Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Terumbu Karang


Menurut Suryanti,dkk (2011), Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di laut
yang terbentuk oleh biota luat penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alaga
berkapur, bersama dengan biota lain yang hidup di dasar lautan. Terumbu karang merupakan
ekosistem dinamis dengan kekayaan biodiversitanya serta produktivitas tinggi, karena itu
terumbu karang mempunyai peran yang signifikan. Secara ekologis, terumbu karang
merupakan tempat organisme hewan maupun tumbuhan mencari makan dan berlindung.
Secara fisik menjadi pelindung pantai dan kehidupan ekosistem perairan dangkal dari abrasi
laut.
Menurut Romimohtaro dan Juwana (2005) menyatakan bahwa terdapat dua jenis
karang, yaitu karang keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral). Karang lunak (soft
coral) tidak bersimbiosis dengan alga, bentuknya seperti tanaman (Risnandar, 2015). Karang
keras (hard coral) merupakan endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan dari
organisme karang pembentuk terumbu karang dari filum Coridaria, Ordo Scleractinia yang
hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae dan sedikit tambahan alga berkapur serta
organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat.
2.1.1 Pengertian
Salah satu ekosistem laut yang terbentuk dari biota penghasil kapur khususnya jenis-
jenis karang batu dan alga berkapur adalah terumbu karang. Ekosistem ini hidup bersama
dengan biota lain yang hidup di dasar laut. Terumbu karang merupakan ekosistem yang
dinamis dengan kekayaan biodiversitasnya serta produktivitas tinggi sehingga terumbu
karang memiliki peran yang sangat penting di lautan. Secara ekologis, terumbu karang
sebuah tempat organisme hewan ataupun tumbuhan yang mencari makan dan tempat
berlindung. Tetapi secara fisik dapat didefinisikan bahwa terumbu karang dapat menjadi
pelindung pantai serta kehidupan ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut (Suryanti,
2011).
Teradapat dua jenis karang yang ada yaitu karang lunak (soft coral) dan karang
keras(hard coral). Menurut Risnandar (2015) bahwa karang lunak (soft coral) tidak
bersimbiosis dengan alga dan memiliki bentuk seperti tanaman. Sedangkan karang keras
(hard coral) adalah hasil endapan yang berasal dari kalsium karbonat (CaCO3) serta
diperoleh dari makhluk hidup karang yang membentuk terumbu karang dari Filum Coridaria,
Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae dan sedikit tambahan alga
berkapur serta organisme lain yang menghasilkan kalsium karbonat.

