Anda di halaman 1dari 11

KONSEP REHABILITASI DAN RESTORASI SUMBERDAYA LAUT

(Mangrove, Lamun, Terumbu Karang dan Biota Laut)

NAMA : SHANDRA DEWI

NIM : L032222002

PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
I. Pendahuluan

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dengan karakter yang spesifik. Artinya
bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan
biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat. Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3
komponen penyusun yaitu lamun, terumbu karang serta mangrove. Bersama-sama ketiga
ekosistem tersebut membuat wilayah pesisir menjadi daerah yang relatif sangat subur dan
produktif yang merupakan pelindung alam dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam
mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut (Rudianto, 2014). Selain itu, wilayah tersebut
dapat menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga
dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut
juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat
pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam
biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau
penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem tersebut. (Bengen,
2002).
Pada saat ini wilayah pesisir mengalami berbagai tekanan baik yang berasal dari faktor
proses alam maupun oleh faktor antrophogenik yang makin tidak rasional. Tekanan yang terus
menerus terjadi diwilayah pesisir, menyebabkan kerusakan yang makin bertambah parah
terutama hilangnya kemampuan pesisir menyimpan karbon. Untuk mencegah agar kerusakan
pesisir tidak menjadi bertambah parah, diperlukan upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem
pesisir secara terpadu dan menyeluruh (Rudianto, 2014)
Restorasi merupakan kasus khusus dari rehabilitasi. Rehabilitasi termasuk didalamnya
restorasi ekologi yang merupakan salah satu cabang ekologi yang paling menantang. Restorasi
ekologi menurut Society for Ecological Restoration (2002) adalah proses untuk membantu
pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak, atau hancur. Namun demikian,
seringkali tidak praktis menuntut pemulihan total ekosistem ke kondisi semula. Tujuan dari
rehabilitasi (termasuk restorasi) adalah meminimalkan gap (perbedaan) antara ekosistem alami
dengan ekosistem hasil rehabilitasi (Biswas et al., 2009 dalam Onrizal, 2014).
II. Konsep Rehabilitasi dan Restorasi

a. Mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas,
terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan
merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai
ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang
bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya (Waryono, 2002).
Berdasarkan data Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2002) luas
potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat
di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu, berdasarkan
kondisi diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44.73 %) hutan mangrove di dalam kawasan hutan
dan 4,2 juta ha (87.50 %) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak
(Suriani, 2008).
Restorasi mangrove merupakan pengembalian peran mangrove yang telah
terdegradasi menuju kondisi yang seharusnya dan dapat menopang seluruh fungsi ekologis
dan ekonomis (Permen Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004). Restorasi dan rehabilitasi
terhadap hutan mangrove yang telah terdegradasi tidak mudah dilakukan, karena disamping
membutuhkan biaya yang besar dan tenaga, juga dibutuhkan waktu yang lama (Eddy, 2019).
Terdapat dua konsep pengelolaan dan konservasi mangrove yang bisa diterapkan
untuk restorasi dan rehabilitasi terhadap mangrove. Keduanya menyatakan bahwa Mangrove
merupakan ekosistem yang sangat memerlukan pengelolaan dan perawatan secara intensif
dan perbaikan keberlanjutan secara menyeluruh. Pemulihan hutan mangrove merupakan
bagian dari mekanisme pengelolaan hutan mangrove dan integral pengelolaan daerah pesisir
secara terpadu. Tujuan restorasi mangrove adalah mengembalikan sumberdaya hutan yang
terdegradasi untuk dapat berperan secara maksimal dan bisa memberikan manfaat kepada
masyarakat yang berkepentingan, terjadi keseimbangan lingkungan dan daerah pesisir serta
mendukung kegiatan industri yang berbasis sumberdaya mangrove. Namun demikian kondisi
tersebut dapat tercapai jika penanganan secara tepat sasaran, kelembagaan kuat dan
teknologi pemulihan yang tepat guna dan terfokus pada pemanfaatan yang jelas (DKP, 2010).
Sebuah konsep rehabilitasi dan restorasi yang baik harus disiapkan dengan melibatkan
partisipasi lokal. Rencana rehabilitasi dan restorasi harus difokuskan pada hal-hal sebagai
berikut:
1. Pemilihan lahan
2. Penyiapan lahan
3. Pemilihan jenis
4. Sumber propagul dan benih dan,
5. Tingkat pemeliharaan
Pengabaian terhadapa prinsip-prinsip ekologi dalam tahapan perencanaan dan
implementasi program rehabilitasi menjadi penyebab dalam kegagalan rehabilitasi.
Pemilihan lahan (Site selection) merupakan hal yang kritikal dalam rehabilitasi
mangrove. Sangat sulit untuk mengeneralisasi kondisi lahan untuk keberhasilan rehabilitasi
karena hal ini sangat bergantung pada faktor lingkungan setempat, sosial-budaya dan
kesesuaian jenis yang di tanam (Kairo et al., 2001 dalam Onrizal, 2014).
Persiapan lahan (Site preparation) dalam rehabilitasi mangrove tergantung pada
kondisi lahan yang akan direhabilitasi dan tujuan rehabilitasi. Pada lahan berupa hamparan
lumpur, persiapan lahan sangat sedikit atau malah tidak diperlukan sama sekali. Namun,
pada lahan yang telah diokupasi oleh semak belukar, persiapan lahan dengan tingkat
maksimum sangat diperlukan termasuk menghilangkan hambatan masuknya pasang surut
air laut, misalnya tanggul bekas tambak (Onrizal, 2014).
Pemilihan jenis (Species selection) merupakan faktor penting dalam rehabilitasi
mangrove. Hutan mangrove alami membentuk zonasi dan dalam program rehabilitasi, jenis
tumbuhan mangrove perlu dipilih mengikuti zonasi alam/suksesi alam. Ketepatan dalam
pemilihan jenis yang akan ditanam merupakan salah satu kunci keberhasilan penanaman
dalam rangka rehabilitasi mangrove yang rusak. Pemilihan jenis yang akan ditanam di suatu
lokasi tertentu tergantung pada banyak faktor. Adapun beberapa faktor yang sering
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis yaitu kelas penggenangan
(oleh air pasang surut) dan tipe substrat (sifat dan kimia tanah) lokasi yang bersangkutan
serta topografinya. Selain faktor ekologis, penggunaan jenis yang dianjurkan harus
mempunyai sifat-sifat berikut:
1. Sudah ada atau pernah ada secara alami di sekitar atau di wilayah penanaman
(penggunaan jenis diluar kriteria ini akan lebih kecil peluang keberhasilannya).
2. Ketersediaan propagul (bahan tanaman) dan bibt yang cukup memadai.
3. Sesuai dengan tujuan penanaman.
Terdapat dua sumber propagul atau benih utama untuk kegiatan rehabilitasi mangrove,
yakni anakan alam dan benih dari persemaian. Penggunaa anakan alam memiliki beberapa
keuntungan, namun yang utama adalah hutan mangrove yang dihasilkan akan lebih mirip
dengan vegetasi mangrove asalnya, lebih murah, lebih mudah dibentuk dan sedikit tenaga
kerja, sesuai dengan kondisi tanah setemoat dan benih yang didapatkan lebih kokoh (Onrizal,
2014).
Pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi mangrove tergantung pada lokasi penanaman
dan ancaman gangguan yang ada, misalnya hewan ternak, jaring nelayan, atau lainnya.
Penyulaman diperlukan bila terdapat tanaman pada daerah aliran yang mati, namun
umumnya penyulaman pada daerah yang aliran pasang surutnya lancar, seperti di kiri kanan
sungai lebih sedikit dibandingkan dengan area tanam berupa tambak. Pada daerah kiri kanan
sungai selain kondisinya alami karena mendapatkan pasokan pasang surut secara reguler,
juga mendapat anakan atau propagul baru yang dibawa oleh pasang surut. Hal berbeda
terjadi pada lahan penanaman berupa lahan tambak yang tidak mendapa anakan atau
propagul baru karena terhalan oleh pematang tambak (Onrizal, 2014).

b. Lamun
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat
produktif dan bersifat dinamik. Faktor lingkungan yaitu faktor fisika, kimia, dan biologi secara
langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun (Fernando et al., 2019; Mariani et
al., 2019).
Ekosistem padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai
fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah pesisir. Aktivitas manusia yang
tidak memperhatikan lingkungan pesisir akan mengakibatkan perubahan komunitas lamun
sebagai penunjang ekosistem pesisir. Banyak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir telah
mengorbankan ekosistem padang lamun, seperti kegiatan reklamasi untuk pembangunan
kawasan industri atau pelabuhan ternyata menurut data yang diperoleh telah terjadi
pengurangan terhadap luasan kawasan padang lamun, Sehingga pertumbuhan, produksi
ataupun biomasanya akan mengalami penyusutan (Tangke, 2010).
Di sisi lain masih kurang upaya yang kita berikan untuk menyelamatkan ekosistem ini.
Meskipun data mengenai kerusakan ekosistem padang lamun tidak tersedia tetapi faktanya
sudah banyak yang mengalami degradasi akibat aktivitas di darat. Dampak nyata dari
degradasi padang lamun mengarah pada menurunnya keragaman biota laut sebagai akibat
hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem ini. Upaya rehabilitasi menjadi isu yang
penting untuk dipikirkan bersama, seperti kegiatan transplantasi lamun pada suatu habitat
yang telah rusak dan penanaman lamun buatan untuk menjaga kestabilan dan
mempertahankan produktivitas perairan (Tangke, 2010).
Perlindungan habitat lamun tidak saja untuk kebutuhan keberlanjutan lamun, tetapi
untuk keberlanjutan biodiversity. Disamping itu kontribusi ekonomi utama dari padang lamun
untuk perikanan pesisir baik sebagai 'memancing' dan alasan 'penyediaan stoks pembibitan,
sehingga perlunya menggabungkan lamun ke dalam kerangka kerja legislatif konservasi
(Tuya et al., 2014).
Karena padang lamun mungkin akan rusak akibat berbagai aktivitas manusia sebagai
dampak dari kegiatan pembangunan pada daerah pantai, maka metode penanaman atau
transplantasi lamun dikembangkan sebagai salah satu cara untuk memperbaiki atau
mengembalikan habitat yang mengalami kerusakan (Rochmady, 2017). Tindakan rehabilitasi
berupa pembentukan kelembagaan yang mengarah pada strategi pengelolaan komunitas
lamun secara tepat dan terpadu dengan penekanan pada aspek social masyarakat,
pemberian penyuluhan kepada masyarakat serta penanaman spesies lamun (Tangke, 2010)
Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama
dari aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan
yaitu rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) dan rehabilitasi keras (hard rehabilitation).
Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia dilakukan dengan
cara kebijakan dan strategi pengelolahan, penyadaran masyarakat, pengembangan riset,
mata pencaharian alternative, dan penegakan hukum secara konsisten. Sedangkan
rehabilitasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat
dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun di
lingkungan yang perlu direhabilitasi. Penanaman lamun yang dikenal dengan "transplantasi"
merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat yang telah
mengalami kerusakan (Tangke, 2010).

c. Terumbu Karang

Peran ekologis yang dimainkan terumbu karang adalah sebagai daerah penyedia
makanan, daerah asuhan, daerah pertumbuhan dan daerah perlindungan bagi biota-biota
yang berasosiasi dengan terumbu karang. Terumbu karang memiliki keunikan simbiosis
antara hewan karang dengan zooxanthella yang mampu menyerap karbon dan menghasilkan
oksigen (Habibah, 2020).
Ekosistem terumbu karang ini sangat rentan mengalami kerusakan, ada dua penyebab
kerusakan terumbu karang, yaitu akibat dari kegiatan manusia dan pengaruh dari alam.
Kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan manusia merupakan ancaman utama bagi
keselamatan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang semakin meningkat setiap
tahunnya akibat dari ketergantungan manusia terhadap sumberdaya hayati dari ekosistem
terumbu karang. Ancaman terbesar ekosistem terumbu karang adalah penangkapan ikan
secara berlebihan dan pengrusakan, sedimentasi dan pencemaran yang berasal dari daratan,
pemanasan global serta pengambilan karang sebagai bahan bangunan (Firihu et al,. 2022).
Kerusakan yang terjadi pada terumbu karang, menimbulkan upaya-upaya yang
dilakukan oleh pengelola maupun masyarakat setempat untuk memperbaikinya. Untuk
memperbaiki ekosistem terumbu karang yang telah terdegradasi dapat dilakukan dengan
melakukan restorasidan rehabilitasi. Restorasi merupakan upaya mengembalikan atau
memulihkan kepada keadaan semula. Upaya ini adalah untuk memulihkan ekosistem
terumbu karang yang telah mengalami degradasi menjadi seperti kondisi sebelumnya,
bahkan harus lebih baik dari kondisi awalnya. Upaya yang akan dilakukan tersebut
disesuaikan dengan kondisi kerusakan dan kondisi lingkungan sekitarnya (Marhaeni, 2019).
Satu teknologi restorasi Terumbu Karang adalah Wave Resistant Bioreeftech.
Teknologi ini merupakan pengembangan atau modifikasi dari teknologi Bioreeftek (Ampoun
dan Widagti, 2018). Untuk menyesuaikan dengan kondisi perairan yang bergelombang tinggi,
maka bioreeftek ini dimodifikasi dengan dimensi lebih rendah agar turbulensi gerak orbital
gelombang yang mendekati dasar perairan tidak mencapai struktur ini sehingga bisa
dikatakan bioreeftek ini tahan terhadap gelombang (Wave Resistant). Selain itu, teknik
rehabilitasi menggunakan rangka spider-web juga sering dilakukan pada saat ini (Marhaeni
et al,. 2019).
Kegiatan transplantasi karang yang dilakukan menggunakan rangka spider-web
diharapkan dapat mempercepat regenerasi terumbu karang dan membangun daerah terumbu
karang baru yang sebelumnya tidak ada. Fungsi lainnya untuk menambah karang dewasa ke
dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem terumbu karang yang rusak dapat
ditingkatkan kembali (Garisson dan Ward, 2012). Kegiatan transplantasi juga memberikan
habitat baru bagi biota laut untuk tumbuh dan bereproduksi. Melalui program ini diharapkan
dapat membuka wawasan bagi masyarakat setempat akan pentingnnya rehabilitasi karang
melalui transplantasi karang dalam upaya menjaga eksosistem terumbu karang yang
berkelanjutan (Olii et al,. 2021).

d. Biota Laut (Dugong)


Duyung (Dugong dugon) merupakan salah satu mamalia laut yang hidup di peraiaran
dangkal. Duyung tergolong ke dalam Ordo Sirenia dengan ciri sebagai mamalia herbivor
(Nontji, 2015). Sebagai mamalia herbivor, duyung biasa memakan lamun di perairan laut
dangkal. Berdasarkan hasil penelitian Juraij (2016), duyung (Dugong dugon) lebih menyukai
lamun jenis Halophila sp., Halodule sp., Thalassia sp., dan Cymodocea sp. Duyung tergolong
hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018. Berdasarkan IUCN,
duyung (Dugong dugon) berstatus vulnerable (rentan) yang berarti dikhawatirkan akan
punah di masa yang akan datang (Marsh dan Sobtzick, 2015). Sebagai hewan yang
dilindungi, tidak jarang kasus duyung ditemukan akibat aktivitas manusia seperti terjerat
jaring nelayan, terluka oleh baling-baling kapal, serta sebagai hewan buruan. Hal itu menjadi
beberapa faktor yang dapat mengakibatkan menurunnya populasi duyung saat ini (Ashari
et al, 2018).
Saat ini, untuk mencegah punahnya duyung telah dilakukan upaya konservasi
duyung di beberapa tempat. Salah satunya satu kawasan konservasi duyung yaitu Pulau
Bintan. Pulau Bintan merupakan salah satu lokasi di Indonesia yang menjadi habitat
duyung, selain di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan (Priosambodo et al., 2017),
Kepulauan Bangka Belitung (Wiseli, 2017), Teluk Balikpapan (RASI dan Gibbon
Foundation, 2003), dan beberapa tempat lainnya seperti perairan Alor. Upaya konservasi
dugong di Pulau Bintan salah satunya dilakukan melalui proyek TRISMADES (Trikora
Seagrass Management Demonstration Site) pada tahun 2007 hingga 2010 yang menitik
beratkan pada pengelolaan ekosistem padang lamun. (Nontji, 2015).
Beberapa tempat di Pulau Bintan terdapat masyarakat yang berada di lokasi pesisir,
khususnya yang berdekatan dengan habitat duyung. Tidak sedikit aktivitas masyarakat
pesisir yang berinteraksi secara langsung dengan habitat duyung. Hal itu menjadi potensi
bagi pemerintah dalam melakukan konservasi duyung. Sebab konservasi duyung tidak akan
berhasil secara maksimal tanpa adanya kesadaran dan dukungan dari masyarakat yang
berinteraksi secara langsung dengan habitat duyung. Salah satu potensi dalam upaya
konservasi duyung yaitu melalui kearifan lokal yang ada di masyarakat itu sendiri (Ashari et
al, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Ampou, E.E., Widagti, N. 2018. Panduan Teknis Bioreeftek. Balai Riset dan Observasi Laut.

Ashari H I, Saputri D, Fitri N H E, Susiana, Apriadi T. 2018. Identifikasi Potensi Kearifan Lokal
Masyarakat Pesisir Pulau Bintan dalam Upaya Konservasi Duyung (Dugong dugon,
Muller 1776). Pengkemas Maritim. Volume 1. Nomor 1. Tahun 2018. Halaman 28-36.
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Bengen, D.G. dan A. Rizal. 2002. Perspektif Ekonomi Politik dalam Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir dan Laut Indonesia. Bunga Rampai Pemikiran. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut, Bogor.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. Pedoman Umum Kelembagaan Tempat Pelelangan
Ikan. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia.

Eddy S, Iskandar I, Ridho M R, Mulyana A. 2019. Restorasi Hutan Mangrove Terdegradasi


Berbasis Masyarakat Lokal. Program Studi Biologi FMIPA Universitas PGRI Palembang.
Palembang.

Fernando, R., W.R. Melani , dan D. Kurniawan. 2019. Pengaruh Laju Sedimentasi Terhadap
Kerapatan Lamun di Perairan Beloreng Kelurahan Tembeling Tanjung Kabupaten
Bintan. Jurnal Akuatik lestari. 3 (1) : 10-17.

Firihu M Z, Variani V I, Sudarsono, Nurjannah I, Takwir A. 2022. Jurnal Pengabdian Masyarakat.


Meambo 2022; 1(1) : 2961-7200

Habibah R. 2020. Perancangan Pusat Konservasi Terumbu Karang Di Pantai Utara Lamongan
Dengan Pendekatan Arsitektur Organik. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Sains Dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2020.

Juraij. 2016. Hubungan Fungsional Sebaran Jenis Lamun dengan Kemunculan Dugong dugon di
Pulau Bintan (Desa Pengudang & Desa Busung) Kepulauan Riau. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Marhaeni B, Trenggono M, Hidayat R R, Sumantri R A. 2019. Upaya Meningkatkan Peran
Masyarakat Kampung Laut Cilacap dalam Merestorasi Terumbu Karang (Efforts to
Increase the Role of Kampung Laut Cilacap Communities In Restoring Coral Reefs).
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers Pengembangan Sumber Daya
Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan IX 19-20 November 2019 Purwokerto.

Marsh, H. & Sobtzick, S. 2015. Dugong dugon. The IUCN Red List of Threatened Species 2015.

Nontji, A. 2015. Dugong Bukan Putri Duyung. Jakarta

Olii M Y U, Ningsi A, Auliyah N, Yantu M, Binol S V. 2021. Teknik Transpalantasi Karang


Menggunakan Metode Rangka-Spider Di Sekitar Pantai Ratu Desa Tenilo, Kab.
Boalemo. Prodi Perikanan Dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo.
Jurnal Volume 4 Nomor 1 Tahun 2021.

Onrizal, 2014. Merancang Program Rehabilitasi Mangrove Yang Terpadu Dan Partisipatif.
Program Studi Kehutanan, Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor


P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1//6/2018. Tentang Jenis tumbuhan dan Satwa yang
Dilindungi. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 880. Jakarta.

Priosambodo D, Nurdin N, Amri K, Massa YN, Saleh A. 2017. Penampakan Duyung (Dugong
Sighting) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Spermonde 3(1) :20-28.

RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia), Gibbon Foundation. 2003. Studi Keberadaan Duyung
(Dugong dugon Muller) di Teluk Balikpapan. Laporan Akhir. RASI dan Gibbon
Foundation. Samarinda

Rudianto, 2014. Analisis Restorasi Ekosistem Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Co-
Management: Studi Kasus di Kecamatan Ujung Pangkah dan Kecamatan Bungah,
Kabupaten Gresik. Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.

Suriani M, Bahagia. 2008. Kajian Pelaksanaan Program Rehabilitasi Hutan Mangrove Pasca
Tsunami Di Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar. Jurusan Pendidikan
Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Medan.
Tangke U. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi). Jurnal Ilmiah
agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010)
Tuya F, Haroun R and Espino F. 2014. Economic assessment of ecosystem services: Monetary
value of seagrass meadows for coastal fisheries. Ocean & Coastal Management, 96:
181-187.
Waryono T, 2002. Restorasi Ekologi Hutan Mangrove (Studi Kasus DKI Jakarta). Kumpulan
Makalah Periode 1987-2008

Wiseli R. 2017. Strategi Pengelolaan Duyung (Dugong Dugon) di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 11(1): 61-70.

Anda mungkin juga menyukai