Anda di halaman 1dari 17

PENGANTAR ILMU KEHUTANAN

HUTAN MANGROVE

KELOMPOK 7
FADHLI DZIL IKRAM (M11114330)
REZALDI MAHAPUTRA (M11114333)
LILY ISTIGFAIYAH (M11114336)
LORENSIA TANGIRERUNG (M11114339)
AGUNG NUGRAWAN KUTANA (M11114342)

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

1 | Page

Kata Pengantar
Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat
merasakan dan menikmati hidup yang penuh berkah, terutama kami dapat membuat dan
menyusun makalah ini. Selain itu, Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Junjungan
Besar kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan juga para sahabat yang senantiasa
menemani dan mendukung Beliau, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam makalah ini kami ingin membahas tentang Hutan Mangrove, dimana banyak
pihak yang mengabaikan keberadaannya. Disamping itu, kami menyadari bahwa dirinya
hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan salah, oleh karena itu, kami
memohon maaf dan maklum serta selalu mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca yang budiman serta para pembimbing yang bijak.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, masayarakat umum
dan khususnya bagi kami, serta dapat menambah ilmu juga memperluas wawasan kita.

2 | Page

Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.4
1.2. Rumusan Masalah5
1.3. Tujuan...5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Sebaran Mangrove
2.3 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
2.4 Vegetasi Hutan Mangrove
2.5 Zonasi Hutan Mangrove
2.6 Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove
2.7 Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

6
7
7
8
9
10
12

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan16
3.2 Saran..16
DAFTAR PUSTAKA

17

BAB I

3 | Page

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Akhir-akhir ini semakin banyak masalah yang timbul disebabkan oleh antropogenik,
khususnya tentang lingkungan. Antropogenik adalah istilah yang umum dipakai untuk
menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam karena

campur tangan manusia (efek,

proses,obyek dan material), kejadian tersebut sebagai lawan kata dari kejadian alami.
Oleh karena itu, kami membuat makalah ini dengan harapan bahwa masyarakat bisa
menyadari betapa pentingnya menjaga kestabilan lingkungan (ekosistem), sebab bila manusia
terus melakukan tindakan atau perbuatan yang berdampak langsung pada keseimbangan
ekosistem, maka keseimbangan ekosistem ini akan hancur, dan secara tidak langsung juga
berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan
bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan
payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di
daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini
selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis
baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas,
arang).
Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur
tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi
pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi
dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas
kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewanhewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan
dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
4 | Page

di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya
dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur
penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup
di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah
melewati proses adaptasi dan evolusi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Hutan Mangrove ?
2. Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove ?
3. Permasalahn apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?
4. Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?
1.3. Tujuan
Untuk menjelaskan definisi dari Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove tersebut,
keanekaragaman yang berada dalam ekosistem Hutan Mangrove, permasalahan yang di
alami, dan dampak yang di timbulkan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
5 | Page

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa
Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan
yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan untuk individu-individu spesies
tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata
mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata
mangal digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut
FAO, kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok
jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang
memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan
berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Sedangkan menurut Tomlinson (1986), kata
mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal.
Daerah intertidal adalah wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai,
seperti laguna, estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang
spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau
bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh
masukan air dan lumpur dari daratan.
Dengan demikian secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah
tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu
sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor
lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Antara lain
tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau. Khusus untuk
penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang sesuai untuk menggambarkan
mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi dengan lingkungan
mangrove. Di Indonesia, istilah bakau digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi
mangrove, yaitu Rhizopora. Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus
dan berbagai jenis, sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau
sebaiknya dihindari.

2.2 Sebaran Mangrove


Tanaman dalam kelompok mangals beragam tetapi semuanya dapat beradaptsi
terhadap habitat mereka (zona intertidal) dengan mengembangkan adaptasi fisiologis untuk
mengatasi masalah anoksia, salinitas tinggi dan genangan air pasang surut yang sering.
6 | Page

Setelah terbentuk komunitas mangrove, akar mangrove menyediakan habitat bagi tiram dan
aliran air yang lambat, sehingga meningkatkan pengendapan sedimen. Sedimen halus yang
anoksik di bawah hutan mangrove berperan sebagai penampung berbagai logam berat (trace)
membentuk koloid partikel, sehingga sering menciptakan Mangrove melindungi daerah
pantai dari erosi, badai topan (terutama saat badai), dan tsunami. Sistem akar mangrove
sangat efisien dalam memecah energi gelombang laut, memperlambat air pasang,
meninggalkan semua sedimen kecuali partikel halus ketika pasang surut. Dengan cara ini,
ekosistem mangrove membangun lingkungan yang unik dan perlindungan terhadap erosi,
sehingga sering menjadi objek program konservasi.