2.1.2 Aspek Ekologi


Menurut Amin (2009) menjelaskan bahwa terumbu karang tidak dapat hidup di air
tawar atau muara maupun hidup di seluruh tempat tetapi hanya dapat hidup di perairan laut.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran terumbu karang, yaitu :
1. Up-Welling
Fenomena up-welling terjadi karena adanya akibat dari dinamika massa air yang
disebabkan oleh arus, kondisi kedalaman laut dan faktor – faktor lainnya. Menurut
Santoso (2008) adanya arus dari up-welling dapat membawa massa air dingin dari lapisan
bawah ke lapisan substrat terumbu karang
2. Cahaya Matahari
Penyinaran cahaya matahari yang cukup sangat penting dalam fotosintesis organisme
pembentuk terumbu karang yaitu Zooxanthellae sehingga simbiotik dalam jaringan karang
dapat terlaksana dengan baik. Jika cahaya yang diserap tidak cukup maka laju fotosintesis
menjadi berkurang dan bersamaan dengan hal tersebut kemampuan karang dalam
menghasilkan kalsium karbonat dalam pembentukan terumbu karang akan menjadi
terhambat. Titik kompensasi untuk terumbu karang adalah kedalaman dimana intensitas
cahaya berkurang sampai 15 – 20% dari intensitas di permukaan (Nybakken, 1998).
3. Kejernihan Air
Menurut Santoso (2008) karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran yang
mengganggu. Jika air laut kotor maka akan menghalangi penyinaran cahaya yang
diperlukan oleh organisme pembentuk terumbu karang untuk hidup. Selain itu adanya
endapan pasir atau lumpur yang terdapat dapat dalam air akan diendapkan oleh arus
sehingga menyebabkan kematian pada terumbu karang.
4. Kedalaman
Terumbu karang tidak akan berkembang pada perairan yang kedalamanya lebih dari 50
– 70 meter. Menurut Nykkaben (1998) bahwa biasanya terumbu karang dapat tumbuh
dengan baik pada kedalaman sampai 25 meter. Adanya faktor suhu dan cahaya dapat
mempengaruhi persebaran terumbu karang yang ada di dunia (Veron, 1995).
5. Suhu
Menurut Santoso (2008), terumbu karang dapat berkembang pada suhu terendah yaitu
kisaran 15ºC, tetapi kebanyakan ditemukan pada air yang bersuhu diatas 18ºC dan tumbuh
dengan baik antara 25ºC – 29ºC. Terdapat suhu maksimum untuk terumbu karang dapat
hidup yaitu pada suhu 36ºC. Sehingga, Suhu paling baik untuk pertumbuhan karang
berkisar antara 25o dan 28o C. Karang batu masih dapat hidup pada suhu 15o C. Suhu
ekstrim akan mempengaruhi hewan karang, seperti reproduksi, metabolisme dan
pengapuran. Adanya kalsium yang larut dalam air laut sangat dibutuhkan untuk
membentuk cangkang koral. Endapan kalsium akan terjadi bila suhu air dan salinitasnya
tinggi serta kandungan karbon dioksidanya rendah. Sehingga, karang batu pembentuk
terumbu karang memerlukan suhu air laut yang agak tinggi yaitu diatas 20o C, tetapi
pertumbuhannya baru mencapai puncaknya dalam batas – batas suhu antara 25o dan
30o C.
6. Salinitas
Menurut Fagerstrom (1985) bahwa terumbu karang memiliki tingkat salinitas yang
berkisar antara 27% – 48%. Sedangkan menurut Santoso (2008) tingkat salinitas terumbu
karang yang dapat hidup berada di antara 27% – 40% tetapi mereka dapat hidup paling
baik pada kondisi air laut normal yaitu dimana tingkat salinitas berada di 36%. Perairan
pantai akan selalu mengalami pemasukan air tawar secara terus – menerus dari aliran
sungai sehingga tingkat salinitas air laut akan berkurang dan menyebabkan kematian pada
terumbu karang sehingga dapat membatasi persebaran karang secara lokal.
7. Sedimentasi
Ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi (endapan) sehingga
terumbu karang akan sulit ditemukan pada daerah yang memiliki banyak pemasukan air
tawar, dimana yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya
cukup baik. Sebagian besar organisme karang tidak mampu bertahan dengan adanya
endapan yang menutupinya karena akan menyumbat struktur pemberian makanannya.
Menurut Supriharyono (2000) bahwa terumbu karang menjadi sulit tumbuh bahkan
mengalami kematian karena adanya endapan yang menyebabkan kurangnya cahaya
matahari yang dibutuhkan untuk berfotosintesis.
Sedimen diketahui untuk menentukan atau mengetahui bentuk dan pertumbuhan karang
yang ada (Suharsono, 1996). Terdapat kecenderungan terumbu karang yang tumbuh atau
beradaptasi di perairan yang memiliki endapan yang tinggi yaitu berbentuk foliate,
branching dan ramose. Pada perairan yang jernih atau sedimentasi relatif rendah akan
banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate)
8. Arus
Pergerakan air atau yang sering dikenal dengan arus diperlukan untuk menyediakan
aliran suplai makanan jasad renik dan oksigen serta terhindarnya terumbu karang dari
timbunan endapan. Ketika siang hari, oksigen diperoleh dari hasil fotosintesis
Zooxanthellae dan saat malam hari diperlukan arus yang kuat agar dapat memberikan
suplai oksigen yang cukup bagi organisme terumbu karang. Menurut Santoso (2008)
pertumbuhan terumbu karang yang berada di air yang sering mengalami pencampuran
arus, ombak dan angin lebih baik daripada pada air yang tenang dan terlindung.
9. Substrat
Organisme terumbu karang memerlukan substrat yang keras dan kompak agar dapat
menempel terutama seperti larva planula. Hewan ini berguna dalam pembentukan koloni
baru dari karang sehingga mereka mencari substrat keras. Menurut Tomascik (1997)
substrat keras berupa benda padar yang ada di dasar laut seperti batu, cangkang moluska,
potongan kayu hingga besi yang terbenam. Tetapi pada setiap terumbu karang memiliki
daya tahan yang berbeda pada benda – benda tersebut.

2.1.3 Kerentanan pada Terumbu Karang


Kerentanan atau vulnerability telah muncul sebagai suatu konsep sentral dalam
memahami akibat bencana alam serta untuk mengembangkan strategi pengelolaan risiko
bencana. Definisi secara umum kerentanan adalah tingkatan suatu sistem yang mudah terkena
atau tidak mampu menanggulangi bencana. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari aspek
fisik, sosial kependudukan dan ekonomi. Kerentanan fisik menggambarkan suatu kondisi
fisik yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Tingkat kerentanan adalah indikator tingkat
kerawanan pada kawasan yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, dengan
hanya mempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnya kerugian
yang diakibatkan. Kerentaanaan dalam terumbu karang di bagi menjadi beberapa yaitu:

1. Kerentanan Lingkungan
Pada Kerentanan Lingkungan menggabungkan 15 faktor termasuk kondisi alam
lingkungan, isu-isu lingkungan dan akivitas manusia. Menurut Wang Dkk, 2008
menyatakan bahwa berdasarkan nilai EVI kerentanan diklasifikasikan kedalam 5 tingkat .
Kondisi alam termasuk topografi, iklim, tanah dan tutupan vegetasi membentuk
determinan kunci dari evaluasi kerentanan (Li dkk, 2006; Tran dkk, 2002 dalam Wang
dkk, 2008). Isu-isu lingkungan seperti bencana alam juga merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kerentanan lingkungan salah satunya yaitu terumbu karang.
Menurut Basso dkk (2000) dan Wang (2008), kerentanan lingkungan wilayah juga secara
kuat berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi lokal karena aktivitas manusia dapat secara
besar mempengaruhi berbagai evolusi lingkungan. Kepadatan populasi, konstruksi lalu
lintas, gangguan padang rumput dan pengolahan lahan dipilih untuk mengevaluasi dampak
aktivitas manusia. Yoo, dkk (2014) menyatakan penilaian kerentanan lingkungan
merupakan dasar dalam mengukur manajemen lingkungan karena penilaian kerentanan
lingkungan menyediakan standar prioritas dalam implementasi atau penerapannya.

2. Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi
bahaya. Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa parameter kerentanan sosial antara
lain:
No Parameter Indikator
1 Pendidikan (education) Data tingkat pendidikan
2 Mental Sikap ketidaktauan, kurang
menyadari dan sikap akan
adanya kerusakan.
3 Keahlian Macam-macam keahlian
4 Keterampilan/Pengetahuan Data keterampilan /
pengetahuan
5 Jaringan kerjasama Networking yang sudah
berjalan
Sumber : Irrma.bppt ,2015.
3. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam
menghadapi ancaman bahaya. Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat
sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Sebagai contoh adalah
masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya,
karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya
pencegahan atau mitigasi bencana.Adapun kerentanan Ekonomi antara lain :
No Parameter Indikator
1 Mata Pencarian Presentase Rumah Tangga
yang bekerja di sektor
rentan (Rawan PHK),
presentase RT Miskin.
2 Sumber Ekonomi/Pusat Keberadaan lokasi usaha/
pereekonomian produksi, keberadaan lokasi
perdagangan dan jasa.
3 Sistem Funding Keberadaan LSM atau
lembaga Funding
Sumber : Irrma.bppt ,2015.

DAPUS AKU.

Amin, Zakki Nurul. 2011. “Penelitian Survei”. Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Burke, L., E. Selig and M. Spalding . 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara
(Ringkasan Untuk Indonesia). Wor1d Resources Institude. Washington, DC.

Gayatri L. 1999. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Makalah Konverensi Nasional I:
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia, IPB Bogor.

DAPUS
Amin. 2009. Terumbu Karang; Aset yang Terancam (Akar Masalah dan Alternatif Solusi
Penyelamatannya). Region I(2): 1-12.

Fagerstrom, J.A.,1985. The Evolution Of Reef Communities. John Wiley and Sons, Inc., New
York.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka,
Jakarta.

Santoso, A. D., dan Kardono. 2008. Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Terumbu Karang.
Jurnal Teknologi Lingkungan 9(3): 221-226.
Suharsono. 1996. Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O LIPI, Jakarta.

Supriharyono, M. S. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta.

Suryanti, Supriharyono dan Indrawan W. 2011. Kondisi Terumbu Karang Dengan Indikator
Ikan Chaetodontidae di Pulau Sambangan Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, Jawa
Tengah. Buletin Oseanografi Marina.

Tomascik, T., Mah. A. A. J., Nontji., Moosa, M.K. 1997. The Ecology Of The
Indonesia Seas. Part I. Periplus Edition, Singapore.

Veron, J. E. N. 1995. Coral in Space and Time. Australian Institute of Marine Science.
Townsville.Suharsono. 1996. Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O LIPI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai