Intisari
Estuari adalah ekosistem pesisir semi tertutup, sebagai daerah peralihan antara air
tawar yang berasal dari sungai dengan air asin dari laut. Wilayah perairan estuari
bersifat sangat subur dan produktif dikarenakan kandungan nutrien yang tinggi dari
laut dan sungai. Kegiatan manusia di sekitar perairan estuari akan mempengaruhi
dinamika ekosistem estuari. Sebagian besar penduduk dunia dan Indonesia (hampir
mencapai 70%) bermukim di sekitar wilayah pesisir dan sepanjang tepian sungai.
Tujuan dari praktikum ekosistem estuari adalah mempelajari karakteristik ekosistem
estuari (muara) dan faktor-faktor pembatasnya, mempelajari korelasi antara beberapa
tolok ukur lingkungan dengan populasi biota estuari, dan mempelajari kualitas
perairan estuari berdasarkan indeks diversitas plankton. Praktikum ekosistem estuari
ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Maret 2019 pukul 10.00 WIB sampai selesai di
muara Pantai Baros Bantul, Yogyakarta. Parameter yang digunakan pada praktikum
ini yaitu fisika (suhu udara, suhu air, kecerahan, dan TSS), kimia (DO, CO 2 bebas,
alkalinitas, BOD5, salinitas, bahan organik, dan pH), biologi (densitas dan diversitas
biota perairan seperti plankton). Metode pengukuran suhu menggunakan termometer,
kecerahan menggunakan secchi disk, dan TSS menggunakan metode gravimetri.
Kandungan O2 terlarut (DO atau Dissolved Oxygen) menggunakan metode winkler,
pengukuran CO2 bebas dan pengukuran alkalinitas menggunakan metode alkalimetri,
serta pengukuran BOD5 dapat dilakukan secara langsung maupun menginkubasi air
sampel terlebih dahulu. Berdasarkan pengamatan diperoleh rata-rata diversitas
plankton di estuari sebesar 2,641459981 idv/m 2. Rata-rata diversitas plankton di
mangrove sebesar 2,873803773 idv/m2.
PENDAHULUAN
Ekologi merupakan ilmu tentang rumah (tempat tinggal makhluk hidup).
Ekologi juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Pemenuhan kebutuhan manusia dapat
terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang terbentuk dari pengelolaan
lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal
balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ekosistem adalah
hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan non-hayati yang membentuk
sistem ekologi. Menurut Arpaci et al. (2008), ekosistem adalah suatu interaksi
kompleks dan memiliki penyusun. Ekosistem perairan dibedakan dalam tiga kategori
utama yaitu ekosistem laut, ekosistem tawar, dan ekosistem estuari (Prabowo et al,
2010).
Estuaria adalah ekosistem perairan semi tertutup yang berhubungan bebas
dengan laut dan masih mendapat pengaruh air tawar dari sungai sehingga air laut
dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Perairan ini juga masih
mendapat pengaruh dari pasang dan surut. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar
tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, karena kondisi lingkungan
yang bervariasi, antara lain : 1) Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang
dari laut, yang berlawanan menjadikan pola sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-
ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya, 2) Pencampuran
kedua macam air tersebut menghasilkan sifat fisika lingkungan khusus yang tidak
sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut, 3) Perubahan yang terjadi akibat
adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara
fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya, 4) Tingkat kadar garam di daerah
estuaria tergantung pada pasangsurut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-
arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut (Wolanski, 2007).
Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan
tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Adanya aliran air tawar
yang terus menerus dari hulu sungai dan adanya proses gerakan air akibat arus
pasang surut yang mengangkat mineral-mineral, bahan organik dan sedimen
merupakan bahan dasar yang dapat menunjang produktifitas perairan di wilayah
estuaria yang melebihi produktifitas laut lepas dan perairan air tawar. Hal ini
mengakibatkan estuaria mempunyai peran ekologis penting karena sebagai sumber
zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal
circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada
estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground)
dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery
ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara
umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan
budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri
(Bengen, 2004).
