Anda di halaman 1dari 20

PEMANFAATAN IKAN KEPE-KEPE (Chaetodontidae) SEBAGAI

BIOINDIKATOR KERUSAKAN PERAIRAN EKOSISTEM TERUMBU


KARANG
(Makalah Ekologi Perairan)

Oleh
Kelompok 11:
1. Hanifa Fauzia Utami 1817021030
2. Pera Priantini 1817021048
3. Reza Pina Lestari 1817021034
4. Sisilya Teresia Siregar 1817021022
5. Sofia Vao Afni Daely 1817021002

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
ABSTRAK

PEMANFAATAN IKAN KEPE-KEPE (Chaetodontidae) SEBAGAI


BIOINDIKATOR KERUSAKAN PERAIRAN EKOSISTEM TERUMBU
KARANG
I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunitas ikan di ekosistem terumbu karang terdapat dalam jumlah yang


besar dan terlihat mengisi seluruh daerah di terumbu, sehingga dapat
dikatakan bahwa ikan menjadi penyokong berbagai macam hubungan yang
ada dalam ekosistem terumbu. Tingginya keanekaragaman jenis dan
kelimpahan komunitas ikan di ekosistem terumbu disebabkan oleh tingginya
variasi habitat terumbu atau beragamnya relung (niche) dari spesies-spesies
ikan tersebut. Terumbu karang termasuk kedalam hewan sessil yang
menghasilkan endapan padat berupa kapur atau CaCO3 dan memiliki banyak
fungsi di ekosistem laut, salah satunya yakni fungsi secara ekologis menjadi
daerah pengasuhan (nursery ground), pemijahan (spawning ground) dan
daerah mencari makan (feeding ground). Akan tetapi, saat ini keberadaan
terumbu karang semakin berkurang karena adanya kerusakan lingkungan laut.

Lingkungan perairan laut dangkal di daerah tropik dicirikan dengan


ditemukannya hutan bakau (mangrove), padang lamun (sea grass beds) dan
terumbu karang (coral reefs). Selain memiliki sumber daya keanekaragaman
hayati yang tinggi, ketiga ekosistem perairan laut dangkal ini mempunyai nilai
dan fungsi yang sangat penting dalam menjamin kawasan pesisir dan pantai.
Keterkaitan antara ketiga ekositem perairan dangkal ini sangat berarti, antara
lain dalam kehidupan hewan hewan dan sumber nutrien. Salah satu
organisme yang dapat dijadikan sebagai penanda kerusakan terumbu karang
yakni ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) (Madduppa et al. 2012). Keberadaan
terumbu karang sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan ikan Kepe-
kepe. Terumbu karang selain dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari
predator, dapat dijadikan sebagai sumber makanan ikan Kepe-kepe. Keunikan
yang lain dari ikan Chaetodontidae adalah keberadaan, kelimpahan jenis dan
individu ikan ini pada suatu perairan dapat memberikan gambaran kondisi
terumbu karang setempat. Para ahli sepakat dalam menempatkan ikan kepe-
kepe sebagai “spesies indicator” kondisi terumbu karang, karena ikan ini
merupakan penghuni terumbu karang sejati. Keeratan hubungan antara
keduanya telah diteliti oleh Adrim & Hutomo (2015), dimana terlihat
keberadaan dan kelimpahan ikan Chaetodontidae di suatu perairan
bergantung pada kondisi ekosistem terumbu karang setempat. Oleh karena
itu, untuk mengetahui pentingnya kemelimpahan ikan kepe-kepe
(Chaetodontidae) sebagai bioindikator terhadap kerusakan perairan
ekosistem terumbu karang maka dibuatlah makalah ini.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, fokus masalah dari makalah ini sebagai


berikut:
1. Bagaimana kondisi terumbu karang di Perairan tersebut ?
2. Bagaimana kemelimpahan dan keragaman jenis Chaetodontidae di
perairan ?
3. Bagaimana hubungan antara kondisi terumbu karang dengan ikan jenis
Chaetodontidae di perairan ?

C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut :


a. Mengetahui kondisi terumbu karang di perairan.
b. Mengetahui kemelimpahan dan keragaman jenis ikan Chaetodontidae di
perairan.
c. Mengetahui hubungan antara kondisi terumbu karang dengan keberadaan
ikan famili Chaetodontidae.
II. LANDASAN TEORI

A. Terumbu Karang

1. Deskripsi
Terumbu karang tersusun atas dua kata, yaitu terumbu dan karang, yang
apabila berdiri sendiri akan memiliki makna yang jauh berbeda bila kedua
kata tersebut digabungkan. Istilah terumbu karang sendiri sangat jauh
berbeda dengan karang terumbu, karena yang satu mengindikasikan suatu
ekosistem dan kata lainnya merujuk pada suatu komunitas bentuk atau
yang hidup di dasar substrat. Terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem paling produktif di bumi dengan fungsi ekologis yang besar
(Souter and Linden, 2018), sebagai tempat berkembangbiak, pengasuhan,
dan tempat mencari makan bagi biota perairan (Rizal et al., 2018).
Keberadaan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pelindung fisik
daerah pantai dari ombak dan arus yang kuat (Rumkorem et al., 2019).
Selain itu, dari sektor ekonomi ekosistem ini berpotensi dalam
pengembangan wisata bahari (Wahyudin et al., 2011; Suryono et al., 2018),
yang dapat memberikan keuntungan bagi pendapatan masyarakat pesisir
maupun pemerintah jika dikelola dengan baik.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang rapuh dan rentan


terhadap kerusakan (Tonin, 2018), ancaman degradasi bahkan kepunahan
(Rumkorem et al., 2019). Kondisi ekosistem terumbu karang telah
mengalami perubahan dalam skala global, baik diakibatkan oleh faktor
manusia maupun faktor alam. Kerusakan terumbu karang dalam skala kecil
dapat berdampak pada penurunan populasi ikan karang, sedangkan dalam
skala besar dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat pesisir (Najmi
et al., 2016). Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia yang berlangsung
di daratan dapat mempengaruhi ekosistem perairan sekitarnya sehingga
menurunkan keanekaragaman hayati khususnya di daerah ekosistem
terumbu karang. Selain itu faktor alam seperti naiknya suhu perairan
melebihi batas normal toleransi terumbu karang menyebabkan terjadinya
pemutihan karang (Octavina et al., 2018; Ulfah et al., 2018).

Terumbu (Reef) adalah endapan masif batu kapur (limestone), terutama


kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang
dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan
moluska. Konstruksi batu kapur biogenis yang menjadi struktur dasar suatu
ekosistem pesisir. Dalam dunia navigasi laut, terumbu adalah punggungan
laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air.
Karang (Coral) yang hidup di laut, tampak terlihat seperti batuan atau
tanaman. Tetapi mereka sebenarnya adalah sekumpulan hewan-hewan
kecil yang dinamakan polip. Ada dua macam karang, yaitu karang batu
(hard corals) dan karang lunak (soft corals). Karang batu merupakan karang
pembentuk terumbu karena tubuhnya yang keras seperti batu.
Kerangkanya terbuat dari kalsium karbonat atau zat kapur. Karang baru
bekerja sama dengan alga yang disebut zooxanthellae. Karang batu hanya
hidup di perairan dangkal dimana sinar matahari masih didapatkan. Karang
lunak bentuknya seperti tanaman dan tidak bekerja sama dengan alga.
Karang lunak dapat hidup baik di perairan dangkal maupun di perairan
dalam yang gelap. Karang terumbu adalah pembangun utama struktur
terumbu, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic
coral). Berbeda dengan batu karang (rock), yang merupakan benda mati.
Terumbu karang ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama
oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu
dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota (Rizal et al., 2018).

