Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN KETERKAITAN EKOSISTEM ESTUARIA

DAN TERUMBU KARANG

Oleh :
Novie Dyah Irawati
NIM. 530005715

ABSTRAK

Ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang memiliki hubungan yang sinergis
dilihat dari aspek ekologis dan biota, tidak hanya tergantung di mana organisme tadi hidup,
tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme termasuk mengubah energi, bertingkah laku,
bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan bagaimana organisme dihambat
oleh spesies lain. Ekosistem estuaria adalah daerah pertemuan antara ekosistem air tawar
dengan air laut yang menjadikan biota yang hidup merupakan kombinasi dari kedua
ekosistem asal tersebut. Sedangkan ekosistem terumbu karang sebagai habitat bagi berbagai
jenis biota laut dengan tingkat keragaman hayati yang sangat tinggi.
Interaksi dalam ekosistem laut tropis, khususnya antara estuaria dan terumbu karang
antara lain interaksi fisik, interaksi bahan organik, interaksi biota dan interaksi dampak
manusia. Kerusakan yang terjadi terhadap ekosistem estuaria dapat menimbulkan dampak
lanjutan bagi aliran antar ekosistem maupun ekosistem lain di sekitarnya, termasuk ekosistem
terumbu karang. Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka
ekosistem yang lain juga akan ikut terganggu. Dengan memahami keterkaitan antar ekosistem
pesisir, khususnya ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang diharapkan tercapainya
pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan berbasis ekosistem.

Kata kunci : ekosistem, estuaria, terumbu karang, keterkaitan

I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas
17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.791 km, memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, mamalia, reptilia,
krustasea dan berbagai jenis moluska. Sumberdaya alam laut tersebut merupakan salah satu
modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional (Dewanto, 2012).
Terumbu karang, mangrove, lamun, estuaria, dan ekosistem daratan dekat pantai
sangat berhubungan melalui saling ketergantungan fisik dan biologis, dengan jalur
dan proses yang menghasilkan jasa ekosistem yang mengalir dari satu habitat ke yang lain.
Adanya peningkatan pengakuan mengenai pentingnya saling ketergantungan antara
ekosistem tersebut, dan peran hubungan ini dalam fungsi ekosistem secara keseluruhan.
Diperlukan identifikasi dan pegelolaan habitat yang saling terkait sebagai ekosistem tunggal
dalam rangka melestarikan jasa ekosistem yang mengalir diantara ekosistem tersebut dan
untuk menjaga integritas ekosistem serta mengoptimalkan pemanfaatannya bagi manusia.
Pemahaman tentang pola spesies-spesifik keterkaitan sangat penting bagi manajemen
yang didefinisikan secara spasial. Ukuran, lokasi, jumlah, dan jarak dari taman konservasi
daratan dan daerah perlindungan laut secara idealnya seharusnya ditentukan oleh penyebaran
dan keterkaitan dari spesies kunci. Keterkaitan menyediakan mekanisme dimana daerah di
luar kawasan lindung yang dilengkapi dan oleh karenanya berpotensi menguntungkan
perikanan (Musard,O.et. al., 2014).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang penulisan ini antara lain :
1) Ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang secara umum dan manfaatnya;
2) Hubungan keterkaitan antara ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang.

1.3 TUJUAN PENULISAN


1) Untuk mengetahui ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang secara umum beserta
manfaatnya;
2) Untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang.

