Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

Propandiyan Fakhrul Dzil Ikram


26050118130126
Oseanografi C/Kelompok 8
Dosen Pengampu
Ir.Gentur Handoyo,MSi
NIP. 19600911 198703 1 002
ASISTEN
Muhammad Ramadhan 26020216140117
Muhammad Chiesa F 26020216130097
Irsyad Abdi Pratama 26020216120039
Dwinda Hayenda 26020216140049
Amani Rahutri Radhwarana 26050117140003
Pratama Al Bintani 26050117130071
R A Fitri Shafira Citra W 26050117140022
M. Bagas Yuditputranto 26050117140017
Anggie Almira Rizkiana 26050117130056
Akmal Yazid Perwira 26050117120031
Misbahul Diptya Pawitra 26050117120011
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekologi perairan merupakan cabang ilmu mengenai lingkungan yang fokus mempelajari
interaksi atau hubungan timbal balik antara organisme di perairan dengan lingkungannya.
Lingkungan sangat berpengaruh sebab ia memegang peranan dalam menciptakan kenyamana
hidup organisme di perairan. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar daerahnya
merupakan perairan. Meskipun begitu, sumber daya kekayaan dari perairan tersebut belum bisa
dimanfaatkan secara optimal, terkadang sumber daya perairan dieksploitasi secara habis-
habisan tanpa memikirkan konservasi. Perairan di Indonesia memiliki 3 ekosistem penting yaitu
ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem terdepan, ekosistem lamun terletak diantara dua ekosistem perairan
tersebut, dimana terjadi interaksi timbal balik yang saling mendukung. Secara fisik ekosistem
mangrove memiliki peran sebagai pelindung daratan dari abrasi dan intrusi air laut serta
menjadi tempat berlindung bagi banyak biota laut. Ekosistem lamun secara fisik memiliki peran
mengurangi gelombang, menstabilkan substrat sehingga mengurangi kekeruhan, menjebak zat
hara, serta menjadi tempat bertelur, memijah, mencari makan dan membesarkan juvenil bagi
biota laut. Sedangkan terumbu karang sendiri berperan mengurangi energi gelombang, juga
memperkokoh daerah pesisir secara keseluruhan dan menjadi habitat bagi banyak organisme
laut.

Ketiga ekosistem ini sangat penting untuk dipelajari mengingat bahwa ekosistem ini
saling berkaitan dan saling melengkapi. Ketiga ekosistem ini juga akan berpengaruh besar bagi
pesisir, perairan, dan biota didalamnya jika salah satu dari ekosistem tersebut terjadi kerusakan.
Maka dari itu ekosistem ini penting untuk dipelajari. Karena jika ekosistem ini terjaga dengan
baik, hasil dari ketiga ekosistem ini akan bermanfaat bagi manusia. Praktikum ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui macam ekosistem yang berada di pantai dan meninjau penyebab
kerusakan atau faktor pendukung dari ekosistem tersebut. Dalam bidang oseanografi praktikum
ini berperan penting karena untuk mengetahui kualitas dari ekosistem pantai perlu diamati
secara berkala dan terdata agar fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem lainnya berfungsi
1.2. Tujuan
1.2.1. Mangrove
1) Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ekosistem mangrove.
2) Untuk mengetahui parameter pada ekosistem perairan mangrove.
3) Mengetahui keanekaragaman jenis mangrove.
1.2.2. Lamun
1) Untuk melakukan pengamatan terhadap tumbuhan lamun.
2) Mengetahui interaksi antar biota pada ekosistem lamun.
3) Mengetahui keanekaragaman hayati pada ekosistem lamun.
1.2.3. Terumbu Karang
1) Mengetahui presentasi tutupan terumbu karang di perairan pantai blebak kecamatan
mionggo jepara.
2) Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode LIT (Line
Intercept Transect)
3) Mengetahui biota yang ada di ekosistem terumbu karang
1.3. Manfaat
1.3.1. Ekosistem Mangrove
1. Mahasiswa mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem hutan mangrove.
2. Mengetahui penyebab utama yang menjadikan mangrove rusak
1.3.2. Ekosistem Lamun
1. Mahasiswa mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.
2. Mengetahui biota apa saja yang hidup di ekosistem lamun
1.3.3. Ekosistem Karang
1. Mahasiswa mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem terumbu karang.
2. Dapat melakukan pengambilan data dengan metode LIT (Line Intercept Transec)
1.4. Peta Lokasi

Gambar 1. Peta Lokasi Praktikum


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1. Definisi Mangrove

Mangrove atau bakau adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut didaerah pasang surut, hutan mangrove atau
yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang
mempunyai karakter unik dan khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove
adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di
dalam suatu habitat mangrove (Wijayanti, 2011).
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah
pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang
tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusuma et al, 2003).
Menurut FAO, Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di
daerah pasang surut. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa
Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae, 1968). Dalam Bahasa
Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh
di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan
yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah
tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa
Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara
Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan
bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang
tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora,
sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis
tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan
bakau sebaiknya dihindari (Warsidi, 2017).
2.1.2 Habitat Mangrove
Banyak faktor yang mempengaruhi keberlangsungan hidup dan pertumbuhan
mangrove diantaranya mangrove biasanya tumbuh dengan baik di habitat yang lembab dan
berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove memiliki beberapa sifat atau
karakteristik yang khusus diantaranya salinitas, pasang surut, angin, dan substrat yang
berlumpur.Faktor-faktor tersebut membantu mangrove dalam pertumbuhan dan
keberlangsungan hidup mangrove. Mangrove biasanya tumbuh dengan baik pada substrat
tanah dengan tekstur halus seperti lumpur dan kaya humus dan sulfida (Wahyudi et al., 2014).
Umumnya mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur
atau berpasir. Daerah pertumbuhan mangrove umumnya tergenang air laut secara berkala, bisa
hanya pada saat pasang maupun setiap hari. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi mangrove. Mangrove tumbuh di tempat yang pasokan air tawarnya cukup dan
terlindung ari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Tempat mangrove tumbuh
memiliki kadar garam yang payau (Muzaki et al., 2017).
2.1.3. Flora Fauna Mangrove
Beberapa spesies reptilia yang pernah ditemukan di kawasan mangrove Indonesia antara
lain biawak (Varanus salvatoe), Ular belang (Boiga dendrophila), dan Ular sanca (Phyton
reticulates), serta berbagai spesies ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus
granulatus, Homalopsis buccata dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan
di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. Limnocharis. Buaya-buaya dan binatang
alligator merupakan binatang-binatang reptil yang sebagian besar mendiami daerah berair dan
daerah muara. Dua spesies buaya (Lagarto), Caiman crocodilus (Largarto cuajipal) dapat
dijumpai umum dijumpai di hutan mangrove, dan sebagai spesies yang berada dalam keadaan
waspada karena kulitnya diperdagangkan secara internasional. Banyak mamalia terdapat di
hutan mangrove tetapi hanya sedikit yang hidup secara permanen dan jumlahnya terbatas
dikarenakan lingkungan yang ekstrim (Nugraha, 2011).
Avicennia merupakan pohon mangrove pionir, jadi mudah sekali dikenal.
Tumbuhnya selalu di tepi laut maupun di tepi sungai. Avicennia merupakan pohon
tinggi yang berukuran sedang sampai besaf. Avicennia dikenal pula dengan nama api-api.
paku paku laut (Acrostichum aureum) merupakan tumbuhan paku-pakuan dan umumnya
tumbuh di area hutan mangrove yang terbuka atau menerima cahaya matahari banyak.
Acrostichum aureum merupakan satu-satunya paku-pakuan di hutan mangrove dan
tumbuhnya menggerombol membentuk rumpun. (Nugraha, 2011).
2.1.4. Fungsi Utama Ekosistem Mangrove
Flora mangrove dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni flora mangrove mayor
(flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat
mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan
vivipar itas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam
mengontrol garam. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove tidak mampu membentuk
tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas.
Dan yang terakhir adalah flora mangrove asosiasi (Heriyanto dan Subiandono, 2012).
Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara
terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung bagi ikan, tempat pemijahan. Sumber
makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan
organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting
dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar
proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit
seperti moluska, kepiting dan cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi
konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya
dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga. Singkatnya,
hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis
komoditi penting perikanan. (Heriyanto dan Subiandono, 2012).
2.1.5. Substrat Ekosistem Mangrove
Kondisi substrat merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan zonasi
mangrove.Avicennia dan Sonneratiaakan tumbuh dengan baik pada substrat lumpur berpasir,
Rhizophora tumbuh lebih baik pada substrat lumpur yang kaya bahan organik, sementara
Bruguiera lebih menyukai substrat lempung yang sedikit mengandung bahan organik.
Mangrove juga dapat tumbuh pada pantai berpasir, berbatu atau bersubstrat pecahan atau
pecahan karang , misalnya jenis Rhizophorastylosa dan Sonneratiaalba (Muzaki et al., 2017).
Mangrove biasanya hidup di substrat yang berlumpur, karang berlumpur, berpasir
berpatu, dan bergambut. Mangrove yang hidup di substrat yang berlumpur contohnya adalah
jenis dari Rhizophora spp. Mangrove yang hidup di substrat yang berpasir diantaranya
Pandanus spp, Bruguiera spp, Avicennia spp dan Sonneratia spp. Beberapa spesies
Rhizhopora sp dan Sonneratia sp hidup di substrat karang berlumpur. Mangrove yang hidup di
substrat berbatu adalah dari jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia alba. (Majid, et. al., 2016).
2.1.6. Zona Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove sangat rumit, karena terdapat banyak faktor yang
saling mempengaruhi, baik di dalam maupun di luar pertumbuhan dan
perkembangannya. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove
dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut dengan jenis-jenis vegetasi yang
mendominasi. Selain itu, menurut Ghufran (2012) menyebutkan tiga zone yang terdapat
pada kawasan mangrove, yang disebabkan oleh terjadinya perbedaan
penggenangan yang juga berakibat pada perbedaan salinitas. Hal inilah yang
membuat perbedaan jenis kawasan mangrove. Adapun pembagian kawasan
mangrove berdasarkan perbedaan penggenangan adalah sebagai berikut:
a. Zona Proksimal, yaitu kawasan (zona) yang terdekat dengan laut. Pada zona
ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis R. apiculata, R. mucronata, dan S.
alba.
b. Zona middle, yaitu kawasan (zona) yang terletak di antara laut dan darat,
pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis S. caseolaris, R. alba, B.
gymnorrhiza, A. marina, A. officinalis, dan Ceriops tagal.
c. Zona distal, yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya akan
ditemukan jenis-jenis Heritiera litoralis, Pongamia, Pandanus spp., dan
Hibiscus tiliaceus.
Pembagian zonasi juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang
mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turu sebagai berikut.
a. Zonasi Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove.
Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi. Jenis
Avicennia banyak ditemui berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena
tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat
yang dapat bertahan dari hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan
zona perintis atau pioneer, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah
akibat cengkraman perakaran tumbuhan jenis-jenis ini.
b. Zona Rhizophora, terletak dibelakang zona Avicennia dan Sonneratia.
Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah.
Perakaran tanaman tetap terendam selama air laut pasang.
c. Zona Bruguiera, terletak dibelakang Zona Rhizophora. Pada zona ini,
tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya
terendam pasang naik dua kali sebulan.
2.1.7. Identifikasi Mangrove
Secara umum mangrove mempunyai akar udara (aerial root). Akar udara adalah akar
yang terkena udara secara langsung selama beberapa saat dalam sehari atau bahkan sepanjang
hari yang berfungsi untuk menangkap carbon dan oksigen dari udara. Macamnya: Akar
Tunjang/still root, Akar pensil / pneumatophore, Akar lutut / knee root, Akar papan / plank
root, Banir / buttress
Bentuk dan Susunan Daun
1. Daun Tunggal : hanya terdapat satu saja helai daun yang terlihat nyata di tangkai daun
2. Daun Majemuk : terdiri dari dua atau lebih helai daun yang terlihat nyata dan jelas pada
tangkai daun
Letak Daun
1. Bersilangan : dua daun terletak berlawanan satu sama lain pada setiap buku batang pada
ranting yang sama
2. Berseling : hanya satu daun yang terdapat pada buku batang pada setiap ranting
Bentuk Daun
1. Lancip : panjang helai daun beberapa kali dari lebarnya, melebar kearah pangkal daun dan
meruncing pada ujung daun.
2. Ellips : melebar pada bagian tengah daun, bagian pangkal dan ujung daun mempunyai
bentuk yang hampir sama, panjang daun minimal 2 kali lebarnya.
3. Oval: ukuran lebar daun dari pangkal ke ujung hampir sejajar.
4. Bulat telur sungsang : bentuk seperti telur, pangkal daun menyempit.
5. Hati : bentuk seperti, pangkal daun melebar.
Rangkaian Bunga
Mangrove memiliki rangkaian bunga diantaranya sebagai berikut: tunggal,
bersusun, malai, bulir, tandan, bergerombol rapat, berbentuk payung.
Bentuk Buah
Mangrove memiliki bentuk buah diantaranya sebagai berikut: Silinder, bola/bulat,
seperti kacang, dll. (Junaedi, 2014).
2.1.8. Metode Pengambilan Data Mangrove
Menurut Suzana (2011), masyarakat yang dijadikan responden adalah beberapa
pemanfaat hutan mangrove, antara lain: nelayan, pencari kayu bakar, pengrajin daun
nipah, dan juga pada masyarakat yang berhubungan dengan mangrove secara tidak
langsung. Untuk mengetahui keadaan umu lokasi penelitian dan kondisi hutan mangrove
yang ada, juga dilakukan wawancara dengan aparat desa, petugas kehutanan setempat, dan juga
warga desa.
Menurut Suzana (2011), pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan
dengan menggunakan transek garis (line transec). Tahapan dalam mengambil data
transek yaitu menarik meteran ke arah laut dengan posisi awal yang telah diberi tanda
(patok atau pengecetan pohon) dan menentukan blok (petak contoh/petak ukur) di
sebelah kiri dan kanan garis transek berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10 x 10 m
untuk pengamatan fase pohon.
2.1.9. Faktor Eksternal dan Internal Pertumbuhan Mangrove
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di
suatu lokasi adalah fisiografi pantai (topografi), pasang (lama, durasi, rentang), gelombang
dan arus, iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin), salinitas, oksigen terlarut, tanah, dan
hara. Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan
mangrove.Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan
dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Gelombang dan arus dapat
merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki
gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi
sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.Berpengaruh langsung terhadap distribusi
spesies (Alwidakdo, 2014).
Menurut Poedjirahahoe (2017), banyak faktor yang memberi pengaruh terhadap
penyebaran dan pertumbuhan bakau. Berbagai faktor tersebut secara garis besar dapat
digolongkan menjadi dua, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait
dengan kemampuan genetika dan perkembangbiakan tanaman serta aktivitas tanaman
bakau sendiri seperti terkait dengan genetika atau spesiesnya, kemampuan adaptasi,
kemampuan perkawinan silang, kemampuan mutasi dan modifikasi, serta kemampuan
melakukan penyebaran dari jenis tanaman bakau.
2.1.10. Kondisi Mangrove di Pantai Utara Jawa
Menurut Karyono et al. (2013), Kabupaten Jepara sebagai bagian dari Provinsi
Jawa Tengah mempunyai wilayah pesisir yang memiliki ekosistem mangrove. Ekosistem
mangrove di kabupaten ini dibagi menjadi dua, yaitu ekosistem yang berada di daratan
utama Pulau Jawa serta yang berada di Kepulauan Karimun Jawa. Sebagaimana kondisi juga
tidak dapat terhindar dari berbagai tekanan yang mengakibarkan kerusakan. Beberapa
faktor diantaranya karena aktivitas masyarakat berupa konversi hutan mangrove menjadi
tambak dan pemukiman serta penebangan liar.
Menurut Karyono et al. (2013), upaya rehabilitasi mangrove masih terus dilakukan
baik oleh pemerintah, swasta, akademisi, serta masyarakat secara swadaya. Dengan
adanya kegiatan ini, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan yang sesuai agar dapat
diketahui tingkat keberhasilan dari rehabilitasi, serta berapa perupahan luas mangrove
yang terjadi, sehingga akan diketahui luar area mangrove yang ada saat ini. Atas dasar
tersebut maka bentuk pengelolaan berbasis data spasial sangat dibutuhkan. Hal ini
dikarenakan sifat dari data spasial yang kontinu dan berulang sehingga dapat dikoreksi
serta dirubah dari waktu ke waktu dengan mudah dan cepat, serta mampu mencangkup wilayah
yang luas dengan biaya yang murah.
2.2. Lamun
2.2.1 Definisi Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan
untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizome, daun, dan akar.
Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku
dimana tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta berakar.
Lamun juga sebagian besar memiliki struktur berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan
hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Salah satu hal yang paling penting dalam
adaptasi reproduksi lamun adalah bersifat hidrophillus yaitu kemampuannya untuk melakukan
polinasi di bawah air (Kamaruddin et al., 2016).
Padang lamun merupakan suatu ekosistem di kawasan pesisir yang memiliki
tingkat keanekaragaman hayati cukup tinggi dan sebagai penyumbang nutrisi yang
sangat berpotensial bagi perairan disekitarnya karena memiliki tingkat produktivitas
yang tinggi. Ekosistem padang lamun memberikan habitat cocok bagi biota laut. Disebut
padang lamun karena ekosistem padang lamun tersebut berasosiasi dengan berbagai
jenis biota laut yang bernilai sangat penting dengan tingkat keragamannya yang cukup tinggi.
Ekosistem lamun mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang kehidupan dan
perkembangan biota laut dangkal. Peranan lamun di perairan laut dangkal yaitu sebagai
produsen, penangkap sedimen dan pendaur zat hara (Kamaruddin et al., 2016).
2.2.2. Karakteristik Lamun
Lamun tumbuh padat membentukpadang, sehingga dikenal sebagaipadang
lamun (seagrass beds). Lamundapat tumbuh membentuk padanglamun dengan kepadatan
mencapai4.000 tumbuhan per m2danmempunyai biomassa tetap sebesar 2 kg/ m². Padang
lamun dapatmembentuk vegetasi tunggal, tersusunatas satu jenis lamun yang
tumbuhmembentuk padang lebat, sedangkanvegetasi campuran terdiri dari 2 atau lebih jenis
lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Kehadiran jenistumbuhan lamun pada
suatu lingkunganperairan sangat dipengaruhi oleh faktor biologis,fisika dan kimia
lingkungan perairan dan penyebarannya hampir di seluruhzona intertidal dan zona subtidal,
sepanjangmasih dapat dijangkau oleh cahaya matahari (Tuapattinaya, 2012).
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal
yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk
umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi
yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat
mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula.
Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun
menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Anatomi yang khas dari
daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikula yang tipis. Kutikula daun
yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat
menyerap nutrien langsung dari air laut. Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang
seperti pita yang mempunyai saluran-saluran air. Bentuk daun seperti ini dapat
memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan proses
fotosintesis di permukaan daun (Tangke, 2010).
2.2.3. Identifikasi Lamun
Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada perairan laut
dangkal yang berdasar lumpur atau pasir. Lamun ini terdiri dari dua suku (famili) yaitu suku
Potamogetonacea (9 marga, 35 jenis) dan suku Hydrochoraticea (3 marga, 15 jenis). Dari 50
jenis lamun tersebut, ada 12 jenis yang telah ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium
isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila decipiens,
Halodule pinifolia, Halodule uninervis. Thalassodendron ciliatum, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Di antara ke dua belas
jenis lamun tersebut. Thalassendron ciliatum mempunyai sebaran yang terbatas,
sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya.
Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru ditemukan Teluk Jakarta, Teluk
Moti-moti dan Kepulauan Aru yang berada di provinsi Maluku (Wuri et al., 2016).
Salah satu metode identifikasi lamun adalah metode transek Kuadran. Transek
kuadran terdiri dari transek dan frame berbentuk kuadran. Transek adalah garis lurus
yang ditarik diatas padang lamun. Kuadran adalah frame atau bingkai berbentuk kuadran
(segi empat) yang diletakkan pada garis tersebut. Metode transek kuadran dilakukan untuk
mengetahui keanekaragaman jenis lamun yang ada di daerah tersebut (Wuri et al., 2016).
2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Lamun
a) Temperatur
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain
dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun.
Pada kisaran suhu 25 - 30°C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu.
Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran
yang lebih luas yaitu 5-35°C. Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Suhu rata-rata untuk
pertumbuhan lamun berkiasar antara 24-27°C (Patty, 2016).
b) Salinitas
Salinitas adalah derajat jumlah garam dalam gram yang terkandung didalam satu
kilogram air laut.Salinitas normal yang masih mampu ditolerir oleh lamun ada pada
kisaran 10–40 ppt dan optimum pada salinitas 35 ppt. Salinitas juga dapat berpengaruh
terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis
Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada
salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas,
namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Patty, 2016).
c) Kecerahan
Lamun tumbuh di perairan dangkal karena membutuhkan cahaya matahari. Namun pada
perairan jernih yang memungkinkan penetrasi cahaya dapat masuk lebih dalam, maka lamun
dapat hidup di daerah tersebut. Kemampuan tumbuh lamun pada kedalaman tertentu sangat
dipengaruhi oleh saturasi cahaya setiap individunya. Kekeruhan karena suspensi sedimen dapat
menghambat penetrasi cahaya, dan secara otomatis kondisi ini akan mempengaruhi
pertumbuhan lamun. Selaim itu, kekeruhan juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan epifitic
algae dan fitoplankton, limbah domestik dan limbah organik, yang semuanya dapat
menurunkan keberadaan energi cahaya untuk pertumbuhan lamun, yang akhirnya juga
mempengaruhi biota yang di habitat lamun tersebut seperti ikan, beberapa jenis moluska dan
krustasea (Patty, 2016).
d) Kedalaman
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman
30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,
Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum
mendominasi zona intertidal bawah. Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap
kerapatan dan pertumbuhan lamun (Patty, 2016).
e) Nutrien
Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi
lamun pada perairan yang jernih. Unsur N dan P bentuk terlarut dapat dipertukarkan yang dapat
dimanfaatkan oleh lamun. Ditambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam
menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai
kapasitas penyerapan yang paling tinggi. Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun
dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik.
Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun (Patty, 2016).
f) Substrat
Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan lamun ditandai dengan
kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan
kehidupan lamun yang tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat, lamun akan tumbuh
subur yaitu berdaun panjang dan rimbun serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin
tinggi. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup dua hal, yaitu :
pelindung tanaman dari arus laut. Tempat pengolahan dan pemasok nutrient. Padang lamun
hidup diberbagia tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari 40%
endapan Lumpur dan fine mud. Semua tipe substrat dihuni oleh tumbuhan lamun mulai dari
lumpur lunak sampai batu-batuan, tetapi lamun yang paling luas dijumpai pada substrat yang
lunak. Berdasarkan tipe karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh diperairan
Indonesia dapat dikelompokkan menjai 6 kategori, yaitu : Lumpur, Lumpur pasiran, Pasir, Pasir
lumpuran, Puing karang dan Batu karang. (Patty, 2016).
2.2.5. Manfaat Lamun
Lamun merupakan sumber utama produktivitas primer di perairan dangkal di seluruh
dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme (dalam bentuk detritus).
Selanjutnya mereka berfungsi menstabilkan dasar-dasar lunak dimana kebanyakan spesies
tumbuh, terutama dengan sistem akar yang padat dan saling menyilang. Penstabilan dasar olah
akar ini sangat kuat dan mampu bertahan dalam topan badai sekalipun. Sebaliknya, sistem ini
dapat melindungi banyak organisme. Lamun dapat diolah sebagai sumber pupuk hijau. Padang
lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut (Purnomo, et. al., 2017).
Padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan
dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes). Daun lamun
yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di
sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan
mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi
padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi . Lamun
memegang peranan yang sangat penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen
langka yang dibutuhkan berbagai biota dilingkungan laut (Purnomo, et. al., 2017).
2.2.6. Flora dan Fauna di Ekosistem Lamun
Ekosistem padang lamun mampu menciptakan kondisi lingkungan yang dapat
menopang proses kehidupan berbagai macam jenis biota laut (krustasea, moluska,
ekhinodermata dan ikan)baik dalam bentuk dewasa maupun larva. Di daerah padang lamun,
organisme melimpah, karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari
predator dan kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber bahan makanan baik daunnya
mapupun epifit atau detritus. Jenis-jenis polichaeta dan hewan–hewan nekton juga banyak
didapatkan pada padang lamun. Lamun juga memproduksi sejumlah besar bahan bahan organik
sebagai substrat untuk algae, epifit, mikroflora dan fauna komunitas lamun ini mempunyai
kemampuan menstabilkan sedimen sehingga bisa mencegah erosi (Lubis et al.,.2017).
Pada padang lamun ini hidup berbagai macam spesies hewan, yang berasosiasi. Di
perairan Pabama ada 96 spesies hewan yang berasosiasi dengan beberapa jenis ikan. Di teluk
Ambon di temukan 48 famili dan 108 jenis ikan. Di Teluk Ambon ditemukan 48 famili dan
108 jenis ikan adalah sebagai penghuni lamun, sedangkan di Kepulauan Seribu sebelah
utara Jakarta di temukan 78 jenis ikan yang berassosiasi dengan padang lamun. Selain ikan,
sapi laut dan penyu serta banyak hewan invertebrata yang berassosiasi dengan padang lamun,
seperti: Pinna sp, beberapa Gastropoda, Lambis, Strombus, teripang, bintang laut,
beberapa jenis cacing laut dan udang (Peneus doratum) yang ditemukan di Florida selatan.
Apabila air sedang surut rendah sekali atau surut purnama, sebagian padang lamun akan
Nampak keluar dari air terutama bila komponen utamanya adalah Enhalus acoroides, sehingga
burung-burung berdatangan mencari makanan di padang lamun ini. Jenis-jenis polichaeta dan
hewan–hewan nekton juga banyak didapatkan pada padang lamun. Lamun juga merupakan
komunitas yang sangat produktif sehingga jenis-jenis ikan dan fauna invertebrata melimpah di
perairan ini (Lubis et al.,.2017).
2.2.7. Persebaran Lamun di Perairan Utara Jawa
Taman Nasional Karimunjawa adalah salah satu kawasan pelestarian alam di
Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah yang memiliki ekosistem asli. Taman Nasional ini
dikelola dengan sistem zonasi yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Ekosistem
Karimunjawa terbagi atas lima tipe ekosistem yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, hutan
pantai, hutan mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Dengan segala
potensi yang ada di dalamnya, wilayah tersebut telah dijadikan penyangga kehidupan bagi
8.842 penduduk yang selama ini berinteraksi dengan ekosistem di sekelilingnya. (BTNKJ,
2004). Pulau Karimunjawa merupakan salah satu pulau utama dari bagian Taman Nasional
Karimunjawa selain Pulau Kemujan dan Pulau Parang. Pulau Karimunjawa merupakan pulau
terbesar dibandingkan dengan pulau lainya yang berada di kepulauan Karimunjawa dengan luas
4.302,50 Ha (Hernawan et al., 2017).
Padang lamun yang tersebar luas di perairan dangkal merupakan ekosistem
bahari sangat produktif dan berperan penting dalam kehidupan tetapi sering kali kurang
mendapat perhatian. kondisi ekosistem padang lamun di perairan utara telah mengalami
kerusakan sekitar 20-30%. Adapun kerusakan tersebut antara lain disebabkan
pengembangan wilayah, penangkapan ikan yang tidak ramah ikan dan pencemaran.
Kerusakan akan berdampak kepada keanekaragaman dan perubahan luasaan. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan dan struktur komunitas lamun. Dari
kegiatan-kegiatan yang memberikan dampak tersebut, khususnya melihat perubahan pola
sebaran spasial lamun dan membuat rencana pengelolaan bagi kegiatan yang memberikan
dampak bagi lamun (Hernawan et al., 2017).
2.3. Terumbu Karang
2.3.1. Definisi Karang
Karang merupakan hewan yang penyusun utamanya adalah hewan avertebrata laut
sederhana yang berbentuk tabung dan diselimuti dengan kerangka berbentuk kapur (skeleton).
Karang tergolong dalam Filum Coelenterata (Cnidaria). Cnidaria terbagi menjadi dua
kelompok yaitu karang keras (hard coral) dan karang batu. Karang keras merupakan
sebutan umum dari Ordo Scleractina (Kelas Anthozoa) sedangkan istilah karang batu
(stony coral) merupakan sebutan untuk karang Heliopora dan Millepora dari Kelas
Hydrozoa. Dalam kerangka ekologis, terumbu karang sebagai tempat mencari makan dan
tempat hidup berbagai hewan organisme hewan maupun tumbuhan laut seperti, ikan,
penyu, udang, kerang dan rumput laut (Prasetia, 2012).
Secara alami karang dapat membentuk terumbu dengan melakukan reproduksi baik
secara seksual dan aseksual. Secara seksual karang akan mengalami masa kritis dalam daur
hidupnya saat pelepasan planula untuk mencari subsrat yang optimal untuk kelangsungan
hidupnya. Jika hal inimdapat terjadi dengan baik dan karang menemukan tempat dan subsrat
yang tepat sehingga karang akan dapat tumbuh secara optimal dan sehat (Prasetia, 2012).
2.3.2. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem bawah laut yang terdiri dari hewan-
hewan karang dan alga koralin yang membentuk suatu struktur karbonat biogenik yang
terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Umumnya terumbu karang dikelompokkan menjadi
empat tipe, yaitu: terumbu cincin (atol), terumbu penghalang (barrier reef), terumbu tepi
(fringing reef), dan terumbu yang belum mencapai permukaan (patch reef). Atol merupakan
terumbu berbentuk cincing yang muncul di perairan dalam. Indonesia memiliki atol
terbesar yang dapat ditemukan di Takaboneraten (Sulawesi Selatan). Terumbu tepi dan
penghalang terletak dekat dengan daratan, terumbu tepi terletak di dekat pantai dan terumbu
penghalang terletak di perairan yang lebih dalam. Terumbu tepi dan penghalang dapat
ditemukan disemua perairan termasuk Indonesia. Terumbu penghalang terbesar didunia
berada di pantai timur Australia terbentang hampir mencapai 2000 km yaitu Great Barrier
Reef (Suryanti et al., 2011).
Terumbu karang merupakan ekosistem dinamis dengan kekayaan biodivertasnya serta
produktivitas yangtinggi, karena itu ekosistem terumbu karang mempunyai peran yang
signifikan.Dalam kerangka ekologis, terumbu karang sebagai tempat mencari makan dan
tempat hidup berbagai hewan organisme hewan maupun tumbuhan laut seperti, ikan, penyu,
udang, kerang dan rumput laut.Secara fisik terumbu karang juga menjadi pelindung pantai dan
kehidupan ekosistem dangkal lainnya dari abrasi oleh ombak dan badai (Suryanti et al., 2011)
2.3.3. Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan (Life Form)
Menurut bentuk pertumbuhannya (coral lifeform) karang dibedakan menjadi
Acropora dan non Acropora, dengan perbedaan morfologi berupa tipe bercabang
(branching), tipe padat (massive), tipe merayap (encrusting), tipe daun (foliose), tipe
meja (tabulate), serta tipe jamur (mushroom). Acropora adalah genus karang
scleractinian di Filum Cnidaria. Saat ini ada 149 spesies dijelaskan . Acropora salah satu
bangunan utama terumbu karang, ia bertanggung jawab untuk membangun kalsium
karbonat substruktur besar yang mendukung kulit hidup tipis karang. Acropora paling
umum berada di lingkungan terumbu dangkal dengan cahaya terang dan gerakan air
yang tinggi. Banyak ikan karang kecil yang tinggal di dekat koloni Acropora dan akan
bersembunyi ke semak cabang jika terancam. Karang ini memiliki zooxanthellae, simbiosis
alga yang hidup dalam sel karang dan menghasilkan energi untuk hewan melalui
fotosintesis. Acropora rentan terhadap pemutihan ketika stres. Pemutihan ini disebabkan
hilangnya zooxanthellae karang, yang merupakan warna cokelat keemasan. Karang bisa mati
jika zooxanthellae baru tidak dapat berasimilasi. Penyebab umum pemutihan dan kematian
karang termasuk polusi, suhu air normal hangat, pengasaman laut meningkat,
sedimentasi, dan eutrofikasi. Acropora Kebanyakan coklat atau hijau tetapi beberapa
berwarna cerah. (Graham, 2014).
Karang non-Acropora terdiri atas beberapa jenis, yaitu: Coral branching (CB),
bentuknya bercabang seperti ranting pohon. Contoh : Acropora sp, Echinopora sp,
Pocillopora meandrina, Pocillopora eyrduxi, Tubastrea micranatha. Coral massive (CM),
bentuknya seperti batu. Contoh : Porites lobata, Porites lutea, Cyphastrea sp, Goniastrea sp,
Astreopora sp, Montipora sp, Symphyllia sp, Favia sp, Porites sp, Favitas sp Coral submassive
(CS), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Contoh: Pocillopora
eyeduxi, Pocillopora verucosa Coral foliose (CF), bentuk menyerupai lembaran daun Contoh :
Echinopora lamellosa, Montipora sp. Coral mushroom (CMR), bentuk menyerupai jamur.
Coral Millepora (CME), semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya warna
kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar apabila tersentuh langsung oleh
tangan (Graham, 2014).
2.3.4. Habitat (Hubungan Ekologi Karang dengan Parameter Oseanografi)
Beberapa faktor fisik dan kimia yang membatasi distribusi dan pertumbuhan
karang yaitu faktor kecerahan, temperatur (250 C -290 C), salinitas (32-35 ppt),
sedimentasi, dan arus. Oleh karena itu distribusi terumbu karang terbatas pada wilayah
lingkungan laut yang memiliki syarat pertumbuhan karang saja. Faktor cahaya berperan
dalam mengakibatkan tendensi luas permukaan dan volume karang sehingga semakin
tinggi cahaya maka karang akan mengarah kepada bentuk luas permukaan yang lebih
melebar namun volume menurun. Bentuk karang akan mengarah ke plate atau tabulate.
Faktor hidrodinamis seperti gelombang dan arus akan menyebabkan perubahan secara
horizontal (Guntur, 2013).
Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukanperairan
yang jernih dengan suhu perairan yang hangat, gerakangelombang yang besar dan
sirkulasi air yang lancar serta terhindar dariproses sedimentasi. Ekosistem terumbu
karang memiliki kemampuan yangbaik dalam memperbaiki bagian yang rusak apabila
karakteristik habitatdari berbagai macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan
yang memengaruhinya terpelihara dengan baik.Seperti ekosistem lainnya, terumbu
karang tidak memerlukan campur tangan atau manipulasilangsung manusia untuk
kelangsungan hidupnya (Guntur, 2013).
2.3.5 Faktor Pertumbuhan Karang
Di perairan tropis, pembentukan karang terutama pada karang keras sangat dipengaruhi
oleh peranan karbon (C) dalam proses klasifikkasi oleh binatang karang dan fotosintesis yang
dilakukan oleh simbiosis alga (zoozanthellae). Luasan dan kemiringan permukaan juga
mempengaruhi pertumbuhan karang. Luasan dan kemiringan permukaan terumbu buatan
mempengaruhi proses penempelan flanula karang. Flanula karang akan menempel pada bagian
permukaan terumbu buatan yang tidak terkena arus atau terkena arus cukup kecil. Arus punya
peranan yang cukup besar dalam penempelan flanula dan pertumbuhan karang (Arini, 2013).
Laju pertumbuhan karang berbeda-beda tergantung pada umur, spesies, dan
kondisi lingkungan dimana karang itu tumbuh seperti faktor kedalaman, laju
sedimentasi, cahaya, dan suhu. Koloni massive genus Porites (seperti Porites lutea,
Porites lobata) adalah karang penting dalam menyusun terumbu karang di Kepulauan
Indonesia. Karang Porites mempunyai sebaran yang Iuas dan tersebar di seluruh Indonesia.
Hal ini disebabkan Karang Porites merupakan karang yang mampu hidup pada berbagai
kondisi Iingkungan seperti pada daerah yang memiliki ragam variasi dalam sedimentasi
tinggi, daerah yang mempunyai fluktuasi salinitas yang tinggi. Sebagai ekosistem yang
sangat produktif pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkesinambungan
sangatlah penting artinya (Arini, 2013).
2.3.6. Faktor Kerusakan Karang
Pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak telah dianggap
sebagai penyebab utama rusaknya terumbu karang. Faktor kerusakan karang yang
lebih potensial adalah kenaikan suhu permukaan air laut yang akan menyebabkan
karang-karang mengalami pemutihan (coral bleaching). Pemutihan karang terjadi karena ada
peningkatan suhu dan sinar ultra violet yang tinggi, sehingga mempengaruhi psikologi karang
(stress). Penyebabnya adalah menghilangnya alga yang bersimbiosis (zooxanthella) yang
merupakan tempat bergantungnya polip karang untuk mendapatkan makanan. Jika pemutihan
karang terjadi terlalu lama (lebih dari 10 minggu), maka polip karang akan mati. (Salim, 2012).
Faktor lain kerusakan karang adalah adanya sedimentasi dan pencemaran air laut.
Sedimen yang berada di laut akan menutupi cahaya matahari yang mengakibatkan
karang akan tertutupi dan kekurangan cahaya matahari. Pengendapan sedimen yang
tinggi pada suatu perairan akan mengandung bahan organik melimpah dan baik menjadi
nutrisi bagi bakteri Patogen. Hal ini disebabkan oleh nutrisi yang melimpah seperti nitrat dan
fosfat akibat sedimentasi yang tinggi menyebabkan fotosintesis pada bakteri ini meningkat
sehingga akan meningkatkan aktivitas bakteri ini. Aliran air yang sudah dicemari oleh
limbah sisa pembuangan dapat lambat laun akan membuat karang mati. Bahan pencemar bisa
berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah limbah pertanian, perkotaan, pabrik,
pertambangan dan minyak (Salim, 2012).
2.3.7. Penyakit Karang
Menurut Hazrul (2016), Penyakit karang didefinisikan sebagai semua perusakan dari
suatu sistem atau fungsi penting organisme, mencakup gangguan (interruption), perhentian
(cessation), perkembang biakan (proliferation), atau kegagalan lain (other malfunction).
Penyakit karang (coral disease) tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun masih
banyak penyebab lainnya. Berdasarkan penyebabnya, penyakit karang dapat
digolongkan menjadi dua, yakni infeksi pathogen dan noninfeksi. Pathogen dibedakan menjadi
dua, yaitu mikro dan makro parasit. Sedangkan noninfeksi dapat berupa mutasi genetik,
kekurangan nutrisi, meningkatnya suhu air laut, radiasi ultraviolet, sedimenasi dan polutan.
Berikut ini adalah jenis-jenis penyakit karang yang umum dijumpai:
1. Black-band Disease
Black Band Disease (BBD) pertama kali di temukan diterumbu karang Belize, Karibia,
dan Bermuda pada tahun 1970-an dan menginfeksi karang otak Diploria stigosa. Kemudian
BBD menginfeksi karang dibeberapa perairan yaitu di Great Barrief Reef dan laut merah yang
menginfeksi karang jenis Acropora. Infeksi BBD ini juga ditemukan diperairan Indonesia
antara lain di Pulau Karimunjawa yang menginfeksi pada karang Acropora sp. dan pada
karang jenis Pachyseris sp. di perairan Pulau Barrang Lampokota Makassar. Penyakit karang
BBD disebabkan oleh mikroorganisme yang berikuran kecil kurang dari 1 mm yaitu
Phormidium corallyticum. Bakteri ini menyerang karang yang dapat berakibat pada kematian
karang. Setelah karang mati akan ditumbuhi oleh alga filamen. P. corallyticum merupakan
bakteri Cyanobacteria yang mendapatkan kebutuhan energinya melalui proses fotosintesis.
Bakteri ini dapat memproduksi racun yang menyebabkan penyakit BBD yaitu microcystin.
Racun tersebut mengganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidup simbiotik karang yaitu
Zooxhanthellae. Penyakit karang BBD juga didukung oleh kondisi fisik yang kurang baik
pada perairan laut tempat tinggal terumbu karang, seperti sedimentasi. Diketahui bahwa warna
hitam pada penyakit BBD, disebabkan pada ketergantungan kondisi vertikal populasi bakteri
cyanobacteria ini, yang posisi vertikal tersebut berdasarkan akan respon cahaya dari intensitas
photik filamen bakteri cyanobacteria. Semakin tebal band-nya maka semakin gelap pula
warnanya. Warna hitam BBD dihasilkan dari pigmen fotosintesis bakteri cyanobacteria.
Bakteri patogen termasuk bakteri cyanobacteria ini tumbuh pada hewan karang dibeberapa
tempat seperti lapisan lendir (mucus), gastrodemis, dan pada skeleton karang.
2. Dark Spots Disease
Dark spots disease dalam jaringan karang masif telah banyak dikenal, tetapi
belum banyak yang dipelajari. Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen gelap,
warna coklat atau warna ungu yang menyerang pada karang scleractinian. Jaringan
karang yang tertinggal terlihat tetap utuh, walaupun terkadang mengakibatkan kematian
jaringan karang dalam pusat bintik. Warna ungu gelap ke coklatan atau kelabu dari
jaringan tersebut sering melingkar pada permukaan, tapi kadang kadang dijumpai juga
bentuk yang tidak beraturan pada permukaan koloni (bercak warna ungu terang terlihat
pada pemutihan koloni). Penyebab penyakit ini belum diketahui, namun diduga disebabkan
oleh adanya akumulasi sedimen pada suatu bintik hitam.
3. Red-band Disease
Penyakit ini menyerupai Black-band disease (BBD). Suatu “band coklat” telah
menginfeksi karang di Great Barrier Reef. RBD adalah suatu lapisan microbial yang
berwarna merah bata atau coklat gelap, dan warna tersebut mudah dilihat pada permukaan
jaringan karang. RBD yang ditemukan di perairan Carribean barat Amerika, sedangkan
“Brown Band” ditemukan di Great Barrier Reef. Penyakit RBD dan BBD menunjukkan ada
gejala yang sama, yaitu hilangnya jaringan karang. Penyakit ini disebabkan karena rangka
karang tercemar oleh alga berfilamen dan adanya akumulasi sedimen, yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karaang baru.
4. White-band Disease
White-band disease (WBD) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk
Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang
yang bercabang. Hilangnya jaringan tersebut akan menyebabkan suatu garis pada koloni
karang, oleh karena itu penyakit ini disebut white-band disease atau WBD. Berbeda
dengan kasus BBD, pada penyakit ini tidak ditemukan adanya kumpulan jasad renik
yang konsisten yang menyebabkan terjadinya pengelupasan pada jaringan dan rangka
karang yang kosong. Pada bagian jaringan Acropora cervicornis, hanya hilang pada
pertengahan suatu cabang. Rangka karang yang kosong segera akan diganti dengan alga
berfilamen. Band rangka yang berwarna kosong yang terlihat, lebarnya dapat mencapai
antara 5-10 cm. Jaringan karang yang tersisa pada cabang tidak menunjukkan adanya
pemutihan, walaupun koloni yang terpengaruh secara keseluruhan terlihat adanya goresan
warna. Penyebab terjadinya WBD masih belum banyak diketahui, namun sudah ditemukan
adanya kumpulan bakteri pada jaringan karang yang mampu meluas dari satu koloni ke
koloni lainnya. Pada saat ini, para peneliti masih belum mampu mengidentifikasi peranan
mikroorganisme yang ada pada jaringan karang yang terkena penyakit tersebut.
5. Penyakit Yang Disebabkan Bakteri
Salah satu jenis penyakit karang yaitu white pox pernah menyebar dan telah
membunuh karang sekitar 90% karang bercabang Acropora palmala di terumbu karang
Caribbean sehingga jenis karang ini menjadi spesies yang hampir punah. Kematian
karang rata-rata mencapai 10 m2/hari yang disebabkan oleh bakeri Serratia marcescens.
Bakteri Serratiaini ternyata juga menyerang manusia tepatnya pada usus dan banyak
pasien di rumah sakit menderita karena bakteri ini. Virus vibrio (Tibrio AK-1) juga telah
ditemukan dapat membunuh dengan cepat jaringan karang Oculino patagonica dengan
kecepatan beberapa sentimeter perhari Kemudian jenis karang Octocorallia (Gorgonia
ventalina) mengalami kematian di Caribbean karena adanya jamur yang pada umumnya
sering ditemukan di tanah yaitu Aspergillus sydowii.
6. Tumor Karang
Karang terserang tumor dapat terlihat dari ciri-ciri yang nampak seperti ada
bagian polip karang dalam satu koloni yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dari
bagian yang lain (hyperplasia) dan tumor (seperti neoplasm; pertumbuhan yang tidak
normal dari jaringan bagian koloni karang, mutation; perubahan bentuk). Tumor pada
karang biasanya muncul berupa gumpalan pada bagian koloni karang dengan densitas
zooxanthella lebih rendah dari bagian koloni yang sehat. Tumor tumbuh pada bagian
tubuh karang tetapi tidak membunuh koloni. Namun pada bagian koloni yang bertumor
akan mengalami penurunan jumlah polip dan fekunditas, hal inilah yang menjadi indikasi
bahwa koloni karang terinfeksi karang. Kemudian karakteristik terakhir dari karang
yang terserang tumor adalah tentakel tidak muncul dan morfologi dari spesies karang
tersebut hilang pada bagian yang ada tumornya. Karang yang memiliki tumor akan lebih
sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti kenaikan suhu sehingga lebih cepat mati
dibandingkan dengan karang yang berkondisi sehat. Kemudian karang yang bertumor juga
mengalami penurunan kapasitas reproduksinya. Karang yang bertumor akan mengalami tingkat
reproduksi (oogenesis) yang menurun karena untuk proses oogenesis karang membutuhkan
lemak dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian juga semakin meningkatnya
kepekaan tumor terhadap suhu air yang tinggi akan lebih dekat dengan semakin rendahnya
kemampuan karang untuk menyimpan lemak sebagai cadangan energy di dalam tubuhnya, di
mana lemak sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme dan energi tambahan disaat stress.
2.3.8. Metode LIT
Transek garis digunakan untuk memonitoring struktur komunitas karang dengan
melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat, alga dan keberadaan biota
lain. Spesifikasi karang yang dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan
peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang hingga tingkat genus atau
spesies. Penggunaan metode ini memiliki kelebihan, yaitu akurasi data dapat diperoleh
dengan baik dan lebih banyak seperti struktur komunitas yaitu mengenai persentase
tutupan karang hidup/mati, kekayaan jenis, dominasi, frekuensi kehadiran, ukuran
koloni, dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh. Struktur
komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan baik. Metode Line
Intercept Transect ini mengidentifikasi jenis-jenis terumbu karang dengan bentuk
pertumbuhan (Aulia et al., 2012).
Pemantauan kondisi terumbu karang dapat digunakan beberapa metode pendeteksi
dini. Metode yang paling sering digunakan adalah metode LIT (Line Intercept Transect), yaitu
metode yang digunakan untuk menentukan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama
karang serta penutupan karang itu sendiri. Namun, metode LIT bukan merupakan metode satu-
satunya yang dapat digunakan memantau kondisi lingkungan terumbu karang. Terdapat pula
Reef Check dan metode yang dapat menggunakan suatu bioindikator (Aulia et al., 2012).
2.3.9. Perhitungan Tutupan Karang
Tutupan komunitas bentik ditentukan dari metode TGM dengan mengkalkulasikan
fraksi koloni yang menyinggung transek dan dikonversi ke bentuk persentase. Indeks pada
kematian karang dihitung dengan membagi besaran tutupan karang mati dengan karang
yang hidup ditambah karang mati. Pola keanekaragaman karang dinilai berdasarkan data
kelimpahan. Nilai kelimpahan karang yang diinterpolasi untuk memenuhi satuan ind/ha.
Kelimpahan karang keras digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman Shannon-
Wiener, indeks kemerataan, dan indeks dominansi di setiap lokasi (Putra et al., 2019)
Transek garis PIT (Point Intercept Transect) digunakan untuk menggambar
struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk
substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Analisis data meliputi perhitungan
penutupan karang dan kelimpahan dari kategori kesehatan karang. Perhitungan diketahui
dengan persamaan berikut: 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 = 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 (𝑐m) per
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘 (𝑐𝑚) 𝑥 100%. Untuk mengetahui kategori tutupan karang hidup
dengan pengkategorian (Putra et al., 2019)
2.3.10. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Utara Jawa
Pulau Menjangan Kecil adalah salah satu pulau yang berada di Kecamatan
Karimunjawa dan secara geografis terletak di titik koordinat 05053’10” -05053’50”
Lintang Selatan dan 110026’55” -110029’36 Bujur Timur. Pulau Menjangan Kecil
berdekatan dengan Pulau Menjangan besar dan Pulau Karimunjawa atau tepatnya di sisi
sebelah selatan kedua Pulau tersebut. Pulau Menjangan Kecil dipisahkan oleh selat yang
dapat ditempuh hanya dalam waktu 30 menit. Pulau Menjangan Kecil merupakan pulau
yang tidak berpenduduk tetapi terdapat resort untuk menginap para wisatawan maupun
peneliti. dengan luas 43,025 Ha . Pulau ini menjadi sering didatangi oleh wisatawan
Status kondisi dari persentase penutupan terumbu karang menggunakan metode LT (Line
Transec) di Pulau Menjangan Kecil menghasilkan persentase sebesar 54,31% tergolong
dalam kategori baik. Perubahan luasan habitat terumbu karang yang berkurang sebesar
14,1Ha(3,2%) dari tahun 2013-2017 (Ilham et al., 2018).

Berdasarkan hasil pengolahan dan klasifikasi pada tahun 2015 menunjukkan


sebaran spasial terumbu karang di perairan Pulau Panjang Jepara yang mendominasi.
Sedangkan pada tahun 2017 menunjukkan sebaran spasial substrat yang lebih
mendominasi. Perubahan sebaran spasial terumbu karang terlihat pada semua area Pulau
Panjang. Secara visual sebaran terumbu karang pada bagian tubir mengalami
perkembangan dan pada bagian rataan terumbu terlihat mengalami penurunan. Bagian
Baratdaya (zona 3) Pulau Panjang paling terlihat perubahan sebaran spasial terumbu
karang yakni pada bagian rataan (tahun 2015) berubah menjadi kelas substrat. Sedangkan pada
bagian Tenggara Pulau Panjang (zona 4) kelas terumbu karang mengalami
penambahankelas terumbu karang (Ilham et al., 2018).
III. MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Hari, tanggal : Jumat, 1 Mei 2019
Waktu : 10.00 WIB - selesai
Tempat : Pantai Blebak, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah
3.2 Alat dan Bahan (buat tabel, sertakan gambar alat dan fungsinya)
3.2.1. Mangrove
Table 1. Alat Praktikum Mangrove
Nama Alat Gambar Fungsi
Tali rafia Membuat transek 10 x 10 m,
5x 5 m, 1 x 1 m.

Plastic atau Ziploc Tempat sampel

GPS Menentukan koordinat


lokasi pengamatan

Alat tulis (papan, tabel Mencatat data hasil di


mangrove, bolpoin) lapangan
Buku identitas mangrove Mengidentifikasi mangrove

Kamera Alat dokumentasi

Jangka sorong Mengukur diameter batang


mangrove

Tabel 2. Bahan Praktikum Mangrove


Nama Bahan Gambar Fungsi
Ekosistem mangrove Ekosistem yang diamati

3.2.2 Lamun
Tabel 3. Alat PRaktikum Lamun
Nama Alat Gambar Fumgsi
Transek 1 x 1 m Batasan daerah pengamatan
Botol sampel Tempat sampel lamun

Skin dive Alat melakukan pengamatan


di bawah air

Kamera underwater Alat dokumentasi

Tabel sketsa transek Mencatat tegakan lamun di


setiap kotak

GPS Menentukan koordinat


lokasi pengamatan

Alat tulis (papan, bolpoin) Mencatat data hasil di


lapangan

Tabel 4. Bahan Praktikum Lamun


Nama Bahan Gambar Fungsi
Ekosistem lamun Ekosistem yang diamati
3.2.3. Karang
Tabel 5. Alat Praktikum Karang
Nama Alat Gambar Fungsi

Roll Meter 100 meter Mengukur Panjang transek

Skin dive Alat untuk snorkeling

Alat tulis (papan, newtop, Mencatat data hasil


pensil) lapangan

GPS Mengetahui koordinat lokasi


karang

Pelampung Menandai batas


pengambilan sampel

Life Jacket Membantu tubuh


mengapung di permukaan
air
Kamera Underwater Alat dokumentasi

Tabel 6. Bahan Praktikum Karang


Nama Bahan Gambar Fungsi
Ekosistem terumbu karang Ekosistem yang diamati

3.3 Metode
3.3.1. Mangrove
1. Transek 10x10 m,5x5m, dan 1x1m dipasang sebanyak tiga stasiun
2. Titik koordinat lokasi pengamatan ditentukan menggunakan GPS dan dicatat
3. Tinggi dan vegetasi mangrove yang ada di setiap transek di hitung dan hitung
juga diameter pohon dengan menggunkan jangkasorong kemudian di tulis
dalam tabel form mangrove
4. Setelah diamati dengan menggunakan ciri-ciri yang ada maka dapat ditentukan
spesies dari mangrove tersebut
5. Tipe substrat dan biota yang hidup disekitarnya dicatat.
3.3.2 Lamun
1. Alat disiapkan terlebih dahulu.
2. Lokasi pengamatan ditentukan dan dicari koordinat lokasinya menggunakan
GPS
3. Lokasi dibagi menjadi 3 transek dengan transek A, transek B dan transek C.
4. Pengamatan dan pendataan lamun dilakukan setiap transek mulai dari jenis,
jumlah maupun biota lain yang ada di dalam kotak setiap transek
5. Hasil ditulis dalam laporan sementara, kemudian setiap stasiun bergeser
sebanyak 2 kali, sehingga total stasiun ada 3 dengan 3 transek tiap stasiunnya.
3.3.3. Karang
3.3.3.1. Pemasangan Transek
1. Alat pemasangan transek disiapkan
2. Botol pelampung kuning dipasang sebagai titik awal.
3. Roll meter 100 meter disebar dari titik 0 sampai 100 meter
4. Transek dibatasi menjadi empat segmen yaitu 0-20 m, 25-45 m, 50-70 m, dan
75-95 m
5. Botol pelampung kuning dipasang sebagai titik akhir
3.3.3.2 Pengambilan Data
1. Alat pengambilan data disiapkan.
2. Kertas newtop diletakkan diatas papan dan pensil mekanik disiapkan
3. Data tutupan karang diamati dengan cara berenang dengan life jacket dan skin
dive
4. Data persegmen dicatat
5. Hasil pengamatan dicatat pada lembar observasi
3.4. Diagram Alir
3.4.1 Mangrove

Mulai

Pemasangan transek mangrove

Lokasi data pengamatan ditentukan koordinatnya

Sampel seedling, sampling, dan pohon diidentifikasi dan dihitung


jumlah spesies mangrove

Data yang telah didapatkan dicatat dan diolah

Selesai

Gambar 2. Diagram Alir Mangrove


3.4.2 Lamun

Mulai

Alat disiapkan

Lokasi pengamatan dibagi menjadi 3 stasiun dan dicari koordinat


lokasinya dengan GPS

Pengamatan dilakukan setiap transek

Hasil ditulis dalam laporan sementara

Selesai

Gambar 3. Diagram Alir Lamun

3.4.3 Karang
3.4.3.1. Pemasangan Transek

Mulai

Lokasi ditentukan

Pemasanagn Transek

Transek dibagi empat segmen

Selesai

Gambar 4. Diagram Alir Karang


3.4.3.2. Pengambilan Data

Mulai

Alat tulis disiapkan

Melakukan pengamatan

Pengambilan data

Hasil dicatat pada lembar observasi

Selesai

Gambar 5. Diagram Alir Pengambilan Data Karang

3.5. Peta Titik Pengambilan Data


3.5.1. Mangrove

Gambar 6. Peta Titik Pengambilan Data Mangrove


3.5.2. Lamun

Gambar 7. Peta Titik Pengambilan Data Lamun

3.5.3. Karang

Gambar 8. Peta Titik Pengambilan Data Karang


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Mangrove
4.1.1.1. Plotting

Gambar. Stasiun A
Gambar. Stasiun B
Gambar. Stasiun C
4.1.1.2. Data Identifikasi
1. Transek Ukuran 1x1 meter
Tabel 1. Data Transek A Ukuran 1 x 1 meter
No. Spesies Tinggi (m) Diameter (cm) X Y Substrat Keterangan (%) Basal Area

1 Sesuvium portulacastrum merambat


Total 0

Tabel 2. Data Transek B Ukuran 1 x 1 meter


No. Spesies Tinggi (m) Diameter (cm) X Y Substrat Keterangan (%) Basal Area

1
Total 0

Tabel 3. Data Transek C Ukuran 1 x 1 meter


No. Spesies Tinggi (m) Diameter (cm) X Y Substrat Keterangan (%) Basal Area
1 Rhizophora mucronata jumlah : 2, cover 12,5% 12.5
Total 0

2. Transek Ukuran 5x5 meter


Tabel 4. Data Transek A Ukuran 5 x 5 meter
No. Spesies Tinggi (m) Diameter (cm) X Y Substrat Keterangan Basal Area
patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
1 Rhizophora apiculata 2.5 2.83 3 1 pasir 6.287
laba
patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
2 Excoecaria agallocha 1.5 1.2 1 1 pasir 1.130
laba
patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
3 Xylocarpus granatum 1.2 1.71 1 3 pasir 2.295
laba
patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
4 Xylocarpus granatum 1.3 1.71 1 4 pasir 2.295
laba
Total BA Rhizophora apiculata 6.2869865
Total BA Excoecaria agallocha 1.1304
Total BA Xylocarpus granatum 4.590837

Tabel 5. Data Transek B Ukuran 5 x 5 meter


Tinggi Diameter
No. Spesies X Y Substrat Keterangan Basal Area
(m) (cm)
1 pasir pecahan patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
Rhizophora stylosa 9.182
0.9 3.42 6 3 karang laba
2 pasir pecahan patah, biota : ikan kecil, kepiting, siput, laba-
3.528
Rhizophora mucronata 0.8 2.12 5 4 karang laba
Total BA Rhizophora stylosa 9.181674
Total BA Rhizophora mucronata 3.528104

Tabel 6. Data Transek B Ukuran 5 x 5 meter


Tinggi Diameter
No. Spesies X Y Substrat Keterangan Basal Area
(m) (cm)
1 Rhizophora mucronata 1.9 1 5 3 lumpur fauna : mollusca 0.785
2 Rhizophora mucronata 1.5 1 4 4 lumpur fauna : mollusca 0.785
Total BA Rhizophora mucronata 1.57

3. Transek Ukuran 10x10 meter


Tabel 7. Data Transek A Ukuran 10 x 10 meter
Tinggi Diameter
No. Spesies X Y Substrat Keterangan Basal Area
(m) (cm)
1 Rhizophora apiculata 4.1 5 1 9 pasir kepiting, siput 17.422
2 Rhizophora apiculata 4.2 5 2 10 pasir kepiting 17.348
3 Rhizophora apiculata 4.1 4.5 9 6 pasir kepiting, siput 15.896
Total BA Rhizophora apiculata 50.66619377
Tabel 8. Data Transek B Ukuran 10 x 10 meter
Tinggi Diameter
No. Spesies X Y Substrat Keterangan Basal Area
(m) (cm)
1 1.8 4.32 6 3 Pasir pecahan rajungan, keong
Rhizophora stylosa 14.650
karang
2 2 4.07 3 3 Pasir pecahan patah, fauna: kepiting, kelomang
Rhizophora stylosa 13.003
karang
3 1.8 4.02 6 3 Pasir pecahan patah, fauna: kepiting, kelomang
Rhizophora stylosa 12.686
karang
4 2.3 4.45 5 9 Pasir pecahan patah, fauna: kepiting, kelomang
Rhizophora mucronata 15.545
karang
5 2.3 4.41 5 9 Pasir pecahan patah, fauna: kepiting, kelomang
Rhizophora mucronata 15.267
karang
Total BA Rhizophora stylosa 40.3393445
Total BA Rhizophora mucronata 30.811721

Tabel 9. Data Transek C Ukuran 10 x 10 meter


Tinggi Diameter
No. Spesies X Y Substrat Keterangan Basal Area
(m) (cm)
1 Rhizophora mucronata 5 8 2 5 Lumpur bivalvia, insecta, crustacea 50.240
2 Rhizophora mucronata 3.5 4.2 3 1 Lumpur mollusca, crustacea 13.847
3 Rhizophora mucronata 3.5 4.2 7 1 Lumpur mollusca, crustacea 13.847
4 Rhizophora mucronata 5 6.5 7 5 Lumpur amfibi, pisces 33.166
Total BA Rhizophora mucronata 111.101

4.1.1.3. Hasil Pengolahan Data


1. Transek Ukuran 1x1 meter
Tabel 10. Hasil Pengolahan Data Mangrove Transek Ukuran 1x1 meter
2
Lokasi Sampling No Spesies ni A (m ) ni/N K KR (%) H' Keterangan J' Keterangan BA Ci Rci BAi/BA DR (%) D NP (%)
1. Sesuvium portulacastrum 1 0.5 0 0 0 0
A Jumlah (Σ) 0 1 0.5 0 0 0 0
2. 0 0 0 0 0 0
B Jumlah (Σ) 0 0 0 0 0 0
3. Rhizophora mucronata 1 0.5 0 0 0
C Jumlah (Σ) 0 1 0.5 0 0 0

2. Transek Ukuran 5x5 meter


Tabel 11. Hasil Pengolahan Data Mangrove Transek Ukuran 5x5 meter
1. Rhizophora apiculata 1 25 0.25 0.04 25% 1.3862944 keanekaragaman sedang 1 keanekaragaman rendah 6.287 0.25148 0.23916 0.52356 0.125 0.04 38%
Excoecaria agallocha 1 25 0.25 0.04 25% 1.3862944 keanekaragaman sedang 1 keanekaragaman rendah 1.130 0.043 0.09414 0.125 0.04 38%
A 2.
3. Xylocarpus granatum 2 25 0.5 0.08 50% 0.6931472 keanekaragaman rendah 0.5 keanekaragaman rendah 4.591
0.04522
0.18363 0.17464 0.38231 0.25 0.08 75%
Jumlah (Σ) 4 25 1 100% 12.008 0.48033 0.45679 1 0.5 0.16 150%
1. Rhizophora stylosa 1 25 0.5 0.04 50% 0.6931472 keanekaragaman rendah 1 keanekaragaman rendah 9.182 0.36727 0.34927 0.72241 0.125 0.04 63%
B 2. Rhizophora mucronata
Jumlah (Σ)
1
2
25
25
0.5
1
0.04 50%
100%
0.6931472 keanekaragaman rendah 1 keanekaragaman rendah 3.528
12.710
0.14112
0.50839
0.13421
0.48348
0.27759
1
0.125
0.25
0.04
0.08
63%
125%
1. Rhizophora mucronata 2 25 1 0.08 100% 0 keanekaragaman rendah 0 keanekaragaman rendah 1.570 0.0628 0.05972 1 0.25 0.08 125%
C Jumlah (Σ) 2 25 1 100% 1.570 0.0628 0.05972 1 0.25 0.08 125%

3. Transek Ukuran 5x5 meter


Tabel 12. Hasil Pengolahan Data Mangrove Transek Ukuran 5x5 meter
Lokasi Sampling No Spesies ni 2 ni/N K KR (%) H' Keterangan J' Keterangan BA Ci Rci BAi/BA DR (%) D NP (%)
A (m )
1. Rhizophora apiculata 3 100 1 0.03 100% 0 keanekaragaman rendah 0 keanekaragaman rendah 50.666 0.50666 0.21753 1 0.25 0.03 125%
A Jumlah (Σ) 3 100 1 100% 50.666 0.50666 0.21753 1 0.25 0.03 125%
1. Rhizophora stylosa 3 100 0.6 0.03 60% 0.5108256 keanekaragaman rendah 0.3173938 keanekaragaman rendah 40.339 0.40339 0.17319 0.56695 0.25 0.03 85%
B 2. Rhizophora mucronata
Jumlah (Σ)
2
5
100
100
0.4
1
0.02 40%
100%
0.9162907 keanekaragaman rendah 0.5693234 keanekaragaman rendah 30.812
71.151
0.30812
0.71151
0.13229
0.30548
0.43305 0.16667
1 0.41667
0.02
0.05
57%
142%
1. Rhizophora mucronata 4 100 1 0.04 100% 0 keanekaragaman rendah 0 keanekaragaman rendah 111.101 1.11101 0.477 1 0.33333 0.04 133%
C Jumlah (Σ) 4 100 1 100% 111.101 1.11101 0.477 1 0.33333 0.04 133%

4.1.2. Lamun
4.1.2.1 Data Lamun (tiaptransek)
Transek A
Tabel . Data Lamun Transek A Stasiun 1
Stasiun 1
A 34 45 46 63
B 17 109 37 18
C 43 98 42 35
D 64 21 56 25
TOTAL 753
Tabel. Data Lamun Transek A Stasiun 2
Stasiun 2
A 47 66 57 78
B 66 88 81 70
C 56 50 63 58
D 61 41 50 51
TOTAL 983
Tabel. Data Lamun Transek A Stasiun 3
Stasiun 3
A 75 40 50 39
B 45 66 38 43
C 41 47 35 38
D 44 47 43 33
TOTAL 724
Transek B
Tabel. Data Lamun Transek B Staisun 1
Stasiun 1
A 41 45 48 54
B 120 98 74 86
C 40 48 42 56
D 52 30 62 66
TOTAL 962
Tabel. Data Lamun Transek B Staisun 2
Stasiun 2
A 22 17 26 37
B 15 36 29 26
C 29 17 31 33
D 38 39 41 29
TOTAL 465
Tabel. Data Lamun Transek B Staisun 3
Stasiun 3
A 46 42 38 40
B 40 55 40 48
C 48 60 26 42
D 45 46 55 27
TOTAL 698
Transek C
Tabel. Data Lamun Transek C Staisun 1
Stasiun 1
A 68 103 97 114
B 84 112 107 93
C 105 63 107 130
D 99 72 97 87
TOTAL 1538
Tabel. Data Lamun Transek C Staisun 2
Stasiun 2
A 58 63 67 77
B 63 59 52 91
C 34 81 58 69
D 55 68 45 49
TOTAL 989
Tabel. Data Lamun Transek C Staisun 3
Stasiun 3
A 87 101 112 82
B 98 33 74 62
C 48 91 96 86
D 42 104 39 72
TOTAL 1227
4.1.2.2. Data KepadatanLamun
Transek A
Tabel. Data Kerapatan Lamun Transek A
Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4
B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4
D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4

Transek B
Tabel. Data Kerapatan Lamun Transek B
Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4
B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4
Thalassia hemprichii
C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4
D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4

Transek C
Tabel. Data Kerapatan Lamun Transek C
Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4 A A1 A2 A3 A4
B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4 B B1 B2 B3 B4
Thalassia hempricii, Enhalus acoroides
C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4 C C1 C2 C3 C4
D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4 D D1 D2 D3 D4

4.1.2.3 Data Presentase Penutupan Lamun


Transek A
Tabel. Data Presentase Penutupan Lamun Transek A
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides 100% 100% 100%
Transek B
Tabel. Data Presentase Penutupan Lamun Transek B
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia hemprichii 100% 100% 100%
Transek C
Tabel. Data Presentase Penutupan Lamun Transek C
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
Thalassia hempricii, Enhalus acoroides 100% 100% 100%

4.1.2.4 Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun


Transek A
Tabel. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek A
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
F FR F FR F FR
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1

Transek B
Tabel. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek B
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
F FR F FR F FR
Thalassia hemprichii
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1

Transek C
Tabel. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek C
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
F FR F FR F FR
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1

4.1.2.5 Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun


Transek A
Tabel. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek A
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
K KR K KR K KR
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
753 1 983 1 724 1
TOTAL 753 1 983 1 724 1

Transek B
Tabel. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek B
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
K KR K KR K KR
Thalassia hemprichii
962 1 465 1 698 1
TOTAL 962 1 465 1 698 1

Transek C
Tabel. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek C
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
K KR K KR K KR
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
1538 1 989 1 1227 1
TOTAL 1538 1 989 1 1227 1
4.1.2.6 Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun
Transek A
Tabel. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek A
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
P PR P PR P PR
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1
Transek B
Tabel. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek B
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
P PR P PR P PR
Thalassia hemprichii
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1
Transek C
Tabel. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek C
JENIS STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
P PR P PR P PR
Thalassia hempricii, Enhalus acoroides
1 1 1 1 1 1
TOTAL 1 1 1 1 1 1

4.1.2.7 Data Indeks Penting Lamun


Tabel. Data Indeks Penting Lamun
NO TRANSEK STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
1 A 3 3 3
2 B 3 3 3
3 C 3 3 3
4.1.2.8 Data Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Jumlah Individu Lamun
Transek A
Tabel. Data Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Jumlah Individu Transek A
STASIUN KEANEKARAGAMAN KESERAGAMAN DOMINANSI
1 2 0 1
2 2 0 1
3 2 0 1
Transek B
Tabel. Data Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Jumlah Individu Transek B
STASIUN KEANEKARAGAMAN KESERAGAMAN DOMINANSI
1 0 1 1
2 0 1 1
3 0 1 1
Transek C
Tabel. Data Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Jumlah Individu Transek C
STASIUN KEANEKARAGAMAN KESERAGAMAN DOMINANSI
1 0 1 1
2 2 0 1
3 0 1 1

4.1.3 Karang
4.1.3.1. Data Karang
Tabel . Data Karang

DATA LIFE FORM


Panjang Transek Life Form li
44 SI 44
60 ACE 16
111 SI 51
123 CS 12
185 0TSD 62
190 ACE 5
210 SI 20
265 CM 55
320 RB 55
350 CHL 30
370 RB 20
380 CM 10
400 CHL 20
430 CM 30
480 CM 50
590 SD 110
670 ACE 80
680 RB 10
723 SD 43
732 ACE 9
814 SD 82
902 CS 88
910 CM 8
914 CM 4
994 SI 80
1040 SD 46
1052 ACD 12
1190 SD 138
1213 CM 23
1261 SD 48
1310 CHL 49
1369 SD 59
1380 ACD 11
1409 SI 29
1460 ACS 51
1530 RB 70
1570 SD 40
1610 SD 40
1621 SD 11
1670 RB 49
1730 RB 60
1790 CM 60
1810 RB 20
1830 SD 20
1890 ACS 60
1970 RB 80
2040 CS 70
2540 ACS 40
2580 DC 40
2620 PIPA 40
2710 DC 90
2750 CB 40
2810 DC 60
2840 CS 30
2880 DC 40
2960 CS 80
3030 RB 70
3080 DC 50
3170 SD 90
3310 DC 140
3350 SD 40
3440 DC 90
3580 DC 140
3620 CM 40
3710 ACE 90
3760 RB 50
3800 DC 40
3880 DC 80
3980 SD 100
4060 SD 80
4200 RB 140
4300 ACB 100
4510 DC 210
5020 SD 20
5040 RB 20
5060 SD 20
5080 ACS 20
5100 SD 20
5180 ACS 80
5290 SD 110
5330 ACS 40
5340 SD 10
5380 ACS 40
5450 RB 70
5480 ACS 30
5500 SD 20
5540 ACD 40
5600 WT 60
5710 SD 110
5740 ACD 30
5760 RB 20
5790 RB 30
5820 CS 30
5870 ACS 50
5890 CS 20
5900 ACB 10
5920 ACS 20
5960 CE 40
5980 ACE 20
6030 SD 50
6050 RB 20
6120 SD 70
6170 ACS 50
6200 SD 30
6230 RB 30
6340 SD 110
6350 ACD 10
6360 CM 10
6400 SD 40
6420 RB 20
6480 SD 60
6550 CF 70
6570 RB 20
6630 ACS 60
6670 CM 40
6730 ACD 60
6760 RB 30
6800 CS 40
6830 ACS 30
6870 SD 40
6890 RB 20
6960 SD 70
7000 ACE 40
7625 CS 125
7750 ACB 125
7900 CE 150
8100 DC 200
8150 SD 50
8240 ACB 90
8340 CS 100
8390 RB 50
8500 ACD 110
8530 CM 30
8600 ACB 70
8670 ACS 70
8800 SD 130
8880 ACD 80
8920 CS 40
9030 CM 110
9100 DC 70
9160 ACS 60
9230 SD 70
9300 CS 70
9350 CE 50
9500 DC 150
TOTAL 8050

4.1.3.2. Total Panjang Transek


Tabel . Total Panjang Transek

Life
Transek Li TOTAL
Form
4300 100
5900 10
ACB 7750 125 395
8240 90
8600 70
1052 12
1380 11
5540 40
5740 30
ACD 353
6350 10
6730 60
8500 110
8880 80
60 16
ACE 190 5 260
670 80
732 9
3710 90
5980 20
7000 40
1460 51
1890 60
2540 40
5080 20
5180 80
5330 40
5380 40
ACS 5480 30 701
5870 50
5920 20
6170 50
6630 60
6830 30
8670 70
9160 60
CB 2750 40 40
5960 40
CE 7900 150 240
9350 50
CF 6550 70 70
350 30
CHL 400 20 99
1310 49
265 55
380 10
430 30
480 50
910 8
914 4
CM 1213 23 470
1790 60
3620 40
6360 10
6670 40
8530 30
9030 110
123 12
902 88
2040 70
CS 2840 30 705
2960 80
5820 30
5890 20
6800 40
7625 125
8340 100
8920 40
9300 70
2580 40
2710 90
2810 60
2880 40
3080 50
3310 140
3440 90
DC 1400
3580 140
3800 40
3880 80
4510 210
8100 200
9100 70
9500 150
PIPA 2620 40 40
320 55
370 20
680 10
1530 70
1670 49
1730 60
1810 20
1970 80
3030 70
3760 50
4200 140
RB 954
5040 20
5450 70
5760 20
5790 30
6050 20
6230 30
6420 20
6570 20
6760 30
6890 20
8390 50
185 62
590 110
SD 723 43 2039
814 82
1040 46
1190 138
1261 48
1369 59
1570 40
1610 40
1621 11
1830 20
3170 90
3350 40
3980 100
4060 80
5020 20
5060 20
5100 20
5290 110
5340 10
5500 20
5710 110
6030 50
6120 70
6200 30
6340 110
6400 40
6480 60
6870 40
6960 70
8150 50
8800 130
9230 70
44 44
111 51
SI 210 20 224
994 80
1409 29
WT 5600 60 60
TOTAL 8050 8050
4.1.3.3. Tabel Presentase Tutupan
Tabel . Total Presentase Tutupan Karang

LIFE FORM li KR % KR Cover Hard Coral Karang Mati Soft Coral Alga Sand Rubble
ACB 395 0,049068 4,91% 41,40% 17,39% 0,00% 0,00% 25,33% 11,85%
ACD 353 0,043851 4,39%
ACE 260 0,032298 3,23%
ACS 701 0,087081 8,71%
CB 40 0,004969 0,50%
CE 240 0,029814 2,98%
CF 70 0,008696 0,87%
CHL 99 0,012298 1,23%
CM 470 0,058385 5,84%
CS 705 0,087578 8,76%
DC 1400 0,173913 17,39%
PIPA 40 0,004969 0,50%
RB 954 0,118509 11,85%
SD 2039 0,253292 25,33%
SI 224 0,027826 2,78%
WT 60 0,007453 0,75%
TOTAL 8050 1 100,00% 41,40% 17,39% 0,00% 0,00% 25,33% 11,85%

4.1.3.4. Tabel Hasil Pengolahan Data


Tabel . Hasil Pengolahan Data

Life Total Panjang


Form % KR Transek
ACB 4,91% 395
ACD 4,39% 353
ACE 3,23% 260
ACS 8,71% 701
CB 0,50% 40
CE 2,98% 240
CF 0,87% 70
CHL 1,23% 99
CM 5,84% 470
CS 8,76% 705
DC 17,39% 1400
PIPA 0,50% 40
RB 11,85% 954
SD 25,33% 2039
SI 2,78% 224
WT 0,75% 60
TOTAL 100,00% 8050
4.1.3.5 Grafik Hasil Pengolahan Data

Gambar 10. Grafik Hasil Pengolahan Data Kerapatan Relatif Life Form

4.2. Pembahasan
4.2.1 Mangrove
4.2.1.1 Karakteristik Habitat Ekosistem Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.2 Bentuk Adaptasi Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.3 Kerapatan Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.4 Keanekaragaman Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.5 Keseragaman Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.6 Dominasi Mangrove di Pantai Blebak
4.2.1.7 Faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove di Pantai
Blebak
4.2.2. Lamun
4.2.2.1. Karakteristik Lamun di Pantai Blebak
Pada praktikum yang telah dilakukan didapat hasil pendataan lamun di Pantai Blebak
yang menunjukkan mayoritas lamun yang ditemui adalah spesies lamun Thalassia hemprichii.
Namun pada transek A dan C, ditemui beberapa tegakan dari spesies Enhalus acoroides. Hal
ini dikarenakan, adanya pengaruh dari kondisi substrat tempat hidupnya yang didominasi oleh
pasir. Lamun jenis Thallasia hemprichii hidup berada pada salinitas 3,5 – 60 ppm, dan juga
salinitas 24 – 35 ppm. Ciri dari ekologi Thalassia hemprichii yaitu hidup pada gelombang yang
cenderung tenang. Lain halnya dengan spesies Enhalus acaroides sebagai spesies pembanding
yang hidup di daerah lumpur berpasir dan cenderung hidup tergenang oleh zona yang dialui
oleh gelombang yang kencang.
Pada Pantai Blebak kondisi lamun yang ditemukan memiliki ciri yang agak berbeda,
yakni ukuran dan bentuk lamun yang lebih kecil dan pendek. Ini dikarenakan habitat lamun
yang tidak terlalu dalam, sehingga lamun tumbuh kecil dan pendek. Kebanyakan lamun yang
ditemukan adalah berwarna hijau gelap karena tertutup oleh sedimen dan beberapa lamun yang
sudah rusak.
4.2.2.2. Data Kepadatan Lamun
Dari data yang telah didapat menunjukkan bahwa kerapatan lamun didaerah tersebut
cukup rapat tetapi hanya pada titik tertentu dan tidak merata. Pada hasil diketahui bahwa
kerapatan lamun pada transek A, B dan transek C hampir semuanya terisi. Pada tabel data
kepadatan lamun, apabila kolom diisi dengan huruf, berarti di kolom pada transek tersebut
terdapat lamun. Berdasarkan keseluruhan data, umumnya semua transek memiliki kepadatan
lamun yang baik. Tetapi, pada transek B stasiun 2 kepadatan lamun diperoleh kepadatan lamun
yang kecil. Hal ini disebabkan karena di dalam transek tersebut hanya terdapat sedikit tegakan.
Data kepadatan pada stasiun A transek 1, 2 dan 3 memiliki kepadatan lamun yang cukup jauh
yaitu jumlah lamun di stasiun A transek 1 adalah 753 tegakan, Transek 2 sejumlah 962 tegakan
dan Transek 3 sebanyak 1538.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan lamun di pantai Blebak pada tiap
transek diantaranya banyaknya pembuangan limbah ke laut dari aktfitas manusia. Faktor
lainnya yaitu tingkat sedimentasi yang banyak, kerusakan habitat dan arus. Jika arus di pantai
tersebut kuat, maka lamun akan tumbuh menyebar dan merata, namun pada Pantai Blebak
dimana arus agak tenang, sehingga tumbuhan lamun tumbuh padat dan terpusat.
4.2.2.3. Keseragaman dan Keanekaragaman Lamun
Pada kawasan Pantai Blebak jenis yang ditemukan pada umumnya jenis Thalassia
hemprichii, ini menunjukkan adanya keragaman ditemukan walau hanya sedikit jenis Enhalus
acaroides yang ditemukan. Dari hasil ini menunjukkan bahwa jenis substrat yang ada sangat
cocok untuk lamun jenis ini. Faktor penyebaran Thalassia hemprichii disebabkan oleh substrat
yang mendukung di perairan tersebut yaitu berpasir yang memang merupakan ciri dari ekologi
Thalassia hemprichii dan gelombang yang cenderung tenang serta substrat yang cocok bagi
Thalassia hemprichii. Lain halnya dengan spesies Enhalus acaroides sebagai spesies
pembanding yang hidup di daerah lumpur berpasir dan cenderung hidup tergenang oleh zona
yang dialui oleh gelombang yang kencang sehingga mampu bertahan hidup.
Pada transek A Thalassia hemprichii dan Enhalus acaroides, pada transek B di temukan spesies
Thalassia hemprichii dan transek C di temukan spesies Thalassia hemprichii dan Enhalus
acaroides. Keseragamannya tinggi karena spesies nya hanya dua jenis dan keaenkaragaman
rendah.
4.2.2.4. Data Presentasi Penutupan Lamun
Data presentasi penutupan lamun yang diperoleh pada praktikum ini adalah 100%. Ini
artinya bahwa semua segmen dalam transek lamun terisi semua. Data presentase penutupan
lamun dihitung dari jumlah tegakan lamun dari setiap segmen. Faktor yang menyebabkan pada
setiap segmen terdapat tegakan lamun antara lain nutrient,substrat dan arus yang membantu
lamun tumbuh dengan baik. Pantai Blebak terletak di kawasan Pantai Utara Jawa, hal ini
menyebabkan arus pada perairan Pantai Blebak relatif tenang. Kecepatan arus memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Karena jika arus kencang, maka sedimen yang ada di
perairan tersebut akan ikut terbawa arus sehingga menyebabkan lamun tidak memiliki substrat
untuk tumbuh. Presentase yang diperoleh dapat mewakili jenis lamun yang ada di blebak karena
penempatan transek sudah dilakukan secara acak.
4.2.2.5. Peran Lamun di Dalam Tiga Ekosistem di Pantai Blebak
Pada ekosistem lamun di Pantai Blebak, banyak ditemukan beberapa jenis biota di
dalamnya. Beberapa jenis biota tersebut antara lain adalah kerang-kerang, mollusca, crustacea,
keong, bivalvia, kepiting, kelomang dan ikan-ikan kecil. Dengan ditemukannya beberapa jenis
biota pada ekosistem lamun ini, maka ekosistem padang lamun di perairan Pantai Blebak
memiliki fungsi yaitu feeding ground dan spawning ground, feeding ground sendiri berarti
tempat mencari makan serta spawning ground adalah tempat pemijahan. Dua fungsi tersebut
merupakan fungsi-fungsi utama yang ada pada lamun secara ekologi, dimana lamun sendiri
merupakan ekosistem yang sangat berperan dalam ekologi laut.
Selain itu terdapat peranan lamun diantara ketiga ekosistem perairan lainnya yaitu
karang dan mangrove, salah satunya adalah sedimen trap atau perangkap sedimen. Hal ini
menjadi penting karena jika penumpukan sedimen terjadi, maka akan berdampak pada
keberlangsungan hidup ekosistem terumbu karang. Karena pada terumbu karang terdapat alga
zooxanthellae, yang jika tertutup oleh sedimen tidak bisa melakukan fotosintesis, dimana hasil
fotosintesis dari zooxanthellae yang berupa nutrisi dan energi tersebut 95% diberikan kepada
karang.
Selain itu, padang lamun juga bisa berperan sebagai nursery ground bagi beberapa jenis
ikan karang. Dan bersama dengan ekosistem terumbu karang, padang lamun dapat berperan
sebagai penahan arus dan gelombang yang kuat sehingga ekosistem mangrove yang terletak di
pinggir pantai dapat terlindungi dan tumbuh dengan baik. Selain itu, nutrien-nutrien yang
penting bagi lamun untuk proses fotosintesin dapat berasal dari batuan-batuan maupun serasah
tumbuhan dan organisme-organisme yang ada di mangrove akan diserap oleh sistem perakaran
lamun. Ekosistem lamun bisa menjadi tempat perlindungan bagi biota-biota yang mengalami
persaingan makanan atau terancam dan terganggu akibat aktivitas manusia maupun pengaruh
alam yang terjadi di ekosistem mangrove.
4.2.2.6. Faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun di Pantai Blebak
Parameter fisika yang diamati adalah kondisi arus, kondisi gelombang, cuaca, pasang
surut, kedalaman dan kecerahan perairan. Dalam praktikum lapangan, cuaca yang terjadi saat
itu adalah cerah. Arus dan gelombang yang ada juga cukup tenang dan perairan cukup cerah.
Kondisi gelombang dan arus berpengaruh pada pertumbuhan lamun. Lamun yang tumbuh pada
pantai Blebak ini adalah didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii. Arus yang terlalu
kuat akan membuat akar lamun lepas dari substratnya. Selain itu gelombang, arus, dan pasang
surut memberi pengaruh pada distribusi nutrisi pada ekosistem lamun. Nutrisi ini akan
digunakan lamun untuk melakukan pertumbuhan. Nutrisi ini dapat diambil dari daratan terdekat
atau ekosistem lain misalnya ekosistem mangrove kemudian nutrisi – nutrisi ini akan
ditransport oleh pasang kemudian dibawa ke ekosistem lamun ketika surut. Kedalaman akan
berpengaruh pada penetrasi cahaya matahari yang masuk dimana jika terlalu dalam cahaya tidak
dapat masuk sehingga proses fotosintesis akan berkurang. Salain itu masuknya cahaya matahari
juga dipengaruhi oleh kekeruhan. Pada kawasan Pantai Blebak kondisi perairan keruh dan
lamun yang tertutup oleh sedimen sehingga data yang di dapat banyak lamun yang rusak.
Parameter kimia yang diamati sebagai salah satu variabel bebas adalah suhu, salinitas,
pH, substrat, dan organisme sekitar padang lamun. Salinitas yang rendah akan berpengaruh
pada laju fotosistensis dan pertumbuhan. Pada saat dilakukan praktikum lapangan, suhu air laut
pada daerah tersebarnya padang lamun cukup hangat. Lamun tumbuh pada perairan yang
hangat agar dapat melakukan produktivitasnya secara optimal. Substrat tempat bertumbuhnya
padang lamun jenis ini adalah pasir. Substrat berperan dalam penyediaan zat hara dan
perlindungan dari arus laut bagi lamun. Nilai pH merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi produktifitas perairan. Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan
baik buruknya suatu perairan Biasanya angka pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator
dari adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-
unsur kimia dan unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat bagi kehidupan vegetasi akuatik. pH
yang berkisar antara 7 – 8,3 merupakan pH yang cocok untuk organisme hidup. Suhu optimum
yang dibutuhkan oleh lamun berada dalam kisaran 25-35°C.
Faktor-faktor oseanografi tersebut sudah optimum untuk pertumbuhan lamun hanya saja
beberapa lamun yang rusak diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pantai Blebak yang
dijadikan sebagai wisata pantai.
4.2.3. Karang
4.2.3.1. Hasil Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Blebak
Berdasarkan hasil pendataan terumbu karang berdasarkan life-form ditemukan berbagai
jenis acropora, non-acropora, dan berbagai jenis biota lainnya. Berdasarkan pendataan
diperoleh data kerapatan karang di Pantai Blebak antara lain, Acropora branching sebesar
4,19%, Acropora digitate sebesar 4,39%, Acropora encrusting sebesar 3,23%, Acropora
submassive sebesar 8,71%, itu data dari jenis Acropora, sedangkan dari jenis non-acropora ialah
Coral branching sebesar 0,50%, Coral encrusting sebesar 2,98%, Coral foliose sebesar 0,87%,
Coral heliopora sebesar 1,23%, Coral mushroom sebesar 5,84%, Coral submassive sebesar
8,76%. Selain itu terdapat juga karang yang mati sebesar 17,39%, ada juga rubble sebesar
11,85%, dan sand sebesar 28,64%. Ditemukan juga berbagai jenis biota lainnya seperti ikan,
crustacea, dan siput laut. Dari data yang telah di peroleh, dapat diketahui jika ekosistem
terumbu karang pada Pantai Blebak memiliki keanekaragaman yang tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh, persentase tutupan hard coral di perairan Jungpiring
sebesar 41,40%, soft coral sebesar 0,00%, dan death coral sebesar 17,39%. Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa kondisi karang di pantai Blebak termasuk rusak dalam kategori ringan.
Hal tersebut merujuk pada Keputusan MENLH No. 4 Tahun 2001 terkait persentase baku mutu
tutupan terumbu karang, yang menyebutkan bahwa apabila tutupan terumbu karang hidup
berkisar 25 - 49,9% maka dikategorikan bahwa karang tersebut rusak dalam kategori ringan.

4.2.3.2. Kondisi Lingkungan Perairan di Blebak

Kondisi lingkungan pada wilayah perairan Pantai Blebak pada arah utara dari ekosistem
Terumbu Karang merupakan lepas pantai, pada arah timur terdapat hutan mangrove, dan pada
arah barat merupakan bibir pantai. Kondisi air yang berada pada kawasan pengamatan relatif
keruh. Arus dan gelombang pada area pengamatan relatif tenang dengan cuaca yang cerah dan
tidak berangin.

4.2.3.3. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Blebak


4.2.3.4. Faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Kondisi Terumbu Karang
Salinitas merupakan faktor oseanografi yang berpengaruh pada kelangsungan hidup
karang. Terumbu karang dapat mentolerir kadar salinitas 30% - 40%. Arus dan gelombang pada
wilayah perairan Pantai Blebak relatif tenang. Arus dan gelombang seperti inilah yang baik
untuk kelangsungan hidup karang karena arus dan gelombang yang terlalu kuat akan merusak
terumbu karang.

4.2.3.5 Peran Karang di Dalam Tiga Ekosistem di Pantai Blebak


Peranan karang di dalam tiga ekosistem di Pantai Blebak sendiri belum terlalu optimum.
Ini dikarenkan daerah tutupan karang yang tidak begitu luas dan karangnya tidak terlalu besar.
Dan juga karena fungsi ekosistem mangrove dan lamun sendiri yang belum optimum dalam
menyaring sedimentasi mengakibatkan air menjadi keruh dan sedimen menutupi sebagian
karang yang ada. Sehingga pertumbuhan karang menjadi terganggu.

4.2.3.6 Metode Pendataan Karang


Metode pendataan karang menggunakan metode LIT ( Line Intercept Transect). Metode
tersebut dilakukan dengan cara membentangkan tali sepanjang yang akan didata, untuk
mempermudah pendataan dibagi persegmen. Dalam praktikum ini, menggunakan Panjang 100
meter dengan dibagi 4 segmen, 25 meter persegmen. Tiap segmen diberi tanda. Pendataan
dengan metode ini digunakan karena praktis, cepat, hemat biaya serta sangat cocok digunakan
di daerah tropis

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan (menjawab tujuan)
5.2 Saran (minimal 3)
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN ( Laporan sementara, Dokumentasi, Biodata diri )
DAFTAR PUSTAKA
Alwidakdo, Adhi, Zikri Azham, dan Legowo Kamarubayana. 2014. Studi Pertumbuhan
Mangrove pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Desa Tanjung Limau,
Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara.Jurnal AGRIFOR 1 (8) : 11-
19
Arini, Diah Irawati Dwi. 2013. Potensi Terumbu Karang Inonesia “Tantangan dan Upaya
Konservasinya”. Info BPK Manado 2 (3) :147-173.
Aulia, K.N., Kasmara, H., Erawan, T.S., dan Natsir, S.M. 2012. Kondisi Perairan Terumbu
Karang dengan Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator Berdasarkan Foram
Index di Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol 4(2) : 335-345.

Ghufran, M. Dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi, Dan Pengelolaan.
Rineka Cipta. Jakarta.

Graham, Nicholas, A.J. Karen M. Chong-Seng, Cindy Hurchery. 2014. Coral Reef Community
Composition In The Context Of Disturbance History On The Great Barrier Reef,
Australia. Plos One Vol. 9 No. 7.

Guntur. 2013. Ekologi Karang Pada Terumbu Buatan. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesia.
Hazrul, Ratna Diyah Palupi, Romy Ketjulan. 2016. Identifikasi Penyakit Karang
(Scleractinia) Di Perairan Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara. Sulawesi: Jurnal
Sapa Laut Vol. 1 No. 2.
Hazrul, Ratna Diyah Palupi, dan Romy Ketjulan. 2016. Identification of Coral Disease
(Scleractinia) in The Coastal Area of Saponda Laut Isle, Southeast Sulawesi, Sapa Laut
2 (1) : 32-41
Heriyanto, N.M., dan Endro Subiandono. 2012. Komposisi dan Struktur Tegakan, Biomasa,
dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove I Taman Nasional Alas Purwo.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1 (9) : 23-33
Ilham, M., Supriharyono., dan Widyorini, N. 2018. Analisis Perubahan Luasan Terumbu
Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Citra Landsat 7 ETM+ dan 8
Oli di Perairan Pulau Menjangan Kecil Karimunjawa (Jepara). Journal of
Maquares. Vol 7(1) : 157-163.

Junaidi. 2014. Identifikasi Komposisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Wisata Alam Bangko-
Bangko Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Penelitian UNRAM. Vol. 18 (2).
Karyono, A., R. Pribadi, dan M. Helmi. 2013. Analisis Perubahan Luas Mangrove
BerdasarkanCitra Satelit Ikonos Tahun 2004 dan 2010 Di Kecanatab Mlonggo,
Tahunan dan KedungKabutapen Jepara Jawa Tengah. Journal Of Marine
Research 2(3) : 129-137

Lubis, M. Z., Sari, D. P., Aprilliyanti, T., Daulay, A. K., Hanafi, A., Ananda, F., . . . Ibrahim,
M. M. (2017). Penggunaan Citra Landsat 8 untuk Pemetaan Persebaran Lamun di
Pesisir Pulau Batam. Dinamika Maritim.
Majid, Ilham. 2016. Konservasi Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Kota Ternate Terintegrasi
Dengan Kurikulum Sekolah. Malang: Jurnal Bioedukasi. Vol. 4 No. 2.

Muzaki, Farid Kamal, Dian Saptarini, N Dwianita Kuswytasari, dan Aries Sulistyono.2017.
Menjelajah Mangrove Surabaya.Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Nugraha, Rudijanta Tjahja. 2011. Buku Informasi Dan Potensi Mangrove. Banyuwangi. Balai
Taman Nasional Alas Purwo.

Patty, Simon I.. 2016. Pemetaan Kondisi Padang Lamun Di Perairan Ternate, Tidore Dan
Sekitarnya. Ternate: Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 4 No. 1.

Poedjirahajoe, E., D. Marsono, dan F.K. Wardhani. 2017. Penggunaan Princi[al Component
Analysis dalam Distribusi Spasial Vegetasi Mangrove di Pantai Utara Pemalang.
Journal of Forest Science 11 : 29-42

Prasetia, I Nyoman Dodik.2012. Rekrutmen Karang di Kawasan Wisata Lovina. Jurnal Sains
dan Teknologi 2 (1) : 61-73
Purnomo , Harxylen Kinanti, Yuni Yusniawati, Afiatry Putrika, Windri Handayani, Dan
Yasman. 2017. Keanekaragaman Spesies Lamun Pada Beberapa Ekosistem Padang
Lamun Di Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Depok: Jurnal Biologi. Vol. 3 No. 2.

Putra, I.M.R., Dirgayusa, I.G.N.P., dan Faiqoh, E. 2019. Keanekaragaman dan Biomassa Ikan
Karang serta Keterkaitannya dengan Tutupan Karang Hidup di Perairan Manggis,
Kabupaten Karangasem, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences. Vol 5(2)
: 164-176.Salim, Dafiuddin. 2012. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Akibat
Pemutihan (Bleaching) Dan Rusak. Vol. 5 No. 2.

Saptarini, Dian, Mukhtasor, dan Inneke F.M. Rumengan. 2016. Variasi Bentuk Pertumbuhan
(lifeform) Karang di Sekitar Kegiatan Pembangkit Listrik, studi kasus kawasan perairan
PLTU Paiton, Jawa Timur. Prosiding Senmas Biodiversitas 2 (5) : 1-9
Suryanti, Supriharyono, dan Willy Indrawan. 2011. Kondisi Terumbu Karang dengan Indikator
Ikan Chaetodontidae di Pulau Sambangan Kepulauan Karimun Jawa, Jepara, Jawa
Tengah.Buletin Oseanografi Marina (1) : 106-119
Suzana, B.O.L, J. Timban, R. Kaunang, dan F. Ahmad. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya

Hutan Mangrove Di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa

Utara. ASE 7(2) :29-38

Tangke, Umar. 2010. EKOSISTEM PADANG LAMUN(Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).


Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) 1 (3) : 9-30
Tuapattinaya, Prelly. M. J. 2012. Perbedaan Keanekaragaman Lamun (Seagrass) Pada Zona
Itertidal dan Subtidal di Perairan Pantai Desa Suli. Bimafika 4 :447 – 452
Wahyudi, Agus, Boedi Hendrarto, dan Agus Hartoko. 2014. Penilaian Kerentaan Habitat
Mangrove di Kelurahan Mangnharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang Terhadap
Variabel Oseaografi Berdasarkan Metode CVI (Coastal Vulnerability Index).
DIPONEGORO JOURNAL OF MAQUARES 1 (3) : 89-98
Wijayanti, Tri. 2011. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Wisata Pendidikan.Jurnal Ilmiah
Teknik Lingkungan (1) : 15-26
Wuri, Y.P., M. Untung, K.A., Titin H. 2016. Identifikasi Lamun di Perairan Pulau Panjang
dan Perairan Pantai Sancang Menggunakan Primer rbcL dan matK. Jurnal Perikanan
Kelautan : 123-129

Anda mungkin juga menyukai