2. Fungsi Terumbu Karang


Terumbu karang memiliki banyak fungsi yang berguna bagi lingkungan dan
masyarakat, beberapa fungsi terumbu karang adalah sebagai berikut:
 Pelindung ekosistem pantai. Terumbu karang akan menahan dan
memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan
kerusakan di sekitarnya.
 Rumah bagi banyak jenis mahluk hidup di laut. Terumbu karang bagaikan
oase di padang pasir untuk lautan. Karenanya banyak hewan dan
tanaman yang berkumpul di sini untuk mencari makan, memijah,
membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya
terumbu karng mempunyai potensial perikanan yang sangat besar, baik
untuk sumber makanan maupun mata pencaharian mereka. Diperkirakan,
terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan per
tahunnya. Sekitar 500 juta orang di dunia menggantungkan nafkahnya
pada terumbu karang, termasuk didalamnya 30 juta yang bergantung
secara total pada terumbu karang sebagai penghidupan.
 Sumber obat-obatan. Pada terumbu karang banyak terdapat bahan-
bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia. Saat ini
banyak penelitian mengenai bahan-bahan kimia tersebut untuk
dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit manusia.
 Objek wisata. Terumbu karang yang bagus akan menarik minat wisatawan
sehingga meyediakan alternatif pendapatan bagi masyarakat sekitar.
Diperkirakan sekitar 20 juta penyelam , menyelam dan menikmati
terumbu karang per tahun.
 Daerah penelitian. Penelitian akan menghasilkan informasi penting dan
akurat sebagai dasar pengelolaan yang lebih baik. Selain itu, masih
banyak jenis ikan dan organisme laut serta zat-zat yang terdapat di
kawasan terumbu karang yang belum pernah diketahui manusia sehingga
perlu penelitian yang lebih intensif untuk mengetahui ‘misteri’ laut
tersebut.
 Mempunyai nilai spiritual. Bagi banyak masyarakat, laut adalah daerah
spiritual yang sangat penting, Laut yang terjaga karena terumbu karang
yang baik tentunya mendukung kekayaan spiritual ini (Rumkorem et al.,
2019).

3. Ancaman dan Kerusakan Terumbu Karang


Sebenarnya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat kelenturan dan
ketahanan yang tinggi, terlihat dari kemampuannya bertahan di muka bumi
ini selama lebih dari ratusan juta tahun. Namun, apabila tekanan yang
terjadi sekarang ini dapat menimbulkan kematian dan kepunahan.
Dikategorikan dua jenis ancaman terhadap terumbu karang, yakni
ancaman manusia (anthropogenik) dan ancaman alam. Tapi sepertinya
ancaman manusia lebih berbahaya dibandingkan dengan alam.
Perkembangan yang sangat pesat di daerah pesisir sangat mengancam
kondisi terumbu karang. Terlebih lagi belum adanya sistem pengelolaan
secara menyeluruh di daerah pesisir.

Fenomena alam yang paling umum menimbulkan kerusakan pada terumbu


karang antara lain badai, angin puyuh, tsunami, el nino (kemarau panjang),
efek rumah kaca (green house effect), ekspose terhadap udara (aerial
exposure), perubahan iklim (climate change). Sedangkan ancaman dari
manusia adalah pertumbuhan dan perkembangan manusia di wilayah
pesisir. Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan penduduk ini
mengakibatkan meningkatnya masukan material dari sungai (run-off).
Masukan dari sungai ini kemungkinan besar membawa beberapa bahan
seperti sedimen dalam jumlah besar akibat pembukaan lahan; unsur hara
berlebih dari pertanian (pupuk, pestisida, insektisida), limbah rumah
tangga, pasar dan industri.

Terumbu karang juga mendapat ancaman dari perahu dan kapal-kapal yang
melintas di kawasan ini. Kapal-kapal tanker sering membuang air cucian
kapal (ballast) ke kawasan ini pada saat mereka melintas. Demikian pula
dengan kapal komersial lainnya yang sering membuang oli-oli bekas ke
perairan. Hal lain adalah pembuangan jangkar yang dilakukan baik oleh
kapal ikan, kapal wisata dan kapal-kapal lainnya. Wisatawan seringkali
menimbulkan kerusakan pada terumbu karang. Pada rataan terumbu (reef
flat) wisatawan akan menginjak-injak terumbu. Oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk memanfaatkan rataan terumbu pada saat kondisi surut
(low tide) bagi wisatawan. Khusus bagi penyelam pemula seringkali tidak
dapat mengontrol kaki mereka, sehingga menendang dan mematahkan
karang. Oleh karena itu dianjurkan bagi pemula untuk menyelam di area
yang terbuka dan didominasi oleh pasir dan karang mati/rubble. Dan
banyak sekali wisatawan yang mengambil terumbu karang atau biota
lainnya sebagai souvenir.

Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem perairan yang dihuni oleh


berbagai organisme yang berasosiasi dengan karang dan membentuk zat
kapur. Terumbu karang dibentuk oleh aktifitas hewan karang, yaitu
simbiosis antara polip dengan alga Zooxanthellae, serta organisme
penghasil kapur lainnya Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang
paling dominan di daerah tropis yang terletak di sepanjang garis pantai.
Salah satu penyusun ekosistem terumbu karang adalah karang yang
termasuk anggota Subphyllum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia.
Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang dangkal,
seperti di paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis.
Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan
perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat. gerakan
gelombang yang besar, dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar dari
proses sedimentasi.

Terumbu karang memiliki berbagai peranan yang sangat penting dalam


tatanan lingkungan kawasan pesisir dan lautan, baik ditinjau dari segi
biologi dan ekologi maupun biotanya. Terumbu karang berfungsi sebagai
gudang makanan yang produktif untuk perikanan, tempat pemijahan,
bertelur, dan mencari makan berbagai biota laut yang bernilai ekonomis
tinggi. Secara fisik, terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak dan
pelindung pantai badai, serta dari memiliki nilai estetika yang tinggi wisata
bahari. pengembangan wisata terumbu karang merupakan salah Selain
sapuan untuk itu ekosistem satu sistem kehidupan yang majemuk dan khas
daerah tropis yang mempunyai produktifitas dan keanekaragaman yang
tinggi. Hubungan antar komponen biotik dan abiotik sangat erat, sehingga
eksploitasi terhadap suatu jenis biota dapat mengakibatkan 1 perubahan
populasi biota lainnya.

Penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang secara garis besar


disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan yang
disebabkan oleh: faktor alam misalnya: perubahan suhu air laut, topan,
perubahan iklim global, gempa bumi, letusan gunung merapi, pemangsa
dan penyakit. Dampak kerusakan ekosistem terumbu karang yang
diakibatkan oleh faktor manusia lebih kronis dan tidak bersifat sementara.
Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh berbagai kegiatan
manusia dapat secara langsung maupun tidak langsung Contoh yang paling
banyak antara lain adalah: kegiatan perikanan, usaha penangkapan ikan
hias, ikan konsumsi, pengambilan kerang-kerang, dan udang dengan
menggunakan bahan peledak, bahan kimia beracun, arus listrik, alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potasium, penangkapan yang
berlebihan, serta pemanen yang tidak teratur. Rusaknya terumbu karang
pada kawasan tertentu akan mengancam kondisi sosial dan ekonomi bagi
masyarakat yang ada di wilayah tersebut, khususnya nelayan tradisonal
yang bergantung pada sumber daya terumbu karang (Tonin, 2018).

B. Ikan Kepe-Kepe

1. Deskripsi
Ekosistem terumbu karang yang sehat memiliki peran yang penting bagi
makhluk hidup untuk tumbuh dan berkembang. Kondisi kesehatan
terumbu karang dapat dilihat dari ikan indikator yang ada pada ekosistem
tersebut salah satunya adalah ikan Famili Chaetodontidae atau ikan Kepe -
kepe. Ikan Kepe – kepe hanya hidup pada ekositem terumbu karang yang
sehat terkait dengan ketersedian makanannya. Selain dijadikan sebagai
tempat sumber makanannya, terumbu karang juga dijadikan sebagai
tempat bersembunyi dari predator ikan Kepe-kepe (Yusup, 2020).
Adapun klasifikasi ikan Kepe-kepe yakni:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Chaetodontidae
Genus : Chaetodon
Spesies : Chaetodon sp

2. Morfologi
Ikan karang famili chaetodontidae atau disebut juga ikan kupu-kupu,
mempunyai ukuran tubuh yang umumnya kecil. Panjang tubuhnya
berkisar antara 12-22 cm, namun pada spesies Chaetodon
ephipium tumbuh hingga 30 cm. Namanya merujuk pada tubuh yang
berwarna terang dan berpola mencolok pada banyak spesies, dengan
sentuhan warna hitam, putih, biru, merah, jingga, dan kuning. Namun
beberapa spesies berwarna biasa saja. Banyak Kepe Kepe yang 'bintik
mata' di sisi tubuhnya serta pita gelap yang melewati mata mereka, mirip
pola yang terlihat di sayap kupu-kupu. Tubuhnya yang bulat pipih mudah
dikenali di melimpahnya kehidupan terumbu karang, sehingga orang
mengira bahwa warna mencolok itu dimaksudkan untuk komunikasi
antarspesies. Ikan kepe kepe sirip punggung tidak terbagi-bagi, sirip
ekornya membulat atau nampak terpotong tapi tidak bercabang (Uejo,
2020).

3. Habitat
Kondisi yang cocok untuk habitat mereka adalah suhu yang agak tinggi dan
juga sepertinya tingkat keasinan yang cocok seperti kehidupan terumbu
karang yaitu 1.025. Umumnya hidup berpasangan sebagian hidup
bergerombol. Ikan Kepe Kepe hidup di perairan dangkal dengan kedalaman
kurang dari 18 m. Ikan Kepe Kepe menyenangi daerah perairan hangat
yang dekat dengan terumbu karang, hal ini berkaitan dengan perilaku
hidupnya yang mencari makan. Untuk genus Chaetodon, wilayah
penyebaran mereka sangat luas yaitu di barat dan pusat Samudera Pasifik,
Hawai, tenggara Jepang dan pantai barat laut serta timur Australia,
berlanjut sampai Samudera Atlantik (Atiqha, 2020).

4. Reproduksi
Ikan Kepe-kepe merupakan ikan yang bertelur pelagis, yaitu mereka
menghasilkan banyak telur yang mengapung yang kemudian menjadi
bagian plankton, melayang-layang terbawa arus hingga menetas. Anaknya
melalui tahap yang disebut tholichthys, dimana tubuh dari ikan pascalarva
tertutup lempengan tulang besar yang meluas dari kepala. Lempengan
tulang itu menghilang saat mereka beranjak dewasa (Mazzoni, 2021).
III. PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riansyah, dkk (2018) dalam jurnal
yang berjudul “Ikan Kepe – kepe (Chaetodontidae) sebagai Bioindikator
Kerusakan Perairan Ekosistem Terumbu Karang Pulau Tikus” yang dilaksanakan di
8 stasiun penelitian didapatkan beberapa data pengamatan yang akan dibahas
pada bagian berikut:

A. Persentase Tutupan Karang Hidup

Terumbu karang pada masing-masing lokasi penelitian di Pulau Tikus terdiri


atas karang keras (hard corals), karang mati (dead coral), algae, biota lain dan
abiotik. Terumbu karang di Pulau Tikus termasuk dalam tipe terumbu karang
tepi (fringing reef). Kondisi terumbu karang pada masing-masing lokasi
penelitian dianalisis berdasarkan persentase tutupan karang hidup. Kondisi
terumbu karang di lokasi penelitian masih dalam keadaan sedang, dengan
rata-rata penutupan karang hidup 37,59%. Hasil pengamatan ekosistem
terumbu karang di Pulau Tikus memiliki persentase tutupan yang terdiri dari
komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari karang hidup,
Algae, dan biota lain, sedangkan komponen abiotik terdiri dari pasir, patahan
karang (rubble) dan karang mati. Tutupan terumbu karang hidup di Pulau
Tikus berkisar antara 11,46% - 66,76%. Nilai persentase tertinggi terdapat di
stasiun 7 (66,76%), berikut Stasiun 1 (22,14%), Stasiun 2 (51,00%), Stasiun 4
(31,14%), Stasiun 5 (35,40%), Stasiun 6 (31,36%), Stasiun 8 (51,42%) dan
persentase terendah terdapat di Stasiun 3 (11,46%) (Gambar 1). Letak Stasiun
7 yang jauh dari pemukiman diduga sebagai alasan stasiun ini memiliki kondisi
terumbu karang yang lebih baik dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rahman (2007) bahwa perairan yang memiliki lokasi
berjauhan dan tidak berhadapan langsung dengan lokasi pemukiman akan
memilki persentase tutupan terumbu karang yang lebih baik dibanding
dengan lokasi yang berdekatan dan berhadapan langsung dengan pemukiman
penduduk dan juga tergantung dengan substrat dasar. Stasiun 7 memiliki nilai
kecerahan 10 meter atau 100% kecerahannya dan juga dengan kondisi
terumbu karang baik (66,76%) dimana menurut Supriharyono (2000) bahwa
banyaknya sinar matahari yang diterima oleh terumbu karang berkorelasi
positif dengan pertumbuhan terumbu karang tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak sinar yang diterima oleh terumbu karang
maka semakin baik pula tingkat pertumbuhan terumbu karang tersebut.
Stasiun 3 (11,46%), kondisi di stasiun 3 rendah atau dalam katagori buruk. Hal
ini disebabkan karena pada stasiun ini merupakan lokasi penangkapan ikan
bagi penduduk sekitar. Menurut (Risnawati, 2016), adanya penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem
terumbu karang

B. Persentase Tutupan Karang Mati

Komponen terumbu karang mati merupakan komponen yang harus


dipertimbangkan dalam ekosistem terumbu karang karena keberadaan
substrat keras memperbesar peluang terumbu karang untuk tumbuh disuatu
perairan, apabila syarat pertumbuhan terumbu karang yang lain terpenuhi.
(Manuputty, 2000 dalam Rahman 2007). Selain juga adanya kegiatan
penangkapan yang dilakukan nelayan dan wisatawan juga menyumbang
kerusakan yang besar pada stasiun ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rahman (2007) yang menyatakan bahwa aktivitas manusia seperti
penangkapan ikan, pengambilan terumbu karang batu, pembuangan limbah
rumah tangga dapat mengakibatkan kerusakan bagi terumbu karang disuatu
daerah, Kuncoro (2004) menyatakan bahwa efek negatif dari penggunaan
racun untuk menangkap ikan adalah rusak dan matinya terumbu karang,
anemon maupun inverteberata lainnya.

C. Indek Mortalitas Terumbu Karang

Mortalitas merupakan persentase rasio karang mati dengan karang hidup


yang menunjukkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati di
kawasan perairan penelitian. Dari 8 stasiun yang diamati menunjukkan stasiun
1 memiliki kecenderungan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
stasiun lainnya. Stasiun 1 dan 2 memiliki tingkat mortalitas yang paling tinggi
sebesar 0,77 (stasiun 1) dan 0,44 (stasiun 2), sedangkan stasiun 4 dan 7 adalah
stasiun dengan tingkat mortalitas yang rendah. Salah satu faktor yang
mempengaruhi perbedaan laju mortalitas di lokasi penelitian ialah aktivitas
perikanan yang merusak dari manusia (antrophogenic) di lokasi penelitian.
Mortalitas dapat disebabkan oleh beberapa aktivitas, baik alam maupun
kegiatan manusia yang merusak (antrophogenic), proses alam seperti
bleaching.
D. Ikan Kepe – kepe (Chaetodontidae)