1.4 TINJAUAN PUSTAKA


1.4.1 Ekosistem Estuaria
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan langsung
dengan laut lepas di hadapannya serta pada umumnya senantiasa mendapat suplai air tawar
dari daratan. Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah
tropika. Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang sangat
banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh binatang karang (polip). Hewan karang ini
termasuk kelas Anthozoa, filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing
menempati semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi. Komunitas terumbu
karang merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis di lautan dan bahkan juga di
dunia. Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang
terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas
primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas
dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit
jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Sedangkan pada ekosistem terumbu
karang, penyusun utama komunitas ini adalah hewan-hewan karang yang membentuk aneka
rupa karang keras (ordo Madreporaria). Di samping itu juga terdapat aneka jenis karang
lunak (Octocorallia), gorgonia, kipas laut, cambuk laut serta berbagai jenis alga. Beberapa
macam alga juga memproduksi kalsium karbonat, bahkan kelompok alga yang disebut alga
koralin menghasilkan endapan kalsium karbonat di substrat yang ditumbuhinya dan
merekatkan bagian-bagian yang lepas, seperti pecahan karang, menjadi satu.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar pada perairan estuaria akan menghasilkan
suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:
o Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri
fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;
o Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;
o Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas
mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya;
o Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya
aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.
Perubahan-perubahan salinitas di kolam air estuaria dapat berlangsung cepat dan
dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria
umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa
aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel
garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada
kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban (Kusumastanto, T. dkk, 2015).
1.4.2 Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup di
dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya
gelombang laut. Sedangkan organisme – organisme yang dominan hidup disini adalah : binatang-
binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga
mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang
(reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef)
sebagai suatu ekosistem. Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut
polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk
tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada
kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang
disebut koloni (Sorokin, 1993).
Ekosistem terumbu karang juga merupakan ekosistem yang dinamis dan mengalami
perubahan terus menerus yang tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal
dari luar terumbu. Beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan karang adalah : cahaya,
diperlukan oleh Zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis dalam jaringan karang.
Suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi karang. Pertumbuhan karang yang
optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23oC – 25oC, akan
tetapi karang juga dapat mentoleransi suhu pada kisaran 20oC, sampai dengan 36oC –
40oC (Nybakken, 1988).
Sementara itu sebagai hewan laut sejati, terumbu karang memerlukan kadar garam air
laut yang normal antara 32-35 atau yang lebih tinggi. Di bagian laut yang berkadar garam
lebih rendah, misalnya dekat muara sungai-sungai besar, terumbu karang akan terhalang
pertumbuhannya. Berkurangnya laju fotosintesis akan mempengaruhi kemampuan karang
membentuk terumbu. Sehingga kedalaman laut yang optimal untuk membentuk terumbu
berada kurang dari 25 m, di mana cahaya matahari masih memadai untuk
fotosintesis. Umumnya terumbu karang tidak dapat terbentuk pada kedalaman lebih dari 50-
70 m. Di samping itu aliran sungai juga membawa serta endapan tanah dan bahan organik
lainnya. Bahan-bahan ini akan memperkeruh air laut, mengurangi penetrasi sinar matahari,
dan endapannya dapat menutupi karang serta mematikan hewan-hewan karang. Oleh sebab
itu karang lebih berkembang pada wilayah-wilayah perairan dengan gelombang
besar. Gelombang laut yang kuat tidak banyak merusak karang yang masif. Sementara itu,
gelombang justru menghalangi pengendapan, memberikan air yang segar dan memperkaya
kandungan oksigen dalam air laut.
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat
membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan
didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar
luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis
mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular
(Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-
jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas
ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan
untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu
perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif.
Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai / laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya
matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang. Membutuhkan
suhu air yang hangat berkisar antara 25 - 32 ºC (Nybakken, 1988).
Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan
gelombang tsunami, habitat dari berbagai jenis biota laut, nursery, feeding, dan
spawning grounds bagi biota laut, penyuplai bahan organik, sumber biodiversitas dan segala
potensinya, peredam proses pemanasan global melalui mekanisme penyerapan carbon dari
udara menjadi deposit carbon di sedimen, penyedia sumber daya perikanan ekonomis
penting, penyedia bahan makanan dan obat-obatan, dan daerah pariwisata lautyang sangat
indah (Kusumastanto, T. dkk., 2015).
1.4.3 Keterkaitan antar Ekosistem
Keterkaitan digunakan untuk merujuk hubungan populasi atau "pertukaran individu
antara subpopulasi yang terpisah secara geografis yang terdiri sebuah metapopulasi". Secara
umum, keterkaitan dapat dibagi menjadi dua bentuk yang berbeda, disebut sebagai
keterkaitan genetik dan keterkaitan ekologis. Keterkaitan genetik kebanyakan melibatkan
aliran dari gen-gen di antara beberapa populasi di antara biotop, sementara keterkaitan
ekologis membutuhkan pengertian yang lebih kompleks mengacu pada pertukaran nutrien,
bahan organik atau materi abiotik dan juga pergerakan organisme hidup antar biotop.
Sedangkan menurut Ogden & Gladfelter (1983); Wolanski (2001), terdapat tiga pendekatan
terhadap habitat berbeda yang secara ekologis
berkaitan. Ekosistem pesisir dapat terkait melalui keterkaitan fisik, biogeokimia ataubiologi.
Keterkaitan fisik melibatkan transfer sedimen, pengaturan arus, dan proses hidrodinamika
seperti gelombang, arus, perubahan pasang surut, dan perpindahan massa air. Keterkaitan
biogeokimia melibatkan perubahan nutrien dan bahan organik
antara biotop. Keterkaitan biologi mungkin yang paling rumit, dimana melibatkan studi
tentang siklus hidup, habitat pengasuhan, tropodinamika,pergerakan dan perpindahan
organisme (Musard,O. et.al, 2014).

II. PEMBAHASAN
Ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang memiliki keterkaitan hubungan
yang sinergis dilihat dari aspek ekologis dan biota, tidak hanya tergantung dimana organisme
tadi hidup, tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme termasuk mengubah energi,
bertingkah laku, bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan bagaimana
organisme dihambat oleh spesies lain.
a. Interaksi Fisik
Estuaria dan terumbu karang berinteraksi secara fisik melalui beberapa mekanisme, yaitu
reduksi energi gelombang, reduksi sedimen, dan pengaturan pasokan air baik air laut
maupun air tawar dari sungai. Biota perairan estuaria sangat bergantung pada keberadaan
struktur kokoh dari bangunan kapur terumbu karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis
lautan, yaitu arus dan gelombang. Di zona reef front, terjadi produksi pecahan fragmen
kapur akibat hempasan gelombang dan terpaan arus yang terus-menerus. Fragmen-
fragmen kapur ini akan diproses oleh beberapa jenis ikan, bulu babi, dan sponge untuk
menghasilkan kerikil, pasir, dan lumpur. Selanjutnya kerikil, pasir, dan lumpur akan
diteruskan ke arah pantai oleh aksi gelombang dan arus yang telah dilemahkan, sehingga
membentuk akumulasi sedimen yang menjadi substrat utama yang diperlukan di ekosistem
estuaria.
b. Interaksi Bahan Organik
Bahan organik yang berasal dari estuaria dapat mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu
karang. Tingginya partikel organik yang tersuspensi diperairan dapat menurunkan
fotosintesis di perairan. Partikel organik ini akan mengurangi intensitas cahaya matahari
yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Selain itu partikel organik yang terbawa dari
ekosistem mangrove ke ekosistem estuaria merupakan makanan bagi biota-biota perairan
seperti filter feeder dan detritus feeder. Beragam aktivitas manusia didaratan seperti
penebangan hutan dapat meningkatkan partikel organik diperairan. Partikel yang
tersuspensi terutama dalam bentuk partikel halus maupun kasar, akan menimbulkan
dampak negatif terhadap biota perairan estuaria dan ekosistem terumbu karang, sebagai
contoh menutupi sistem pernafasan yang mengakibatkan biota tersebut susah bernafas.
c. Interaksi Biota
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen biota,
yakni : fauna yang berasal dari lautan; fauna perairan tawar; dan fauna khas estuaria atau air
payau. Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang
ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana
salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰. Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin)
mampu masuk lebih jauh ke dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰
atau kurang. Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di
atas 5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria. Fauna khas
estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰, namun tidak
ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau berair laut. Di
antaranya terdapat beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil
Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta. Di samping itu terdapat pula fauna-
fauna yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja.
Organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya
bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna
bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para
pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan,
yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa
dan burung. Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa
disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka.
Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari
daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau
burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari system. Terumbu karang
merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah tropika. Struktur dasar
terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang sebagian besar
dibentuk oleh binatang karang (polip). Hewan karang ini termasuk kelas Anthozoa, filum
Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati semacam mangkuk kecil
dari bahan kapur yang keras tadi. Komunitas terumbu karang merupakan salah satu
komunitas yang paling kaya jenis di lautan dan bahkan juga di dunia nereis (Kusumastanto,
T. dkk. 2015).
Sebetulnya jenis-jenis binatang karang hidup di lautan di seluruh dunia, termasuk di
wilayah kutub dan ugahari (temperate, bermusim empat). Akan tetapi hanya hewan karang
hermatipik yang bisa menghasilkan terumbu, dan karang ini hidup terbatas di wilayah
tropis. Salah satu sebabnya ialah karena karang hermatipik hidup bersimbiosis dengan
sejenis tumbuhan (dinoflagellata) di dalam sel-sel tubuhnya. Kehidupan simbiotik yang
dikenal sebagai zooxanthellae ini memerlukan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun
untuk berfotosintesis, dan lingkungan yang relatif hangat dengan suhu optimal perairan
sekitar 230C - 250C.
 Interaksi Migrasi Biota
Migrasi biota laut merupakan suatu hubungan yang penting dan nyata antara terumbu
karang dan ekosistem estuaria. Ada dua kategori migrasi biota, yaitu:
o Migrasi jangka pendek untuk makan
Tipe migrasi ini umumnya dilakukan oleh biota-biota dewasa. Ada dua strategi
migrasi makan, yaitu: (1) Edge feeders merupakan biota yang memanfaatkan suatu
sistem habitat untuk berlindung, namun berkelana jauh dari sistemnya untuk mencari
makan; dan (2) Tipe migratory feeders memiliki jarak migrasi yang relative jauh dan
memiliki waktu tertentu dalam melakukan kegiatannya.
o Migrasi daur hidup antara sistem yang berbeda
Tipe migrasi ini sering dijumpai pada spesies-spesies ikan dan udang yang diketahui
melakukan pemijahan dan pembesaran larva di hutan mangrove atau padang lamun
yang tertunya melewati ekositem estuaria. Hal ini dimungkinkan oleh tersedianya
banyak ruang berlindung, kaya akan sumber makanan, dan kondisi lingkungan
perairan yang lebih statis dibandingkan terumbu karang. Lambat laun biota tersebut
tumbuh dan menjadi besar, sehingga ruang berlindung yang tersedia sudah tidak
memadai lagi dan mereka pun bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti
terumbu karang atau laut lepas.
 Interaksi Spesies Biota
Biota yang hidup di ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang hidup
endemik, artinya yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari laut dan
beberapa yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai kemampuan
osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial, ekosistem
estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan. Kepiting, tiram dan banyak ikan
komersial merupakan hewan estuari. Udang niaga yang memijah di laut lepas
membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan memanfaatkannya sebagai sumber
makanan.
d. Interaksi Dampak Manusia
Penebangan hutan mangrove di kawasan estuaria untuk pemukiman, pembukaan
lahan pertanian dan pertambakan dapat mengakibatkan erosi sehingga mengeruhkan perairan.
Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem terumbu karang yang ada disekitarnya.
Proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Pengambilan terumbu karang sebagai
bahan bangunan akan mengancam ekosistem mangrove di kawasan estuaria. Mengingat
bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk menahan gelombang dan arus yang
kuat, sehingga tanpa keberadaannya akan mengancam ekosistem estuaria yang biasanya
terlindung dari ombak dan arus yang kuat.

3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dari segi interaksi fisik, estuaria dan terumbu karang berinteraksi melalui beberapa
mekanisme, yaitu reduksi energi gelombang, reduksi sedimen, dan pengaturan pasokan
air baik air laut maupun air tawar dari sungai;
2. Dari segi interaksi bahan organik, bahan organik yang berasal dari estuaria dapat
mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu karang;
3. Dari segi interaksi biota, sebagian besar biota penghuni ekosistem estuaria adalah biota
yang berasal dari ekosistem terumbu karang dan laut. Bagi banyak biota akuatik,
ekosistem estuari merupakan daerah mencari makan, pemijahan dan asuhan.
Keterkaitan ekosistem antara ekosistem estuaria dan terumbu karang menciptakan suatu
variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organisme;
4. Dari segi interaksi dampak manusia, perlakuan manusia yang merusak ekosistem
estuaria mempengaruhi ekosistem terumbu karang begitu pun sebaliknya.
3.2 Saran
Dampak manusia dan alam akan mempengaruhi ekosistem estuaria dan ekosistem
terumbu karang yang saling terkait satu sama lain di wilayah pesisir. Untuk itu penting bagi
kita menjaga ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang untuk tetap lestari dan dijaga
secara sinergis sehingga terhindar dari kerusakan.

DAFTAR PUSTAKA

Dewanto R.H., 2012. Hubungan Ekologis dan Biologis yang terjadi antara Mangrove,
Lamun, dan Terumbu Karang. http://fisheries90.blogspot.com/2012/06/ hubungan-
ekologis-dan-biologis-yang.html.

Kusumastanto, T. dkk. 2015. Pengelolaan Wilayah Pesisir Laut. Tangerang Selatan :


Universitas Terbuka.

Musard, O. et.al. 2014. Underwater Seascapes : From Geographical to Ecological


Perspectives. France : Springer International Publishing.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa H. Muh.
Eidman dkk. Penerbit Gramedia, Jakarta.

Silvestri, S & F. Khershaw. 2010. Framing the Flow: Innovative Approaches to Understand,
Protect and Value Ecosystem Services Across Linked Habitats. Cambridge, UK :
UNEP World Conservation Monitoring Centre.
Sorokin, Y. I., 1993. Coral Reef Ecology. Spinger-Verlag, Berlin, Heidelberg.

Anda mungkin juga menyukai