Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN MANGROVE DAN OTONOMI DAERAH

oleh

RB. Ach. Murtada, S.Hut., MP


Analis Hasil Hutan pada UPT PHW IX Sampang Wilker Sumenep

PENGANTAR

Sumber daya alam (hutan) merupakan modal dasar pembangunan nasional

selain sektor-sektor penyumbang devisa lainnya pada negara seperti sektor jasa dan

pariwisata yang tentunya diusahakan secara maksimal. Pada konsep ini ada salah

satu hal penting yang tidak mendapat perhatian secara baik dan benar oleh para

pengelola hutan di Indonesia, yaitu kecilnya perhatian terhadap konservasi,

lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat (Simon, 1998). Peningkatan kerusakan

sumber daya hutan juga ditunjang pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah

penduduk di sebagian besar kawasan tropika tentunya mempercepat laju eksploitasi

sumber daya alam.

Sumber daya hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang selama ini

pengelolaanya tersentralistik. Model pengelolaan tersebut tidak memberikan

keuntungan yang optimal baik dari segi sosial, ekonomi dan ekosistem hutan itu

sendiri. Akibat yang dirasakan pada saat sekarang ini adalah mahalnya biaya (cost)

dalam upaya mengatasi persoalan yang berhubungan dengan pelestarian produktifitas

sumber daya alam dan lingkungan. Berangkat dari pengelolaan yang sentralistik

tersebut maka munculnya wacana otonomi daerah memberikan sebersit asa pada

masyarakat lokal untuk turut serta secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan

tentang sumber daya alam di daerahnya masing-masing.

Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem dan sumberdaya alam

pemanfaatannya diarahkan untuk kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan

pemanfaatannya agar dapat berkelanjutan, maka hutan mangrove perlu dijaga

keberadaannya (Kusmana, 2005). Pengelolaan hutan mangrove merupakan suatu


1
upaya perlindungan terhadap hutan mangrove menjadi kawasan hutan konservasi dan

rehablitasi hutan mangrove seperti kegiatan penghijauan untuk mengembalikan nilai

estetika dan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove yang telah ditebang dan

dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain (Bengen, 2000). Hutan mangrove sebagai

salah satu lahan basah di daerah tropis dengan akses yang mudah serta kegunanan

komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi menjadikan sumberdaya tersebut

sebagai sumberdaya tropis yang kelestariannya akan terancam (Valiela et al., 2001).

Pada dasarnya ekosistem ini merupakan hutan yang terdapat disepanjang pantai atau

muara sungai yang sangat di pengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut.

Kawasan hutan mangrove di Pulau Masakambing Kec. Masalembu Kab. Sumenep

Kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Indonesia disusun berdasarkan

analisis pada tekanan-tekanan yang dialami ekosistem mangrove akibat

pembangunan baik secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu pengelolaan

ekosistem mangrove harus merupakan bagian integral dari pengelolaan wilayah

pesisir terpadu dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara keseluruhan

(Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Selaku

Ketua Pengarah Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nomor

4 Tahun 2017 Tentang Kebijakan, Strategi, Program, Dan Indikator Kinerja

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional, 2017).

2
Permasalahan dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain degradasi

kawasan yang menyebabkan fungsi ekologis menurun. Upaya konservasi dan

rehabilitasi yang diharapkan mampu meningkatkan fungsi ekologi masih dianggap

beban bukan tanggung jawab sehingga upaya rehabilitasi yang diakukan masih

belum mampu mengimbagi laju kerusakan yang terjadi. Selanjutnya belum adanya

kesepahaman yang holistik tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove diantara

penentu kebijakan dan masyarakat, pemahaman masyarakat lokal dan perencanaan

pengelolaan ekosistem mangrove belum optimal, serta kegiatan pemanfaatan

sumberdaya mangrove yang ramah lingkungan masih kurang. Kemudian mengenai

kelembagaan meliputi koordinasi diantara lembaga terkait dalam pengelolaan

ekosistem mangrove belum efektif, disamping peraturan perundang–undangan

pengelolaan ekosistem mangrove yang belum memadai, dan penegakan hukum

dalam pengelolaan ekosistem mangrove belum efektif.

Oleh karena itu adanya kesepahaman dalam pengambilan keputusan tentang

kebijakan yang akan ditentukan haruslah tetap berpegang pada prinsip bahwa hutan

merupakan suatu sumber daya alam yang merupakan suatu kesatuan ekosistem

dengan segala struktur dan fungsi yang melekat padanya. Pengetahuan tentang

ekosistem hutan yang menyeluruh (holistik), akan memberikan pengertian pada kita

bahwa pembangunan kehutanan tidak dapat berjalan sendiri dalam suatu

pembangunan wilayah. Sehingga hutan tidak hanya berfungsi ekonomis semata,

namun juga berfungsi dalam pengawetan tanah dan tata air, penyuplai oksigen, dan

sebagainya.

EKOSISTEM MANGROVE

Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik, dan

umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung

di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri berasal dari perpaduan

antara bahasa Portugis yaitu mangue, dan bahasa Inggris yaitu grove (Macnae 1968).
3
Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan,

dan kata mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-

individu jenis mangrove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik

untuk komunitas pohon-pohonan atau rumput-rumputan yang tumbuh di kawasan

pesisir maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya yang tumbuh yang berasosiasi

dengannya. Mastaller dalam Noor dkk. (1999) menyebutkan bahwa kata mangrove

adalah berasal dari bahasa Melayu-kuno, yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk

menerangkan marga Avicennia, dan sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan

untuk kawasan Maluku. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai macam istilah yang

digunakan untuk memberikan sebutan pada hutan mangrove, antara lain adalah

coastal woodland, mangal dan tidalforest (Macnae 1968; Walsh 1974).

Saenger et al. (1986) memberikan pengertian bahwa hutan mangrove adalah

sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi oleh adanya pasang-surut air laut,

dengan keadaan tanah yang anaerobik. Sukardjo (1996), mendefinisikan hutan

mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis

tumbuhan dari famili yang berbeda, namun memiliki persamaan daya adaptasi

morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang

surut. Sorianegara (1987) memberi definisi hutan mangrove sebagai hutan yang

terutama tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai, yang

eksistensinya selalu dipengaruhi oleh air pasang-surut, dan terdiri dari jenis

Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,

Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Tomlinson (1986) mendefinisikan mangrove

baik sebagai tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut maupun sebagai

komunitas.

Hal yang paling mendasar dan penting untuk dipahami adalah bahwa jenis

tumbuhan mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada lingkungan pesisir yang

berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang kurang stabil dan
4
anaerob. Dengan kondisi lingkungan tersebut, beberapa jenis tumbuhan mangrove

mampu mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif untuk

mengeluarkan garam dari jaringan. Sementara itu, organ yang lainnya memiliki daya

adaptasi dengan cara mengembangkan sistem akar napas untuk memperoleh oksigen

dari sistem perakaran yang hidup pada substrat yang anaerobik. Disamping itu,

beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti Rhizophora sp., Bruguiera sp. dan

Ceriops sp. mampu berkembang dengan menggunakan buah (propagul) yang sudah

berkecambah sewaktu masih menempel pada pohon induknya atau disebut sebagai

vivipar. Namun sebagaimana halnya dengan jenis tumbuhan lainnya, tumbuhan

mangrove ini tetap membutuhkan air tawar secara normal, unsur hara dan oksigen.

Hutan mangrove tumbuh dan tersebar diseluruh Nusantara, mulai dari Pulau

Sumatera sampai dengan Pulau Papua. Dari seluruh hutan mangrove tersebut,

ditemukan sekitar 202 jenis tumbuhan yang hidup pada hutan mangrove, yakni

meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palm, 19 jenis pemanjat, 44 jenis terna, 44 jenis

epifit, 1 jenis paku-pakuan (Noor dkk. 1999).

SUMBERDAYA ALAM (SEBAGAI ASET) DAERAH

Berdasarkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 pengelolaan sumber daya

alam haruslah demi kemakmuran masyarakat meskipun sumber daya alam tersebut

dikuasai oleh Negara. Kearifan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya

alam mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut sehingga masyarakat harus

mempunyai akses yang sama dan menguntungkan kepada sumber daya alam.

5
Hasil tangkapan penduduk sekitar hutan mangrove berupa kepiting bakau
di Pulau Masakambing Kec. Masalembu Kab. Sumenep

Undang-Undang No 23 tahun 2014 muncul dari adanya keresahan dampak

yang ditimbulkan Undang-Undang No 32 tahun 2004. Beberapa kelemahan UU

lama (UU 32/2004) antara lain lemahnya fungsi Gubernur dan pemerintah pusat

dalam mengontrol pemerintah kabupaten dan kota. Ditemukan Gubernur sebagai

kepanjangan pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse of power dari

pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah pertambangan, kelautan dan

kehutanan. Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan yang parah akibat

eksploitasi pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka meningkatakan pendapatan

daerah.

Pengesahan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

mencabut UU No. 32 Tahun 2004 berdampak terhadap otonomi daerah dalam

pengelolaan pesisir. Pasal 27 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa

Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada

di wilayahnya. Pasal ini menggugurkan Pasal 18 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004,

yang menyebutkan bahwa Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan

untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Pada bagian penjelasan, Daerah dalam

UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota. Dengan demikian, secara langsung Pasal 27 ayat (1) UU No. 23

6
Tahun 2014 mencabut kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya

laut.

Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut

paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas

dan/atau ke arah perairan kepulauan (Pasal 27 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014). Pasal

ini memperkuat pemberian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi, dimana

sebelumnya ada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejauh 4 (empat) mil laut

sebagaimana ditetapkan pada Pasal 18 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004, yang

menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari

garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk Provinsi

dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan Provinsi untuk kabupaten/kota. Dengan

demikian, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014, maka mulai dari

garis pantai hingga 12 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi.

Kekosongan kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil di daerah Kabupaten / Kota terjadi sebagai dampak diberlakukannya UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014 hanya

mengatur pemberian kewenangan pengelolaan wilayah pesisr kepada pemerintah

daerah Provinsi, sedangkan UU No. 1 tahun 2014 pengelolaan wilayah pesisir dapat

dilakukan oleh Gubernur maupun Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Sejauh mana kewenangan dari pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota

dalam pengelolaan wilayah pesisir ini pada Undang-Undang Pemerintah Daerah

tidak dijelaskan.

Hal ini akan menimbulkan permasalahan bagaimana kelestarian tetap dipegang

erat dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mendukung peningkatan pendapatan

dan pembangunan daerah. Oleh karena itu seberapa besar kesiapan daerah dalam hal

seperti kualitas sumber daya manusia (SDM), perencana pembangunan,


7
kelembagaan, peraturan daerah serta penegakan hukum (law enforcement) dalam

mendukung pengelolaan sumber daya alam yang lestari perlu dipertanyakan.

Salah satu alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah kombinasi

pemanfaatan antara kelestarian lingkungan pesisir dan pemanfaatan ruang yang

berkelanjutan. Adapun bentuk dari alternatif kebijakan tersebut adalah :

a. Pemanfaatan kawasan pesisir secara berkelanjutan sebagai daerah wisata

atau yang lebih dikenal dengan istilah ekowisata hutan mangrove. Ekowisata

merupakan suatu bentuk wisata pada kawasan hutan mangrove dengan tujuan

mengkonservasi lingkungan, melestarikan kehidupan dan kesejahteraan

penduduk setempat. Model pengelolaan ini sudah mengkombinasikan azas

perlindungan, pemanfaatan dan pengawetan terhadap kawasan mangrove.

b. Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan

aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan

fauna, sosial-budaya etnis setempat dan wisatawan yang melakukannya ikut

membina kelestarian lingkungan alam disekitarnya dengan melibatkan

penduduk lokal (Yoeti, 2000).

c. Guna optimalisasi konsep ekowisata tersebut diperlukan suatu strategi

pengembangan yang tepat meliputi :

▪ Strategi teknologi yang dimaksud dalam hal ini adalah yang digunakan

untuk pelaksanaan pemasaran dan promosi objek wisata. Dalam dunia

kepariwisataan teknologi informasi dan komunikasi sangat diperlukan. Hal

itu digunakan untuk mempermudah melakukan kegiatan pemasaran atau

promosi potensi wisata.

▪ Strategi Inovasi. Inovasi merupakan sistem aktivitas organisasi yang

mentransformasikan teknologi mulai dari ide sampai komersialisasi.

Inovasi mengacu pada pembaharuan suatu produk, proses dan jasa baru.

8
Pengembangan Ekowisata Mangrove dilakukan karena melihat potensi

yang di miliki objek wisata tersebut.

▪ Strategi Operasi. Salah satu strategi yang dilakukan dalam mencapai

keunggulan kompetitif dalam bidang pariwisata adalah (1). Bekerjasama

dengan investor, (2). Meningkatkan sarana dan prasarana

d. Pengembangan kegiatan ekowisata memerlukan pengelolaan secara terpadu

dan berkelanjutan menggunakan model pendekatan dua arah yaitu top down

dan bottom up yang dilakukan secara holistik dengan menjalankan kerjasama

antar stakeholder sehingga dengan sendirinya akan membina kesadaran dan

kepedulian untuk tetap menjaga

e. Perlu juga memperhatikan faktor-faktor dalam pengelolaan kawasan yang

adaptif seperti tujuan pokok (specific purposes), terukur (measurable),

berorientasi pada pencapaian/hasil bukan pada proses (achievement oriented),

realistis (realistic) dan dibatasi waktu (time-limited)

9
PENUTUP

Dari berbagai uraian yang diutarakan tersebut dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harus disesuaikan dengan

karakteristik ekosistemnya.

2. Pelaksanaan konservasi ekosistem sumber daya alam dengan semangat otonomi

daerah perlu dilakukan dengan tingkat kearifan yang tinggi.

3. Bahwa pembangunan harus menjunjung tinggi akan konsep sustainable

development sehingga pengembangannya mampu memenuhi 3 kriteria yakni

secara fisik lingkungan, ekonomi, dan sosial.

4. Ekowisata mangrove dapat menjadi sekolah alam bagi wisatawan melalui

pengenalan beragam jenis mangrove yang ada, pembelajaran tentang fungsi dan

manfaat dari keberadaan hutan mangrove.

5. Strategi yang di tempuh guna mengembangkan Ekowisata Mangrove adalah:

a) Strategi teknologi

b) Strategi inovasi

c) Strategi operasi

6. Prioritas strategi pengembangan melalui upaya:

a) Koordinasi antara masyarakat sekitar dengan stakeholder yang dimulai

dengan perencanaan, sosialisasi, pelaksanaan dan pemantauan konsep

pengembangan ekowisata mangrove.

b) Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pengelolaan dan

pelatihan manajemen ekowisata mangrove yang efektif dan produktif.

c) Menggali potensi wisata alam dan bahari dengan pembinaan kepada

masyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor

Ivan Valiela, Jennifer L. Bowen, And Joanna K. York, 2001. Mangrove Forests:
One of the World’s Threatened Major Tropical Environments, BioScience •
October 2001 / Vol. 51 No. 10

Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca
Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan Mangrove Pasca
Tsunami, April 2005. Medan.

Macnae, W.. 1968. “A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove Swamp
and Forest in the Indo-West Pasific Region”. Adv. Mar. Biol, 6 : 73- 270.

Noor, Rusila; Khazali dan Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Di


Indonesia. PKA/WIJPB. Bogor.

Republik Indonesia, 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun


2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil , Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Jakarta

_________________, 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun


2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Jakarta

_________________, 2017. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian


Republik Indonesia Selaku Ketua Pengarah Tim Koordinasi Nasional
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kebijakan,
Strategi, Program, Dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Nasional, Jakarta

Saenger, P., E.J. 1986. Global Status Of Mangrove Ecosystems. IUCN. Commision
on Ecology No. 3.

Simon, Hasanu, 1998. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest


Management) Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. BIGRAF
Publishing. Yogyakarta.

Soerianegara, I.1987. Masalah Penentuan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Pros. Sem.
III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.

Sukardjo, S. 1996. Gambaran Umum Ekologi Mangrove Di Indonesia


LokakaryaStrategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove Di Indonesia.
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, Departemen Kehutanan,
Jakarta: 26 hal.

Thomson, P. Ocampo. 2006. 11 Mangroves, People and Cockles: Impacts of the


Shrim-FarmingIndustri on Mngrove Communities in Esmeraldas Propince,

11
Ecuador. Environment and Livelihoods in Tripical Coastal Zones (Eds. C.T.
Hoanh, T.P. Tuong, J. W, Growing and B.Hardy)

Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University


Press

Yoeti, Oka A. 2000. Ekowisata Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup. Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai