Anda di halaman 1dari 81

I.

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulau yang mencapai
17.508 pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Wilayah lautan yang luas tersebut
menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia.
Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas
serta keragaman jasadjasad hidup di dalam yang semuanya membentuk dinamika kehidupan
untuk dapat dimanfaatkan seperti lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai beberapa
fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktivitas primer di perairan dangkal
di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme (Nontji,
1987).
Di Perairan Jepara, masih banyak perairan yang kondisinya bersih namun banyak juga
yang kondisi perairannya memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi karena proses sedimentasi.
Pantai Blebak salah satunya terletak di daerah Sekulo, Kecamatan Mlonggo, Jepara yang
merupakan kawasan perairan yang masih bersih dan termasuk pantai wisata. Mangrove,
karang dan lamun dapat menjelaskan kondisi perairan tersebut dan juga potensi wisata bahari
maupun potensi wilayah pesisir. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi struktur
komunitas mangrove, lamun, dan karang di Pantai Blebak untuk mengetahui kondisi
ekosistem yang ada di pantai Pantai Blebak serta bagaimana interaksi biota-biota yang ada di
dalam ekosistem tersebut.

I.2 Tujuan
I.2.1 Mangrove
1. Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove di wilayah Perairan Pantai
Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.
2. Mengetahui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan metode random.
3. Mengetahui keanekaragaman spesies mangrove di Perairan Pantai Blebak, Kecamatan
Mlonggo, Jepara.
I.2.2 Lamun
1. Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.
2. Mengetahui hubungan atau interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.
3. Mampu menganalisa faktor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada ekosistem
padang lamun.

I.2.3 Terumbu Karang


1. Melakukan pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,
Kecamatan Mlonggo, Jepara.
2. Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode LIT (Line
Intercept Transect).

1
3. Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak, Kecamatan
Mlonggo, Jepara.

I.3 Manfaat
1. Ekosistem Mangrove
Dengan adanya praktikum ini, maka mahasiswa dapat melakukan pengamatan terhadap
kerapatan mangrove, mengetahui keragaman mangrove dan mengetahui teknik pengukuran
diameter pohon mangrove dengan menggunakan aturan DBH (Diameter at Breast Height :1,3
m).
2. Ekosistem Lamun
Hasil praktikum ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai
persebaran struktur komunitas ekosistem padang lamun pada tiap zona pengamatan, jenis-
jenis biota makrobenthos yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun.
3. Ekosistem Terumbu Karang
Dengan adanya praktikum ini, maka mahasiswa dapat melakukan pengamatan terhadap
ekosistem terumbu karang, mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan
metode LIT (Line Intercept Transect), dan mengetahui presentase tutupan terumbu karang di
Perairan Pantai Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Mangrove
II.1.1 Definisi Mangrove

Pengertian mangrove menurut Kusmana (2001) adalah suatu komunitas tumbuhan


atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah
pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada
2
saat pasang rendah. Sedangkan ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri
atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove.

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang


digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sedangkan untuk
pengertian mangrove sendiri, mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai
komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap
kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies.
Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan
komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh
masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau (Macnae, 1968
dalam Supriharyono, 2000 dalam Rochana, 2010).

II.1.2 Manfaat Mangrove


a. Ekologi
Fungsi ekosistem mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan
oleh bentuk ekosistem lain adalah kedudukan ekosistem mangrove sebagai mata
rantai yang menghubungkan kehidupan antara ekosistem daratan dengan
ekosistem lautan. Hutan mangrove juga memiliki peranan sebagai pemasok bahan
organik karena hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang tinggi
sehingga dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam ketersediaan bahan
organik. Supriharyono (2002) dalam Atmoko dan Sidiyasa (2007) menyatakan
produktifitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 gr C m-2 th-1.
Kesuburan kawasan mangrove dapat dilihat melalui pasokan bahan organik,
terutama dari guguran daun yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun (Nontji, 2002
dalam Atmoko dan Sidiyasa, 2007).
b. Fisik
Adapun fungsi hutan mangrove menurut Kusmana (2001) dapat dibedakan
ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi, dan fungsi biologi.
Fungsi fisik dari mangrove, yaitu:
1. Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil.
2. Mempercepat perluasan lahan.
3. Mengendalikan intrusi air laut.

3
4. Melindungi daerah belakang mangrove atau pantai dari hempasan
gelombang dan angin kencang.
5. Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi).
6. Mengolah bahan limbah organik.
c. Kimia
Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang mampu menghasilkan
oksigen yang bermanfaat baik bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Selain itu
hutan mangrove juga berperan dalam menyerap karbondioksida yang merugikan.
Juga pengolah bahan-bahan limbah akibat pencemaran industri atau kapal-kapal
yang beraktivitas dilautan.
d. Ekonomi
Adapun fungsi hutan mangrove menurut Kusmana (2001) dapat dibedakan
ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi, dan fungsi biologi.
Fungsi ekonomi dari mangrove, yaitu:
1. Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu
bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar).
2. Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti obat-obatan, madu, bahan
makanan, bahan makanan, dan lain-lain.
3. Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain
(pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan
lain-lain).
e. Wisata
Beberapa fungsi lain hutan mangrove dari segi wisata:
1 Sebagai kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove
2 Sebagai sumber belajar bagi pelajar
3 Sebagai lahan konservasi dan lahan penelitian.
II.1.3 Klasifikasi Mangrove
Tomlinson (1986) dalam Kitamura (2003) membagi spesies mangrove ke dalam
tiga komponen, yaitu komponen utama (major component), komponen tambahan
(minor component), dan asosiasi mangrove (mangrove associates).
a Komponen utama: tumbuhan yang membentuk spesialisasi morfologis seperti
akar udara dan mekanisme fisiologis khusus lainnya untuk mengeluarkan garam
agar dapat beradaptasi terhadap lingkungan mangrove. Secara taksonomi
kelompok tumbuhan ini berbeda dengan kelompok tumbuhan darat. Kelompok ini
hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni membentuk
tegakan murni sehingga secara dominan mencirikan struktur komunitas, tidak
pernah bergabung dengan kelompok tumbuhan darat. Contoh dari komponen
utama, yaitu Avicennia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Sonneratia
spp., dan lain-lain.
4
b Komponen tambahan (tumbuhan pantai): kelompok ini bukan merupakan bagian
yang penting dari mangrove, biasanya terdapat pula pada daerah tepian, jarang
sekali bahkan tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara
morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas ini. Contoh spesies
dari komponen tambahan adalah Excoecaria agallocha, Xylocarpus
granatum, Aegiceras floridum, Acrostichum aureum, Pemphis acidula, dan lain-
lain.
c Asosiasi mangrove: kelompok ini tidak pernah tumbuh di dalam ekosistem
mangrove sejati dan biasanya hidup bersama tumbuhan darat. Beberapa contoh
spesies dari asosiasi mangrove adalah Acanthus ilicifolius, Hibiscus tiliaceus,
Cerbera manghas.

II.1.4 Sistem Zonasi Mangrove


Ekosistem mangrove secara umum tersusun atas zonasi-zonasi vegetasi mulai dari
wilayah pantai hingga menuju arah daratan. Pola zonasi tersebut berkaitan dengan
kondisi ekologi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan hidup jenis tumbuhan
penyusun zonasinya terhadap berbagai tingkat salinitas, suhu, sedimentasi, terjangan
ombak, lamanya periode pasang surut air laut dan pasokan air tawar dari darat. Oleh
karena itu karakteristik setiap zonasi bervariasi pada lokasi yang berbeda, dapat saling
tumpang tindih antarzona atau bahkan dapat terjadi pengurangan zona akibat kondisi
ketidaknormalan beberapa faktor penunjang pertumbuhan (Atmoko dan Sidiyasa,
2007).
Pada umumnya tebal atau lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali
pada beberapa daerah sekitar muara serta teluk yang dangkal dan tertutup. Di daerah
seperti ini lebar hutan mangrove dapat mencapai 18 km seperti dijumpai di sungai
Sembilang, Sumatra Selatan atau lebih dari 30 km di teluk Bintuni, Irian Jaya. Jenis
mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama tanah endapan lumpur
terakumulasi (Noor, 1999 dalam Atomoko dan Sidiyasa, 2007).
Dalam hubungannya dengan zonasi pada hutan mangrove, Noor (1999) dalam
Atmoko dan Adiyasa (2007) membagi mangrove menjadi 4 zona, yaitu:
1. Mangrove terbuka, yaitu kawasan mangrove yang berhadapan langsung dengan
laut. Di sini pada tempat-tempat yang tanahnya berpasir dan agak keras
didominasi oleh Sonneratia alba, sedangkan pada tanah berlumpur cenderung
didominasi oleh Avicenia marina dan Rhizophora mucronata (Steenis dalam Ding
Hou, 1958). Disebutkan pula bahwa Avicenia alba seringkali mendominasi
vegetasi mangrove pada tanah yang berlumpur (Nontji, 2002). Avicenia marina

