Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MATA KULIAH

EKOLOGI & EKOSISTEM LAHAN BASAH

PROGRAM S3 PASCA SARJANA ILMU LINGKUNGAN


Dosen: DR. ELFRIYELDI, M.Si

Oleh:
Ismed, SKM, MHP
NIM: 2210346981

UNIVERSITAS RIAU
2022
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
(oleh: Ismed)

I. PENDAHULUAN

Kata mangrove menurut Odum (1983), berasal dari kata `mangal` yang berarti
komunitas suatu tumbuhan. Selanjutnya Supriharyono (2000), menunjukkan bahwa kata
mangrove mempunyai dua arti yakni pertama sebagai komunitas tumbuhan ataupun hutan
yang tahan akan kadar salinitas/ garam (pasang surutnya air laut), dan kedua sebagai
individu spesies. Sedangkan arti kata mangrove menurut Saparinto (2007), adalah vegetasi
hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, namun juga bisa tumbuh pada pantai karang,
juga pada dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni sebuah lapis tipis pasir, lumpur,
maupun pantai berlumpur.

Mangrove ialah suatu tempat yang bergerak karena adanya pembentukan tanah
lumpur serta daratan yang terjadi terus-menerus, sehingga perlahan-lahan berubah menjadi
semi daratan. Berbagai definisi mangrove sebenarnya mempunyai arti yang sama yakni
formasi hutan daerah tropika serta sub-tropika yang ada di pantai rendah dan tenang,
berlumpur, dan memperoleh pengaruh dari pasang surutnya air laut. Hutan mangrove pun
merupakan mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus
biologi dari suatu perairan (Arief, 2003).

Ekosistem mangrove ialah suatu sistem di alam sebagai tempat berlangsungnya


kehidupan yang merefleksikan hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan
lingkungannya, serta antara mahluk hidup itu sendiri, berada di wilayah pesisir, terpengaruh
oleh pasang surutnya air laut, serta didominasi oleh spesies pohon ataupun semak yang khas
serta dapat tumbuh di dalam perairan payau/asin (Santoso, 2000).

Berdasarkan uraian diatas hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis &sub-
tropis yang didominasi oleh berbagai spesies mangrove yang bisa tumbuh dan berkembang
di daerah pasang surut, berlumpur, serta berpasir. Akan tetapi, tidak semua pantai bisa
ditumbuhi mangrove oleh karena pertumbuhannya yang memiliki persyaratan, seperti
kondisi pantai yang terlindungi dan relatif tenang, dan mendapat sedimen dari muara sungai.

Menurut Alikodra (1998), hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dengan kondisi tanah yang anaerobik. Bengen
(2002) juga mendefinisikan hutan mangrove sebagai suatu komunitas vegetasi pantai tropis
yang didominasi oleh berbagai jenis pohon mangrove yang bisa tumbuh dan berkembang di
daerah pasang surut pantai yang berlumpur. Hutan mangrove adalah tipe hutan tropika yang
khas tumbuh di sepanjang pantai ataupun muara sungai yang terpengaruh oleh pasang surut
air laut. Mangrove seringkali ditemukan di berbagai pantai teluk yang estuaria, dangkal,
delta, serta terlindungi. Mangrove tumbuh dengan optimal di daerah pesisir yang
mempunyai muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di daerah pesisir yang
tidak memiliki muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal.
Secara umum terdapat tiga komponen pokok yang harus diperhatikan dalam upaya
pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya dan sumberdaya alam pesisir
dan laut umumnya yaitu; diantaranya aktifitas sosial (Social processes), ekonomi (Economic
processes) dan sumberdaya alam itu sendiri (Natural processes). Ketiga komponen ini saling
terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dari aspek sosial-ekonomi, budaya dan
estetika manusia membutuhkan sumberdaya alam untuk dapat meneruskan kehidupannya,
disisi lain keberadaan atau kelestarian sumberdaya alam (SDA) khususnya pesisir dan laut
sangat tergantung pada aktifitas manusia sebagai pengguna (User) utama dari sumberdaya
alam ini.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan


martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan
masyarakat berarti memberikan kemampuan dan memandirikan masyarakat. Proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat
agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya.

II. Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Hutan Mangrove

Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki
berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu
menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan
SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi
dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal,
dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).

Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki


beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam
ekosistem SDA, yaitu :
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang
terbatas pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran
ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam


memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli
dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove
adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove
dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan
fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi
penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
III. Kendala dan Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Dalam mengelola hutan mangrove ada beberapa kendala yang harus di ketahui agar
dapat berhasil dengan maksimal. Adapun kendala tersebut dapat dibagi atas:

a. Kendala Aspek Teknis


1. Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan
salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya
pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2. Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem
daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini
mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat
beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap
gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem
produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3. Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk
yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang
rendah.

b. Kendala Aspek Kelembagaan

Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya


adalah :
1. Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan
ada yang belum sama sekali.
2. Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4. Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait
5. Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada
6. Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam
pengelolaan mangrove
7. Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove
belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan
dengan kawasan tersebut.

Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga bentuk kegiatan


pokok, yakni:
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatannya dapat dikendalikan dengan
penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara
menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung,
hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan
Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll).
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya
dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.
IV. Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove melalui pemberdayaan masyarakat

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove, sedikitnya


terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya
memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan
dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah protection and
rehabilitation of mangrove forest. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka
perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan
hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi (conservation area), dan sebagai
bentuk sabuk hijau (green belt) di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem juga sebagai sumberdaya alam


pendayagunaannya ditujukan demi kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan
pendayagunaannyahingga dapat berkelanjutan, maka hutan mangrove perlu dilestarikan
keberadaannya (Kusmana, 2005). Pengelolaan hutan mangrove adalah suatu upaya
pelestarian serta perlindungan hutan mangrove agar menjadi kawasan hutan konservasi serta
rehablitasi hutan mangrove semisal kegiatan penghijauan hingga mengembalikan nilai
estetika juga fungsi ekologis kawasan hutan mangrove yang pernah ditebang dan dialihkan
fungsinya pada kegiatan lain (Bengen, 2000).

Rehabilitasi adalah kegiatan/upaya, juga terliput didalamnya pemulihan serta


penciptaan habitat dengan cara mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil.
Sedangkan pemulihan adalah suatu kegiatan dalam menciptakan suatu ekosistem atau
dengan kata lain memperbaharuinya agar kembali pada fungsi alamiahnya. Akan tetapi,
rehabilitasi mangrove sering dimaknaidengan sederhana, yakni menanam mangrove atau
lalu menanamnya tanpa terdapat penilaian yang memadai dan evaluasi pada keberhasilan
penanaman serta level ekosistem.Tak hanya itu, alasan ekonomi usaha pemulihan kembali
ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3
jenis spesies). Hal tersebut mengakibatkan perubahan terhadap habitat serta penurunan
fungsi ekologi ekosistem mangrove itu sendiri sebab sifatnya yang homogen dibandingkan
dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang adalah biodiversitas dalam
hubungannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al., 2002 dalam Haikal, 2008).

Selama ini sudah banyak program-program dijalankan pemerintah sebagai upaya


merehabilitasi kawasan hutan mangrove yang merupakan salah satu semberdaya alam
(SDA) yang memiliki nilai ekologis dan juga ekonomis tinggi, namun sebagian besar usaha
ini tidak berkelanjutan/berkesinambungan dan pada akhirnya berujung pada suatu
kegagalan. Untuk itu pola pengelolaan yang selama ini digunakan pemerintah yang
cenderung bersifat dari atas ke bawah (top down) harus segera di modifikasi atau dirubah
yaitu dengan mencoba melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain memberi
kesempatan kepada masyarakat (Human system) sekitar kawasan untuk turut berpartisipasi
dalam upaya pengelolaan dan pengawasan ini.

Perlu diketahui juga bahwa di wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan
hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan mangrove dan
biasanya dikelola oleh masyarakat setempat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk
budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Untuk itu pola pengelolaan dan pengawasan
ekosistem mangrove yang bersifat partisipatif merupakan salah satu solusi yang tepat.
Dalam upaya pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
pesisir dan laut dalam hal ini.termasuk di dalamnya huta mangrove dilakukan melalui
berbagai macam strategi diantaranya : strategi persuasif, edukatif dan fasilitatif.

a. Strategi Persuasif

Strategi persuasif dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan-pembinaan.


Kegiatan pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
dari kelompok sasaran terhadap pesan yang disampaikan. Materi pembinaan meliputi
penyuluhan tentang pentingnya hutan mangrove dan pelestariannya, pengelolaan
tambak yang ramah lingkungan serta pentingnya organisasi/kelompok masyarakat.

b. Strategi Edukatif

Strategi edukatif dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan. Melalui pelatihan


diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan kelompok sasaran terhadap suatu aspek
tertentu. Kegiatan pelatihan yang dilakukan adalah peningkatan pemahaman dan
ketrampilan kelompok sasaran di bidang rehabilitasi mangrove seperti seleksi buah,
pembibitan dan penanaman; pelatihan peningkatan pemahaman dan ketrampilan di
bidang perikanan, yaitu budidaya udang tambak ramah lingkungan dan budidaya
bandeng; pelatihan pengembangan kemampuan dalam pengelolaan kelompok, seperti
administrasi, pengelolaan keuangan, kepengurusan dan aturan main pelaksanaan
program.

c. Strategi Fasilitatif

Strategi fasilitatif dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan usaha yang


merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
rehabilitasi mangrove. Bantuan usaha yang diberikan umumnya berkaitan dengan
program rehabilitasi mangrove, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu
bantuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompok
sasaran.

Secara keseluruhan ketiga strategi pengembangan partisipasi masyarakat yang


dilakukan berkontribusi atau berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan (rehabilitasi) mangrove. Strategi pembinaan yang dilakukan dapat dilihat
sebagai upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti
dan nilai ekosistem mangrove, sehingga perlu dilestarikan. Strategi pelatihan dapat
dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
melaksanakan pengelolaan (rehabilitasi) mangrove serta menjaganya. Strategi bantuan
usaha dapat dilihat sebagai upaya untuk membantu usaha/ekonomi masyarakat.

Hidayati (1999) menyatakan bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan
agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan berbasiskan masyarakat adalah
melalui pemberdayaan masyarakat. Disebutkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu
memperhatikan lima unsur dalam implementasinya, yaitu:
1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan tujuan utama adalah memberikan
alternatif usaha yang secara sosial-ekonomi menguntungkan dan secara ekologi
ramah terhadap lingkungan.

2) Memberikan akses kepada masyarakat seperti akses terhadap informasi, akses


terhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan, penegakan dan perlindungan
hukum serta akses terhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya.

3) Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan nilai


sumberdaya ekosistem sehingga pelestariannya sangat diperlukan.

4) Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga,


mengelola dan melestarikan sumberdaya/ekosistem, dan

5) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan


melestarikan sumberdaya/ekosistem.

Sejalan dengan hal tersebut, Bengen (2001) menyebutkan bahwa masalah


pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan
antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan
sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Tanpa adanya upaya pemeliharaan atau perlindungan secara


berkesinambungan yang melibatkan partisipasi masyarakat (Human system) di
sekitar kawasan, maka upaya pengelolan ekosistem mangrove kecil
kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana mengembangkan partisipasi masyarakat di sekitar kawasan agar terlibat
secara aktif dalam kegiatan pengelolaan ekosistem ini, serta memperoleh
manfaat dari keterlibatan tersebut. Disisi lain, secara ekonomis melibatkan
masyarakat dalam sistem pengelolaan dan pengawasan ini juga memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak baik itu masyarakat di sekitar kawasan
Mangrove yang umumnya relatif miskin dan juga pemerintah yang bertindak
sebagai institusi pengelola. Dengan demikian strategi yang melibatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove ini selain mencapai
tujuan konservasi hutan Mangrove juga harus mampu mengatasi masalah sosial
ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tersebut.

