Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM KORALOGI

TRANSEK GARIS TERUMBU KARANG PULAU ENGGANO

DISUSUN OLEH :

Nama : Zerli Selvika


NPM : E1I012001
Prodi : Ilmu Kelautan
Dosen : Dewi Purnama S.Pi.,M.Si

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan produsen
yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang majemuk dari
senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air. Tanpa tumbuh-
tumbuhan laut sebagai penghasil makanan primer, perkembangan kehidupan hewan laut
umumnya tidak akan mungkin berjalan. Tumbuhan tingkat tinggi tersebut sering disebut
lamun (sea grass), sedangkan untuk tumbuhan tingkat rendah disebut rumput laut (sea weed).
Tumbuhan yang hidup di daerah pantai yang berlumpur biasanya adalah bakau (mangrove).
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena
menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis
ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya
(Dahuri, 2000 dalam Saleh, 2007).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah,
mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu
karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna
dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak
kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Semakin
bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di
terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lain-lain. maka aktivitas yang
mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan
demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan semain meningkat.
Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan
ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Sehingga sudah waktunya kita
mengambil tindakan yang cepat dan tepat guna mengurangi laju degradasi terumbu karang
akibat eksploitasi oleh manusia.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka diperlukan sebuah cara untuk memantau kondisi
terumbu karang setiap saat dalam rangka upaya mengontrol laju degradasi yang terjadi baik
oleh alam maupun aktivitas manusia. Untuk kepentingan tersebut maka dikembangkan
berbagai metode dalam memantau kondisi ekosistem terumbu karang. Diantara metode yang
ada saat ini antara lain metode RRA (Rapid Reef Resource Assessment), metode Line
Intercept Transect (LIT) dan metode Quadrant (Plot). Dalam kegiatan ini akan diperkenalkan
dua metode yang umum dipakai yaitu, metode RRA sederhana (Manta tow) dan metode
transek garis/Line Intercept Transect (LIT).
Manta tow dipergunakan untuk pengamatan seluruh kondisi terumbu karang di suatu
area yang luas, sedangkan untuk wilayah yang cakupan wilayahnya kecil atau sempit seperti
daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat maka metode yang tepat dipergunakan
adalah Line Intercept Transect (LIT)/Transek garis.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum koralogi ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi jenis terumbu karang
2. Menghitung persentase penutupan karang hidup
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Terumbu Karang


Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang
terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria =
Sleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun karang ditemukan di seluruh lautn di dunia, baik
di perairan kutub ataupun di perairan ugahari, seperti halnya daerah tropik, terumbu karang
hanya berkembang di daerah tropik. Hal ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang
yang berbeda, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lain ahermatipik. (Nybakken, 1992)
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah
Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara melintang
terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan
sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur
sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi
samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan
banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan
menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya
keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah tersebut.
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem perairan dangkal yang memegang
peranan penting sebagai habitat dan tempat berlindung berbagai organisme laut. Secara fisik
ekosistem terumbu karang juga memainkan peranan yang penting sebagai pelindung garis
pantai. Selain itu keindahan terumbu dan penghuninya menjadi daya tarik tersendiri bagi
manusia. Mengingat hal tersebut diatas, penting bagi kita untuk lebih memahami karang itu
sendiri serta komponen – komponen biatik dan abiotik yang terdapat dalam ekosistem
terumbu karang, sehingga kita dapat lebih mudah untuk memahami perbedaan komponen
ekologi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dengan wilayah pesisir pantai dan
perairan litoral (intertidal) (Nybakken,J.W. 1988).
Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan ahermatipik tidak/ Karang
ahermatipik tersebar di seluruh dunia , tetapi karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah
tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adala bahwa di dalam jaringan
karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan
zooxanthellae (Nybakken, 1992)
2.2 Penyebaran Terumbu Karang dan Faktor-faktor Pembatas
Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah
20 derajat celcius; akan tetapi , seperti yang di catat oleh Wells (1957) dala Nybakken (1992),
tidak ada terumbu yan gberkembang pada suhu minimum tahunan di bawah 18 drejat celcius.
Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu
tahunannya 23 – 25 derajat celcius. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu kira-kira 36 –
40 derajat celcius. (Nybakken, 1992)
Faktor pembatas karang antara lain yaitu, Kedalaman. Terumbu karang tidak dapat
berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50 – 70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada
kedalaman 25 m atau kurang. Cahay, harus cukup tersedia agar fotosintesis oleh
zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Titik kompensasi untuk
karang nampaknya merupakan kedalaman di mana intensitas cahaya berkurang samapai 15 -
20 persen dari intensitas permukaan. Salinitas, Karang hermatipik adalah organisme lautan
sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut normal
(32 – 35 0/00). Pengendapan, baik di dalam air atau di atas karang berpengaruh negatif
terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tidak dapat bertahan dengan endapan yang
berat, menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makananya. (Nybakken, 1992)

