Anda di halaman 1dari 7

PEMETAAN PENANAMAN MANGROVE

TERHADAP MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Disusun Oleh:

Frida Fadwa
2206203010004

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIDKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2023
1.1. Pendahuluan
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut (terutama di daerah terlindung seperti laguna dan muara sungai) yang tergenang
pada saat surut, dimana komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam
(Kusmana, 1995). Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove memiliki
beberapa fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah
sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung garis pantai, menahan intrusi air
laut, perangkap sedimen, penghasil detritus bagi plankton yang merupakan sumber
makanan utama biota laut, habitat bagi aneka biota perairan dan non perairan, serta
sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonominya antara lain sebagai penghasil
keperluan rumah tangga, kayu kontruksi, kayu bakar, bahan baku arang, bahan baku
kertas, penghasil bibit dan tempat wisata (Santoso, 2011). Hasil biota perairan seperti
kepiting, udang, tiram dan ikan juga dibudidayakan oleh sebagian masyarakat
sebagai sumber mata pencaharian masyarakat pesisir Kota Banda Aceh (Hariati,
2015).
Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks, jenis tanah yang berada di
bawahnya termasuk tanah perkembangan muda, mempunyai kandungan liat tinggi
dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan
bahan organik, total nitrogen dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian
yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan. Walau demikian setiap habitat
sangat bergantung pada kandungan faktor pembentuknya yang berpengaruh pada
pertumbuhan vegetasinya (Poedjirahajoe, 2007).
Mangrove merupakan ekosistem yang kaya akan karbon dan memiliki
peranan penting dalam regulasi iklim, yaitu dengan kemampuan menyimpan karbon
dalam jumlah yang besar sebagai upaya mengimbangi emisi antropogenik CO2
(Mcleod et al., 2011). Karbon yang tersimpan dalam mangrove ini dikenal dengan
istilah “blue carbon” atau karbon biru. Menurut Alongi et al. (2014), istilah blue
carbon merujuk pada pelestarian karbon pada ekosistem akuatik, terutama pada tanah
dan sedimen, dan saat ini semakin banyak digunakan pada proyek yang bertujuan
meningkatkan simpanan karbon dengan memperluas tutupan mangrove.
Indonesia memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi yaitu 202 jenis
tumbuhan yang terdiri dari 89 spesies pohon, 5 spesies palma, 19 spesies liana, 44
spesies herba, 44 spesies epifit, dan 1 spesies paku. Dari 202 spesies tersebut, 43
spesies merupakan spesies mangrove sejati dan selebihnya merupakan spesies
mangrove asosiasi (Kusmana et al., 2008). Menurut Purnobasuki (2005) dalam
Awwaluddin et al. (2012), wilayah Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di
dunia yaitu 4.390.756,46 ha (27% dari luasan hutan mangrove dunia) dengan panjang
garis pantai sekitar 81.000 km.
Mengingat pentingnya mangrove sebagai ekosistem dengan kemampuan
menyimpan karbon yang tinggi, laju deforestasi pada ekosistem ini tentu saja perlu
mendapat perhatian. Laju deforestasi dan degradasi yang cepat dapat membawa
konsekuensi yang negatif dan mempengaruhi iklim dan komposisi atmosfer (Giri et
al., 2011). Dalam konteks tersebut, kajian ini melakukan studi literatur mengenai
peran ekosistem mangrove terhadap mitigasi perubahan iklim.

1.2. Pengertian Hutan Mangrove


Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau (Irwanto,
2006). Kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue
(jenis pohon) dan bahasa Inggris yaitu grove (komunitas pohon) (Macnae, 1968 dalam
Pramudji, 2001). Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut berlumpur dengan kadar air yang salin (Bengen, 2001 dalam Rozalina et
al., 2014).
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.60/kpts/DJ/I/1978
tentang Pengelolaan Hutan Mangrove, hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Dengan demikian secara umum hutan mangrove dapat
didefenisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama
di pantai, laguna dan muara sungai yang terlindung) yang tergenang pada saat pasang
dan bebas dari genangan pada saat surut, dimana komunitas tumbuhnya toleran
terhadap garam (Kusmana et al., 2008).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang memiliki hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Makhluk hidup itu sendiri terdapat pada wilayah pesisir yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak
yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin atau payau (Santoso, 2011).
1.3. Fungsi dan Peranan Hutan Mangrove dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Bentang mangrove memiliki arti penting bagi iklim global (Sigit, 2014).
Hutan mangrove berpotensi menverap karbon lebih banyak dibandingkan dengan
tumbuhan lainnya karena mangrove dikategorikan sebagai hutan lahan basah.
Kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon dapat mengurangi peningkatan
emisi karbon di alam. Penelitian pendukung dilakukan oleh tim peneliti dari US
Forest Service Pasifik Barat Dava dan Stasiun Penelitian Utara, Universitas
Helsinki dan Pusat Penelitian Kehutanan International menemukan bahwa
mangrove per hektar dapat menyimpan karbon empat kali lebih besar dari pada
hutan tropis lainnya di seluruh dunia (Baderan, 2017).
Penyelamatan mangrove dapat menurunkan emisi karbon Indonesia ke tingkat
26% (41% jika ada komitmen bantuan Internasional) pada tahun 2020. Indonesia
sendiri memiliki 3,1 juta ha mangrove atau hampir seperempat kawasan mangrove
yang ada di dunia yang sangat berpotensi sebagai penverap karbon di ekosistem
pesisir. Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti iklim dari Pusat Penelitian Hutan
Internasional (CIFOR, 2014), satu hektar mangrove mampu untuk menyerap
antara 600-1800 ton karbon atau jika digunakan rataan maka 1.200 ton karbon
dapat dipertahankan dalam 1 hektar bentang hutan mangrove. Jika mangrove di
Indonesia 3,1 juta ha, sekurang-kurangnya 3 miliar metrik ton karbon dapat
diselamatkan untuk tidak terlepas sebagai emisi ke udara.
Hutan mangrove memiliki peranan yang sangat penting baik itu secara
ekologis, fisik maupun ekonomi. Secara ekologis, hutan mangrove merupakan
mata rantai yang kompleks dalam ekosistemnya yang mampu menciptakan
suasana iklim kondusif bagi kehidupan biota aquatik dan memiliki kontribusi
terhadap keseimbangan siklus biologi disuatu perairan. Perakaran yang khas dari
beberapa jenis tumbuhan mangrove menjadi habitat penting biota aquatik
sebagai tempat untuk bertelur, pemijahan dan pembesaran serta tempat mencari
makan berbagai macam ikan dan udang kecil (Pramudji, 2001).
Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove memiliki peranan penting dalam
melindungi kawasan pesisir dari hempasan angin, melindungi pantai dari
penggerusan ombak (abrasi) dan mencegah intrusi air laut masuk ke darat. Tipe
perakaran yang khas dari beberapa jenis tumbuhan mangrove berperan sebagai
perangkap sedimen/ lumpur dan sekaligus diendapkan yang dapat melindungi
ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya perlumpuran. Sistem
perakaran mangrove dapat mengikat dan menstabilkan substrat garis pantai
agar tetap stabil hingga badan pantai akan terus meninggi dan terlindung dari
abrasi pantai serta bahaya lainnya (Suryawan, 2007).
Suwignyo 2005 dalam Irianto (2013) mengelompokkan fungsi mangrove
menjadi 5 golongan yaitu :
1. Fungsi fisik : (a) menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari
abrasi air laut, (b) menahan dan menyerap tiupan angin kencang dari laut
ke darat pada malam hari, (c) menahan sedimen secara periodik sampai
terbentuk lahan baru, (d) sebagai kawasan penyangga intrusi air laut
masuk kedaratan atau sebagai filter air asin menjadi air tawar.
2. Fungsi biologi : (a) sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta
berkembangbiak bagi satwa, (b) sumber plasma nutfah, (c) habitat alami
bagi berbagai jenis biota darat dan laut, (d) penghasil bahan pelapukan
(detritus) yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata, (e)
kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery
ground) bagi udang, (f) daerah mencari makanan (feeding ground) bagi
plankton.
3. Fungsi kimia : (a) sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang
menghasilkan oksigen, (b) penyerap karbondioksida, (c) pengolah bahan-
bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut.
4. Fungsi ekonomi : (a) penghasil bahan baku industri, (b) penghasil kayu bakar
dan arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga, (c)
penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung dan madu
(nektar).

1.4. Komposisi dan Struktur Hutan Mangrove


Secara karakteristik hutan mangrove mempunyai habitat dekat pantai dan
mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan atau keragaman struktur
tegakan yang berperan sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap
erosi pantai. Kondisi salinitas dan keadaan tanah yang anaerobik sangat
mempengaruhi komposisi dan struktur hutan mangrove (Suryawan, 2007).
Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang
berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang
lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya. Pada
substrat yang anaerobik, sebagian jenis mangrove mengembangkan sistem akar
nafas untuk memperoleh oksigen. Keberadaan hutan mangrove di kawasan
pesisir pada dasarnya terkait erat dengan ekosistem lainnya seperti padang
lamun, algae dan terumbu karang (Pramudji, 2001).
1.5. Peta Penanaman Mangrove terhadap Mitigasi Perubahan Iklim

Gambar 1. Pemetaan Titik Penanaman Mangrove di Banda Aceh dan Aceh Besar

Perkembangan penduduk pada wiliyah pesisir membuat kelestarian


hutan mangrove terganggu. Pemanfaatan yang tidak wajar seperti penebangan
kayu yang masih muda dan pencemaran limbah rumah tangga perlu
diperhatikan secara intensif baik itu dari masyarakat setempat maupun pihak
terkait lainnya. Pemerintah perlu menjadi jembatan untuk memberdayakan
kembali kelestarian ekosistem mangrove dengan melibatkan langsung
masyarakat.
Bentuk kepedulian dapat dilakukan dengan cara menanam kembali
mangrove pada area yang masih kosong dan merehabilitasi kawasan yang rusak,
izin usaha pemanfaatan hutan mangrove diperketat, meningkatkan pengetahuan
dan penerapan kearifan lokal mengenai konservasi. Apabila beberapa hal
tersebut terlaksana dengan baik, maka ekosistem mangrove tersebut akan
berfungsi sebagai buffer zone (pelindung) kawasan pesisir. Sebagaimana yang
kita ketahui bersama, kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat rentan
terhadap bencana.
Untuk menstabilkan perekonomian masyarakat, sumber daya dari hutan
mangrove juga dapat dimanfaatkan secara terpadu dan ramah lingkungan.
Seperti penatagunaan pola tumbuh mangrove juga dapat menjadi salah satu
prospek untuk dijadikan sektor wisata keilmuwan yang akan menambah
pemasukan kas desa setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Alik, T.S.D., Umar, M.R. dan Priosambodo, D. 2013. Analisis Vegetasi
Mangrove di Pesisir Pantai Mara Bombang – Kabupaten Pinrang.
Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Awwaluddin, A., Hariyanto, S. dan Widyaleksana, C.P.T. 2012. Struktur dan
Status Komunitas Mangrove di Ekosistem Muara Kali Lamong Jawa
Timur. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga.
Bismark, M. 2004. Model Sosial Forestri pada Kawasan Penyangga (Buffer
Zone). Laporan Hasil Penelitian DIK-S DR. Pusat Penelitian
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2013. Banda Aceh dalam Angka. BPS Kota Banda
Aceh.
Irianto. 2013. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di
Telaga Wasti Sowi IVDistrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari.
Universitas Negeri Papua Manokwari.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta.
Kusmana, C. 1995. Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove dan
Alternatifnya. Jurnal Rimba Indonesia.
Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya sebagai Habitat
Berbagai Fauna Aquatik. www.oseanografi.lipi.go.id.
Rozalina, N., Pratomo, A. dan Apdillah, D. 2014. Kesesuaian Kawasan untuk
Pengembangan Ekowisata Mangrove Berdasarkan Biofisik di Desa
Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan. FIKP UMRAH.
Rusila, N.Y., Khazali, M. dan Suryadiputra, I.N.N. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IPB. Bogor.
Setyawan, A.D., Winarno, K., Indrowuryatno., Wiryanto., Susilowati, A.
2004.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah. Jurnal Biodiversitas.
SK. Direktur Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pengelolaan
Hutan Mangrove.
Sukardjo, S. 1984. Ekosistem Mangrove. Dalam Jurnal Oseana.
Suryawan, F. 2007. Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di
Kawasan Pesisir Pantai Timur Nanggroe Aceh Darussalam. Jurusan
Biologi FMIPA. Universitas Syiah Kuala.

Susanto, A.H., Soedarti, T. dan Purnobasuki, H. 2013. Struktur Komunitas


Mangrove di Sekitar Jembatan Suramadu Sisi Surabaya. dalam jurnal
Bioscientiae.

Anda mungkin juga menyukai