2.3 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove


Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk
tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi
dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan
organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut
dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan
mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat
unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan
mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas
tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang
unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang
pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada
Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada
Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:

7 | Page

Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya
saat pasang pertama;

tergenang pada

Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya
berkadar garam (bersalinitas) payau (2 22 /oo) hingga asin.

2.4 Vegetasi Hutan Mangrove


Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove
sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai
yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon
Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,
Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga,
bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari
30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di
hutan mangrove Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis
terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara
dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif
khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan
murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas,
contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum,
Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan
lain-lain.

2.5 Zonasi Hutan Mangrove


Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai
dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan
8 | Page

tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang


terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang
kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang
bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :
1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan
salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan
terhadap anakan.
2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air
dan drainase
3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam
serta pasokan dan aliran air tawar.
4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti
Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
5. Pasokan dan aliran air tawar
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove, yaitu :
Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur horizontal
formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia sp),
diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya komunitas
campuran RhizophoraBruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni
Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang terakhir.
Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai. Mangrove
muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas
campuran Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas murni N. fructicans.
Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak
berasosiasi dengan komunitas daratan.
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya
mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan
menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia)

9 | Page

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek
(dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi.
Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp),
dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora spp).
2. Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa tempat dijumpai
berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )
3. Zona Tanjang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan
berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis tanjang
(Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.
4. Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air
dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang
dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada
umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.

2.6 Fauna Aquatik Penghuni Hutan Mangrove


Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, memijah dan
pembesaran bagi berbagai jenis binatang air seperti ikan dan udang. Hutan mangrove juga
menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat, seperti burung air dan kalong.
Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari daratan atau daerah lainnya yang
memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat persinggahan dan mencari makan.
Selain itu sebagai tempat hidup bagi satwa-satwa yang dilindungi. Jenis ikan yang
memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagi tempat berlindung adalah ikan kakap putih
(Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil sp.), udang windu (Panaeus
monodon), udang putih (P. Merguensis atau P. indicus), udang galah atau udang satang
(Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang
serta terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan
perairan hutan mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak bagi
berbagai satwa.
Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan zonasi
yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas (Kartawinata dkk., 1979).
Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran
secara vertikal dan secara horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh
jenis fauna yang hidupnya menempel atau melekat pada akar, cabang maupun batang pohon
10 | P a g e

mangrove, misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan
Melongena galeodes (Budiman dan Darnaedi, 1984; Soemodihardjo, 1977).
Sedangkan penyebaran secara horizontal biasanya ditemukan pada jenis fauna yang
hidup pada substrat, baik itu yang tergolong infauna, yaitu fauna yang hidup dalam lubang
atau dalam substrat, maupun yang tergolong epifauna, yaitu fauna yang hidup bebas di atas
substrat. Distribusi fauna secara horisontal pada areal hutan mangrove yang sangat luas,
biasanya memperlihatkan pola permintakatan jenis fauna yang dominan dan sejajar dengan
garis pantai. Permintakatan yang terjadi di daerah ini sangat erat kaitannya dengan perubahan
sifat ekologi yang sangat ekstrim yang terjadi dari laut ke darat. Kartawinata dan
Soemodihardjo (1977) menyatakan bahwa permintakatan fauna hanya terlihat pada hutan
mangrove sangat luas, tetapi tidak terlihat pada hutan mangrove yang ketebalannya sangat
rendah.
Secara ekologis, jenis moluska penghuni mangrove memiliki peranan yang besar
dalam kaitannya dengan rantai makanan di kawasan mangrove, karena disamping sebagai
pemangsa detritus, moluska juga berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang
baru jatuh. Perilaku moluska jenis Telebraria palustris dan beberapa moluska lainnya dalam
memecah atau menghancurkan serasah mangrove untuk dimakan, namun disisi lain sangat besar artinya dalam mempercepat proses
dekomposisi serasah yang dilakukan mikrorganime akan lebih cepat. Disamping membantu
dalam proses dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga membantu dalam penyebaran
seedling dengan cara menarik propagul kedalam lubang tempat persembunyiannya ataupun
pada tempat yang berair. Aktifitas kepiting ini dampaknya sangat baik dalam kaitannya
dengan distribusi dan kontribusi pertumbuhan dari seedling mangrove dari jenis Rhizophora
sp, Bruguiera sp. dan Ceriops sp., terutama pada daerah yang sudah atau mulai terjadi
konversi hutan mangrove.
Dari fauna Gastropoda penghuni mangrove yang memiliki penyebaran yang sangat
luas adalah Littorina scabra, Terebralia palustris, T. sulcata dan Cerithium patalum.
Sedangkan jenis yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang sangat
ekstrim adalah Littorina scabra, Crassostrea cacullata dan Enigmonia aenigmatica
(Budiman dan Darnaedi, 1984). Selanjutnya disebutkan pula bahwa dari sebanyak
Gastropoda penghuni hutan mangrove tersebut beberapa diantaranya dapat dimanfaatkan
untuk dikonsumsi masyarakat sekitar mangrove, antara lain adalah jenis Terebralia palustris
dan Telescopium telescopium. Sedangkan kelas Bivalvia yang dikonsumsi masyarakat adalah
jenis Polymesoda coaxans, Anadara antiquata dan Ostrea cucullata.
Kelas Crustacea yang ditemukan pada ekosistem hutan mangrove umumnya
didominasi oleh jenis kepiting (Brachyura) yang dapat dikategorikan sebagai golongan
infauna, sedangkan beberapa jenis udang (Macrura) yang ditemukan pada ekosistem
mangrove sebagian besar hanya sebagai penghuni sementara. Dari beberapa penelitian yang
dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa famili Grapsidae merupakan penyusun
utama fauna Crustacea hutan mangrove (Soemodihardjo, 1977; Budiman dkk., 1977).
11 | P a g e

Jenis Thalassina anomala merupakan jenis udang lumpur sebagai penghuni setia
hutan mangrove, karena udang ini hidup dengan cara membuat lubang dan mencari makan
hanya disekitar sarang tersebut.
Sedangkan pada hutan mangrove bersubstrat lumpur agak pejal, umumnya
didominasi Uca dusumeri. Jenis lain yang muncul pada substrat tersebut adalah Uca
lactea, U. vocans, U. signatus dan U. consobrinus. Diantara kepiting mangrove yang
mempunyai nilai ekonomis dan dikonsumsi masyarakat adalah Scylla serrata, S. olivacea,
Portunus pelagicus, Epixanthus dentatus dan Labnanium politum.

2.7 Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove


Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan
memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya
jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival and Womersley
(1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang
mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai,
penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi.
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi
adalah :
A. Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan
mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika
dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai
menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies
menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan
mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
B. Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan
komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh
pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai
berikut:

Lama pasang

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air
dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air
laut surut
2. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor
pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
12 | P a g e

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal
organisme.

Durasi pasang :

1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal,
semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau
frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan
adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

Rentang pasang (tinggi pasang):

1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang
memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
2. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki
pasang yang tinggi.

C. Gelombang dan Arus


1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasilokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove
mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
2. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah
atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai
untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatanpadatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove.
4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi
nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil
dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan
mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.
D. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air).
Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan
angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cahaya

13 | P a g e

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik
mangrove
Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan
intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan
mempengaruhi pertumbuhan mangrove
Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih
kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di
luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar
matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
2. Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah
Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove
adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
3. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20 C dan jika
tinggi maka produksi menjadi berkurang

suhu lebih

Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28 C
Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27 C, dan Xylocarpus tumbuh optimal
pada suhu 21-26 C
E. Salinitas
1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove,
hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang
4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

F. Oksigen Terlarut

14 | P a g e

1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi
yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis
3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada
malam hari
G. Substrat
1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
2. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan berlumpur
3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatantegakan Misalnya jika
komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat
5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonn
ratia/Rhizophora/Bruguiera
6. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
7. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
H. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan
organik.
1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi
pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air dan pasang
surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan dan mempunyai aerasi
baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian vegetasi mangrove akan menjadi
pendek jika mendekati zona dengan kondisi permukaan air jauh dari permukaan.

15 | P a g e

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Simpulan
Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan makhluk
hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja
dirusak, maka secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup
makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup
bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.
Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu dialih
fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat memberikan investasi
yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat tinggi, dan juga jenis tanah yang
digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang cocok untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kelapa sawit,serta hal itu hanya akan menurunkan kualitas tanah.
Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan
berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain saling
memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam ekosistem
tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang paling parah flora
fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun akan merasakan dampaknya
sendiri.
3.2 Saran
Ada beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan memlihara ataupun
membudidayakn Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi pertemuan kota dan menyambaikan
suara keberatan atas pembangunan mengganggu habitat satwa liar maupun suatu ekosistem,
2) Pelajari semua tetang pentinganya Rawa Mangrove, dan membuat orang lain terkesan
mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan
produk yang ramah lingkungan untuk mengurangi polusi air.

16 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove
Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan
bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry Statistics of
Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status
pengetahuan hutan bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of Mangrove Forest in
East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus
1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau
www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/definisi-hutan-mangrove.html
http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/SpesiesMangrove/tabid/2835/language/idID/Default.aspx

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai