PENDAHULUAN
Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia dan juga keanekaragaman hayati terbesar
serta strukturnya paling bervariasi. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
dengan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Haneda et al., 2013). Tumbuhan
mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang
kurang stabil (Noor et al., 2006).
Di Indonesia luas hutan mangrove berkurang, seiring dengan pesatnya kebutuhan hidup
masyarakat, serta meningkatnya pembangunan di kawasan pesisir. Konservasi mangrove di
kawasan pantai TWA Menipo menjadi sangat penting karena fungsi ekologis dan ekonimis yang
disediakan ekositem mangrove. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting
sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis
ikan, udang dan moluska (Haneda et al., 2013). Di samping itu, ekosistem mangrove juga
berperan sebagai pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, sebagai tempat asuhan,
sebagai tempat mencari makan, berkembang biak berbagai jenis biota laut, juga pohon mangrove
sebagai tempat burung bersarang, tempat anggrek, pakis, benalu dan berbagai kehidupan lainnya
(Tarigan, 2008).
Serangga merupakan salah satu komponen biotik penyusun ekosistem mangrove. Studi
tentang keanekaragaman serangga dapat membantu dalam melestarikan dan memanajemen
mangrove dengan baik dan berkelanjutan. Serangga sebagai salah satu komponen
keanekaragaman hayati juga memiliki peranan penting dalam jaring makanan yaitu sebagai
herbivor, karnivor, dan detrivor (Grampurohit dan Hemant, 2013). Di samping itu sebenarnya
terdapat fungsi lain dari serangga yaitu sebagai bioindikator (Rizali et al., 2002). Jenis serangga
ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem.
Keanekaragaman serangga diyakini dapat digunakan sebagai salah satu bioindikator
kondisi suatu ekosistem mangrove. Diversitas serangga memberikan respons yang khas terhadap
tingkat kerusakan lingkungan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk
mendeteksi perubahan dan kesehatan lingkungan (Jones & Eggleton, 2000).
Pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang
belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji profil keanekaragaman serangga dalam
1
ekosistem mangrove menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. Di lain pihak, penelitian
tentang serangga masih jarang dilakukan terutama di area mangrove, akibatnya informasi yang
terhimpun dari kelompok ini belum banyak.
2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3
ke perairan sekitarnya baik yang berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove
akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan
organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan.
Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses
dekomposisi(Mchenga dan Abdalla, 2013).
Interaksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang
sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan
daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat
berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu
berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedia makanan bagi larva
ikan dan udang (Pramudji, 2000).
4
Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai lahan untuk berbagai kegiatan manusia
antara lain, untuk tempat pemukiman, tempat rekreasi, lahan pertanian, lahan tambak ikan dan
udang dan bahkan yang sangat mencemaskan adalah untuk tempat pembuangan sampah. Areal
hutan mangrove juga digunakan sebagai tempat pencaharian untuk menangkap kepiting bakau,
udang dan berbagai macam jenis moluska (Noor et al., 2006).
5
kumbang Carabidae sebagai bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp, 1990) dan spesies
semut untuk indikator kondisi agroekosistem di Riau (Yulminarti et al., 2012)
Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik
oleh Klein (1989) yangmenguji peran kumbang bubuk dan ordo Coleoptera famili Scarabidae
(Kirk dan Springs, 1990) terhadap dekomposisi kotoran hewanpada habitat yang berbeda yakni
hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian
Tengah. Laju penguraian kotoran hewanmenurun sekitar 60% di hutan alam dibandingkan
padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak
berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80% jumlah jenis kumbang bubuk di padang
rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting
dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga
lainnya menunjukkan kestabilan ekosistem hutan yang semakin baik. Rizali et al., (2002)
melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabbkan ekosistem lebih resisten terhadap
serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivitas primer
ekosistem dan sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya suatu ekosistem
hutan.
6
BAB VI. METODE PENELITIAN
7
Pada setiap jalur dibuat petak ukuran 10 m × 10 m dengan jarak antar petak dalam jalur adalah
20 m. Masing-masing tipe tegakan dibuat sebanyak enam petak.
2. Penangkapan Serangga
Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan metode yellow pan trap. Metode
Yellow pan trap merupakan cara cepat dan mudah untuk menangkap serangga. Yellow pan trap
yang digunakan yaitu berupa nampan bulat berwarna kuning dengan diameter 30 cm.
Penangkapan serangga dilakukan pada plot sampling yang digunakan untuk analisis vegetasi.
Yellow pan trap diletakkan di dalam petak berukuran 10 m × 10 m dan diisi dengan larutan
detergen agar serangga yang terjebak tidak terbang dan mati. Yellow pan trap dipasang selama
12 jam dari pukul 06.00 WITA sampai pukul 18.00 WITA. Setiap petak diletakkan sebanyak
lima buah yellow pan trap dengan posisi diagonal. Pengumpulan serangga dengan yellow pan
trap dilakukan selama dua hari pada masing-masing lokasi pengamatan.
8
b. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J. Borror, Charles A.
Triplehorn, dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh Partosoedjono.
c. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993, karya
Henry Goulet dan John T. Huber.
a) Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis ditentukan dengan menggunakan Indeks kekayaan Margalleft. Indeks
kekayaan Margalleft (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas,
dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal
tersebut. Besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 = 3,5- 5,0
menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R > 5,0 tergolong tinggi.
S−1
R 1=
ln N
Keterangan:
R1 = Indeks kekayaan jenis
S = Jumlah jenis
N = Jumlah individu
b) Indeks Diversitas
Di hitung dari jumlah nomor dari individu atau frekuensi untuk keseluruhan sampel.
Persamaan kemudian dihitung menggunakan Indeks Shannon-Wiener.
H’ = -Ʃpi ln pi; pi= ni/N
Keterangan:
H’ = Indeks diversitas
pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu
9
semua jenis
ni = Jumlah individu spesies i
N = Total jumlah seluruh individu
c) Kemerataan Jenis
Untuk menentukan tingkat kemerataan spesies digunakan indeks kemerataan
Shannon (E) (Magurran, 2004). Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), nilai kemerataan
jenis berkisar antara 0–1. Nilai E yang mendekati 0 menunjukan bahwa suatu jenis menjadi
dominan dalam komunitas. Jika nilai E mendekati 1, seluruh jenis memiliki tingkat
kemerataan jenis yang hampir sama sebagai berikut :
H'
E=
ln (S )
Keterangan:
H’= Indeks diversitas
S = Jumlah jenis
10
BAB VII. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini djadwalkan dalam 2 tahap. Tahap pertama telah dilakukan untuk
mengetahui gambaran awal lokasi penelitian. Tahap kedua yang nantinya akan dilakukan untuk
mengumpulkan data sesungguhnya. Seluruh rangkaian kegiatan dijadwalkan sebagai berikut:
1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Eufrasia Reneilda Arianti Lengur, S.Si., M.Si
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIDN : 0812088001
11
d. Disiplin Ilmu : Biologi Reproduksi
e. Pangkat/Golongan : Penata Muda / III-a
f. Jabatan Fungsional : Lektor
g. Fakultas/Program Studi : MIPA/Biologi
h. Waktu Penelitian : 5 (lima) Bulan
2. Anggota Peneliti
1. a. Nama : Chatarina Gradict Semiun, S.Si., M.Si
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIDN : 0828118703
d. Disiplin Ilmu : Bioteknologi Konservasi
e. Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk. I/ III-b
f. Jabatan Fungsional :-
g. Fakultas/Program Studi : MIPA/Biologi
h. Waktu Penelitian : 5 (lima) Bulan
2. a. Nama : Magdalena Sureni Bugis
b. NIM : 71114006
3. a. Nama : Maria Rosalinda Nahak
b. NIM : 71114026
4. a. Nama : Amaliana Sago
b. NIM : 71114086
5. a. Nama : Agustinus Seran Nahak
b. NIM : 71114027
12
Mangkuk Menjerat 30 50.000 1.500.000
berwarna kuning spesimen
serangga
Termometer Mengukur suhu 1 500.000 500.000
(sewa) udara
SUB TOTAL (Rp) 2.000.000
2. Bahan Habis Pakai
Justifikasi Harga
Material Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Detergen (1 kg) Menjerat 3 40.000 120.000
serangga
Alkohol 70% Pengawet 2 55.000 110.000
(liter)
Kertas label Melabel 6 20.000 120.000
spesimen
Kertas HVS A4 5 50.000 250.000
(rim)
Tinta printer 3 100.000 300.000
(set)
SUB TOTAL (Rp) 900.000
4. Perjalanan
Justifikasi Harga
Material Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Transpor 1 Paket 700.000 700.000
Kupang – TWA
Menipo P/P
Makan/minum 3 hari 2 malam 1.000.000 1.000.000
untuk 8 orang
SUB TOTAL (Rp) 1.700.000
5. Lain-lain
Justifikasi Harga
Kegiatan Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Pemandu 3 orang 200.000 600.000
Penyusunan &
penggandaan 1 Paket 300.000 300.000
naskah
Laporan hasil 1 Paket 500.000 500.000
Poster 1 Paket 500.000 500.000
Biaya publikasi
1 Paket 1.500.000 1.000.000
jurnal
SUB TOTAL (Rp) 2.900.000
7.500.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN (Rp)
Daftar Pustaka
Amaliyah S, H. Purnobasuko, T. Nurhidayati, D. Saptarini. 2012. Pengaruh Umur Tegakan
Tanaman Terhadap Adaptasi Pneumatophor Avicennia alba Di kawasan Wonorejo-
Surabaya. Jurnal matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 15 (1) :11 – 14.
13
Arisandy K, E. Y. Herawati, E. Suprayitno. 2012. Akumulasi Logam Berta Timbal (Pb) dan
gambaran Histologi Pada Jaringan Avicennia marina (forsk.) Vierh di Perairan pantai
jawa Timur. Jurnal Penelitian Perianan. 1 (1): 15 – 25.
Budiman A. dan S. Prawiroatmodjo. 1992. Penelitian Hutan Mangrove di Indonesia:
Pendayagunaan dan Konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian
Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Semarang,
Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta
Dziock F, Henle K, Foeckler F, Follner K, Scholz M. 2006. Biological Indicator Systems in
Floodplains. Rev Hydrobiol. 91: 271-291.
Grampurohit B. & H. Karkhanis. 2013. Insect Biodiversity At Mangrove Ecosystem. National
Conference on Biodiversity: Status and Challenges un Conservation-FAVEO. 108-115.
Halloway JD, Stork NE. 1991. The dimensions of biodiversity: the use of invertebratesas
indicators of human impact. Di dalam: Hawksworth DL (ed). The Biodiversityof
Microorganism and Invertebrates: Its Role in Sustainable Agriculture .UnitedKingdom: CAB
International, Wallingford. 37-61.
Hamzah F, A. Setiawan. 2010. Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn Di hutan Mangrove
Muara Angke jakarta Utara. Jurnal Ilmu Teknologi Kelautan Tropis. 2 (2): 41 – 52.
Haneda N., C. Kusmana & F. Kusuma. 2013. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem
mangrove. Jurnal Silvikultur Tropika. 4 (1): 42-46.
Jones T.J., & Eggleton. P. 2000. Sampling Termite Assemblages in Tropical Forests : Testing a
Rapid Biodiversity Assesment Protocol. Journal of Applied Ecology. 37: 191- 203.
Kirk-Spriggs AH. 1990. Preliminary studies of rice pests and some of their natural enemies in
the Dumoga valley, Sulawesi Utara, Indonesia. J Rain Forest Insectsof Wallacea. 30: 319-
328.
Kromp B. 1990. Carabid beetles (Coleoptera, Carabidae) as bioindicators in biologicaland
conventional farming in Austrian potato fields. Biol Fert Soils. 9: 182-187.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer methods and computing. New
York: JohnWiley & Sons.
Kim, Y., S. Zerbe & I. Kowarik. 2002. Human impact on flora and habitats in Korean Rural
settements. Preslia. 74: 409-419.
Machado, A. 2004. An index of naturalness. Journal of Nature Conservation. 12: 95-110.
14
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity and Its Measurement. UK: Blackwell
Science Ltd.
Mchenga I, A. Ali. 2013. Macro-Fauna Comunities in a Tropical Mangrove Forest of Zanzibar
Island, Tanzania. Global Journal of Bio-Science and Biotechnolgy. 2 (1): 260 – 266.
Noor YS, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.
Onrizal, C. Kusmana. 2008. Studi Ekologi mangrove di pantai Timur Sumatera Utara.
Biodiversitas. 9 (1): 25 – 29.
Pagiola, S., P. Agostini, J. Gobbi, C. de Haan, M. Ibrahim, E. Murgueitio, E. Ramírez, M.
Rosales,J. P. Ruíz. 2004. Paying for Biodiversity Conservation Services in Agricultural
Landscapes. United States of America: The International Bank for Reconstruction and
Development.
Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya.
Oseana. 25 (1): 13 – 20.
Rizali A, Buchori D, Triwidodo H. 2002. Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan-
Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan. Hayati. 9:41-48.
Speight M.R; Hunter M.D dan Watt A.D. 1999. Ecology of Insects, Consepts and Applications.
Blackwell Science, Ltd. 169 –179.
Spelleberg IF. 1995. Monitoring Ecological Change. Melbourne : Cambridge UniversityPress.
Sudarso Y. 2009. Potensi Larva Trichoptera Sebagai Bioindikator Akuatik. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia. 35: 201-215.
Tarigan, M. 2008. Sebaran dan Luas Hutan Mangrove Di Wilayah pesisir Teluk Pising Utara
Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Makara Sains. 12 (2): 108-112.
Yulminarti, S. Salmah, T. Suryati, S. Subahar. 2012. Jumlah Jenis dan jumlah Individu Semut di
tanah Gambut Alami dan tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau.
Biospecies. 5 (2): 21 – 27.
15
16