V. Penutup

Potensi ekonomi ekosistem mangrove berasal dari tiga sumber yaitu flora, fauna, dan
jasa lingkungan dari ekosistem mangrove tersebut. Disamping menghasilkan bahan dasar
untuk industri. Ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang
berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan
ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem
kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut
jika keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya
berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai
sumberdaya renewable dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang
terjadi di dalam ekosistem mangrove berlangsung tanpa gangguan.

Dalam pengelolaan hutan mangrove, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah
dengan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama dalam pengelolaan dan pelestarian
hutan mangrove. Oleh karena itu , persepsi atau sudut pandang masyarakat mengenai
keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang betapa pentingnya
sumberdaya hutan mangrove tersebut. Salah satu caranya adalah pengelolaan yang berbasis
masyarakat melalui aplikasinya dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola
ekosistem mangrove. Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan
dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya
pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat
menjadi lebih proaktif dalam menentukanarah kemajuan dalam komunitasnya sendiri.
Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan
berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan
kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya.

Pemeliharaan atau perlindungan secara berkesinambungan yang melibatkan


partisipasi masyarakat (Human system) di sekitar kawasan, tidak akan berhasil berjalan
dengan baik bila tidak diimbangin dengan upaya yang maksimal. Oleh karena itu, hal yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasi masyarakat di sekitar
kawasan agar terlibat secara aktif dalam kegiatan pengelolaan ekosistem ini, serta
memperoleh manfaat dari keterlibatan tersebut. Disisi lain, secara ekonomis melibatkan
masyarakat dalam sistem pengelolaan dan pengawasan ini juga memberikan keuntungan
bagi kedua belah pihak baik itu masyarakat di sekitar kawasan Mangrove yang umumnya
relatif miskin dan juga pemerintah yang bertindak sebagai institusi pengelola. Dengan
demikian strategi yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan
ekosistem mangrove ini selain mencapai tujuan konservasi hutan Mangrove juga harus
mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tersebut.

Strategi ini tidak semata-mata hanya meningkatkan pemahaman dan kesadaran


masyarakat akan pentingnya hutan Mangrove serta kemampuan dalam mengelolanya,
namun juga memberdayakan kehidupan sosial ekonomi mereka yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pada akhirnya akan sebagai salah satu
cara untuk menanggulangin kemiskinan yang biasa terjadi pada masyarakat pesisi

VI. Daftar Pustaka


1. Alikodra, H.S. 1998 . Perencanaan Pengelolaan Situ di Jabotabek ditinjau dari Aspek
Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam . Makalah Workshop Pengelolaan
Situ -situ Di Wilayah Jabotabek, Bogor 29 September 1998.
2. Arief, A.. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius.

3. Bengen, D., 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut. Pusat
Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

4. http://journals.unpad.ac.id/akuatika/article/view/1623/1629 https://www.google.co.id/webhp?
sourceid=chromeinstant&rlz=1C1MOWC_enID559ID681&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=konsep+pengelolaan+ekosistem+mangrove

5. Kusmana, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Departemen


Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

6. Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari Proses Pengembangan


Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di Desa Sastrodirjan Kabupaten
Pekalongan. Tesis. Program Studi Magister Teknik Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip.
Semarang.

7. Odum, E.P. (1983). Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada.
University, press.

8. Rahim, Manat, Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Pesisir dalam Penanggulangan


Kemiskinan di Kabupaten Suton Sulawesi Tenggara,
http://journal.binus.ac.id/index.php/winners/article/view/633/610.

9. Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Semarang : Dahara


Prize.

10. Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategi


Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

11. Sukmaniar. 2007. Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Program


Pengembangan Kecamatan (Ppk) Pasca Tsunami Dikecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh
Besar. Tesis. UNDIP. Semarang.

12. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alamdi WilayahPesisir
Tropis. Jakarta: Gramedia.

13. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove . Jakarta : Lokakarya


Nasional Pengembangan Sistem pengawasan Ekosistem Lau

Anda mungkin juga menyukai