Anda di halaman 1dari 25

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

MAKALAH GEOLOGI LAUT


BIOLOGI LAUT

OLEH :
KELOMPOK VII

ZURIK G. HAERISANDI R1C1 15 108


YUYUN SULISTIAWATI AZNAH R1C1 15 100
WAHYU EKAWATI R1C1 15 096
WA ODE INDRAMAYU YAMA R1C1 15 098
MAIS LA ODE F1G1

KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar
17.500 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km, sehingga negara kita
memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar. Ekosistem pesisir
laut merupakan sumber daya alam yang produktif sebagai penyedia energi bagi
kehidupan komunitas di dalamnya. Selain itu ekosistem pesisir dan laut
mempunyai potensi sebagai sumber bahan pangan, pertambangan dan mineral,
energi, kawasan rekreasi dan pariwista. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem
pesisir dan laut merupakan aset yang tak ternilai harganya di masa yang akan
datang. Ekosistem pesisir dan laut meliputi estuaria, hutan mangrove, padang
lamun, terumbu karang, ekosistem pantai dan ekosistem pulau-pulau kecil.
Komponen-komponen yang menyusun ekosistem pesisir dan laut tersebut perlu
dijaga dan dilestarikan karena menyimpan sumber keanekaragaman hayati dan
plasma nutfah. Salah satu komponen ekosistem pesisir dan laut adalah hutan
mangrove.
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan
evolusi. Berdasarkan hal tersebut di atas mengenai mangrove maka disusunlah
makalah berjudul magrove ini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai mengrove
serta pemanfaatan dan bagaimana pengaruhnya dalam kelangsungan hidup
mahluk hidup.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
mengenai apakah dan bagaimana mangrove itu, kondisi fisik, tipe vegetasi, fauna
yang terdapat di habitat mangrove, pemanfaatan serta fungsi mangrove.
BAB II
ISI

A. Definisi Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue
dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan
untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan
untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Sedang dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal digunakan untuk
menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata
mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Sedangkan
menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan
komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah
wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna,
estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik
karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil
atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang
dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.
Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan
mangrove adalah tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada
pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas
organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya
di dalam suatu habitat mangrove (Tomlinson, 1986).
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove.
Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan
bakau. Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang
sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan
yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau
digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora.
Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis,
sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya
dihindari (Tomlinson, 1986).
B. Sebaran Mangrove
Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat
beradaptsi terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan
adaptasi fisiologis untuk mengatasi masalah anoksia, salinitas tinggi dan genangan
air pasang surut yang sering terjadi. Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar
mangrove menyediakan habitat bagi tiram dan aliran air yang lambat, sehingga
meningkatkan pengendapan sedimen. Sedimen halus yang anoksik di bawah hutan
mangrove berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace) membentuk
koloid partikel. Mangrove melindungi daerah pantai dari erosi, badai topan
(terutama saat badai), dan tsunami. Sistem akar mangrove sangat efisien dalam
memecah energi gelombang laut, memperlambat air pasang, meninggalkan semua
sedimen kecuali partikel halus ketika pasang surut. Dengan cara ini, ekosistem
mangrove membangun lingkungan yang unik dan perlindungan terhadap erosi,
sehingga sering menjadi objek program konservasi (Soerinegara, 1987).
C. Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
Dikatakan kompleks karena ekosistemnya disamping dipenuhi oleh vegetasi
mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah
yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young
soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa
dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen,
dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi
pada bagian arah daratan (Kusmana, 1995).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang
terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya.
Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti
sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang
unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang
fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki
ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan
biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Kusmana dkk., 1995).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari
habitatnya yang unik menurut Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove
Indonesia adalah:
Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal
seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang
unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya
tergenang pada saat pasang pertama.
Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 22 /oo) hingga asin.
D. Vegetasi Hutan Mangrove
Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan
mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan
sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan
ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah
diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan
lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di
hutan mangrove Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis
pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok,
yakni:
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang
menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan
membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus
(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera,
Laguncularia dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk
tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam
struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras.
Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan
Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, dan lain-lain.
E. Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk
zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan
mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap
gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana
(satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi)
tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa
faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
1) Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air
(water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut
dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
2) Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,
tingginya muka air dan drainase.
3) Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap
kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.
4) Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran
seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
5) Pasokan dan aliran air tawar
Menurut Soerinegara (1987), struktur ekosistem, secara garis besar dikenal
tiga tipe formasi mangrove, yaitu :
Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan
pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya
komunitas campuran RhizophoraBruguiera. Bila genangan berlanjut, akan
ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang
terakhir.
Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur,
diikuti komunitas campuran Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas
murni N. fructicans.
Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove
banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,
umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan
biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :
1. Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan
organik dan kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-
api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan
jenis bakau (Rhizophora spp).

Avicennia sp

2. Zona Bakau (Rhizophora)


Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur
lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di
beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera
sp )
Rhizophora mucronata.
3. Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi
dengan jenis lain.

Bruguiera parviflora.
Bruguiera cylindrica

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)


Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini
mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,
tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-
tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya.

Nypa fruticans
F. Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove
Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung,
memijah dan pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang.
Hutan mangrove juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang
darat, seperti burung air dan kalong. Bahkan banyak burung pengembara yang
datang dari daratan atau daerah lainnya yang memanfaatkan hutan mangrove
sebagai tempat persinggahan dan mencari makan (Soemodihardjo, 1977).
Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis
ikan yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung
adalah ikan kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak
(Mugil sp.), udang windu (Panaeus monodon), udang putih (P. Merguensis atau
P. indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium rosenbergii), dan
kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang serta terlindung dengan
berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan perairan hutan
mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak bagi berbagai
satwa (Budiman dan Darnaedi, 1984).
Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka
batasan zonasi yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas
(Kartawinata dkk., 1979). Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove
memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertikal dan secara horisontal.
Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya
menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon mangrove,
misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan
Melongena galeodes (Budiman dan Darnaedi, 1984; Soemodihardjo, 1977).
Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis
fauna yang hidup pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang
hidup dalam lubang atau dalam substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu
fauna yang hidup bebas di atas substrat. Distribusi fauna secara horisontal pada
areal hutan mangrove yang sangat luas, biasanya memperlihatkan pola
permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan garis pantai.
Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan
sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata dan
Soemodihardjo (1977) menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat
pada hutan mangrove sangat luas, tetapi tidak terlihat pada hutan mangrove yang
ketebalannya sangat rendah.
Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang
besar dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena
disamping sebagai pemangsa detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau
memperkecil serasah yang baru jatuh. Perilaku moluska jenis Telebraria palustris
dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau menghancurkan serasah
mangrove untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam
mempercepat proses dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan
lebih cepat. Disamping membantu dalam proses dekomposisi, beberapa fauna
kepiting juga membantu dalam penyebaran seedling dengan cara menarik
propagul kedalam lubang tempat persembunyiannya ataupun pada tempat yang
berair. Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat baik dalam kaitannya dengan
distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari jenis
Rhizophora sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah
atau mulai terjadi konversi hutan mangrove (Budiman dan Darnaedi, 1984).
Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran
yang sangat luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan
Cerithium patalum. Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan yang sangat ekstrim adalah Littorina scabra, Crassostrea
cacullata dan Enigmonia aenigmatica (Budiman dkk., 1977).
Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak Gastropoda penghuni
hutan mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan untuk
dikonsumsi masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia
palustris dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yang
dikonsumsi masyarakat adalah jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata
dan Ostrea cucullata (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977)..
Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove
umumnya didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan
sebagai golongan infauna, sedangkan beberapa jenis udang (Macrura) yang
ditemukan pada ekosistem mangrove sebagian besar hanya sebagai penghuni
sementara. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai tempat
menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun utama fauna
Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).
Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai
penghuni setia hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat
lubang dan mencari makan hanya disekitar sarang tersebut.
Sedangkan pada hutan mangrove bersubstrat lumpur agak pejal,
umumnya didominasi Uca dusumeri. Jenis lain yang muncul pada substrat
tersebut adalah Uca lactea, U. vocans, U. signatus dan U. consobrinus. Diantara
kepiting mangrove yang mempunyai nilai ekonomis dan dikonsumsi masyarakat
adalah Scylla serrata, S. olivacea, Portunus pelagicus, Epixanthus dentatus dan
Labnanium politum.
G. Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove
Menurut Departemen Kehutanan (2004), kondisi ekologis yang mengatur
dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi
berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut
Kusmana, dkk (1995), bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan
mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan
pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa
faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi
adalah :

1) Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan
lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove
lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan
karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya
mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai
yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena
kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
2) Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi
tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove.
Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai
berikut:
Lama pasang
1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan
salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya
akan menurun pada saat air laut surut
2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang
merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara
horizontal.
3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi
vertikal organisme.
Durasi pasang :
1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang
diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi
pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu
maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta
Xylocarpus kadang-kadang ada.
Rentang pasang (tinggi pasang):
1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
2. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi
yang memiliki pasang yang tinggi.
3) Gelombang dan Arus
1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya
hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies
misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai
menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai
dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi
dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove.
4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang
berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan
dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut
pada saat surut.
4) Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik
(substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui
cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan
struktur fisik mangrove
Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah
tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar
matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan
yang berada di luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga
karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di
dalam gerombol.
2. Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan
mangrove
Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air
dan tanah
Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
3. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20 C dan jika
suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu
26-28 C
Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27 C, dan Xylocarpus tumbuh optimal
pada suhu 21-26 C
5) Salinitas
1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara
10-30 ppt
2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi
mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam
keadaan pasang
4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
6) Oksigen Terlarut
1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri
dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya.
2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis
3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi
terendah pada malam hari.

7) Substrat
1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mangrove
2. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan
berlumpur
3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatantegakan
Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka
tegakan menjadi lebih rapat
5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan
Avicennia/Sonn ratia/Rhizophora/Bruguiera
6. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
7. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
8) Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara
inorganik dan organik.
1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
Soemodihardjo (1997) menyatakan bahwa tinggi pohon-pohon mangrove
dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air dan pasang surut.
Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan dan mempunyai
aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian vegetasi mangrove
akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan air jauh dari
permukaan
H. Manfaat Mangrove
Menurut Kartawinata, dkk (1979), ekosistem hutan mangrove memberikan
banyak manfaat baik secara tidak langsung (non economic value) maupun secara
langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues). Beberapa manfaat
mangrove antara lain adalah:
1) Menumbuhkan pulau dan menstabilkan pantai
Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah
adanya sistem perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat
memerangkap sisa-sia bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari
bagian daratan. Proses ini menyebabkan air laut terjaga kebersihannya dan dengan
demikian memelihara kehidupan padang lamun (seagrass) dan terumbu karang.
Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan pembentuk daratan karena
endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan perkembangan garis pantai
dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas batas pantai dan
memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di
wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari
bahaya erosi. Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di
dasar yang dangkal dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat
yang baru. Dalam kurun waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas
menjadi pulau sendiri.
2) Menjernihkan air
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya
berfungsi untuk pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap
endapan dan bisa membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang
dari daratan dan mengalir ke laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali
membawa zat-zat kimia atau polutan. Bila air sungai melewati akar-akar pasak
pohon api-api, zat-zat kimia tersebut dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir
ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk melihat daerah ini sebagai lahan
marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya dengan tanah agar lebih
produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan dan
menyebabkan pohon mati.
3) Mengawali rantai makanan
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai
dasar teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini
merupakan makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi
mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau
berkunjung di habitat mangrove.
4) Melindungi dan memberi nutrisi
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah
nursery bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan
udang yang ditangkap di laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa
memerlukan perlindungan dari predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah
mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat berlindung atau singgah bertengger dan
mencari makan di habitat mangrove.

5) Manfaat bagi manusia


Masyarakat daerah pantai umumnya mengetahui bahwa hutan mangrove
sangat berguna dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Pohon mangrove adalah pohon berkayu yang kuat dan berdaun
lebat. Mulai dari bagian akar, kulit kayu, batang pohon, daun dan bunganya semua
dapat dimanfaatkan manusia. Beberapa kegunaan pohon mangrove yang langsung
dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain adalah:
6) Tempat tambat kapal
Daerah teluk yang terlidung seringkali dijadikan tempat berlabuh dan
bertambatnya perahu. Dalam keadaan cuaca buruk pohon mangrove dapat
dijadikan perlindungan dengan bagi perahu dan kapal dengan mengikatkannya
pada batang pohon mangrove. Perlu diperhatikan agar cara tambat semacam ini
tidak dijadikan kebiasaan karena dapat merusak batang pohon mangrove yang
bersangkutan.
7) Obat-obatan
Kulit batang pohonnya dapat dipakai untuk bahan pengawet dan obat-
obatan. Macam-macam obat dapat dihasilkan dari tanaman mangrove. Campuran
kulit batang beberapa species mangrove tertentu dapat dijadikan obat penyakit
gatal atau peradangan pada kulit. Secara tradisional tanaman mangrove dipakai
sebagai obat penawar gigitan ular, rematik, gangguan alat pencernaan dan lain-
lain. Getah sejenis pohon yang berasosiasi dengan mangrove (blind-your-eye
mangrove) atau Excoecaria agallocha dapat menyebabkan kebutaan sementara
bila kena mata, akan tetapi cairan getah ini mengandung cairan kimia yang dapat
berguna untuk mengobati sakit akibat sengatan hewan laut. Air buah dan kulit
akar mangrove muda dapat dipakai mengusir nyamuk. Air buah tancang dapat
dipakai sebagai pembersih mata. Kulit pohon tancang digunakan secara
tradisional sebagai obat sakit perut dan menurunkan panas. Di Kambodia bahan
ini dipakai sebagai penawar racun ikan, buah tancang dapat membersihkan mata,
obat sakit kulit dan di India dipakai menghentikan pendarahan. Daun mangrove
bila di masukkan dalam air bisa dipakai dalam penangkapan ikan sebagai bahan
pembius yang memabukkan ikan (stupefied).
8) Pengawet
Buah pohon tancang dapat dijadikan bahan pewarna dan pengawet kain
dan jaring dengan merendam dalam air rebusan buah tancang tersebut. Selain
mengawetkan hasilnya juga pewarnaan menjadi coklat-merah sampai coklat tua,
tergantung pekat dan lamanya merendam bahan. Pewarnaan ini banyak dipakai
untuk produksi batik, untuk memperoleh pewarnaan jingga-coklat. Air rebusan
kulit pohon tingi dipakai untuk mengawetkan bahan jaring payang oleh nelayan di
daerah Labuhan, Banten.
9) Pakan dan makanan
Daunnya banyak mengandung protein. Daun muda pohon api-api dapat
dimakan sebagai sayur atau lalapan. Daun-daun ini dapat dijadikan tambahan
untuk pakan ternak. Bunga mangrove jenis api-api mengandung banyak nectar
atau cairan yang oleh tawon dapat dikonversi menjadi madu yang berkualitas
tinggi. Buahnya pahit tetapi bila memasaknya hatihati dapat pula dimakan. .
10) Bahan mangrove dan bangunan
Batang pohon mangrove banyak dijadikan bahan bakar baik sebagai kayu
bakar atau dibuat dalam bentuk arang untuk kebutuhan rumah tangga dan industri
kecil. Batang pohonnya berguna sebagai bahan bangunan. Bila pohon mangrove
mencapai umur dan ukuran batang yang cukup tinggi, dapat dijadikan tiang utama
atau lunas kapal layar dan dapat digunakan untuk balok konstruksi rumah tinggal.
Batang kayunya yang kuat dan tahan air dipakai untuk bahan bangunan dan
cerocok penguat tanah. Batang jenis tancang yang besar dan keras dapat dijadikan
pilar, pile, tiang telepon atau bantalan jalan kereta api. Bagi nelayan kayu
mangrove bisa juga untuk joran pancing. Kulit pohonnya dapat dibuat tali atau
bahan jaring.
Menurut Bengen (2001), beberapa manfaat dan fungsi hutan mangrove
dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Manfaat / Fungsi Fisik :
a. Menjaga agar garis pantai tetap stabil
b. Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi.
c. Menahan badai/angin kencang dari laut
d. Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan
terbentuknya lahan baru.
e. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut
menjadi air daratan yang tawar
f. Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.
2. Manfaat / Fungsi Biologis :
a. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan
penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai
makanan.
b. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting
dan udang.
c. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan
satwa lain.
d. Sumber plasma nutfah & sumber genetik.
e. Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.
3. Manfaat / Fungsi Ekonomis :
a. Penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan.
b. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan,
obat-obatan, kosmetik, dll.
c. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola
tambak silvofishery.
d. Tempat wisata, penelitian & pendidikan.
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah tersebut maka dapat ditarik kesimpulan yakni:
1. Definisi mangrove yaitu kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang daerah pasang surut dapat pula berupa komunitas.
2. Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.
3. Pertumbuhan ekosistem mangrove sendiri dipengaruhi beberapa faktor
diantaranya topografi, pasang, gelombang dan arus, iklim, salinitas,
oksigen terlarut, tanah, hara dan lain-lain.
4. Mangrove biasa dimanfaatkan untuk menumbuhkan pulau dan
menstabilkan pantai, menjernihkan air, mengawali rantai makanan,
melindungi dan memberi nutrisi, manfaat bagi manusia, tempat tambat
kapal, obat-obatan, pengawet, pakan dan makanan, bahan bangunan.

III.2 Saran
Sebaiknya dalam pembuatan makalah menggunakan lebih dari 1 referensi
agar informasi yang diperoleh lebih lengkap dan menjurus.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan


kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.

Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan


mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove.
MAB-LIPI: 175-182.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian
Bogor. Bogor, Indonesia.

Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry


Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Jakarta.

Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979.


Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan
Mangrove: 21-39.

Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of Mangrove


Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem
Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia
No. 72-LIPI, Jakarta.

Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan
komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.

Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros.


Sem. III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.

Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.


Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.

Anda mungkin juga menyukai