Disusun Oleh :
Nama : Frisca Debora
Npm : E1I022012
Kelompok : 3 (Tiga)
Dosen : 1. Mukti Dono Wilopo, S.Pi., M.Si.
2. Dr. Yar Johan, S.Pi., M.Si.
3. Nella Tri Agustini. S. Kel., M.Si.
Co-Ass : 1. Afriliati (E1I021001)
2. Rany Yollanda (E1I021037)
3. Zulmansyah (E1I021038)
4. Jaka Ramadhan Sait (E1I021040)
Perairan Indonesia kaya akan sumberdaya alamnya dan salah satu kekayaan tersebut
adalah terumbu karang, dimana di daerah ini belum banyak dilakukan kegiatan untukmenggali
informasi yang berkaitan dengan karang. Meskipun kondisi karang yang sangat menarik ini kini
cukup memprihatinkan karena berbagai beban aktivitas manusia yang berlebihan dan kepadatan
penduduk di wilayah pesisir yang terus bertambah, namun berbagai informasi yang dapat
merubah lingkungan menjadi lebih baik sangatlah diperlukan. Cingkuak adalah sebuah pulau
yang berada di perairan Kabupaten Pesisir Selatan yang berada didepan Pantai Cerocok, Sumatra
Barat. Keindahan lautnya yang sangat luar biasa dan melimpah ini membuat daerah merupakan
salah satu tempat wisata unggulan di Sumatera Barat. Terumbu karang adalah sekumpulan
hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae.
Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel.
Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan
Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi. Kondisi
ekosistem karang pada saat ini telah mengalami kerusakan dan penurunan yang disebabkan
antara lain oleh pengeboman ikan, pengambilan ikan dengan menggunakan bahan beracun
serta pengambilan dan perdagangan karang hias illegal. Berdasarkan hasil penelitian Pusat
Penelitian Oseanografi (P2O) - LIPI tahun 2002, dari 556 lokasi yang tersebar di perairan
Indonesia menunjukan bahwa 6,83 % dalam kondisi sangat baik, 25,72 % dalam kondisi baik,
36,87 % dalam kondisi sedang, dan 30,58 % dalam kondisi rusak (Suharsono & Gianto, 2013).
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terbesar kedua di dunia yang
memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km. Dengan data tersebut dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas. Apalagi dengan luas
wilayah pesisir ini didukung juga dengan potensi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati
yang tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, hasil perikanan, minyak
bumi, gas, mineral, dan barang tambang lainnya. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir
yang penting, selain karena peran perlindungan pantai juga menjadi tempat hidup berbagai biota
asosiatif seperti rumput laut, algae, cacing laut, molusca, ular laut, bulu babi, teripang, dan
bintang laut. Tidak kurang dari 200 jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi..
Indonesia merupakan negara yang terletak pada pusat segitiga terumbu karang (the coral
triangle) yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta
km2 dan panjang pantai 95.181 km. Sebagai negara nomor empat terpanjang garis pantainya,
COREMAP melansir luas ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 75.000
km2 yaitu sekitar 12-15 % dari luas terumbu karang dunia. Dan dengan ditemukannya 362
spesies scleractinia (karang batu) yang termasuk dalam 76 genera, Indonesia merupakan
episenter dari sebaran karang batu dunia (Prabowo, 2013).
Wilayah regional Sulawesi Selatan turut menjadi penyumbang keragaman jenis karang
yang ada di Indonesia. Menurut sumber Dokumen Persiapan COREMAP Phase II dalam
(Prabowo, 2013) tahun 2003, bahwa luas total hamparan terumbu karang yang terdapat pada
kawasan kepulauan Spermonde dan Taka Bonerate diperkirakan sekitar 600 km 2. Untuk wilayah
spermonde, salah satu penyumbang keragaman jenis karang adalah Pulau Badi. Pulau Badi
dengan paparan terumbu karang yang realif luas ditambah kondisi struktur komunitas yang
beragam sangatlah kaya akan keragaman jenis karang Berdasarkan beberapa kondisi faktual
yang ada di ekosistem terumbu karang yang dijelaskan di atas, terkhusus daerah Pulau Badi,
Kabupaten Pangkep, maka dianggap perlu dilakukan praktik lapang koralogi untuk mengeksplor
secara langsung kondisi ekosistem terumbu karang dari segi bio-ekologi, lingkungan, dan
identifikasi per spesies.
I.1 Tujuan
1.2 Manfaat
Manfaat dari praktik lapang ini adalah menggalakkan ketertarikan mahasiswa untuk
mengkaji aspek-aspek yang terkait ekosistem terumbu karang terkhusus kondisi bio-ekologinya.
Dan Manfaat yang akan diperoleh dari praktikum lapangan ini adalah agar mahasiswa
mengetahui teknik mengukur persentase tutupan karang dengan metode Line Intersect Transect
Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh factor biotik dan abiotic yang saling
mempengaruhi. Hal ini berkaitan dengan strategi adaptasi karang dengan bentuk pertumbuhan
yang merepresentasikan dimana zonasi karang berada. Bentuk pertumbuhan karang merupakan
salah satu bentuk strategi ekspansi untuk menguasai ruang baik secara vertical maupun
horizontal. Daerah tropis kerap kali di temukan pembentukan zonasi pertumbuhan vertical
komunitas karang yang merupakan toleransi antar spesies karang terhadap factor fisika perairan
seperti gelombang, arus, pasang surut dan berbagai arameter perairan lainnya. Parameter perairan
tersebut yang dianggap sebagai factor pembatas pertumbuhan karang dan yang mempengaruhi
bentuk pertumbuhan karang. Dalam menghadapi factor fisik maupun kimiawi perairan ini maka
setiap karang memiliki respon yang berbeda mengenai bentuk pertumbuhannya agar bisa
bertahan terhadap fakroe pembatas tersebut (Djunaidi, Sahami, & Hamzah, 2014).
Bentuk pertumbuhan karang merupakan strategi untuk bertahan dari parameter perairan
serta bentuk strategi untuk menguasai ruang baik secara vertical maupun horizontal.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu di bagi menjadi dua yakni karang Acropora
dan non-acropora . perbedaan antar keduanya terletak pada struktur skeletonnya dimana karang
Acropora memiliki bagian yang disebut axial coralit dan radial coralit sedangkan karang non-
acropora tidak memiliki axial coralit dan hanya memiliki radial coralit. Masing-masing dari jenis
ini memiliki bentuk pertumbuhannya. bentuk pertumbuhannya (coral lifeform) karang dibedakan
menjadi Acropora dan non Acropora. Perbedaan morfologi berupa tipe bercabang (branching),
tipe padat (massive), tipe merayap (encrusting), tipe daun (foliose), tipe meja (tabulate), serta
tipe jamur (mushroom). Pada suatu habitat, bentuk pertumbuhan karang yang hidup dapat
didominasi oleh suatu bentuk pertumbuhan tertentu. Bentuk pertumbuhan karang yang dominan
pada suatu habitat bergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup
(Purnama dkk., 2020).
Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut penghasil kapur,
terutama oleh hewan karang, bersama-sama dengan biota lain yang hidup di dasar laut maupun
kolom air. Hewan karang, yang merupakan penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip
dan skeleton. Polip merupakan bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian yang
keras. Pada bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk menangkap plankton sebagai
sumber makanannya. Setiap polip karang mengsekresikan zat kapur CaCO3 yang membentuk
kerangka skeleton karang. Coral Finder Toolkit 2.0 adalah sebuah metode identifikasi karang
keras tingkat genera yang diterbitkan oleh Russel Kelley yang diadopsi dari Buku Coral Of The
World. Metode tersebut menghubungkan antara buku Coral Of The World dengan sistem
determinan, dengan karang yang hidup dilaut. Metode tersebut sangat praktis karena buku
identifikasi yang digunakan didesain tahan terhadap air. Hadirnya metode Coral Finder ini
dilakukan oleh orang ahli maupun orang pemula (Adrim dkk., 2017).
Diidentifikasi bentuk pertumbuhan karang dengan dilihat pada kolom key group dalam
halaman pertama Coral Finder Tool. Selanjutnya, ditentukan bentuk dan mengukur besar koralit
pada karang tersebut. Setelah ditentukan besar koralit atau bentuk khusus maka langsung
diarahkan pada halaman utama (look alike). Dibandingkan karang yang diamati dengan gambar
karang pada kolom colony, corallites, dan close up. Dikonfirmasikan ciri-ciri karang tersebut
dengan karakteristik kunci deskripsi dan dilihat gambar karang pada kolom skala. Dicatat nama
genus karang yang telah diamati sesuai dengan keterangan genus yang terdapat pada Coral
Finder Tool (Thovyan dan Parenden, 2017).
Tutupan karang yaitu penempatan permukaan terumbu yang ditutupi oleh karang batu
yang hidup yang terbentuk dari spongia, alga atau organisme lainnya. Batu karang yang
membentuk terumbu karang merupakan contributor utama pembentuk terumbu karang. Dapat di
gunakan sebagai habitat untuk banyak organisme dilaut. Tutupan karang merupakan indikator
pertumbuhan karang yang optimal. Metode PIT (Point Intercept Transect) merupakan salah satu
metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya.
Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin mengetahui kondisi terumbu karang untuk
tujuan pengelolaan dan penelitian. Metode ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di
daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup. Secara teknis, metode Point Intercept
Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak,
dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala atau
roll meter (Wahyulfatwatul dkk., 2017).