2.3. Struktur Karang


Karena anggota-anggota terumbu karang yang dominan adalah karang, maka perlu
dimengerti sedikit mengenai anatominya. Karang adalah anggota filum Cnidaria, yang
termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hydroid, Hydra air tawar,
dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota klas yang sama Anthozoa.
Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangke luar dai kalsium karbonat sedangkan
anemon tidak. (Nybakken, 1992).

2.4 Tipe-tipe Terumbu


Umumnya mereka dikelompokkan menjadi tiga kategori: Atoll, terumbu penghalang
(barrier reef), dan terumbu tepi (fringing reef). Atol mudah dikenal karena merupakan
terumbu yang berbentuk cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan
melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. (Nybakken, 1992).
Selain itu terumbu karang terbagi menjadi empat kelompok berikut:
 Hermatypes-symbionts.
Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu sebagian
besar anggota Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan
Hydrocorallia.
 Hermatypes-asymbionts.
Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat
membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mereka
mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak ada cahaya.· Di antara
anggotanya adalah Scleractinia asimbiotik dengan genus Tubastrea dan
Dendrophyllia, dan hydro-corals jenis Stylaster rosacea.
 Ahermatypes-symbionts
Anggota kelompok ini antara lain dari genus Heteropsammia dan Diaseris
(Scleractinia: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk
polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun
terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang
mempunyai alga simbion namun bukan pembangun kerangka kapur masif
(matriks terumbu).
 Ahermatypes-asymbionts
Anggota kelompok ini antara lain terdiri dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea
(Ordo Scleractinia) yang mempunyai polip yang kecil. Termasuk juga dalam
kelompok ini adalah kerabat karang batu dari Ordo Antipatharia dan
Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.

2. 5 Penyebaran Karang dan Zonasi Terumbu


Jumlah spesies dan genera karang terumbu yang terbesar berada di daerah Indo-Pasifik,
termasuk di dalamnya kepulauan Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian utara
Australia. Dalam daerah ini, Crossland (1952) dan Wells (1954) mencatat 50 negara dan
beberapa ratus spesies. (Nybakken, 1992)
Dimulai dari sisi yang menghadap ke arah datangnya angin (windward). Zona
pertama terumbu karang adalah lereng terluar yan gmenghadap ke laut (outer seaward slope),
zona susuk dan parit (apur and groove) atau zona penopang, dan zona dataran terumbu yang
sangat dangkal, dan berakhir di daerah pantai yang menghadap ke laut. (Nybakken, 1992)
2.6. Bencana Kematian Terumbu Karang
Mungkin sumber terbesar dari kematian terumbu masif antara lain perusakan mekanik
oleh badai tropik yang hebat, dimana topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu
daerah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu. Ledakan populasi Acanthaster
Plancii, serta Kegiatan mausia secara langsung. (Nybakken, 1992).
Ada beberapa jenis penyakit karang Pada awalnya jenis penyakit ini juga masih terbagi
dalam dua jenis penyakit yakni:
o penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (Skeletal anomalies, Shut-
down reaction, dan White band disease)
o penyakit yang disebabkan oleh pathogen eksternal yakni bakteri (Black band disease,
White plaque type I) .Perkembangan penyakit pada saat ini lebih cenderung kearah
pathogen. Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (aphatogen)
juga mengalami perkembangan.
a. penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (White band
disease type II).
b. penyakit yang disebabkan oleh pathogen eksternal dibagi menjadi dua yakni:
Pathogen yang disebabkan oleh jamur (Fungi) (Aspergillosis, Fungal
protozoan syndrome) Pathogen yang disebabkan oleh bakteri atau microalgae
(White pox, Vibrio shiloi-induced bleaching, Yellow blotch/band, White
plague Type II , Yellow band, Dark spots, Skeleton eroding band, White
plague Type III, Pink-line syndrome, Vibrio coralliilyticus-induced bleaching
and diseas
o Limbah dan Eutropikasi Parameter penting dari tekanan sampah di lingkungan laut
tampak dari penurunan kandungan oksigen, jumlah kontaminan beracun dan tingkat
penanganan limbah. Limbah dapat mengandung sejumlah penting bahan toksik atau
produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam berat. Nilai BOD yang
tinggi dari limbah, kemungkinan berpasangan dengan turunan hydrogen sulfida,
mungkin juga menimbulkan pengaruh toksik. Selain limbah toksik, masuknya unsur
hara (nutrien) yang ber lebihan (eutropikasi) dari daratan juga mengakibatkan
kerusakan pada terumbu karang. Dua contoh pengaruh eutropikasi terhadap terumbu
karang telah di gambarkan di Barbados dan Kaneohe Bay Hawaii (Brown, 1997) Di
Barbados tekanan merupakan kombinasi dari pengkayaan nutrien, penambahan
sedimentasi dan masuknya bahan beracun. Dan di Kaneohe Bay tekanan meliputi
sedimentasi, limbah rumah tangga dan runoff dari daerah pertanian.
o Acantchaster
Acanthaster planci adalah sejenis bintang laut besar yang sering disebut mahkkota
duri (crown of thorns). Di New Caledonia dikenal dengan "step-mother’spin-
cushion". Organisme ini dikenal bukan karena keindahan atau nilai komersialnya akan
tetapi potensinya yang merusak bagi karang karena hewan ini memakan polyp karang
(corallivorous). Seekor acanthaster dapat menghancurkan 5 – 6 m2 karang per tahun
(Anonimus, 2003a). Dalam jumlah yang banyak dapat menghancurkan beberapa km2
per tahun. Beberapa bukti kerusakan karang akibat acanthaster telah di laporkan
antara lain rusaknya 90% koral di sepanjang 38 km pantai Guam, 80% di Green Island
(Australia) yang mencapai kedalaman 40 m. Di Hawaii hanya menyebabkan
kerusakan yang kecil (Anonim, 2003a). Kerusakan bervariasi antara satu tempat ke
tempat lain. Koral di tempat yang dangkal dengan air yang berolak sedikit terserang
acantasther dibandingkan tempat lain. Tingkat kerusakan juga bergantung pada
spesies karang, Porites dan Pocillopora yang membentuk blok paling massif sedikit
mendapat serangan.
o Coral Bleaching
Coral bleaching adalah proses dimana koloni coral kehilangan pigmenpigmen karena
‘lepasnya’ zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan organisme inangnya (polyp
coral), atau karena zooxanthella telah keluar dari polyp (Quod, 2003) Meskipun
bleaching koral umumnya terjadi pada bagian yang dangkal dari terumbu, pada
sebagian besar kasus serius dapat mempengaruhi koloni yang berlokasi hampir 40 m.
Menunrut Muller-Parker dan D’Elia, (1997) Fenomena coral bleaching mungkin
merupakan suatu mekanisme pemberian kesempatan bagi coral dewasa untuk
menukar zooxanthella dengan yang ada dilingkungan. Hal ini sesuai pendapat
Buddemeier dan Fautin (1993) dalam Veron (1995) yang menduga bahwa bleaching
lebih merupakan adaptasi dibanding sebagai bentuk penyakit. Pada kenyataanya,
tampak bahwa bleaching adalah suatu proses yang kontinyu yang terjadi ketika ada
tekanan tehadap lingkungan. Tingkat pengusiran yang rendah dari simbion-simbion
mungkin terjadi relatif teratur,memungkinakan pergantian terus-menerus populasi
simbion dalam coral inang.
o Global climate changes (Perubahan Iklim Global) Menurut Smith dan Buddemeier
(1992) dalam Brown (1997), faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi terumbu
karang selama periode perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut (sea-level
rise), penambahan temperatur air laut, perubahan kelarutan mineral karbonat,
bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan menguatnya aktivitas badai dan
arus.

2.7 Cara perbaikan terumbu karang dengan Transplantasi Terumbu Karang


Prinsip transplantasi terumbu karang adalah memotong cabang karang dari karang
hidup, lalu ditanam pada terumbu karang yang mengalami kerusakan atau pada substrat
buatan. Teknik ini diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah
rusak dan dapat pula dipakai untuk membangun daerah terumbu karang yang baru .
Metode transplantasi karang ada dua yaitu, metode substrat dasar dan metode akresi
mineral yang memberikan tingkat keberhasilan berbeda dalam rehabilitasi terumbu karang.
Keberhasilan kedua metode ini perlu dikaji guna mencari alternatif metode yang tepat untuk
rehabilitasi ekosistem terumbu karang, terutama di Kepulauan Seribu, karena kerusakan
ekosistem terumbu karangnya tertinggi di Indonesia. Apabila tidak segera diatasi
dikhawatirkan akam menurunkan produksi perikanan terutama di Laut Jawa dan Selat
Malaka
Teknik transplantasi karang yang pertama kali diujicobakan di Indonesia ialah teknik
transplantasi dengan metode substrat dasar. Metode ini merupakan metode transplantasi
karang dengan pembuatan substrat dari bahan-bahan yang disesuaikan dengan dasar perairan
di habitat karang alami. Hal ini dimaksudkan agar karang yang ditransplantasikan mudah
melekat pada substrat tersebut.
Beberapa bahan substrat yang telah dicoba adalah beton, semen, keramik, dan gerabah.
Karang yang akan ditransplantasikan diambil dengan cara memotong fragmen karang donor
kurang lebih sepanjang 5 cm. Karang yang telah dipotong diikatkan pada substrat dengan
menggunakan cable tie. Substrat yang telah diikatkan pada karang diletakkan di atas
kerangka besi yang dilapisi jaring untuk memudahkan pengikatan substrat, dan untuk
mencegah agar substrat tidak lepas. Rangkaian substrat, karang dan kerangka besi diletakkan
di dasar laut pada kedalaman 5 m, ditempatkan sepanjang tali nilon yang telah dipancangkan.
Metode akresi mineral pertama kali dikembangkan oleh W. Hilbertz pada tahun 1977.
Metode ini merupakan teknik transplantasi karang dengan pembentukan substrat dari
pengendapan mineral Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) yang terdapat pada air laut pada
struktur baja melalui proses elektrolisis. Proses ini diawali saat arus listrik yang dialirkan
melalui sumber listrik mengakibatkan mineral kalsium dan magnesium mengendap dengan
cepat pada katoda, sedangkan gas khlor dan oksigen meningkat di sekitar anoda. Material
yang terbentuk terdiri dari sebagian substrat kalsium karbonat dan bahan kimia lainnya
menyerupai substrat ataupun endapan yang dihasilkan karang
Bahan yang digunakan sebagai katoda adalah baja dan struktur baja tersebut dapat
dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran disesuaikan dengan kondisi perairan setempat.
Bentuk kubah merupakan uji coba metode akresi mineral yang dilakukan di Bali. Sedangkan
bahan yang dapat digunakan sebagai anoda adalah plat baja, karbon, grafit dan titanium.
Dalam metode ini, arus listrik dengan tegangan rendah (3,5 volt dan 2 Amp/m2)
dialirkan melalui struktur baja tempat karang transplan diletakkan. Listrik yang mengalir
pada katoda dan anoda akan bereaksi dengan air laut dalam kondisi dan tipe reaksi yang
berbeda.

2.8 Aliran energi pada karang


Pada umumnya, secara alami terumbu karang akan mengeluarkan energi metabolisme
untuk menciptakan kondisi pH yang tinggi, untuk pertumbuhan skeleton. Tapi, dengan
metode akresi mineral ini kondisi tersebut akan tercipta secara tidak langsung dan energi
yang dimiliki dapat dialihkan pada pertumbuhan, reproduksi, dan penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Metode ini terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan terumbu karang 3-5 kali
lebih cepat dari keadaan normal. Pada kasus tertentu bahkan dapat 10 kali lebih cepat.
Hasil analisis menunjukkan, tingkat kelangsungan hidup karang jenis Acropora sp.
pada metode akresi mineral berkisar 85-97%, dengan pertumbuhan panjang 10 cm dalam tiga
bulan. Hasil ini lebih baik dari metode substrat dasar yang berkisar 33,3%-100%, dan
pertumbuhan panjang 4,89 cm dalam lima bulan
Pertumbuhan karang yang cepat pada metode akresi mineral menyebabkan terumbu
dapat terbentuk lebih cepat pula, sehingga menghasilkan asosiasi dengan biota laut lain yang
lebih beranekaragam. Hal inilah yang menunjukkan pentingnya peran terumbu karang bagi
kehidupan ikan
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum koralogi di lakukan di pulau enggano Bengkulu Utara pada tanggal 23 mei
2014 pada hari jum’at dengan menggunakan transek garis

3.2 Alat dan Bahan


o Karang mati
o Roll meteran
o Alat tulis
o Kamera
o Buku identifikasi karang
o Data sheet
3.3 Cara Kerja
~ Transek dilakukan di perairan pulau enggano dengan menggunakan contoh-contoh
karang mati yang ada di pinggir pantai
~ Transek garis dibuat dengan menggunakan roll meter sepanjang satu meter . setiap
ujung roll meter diberi pemberat agar terumbu karang mudah untuk diidentifikasi
jenis-jenisnya.
~ Pada setiap panjang roll meter diletakkan jenis-jenis terumbu karang yang berbeda.
~ Pengamatan dilakukan didekat pinggir pantai dengan kedalaman 30cm
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu dengan metode LIT ( ) dengan
memasang transek sepanjang 30 m, sejajar dengan garis pantai.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1 data tutupan terumbu karang
Posisi JK Pj Kategori %Cover
5 S 5 2.5
21 ACT 16 8
25 ACB 4 2
37 S 12 6
43 CS 6 3
49 S 6 3
57 ACB 8 4
67 S 10 5
79 CF 12 6
83 S 4 2
92 ACB 9 4.5
103 S 11 5.5
109 ACB 6 3
115 S 6 3
119 ACB 4 2
126 S 7 3.5
129 ACB 3 1.5
134 S 5 2.5
141 DCA 7 3.5
148 S 7 3.5
157 OT 9 4.5
162 R 5 2.5
167 S 5 2.5
186 R 19 9.5
189 S 3 1.5
199 CM 10 5
200 S 1 0.5
TOTAL 200 100
Tabel 2 pengelompokan data setiap terumbu karang
Keterangan %
S 41
ACT 8
ACB 17
CS 3
CF 6
DCA 3.5
OT 4.5
CM 5
R 12
TOTAL 100

Tabel 3. Pengelompokan data jenis terumbu karang menjadi Hard Coral, Soft Coral dan Dead
Coral
HC 39
SC 0
DC 3.5

Jumlah tutupan karang (%) dan life form


Tutupan karang 39
Life form 9
Nilai tutupan karang (%)

40
30
20
10
0
HC
SC
DC

Jenis karang

Grafik persent cover metode transek garis


4.2 Pembahasan
Pada praktikum koralogi dilakukan penelitian terumbu karang di perairan pulau
enggano Bengkulu Utara. Setelah dilakukan penelitian maka di dapatkan hasil seperti yang
ada di atas. Praktikum koralogi terumbu karang dilaksanakan dengan menggunakan metode
transek garis dengan alat roll meter sepanjang 2meter sejajar garis pantai pada kedalaman
kurang lebih 30 cm. Setelah semuanya sudah disiapkan maka masing-masing kelompok
mulai melakukan indentifikasi jenis-jenis karang dan tutupan karang yang ada.
Setelah masing – masing kelompok mendapatkan data life form masing – masing
karang untuk jarak per Cm maka masing – masing kelompok tersebut harus mengumpulkan
data life form karang secara keseluruhan sepanjang 2 meter untuk kemudian data tersebut
diolah sehingga diperoleh presentase penutupan karang di Perairan Pulau enggano dan
perbandingan antara presentase Acropora dan Non-Acropora serta dapat diketahui kondisi
perairan di Perairan Pulau Enggano.
Dari hasil pengolahan data terumbu karang diketahui bahwa di Perairan Pulau
Enggano terdapat beberapa life form karang antara lain ACB,ACT,CS,CF.CM,DCA,OT dan
substratnya S dan R.
Selain itu pada pencatatan dilakukan pada semua life form karang pada area yang
dilalui oleh garis transek. Setiap life form harus dicatat lebarnya (hingga skala centimeter).
Kategori life form mengacu pada AIMS (English et al., 1994). Bila memungkinkan,
pengamat juga dapat mengidentifikai jenis karang yang diamati . Dari beberapa life form
tersebut memiliki nilai persentase cover yang berbeda-beda .
Dilihat dari Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan
Karang Hidup

Berdasarkan kriteria data kerusakan terumbu karang yang ada di atas dengan hasil
persentase tutupan karang hidup yang didapat dengan nilai 39 % .Hal ini menunjukkan
bahwa ekosistem terumbu karang yang ada disekitar pelabuhan desa Kahyapuh sudah tidak
bagus lagi atau bisa dikatakan terancam rusak atau sedang mengalami kerusakan sedang.
Hal ini dapat terjadi karena faktor lingkungan yang sudah tidak memungkinkan lagi.
Selain itu ,rendahnya persentase tutupan karang dikarenakan ada beberapa faktor yang tidak
mendukung seperti cahaya, kecerahan, gelombang dan arus. Faktor kecerahan berhubungan
dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan
ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula. Karena karang membutuhkan
oksigen untuk hidupnya dalam jumlah yang cukup maka ketersediaan oksigen di perairan
akan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan karang. Gelombang merupakan faktor
pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang,
contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih
berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat
memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya
pengendapan pada koloni atau pada polip. Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk.
Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh
karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di
perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian
karang.
Selain itu, ekosistem terumbu karang serta biota sangat sensitive terhadap berbagai hal
seperti : (1) Aliran air tawar yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan salinitas yang
drastis, (2) Beban sedimen dapat mengganggu biota yang mencari makan, (3) Suhu
ekstrim/diluar toleransi, (4) Polusi seperti biosida dari aktivitas pertanian yang masuk ke
parairan (Dahuri, 2001). Dengan demikian, lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan karang
adalah berada di sedikit di bawah permukaan laut, perairan dangkal, oligotrofik.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang sudah didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa terumbu
karang yang ada di sekitar dermaga pulau enggano sedang dalam kedaan rusak sedang . hal
tersebut dikarenakan tutupan karang hanya mencapai nilai persentase cover sebesar 39% .
Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu seperti
kecerahan,kekeruhan,salinitas,suhu,arus dan gelombang . area yang baik untuk terumbu
karang yaitu daerah yang memiliki gelombang yang besar ,suhu yang stabil , memiliki kadar
garam yang baik dan tidak ditutupi oleh sedimenasi sehingga karang nedapatkan pasokan
udara dan bisa melakukan proses fotosintesis.

5.2 Saran
Dari penelitian yang sudah dilakukan maka disarankan untuk kedepan agar peralatan
yang memadai sehingga hasilnya sesuai yang diharapkan praktikum. Selain itu kepada semua
mahasiswa agar benar-benar serius dan memperhatikan penjelasan dari dosen sehingga
praktikum dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ambalikat, Indra. 2008. Rehabilitasi Terumbu Karang dengan Merintis Daerah


Perlindungan Laut (Marine Protect Area) Berbasis Masyarakat, Solusi dari Tidak
Efektifnya Terumbu Karang Buatan. (terhubung berkala)
http://http://www.ubb.ac.id/menulengkap 10 November 2009).

Endrawati, Hadi.2000.Biologi Laut ( Botani Laut ) Klasifikasi Dan Ciri Lamun. Semarang;
Universitas Diponegoro Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.

Nantji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta ; Djambatan.

Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Jakarta ; Gramedia.

Philips,C.R. and E.G. Menez. 1988. Seagrass. Smith Sonian. Institutions Press.
WashingtonD.C.

Romimohtarto,K. dan S, Juwana. 1999.Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Jakarta ; Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta.

Saleh, Amrullah. 2007. Teknik Pengukuran dan Analisis Kondisi Terumbu Karang.
(terhubung berkala) http://www.scribd.com (10 November 2009).
LAMPIRAN

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑙𝑖𝑓𝑒 𝑓𝑜𝑟𝑚


Nilai persentase = 𝑥 100
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
5+12+6+10+4+11+6+7+5+7+5+3+1
S= 𝑥 100 = 41%
200
16
ACT= 200 𝑥 100 = 8%
4+8+9+6+4+3
ACB= 𝑥 100 = 17%
200
6
CS= 200 𝑥 100 = 3%
12
CF= 200 𝑥 100 = 6%
7
DCA= 200 𝑥 100 = 3,5%
9
OT= 200 𝑥 100 = 4,5%
10
CM= 200 𝑥 100 = 5%
5+19
R= 𝑥 100 = 12%
200

Anda mungkin juga menyukai