Kondisi Ikan Kepe – kepe Chaetodontidae berdasarkan hasil analisis


kelimpahan dan jumlah jenis ikan Kepe – kepe pada stasiun didapatkan
sebanyak 136 individu yang teridentifikasi dari 9 spesies yaitu
Chaetodontidae Melannotus, Chaetodontidae vagabundus, Chaetodontidae
trifasciatus, Chaetodontidae collare, Chaetodontidae kleinii, Chaetodontidae
auriga, Chaetodontidae ephipium, Chaetodontidae meyeri, dan
Chaetodontidae lunulatus. C. trifasiatus merupakan spesies yang sering
dijumpai pada setiap stasiun. Berdasarkan penelitian Adrim dan Hutomo
(1989) jenis C. trifasiatus, C. vagabundus, C. kleinii dan C. Baronsesa sering
ditemui diperairan terumbu karang yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi.
IV. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah ini antara lain:


1. Hasil pengamatan persentase tutupan terumbu karang pada perairan tersebut
adalah 20,84 % - 67,00 %.
2. Terjadi hubungan positif antara persentase tutupan karang terhadap
kelimpahan ikan Kepe- kepe.
3. Hasil analisis kelimpahan dan jumlah jenis ikan Kepe – kepe pada stasiun
penelitian didapatkan sebanyak 136 individu yang teridentifikasi dari 9 spesies
yaitu Chaetodontidae Melannotus, Chaetodontidae vagabundus,
Chaetodontidae trifasciatus, Chaetodontidae collare, Chaetodontidae kleinii,
Chaetodontidae auriga, Chaetodontidae ephipium, Chaetodontidae meyeri,
dan Chaetodontidae lunulatus.
DAFTAR PUSTAKA

Atiqha, Farra. 2020. Efektifitas Minyak Cengkeh untuk Anestesi Ikan Kepe Bulan
(Chaetodon speculum) [Thesis]. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Mazzoni, Talita Sarah. 2021. Impact of captive conditions on female germinal
epithelium of the butterflyfish Chaetodon striatus (Perciformes:
Chaetodontidae). Zygote, Vol 29(3) : 204-215.
Najmi N, Boer M, Yulianda F. 2016. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol 2(8) : 781-790.

Octavina C, Asri ZH, Purnawan S, Ulfah M. 2018. Coral Bleaching Percentage


InKrrung Raya Waters, Aceh Besar. Internasional Journal of Science: Basic
and Applied (IJSBAR), Vol 40(2) : 116-123.

Riansyah, A., Hartono, Dede., dan Kusuma, Aradea Bujana. 2018. Ikan Kepe –
kepe (Chaetodontidae) sebagai Bioindikator Kerusakan Perairan
Ekosistem Terumbu Karang Pulau Tikus. A Scientific Journal, Vol 35(2) :
103-110.

Rizal S, Pratomo A, dan Irawan H. 2018. Tingkat Tutupan Ekosistem Terumbu


Karang Di Perairan Pulau Terkulai. Jurnal Ilmu Kelautan Dan Perikanan.

Rumkorem OLY, Kurnia R, Yulianda F. 2019. Asosiasi Antara Tutupan Komunitas


Karang Dengan Komunitas Ikan Terumbu Karang Di Pesisir Timur Pulau
Biak, Kabupaten Biak Numfor. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol 11(3) : 615-625.

Souter DW, Linden O. 2018. The Health And Future Of Coral Reef System. Ocean
And Coastal Management, Vol 43 : 657-688.

Tonin S. 2018. Economic Value Of Marine Biodiversity Improvement In


Coralligenous Habitats. Ecological Indicators, Vol 85 : 1121-1132.

Uejo, Takuya. 2020. Roa haraguchiae, a new species of butterflyfish (Teleostei:


Perciformes: Chaetodontidae) from Japan and the Philippines.
Ichthyological Research, Vol 67 ; 408–415

Yusup, Insan Maulana. 2020. Pengenalan Otomatis Ikan Terumbu Famili


Chaetodontidae dengan Menggunakan Deep learning [Thesis]. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai