakukan penelitian namun beberapa penelitian yang
pernah dilakukan diantaranya di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara, Pulau Seribu DKI
Jakarta, dan Pulau Panjang Jawa Tengah (Michael et al., 2015).

Menurut Fitriana (2020), untuk mengetahui prevalensi penyakit karang


dilakukan perhitungan dengan membandingkan jumlah koloni karang yang terserang
penyakit tertentu dibagi dengan jumlah total koloni karang terserang penyakit yang
ditemukan pada lokasi pengamatan dikali 100%. Sedangkan untuk mengetahui
kelimpahan penyakit karang yang ditemukan dilakukan perhitungan dengan
melakukan perbandingan antara jumlah individu yang terserang penyakit dibagi
dengan luas area pengamatan. Metode PIT (Point Intercept Transect) merupakan salah
satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota
pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan
dalam waktu yang cepat.Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin mengetahui
kondisi terumbu karang untuk tujuan pengelolaan. Metode ini dapat memperkirakan
kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup
dengan mudah dan cepat. Metode PIT, merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di
suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat.
Ikan karang merupakan salah satu kelompok hewan yang berasosiasi dengan
terumbu karang. Keberadaannya mencolok dan ditemukan pada berbagai mikrohabitat
di terumbu karang. Ikan karang, hidup menetap serta mencari makan di areal terumbu
karang (sedentary). Sehingga apabila terumbu karang rusak atau hancur maka ikan
karang juga akan kehilangan habitatnya. Sebagai ikan yang hidupnya terkait dengan
terumbu karang maka kerusakan terumbu karang dengan sendirinya berpengaruh
terhadap keragaman dan kelimpahan ikan karang (Miftaudin dkk., 2017).
Ikan karang merupakan salah satu kelompok hewan yang berasosiasi dengan
terumbu karang, hidup menetap serta mencari makan di areal terumbu karang (Ilyas
dkk., 2017). Ikan karang adalah kelompok taksa ikan yang kehidupannya berasosiasi
dengan lingkungan ekosistem terumbu karang. Sebanyak 113 famili ikan merupakan
penghuni karang dan sebagian besar dari ordo Perciformes. Sepuluh besar famili utama
dari ikan karang tersebut adalah Gobiidae, Labridae, Pomacentridae, Apogonidae,
Bleniidae, Serranidae, Murraenidae, Syngnathidae, Chaetodontidae, dan Lutjanidae
Keberadaan habitat ikan karang merupakan salah satu faktor kunci tingginya
keragaman spesies ikan di terumbu karang. Keragaman ikan karang juga berhubungan
erat dengan kondisi dan kompleksitas permukaan (rugositas) terumbu karang.
Terdapat hubungan yang erat antara rugositas dengan kelimpahan ikan karang. Selain
itu ikan-ikan karang memiliki relung (niche) ekologi yang sempit sehingga lebih banyak
spesies yang dapat menghuni terumbu karang.
BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 04 November 2023. Praktikum ini dimulai
pada pukul 08.00 – sampai selesai. Tempat praktikum ini dilaksanakan di Pulau Tikus, Kota
Bengkulu.
3.2 Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat Praktikum
No. ALAT KEGUNAAN
1. Kertas identifikasi jenis terumbu Untuk menganalisa jenis terumbu karang
karang pada saat praktikum.
2. Kamera Untuk mengambil gambar hasil pada
saat praktikum.
3. Alat tulis Untuk mencatat hasil praktikum.
Tabel 2. Bahan Praktikum
No. BAHAN KEGUNAAN
Terumbu karang Sebagai objek praktikum.

3.3 Prosedur Kerja

Adapun langkah kerja pada saat praktikum dipulau tikus sebagai berikut:
1. Menyiapkan semua peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis teumbu
karang.
2. Mencari jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
3. Mengambil gambar jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
4. Mengidentifikasi jenis terumbu karang menggunakan tabel identifikasi yang sudah
disiapkan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

No Nama Nama Gambar Klasifikasi (dari


Karang Ilmiah jurnal)
1. Karang Acropora Menurut Giyanto dkk.
Cabang acuminata (2018)
Kingdom: Animalia
Phylum: Cnidaria
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Acroporidae
Genus: Acropora
Spesies:Acropora
acuminata
2. Karang Montipora Menurut Goreau dkk.,
Biru flabellata (2014)
Kingdom: Animalia
Phylum: Cnidaria
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Acroporidae
Genus: Montipora
Spesies:Montipora
flabellate
3. Karang Favites Menurut Muhlis

Bintang abdita (2018)


Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Favidae
Genus: Favites

Spesies: Favites
abdita
4. Karang Pectinia Menurut Veron (2022)
Bunga lactuca Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: pectiniidae
Genus: pectinia
Spesies: Pectinia
lactuca
5. Karang Siderastrea Menurut Haruddin
Bintang sidereal (2018)
Muda Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Siderastreidae
Genus: Siderastrea
Spesies:Siderastrea
sidereal
6. Karang Acropora Menurut Rudi (2017)
Jari donei Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Acroporaidae
Genus: Acropora
Spesies: Acropora
donei

7. Karang Porites Menurut Nordemar


Batu cylindrica dan Dizon (2016)
Kingdom: Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Poritida
Genus: PoritesSpesies:
Porites cylindrica
8. Karang Pocillopora Menurut Baker dkk .,
Kembang verucosa (2017)
Kol Kingdom : Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Pocilloporidae
Genus: Pocillopora
Spesies: Pocillopora
verrucosa
9. Karang Millepora Menurut Suryanti dan
Api alcicornis Roslinawati (2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Hydrozoa
Ordo : Milleporina
Famili : Milleporidae
Genus : Millepora
Spesies : Millepora
alcicornis
10. Karang Stylophora Menurut Yanuar
Tudung pistillata (2015)

Kingdom : Animalia

Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Pocilloporidae
Genus: Stylophora
Spesies: Stylophora
pistillata

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karang Cabang (Acropora acuminata)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Karang Cabang di Pulau Tikus,
kota bengkulu. Pada stasiun lokasi kami praktikum memperoleh Karang Bercabang merupakan
terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas air yang tetap di atas 30
‰ tetapi di bawah 35 ‰ Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang
mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas.
Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi lain, terumbu karang dapat berkembang
di wilayah bersalinitas tinggi yang salinitasnya 42 %. Salinitas secara umum dapat disebut
sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang dinyatakan dalam permil (‰).
Kisaran salinitas air laut berada antara 0 – 40 g/kg air laut. Secara umum, salinitas permukaan
perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32 – 34 ‰ Menurut Febrizal dkk., (2018)
menyatakan bahwa karang hermatipik adalah organism lautan yang tidak dapat bertahan pada
salinitas yang menyimpang dan salinitas yang normal yaitu 32 – 35 ‰ . Marga Acropora
mempunyai bentuk percabangan sangat bervariasi dari karimboba,aborsen, kapitosa dan lain-
lain. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralitdan radial koralit. Bentuk koralit
juga bervariasi dari bentuk tubular, harifon dan tenggelam. Acropora mempunyai bentuk
percabangan aborsen dengan percabangan rampai sampai gemuk.radial koralit membentuk
tabung dengan bukan membulat atu oval tersusun merata dan rapat. Warna koloni kecoklatan
dengan unjung cenderung memutih. Karang acropora berbeda dari yang lainnya dalam hal dua
tipe polip yang di milikinya. Polip bagian tengah atau bagian aksial melintasi bagian tengah dari
sebuah cabang dan membuka pada unjungnya. Pada saat unjung cabang tersebut tumbuh maka
akan membentuk pucuk dengan sejumla polip jenis lainnya disebut polip radial. Percabangan
selanjutnya terjadi pada saat sebuah koralit radial berubah menjadi sebuah koralit aksial dan
mulai memanjang dan membentuk pucuk. Tipe perubahan ini memungkinkan terbentuknya
sejumlah besar bentukan sehinga karang Acropora dapat terlihat menyerupai pohon, semak,
tabel, pelat dan berbagai bentuk lainnya. Hal ini juga memungkinkan karang genus ini untuk
tumbuh cepat dan mengisi tempat pada terumbu, baik di atas maupun di bawah karang lainnya.

Menurut Patty (2013) mengatakan bahwa manfaat karang bercabang untuk


mengontrol iklim bumi Lebih dari 70 persen permukaan Bumi ditutupi oleh air. Laut berperan
menangkap karbon dioksida yang terkandung di dalam atmosfer. Kemampuan ini adalah akibat
keseimbangan ekosistem laut, termasuk terumbu karang. Jika ekosistem laut mengalami
kerusakan, kemampuan laut menyerap karbon dioksida akan berkurang. Dampaknya tidak hanya
kepada iklim Bumi,tetapi juga terhadap keberlangsungan makhluk laut lainnya. Manfaat untuk Habitat hewan
kecil Bersama dengan mangrove dan padang lamun, terumbu karang menjadi tempat tinggal yang ideal bagi
hewan-hewan kecil seperti kuda laut, ikan kerapu, ikan baronang, dan ikan kecil lainnya. Selain itu, terumbu
karang juga menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan terebut. Menahan ombak dan gelombang laut
Terumbu karang mampu menahan dan memperlambat arus ombak yang datang ke pesisir. Ini bermanfaat
untuk mencegah terjadinya erosi pantai dan mengurangi dampak jika terjadi gelombang besar seperti tsunami.
Wisata bahari Terumbu karang memiliki bentuk dan warna yang sangat indah dan beragam. Ini menjadikannya
memiliki potensi wisata bahari. Namun, perlu bijak jika menjadikan ini obyek wisata karena terumbu karang
adalah ekosistem yang sangat sensitif terhadap perubahan sekitar dan sentuhan. Ekosistem terumbu karang
merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi
beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih
dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh ‐puluh jenis moluska,
crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan
tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan
merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi, itulah sebabnya mengapa karang dalam hal ini acropora menjadi organisme
bernilai ekonomis. Proses pengambilan data berada di daerah Pulau Tikus yang memiliki
gelombang relative kecil dengan karakteristik arus yang tenang. Secara umum, kondisi
lingkungan pulau Tikus terdapat pipa pembuangan limbah disepanjang perairan yang
mengalirkan limbah langsung menuju ke laut. Kondisi tersebut sangatlah berpengaruh terhadap
keberlangsungan hidup karang serta biota-biota yang berada di sekitarnya. Dapat disimpulakan
bahwa kondisi umum tersebut mempengaruhi laju pertumbuhan serta perkembangan ekosistem
terumbu karang, limbah - limbah yang mengalir ke laut akan merusak kehidupan karang
sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan karang di daerah tersebut. Selain itu, pada
keadaan tersebut tidak semua karang bisa beradaptasi dan tumbuh. Lingkungan yang lain seperti
terdapatnya sedimen yang menyebar juga dapat mempengaruhi pengambilan data. Hal tersebut
juga cukup mengganggu saat proses pengambilan data.

4.2.2 Karang Biru (Montipora flabellate)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Karang Biru bahwa Invertebrata
sesil sering melakukan peristiwa pemijahan yang tersinkronisasi untuk meningkatkan
kemungkinan pembuahan. Meskipun terumbu karang telah dipelajari dengan baik, perilaku
reproduksi sebagian besar spesies dan pengaruh relatif berbagai isyarat lingkungan yang
mendorong reproduksi masih belum dipahami dengan baik. Kami melakukan pemeriksaan
komparatif terhadap reproduksi karang Hawaii Montipora capitata yang banyak dipelajari dan
reproduksi congenernya, Montipora flabellata, yang relatif tidak diketahui. Keduanya
merupakan pemijahan siaran hermafrodit simultan yang melepaskan kumpulan telur-sperma
dengan pembuahan eksternal. Montipora capitata memiliki pola reproduksi yang berbeda yang
menghasilkan pematangan gamet yang terkoordinasi dan pelepasan ribuan kumpulan telur-
sperma secara tersinkronisasi melalui dua tahap pemijahan yang digabungkan secara erat ke fase
bulan baru berturut-turut pada bulan Juni dan Juli. Menurut Ponto dkk., (2015) mengatakan
bahwa Montipora flabellata menunjukkan musim reproduksi selama empat bulan dengan
pemijahan yang empat kali lipat kurang sinkron dibandingkan Montipora capitata; pemijahannya
bersifat aperiodik dengan sedikit kaitan dengan fase bulan, pelepasan lusinan atau ratusan
bungkusan yang tersebar luas hanya dalam beberapa malam, dan periode pemijahan yang
berkisar dari akhir Juni hingga September. Strategi reproduksi Montipora flabellata mungkin
terbukti merugikan dalam kondisi perubahan iklim jika peningkatan frekuensi dan tingkat
keparahan peristiwa pemutihan menyebabkan populasinya menjadi sedikit dan penyebab stres
lokal terus merusak habitatnya. Terumbu karang dan fauna laut lainnya menghadapi ancaman
yang tidak ada bandingannya terhadap masa depan mereka karena dampak ganda yaitu
pengasaman laut dan pemanasan akibat perubahan iklim1,2,3, degradasi habitat local 4, dan
penyakit baru. Kegigihan populasi ini pada zaman Antroposen akan bergantung pada
kemampuan mereka untuk bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Meskipun karang dapat
bereproduksi secara aseksual melalui fragmentasi dan juga secara seksual melalui peristiwa
pemijahan7,8, reproduksi mereka terkena dampak negatif dari berbagai sumber polusi pesisir dan
peristiwa pemutihan berulang kali yang dipicu oleh pemanasan laut akibat perubahan iklim.
Reproduksi aseksual menghasilkan ramet yang secara genetik identik (meskipun akumulasi
mutasi sel somatik mungkin terjadi dan dapat menyebabkan sedikitnya genotipe kompetitif yang
menempati wilayah terumbu karang yang luas. Sebaliknya, reproduksi seksual mengarah pada
produksi genotipe baru melalui rekombinasi gen, yang meningkatkan keragaman genetik dalam
suatu populasi dan merupakan kunci untuk mendorong adaptasi. Ketika reproduksi seksual
terganggu, hilangnya keragaman genetik yang dapat membantu populasi beradaptasi terhadap
perubahan lautan yang cepat akan terancam.

Menurut Saptarini dkk., (2016) mengatakan bahwa secara mikroskopis, Montipora


flabellata dan Montipora patula dapat dikenali berbeda. Meskipun mereka mempunyai bentuk
dasar tubuh yang sama, ada beberapa perbedaan mencolok yang diamati. Porites evermanni,
Pocillopora meandrina, dan Montipora capitata juga dianalisis untuk perbandingan. Semua
spesimen tampak normal dengan sedikit atau tidak ada patologi yang teramati. Surface Body
Wall (SBW) Bertentangan dengan prediksi bahwa Montipora flabellala memiliki silia yang
kurang, bukti visual yang kuat dari jaringan terminal tebal yang menunjukkan keberadaan silia di
permukaan apikal, ditemukan di semua sampel. Namun, mukosit berukuran kecil (diameter rata-
rata ~10 μm) dan sangat langka, terjadi pada laju ~0,003 mukosit μm-1. Pengamatan silia dan
mukosit konsisten pada epidermis koenenkim dan polip. Pada semua sampel Montipora patulata,
mukosit berukuran lebih besar dengan diameter rata-rata ~16 μm dan ditemukan pada laju ~0,03
mukosit μm-1 kira-kira sepuluh kali lebih banyak dibandingkan pada Montipora flabellata.
Untuk menguji lebih lanjut defisiensi mukosit secara lebih luas pada Montipora flabellata,
histoslida dari sepuluh koloni tambahan pada dua titik waktu dianalisis. Konsisten dengan
pengamatan sebelumnya, jumlah mukosit rendah, dan bila ada, sangat tidak terlihat, berbentuk
bulat, dan umumnya utuh di bawah jaringan terminal. Sebaliknya, mukosit Montipora patula
lebih besar dari sel pendukung dalam hal lebar dan kedalaman, bentuknya tidak beraturan, dan
umumnya terlihat membuka pada permukaan untuk mengeluarkan lendir. Selain itu, simbion
pada Montipora flabellata tampak abu-abu tua dengan pewarnaan Fontana-Masson yang
menunjukkan adanya melanin pada semua sampel, sedangkan simbion pada Montipora
patuladid. Kedua spesies memiliki jumlah butiran melanin yang bervariasi yang tersebar di
epidermis di atas inti. Adanya melanin yang berasosiasi dengan simbion merupakan penemuan
yang menarik karena incedinoflagellata tidak diketahui menghasilkan pigmen. Kemungkinan
besar melanin disintesis oleh karang dan diamati menyelubungi simbion, namun hal ini
memerlukan penyelidikan lebih lanjut karena mungkin terbukti merupakan lapisan perlindungan
lain. Tidak ada knidosit di dalam simbion. epidermis terdeteksi dan sel pigmen granular basal
tidak ditemukan pada Montipora flabellata. Pada Montipora patula, terdapat knidosit di
epidermis tetapi tidak melimpah. Basal Body Wall (BBW)BBW, yang terdiri dari gastrodermis,
mesoglea, dan calicodermis secara konsisten tipis (~9 μm) pada M. flabellata karena
calicodermis kira-kira seperempat lebar gastrodermis dan mesoglea tidak terdeteksi di sebagian
besar wilayah. Khususnya, sel kelenjar granular berwarna merah muda cerah yang mengandung
lisozim tidak ada di semua sampel Montipora flabellata sedangkan mereka diamati di Montipora
patula di banyak area BBW dan di mesenterium. Mesenterium Pada Montipora flabellata,
mesenterium tersebar dalam kelompok kecil dan pita cnidoglandular berukuran kecil dan
seringkali datar, berbentuk jamur. Tidak ada kelompok sel kelenjar granular pencernaan yang
diamati pada Montipora flabellata, tetapi sel-sel ini terdapat pada Montipora patula. Baterai
spirocyst yang berukuran besar jarang terlihat pada saluran masuk Montipora flabellata. Tabung
mikrofibril perekat yang berkapsul dan bergulung rapat ini lebih umum ditemukan pada saluran
masuk Montipora patula.

4.2.3 Karang Bintang (Favites abdita)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Karang Favites abdita


termasuk karang dari Family Faviidae dengan ciri- ciri koloni massif dan berbentuk bulat.
Ukuran panjang diameter bisa mencapai lebih dari 1 meter. Koralit bulat dengan dinding yang
tebal serta septa lurus dan bergerigi yang tumbuh keluar dengan warna umumnya berwarna
cokelat muda. Bagian mulut berwarna cokelat atau hijau. Di lingkungan yang keruh biasanya
warna Favites abdita lebih gelap. Karang dari spesies Favites abdita biasanya memiliki
jumlah septa 28-40, bentuk pali menonjol keluar dari bagian septa, serta pada bagian kolumella
berbentuk bulat. Koloni masif biasanya kecil, koralit berbentuk cerioid berbukit-bukit kecil,
septa tegak dan gigi-gigi yang tajam. Berwarna coklat tua atau kuning muda dan, umumnya
dijumpai di rataan terumbu sampai daerah tubir, tersebar diseluruh perairan Indonesia
(Zamani, 2015). Terumbu karang memiliki fungsi sebagai tempat perkembangbiakan ikan,
perlindungan dan mencari makan bagi ikan, kerang, udang dan biota lainnya. Selain itu karang
juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi dan gempuran ombak, menstabilkan keliling
pulau-pulau dan garis pantai dari kikisan ombak yang sangat kuat. Terumbu karang juga dapat
dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari dan tempat menangkap ikan bagi para nelayan.
Menurut Humphrey dkk., (2018), Karang di Indonesia tersebar mulai dari Sabang hingga utara
Jayapura. Sebaran karang tidak merata di seluruh perairan Indonesia. Ada daerah tertentu di
mana karang tidak dapat tumbuh dengan baik dan pada daerah lainnya tumbuh sangat baik
Lalamentik, (Pers. Com). Daerah sekitar Sulawesi, Maluku, Sorong, NTB, dan NTT merupakan
daerah yang sangat baik untuk pertumbuhan karang. Distribusi karang dari Favites abdita
hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia. Karang ini dijumpai pada rataan terumbu sampai
daerah tubir. Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman jenis karang dan tempat asal-usul
karang. Jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sebanyak 590 jenis yang
termasuk dalam 80 marga karang. Sebagai gambaran di Pulau-pulau Raja Ampat berhasil
diidentifikasi sebanyak 456 jenis karang yang termasuk dalam 77 marga Meskipun suhu dan
salinitas menunjang pertumbuhan karang batu Favites abdita pada ketiga stasiun, tetapi ada
faktor biologi dan factor antropogenikyang mempengaruhi pertumbuhan karang di daerah
tersebut. Faktor antropogenik yaitu aktifitas manusia dalam pemanfaatan karang baik secara
langsung maupun secara tidak langsung membawa dampak pada kerusakan karang yang
umumnya mempunyai bentuk pertumbuhan braching yang mudah patah atau rusak. Dengan
demikian agar karang di rataan terumbu Pulau Tikus khususnya aktivitas

4.2.4 Karang Bunga (Pectinia lactuca)


Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Terumbu karang Pectinia
Lactuca adalah terumbu karang yang berbentuk seperti bunga, indah sekali. Terumbu karang
jenis ini akan banyak kita jumpai di laut yang memiliki kedalan 3 hingga 15 meter. Ciri-ciri
Pectinia Lactuca antara lain : Koloni submasif, yang membentuk dinding-dinding dengan tinggi
yang relatif seragam. Pada umumnya dilihat dari koloni di tengah sampai pinggir. Biasanya
berwarna abu- abu, hijau dan juga coklat Sama seperti jenis terumbu karang lainnya, terumbu
karang ini juga terdapat di perairan Indonesia, Filiphina, Papua Nugini, dan juga Australia. Sama
seperti Pectinia Paeonia, terumbu karang ini dapat kita jumpai di banyak perairan dangkal
sekaligus mempunyai arus yang deras. Wisata bahari di Pulau Tikus berkembang pesat karena
menawarkan habitat unik dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Fisch
dkk., (2019) mengatakan bahwa Dampak peningkatan pariwisata terhadap terumbu karang tidak
hanya terkait dengan aktivitas manusia (misalnya menyelam, kerusakan jangkar, kandasnya
kapal), namun juga aktivitas yang berkaitan dengan konstruksi dan konversi lahan. Terdapat
indikasi kelebihan kapasitas di beberapa titik penyelaman di selat tersebut. Kegiatan pariwisata
yang tidak dikelola dengan baik dan tidak dibarengi dengan pengawasan dan penegakan hukum
akan mengancam keberadaan terumbu karang. Untung, Ekosistem Terumbu Karang
penangkapan ikan yang berlebihan peristiwa pemutihan, penangkapan ikan yang merusak seperti
sianida dan bom tidak ditemukan di selat tersebut. Nelayan lokal memanen sumber daya laut
untuk konsumsi domestik dan sebagian kecil dijual. Menurut Zulfianti (20140 mengatakan
bahwa sebagian kecil nelayan di selat tersebut adalah nelayan komersial dan mereka menangkap
ikan di luar selat tersebut. Identifikasi karang Saat ini, taksonomi dan sistematika karang
Scleractinian berada dalam masa transisi atau pergolakan. Ada dua aliran pemikiran yang
menggunakan pendekatan berbeda dalam mengidentifikasi karang. Kelompok pertama terutama
didasarkan pada ciri morfologi polip dan struktur susunan septum koralit. Sedangkan pada
kelompok lainnya, identifikasi spesies didasarkan pada teknik genetik untuk menelusuri
hubungan spesies dan garis keturunan dengan ketidakpastian yang cukup besar, terutama untuk
beberapa spesies saudara karang dan hibridisasi spesies lainnya yang menghasilkan karang baru
yang mungkin berbeda dari induknya. Diperlukan waktu beberapa tahun sebelum revisi
sistematis yang baru dilakukan. Di sini, kami mengikuti pendekatan taksonomi klasik. Karang
menunjukkan plastisitas morfologi yang tinggi dalam bentuk pertumbuhannya, sehingga
membuat taksonomi dan identifikasi karang menjadi cukup sulit. Namun beberapa spesies
karang mudah dikenali di bawah air karena karakter morfologinya. Beberapa spesies karang
merupakan spesies mono yang membuatnya mudah untuk diidentifikasi. Namun, beberapa
karang tidak dapat diidentifikasi di bawah air dan memerlukan konfirmasi mengenai struktur
susunan septum koralit

4.2.5 Karang Bintang Muda (Siderastrea sidereal)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Siderastrea siderea adalah spesies
yang tumbuh sangat lambat dan hidup sampai usia yang sangat tua. Dalam sebuah penelitian, inti karang dibor
dan sampel diambil dari karang di zona berbeda untuk menentukan apakah laju pertumbuhan telah berubah
selama seratus tahun terakhir. Ditemukan bahwa untuk spesimen terumbu karang dan dekat pantai, laju
perluasan kerangka tidak berubah secara signifikan dalam periode ini. Namun, laju pertumbuhan karang di
bagian depan telah menurun drastis, zona ini berubah dari zona dengan pertumbuhan tercepat menjadi zona
dengan laju pertumbuhan paling lambat. Penyebabnya belum diteliti, namun kemungkinan penyebabnya
mencakup peningkatan sedimentasi dan kekeruhan air, eutrofikasi, atau tekanan termal. Di Pulau Tikus,
spesies ini menunjukkan tingkat pertumbuhan (kalsifikasi) yang lebih besar di Pulau Tikus yang terpencil
dibandingkan dengan lokasi lepas pantai lainnya di saluran terumbu Siderastrea siderea. Hal ini dapat terjadi
pada kedalaman hingga 40 meter (130 kaki) tetapi paling umum terjadi pada perairan kurang dari 10 meter (33
kaki). Hal ini ditemukan di bebatuan di berbagai lingkungan terumbu tetapi tidak di kolam pasang surut atau
daerah berlumpur. Siderastrea siderea adalah spesies yang tumbuh sangat lambat dan hidup sampai usia yang
sangat tua. Dalam sebuah penelitian, inti karang dibor dan sampel diambil dari karang di zona berbeda untuk
menentukan apakah laju pertumbuhan telah berubah selama seratus tahun terakhir. Ditemukan bahwa untuk
spesimen terumbu karang dan dekat pantai, laju perluasan kerangka tidak berubah secara signifikan dalam
periode ini. Namun, laju pertumbuhan karang di bagian depan telah menurun drastis, zona ini berubah dari
zona dengan pertumbuhan tercepat menjadi zona dengan laju pertumbuhan paling lambat. Menurut Hermanto
(2015) Karang merah besar dapat ditemukan di kedalaman 70 m, namun umumnya terdapat pada kedalaman
antara 5-15 m, oleh karena itu mereka lebih menyukai perairan dangkal. Karang-karang ini tumbuh subur di
terumbu tetapi tidak mampu bertahan hidup di perairan yang kotor, berlumpur, atau kolam pasang surut.
Karang merah besar mempunyai hubungan simbiosis dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga yang hidup di
dalam jaringan polip karang, sehingga memberikan akses bagi karang untuk mendapatkan sumber daya
berharga. nutrisi yang dihasilkan oleh alga selama fotosintesis. Karena ketergantungan mereka pada alga ini,
pertumbuhan optimal mereka akan terjadi di perairan dangkal di mana sinar matahari melimpah dan
fotosintesis dapat terjadi dengan mudah. Karang bintang muda yang masif merupakan karang kolonial yang
berarti mereka hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak polip individu. yang dapat bertahan selama
bertahun-tahun. Karang bintang muda berukuran besar mengalami reproduksi seksual melalui proses yang
disebut pemijahan. Hal ini terjadi ketika karang melepaskan gametnya ke dalam air, yaitu sperma dan telur,
yang bertemu dan membuahi membentuk larva. Larva ini kemudian tenggelam dan mendarat di bebatuan
karang untuk membentuk polip baru, dan akhirnya koloni karang baru. Meskipun mereka sedikit berisiko
terhadap pemutihan karang, namun mereka juga menunjukkan kemampuan pemulihan yang baik terhadap
pemutihan. Bahaya lain terhadap spesies ini adalah perubahan iklim dan penyakit karang seperti sindrom bintik
hitam. Mempelajari spesies ini telah disorot sebagai metode untuk mengembangkan rencana konservasi ( Johan,
2015)

4.2.6 Karang Jari (Acropora donei)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Acropora donei terbentuk dalam
koloni dengan lebar hingga 2 m (6,6 kaki), dan terbuat dari banyak cabang yang menyatu.
Warnanya krem, putih, hijau, dan terkadang coklat pucat. Menurut Joni dan irawan (2015)
mengatakan bahwa Cabang-cabangnya rata, tetapi ke arah tengah, ujung-ujungnya menghadap
ke atas. Ujung semua cabang tumpul tetapi rapi, dan bibir melebar terdapat pada koralit radial
yang lebih besar (di sisi cabang), sedangkan koralit yang lebih kecil tidak memilikinya.
Coenosteumnya berbulu, membuat spesies tersebut tampak kasar, dan tidak ada spesies serupa
dalam genus Acropora. Ia terdapat di terumbu tropika dan cetek; biasanya di terumbu tepi dan
lereng terumbu lainnya, dimana terdapat banyak spesies Acropora. Di lingkungan laut ini, ia
berada pada ketinggian antara 5 dan 20 m (16 dan 66 kaki). Penyakit ini ditemukan di enam
wilayah di Indonesia dan di Kepulauan Marshall di tujuh lokasi, dan juga terjadi di sejumlah
besar negara. Populasinya belum diketahui, namun spesies ini terancam oleh menurunnya
terumbu karang, peningkatan suhu air yang menyebabkan pemutihan, penyakit, perubahan iklim,
penangkapan ikan, pengasaman lautan, polusi, spesies invasif, dan Acanthaster planci.[1] Ia
terjadi pada suhu 25,48 hingga 27,43 °C (77,86 hingga 81,37 °F), dan diperkirakan telah ada
selama 0,13 juta tahun.

Karakter: Koloni berbentuk seperti meja, lebarnya mencapai 2 meter, dan terdiri dari
kumpulan cabang horizontal yang menyatu. Cabang periferal semuanya horizontal; mereka yang
menuju pusat koloni mengalami kemunduran. Semua cabang mempunyai ujung tumpul dan
tersusun rapi. Koralit radial biasanya mempunyai dua ukuran, yang lebih besar memiliki bibir
yang melebar. Spesies Serupa: Acropora yongei, yang memiliki koralit serupa tetapi tidak
memiliki cabang yang menjulur. Karang dari genus Acropora. Karang keras adalah pembentuk
terumbu, invertebrata laut, cnidaria sesil dan pembentuk koloni yang membentuk kerangka
berkapur. Mereka hidup terutama dari cahaya melalui zooxanthellae mereka, tetapi juga mampu
menangkap plankton dengan polip mereka. Mereka mengekstraksi kalsium dan, pada tingkat
lebih rendah, unsur-unsur lain dari air laut, menghasilkan beberapa gram kalsium per hari.
Mereka juga membentuk terumbu karang yang sebagian besar dikenal saat ini. Spesies dari
genus Acropora seringkali sangat berwarna dan keberhasilan pemeliharaan jangka panjangnya
telah dianggap sebagai seni tinggi selama bertahun-tahun. Mereka telah dipelihara di akuarium
sejak akhir tahun 1980an dan bahkan berkembang biak berkali-kali selama tahun 1990an.
Peternakan sesat dan reproduksi aseksual dengan cepat menjadi populer. Saat ini, selain peternak
komersial, aquarists swasta juga menawarkan cabang karang. Perbanyakan karang keras sangat
mudah, karena pada akhirnya hanya perlu difragmentasi. Anda mematahkan sepotong karang
induk dan cabang yang diperoleh dengan cara ini akan tumbuh (biasanya direkatkan pada
sepotong batu hidup), mirip dengan cabang tanaman, menjadi stok karangnya sendiri dalam
kondisi yang baik. Karang keras dibagi dalam lingkaran hobi, kira-kira berdasarkan ukuran
polipnya, menjadi polip scleractinian kecil (polip kecil atau karang SPS) dan polip scleractinian
besar (polip besar atau karang keras LPS). Tidak semua karang SPS diciptakan sama dalam
kebutuhan peternakannya. Sekali lagi, ada spesies yang kurang sensitif dibandingkan spesies
lainnya. Dua genera Montipora (lebih dari 70 spesies - Veron 2000) dan Acropora (lebih dari 180
spesies - Veron 2000) termasuk di antara spesies yang paling kaya dan banyak jumlahnya.
Pemeliharaan karang berbatu polip kecil dulunya dan biasanya jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan sebagian besar karang LPS dan karang lunak zooxanthellate karena
kebutuhan karang terhadap kualitas air dan pencahayaan. Dengan pengembangan skimmer
berperforma tinggi dan penggunaan batuan hidup, kualitas air di akuarium yang jauh lebih baik
dapat dijamin. Selain itu, pencahayaan yang lebih baik dan pasokan kalsium yang otomatis dan
berkelanjutan memungkinkan karang dipelihara dan berkembang biak dalam jangka panjang.
Karena memelihara karang SPS telah menjadi tujuan yang dapat dicapai oleh banyak aquarists,
karang lunak zooxanthellate kurang diminati oleh sebagian besar aquarists. Mengidentifikasi
polip kecil dan polip besar karang keras tidak selalu mudah, meskipun ada buku referensi yang
sangat bagus seperti buku Veron "Corals of the World". Pada akhirnya, identifikasi yang jelas
hanya mungkin dilakukan berdasarkan pemeriksaan yang tepat terhadap kerangka berkapur, atau
melalui analisis DNA yang kompleks. Kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak hewan di
akuarium tidak lagi terlihat seperti aslinya dan penampilannya berubah karena arus, cahaya, dan
pengaruh lainnya. Meskipun karang batu polip besar biasanya dapat bertahan dengan nilai nutrisi
yang lebih tinggi, karang batu polip kecil sering kali cepat kehilangan warna atau pertumbuhan
hewan menjadi terhambat. Karang yang dulunya berwarna-warni dengan cepat berubah menjadi
coklat yang tidak sedap dipandang mata. Hal ini disebabkan pasokan nutrisi yang lebih tinggi.
Semakin banyak nutrisi, semakin banyak zooxanthellae yang terbentuk dan menyebabkan warna
coklat tua pada hewan tersebut. Jika terjadi kelebihan pasokan atau ketidakseimbangan nutrisi
dalam jangka waktu lama (Souhoka, 2017).

4.2.7 Karang Batu (Porites cylindrica)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Porites cylindrica merupakan


karang hermatipik (pembentuk terumbu) yang dapat tumbuh hingga lebar beberapa meter persegi
dan membentuk mikro-atol. Biasanya berwarna krem, kuning, biru, coklat pucat atau hijau.
Seperti semua karang berbatu, Porites cylindrica terdiri dari polip sangat kecil (1-3 mm) yang
mengeluarkan kalsium karbonat, yang dengannya mereka membangun kerangka. Seiring waktu,
seluruh koloni karang pembentuk terumbu dapat tumbuh besar (dengan berat beberapa ton), dan
menciptakan habitat struktural. Merupakan karang bercabang, yang cirinya memiliki banyak
cabang, ada pula yang memiliki cabang sekunder, tumbuh ke berbagai arah. Jenis karang ini
cenderung tumbuh lebih cepat, sehingga memungkinkan mereka menemukan lingkungan mikro
yang lebih baik dibandingkan karang dengan bentuk pertumbuhan yang lebih lambat. Namun,
bentuk pertumbuhannya yang bercabang juga membuat mereka lebih rentan terhadap kerusakan
dan cedera. Menurut Saputri dkk., (2016) mengatakan bahwa Porites cylindrica adalah spesies
karang gonokorik, yang memiliki koloni jantan dan betina yang berbeda, masing-masing
melepaskan sperma dan sel telur, bukan melepaskan ikatan sperma-telur. Seperti semua karang
yang hidup di dangkal, gamet Porites cylindrica bersifat apung, dan mengapung ke permukaan
air untuk menyatu. Karang yang mengeram membuahi telur-telurnya secara internal, yang
mengandung alga zooxanthellae yang tersebar merata di dalamnya, memungkinkan larva karang
baru dilahirkan dengan memiliki sudah menjalin hubungan dengan mitra alga simbiosisnya.
Larva kemudian menetap di substrat keras, kemudian berkembang menjadi polip karang. Setelah
berkembang sempurna, polip karang mereplikasi dirinya melalui pertunasan, membelah menjadi
dua polip yang identik secara genetis dan tumbuh dalam ukuran dan jumlah sambil
mengeluarkan kalsium karbonat untuk membentuk kerangka karang, yang akhirnya membentuk
koloni karang yang tepat. Namun, Porites cylindrica terutama mengandalkan reproduksi aseksual
melalui fragmentasi, dengan karang baru tumbuh dan berkembang dari potongan karang yang
dipisahkan dari karang “induknya”. Setelah menetap di substrat keras, polip penyusun karang
yang rusak tumbuh dan berkembang secara alami dan akhirnya matang menjadi koloni karang
yang secara genetik identik dengan induknya. Porites cylindrica, seperti semua karang, bersifat
sesil, menangkap partikel makanan yang tersuspensi di kolom air. Mereka membangun koloni
bercabang, dibagi menjadi populasi jantan dan betina, dan menumbuhkan cabang menyerupai
jari berukuran tebal sekitar setengah inci, biasanya berwarna coklat muda atau hijau tua. Karang
memperoleh nutrisi melalui hubungan mutualistiknya dengan alga zooxanthellae, yang berperan
sebagai landasan peran ekologisnya. Zooxanthellae, dinoflagellata fotosintetik, mampu
memperoleh nutrisi dari matahari melalui fotosintesis, mengubah energi cahaya menjadi energi
kimia yang disimpan dalam bentuk karbohidrat, yang kemudian diteruskan ke polip karang yang
dihuninya. Seperti kebanyakan holobion karang dangkal, Porites cylindrica memperoleh sisa
nutrisi penting, seperti nitrogen, dari detritus yang ditangkap oleh arus, dan transfer energi dan
nutrisi melalui limbah dan dekomposisi dari organisme yang berada di tingkat atas rantai
makanan, seperti ikan dan mamalia laut (Sauri, 2019).

4.2.8 Karang Kembang Kol (Pocillopora verucosa)


Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Pocillopora verrucosa berasal
dari daerah tropis dan subtropis di Samudera Hindia dan Pasifik. Jangkauannya luas mulai dari
Afrika Timur dan Laut Merah hingga Jepang, Indonesia, Australia, Hawaii, Pulau Paskah, dan
pantai barat Amerika Tengah. Hal ini ditemukan pada kedalaman hingga sekitar 54 m (177 kaki)
tetapi paling umum antara 1 dan 15 m (3 kaki 3 inci dan 49 kaki 3 inci). Ini adalah spesies yang
umum di sebagian besar wilayah jelajahnya dan ditemukan di terumbu tepi dan bagian depan
terumbu yang cukup terbuka tetapi kurang toleran terhadap sedimen dibandingkan Pocillopora
damicornis dan oleh karena itu kurang umum di laguna. Menurut Radifa dkk., (2020)
mengatakan bahwa Pocillopora verrucosa, seperti banyak karang lainnya, mengandung alga
dinoflagellata simbiosis mikroskopis (zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringannya. Melalui
fotosintesis, alga ini menghasilkan molekul kaya energi yang dapat diasimilasi oleh karang. Alga
ini telah ditemukan sudah ada di dalam telur sebelum pemijahan. Pocillopora verrucosa dapat
berkembang biak dengan fragmentasi, suatu bentuk reproduksi aseksual. Ia juga merupakan
hermafrodit simultan tetapi metode reproduksinya bervariasi di setiap wilayah jelajahnya. Setiap
polip biasanya mengandung dua belas gonad, enam yang paling dekat dengan mulut adalah
ovarium dan enam lainnya adalah sperma. Di Afrika Selatan gamet dilepaskan secara bersamaan
dari keduanya dan pemijahan terjadi pada bulan baru di bulan Januari (pertengahan musim
panas) dengan gamet dilepaskan ke kolom air. Namun, di Atol Enewetak di Kepulauan Marshall,
spesies ini terbukti membuahi telur secara internal dan mengerami larva planula yang sedang
berkembang. Sejumlah predator memakan karang ini. Ini termasuk ikan buntal, ikan kakatua dan
filefish yang memakan ujung dahan dan kelomang yang mengikis jaringan kerangka. Hewan lain
memakan jaringan lunak sambil membiarkan kerangkanya tetap utuh termasuk ikan kupu-kupu,
ikan bidadari, dan ikan damselfish, Stegastes acapulcoensis. Invertebrata yang memakan karang
ini adalah bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci), Jenner's cowry (Jenneria pustulata),
bulu babi, Eucidaris galapagensis dan siput karang, Coralliophila spp. Baik bintang laut maupun
cowry dapat membunuh koloni karang dewasa dengan cara mengupas jaringan hidup.
Pocillopora spp. memiliki beberapa simbion mutualistik termasuk kepiting, Trapezia sp., dan
udang tertentu yang melindunginya dari serangan predator utamanya, bintang laut mahkota duri
(Putriningtias dkk., 2019).

4.2.9 Karang Api (Millepora alcicornis)


Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Millepora alcicornis, atau jahe
laut, adalah spesies karang api kolonial dengan kerangka berkapur. Ia dijumpai di terumbu
karang perairan cetek di barat tropika Lautan Atlantik. Ini menunjukkan berbagai morfologi yang
berbeda tergantung pada lokasinya. Ia memakan plankton dan memperoleh sebagian kebutuhan
energinya dari mikroalga yang ditemukan di dalam jaringannya. Menurut Nurrudin dkk., (2015)
mengatakan bahwa Karang Api merupakan anggota penting dari komunitas pembentuk terumbu
dan mempunyai ancaman yang sama seperti karang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan
sengatan yang menyakitkan bagi penyelam yang tidak waspada. Millepora alcicornis bukanlah
karang sejati dalam kelas Anthozoa tetapi termasuk dalam kelas Hydrozoa, dan lebih berkerabat
dekat dengan ubur-ubur dibandingkan karang batu. Karena variabilitas dalam kebiasaan
pertumbuhan yang ditunjukkan oleh karang ini, taksonomi karang ini menimbulkan banyak
kebingungan, karena dijelaskan dengan sejumlah nama berbeda dari lokasi berbeda. memutuskan
bahwa variasi morfologi disebabkan oleh faktor lingkungan dan Millepora alcicornis adalah
nama yang sah untuk semua spesies ini. Kesimpulan ini kemudian dipertanyakan. Nama
ilmiahnya berasal dari bahasa Latin dengan Millepora yang berarti "berpori seribu" dan
alcicornis yang berarti "bertanduk rusa". Tampaknya jenis lokalitasnya sebenarnya adalah Hindia
Barat.

Morfologi Millepora alcicornis sangat bervariasi. Sebagian besar koloni mungkin berawal
dari bentuk yang bertatahkan dan mengadopsi struktur bercabang seiring pertumbuhannya.
Lapisan kerak tersebut dapat terbentuk pada berbagai struktur, tidak hanya pada terumbu karang
dan bebatuan, namun juga pada karang mati dan lambung kapal yang karam. Perkembangan
selanjutnya berupa lempengan atau bilah di habitat dengan banyak pergerakan air seperti tepi
luar terumbu yang dihantam ombak. Di perairan yang lebih tenang, seperti di laguna yang dalam
atau di bagian terumbu yang lebih terlindung, struktur yang lebih tegak, berdaun, atau bercabang
akan tumbuh dan dapat tumbuh hingga setinggi 50 sentimeter (20 inci). Kebiasaan tumbuhnya
juga dipengaruhi oleh kemiringan permukaan tempat tumbuhnya karang api. Pada permukaan
vertikal, alas tatahan lebih besar dengan keliling lebih panjang dan kerapatan percabangan lebih
rendah dibandingkan pada permukaan horizontal. Cabang silindris biasanya tumbuh dalam satu
bidang dan memiliki beragam warna mulai dari coklat hingga kuning pucat seperti krem,
sedangkan ujung cabang berwarna putih. Tertanam dalam kerangka berkapur terdapat banyak
polip mikroskopis. Mereka dihubungkan secara internal oleh sistem kanal dan tersembunyi di
balik pori-pori kerangka, yang permukaannya halus dan tidak memiliki koralit seperti karang
berbatu yang sebenarnya. Polip memiliki fungsi khusus, yaitu gastrozooid yang memproses dan
mencerna makanan yang ditangkap oleh dactylozooid yang berkumpul di sekitarnya.
Gastrozooids berukuran kecil dan montok serta memanjang empat hingga enam potongan
tentakel melalui pori-porinya tetapi sebaliknya tidak terlihat. Dactylozooids mempunyai tentakel
seperti rambut yang ditutupi cnidoblas. Sengatan dari knidokista melumpuhkan mangsa dan
tentakelnya mendorongnya melalui mulut gastrozooid yang berdekatan, kemudian masuk ke
perut untuk dicerna. Polip juga mengeluarkan coenosteum, bahan berkapur yang menyusun
kerangka. Coenosteum mengandung mikroalga simbiosis tertentu yang disebut zooxanthellae. Ini
adalah organisme fotosintetik yang menyediakan energi bagi inangnya dan sebagai imbalannya
mendapat manfaat dari lingkungan yang melindungi dalam posisi yang cukup terang. Sekitar
75% kebutuhan energi karang api disediakan oleh zooxanthellae (Yusron dan Yusron, 2019).

4.2.10 Karang Tudung (Stylophora pistillata)

Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan, Kriteria identifikasi karena


Stylophora pistillata mudah ditemukan untuk mengintai mobil, bagian tertentu, ekor koloni
dibatasi hingga diameter 25cm (parfois, pengecualian hanya 50cm), namun lebih dari itu, sel-
selnya sudah ditulis akibat dari pengekangan besar-besaran, yang merupakan bagian dari komune
dasar, jangan terlalu membatasi transversal menjadi sebuah dikotome pembagian yang
sederhana. Pada permukaannya, dapat dibedakan antara pori-pori atau polip. Pewarnaan koloni
bervariasi antara warna putih pucat dengan warna krem, dengan warna kuning cerah atau merah
muda, atau mawar total, warna pucat sepenuhnya. Kebingungan antara 7 anggota genre
Stylophora, bukan identifikasi yang rumit, untuk menambah kesulitan besar dalam bentuk dan
warna. Stylophora pistillata masih merupakan komune tambahan. Struktur dan tekstur: Karang
ini bercabang dari dasarnya (Ilham, 2017). Cabang-cabangnya memiliki ujung tumpul dan tebal
serta kokoh. Polip kecilnya ditemukan di dahan, membuat dahan menjadi kasar. Warna dan
bentuk: Lebih sering ditemukan dalam warna merah jambu, tetapi krem, biru, ungu dan hijau
juga terlihat. Koralit karangnya terbenam, berbentuk kerucut atau berkerudung. Pertumbuhan:
Karang ini memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat dan tingkat rekrutmen yang cepat. Hal ini
karena karang menghasilkan banyak larva dan larva tersebut menempel pada benda apa pun yang
lewat di bawah air. Oleh karena itu, ia dapat melakukan perjalanan jauh dengan mudah dan
cepat, membangun koloni baru. Ia juga memiliki tingkat regenerasi yang tinggi. Fungsi:
Stylophora adalah pembangun terumbu utama. Tidak hanya cepat tumbuh dan kaya akan
makanan, tetapi juga merupakan karang yang keras. Oleh karena itu, di sini terdapat banyak
makhluk bawah air. Hubungan: Ia memainkan peran sebagai substrat dan organisme lain untuk
menempel pada karang. Oleh karena itu, di sini terdapat kepiting empedu, kepiting trapezia,
kerang membosankan, kerang kurma, teritip, cacing pohon Natal, dan ikan gadis. Ia
mempraktikkan mutualisme dengan kerang yang membosankan karena menyediakan air segar
dan beroksigen ke karang. Reproduksi: Hermafrodit, mempunyai gonad jantan dan betina.
Namun, koloni yang lebih muda biasanya berjenis kelamin betina. Telur terbentuk di polip dan
dibuahi oleh sperma untuk kemudian melepaskan larva yang berenang bebas. Larva biasanya
dilepaskan setelah matahari terbenam. Distribusi: Sinar matahari dalam jumlah besar, suhu semi-
agresif, dan air yang bergerak cepat sangat tepat. Mereka dominan di bagian depan terumbu yang
terbuka dan dangkal. Mereka juga mudah ditemukan di laguna, terumbu belakang, dataran
terumbu, dan terumbu depan (Hazrul dkk., 2016).

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

1. Praktikum dilakukan di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil.


2. Point Intercept Transect dilakukan dengan membentangkan transek sejauh 25m
setiap kelompoknya.
3. Tingkat keanekaragaman jenis ikan di pulau Menjangan Besar lebih tinggi
dibandingkan di pulau Menjangan Kecil.
4. Jenis ikan yang ditemukan di substrat pasir dan pecahan karang mati di pulau
Menjangan Besar dan pulau Menjangan Kecil.
5. Genus karang yang didapatkan di pulau Menjangan Besar Fungia dan pulau
Menajangan Kecil Seriatopora spdengan menggunakan Coral Finder Tool
6. Hasil prevelensi penyakit karang yang didapatkan di pulau Menjangan Besar
47,27% dan pulau Menjangan Kecil 30,36%.
7. Hubungan antara persentase tutupan karang dengan indeks keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi ikan karang sangat rendah.
5.2 SARAN

Untuk praktikum dipulau tikus bagi saya seru dan menyenangkan karena bisa mengetahui
suatu biota – biota yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Sebaiknya saat sebelum
praktikum lapang praktikan harus mempersiakannya sebaik mungkin, sehingga apabila
dilapang tidak binggung. Apabila berjalan di Pulau Tikus harus menggunakan sendal
karena banyak karang. Untuk praktikum ini lebih baik berangkat tepat waktu agar cepat
selesai saat praktikum. Dan membawa alat tulis yang lengkap maupun buku panduan saat
praktikum dimulai
Untuk praktikum selanjutnya disarankan untuk diharapkan berangkat tepat waktu
dan tidak terlalu lama untuk menunggu. Untuk praktikum selanjutnya dimohon untuk
praktikum lebih serius lagi dan tidak main – main. Untuk praktikum selanjutnya itu lebih
hati hati karena banyak ular laut. Untuk selanjutnya pula lebih maksimal lagi dalam
praktikum. Membawa buku panduan dan print biota – biota karang agar saat ketemu biota
atau jenis karang yang ada di Pulau tikus tidak bingung.

Untuk para dosen dan coass terima kasih telah memandu kami selama praktikum di
Pulau Tikus yang sangat berkesan untuk saya. Untuk para coass dimohon saat menjelaskan
apa yang harus praktikan lakukan itu lebih jelas lagi. Untuk para coas juga terima kasih
untuk kesan yang sangat menyenangkan dan terimakasih untuk rasa sabarnya. Untuk
kakak kakak dan abang coass udah the best pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA

Adrim,M., S.A. Harahap., dan K. Wibowo. 2017. Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan
Kendari. IKendari . Jurnal Ilmu Kelautan. 17(3): 154-163

Baker, A.C., P.W. Glynn, and B. Riegl. 2018. Climate change and coral reef bleaching: an
ecological assessment of long-term impacts, recovery trends and future outlook.
Estuarine, Coastal and Shelf Science, 80(4):435- 471.
Djunaidi, S., Sahami, F. M., & Hamzah, S. N. (2014). Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi
Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, II(4), 169–173.

Fisch, J., Drury, C., Towle, E. K., Winter, R. N. & Miller, M. W. 2019. Physiological and
reproductive repercussions of consecutive summer bleaching events of the
threatened Caribbean coral Orbicella faveolata. Coral Reefs 38(1): 863–876.

Fitriana, N. 2020. Inventarisasi Bintang Laut (Echinodemata: Asteroidea) di Pantai Pulau Pari,
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jurnal Imiah Faktor Exactra. 3(2): 167-174

Giyanto, Abrar, M., Hadi T. A., Budiyanto, A., Hafizt, M., Salatalohy, A. & Iswari, M. Y.
(2018). Status Terumbu Karang Indonesia 2018 Coremap-CTI Pusat Penelitian
Oseanograri LIPI Jakarta.
Goreau, T. F., N.I Goreau & T.J. Goreau. (2014). Corals and Coral Reefs in Life in The Sea. W.
H. Freezanand Company, San Fransisco. 2:425- 431.
Haruddin., Purwanto, Edi. dan Budiastuti ,Sri. 2018. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu
Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di
Pulau Siompu Kabupaten. Jurnal EKOSAINS. Vol.3 (3) : 29-41. Australian Institut
of Marine Science. Townsville-Australia. 368 hlm.

Hazrul., R.D.Palupi., dan R.Ketjulan. 2016. Identifikasi Penyakit Karang (Scleractinia) di


Perairan Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara. Sapa Laut. 1(2): 32-41.
Humphrey, C., Weber, M., Lott, C., Cooper, T. dan Fabricius, K. 2018. Effects of suspended
sediments, dissolved inorganic nutrients and salinity on fertilisation and embryo
development in the coral Acropora millepora. Coral Reefs 27, 837–850.

Hermanto, B. 2015. Pertumbuhan Fragmen Acropora formosa pada Ukuran yang Berbeda
dengan Metode Transplantasi di Perairan Selat Lembeh. Jurnal Ilmiah Platax. 3(2): 90 –
100.

Hazrul., R.D.Palupi., dan R.Ketjulan. 2016. Identifikasi Penyakit Karang Scleractinia) di


Perairan Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara. Sapa Laut. 1(2): 32-41.

Ilyas.I.S., S. Astuty, S.A. Harahap., dan N. P. Purba. 2017. Keanekaragaman Ikan Karang
Target Kaitannya dengan Keanekaragaman Bentuk Pertumbuhan Karang pada Zona inti
di Taman Wisata Perairan Kepualaun Anambas. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(2):
103-111.
Ilham. 2007. Keterkaitan Kondisi dan Rugositas Terumbu Karang dengan Kelimpahan dan
Keragaman Ikan Karang di Pulau Badi Kabupaten Pangkep. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Johan, O., dan S. C. Herminawati. 2015. Perbedaan Laju Pertumbuhan Karang Montipora
digitata Hasil Propagasi pada Kedalaman yang Berbedaa di Pulau Aur Kabupaten Pesisir
Selatan, Sumatera Barat. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015. 819 –
826.
Joni., A. Pratomo, dan H. Irawan. 2015. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup
Karang Acropora formosa Hasil Transplantasi pada Kedalaman Berbeda. Jurnal
Kelautan Indonesia. 4(2): 201 – 212.
Michael,D.,N.P.Zamani.,D.Soedharma.,danO.Johan.2015.Prevalensi, Insidensi dan
Perkembangan Black-band Disease pada Karang Scleractinia (Montipora spp) diPerairan
Dangkal Gugusan Pulau Pari. Ilmu Kelautan. 20(1): 52-60

Miftaudin,S.A.Harahap., I.Riyantini., dan D.J.Prihadi. 2017. Studi Kelayakan Zona Inti


Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten
Belitung. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(1): 92-104.
Muhlis (2018). Ekosistem terumbu karang dan kondisi oseanografi Perairan Kawasan Wisata
Bahari Lombok. Jurnal Berkala Penelitian Hayati (Journal of Biological
Researches).Vol.16 No.2 : 111-118.
Nordemar, I., M. Nystrom, and R. Dizon. 2016. Effects of elevated seawater temperature and
nitrate enrichment on the branching coral Porites cylindrica in the absence of particulate
food. Marine Biology. 142(4):669-677.
Purnama, D., Kusuma, A. B., Negara, B. F. S., Renta, P. P., & Pakpahan, B. L. (2020).
KEANEKARAGAMAN JENIS KARANG PADA KEDALAMAN 1-5 METER
DIPERAIRAN PULAU TIKUS, KOTA BENGKULU. Jurnal Enggano, 5(3), 529–547.

Patty,S.I. 2013. Distribusi Suhu,Salinitas, dan Oksigen Terlarut di Perairan Kema, Sulawesi
Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 148-157.
Ponto,S.O., A.Kumenaung., dan P.Wauran. 2015. Analisis Korelasi Sektor Pertanian terhadap
Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi.
15(4): 137-147.

Putriningtias, A., Faisal, T. M., Komariyah, S., Bahri, S., Akbar, H. 2019. Keanekaragaman jenis
kepiting di ekosistem hutan mangrove Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh. Jurnal Biologi
Tropis. 19(1); 101-107.

Radifa, M., Wardiatno, Y., Simanjuntak, C. P., Zairion, Z. 2020. Preferensi habitat dan distribusi
spasial yuwana rajungan (Portunus pelagicus) di perairan pesisir Lampung Timur,
Provinsi Lampung. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of
Natural Resources and Environmental Management). 10(2); 183-197.

Rudi, E. 2017. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam
setelah Tsunami. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 10 (1): 50-60

Saptarini,D., Mukhtasor., dan I.F.M.Rumengan. 2016. Variasi Bentuk Pertumbuhan


(lifeform) Karang di Sekitar Kegiatan Pembangkit Listrik, studi kasus kawasan
perairan PLTU Paiton, Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. 5(2):
1-9.
Sauri, A. I. M. Widodo. 2019. Klasifikasi Genus Karang (Scleratinia) dengan Metode Gray
Level Co-Occurrence. Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Brawijaya. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer.
3(6): 5397-5405.

Suryanti, Supriharyono, dan Y Roslinawati. 2018. Pengaruh Kedalaman Terhadap Morfologi


Karang Di Pulau Cemara Kecil, Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Saintek
Perikanan. 7(1):63-69.
Souhoka, J. 2013. Pemantauan Kondisi Hidrologi dalam Kaitannya dengan Kondisi Terumbu
Karang di Perairan Pulau Talise, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 138 – 147.
Thovyan,A.I., V.Sabariah., dan D.Parenden. 2017. Tutupan Terumbu Karang di Perairan Pasir
Putih Kabupaten Manokwari. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik. 1(1): 67-80.
Veron, J.E.N. 2022. Reef corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Part I
Overview of Scleractinia. A marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua
Province, Indonesia. Hal 26-36.

Wahyulfatwatul.U.A.S.,M.Litaay., D.Priosambodo., dan W.Moka. 2017. Genera Karang Keras


di Pulau Barrang Lompo dan Bone Batang Berdasarkan Metode Identifikasi
Coral Finder. Jurnal Biologi Makassar. 2(2): 39-51.
Yanuar, A. 2015. Komunitas Ikan Karang pada Tiga Model Terumbu Buatan (Artificial Reef)
di Perairan Pasir Putih Situbondo, Jawa Timur . Jurnal Sains dan Sintesis. 4(1): 2337-
3520.

.Yusron, E. dan Yusron. 2019. Diversitas Fauna Ekhinodermata di Perairan Ternate Maluku
Utara. Oseanologi dan Limnology di Indonesia. 36(3): 293-307.

Michael,D.,N.P.Zamani.,D.Soedharma.,danO.Johan.2015.Prevalensi, Insidensi dan


Perkembangan Black-band Disease pada Karang Scleractinia (Montipora spp) diPerairan
Dangkal Gugusan Pulau Pari. Ilmu Kelautan. 20(1): 52-60

Miftaudin,S.A.Harahap., I.Riyantini., dan D.J.Prihadi. 2017. Studi Kelayakan Zona Inti


Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten
Belitung. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(1): 92-104.
Zamani,P. 2015. Kondisi Terumbu Karang dan Asosiasinya dengan Bintang Laut (Linckia
laevigata) di Perairan Pulau Tunda, Kabupaten Seram, Provinsi Banten. Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan. 6(1): 1-10.

Zulfianti. S. 2014. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis Ikan Karang (Famili Pomacentridae)
Untuk Rencana Referensi Daerah Perlindungan Laut (DPLdi Pulau Bonetambung
Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

.
LAMPIRAN

BIOTA PERTAMA DI TEMUKA DI LOKASI

FOTO MENUJU KE PULAU TIKUS TERIPANG HITAM LOKASI PRAKTIKUM

FOTO SAAT SUDAH SAMPAI DI LOKASI BERKUMPUL KORAL BATU KORAL BINTANG

Anda mungkin juga menyukai