Anda di halaman 1dari 16

BAB I.

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia dan juga keanekaragaman hayati terbesar
serta strukturnya paling bervariasi. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
dengan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Haneda et al., 2013). Tumbuhan
mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang
kurang stabil (Noor et al., 2006).
Di Indonesia luas hutan mangrove berkurang, seiring dengan pesatnya kebutuhan hidup
masyarakat, serta meningkatnya pembangunan di kawasan pesisir. Konservasi mangrove di
kawasan pantai TWA Menipo menjadi sangat penting karena fungsi ekologis dan ekonimis yang
disediakan ekositem mangrove. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting
sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis
ikan, udang dan moluska (Haneda et al., 2013). Di samping itu, ekosistem mangrove juga
berperan sebagai pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, sebagai tempat asuhan,
sebagai tempat mencari makan, berkembang biak berbagai jenis biota laut, juga pohon mangrove
sebagai tempat burung bersarang, tempat anggrek, pakis, benalu dan berbagai kehidupan lainnya
(Tarigan, 2008).
Serangga merupakan salah satu komponen biotik penyusun ekosistem mangrove. Studi
tentang keanekaragaman serangga dapat membantu dalam melestarikan dan memanajemen
mangrove dengan baik dan berkelanjutan. Serangga sebagai salah satu komponen
keanekaragaman hayati juga memiliki peranan penting dalam jaring makanan yaitu sebagai
herbivor, karnivor, dan detrivor (Grampurohit dan Hemant, 2013). Di samping itu sebenarnya
terdapat fungsi lain dari serangga yaitu sebagai bioindikator (Rizali et al., 2002). Jenis serangga
ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem.
Keanekaragaman serangga diyakini dapat digunakan sebagai salah satu bioindikator
kondisi suatu ekosistem mangrove. Diversitas serangga memberikan respons yang khas terhadap
tingkat kerusakan lingkungan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk
mendeteksi perubahan dan kesehatan lingkungan (Jones & Eggleton, 2000).
Pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang
belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji profil keanekaragaman serangga dalam

1
ekosistem mangrove menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. Di lain pihak, penelitian
tentang serangga masih jarang dilakukan terutama di area mangrove, akibatnya informasi yang
terhimpun dari kelompok ini belum banyak.

BAB II. PERUMUSAN MASALAH


Uraian pada latar belakang di atas telah menggambarkan masalah yang harus dihadapi
dan dipecahkan melalui penelitian ini. Rumusan masalah tersebut adalah ”Bagaimana profil
diversitas serangga ekosistem mangrove di TWA Menipo, Amarasi Timur, Nusa Tenggara
Timur?

2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Fungsi dan Peranan Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal
memiliki peran dan fungsi sangat besar. Ekosistem mangrove memiliki tingkat produktivitas
paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya (Hamzah dan Agus, 2010).
Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam memainkan
peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan
berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove tidak hanya
melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim
yang kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta memiliki kontribusi terhadap keseimbangan
siklus biologi di suatu perairan Selain itu, ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat
bagi jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
(Mchenga dan Abdalla, 2013).
Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai pelindung kawasan
pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari
pengaruh banjir dari daratan (Onrizal dan Cecep, 2008). Tipeperakaran jenis tumbuhan
mangrove (pneumatophore) juga mampu berperan sebagai perangkap sedimen dan sekaligus
mengendapkan sedimen, yang berarti pula dapat melindungi ekosistem padang lamun dan
terumbu karang dari bahaya pelumpuran (Amaliyah et al., 2012). Penelitian Arisandy et al.,
membuktikan bahwa tumbuhan mangrove Avicennia marina (forsk.) memiliki kemampuan
dalam mengakumulasi logam berat timbal (Pb). Hal ini membuat terciptanya keutuhan dan
kelestarian bagi perairan kawasan pantai dan sekitarnya.

1. Hutan Mangrove berperan sebagai sumber nutrisi


Dibandingkan dengan hutan hujan tropik, biomas hutan mangrove jauh lebih kecil,
namun apabila dilihat dari produktivitasnya, hutan mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ekosistem lainnya (Budiman & Suhardjono, 1992). Serasah yang
dihasilkan oleh hutan mangrove merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi hutan mangrove
sendiri maupun untuk perairan disekitarnya. Telah diketahui bahwa perairan disekitar hutan
mangrove memiliki produktivitas tinggi, hal ini terkait dengan serasah mangrove yang diekspor

3
ke perairan sekitarnya baik yang berupa serasah maupun serasah yang terurai. Serasah mangrove
akan dimanfaatkan oleh protozoa dan bakteri yang selanjutnya akan diuraikan sebagai bahan
organik dan kemudian akan menjadi sumber energi bagi biota yang hidup diperairan.
Makrofauna dan mikroorganisme dipandang sebagai komponen penting dalam proses
dekomposisi(Mchenga dan Abdalla, 2013).
Interaksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi yang
sesuai bagi berlangsungnya proses biologi beberapa organisme akuatik, seperti pemijahan dan
daerah asuhan. Daerah perairan sekitar hutan mangrove diduga memberikan tempat
berlangsungnya proses biologi biota laut apabila lingkungannya relatif stabil dan tidak terlalu
berfluktuatif, tergenang pada periode dan kedalaman tertentu, serta tersedia makanan bagi larva
ikan dan udang (Pramudji, 2000).

2. Hutan mangrove berperan sebagai pelindung pantai


Hutan mangrove dapat berfungsi untuk sebagai stabilator garis pantai, dapat mencegah
erosi sebagai akibat pukulan ombak dan juga berperan dalam penambahan lahan pantai. Tipe
perakaran dari jenis Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dapat meredam hantaman
gelombang dan sekaligus berperan sebagai penghimpun atau pengikat lumpur yang dibawa oleh
aliran sungai, sehinga akan terbentuk pulau-pulau delta kecil yang ditumbuhi mangrove, dan
selanjutnya masing-masing pulau akan bergabung dan akhirnya akan terbentuk hutan mangrove
yang arealnya cukup luas. Hutan mangrove juga dapat berperan sebagai filter dari pengaruh laut
maupun dari darat serta dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke darat (Pramudji, 2000).

3. Hutan mangrove berperan sebagai penyedia kebutuhan manusia


Hutan mangrove sudah lama dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal
sekitar hutan mangrove, baik itu untuk keperluan lokal maupun sebagai bahan industri. Secara
lokal, manusia menggunakan mangrove sebagai bahan bangunan, kontruksi, atap, kayu bakar,
sebagai sumber makanan, obat dan bahan untuk keperluan rumah tangga lainnya. Sedangkan dari
segi industri, hutan mangrove sebagai penghasil kayu lapis, bahan industri pulp, bahan arang dan
penghasil tanin. Khusus untuk jenis Nypa fruticans dikenal sebagai penghasil alkohol (Pramudji,
2000).

4
Areal hutan mangrove juga digunakan sebagai lahan untuk berbagai kegiatan manusia
antara lain, untuk tempat pemukiman, tempat rekreasi, lahan pertanian, lahan tambak ikan dan
udang dan bahkan yang sangat mencemaskan adalah untuk tempat pembuangan sampah. Areal
hutan mangrove juga digunakan sebagai tempat pencaharian untuk menangkap kepiting bakau,
udang dan berbagai macam jenis moluska (Noor et al., 2006).

3.2 Serangga sebagai Bioindikator Lingkungan Alami


Konsep bioindikator merujuk pada penggunaan hewan atau tanaman sebagai instrumen
untuk menilai kondisi kualitas lingkungan yang lampau, sekarang dan akan datang. Organisme
yang dijadikan sebagai bioindikator sudah selayaknya harus mampu beradaptasi dengan adanya
fluktuasi kondisi lingkungan dalam periode yang cukup lama dan menggabungkan respon atau
informasi yang ditimbulkannya (Dziock et al, 2006). Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis
atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya
akan berubah karenapengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon
terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon
yangdiberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi dilingkungan
tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten
(Speight et al., 1999).
Serangga merupakan makhluk hidup yang mendominasi bumi dan berjumlah kurang
lebih setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan yang ada di bumi (Sudarso, 2009) dan
merupakan elemen penting dari keanekaragaman hayati. Walaupun ukuran tubuh serangga relatif
kecil lebih kecil dibandingkan dengan hewan vertebrata, namun karena kuantitasnya
menyebabkan serangga sangat berperan dalam kestabilan suatu ekosistem dan siklus energi dari
suatu habitat.
Serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan
suatu ekosistem. Jenis serangga seperti ini termasuk dalam bioindikator lingkungan. Serangga
akuatik paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, di
antarnya adalah beberapa spesies serangga dai ordo Ephemeroptera,Odonata, Diptera,
Trichoptera, Plecoptera, Coleoptera, family Scarabidae, Cicindeliadae, Carabidae (Spellerberg,
1995). Serangga lainnya yang juga berpotensi sebagai bioindikator di antaranya Lepidoptera
yaitu sebagai indikator terhadap perubahan habitat di Afrika Selatan (Holloway dan Stork 1991),

5
kumbang Carabidae sebagai bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp, 1990) dan spesies
semut untuk indikator kondisi agroekosistem di Riau (Yulminarti et al., 2012)
Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik
oleh Klein (1989) yangmenguji peran kumbang bubuk dan ordo Coleoptera famili Scarabidae
(Kirk dan Springs, 1990) terhadap dekomposisi kotoran hewanpada habitat yang berbeda yakni
hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian
Tengah. Laju penguraian kotoran hewanmenurun sekitar 60% di hutan alam dibandingkan
padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak
berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80% jumlah jenis kumbang bubuk di padang
rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting
dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga
lainnya menunjukkan kestabilan ekosistem hutan yang semakin baik. Rizali et al., (2002)
melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabbkan ekosistem lebih resisten terhadap
serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivitas primer
ekosistem dan sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya suatu ekosistem
hutan.

BAB IV. TUJUAN


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk menentukan profil diversitas
serangga ekosistem mangrove di TWA Menipo, Amarasi Timur, Nusa Tenggara Timur.

BAB V. MANFAAT PENELITIAN


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Memberikan gambaran mengenai profil dan peranan serangga di ekosistem mangrove.
2. Memberikan rekomendasi yang tepat dalam mengkonservasi dan mengelola diversitas
pohon mangrove.
3. Data yang didapatkan di lapangan diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna
bagi para pengambil kebijakan yang berkaitan dengan penataan ruang, pengelolaan hutan
dan konservasi keanekaragaman hayati.

6
BAB VI. METODE PENELITIAN

5.1 Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan pada kawasan Mangrove di TWA Menipo. Penentuan lokasi
pengamatan berdasarkan tipe tegakan mangrove, kondisi fisik ekosistem mangrove yang berbeda
untuk tiap lokasi. Pemisahan dan identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biologi
Unwira. Penelitian akan dilakukan pada bulan Februari 2018 sampai dengan Juni 2018.

5.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tegakan mangrove, serangga yang
tertangkap dengan metode yellow-pan trap, detergen, kantong plastik, kertas label, dan alkohol
70%. Pengukuran faktor lingkungan digunakan GPS dan termometer. Dalam pengumpulan
sampel, alat yang digunakan yaitu yellow-pan trap, pinset, kantung plastik,karet dan alat tulis
menulis. Dalam identifikasi sampel serangga digunakan mikroskop dengan perbesaran 20 x, dan
untuk dokumentasi digunakan kamera digital (Sony DSC-S730).

5.3 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan
data primer melalui pengukuran langsung di lapangan seperti penangkapan serangga, analisis
vegetasi Mangrove dan pengukuran dimensi pohon dan pengukuran suhu. Proses pengumpulan
data sekunder melalui informasi yang telah tersedia dari data profil lokasi penelitian seperti data
letak dan luas, kondisi iklim, topografi, dan sejarah pengelolaan lahan.

5.4 Prosedur Kerja


Prosedur kerja yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa bagian yaitu
pengamatan profil diversitas serangga dan pengamatan profil vegetasi pohon mangrove.

1. Penentuan Plot Sampling


Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak. Pada setiap
lokasi di buat satu jalur. Panjang jalur 100 m dan lebar 10 m dengan arah sejajar garis pantai.

7
Pada setiap jalur dibuat petak ukuran 10 m × 10 m dengan jarak antar petak dalam jalur adalah
20 m. Masing-masing tipe tegakan dibuat sebanyak enam petak.

2. Penangkapan Serangga
Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan metode yellow pan trap. Metode
Yellow pan trap merupakan cara cepat dan mudah untuk menangkap serangga. Yellow pan trap
yang digunakan yaitu berupa nampan bulat berwarna kuning dengan diameter 30 cm.
Penangkapan serangga dilakukan pada plot sampling yang digunakan untuk analisis vegetasi.
Yellow pan trap diletakkan di dalam petak berukuran 10 m × 10 m dan diisi dengan larutan
detergen agar serangga yang terjebak tidak terbang dan mati. Yellow pan trap dipasang selama
12 jam dari pukul 06.00 WITA sampai pukul 18.00 WITA. Setiap petak diletakkan sebanyak
lima buah yellow pan trap dengan posisi diagonal. Pengumpulan serangga dengan yellow pan
trap dilakukan selama dua hari pada masing-masing lokasi pengamatan.

3. Pengamatan Vegetasi Pohon Mangrove


Analisis vegetasi pohon dilakukan pada petak 10 m × 10 m. Pengukuran dimensi pohon
meliputi tinggi dan diameter setinggi dada (dbh). Tinggi pohon diukur menggunakan
hagahypsometer dan diameter batang diukur menggunakan pita ukur.

4. Pengukuran Faktor Lingkungan Serangga


Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara mengukur suhu udara.
Suhu diukur dengan menggunakan alat termometer udar dengan meletakkan alat tersebut di
tengah plot sampling.

5. Pemisahan dan Identifikasi Serangga


Serangga yang tertangkap dipisahkan dan diidentifikasi berdasarkan morfospesies di
Laboratorium Biologi Unwira. Proses identifikasi serangga dilakukan dengan menggunakan
sumber identifikasi berupa insectarium serta buku-buku panduan identifikasi yang telah ada.
Adapun buku yang dipakai dalam identifikasi serangga adalah:
a. A Field Guide to Insects tahun 1970 , karya Donald J. Borror dan Richard E. White

8
b. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J. Borror, Charles A.
Triplehorn, dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh Partosoedjono.
c. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993, karya
Henry Goulet dan John T. Huber.

5.5 Analisis Data


Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data variabel kualitas serangga, yang akan
ditabulasi dengan menggunakan Microsoft excel 2007. Analisis data dilakukan secara kuantitatif
untuk menentukan profil diversitas serangga mangrove.
Serangga yang telah diperoleh dan diidentifikasi dikelompokkan berdasarkan familinya
dan dilakukan penghitungan langsung individu-individu yang terkumpul. Data-data tersebut
selanjutnya dianalisis untuk mencari, indeks diversitas (Magurran, 2004), indeks kemerataan
jenis, dan kesamaan jenis Jaccard (Fajarwati et al. 2009).

a) Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis ditentukan dengan menggunakan Indeks kekayaan Margalleft. Indeks
kekayaan Margalleft (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas,
dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal
tersebut. Besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 = 3,5- 5,0
menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R > 5,0 tergolong tinggi.
S−1
R 1=
ln N
Keterangan:
R1 = Indeks kekayaan jenis
S = Jumlah jenis
N = Jumlah individu

b) Indeks Diversitas
Di hitung dari jumlah nomor dari individu atau frekuensi untuk keseluruhan sampel.
Persamaan kemudian dihitung menggunakan Indeks Shannon-Wiener.
H’ = -Ʃpi ln pi; pi= ni/N
Keterangan:
H’ = Indeks diversitas
pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu

9
semua jenis
ni = Jumlah individu spesies i
N = Total jumlah seluruh individu

c) Kemerataan Jenis
Untuk menentukan tingkat kemerataan spesies digunakan indeks kemerataan
Shannon (E) (Magurran, 2004). Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), nilai kemerataan
jenis berkisar antara 0–1. Nilai E yang mendekati 0 menunjukan bahwa suatu jenis menjadi
dominan dalam komunitas. Jika nilai E mendekati 1, seluruh jenis memiliki tingkat
kemerataan jenis yang hampir sama sebagai berikut :
H'
E=
ln (S )
Keterangan:
H’= Indeks diversitas
S = Jumlah jenis

d) Kesamaan Jenis Jaccard


Kesamaan jenis serangga antara lokasi homogen dan heterogen dihitung dengan
mengunakn indeks kesamaan Jaccard. Menurut Magurran (1988), nilai indeks kesamaan
jenis Jaccard (Cj) mendekati 1 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika
nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan jenis
antar habitat rendah.
Cj = j/(a+b-j)
Keterangan:
Cj = Indeks kesamaan jenis Jaccard
J = Jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a dan b;
a = Jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a;
b = Jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b.