Penyakit karang merupakan suatu infeksi mikroba yang bersifat pathogen terjadi pada
karang. Gangguan terhadap kesehatan karang yang menyebabkan gangguan secara fisiologis
bagi biota karang. Munculnya penyakit karang dicirikan dengan adanya perubahan warna,
kerusakan dari skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan jaringannya. Munculnya
penyakit tersebut merupakan interaksi antara inang karang, patogen, dan lingkungan. Ekosistem
terumbu karang dibagi menjadi beberapa kondisi atau tingkat kerusakan berdasarkan kategori
diantaranya 0-24,9% tutupan karang hidup dikategorikan buruk/sangat rusak, 25-49,9 % tutupan
karang hidup dikategorikan sedang, 50-74,9% tutupan karang hidup dikategorikan baik, dan 75-
100 % tutupan karang hidup dikategorikan sangat baik (Hazrul dan Ketjulan, 2016).
Penelitian penyakit karang sudah dimulai sejak tahun 2004 di Indonesia. Sementara
penelitian secara konprehensif telah dilakukan di Kepulauan Seribu dengan mengamati
distribusi, kelimpahan, prevalensi serta komunitas bakteri penyakit karang BBD dan WS
(White Syndrome) di Kepulauan Seribu BBD merupakan penyakit karang bersifat virulen yang
ditemui menyerang pada banyak jenis karang scleractinia. BBD hampir dapat dijumpai di
seluruh ekosistem karang dunia seperti Indo-pasifik, laut karibia, samudera hindia dan atlantik.
Bahwa penurunan kualitas lingkungan perairan sangat berperan terhadap munculnya
mikroorganisme patogen terhadap karang. Sebagai contoh kenaikan dari nitrogen terlarut yang
diikuti dengan penurunan kecerahan perairan menyebabkan munculnya aspergillosis penyebab
penyakit black band disease. Selain itu sedimentasi, polusi yang ditimbulkan oleh limbah
domestik, sampah, sampai dengan air balas berpotensi munculnya patogen penyebab penyakit
karang. Di perairan Indonesia masih jarang dilakukan penelitian namun beberapa penelitian yang
pernah dilakukan diantaranya di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara, Pulau Seribu DKI
Jakarta, dan Pulau Panjang Jawa Tengah (Michael et al., 2015).
METODOLOGI
Adapun langkah kerja pada saat praktikum dipulau tikus sebagai berikut:
1. Menyiapkan semua peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis teumbu
karang.
2. Mencari jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
3. Mengambil gambar jenis terumbu karang yang akan diidentifikasi.
4. Mengidentifikasi jenis terumbu karang menggunakan tabel identifikasi yang sudah
disiapkan.
BAB IV
4.1 Hasil
Spesies: Favites
abdita
4. Karang Pectinia Menurut Veron (2022)
Bunga lactuca Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: pectiniidae
Genus: pectinia
Spesies: Pectinia
lactuca
5. Karang Siderastrea Menurut Haruddin
Bintang sidereal (2018)
Muda Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Siderastreidae
Genus: Siderastrea
Spesies:Siderastrea
sidereal
6. Karang Acropora Menurut Rudi (2017)
Jari donei Kingdom: Animalia
Phylum: Coelenterata
Class: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Family: Acroporaidae
Genus: Acropora
Spesies: Acropora
donei
Kingdom : Animalia
Filum: Cnidaria
Kelas: Anthozoa
Ordo: Scleractinia
Famili: Pocilloporidae
Genus: Stylophora
Spesies: Stylophora
pistillata
4.2 Pembahasan
Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Karang Cabang di Pulau Tikus,
kota bengkulu. Pada stasiun lokasi kami praktikum memperoleh Karang Bercabang merupakan
terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas air yang tetap di atas 30
‰ tetapi di bawah 35 ‰ Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang
mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas.
Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur). Di sisi lain, terumbu karang dapat berkembang
di wilayah bersalinitas tinggi yang salinitasnya 42 %. Salinitas secara umum dapat disebut
sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang dinyatakan dalam permil (‰).
Kisaran salinitas air laut berada antara 0 – 40 g/kg air laut. Secara umum, salinitas permukaan
perairan Indonesia rata-rata berkisar antara 32 – 34 ‰ Menurut Febrizal dkk., (2018)
menyatakan bahwa karang hermatipik adalah organism lautan yang tidak dapat bertahan pada
salinitas yang menyimpang dan salinitas yang normal yaitu 32 – 35 ‰ . Marga Acropora
mempunyai bentuk percabangan sangat bervariasi dari karimboba,aborsen, kapitosa dan lain-
lain. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralitdan radial koralit. Bentuk koralit
juga bervariasi dari bentuk tubular, harifon dan tenggelam. Acropora mempunyai bentuk
percabangan aborsen dengan percabangan rampai sampai gemuk.radial koralit membentuk
tabung dengan bukan membulat atu oval tersusun merata dan rapat. Warna koloni kecoklatan
dengan unjung cenderung memutih. Karang acropora berbeda dari yang lainnya dalam hal dua
tipe polip yang di milikinya. Polip bagian tengah atau bagian aksial melintasi bagian tengah dari
sebuah cabang dan membuka pada unjungnya. Pada saat unjung cabang tersebut tumbuh maka
akan membentuk pucuk dengan sejumla polip jenis lainnya disebut polip radial. Percabangan
selanjutnya terjadi pada saat sebuah koralit radial berubah menjadi sebuah koralit aksial dan
mulai memanjang dan membentuk pucuk. Tipe perubahan ini memungkinkan terbentuknya
sejumlah besar bentukan sehinga karang Acropora dapat terlihat menyerupai pohon, semak,
tabel, pelat dan berbagai bentuk lainnya. Hal ini juga memungkinkan karang genus ini untuk
tumbuh cepat dan mengisi tempat pada terumbu, baik di atas maupun di bawah karang lainnya.
Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Karang Biru bahwa Invertebrata
sesil sering melakukan peristiwa pemijahan yang tersinkronisasi untuk meningkatkan
kemungkinan pembuahan. Meskipun terumbu karang telah dipelajari dengan baik, perilaku
reproduksi sebagian besar spesies dan pengaruh relatif berbagai isyarat lingkungan yang
mendorong reproduksi masih belum dipahami dengan baik. Kami melakukan pemeriksaan
komparatif terhadap reproduksi karang Hawaii Montipora capitata yang banyak dipelajari dan
reproduksi congenernya, Montipora flabellata, yang relatif tidak diketahui. Keduanya
merupakan pemijahan siaran hermafrodit simultan yang melepaskan kumpulan telur-sperma
dengan pembuahan eksternal. Montipora capitata memiliki pola reproduksi yang berbeda yang
menghasilkan pematangan gamet yang terkoordinasi dan pelepasan ribuan kumpulan telur-
sperma secara tersinkronisasi melalui dua tahap pemijahan yang digabungkan secara erat ke fase
bulan baru berturut-turut pada bulan Juni dan Juli. Menurut Ponto dkk., (2015) mengatakan
bahwa Montipora flabellata menunjukkan musim reproduksi selama empat bulan dengan
pemijahan yang empat kali lipat kurang sinkron dibandingkan Montipora capitata; pemijahannya
bersifat aperiodik dengan sedikit kaitan dengan fase bulan, pelepasan lusinan atau ratusan
bungkusan yang tersebar luas hanya dalam beberapa malam, dan periode pemijahan yang
berkisar dari akhir Juni hingga September. Strategi reproduksi Montipora flabellata mungkin
terbukti merugikan dalam kondisi perubahan iklim jika peningkatan frekuensi dan tingkat
keparahan peristiwa pemutihan menyebabkan populasinya menjadi sedikit dan penyebab stres
lokal terus merusak habitatnya. Terumbu karang dan fauna laut lainnya menghadapi ancaman
yang tidak ada bandingannya terhadap masa depan mereka karena dampak ganda yaitu
pengasaman laut dan pemanasan akibat perubahan iklim1,2,3, degradasi habitat local 4, dan
penyakit baru. Kegigihan populasi ini pada zaman Antroposen akan bergantung pada
kemampuan mereka untuk bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Meskipun karang dapat
bereproduksi secara aseksual melalui fragmentasi dan juga secara seksual melalui peristiwa
pemijahan7,8, reproduksi mereka terkena dampak negatif dari berbagai sumber polusi pesisir dan
peristiwa pemutihan berulang kali yang dipicu oleh pemanasan laut akibat perubahan iklim.
Reproduksi aseksual menghasilkan ramet yang secara genetik identik (meskipun akumulasi
mutasi sel somatik mungkin terjadi dan dapat menyebabkan sedikitnya genotipe kompetitif yang
menempati wilayah terumbu karang yang luas. Sebaliknya, reproduksi seksual mengarah pada
produksi genotipe baru melalui rekombinasi gen, yang meningkatkan keragaman genetik dalam
suatu populasi dan merupakan kunci untuk mendorong adaptasi. Ketika reproduksi seksual
terganggu, hilangnya keragaman genetik yang dapat membantu populasi beradaptasi terhadap
perubahan lautan yang cepat akan terancam.
Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Siderastrea siderea adalah spesies
yang tumbuh sangat lambat dan hidup sampai usia yang sangat tua. Dalam sebuah penelitian, inti karang dibor
dan sampel diambil dari karang di zona berbeda untuk menentukan apakah laju pertumbuhan telah berubah
selama seratus tahun terakhir. Ditemukan bahwa untuk spesimen terumbu karang dan dekat pantai, laju
perluasan kerangka tidak berubah secara signifikan dalam periode ini. Namun, laju pertumbuhan karang di
bagian depan telah menurun drastis, zona ini berubah dari zona dengan pertumbuhan tercepat menjadi zona
dengan laju pertumbuhan paling lambat. Penyebabnya belum diteliti, namun kemungkinan penyebabnya
mencakup peningkatan sedimentasi dan kekeruhan air, eutrofikasi, atau tekanan termal. Di Pulau Tikus,
spesies ini menunjukkan tingkat pertumbuhan (kalsifikasi) yang lebih besar di Pulau Tikus yang terpencil
dibandingkan dengan lokasi lepas pantai lainnya di saluran terumbu Siderastrea siderea. Hal ini dapat terjadi
pada kedalaman hingga 40 meter (130 kaki) tetapi paling umum terjadi pada perairan kurang dari 10 meter (33
kaki). Hal ini ditemukan di bebatuan di berbagai lingkungan terumbu tetapi tidak di kolam pasang surut atau
daerah berlumpur. Siderastrea siderea adalah spesies yang tumbuh sangat lambat dan hidup sampai usia yang
sangat tua. Dalam sebuah penelitian, inti karang dibor dan sampel diambil dari karang di zona berbeda untuk
menentukan apakah laju pertumbuhan telah berubah selama seratus tahun terakhir. Ditemukan bahwa untuk
spesimen terumbu karang dan dekat pantai, laju perluasan kerangka tidak berubah secara signifikan dalam
periode ini. Namun, laju pertumbuhan karang di bagian depan telah menurun drastis, zona ini berubah dari
zona dengan pertumbuhan tercepat menjadi zona dengan laju pertumbuhan paling lambat. Menurut Hermanto
(2015) Karang merah besar dapat ditemukan di kedalaman 70 m, namun umumnya terdapat pada kedalaman
antara 5-15 m, oleh karena itu mereka lebih menyukai perairan dangkal. Karang-karang ini tumbuh subur di
terumbu tetapi tidak mampu bertahan hidup di perairan yang kotor, berlumpur, atau kolam pasang surut.
Karang merah besar mempunyai hubungan simbiosis dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga yang hidup di
dalam jaringan polip karang, sehingga memberikan akses bagi karang untuk mendapatkan sumber daya
berharga. nutrisi yang dihasilkan oleh alga selama fotosintesis. Karena ketergantungan mereka pada alga ini,
pertumbuhan optimal mereka akan terjadi di perairan dangkal di mana sinar matahari melimpah dan
fotosintesis dapat terjadi dengan mudah. Karang bintang muda yang masif merupakan karang kolonial yang
berarti mereka hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak polip individu. yang dapat bertahan selama
bertahun-tahun. Karang bintang muda berukuran besar mengalami reproduksi seksual melalui proses yang
disebut pemijahan. Hal ini terjadi ketika karang melepaskan gametnya ke dalam air, yaitu sperma dan telur,
yang bertemu dan membuahi membentuk larva. Larva ini kemudian tenggelam dan mendarat di bebatuan
karang untuk membentuk polip baru, dan akhirnya koloni karang baru. Meskipun mereka sedikit berisiko
terhadap pemutihan karang, namun mereka juga menunjukkan kemampuan pemulihan yang baik terhadap
pemutihan. Bahaya lain terhadap spesies ini adalah perubahan iklim dan penyakit karang seperti sindrom bintik
hitam. Mempelajari spesies ini telah disorot sebagai metode untuk mengembangkan rencana konservasi ( Johan,
2015)
Berdasarkan praktikum kami lakukan, kami menemukan Acropora donei terbentuk dalam
koloni dengan lebar hingga 2 m (6,6 kaki), dan terbuat dari banyak cabang yang menyatu.
Warnanya krem, putih, hijau, dan terkadang coklat pucat. Menurut Joni dan irawan (2015)
mengatakan bahwa Cabang-cabangnya rata, tetapi ke arah tengah, ujung-ujungnya menghadap
ke atas. Ujung semua cabang tumpul tetapi rapi, dan bibir melebar terdapat pada koralit radial
yang lebih besar (di sisi cabang), sedangkan koralit yang lebih kecil tidak memilikinya.
Coenosteumnya berbulu, membuat spesies tersebut tampak kasar, dan tidak ada spesies serupa
dalam genus Acropora. Ia terdapat di terumbu tropika dan cetek; biasanya di terumbu tepi dan
lereng terumbu lainnya, dimana terdapat banyak spesies Acropora. Di lingkungan laut ini, ia
berada pada ketinggian antara 5 dan 20 m (16 dan 66 kaki). Penyakit ini ditemukan di enam
wilayah di Indonesia dan di Kepulauan Marshall di tujuh lokasi, dan juga terjadi di sejumlah
besar negara. Populasinya belum diketahui, namun spesies ini terancam oleh menurunnya
terumbu karang, peningkatan suhu air yang menyebabkan pemutihan, penyakit, perubahan iklim,
penangkapan ikan, pengasaman lautan, polusi, spesies invasif, dan Acanthaster planci.[1] Ia
terjadi pada suhu 25,48 hingga 27,43 °C (77,86 hingga 81,37 °F), dan diperkirakan telah ada
selama 0,13 juta tahun.
Karakter: Koloni berbentuk seperti meja, lebarnya mencapai 2 meter, dan terdiri dari
kumpulan cabang horizontal yang menyatu. Cabang periferal semuanya horizontal; mereka yang
menuju pusat koloni mengalami kemunduran. Semua cabang mempunyai ujung tumpul dan
tersusun rapi. Koralit radial biasanya mempunyai dua ukuran, yang lebih besar memiliki bibir
yang melebar. Spesies Serupa: Acropora yongei, yang memiliki koralit serupa tetapi tidak
memiliki cabang yang menjulur. Karang dari genus Acropora. Karang keras adalah pembentuk
terumbu, invertebrata laut, cnidaria sesil dan pembentuk koloni yang membentuk kerangka
berkapur. Mereka hidup terutama dari cahaya melalui zooxanthellae mereka, tetapi juga mampu
menangkap plankton dengan polip mereka. Mereka mengekstraksi kalsium dan, pada tingkat
lebih rendah, unsur-unsur lain dari air laut, menghasilkan beberapa gram kalsium per hari.
Mereka juga membentuk terumbu karang yang sebagian besar dikenal saat ini. Spesies dari
genus Acropora seringkali sangat berwarna dan keberhasilan pemeliharaan jangka panjangnya
telah dianggap sebagai seni tinggi selama bertahun-tahun. Mereka telah dipelihara di akuarium
sejak akhir tahun 1980an dan bahkan berkembang biak berkali-kali selama tahun 1990an.
Peternakan sesat dan reproduksi aseksual dengan cepat menjadi populer. Saat ini, selain peternak
komersial, aquarists swasta juga menawarkan cabang karang. Perbanyakan karang keras sangat
mudah, karena pada akhirnya hanya perlu difragmentasi. Anda mematahkan sepotong karang
induk dan cabang yang diperoleh dengan cara ini akan tumbuh (biasanya direkatkan pada
sepotong batu hidup), mirip dengan cabang tanaman, menjadi stok karangnya sendiri dalam
kondisi yang baik. Karang keras dibagi dalam lingkaran hobi, kira-kira berdasarkan ukuran
polipnya, menjadi polip scleractinian kecil (polip kecil atau karang SPS) dan polip scleractinian
besar (polip besar atau karang keras LPS). Tidak semua karang SPS diciptakan sama dalam
kebutuhan peternakannya. Sekali lagi, ada spesies yang kurang sensitif dibandingkan spesies
lainnya. Dua genera Montipora (lebih dari 70 spesies - Veron 2000) dan Acropora (lebih dari 180
spesies - Veron 2000) termasuk di antara spesies yang paling kaya dan banyak jumlahnya.
Pemeliharaan karang berbatu polip kecil dulunya dan biasanya jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan sebagian besar karang LPS dan karang lunak zooxanthellate karena
kebutuhan karang terhadap kualitas air dan pencahayaan. Dengan pengembangan skimmer
berperforma tinggi dan penggunaan batuan hidup, kualitas air di akuarium yang jauh lebih baik
dapat dijamin. Selain itu, pencahayaan yang lebih baik dan pasokan kalsium yang otomatis dan
berkelanjutan memungkinkan karang dipelihara dan berkembang biak dalam jangka panjang.
Karena memelihara karang SPS telah menjadi tujuan yang dapat dicapai oleh banyak aquarists,
karang lunak zooxanthellate kurang diminati oleh sebagian besar aquarists. Mengidentifikasi
polip kecil dan polip besar karang keras tidak selalu mudah, meskipun ada buku referensi yang
sangat bagus seperti buku Veron "Corals of the World". Pada akhirnya, identifikasi yang jelas
hanya mungkin dilakukan berdasarkan pemeriksaan yang tepat terhadap kerangka berkapur, atau
melalui analisis DNA yang kompleks. Kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak hewan di
akuarium tidak lagi terlihat seperti aslinya dan penampilannya berubah karena arus, cahaya, dan
pengaruh lainnya. Meskipun karang batu polip besar biasanya dapat bertahan dengan nilai nutrisi
yang lebih tinggi, karang batu polip kecil sering kali cepat kehilangan warna atau pertumbuhan
hewan menjadi terhambat. Karang yang dulunya berwarna-warni dengan cepat berubah menjadi
coklat yang tidak sedap dipandang mata. Hal ini disebabkan pasokan nutrisi yang lebih tinggi.
Semakin banyak nutrisi, semakin banyak zooxanthellae yang terbentuk dan menyebabkan warna
coklat tua pada hewan tersebut. Jika terjadi kelebihan pasokan atau ketidakseimbangan nutrisi
dalam jangka waktu lama (Souhoka, 2017).
Morfologi Millepora alcicornis sangat bervariasi. Sebagian besar koloni mungkin berawal
dari bentuk yang bertatahkan dan mengadopsi struktur bercabang seiring pertumbuhannya.
Lapisan kerak tersebut dapat terbentuk pada berbagai struktur, tidak hanya pada terumbu karang
dan bebatuan, namun juga pada karang mati dan lambung kapal yang karam. Perkembangan
selanjutnya berupa lempengan atau bilah di habitat dengan banyak pergerakan air seperti tepi
luar terumbu yang dihantam ombak. Di perairan yang lebih tenang, seperti di laguna yang dalam
atau di bagian terumbu yang lebih terlindung, struktur yang lebih tegak, berdaun, atau bercabang
akan tumbuh dan dapat tumbuh hingga setinggi 50 sentimeter (20 inci). Kebiasaan tumbuhnya
juga dipengaruhi oleh kemiringan permukaan tempat tumbuhnya karang api. Pada permukaan
vertikal, alas tatahan lebih besar dengan keliling lebih panjang dan kerapatan percabangan lebih
rendah dibandingkan pada permukaan horizontal. Cabang silindris biasanya tumbuh dalam satu
bidang dan memiliki beragam warna mulai dari coklat hingga kuning pucat seperti krem,
sedangkan ujung cabang berwarna putih. Tertanam dalam kerangka berkapur terdapat banyak
polip mikroskopis. Mereka dihubungkan secara internal oleh sistem kanal dan tersembunyi di
balik pori-pori kerangka, yang permukaannya halus dan tidak memiliki koralit seperti karang
berbatu yang sebenarnya. Polip memiliki fungsi khusus, yaitu gastrozooid yang memproses dan
mencerna makanan yang ditangkap oleh dactylozooid yang berkumpul di sekitarnya.
Gastrozooids berukuran kecil dan montok serta memanjang empat hingga enam potongan
tentakel melalui pori-porinya tetapi sebaliknya tidak terlihat. Dactylozooids mempunyai tentakel
seperti rambut yang ditutupi cnidoblas. Sengatan dari knidokista melumpuhkan mangsa dan
tentakelnya mendorongnya melalui mulut gastrozooid yang berdekatan, kemudian masuk ke
perut untuk dicerna. Polip juga mengeluarkan coenosteum, bahan berkapur yang menyusun
kerangka. Coenosteum mengandung mikroalga simbiosis tertentu yang disebut zooxanthellae. Ini
adalah organisme fotosintetik yang menyediakan energi bagi inangnya dan sebagai imbalannya
mendapat manfaat dari lingkungan yang melindungi dalam posisi yang cukup terang. Sekitar
75% kebutuhan energi karang api disediakan oleh zooxanthellae (Yusron dan Yusron, 2019).
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Untuk praktikum dipulau tikus bagi saya seru dan menyenangkan karena bisa mengetahui
suatu biota – biota yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Sebaiknya saat sebelum
praktikum lapang praktikan harus mempersiakannya sebaik mungkin, sehingga apabila
dilapang tidak binggung. Apabila berjalan di Pulau Tikus harus menggunakan sendal
karena banyak karang. Untuk praktikum ini lebih baik berangkat tepat waktu agar cepat
selesai saat praktikum. Dan membawa alat tulis yang lengkap maupun buku panduan saat
praktikum dimulai
Untuk praktikum selanjutnya disarankan untuk diharapkan berangkat tepat waktu
dan tidak terlalu lama untuk menunggu. Untuk praktikum selanjutnya dimohon untuk
praktikum lebih serius lagi dan tidak main – main. Untuk praktikum selanjutnya itu lebih
hati hati karena banyak ular laut. Untuk selanjutnya pula lebih maksimal lagi dalam
praktikum. Membawa buku panduan dan print biota – biota karang agar saat ketemu biota
atau jenis karang yang ada di Pulau tikus tidak bingung.
Untuk para dosen dan coass terima kasih telah memandu kami selama praktikum di
Pulau Tikus yang sangat berkesan untuk saya. Untuk para coass dimohon saat menjelaskan
apa yang harus praktikan lakukan itu lebih jelas lagi. Untuk para coas juga terima kasih
untuk kesan yang sangat menyenangkan dan terimakasih untuk rasa sabarnya. Untuk
kakak kakak dan abang coass udah the best pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Adrim,M., S.A. Harahap., dan K. Wibowo. 2017. Struktur Komunitas Ikan Karang di Perairan
Kendari. IKendari . Jurnal Ilmu Kelautan. 17(3): 154-163
Baker, A.C., P.W. Glynn, and B. Riegl. 2018. Climate change and coral reef bleaching: an
ecological assessment of long-term impacts, recovery trends and future outlook.
Estuarine, Coastal and Shelf Science, 80(4):435- 471.
Djunaidi, S., Sahami, F. M., & Hamzah, S. N. (2014). Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi
Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, II(4), 169–173.
Fisch, J., Drury, C., Towle, E. K., Winter, R. N. & Miller, M. W. 2019. Physiological and
reproductive repercussions of consecutive summer bleaching events of the
threatened Caribbean coral Orbicella faveolata. Coral Reefs 38(1): 863–876.
Fitriana, N. 2020. Inventarisasi Bintang Laut (Echinodemata: Asteroidea) di Pantai Pulau Pari,
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jurnal Imiah Faktor Exactra. 3(2): 167-174
Giyanto, Abrar, M., Hadi T. A., Budiyanto, A., Hafizt, M., Salatalohy, A. & Iswari, M. Y.
(2018). Status Terumbu Karang Indonesia 2018 Coremap-CTI Pusat Penelitian
Oseanograri LIPI Jakarta.
Goreau, T. F., N.I Goreau & T.J. Goreau. (2014). Corals and Coral Reefs in Life in The Sea. W.
H. Freezanand Company, San Fransisco. 2:425- 431.
Haruddin., Purwanto, Edi. dan Budiastuti ,Sri. 2018. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu
Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di
Pulau Siompu Kabupaten. Jurnal EKOSAINS. Vol.3 (3) : 29-41. Australian Institut
of Marine Science. Townsville-Australia. 368 hlm.
Hermanto, B. 2015. Pertumbuhan Fragmen Acropora formosa pada Ukuran yang Berbeda
dengan Metode Transplantasi di Perairan Selat Lembeh. Jurnal Ilmiah Platax. 3(2): 90 –
100.
Ilyas.I.S., S. Astuty, S.A. Harahap., dan N. P. Purba. 2017. Keanekaragaman Ikan Karang
Target Kaitannya dengan Keanekaragaman Bentuk Pertumbuhan Karang pada Zona inti
di Taman Wisata Perairan Kepualaun Anambas. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(2):
103-111.
Ilham. 2007. Keterkaitan Kondisi dan Rugositas Terumbu Karang dengan Kelimpahan dan
Keragaman Ikan Karang di Pulau Badi Kabupaten Pangkep. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Johan, O., dan S. C. Herminawati. 2015. Perbedaan Laju Pertumbuhan Karang Montipora
digitata Hasil Propagasi pada Kedalaman yang Berbedaa di Pulau Aur Kabupaten Pesisir
Selatan, Sumatera Barat. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015. 819 –
826.
Joni., A. Pratomo, dan H. Irawan. 2015. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup
Karang Acropora formosa Hasil Transplantasi pada Kedalaman Berbeda. Jurnal
Kelautan Indonesia. 4(2): 201 – 212.
Michael,D.,N.P.Zamani.,D.Soedharma.,danO.Johan.2015.Prevalensi, Insidensi dan
Perkembangan Black-band Disease pada Karang Scleractinia (Montipora spp) diPerairan
Dangkal Gugusan Pulau Pari. Ilmu Kelautan. 20(1): 52-60
Patty,S.I. 2013. Distribusi Suhu,Salinitas, dan Oksigen Terlarut di Perairan Kema, Sulawesi
Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 148-157.
Ponto,S.O., A.Kumenaung., dan P.Wauran. 2015. Analisis Korelasi Sektor Pertanian terhadap
Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi.
15(4): 137-147.
Putriningtias, A., Faisal, T. M., Komariyah, S., Bahri, S., Akbar, H. 2019. Keanekaragaman jenis
kepiting di ekosistem hutan mangrove Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh. Jurnal Biologi
Tropis. 19(1); 101-107.
Radifa, M., Wardiatno, Y., Simanjuntak, C. P., Zairion, Z. 2020. Preferensi habitat dan distribusi
spasial yuwana rajungan (Portunus pelagicus) di perairan pesisir Lampung Timur,
Provinsi Lampung. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of
Natural Resources and Environmental Management). 10(2); 183-197.
Rudi, E. 2017. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam
setelah Tsunami. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 10 (1): 50-60
.Yusron, E. dan Yusron. 2019. Diversitas Fauna Ekhinodermata di Perairan Ternate Maluku
Utara. Oseanologi dan Limnology di Indonesia. 36(3): 293-307.
Zulfianti. S. 2014. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis Ikan Karang (Famili Pomacentridae)
Untuk Rencana Referensi Daerah Perlindungan Laut (DPLdi Pulau Bonetambung
Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
.
LAMPIRAN
FOTO SAAT SUDAH SAMPAI DI LOKASI BERKUMPUL KORAL BATU KORAL BINTANG