Estuaria sering mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber
dari aktifitas manusia, yang menjadi ancaman serius terhadap kelestarian perikanan
laut. Menurut Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir,
terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktivitas
industri. Aktivitas pemanfaatan wilayah pesisir seringkali saling tumpang tindih,
sehingga tidak jarang pemanfaatan potensi sumberdayanya menurun dan rusak. Hal
ini karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat mengubah tatanan lingkungan di wilayah pesisir sehingga
mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir. Sebagai contoh, adanya
limbah buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini
mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem
pesisir yang bertahan, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun
lainnya yang sensitif. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap
kehidupan tumbuhan bakau (mangrove), tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan
dan udang-udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut (Bryan, 1976).
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai
atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. mangrove tumbuh
pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di
sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin (Nybakken, 1988). Menurut
Kusmana (1995) mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu
jenis tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove
adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang
pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang
saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem hutan mangrove
bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Bersifat kompleks karena ekosistemnya
disamping terdapat vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan
biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan
muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi (Kusmana
1995). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus
serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Bersifat
labil karena mudah sekali rusak dan sulit pulih seperti sediakala (Anwar dan
Gunawan, 2008).
Ekosistem mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai yang relatif
tenang, datar dan terdapat muara sungai besar yang membawa sedimen dari hulu
berupa material lumpur pasir. Anwar dan Gunawan (2008) menyatakan bahwa
sebagian pohon mangrove dijumpai di sepanjang pantai terlindung yang berlumpur,
bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar).
Mangrove juga dapat tumbuh di atas pantai berpasir, berkarang dan di pulau-pulau
kecil. Mangrove dapat tumbuh dengan subur jika terdapat endapan lumpur dan air
tawar yang berlimpah. Hutan mangrove tersebar luas dan tumbuh rapat di muara
sungai besar di daerah tropis, tetapi di daerah pesisir pantai pegunungan, hutan
mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai yang terbatas dan sempit. Perluasan
hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh topografi daerah pedalaman. Terdapat
hubungan erat antara kondisi air dengan vegetasi hutan mangrove.
Peranan hutan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat
dibagi menjadi dua. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup
berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Davies dan Claridge, 1993 dalam Noor dkk,
2006), karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan makanan berupa
bahan-bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan. Kedua, mangrove
merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk
organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Mann, 1982 dalam Noor dkk,
2006). Produksi serasah mangrove berperan penting dalam kesuburan perairan
pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem
pesisir (Odum, 1993).
METODE
Praktikum ekosistem estuari dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Maret 2019 di
muara Pantai Baros Bantul, Yogyakarta pada pikul 10.00 WIB sampai selesai. Pada
praktikum ini lokasi dibagi menjadi beberapa stasiun berbeda yaitu 6 stasiun estuari
dan 6 stasiun mangrove. Pada stasiun 1 mangrove atau kloter 2 yang berlokasi di
pinggiran hutan mangrove, kondisi cuaca pada saat itu cerah berawan dan airnya
berwarna cokelat keruh, serta vegetasi yang ada yaitu rumput, pohon bakau, pohon
pisang, pohon jati, pohon kelapa, dan pohon talok. Kegiatan yang ada di sekitar
lokasi tersebut yaitu orang-orang berjualan.
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah roll-meter, termometer,
pH meter, salinometer atau refraktometer, botol oksigen, erlenmeyer, gelas ukur,
pipet ukur atau buret, pipet tetes, mikroburet, ember plastik, jaring plankton atau
plankton net, Sedgewick-Rafter Counting Cell, mikroskop, botol cuka, kempot,
kertas label, dan alat tulis. Dan bahan-bahan yang digunakan adalah larutan MnSO4,
larutan reagen oksigen, larutan H₂SO₄ pekat, larutan 1/80 N Na2S2O3, larutan KOH-
KI, larutan 1/40 N Na2S2O3, larutan 1/44 N NaOH, larutan 1/50 N H2SO4, larutan 1/50
N H2SO4, larutan 1/50 N HCl, larutan indikator amilum, larutan indikator
Phenolphphtalein (PP), larutan indikator Methyl Orange (MO), larutan indikator
Bromcresol Green/Methyl Red (BCG/MR), 4 N H₂SO₄, 0,1 N Kalium permanganat,
0,1 N Amonium oksalat, dan larutan formalin 4 %.
Pada setiap stasiun, dilakukan pengambilan data parameter lingkungan
berupa parameter fisika, kimia, maupun biologi. Pengukuran parameter fisika
meliputi suhu udara, suhu air, kecerahan dan pengukuran TSS (Total Suspended
Solid). Pengukuran untuk menentukan suhu udara dan suhu air sungai dapat
menggunakan termometer, untuk menghitung kecerahan dapat menggunakan secchi
disk yaitu dengan cara memasukkan secchi disk ke dalam perairan. Setelah itu,
perhatikan ketika secchi disk mulai tidak terlihat, catat kedalamannya, kemudian
tarik secchi disk secara perlahan. Ketika warna dan bentuk secchi disk mulai terlihat,
catat kedalamannya. Kecerahan dapat diukur dengan rumus : N = (D1 + D2) / 2,
untuk N adalah kecerahan, D1 adalah kedalaman secchi disk saat tidak terlihat, dan
D2 adalah kedalaman secchi disk saat mulai tampak kembali. Pengukuran TSS
(Total Suspended Solid) dapat dilakukan dengan metode gravimetri yaitu mengambil
sampel air dengan volume tertentu (misalnya = Y ml), saring air sampel
menggunakan kertas saring (milipore) yang diletakkan di dalam corong gelas.
Sebelum digunakan untuk menyaring, kertas saring ditimbang beratnya (misalnya =
A mg). Kemudian kertas saring yang sudah selesai digunakan menyaring air sampel
dikeringkan, lalu kertas saring yang sudah dikeringkan ditimbang beratnya (misalnya
= B mg). Pengukuran TSS (Total Suspended Solid) dapat dihitung dengan rumus :
TSS = 1000/Y x (B-A) mg/l.
Pada parameter kimia dilakukan pengukuran kandungan O2 terlarut
(Dissolved Oxygen atau DO), kandungan CO₂ bebas, alkalinitas, BOD5, salinitas,
bahan organik (BO), dan pH. Metode Winkler digunakan untuk menentukan kadar
oksigen terlarut (DO) dengan rumus perhitungan kandungan O2 terlarut = 1000/50 .
x A x 0,1 mg/l, dimana A adalah volume titrasi dari awal hingga akhir. Pada
penentuan kadar CO₂ bebas, digunakan metode alkalimetri dengan rumus
perhitungan kandungan CO₂ = 1000/50 x Y x 1 mg/l . Dimana Y adalah volume
titrasi 1/44 N NaOH yang digunakan. Perhitungan alkalinitas dilakukan dengan
metode alkalimetri dan rumus perhitungan alkalinitas = 1000/50 x (X+Y) x 1mg/l,
untuk 1 mg/l sebagai (Y) dan Alkalinitas total = X+Y (mg/l). Dimana X dan Y
adalah banyaknya 1/50 N H₂SO₄ yang diperlukan pada proses titrasi. Pengukuran
BOD5 dilakukan dengan mengambil air sampel sebanyak dua botol oksigen, botol
kedua disimpan guna diukur kandungan O2 terlarutnya setelah diinkubasi selama 5
hari. Sebelum diinkubasi, air sampel dalam botol kedua terlebih dahulu dijenuhkan
kandungan O2 terlarutnya dengan bantuan aerator. Kemudian ditambahkan 1 ml
larutan 4 N H2SO4 ke dalam botol pertama, lalu ditambahkan 1-2 tetes 0,1 N KMnO 4 ,
botol ditutup dan digojok hingga homogen. Diamkan beberapa saat dan warna merah
muda (rose) tidak hilang, jika warna rose hilang maka ditambahkan lagi 1-2 tetes 0,1
N KMnO4. Lalu, ditambahkan 1 tetes larutan 0,1 N Ammonium oksalat sambil
digojok dan diamkan hingga warna rose hilang. Setelah itu, dilanjutkan dengan
menganalisis kandungan O2 terlarut. Kandungan BOD5 dapat diukur dengan rumus =
1000/volume sampel x (A-B) X 0,1 mg/l, untuk A merupakan hasil analisis O2
terlarut segera dan B merupakan hasil analisis kandungan O2 terlarut setelah 5 hari.
Pada parameter biologi, dihitung indeks densitas dan indeks keanekaragaman
(diversitas) plankton. Untuk menghitung indeks diversitas plankton digunakan rumus
H=−∑ ¿ 2 log ¿ . H adalah indeks diversitas, (ni) adalah cacah individu suatu
N N
genus dan (N) adalah cacah individu Suatu genera, untuk rumus densitas plankton
Ol x VR X N
adalah N ¿ . N adalah jumlah plankton teramati, VR adalah volume
OP x Vs x Vo x P
air tersaring, Vs adalah volume air disaring, Vo adalah volume air diamati, P adalah
jumlah bidang pandang, Ol adalah luas gelas penutup preparat/sedgewick rafter, dan
OP adalah luas bidang pandang (2,49x10-5 dm2).
35
32 32 32.5
30 30.5
29
28 28 28 28.5 29 29
26.5
25
10
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
28 28 28 28 28
27.5 27.5 Suhu Air (°C)
27 27 27 27
26.5
26
25.5
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Gambar 1. Grafik Suhu Udara dan Air (⁰C) Perairan Estuari dan Mangrove
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di
badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan
penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4 (Haslam, 1995
dalam Effendi, 2003). Suhu air merupakan parameter penting dalam menentukan
kondisi badan air karena berpengaruh terhadap pertumbuhan dari tumbuhan dan
hewan, reproduksi dan migrasinya (Gang Ji, 2008).
Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan
diurnal yang lebih besar daripada laut, terutama apabila estuaria tersebut dangkal
dan air yang datang (pada saat pasang-naik) ke perairan estuaria tersebut kontak
dengan daerah yang substratnya terekspos (Kinne, 1964). Parameter ini sangat
spesifik di perairan estuaria. Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan
air laut, terjadi perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah di
musim dingin dan lebih tinggi di musim panas daripada suhu air laut didekatnya.
Skala waktu perubahan suhu ini menarik karena dapat dilihat dengan perubahan
pasang surut, dimana suatu titik tertentu di estuaria akan memperlihatkan variasi
suhu yang besar sebagai fungsi dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai.
Kenaikan suhu di atas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju
metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas organisme. Kenaikan
laju metabolisme dan aktifitas ini berbeda untuk spesies, proses dan level atau
kisaran suhu. Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 1. Grafik Suhu Udara
dan Air (⁰C) Perairan Estuari dan Mangrove, rata-rata parameter suhu udara di
estuari sebesar 30,83⁰C dan suhu air rata-rata sebesar 28⁰C. Sedangkan rata-rata
parameter suhu udara di mangrove sebesar 27,83⁰C dan suhu air rata-rata sebesar
28,42⁰C. Suhu udara di estuari lebih besar dibandingkan suhu udara di mangrove.
Kecerahan (cm) Perairan Estuari vs Stasiun
25
20 20.5 20.55
18.25
15
Kecerahan
14.5
13.5
Kecerahan (cm)
10
8
5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
10
8 8 Kecerahan (cm)
7.25
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Gambar 2. Grafik Kecerahan (cm) Perairan Estuari dan Mangrove
Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 2. Grafik Kecerahan (cm)
Perairan Estuari dan Mangrove, rata-rata tingkat kecerahan air di estuari sebesar
15,883 cm. Sedangakn rata-rata tingkat kecerahan air di mangrove sebesar 11,917
cm. Nilai kecerahan air di estuari lebih besar dibandingkan di mangrove.
TSS (mg/l) Perariran Estuari vs Stasiun
1.8
1.6 1.58
1.4
1.24 1.26
1.2
1.14 1.14
1 1.02
TSS
0.6
0.4
0.2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
0.6
0.4
0.2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
DO
DO (ppm)
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
2 2
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
15
CO2
12 11.75 CO2(ppm)
10 9.44
8.4 8.4
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
CO2(ppm) Perairan Mangrove vs Stasiun
45
40 40
35
30
25
CO2
20 20 CO2(ppm)
15 14.4
12
10 10
5
0 0.5
1 2 3 4 5 6
Stasiun
122 125
120 120
100 99
Alkalinitas
80
Alkalinitas (ppm)
60 58
51
40
20
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
300 290
250
200
Alkalinitas
Alkalinitas (ppm)
150 140
128
100
78
50 52
0 3.5
1 2 3 4 5 6
Stasiun
3 3
2.5
2
Salinitas
Salinitas ( ppt )
1.5
0.5
0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
0.5
Salinitas ( ppt )
0.4
0.3
0.2
0.1
0 0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
7 7 pH
6.95 6.95
6.9
6.85
6.8
1 2 3 4 5 6
Stasiun
7.3 7.3
7.2
pH
7 7
6.9 6.9
6.8
6.7
1 2 3 4 5 6
Stasiun
4
BOD5
3.3 BOD5
3 2.95
2 2.05
1.5
1
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
2.5
BOD5
2 2 2
1.5
1
0.5 0.6
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
90
88.56
88 87.93
BO
BO
86
85.4
84.77
84
82
80
1 2 3 4 5 6
Stasiun
BO Perairan Mangrove vs Stasiun
110
106.28
105
100
96.79
95 95.52
BO
93.62 91.73 BO
92.99
90
85
80
1 2 3 4 5 6
Stasiun
2.5
2
Diversitas
1.5 1.6
1 0.92
0.5
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
2.50000
2.00000 1.93049
1.65949
1.50000
1.00000
0.50000
0.00000
1 2 3 4 5 6
Stasiun
14000 13978
12000
Densitas Plankton
10000 9881
8917
8000
7230 Densitas
6000
5302
4000
2892
2000
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
5784 5784
5000 5061
4000 Densitas
3000
2000
1000
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun
Gambar 12. Grafik Densitas Plankton (indv/L) Perairan Estuari dan Mangrove
Densitas plankton merupakan kepadatan populasi plankton yang terdapat
pada ekosistem. Semakin padat populasi plankton suatu perairan, maka semakin
baik perairan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 12. Grafik
Densitas Plankton Perairan Estuari dan Mangrove, rata-rata densitas plankton di
estuari sebesar 8033,33 indv/L. Rata-rata densitas plankton di mangrove sebesar
6547,167 indv/L. Nilai diversitas plankton di estuari lebih besar dibandingkan
dengan di mangrove.
Untuk memperjelas hubungan antar parameter, maka dibuatlah grafik sebagai
berikut:
1. Perbandingan Suhu Air, DO, CO2
Gambar 13: Perbandingan Parameter Suhu Air vs DO vs CO2 pada perairan Estuari
dan Mangrove
Kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas
(Nybakken, 1992). Berdasarkan data perairan estuari dan mangrove tidak ada
perbedaan signifikan mengenai hubungan DO, CO2, dan suhu air. Hal ini disebabkan
oleh suhu yang tidak berubah secara derastis.
2. Alkalinitas vs CO2 vs pH
Gambar 14. Perbandingan Parameter Alkalinitas vs CO2 Pada Perairan Estuari dan
Mangrove
Kondisi pH berkaitan erat dengan karbondioksida hal ini dikarenakan
semakin tinggi pH maka kadar karbondioksida akan semakin rendah. Kadar
karbondioksida merupakan hasil dari proses respirasi. Karbondioksida bebas
dilepaskan dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang kemudian
direduksi menjadi bikarbonat dan karbonat menjadikan pH menjadi rendah.
Turunnya pH ini mempengaruhi alkalinitas. pH yang rendah akan membuat
alkalinitas menjadi tinggi. (Mackereth et al, 1989).
3. BO vs BOD5
KESIMPULAN
Karakteristik ekosistem estuari dipengaruhi faktor-faktor pembatasnya berupa
parameter fisik (suhu udara, suhu air, kecerahan, dan TSS), parameter kimia (DO,
CO2 bebas, alkalinitas, BOD5, salinitas, bahan organik, dan pH) dan parameter
biologi (diversitas dan densitas plankton). Pengambilan data tolok ukur (parameter)
fisik, kimia, dan biologi suatu perairan menggunakan pengukur secara langsung
dengan alat ukur, dan titrasi (Metode Winkler dan Alkalimetri). Korelasi atau
hubungan dari semua parameter atau tolok ukur sangatlah erat dengan komunitas
biota di dalamnya, semakin baik parameter suatu ekosistem estuari, maka biota yang
ada semakin beragam. Korelasi antara satu parameter dengan parameter yang lain
sangat berkaitan. Jika parameter yang satu tinggi, maka yang lain rendah. Apabila
salah satu parameter tinggi, parameter yang lain juga ikut tinggi. Kualitas ekosistem
estuari dan mangrove dapat ditentukan dari indeks diversitas plankton yang ada.
Diversitas plankton pada perairan estuari rata-rata sebesar 2,641459981 idv/m2. Pada
perairan mangrove rata-rata sebesar 2,873803773 idv/m2. Sehingga pada perairan
estuari dan mangrove keduanya masuk pada kategori sangat baik yaitu pada kisaran
2,41-3,20. Namun, dari hasil tersebut perairan mangrove jauh lebih baik walaupun
perbedaannya tidak terlalu signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arpaci et al. 2008. Ecology. Zambak Yayinlari, Turki
Bengen DG. 2004. Sinopsis “Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya”. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan laut Institut
Pertanian Bogor, Bogor (ID)
Bryan GW. 1976. “Heavy metal contamination in the sea”. In R. Johnston (Ed.).
Effects of pollutans on aquatic organisms. Cambridge University Press.
Cambridge.
Connel, D.W. dan Miller, G.J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Dahuri, R., Rais,J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri, R. 1992. Strategi penelitian estuari di Indonesia. Pros. Loka. Nas. Peny.
Prog. Pen. Bio. Kelautan dan Proses Dinam.Pesisir. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Gang Ji, Zhen. 2008. Hydrodynamics And Water Quality. Modeling Rivers, Lakes
and Estuaries. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
Hanum, F. 2002. Proses Pengolahan Air Sungai Untuk Keperluan Air Minum,
Fakultas Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara.
Kinne, O. 1964a. The Effect of Temperature and Salinity on Marine and
Brackiswater Animals II. Jurnal of Oceanography Marine Biology Annual
review, 2 : 281-339.
Kusmana C. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan. Pelatihan
Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia.
Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Leeder, M.R. 1982. Sedimentology, Process and Product. Chapman & Hall, 2-6
Boundaty Row, London tp: 284.
Mackereth, F. J. H., Heron, J. and Talling, J. F. 1989. Water Analysis. Fresh-water
Biological Association, Cumbria, UK. 120 p.