10
BAB VII. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini djadwalkan dalam 2 tahap. Tahap pertama telah dilakukan untuk
mengetahui gambaran awal lokasi penelitian. Tahap kedua yang nantinya akan dilakukan untuk
mengumpulkan data sesungguhnya. Seluruh rangkaian kegiatan dijadwalkan sebagai berikut:

Tabel 1. Jadwal Kegiatan


Tahap I Tahap II
No Jenis Kegiatan 2017 2018
10 11 12 01 02 03 04 05 06
1 Perencanaan
2 Persiapan
3 Pra-penelitian
4 Pengumpulan data
5 Pengolahan data
6 Penysusunan naskah
7 Pelaporan
8 Publikasi Jurnal Ilmiah

BAB VIII. PERSONALIA PENELITIAN

1. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Eufrasia Reneilda Arianti Lengur, S.Si., M.Si
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIDN : 0812088001

11
d. Disiplin Ilmu : Biologi Reproduksi
e. Pangkat/Golongan : Penata Muda / III-a
f. Jabatan Fungsional : Lektor
g. Fakultas/Program Studi : MIPA/Biologi
h. Waktu Penelitian : 5 (lima) Bulan

2. Anggota Peneliti
1. a. Nama : Chatarina Gradict Semiun, S.Si., M.Si
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIDN : 0828118703
d. Disiplin Ilmu : Bioteknologi Konservasi
e. Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk. I/ III-b
f. Jabatan Fungsional :-
g. Fakultas/Program Studi : MIPA/Biologi
h. Waktu Penelitian : 5 (lima) Bulan
2. a. Nama : Magdalena Sureni Bugis
b. NIM : 71114006
3. a. Nama : Maria Rosalinda Nahak
b. NIM : 71114026
4. a. Nama : Amaliana Sago
b. NIM : 71114086
5. a. Nama : Agustinus Seran Nahak
b. NIM : 71114027

BAB IX. PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN


Total perkiraan biaya yang diusulkan adalah sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 2. Perkiraan Biaya penelitian
1. Peralatan Menunjang
Justifikasi Harga
Material Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)

12
Mangkuk Menjerat 30 50.000 1.500.000
berwarna kuning spesimen
serangga
Termometer Mengukur suhu 1 500.000 500.000
(sewa) udara
SUB TOTAL (Rp) 2.000.000
2. Bahan Habis Pakai
Justifikasi Harga
Material Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Detergen (1 kg) Menjerat 3 40.000 120.000
serangga
Alkohol 70% Pengawet 2 55.000 110.000
(liter)
Kertas label Melabel 6 20.000 120.000
spesimen
Kertas HVS A4 5 50.000 250.000
(rim)
Tinta printer 3 100.000 300.000
(set)
SUB TOTAL (Rp) 900.000
4. Perjalanan
Justifikasi Harga
Material Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Transpor 1 Paket 700.000 700.000
Kupang – TWA
Menipo P/P
Makan/minum 3 hari 2 malam 1.000.000 1.000.000
untuk 8 orang
SUB TOTAL (Rp) 1.700.000
5. Lain-lain
Justifikasi Harga
Kegiatan Kuantitas Biaya (Rp)
Pemakaian Satuan (Rp)
Pemandu 3 orang 200.000 600.000
Penyusunan &
penggandaan 1 Paket 300.000 300.000
naskah
Laporan hasil 1 Paket 500.000 500.000
Poster 1 Paket 500.000 500.000
Biaya publikasi
1 Paket 1.500.000 1.000.000
jurnal
SUB TOTAL (Rp) 2.900.000

7.500.000
TOTAL ANGGARAN YANG DIPERLUKAN (Rp)

Daftar Pustaka
Amaliyah S, H. Purnobasuko, T. Nurhidayati, D. Saptarini. 2012. Pengaruh Umur Tegakan
Tanaman Terhadap Adaptasi Pneumatophor Avicennia alba Di kawasan Wonorejo-
Surabaya. Jurnal matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 15 (1) :11 – 14.

13
Arisandy K, E. Y. Herawati, E. Suprayitno. 2012. Akumulasi Logam Berta Timbal (Pb) dan
gambaran Histologi Pada Jaringan Avicennia marina (forsk.) Vierh di Perairan pantai
jawa Timur. Jurnal Penelitian Perianan. 1 (1): 15 – 25.
Budiman A. dan S. Prawiroatmodjo. 1992. Penelitian Hutan Mangrove di Indonesia:
Pendayagunaan dan Konservasi. Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian
Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. Semarang,
Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta
Dziock F, Henle K, Foeckler F, Follner K, Scholz M. 2006. Biological Indicator Systems in
Floodplains.  Rev Hydrobiol. 91: 271-291.
Grampurohit B. & H. Karkhanis. 2013. Insect Biodiversity At Mangrove Ecosystem. National
Conference on Biodiversity: Status and Challenges un Conservation-FAVEO. 108-115.
Halloway JD, Stork NE. 1991. The dimensions of biodiversity: the use of invertebratesas
indicators of human impact. Di dalam: Hawksworth DL (ed). The Biodiversityof
Microorganism and Invertebrates: Its Role in Sustainable Agriculture .UnitedKingdom: CAB
International, Wallingford. 37-61.
Hamzah F, A. Setiawan. 2010. Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn Di hutan Mangrove
Muara Angke jakarta Utara. Jurnal Ilmu Teknologi Kelautan Tropis. 2 (2): 41 – 52.
Haneda N., C. Kusmana & F. Kusuma. 2013. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem
mangrove. Jurnal Silvikultur Tropika. 4 (1): 42-46.
Jones T.J., & Eggleton. P. 2000. Sampling Termite Assemblages in Tropical Forests : Testing a
Rapid Biodiversity Assesment Protocol. Journal of Applied Ecology. 37: 191- 203.
Kirk-Spriggs AH. 1990. Preliminary studies of rice pests and some of their natural enemies in
the Dumoga valley, Sulawesi Utara, Indonesia.  J Rain Forest Insectsof Wallacea. 30: 319-
328.
Kromp B. 1990. Carabid beetles (Coleoptera, Carabidae) as bioindicators in biologicaland
conventional farming in Austrian potato fields.  Biol Fert Soils. 9: 182-187.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer methods and computing. New
York: JohnWiley & Sons.
Kim, Y., S. Zerbe & I. Kowarik. 2002. Human impact on flora and habitats in Korean Rural
settements. Preslia. 74: 409-419.
Machado, A. 2004. An index of naturalness. Journal of Nature Conservation. 12: 95-110.

14
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity and Its Measurement. UK: Blackwell
Science Ltd.
Mchenga I, A. Ali. 2013. Macro-Fauna Comunities in a Tropical Mangrove Forest of Zanzibar
Island, Tanzania. Global Journal of Bio-Science and Biotechnolgy. 2 (1): 260 – 266.
Noor YS, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.
Onrizal, C. Kusmana. 2008. Studi Ekologi mangrove di pantai Timur Sumatera Utara.
Biodiversitas. 9 (1): 25 – 29.
Pagiola, S., P. Agostini, J. Gobbi, C. de Haan, M. Ibrahim, E. Murgueitio, E. Ramírez, M.
Rosales,J. P. Ruíz. 2004. Paying for Biodiversity Conservation Services in Agricultural
Landscapes. United States of America: The International Bank for Reconstruction and
Development.
Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya.
Oseana. 25 (1): 13 – 20.
Rizali A, Buchori D, Triwidodo H. 2002. Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan-
Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan. Hayati. 9:41-48.
Speight M.R; Hunter M.D dan Watt A.D. 1999. Ecology of Insects, Consepts and Applications.
Blackwell Science, Ltd. 169 –179.
Spelleberg IF. 1995.  Monitoring Ecological Change. Melbourne : Cambridge UniversityPress.
Sudarso Y. 2009. Potensi Larva Trichoptera Sebagai Bioindikator Akuatik. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia. 35: 201-215.
Tarigan, M. 2008. Sebaran dan Luas Hutan Mangrove Di Wilayah pesisir Teluk Pising Utara
Pulau Kabaena Provinsi Sulawesi Tenggara. Makara Sains. 12 (2): 108-112.
Yulminarti, S. Salmah, T. Suryati, S. Subahar. 2012. Jumlah Jenis dan jumlah Individu Semut di
tanah Gambut Alami dan tanah Gambut Perkebunan Sawit di Sungai Pagar, Riau.
Biospecies. 5 (2): 21 – 27.

15
16

Anda mungkin juga menyukai