5
merupakan salah satu jenis penyusun mangrove yang dapat bertahan pada tempat-
tempat yang bersalinitas hingga lebih dari 90 0/00 (Supriharyono, 2002).
2. Mangrove tengah, merupakan kawasan mangrove yang berada di belakang
mangrove terbuka dan terhindar dari hempasan gelombang. Di sini Rhizophora
sp. masih mendominasi tempat-tempat yang berlumpur dengan perakaran
terendam saat air laut pasang (Arief, 2003). Di bagian dalam dari zona ini
didominasi oleh jenis dari marga Bruguiera yang dapat berkembang dengan baik
pada salinitas kurang dari 25 0/00 (Supriharyono, 2002). Jenis pohon lain yang
juga sering dijumpai di sini adalah Excoecaria agallocha dan Xylocarpus
granatum.
3. Mangrove payau, terdapat di sepanjang tepi sungai yang berair payau sampai
hampir tawar. Jenis-jenis tumbuhan yang biasanya mendominasi vegetasi di
daerah ini antara lain adalah nipah (Nypa fruticans) dan jenis-jenis dari marga
Sonneratia. Jenis-jenis pohon lainnya adalah Cerbera manghas, Gluta velutina
dan Xylocarpus granatum.

4. Mangrove daratan, terletak di perairan payau (hampir tawar) di belakang jalur


hijau mangrove. Zona ini memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi dari zona
yang lain karena berbatasan langsung dengan ekosistem darat. Jenis-jenis pohon
yang umum dijumpai antara lain adalah Lumnitzera racemosa, Intsia bijuga,
Ficus microcarpus, Heritiera littoralis, Nypa fruticans dan Pandanus spp..

Gambar 1. Zonasi Pada Ekosistem Mangrove


(sumber: www.irwantoshut.com)

6
II.1.5 Karakteristik Habitat Mangrove
Kusmana (2001) menyebutkan beberapa karakteristik dari habitat mangrove,
karakteristik tersebut, yaitu:
1. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur atau
berpasir.
2. Daerah hidupnya tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan
komposisi vegetasi mangrove.
3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak
ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.),
tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan
mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok
mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya
(Irwanto, 2006).
Umumnya di perbatasan daerah laut didominasi jenis mangrove pionir Avicennia
spp. dan Sonneratia spp. Di pinggiran atau bantaran muara sungai, Rhizophora spp.
yang menempati. Di belakang zona ini merupakan zona campuran jenis mangrove
seperti Rhizophora spp., Sonneratia spp., Bruguiera spp., dan jenis pohon yang
berasosiasi dengan mangrove seperti tingi (Ceriops sp,) dan panggang (Excoecaria sp.).
Di sepanjang sungai di bagian muara biasanya dijumpai pohon nipah (Nypa fruticans)
(Irwanto, 2006).

II.1.6 Bentuk Adaptasi Mangrove


Dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang ekstrim, maka jenis-
jenis tumbuhan mangrove cenderung memiliki beberapa cara beradaptasi. Arief (2003)
menyatakan bahwa semua ciri morfologi dan anatomi pohon mangrove mencerminkan
kondisi pada posisi mempertahankan diri terhadap lingkungan yang bersalinitas tinggi.
Kondisi tanah di hutan mangrove yang sering atau selalu tergenang air laut
menyebabkan tanahnya menjadi anaerob. Untuk memenuhi kebutuhan akar akan
oksigen, jenis-jenis mangrove mengambilnya dari atmosfir melalui akar nafas. Akar
nafas (pneumatophore) adalah salah satu adaptasi mangrove terhadap kondisi tanah
berlumpur atau tergenang, yaitu bagian akar yang muncul ke permukaan tanah atau air.

7
Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, bentuk perakaran mangrove juga berperan
untuk menopang batang agar pohon tetap tegak berdiri walaupun dihempas gelombang
dan badai (Atmoko dan Sidiyasa, 2007).
Dalam Kitamura (2003), ada enam kategori struktur perakaran dari mangrove,
yaitu:
a Akar tunjang: akar udara yang tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang
pohon dan dahan paling bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan
tanah.
b Akar nafas: akar udara yang berbentuk seperti pensil atau kerucut yang menonjol ke
atas, tumbuh dari perluasan akar yang tumbuh secara horizontal.
c Akar lutut: akar horizontal yang berbentuk seperti lutut terlipat di atas permukaan
tanah, meliuk ke atas dan bawah dengan ujung yang membulat di atas permukaan
tanah.
d Akar papan: akar yang tumbuh secara horizontal, berbentuk seperti pita di atas
permukaan tanah, bergelombang dan berliku ke arah samping seperti ular.
e Banir: struktur akar seperti papan, memanjang radial dari pangkal batang.
f Tanpa akar udara: merupakan akar biasa, tidak berbentuk seperti akar udara.

Gambar 2. Macam-macam Akar Mangrove


(Sumber: josuasilitonga.wordpress.com)
Karena habitat mangrove yang sebagian besar ditemukan di daerah yang memiliki
salinitas, beberapa mangrove harus mampu menyesuaikan diri terhadap kadar garam
yang terdapat di habitatnya. Bentuk adaptasi yang dilakukan adalah dengan cara
membentuk kelenjar garam (salt glands) yang berfungsi untuk membuang kelebihan
garam. Kelenjar garam pada mangrove banyak ditemukan pada bagian permukaan daun,
sehingga terkadang pada permukaan daun sering terlihat kristal-kristal garam
(Kitamura, dkk., 2003).
Untuk tipe buah dari mangrove sendiri terbagi menjadi tiga kategori, yaitu tipe
vivipari, kriptovivipari, dan tipe normal. Tipe vivipari adalah tipe buah dengan biji yang
telah berkecambah ketika masih melekat pada pohom induk, kecambah telah keluar dari
buah. Contohnya adalah tipe buah dari Rhizophora spp. dan Bruguiera spp..
Kriptovivipari adalah tipe buah dengan biji yang telah berkecambah ketika masih
melekat pada pohon induk, tetapi masih tertutup oleh kulit biji. Contohnya terdapat
8
pada Avicennia spp. dan Aegiceras spp. Dan untuk tipe buah dengan biji normal
terdapat pada Sonneratia spp. dan Xylocarpus spp. (Kitamura, dkk., 2003).
Terbentuknya zonasi juga merupakan salah satu penyesuaian (adaptasi) tempat
tumbuh jenis mangrove terhadap lingkungan pantai baik dari hempasan gelombang dan
berbagai tingkat salinitas. Jenis-jenis yang tahan terhadap hempasan gelombang yang
kuat dan salinitas tinggi akan dapat menempati zonasi terluar, sedangkan yang tidak
tahan terhadap genangan air laut akan berkembang ke arah darat (Atmoko dan Sidiyasa,
2007).

2.1.7.Faktor faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove


Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu
lokasi (Hutching, 1983), yaitu:
Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar


hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih
beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai
landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga
distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi,
distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan
pohon mangrove untuk tumbuh.

Pasang Surut

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan


dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Lama terjadinya
pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana
salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air
laut surut. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang
merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.

Gelombang dan Arus


Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan
mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang
dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau

9
semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai
untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak
langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara
sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang
baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove
Iklim

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan,


suhu, dan angin. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi,
dan struktur fisik mangrove. Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi
perkembangan tumbuhan mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi
udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-
3000 mm/tahun. Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan
respirasi). Kemudian angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin juga
merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses
reproduksi tumbuhan mangrove.

Salinitas
Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-
30 ppt. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi
mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat
jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.
Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan
fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis. Oksigen terlarut
berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari.
Substrat
Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mangrove.

Hara

10
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan
organik. Untuk hara inorganik adalah P, K, Ca, Mg, dan Na sedangkan untuk hara
organic adalah Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).

2.1.8 Karakteristik Mangrove di Pantai Blebak


Pantai Blebak di Jepara jika memiliki memiliki kondisi perairan yang umumnya
hampir sama di daerah sekitar pantai utara Jawa. Dengan kondisi suhu perairannya
sekirar 30oC hingga 32oC, untuk parameter salinitasnya pantai ini memiliki tingkat
salinitas 28%o, untuk parameter BOD pantai ini memiliki nilai 4,17 ppm, untuk
parameter TTS (Total Suspended Solid) Pantai Blebak memiliki nilai sebesar 52 ppm.
Untuk parameter bahan organik (BO) di Pantai Blebak memiliki nilai sebesar 140.43
ppm, dan untuk parameter kecerahan pantai ini termasuk perairan yang cerah (Supratno,
2006).

2.2 Lamun
2.2.1 Definisi Lamun
Padang lamun mempunyai agihan yang sangat luas, karena dapat dijumpai di
perairan tropis maupun sub-tropis. Di kawasan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat
(KSB), padang lamun ditemukan di Pantai Madasanger, Maluk dan Sejorong (Bachtiar,
2007). Lebar padang lamun bervariasi antara 30-250 meter dari garis pantai pada saat
air surut. Padang lamun di Madasanger merupakan kawasan yang cukup luas,
sedangkan yang di Puna merupakan kawasan terkecil. Namun demikian yang paling
luas ada di Selat Alas, Pantai Maluk yang mencapai lebar 350 meter (Poedjirahajoe,
2013).
Lamun (seagrasses) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga
yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan yang hidup di habitat perairan
pantai dangkal. Lamun merupakan tumbuh-tumbuhan laut yang memiliki tunas berdaun
yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berkembangkbiak.
Lamun memiliki bunga, memiliki buah, dan menghasilkan biji, lamun juga memiliki
akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara (Romimohtarto, 1999).
Pengertian lamun sendiri menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2000), yaitu
tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang baik pada dasar
perairan laut dangkal, mulai daerah pasang surut (zona intertidal) sampai dengan daerah

11
sublitoral. Sedangkan menurut Azkab (2000), padang lamun merupakan suatu tipe
biotip yang sangat luas di lingkungan estuaria dan pesisir pantai.

2.2.2 Karakteristik Lamun


Menurut Arber (1920) dalam Azkab (2000), karakteristik dari lamun sehingga ia
mampu berkoloni sukses di laut, yaitu memiliki kemampuan untuk hidup pada media air
asin (garam), mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem
perakaran yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berbiak secara
generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat berkompetisi dengan organisme lain
dalam keadaan kondisi stabil atau tidak pada lingkungan laut.
Lamun biasanya terdapat cukup besar dalam kuantitas dan membentuk suatu
padang lamun yang padat yang menutupi area yang luas pada daerah pesisir di daerah
ugahari (temperate) dan daerah tropis. Hal ini merupakan suatu fakta sebagai suatu
komunitas yang cukup luas pada daerah pantai. Menurut Den Hartog (1967) dalam
Azkab (2000), lamun memiliki beberapa karakteristik pertumbuhan lamun yang dapat
dibagi enam kategori, yaitu:

1. Parvozosterids, dengan daun memanjang dan sempit. Contohnya adalah pada


Halodule, Zostera submarga Zosterella.
2. Magnozosterids, dengan daun memanjang dan agak lebar. Contohnya adalah
Zostera submarga Zostera, Cymodocea dan Thalassia.
3. Syringodiids, dengan daun bulat seperti lidi dengan ujung runcing. Contohnya
adalah Syringodium.
4. Enhalids, dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat
pinggang yang kasar. Contohnya adalah Enhalus, Posidoniq, Phyllospadix.
5. Halophilids, dengan daun bulat telur, dips, berbentuk tombak atau panjang,
rapuh dan tanpa saluran udara. Contohnya adalah Halophila.
6. Amphibolids, daun tumbuh teratur pada kiri dan kanan. Contohnya adalah
Amphibolis, Thalassodendron, dan Heterozostera.

2.2.3 Faktor faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Lamun


a. Temperatur
Suhu optimal untuk pertumbuhan lamun antara 28-30oC (Anonim, 2008).
Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila suhu perairan
berada di luar kisaran tersebut. Suhu yang baik untuk mengontrol produktivitas padang
lamun pada perairan adalah sekitar 20-30oC untuk jenis Thalassia testudinum dan
12
sekitar 30oC untuk Syringodium filiforme. Laporan dari IPB (2008) menyebutkan
bahwa perubahan suhu berpengaruh nyata terhadap kehidupan lamun, antara lain
terhadap metabolisme, penyerapan unsur hara, dan kelangsungan hidup lamun. Laporan
tersebut mensitir hasil kajian Marsh et al. (1986) yang melaporkan bahwa suhu pada
kisaran 25-30oC dapat meningkatkan fotosintesis netto lamun, sedangkan proses
respirasi akan meningkat pada kisaran yang lebih luas (Poedjirahajoe, 2013).
Peningkatan suhu dapat berpengaruh terhadap distribusi dan proses reproduksi
lamun. Terkait dengan perubahan iklim (climate change), padang lamun menjadi salah
satu ekosistem yang terkena dampak paling nyata. Padang lamun menghilang terutama
di bagian mulut muara sungai dan di perairan dangkal. Penyebab utama hal tersebut
adalah meningkatnya suhu, utamanya di beberapa tempat di habitat perairan dangkal.
Peningkatan suhu berpengaruh terhadap agihan (distribution) dan proses reproduksi
lamun (Poedjirahajoe, 2013).

b. Salinitas
Jenis lamun mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas,
namun sebagian besar toleran pada kisaran 10-40. Nilai salinitas optimum untuk
lamun adalah 35 (Tomascik et al., 1997). Peningkatan salinitas yang melebihi
ambang batas toleransi lamun dapat menyebabkan kerusakan, namun demikian lamun
yang telah tua diketahui mampu meningkatkan toleransi terhadap fluktuasi salinitas
yang besar. Salinitas juga berpengaruh pada biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar
daun dan kecepatan pulih lamun (Stapel, 1997) dalam (Poedjirahajoe, 2013).
c. Kecerahan
Tingginya tingkat kekeruhan akan menghambat masuknya sinar matahari,
sehingga kurang maksimal untuk fotosintesis. Kekeruhan bisa disebabkan adanya
pergolakan di atas permukaan air, misalnya seringnya aktivitas perahu atau wisatawan
yang mandi di pantai (Poedjirahajoe, 2013).
d. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun
tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m.
Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,
Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum
mendominasi zona intertidal bawah . Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh
terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Mendapatkan pertumbuhan tertinggi E.
acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi.
e. Nutrien
13
Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan
ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan,
kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih. Unsur N dan P sedimen
berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat.
Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfeatkan oleh lamun.
Ditambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat
dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas
penyerapan yang paling tinggi. Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan
akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik.
Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun.
f. Substrat
Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur
sampai karang. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun
adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas
sedimen mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat
pengolahan dan pemasok nutrien (Azkab, 1988).

2.2.4 Manfaat Lamun


Padang lamun merupakan ekosistem laut dangkal yang didominasi oleh vegetasi
lamun. Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir,
karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan
(feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda
(Bortone, 2000). Peran lain adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem
terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan (Poedjirahajoe,
2013).
Mengacu pada fungsi ekologis yang begitu besar, disertai pula dengan fungsi
ekonomisnya yang tinggi, maka padang lamun mampu menunjang perekonomian lokal
maupun nasional. Padang lamun merupakan tempat pertumbuhan bagi ikan-ikan
komersial, seperti udang Penaeus, ikan baronang dan jenis kerang yang harganya
mahal. Dugong dan penyu hijau juga memafaatkan padang lamun sebagai bahan
makanannya. Vegetasi lamun dapat merupakan komunitas campuran atau monospesifik.
Di pantai Selatan pulau Lombok terdapat 11 jenis lamun, sedang di KSB jenis lamun
yang dominan adalah Halodule, Thalassia, Halophila dan Cymodocea (Poedjirahajoe,
2013).

14
Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. Hewan yang
hidup pada padang lamun ada berbagai penghuni tetap ada pula yang bersifat sebagai
pengunjung. Hewan yang datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah
ataumengasuh anaknya seperti ikan. Selain itu, ada pula hewan yang datang mencari
makan seperti sapi laut (dugong-dugong) dan penyu (turtle) yang makan lamun
Syriungodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii (Anonim, 2013).

2.3 Terumbu Karang


2.3.1 Definisi Karang
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan
sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang termasuk dalam
jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut
terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang
keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi (Nontji, 1987). Karang
adalah hewan klonal yang tersusun atas puluhan atau jutaan individu yang disebut polip
(Syarani, 1992).
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang
terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria =
Sleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain
yang mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun karang ditemukan di seluruh lautan di
dunia, baik di perairan kutub ataupun di perairan ugahari, namun terumbu karang hanya
berkembang di daerah tropik. Hal ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang
yang berbeda, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lain dinamakan ahermatipik
(Nybakken, 1992).
Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan ahermatipik tidak
menghasilkan terumbu. Karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia, tetapi karang
hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua
karang ini menunjukan bahwa di dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel
tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan zooxanthellae (Nybakken, 1992).

2.3.2 Ekosistem Terumbu Karang


Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di

15
tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu
permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 C di atas suhu normal (Nontji, 1987).
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di
wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan
secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia
dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran
terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan
yang menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan
fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang
terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung
luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota
terumbu karang di wilayah tersebut (Syarani, 1992).

Di Indonesia, semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan
koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai hewan
yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya, karang merupakan komponen yang
terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi terumbu karang (coral reefs) merupakan
ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari
22oC), memiliki kadar CaCO3 (kalsium karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi
berbagai jenis hewan karang keras (Guilcher, 1988 dalam Tomascik, 1997).

2.3.3Klasifikasi Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan (Life Form)


Jika dilihat berdasarkan bentuk pertumbuhannya, karang batu terbagi menjadi
karang Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak
pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial coralit dan
radial coralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial coralit. Berikut ini
penjelasan mengenai Acropora dan non-Acropora menurut English, (1994) dalam
Syarifuddin (2011):
1. Acropora
Acropora adalah genus karang scleractinian di Cnidaria Filum. Saat ini ada
149 spesies telah dijelaskan. Acropora salah satu bangunan utama terumbu karang,
bertanggung jawab untuk membangun kalsium karbonat substruktur besar mendukung
kulit hidup tipis karang. Acropora paling umum di lingkungan terumbu dangkal dengan
cahaya terang dan moderat dengan gerakan air yang tinggi. Banyak ikan karang kecil

16
yang tinggal di dekat koloni Acropora dan mundur ke semak cabang jika terancam
(English, 1994 dalam Syarifuddin, 2011).

Karang ini memiliki zooxanthellae, simbiosis alga yang hidup dalam sel karang
dan menghasilkan energi untuk hewan melalui fotosintesis. Perusakan lingkungan telah
menyebabkan berkurangnya populasi Acropora, bersama dengan jenis karang lainnya.
Acropora terutama rentan terhadap pemutihan ketika stres. Pemutihan ini disebabkan
hilangnya zooxanthellae karang, yang merupakan warna cokelat keemasan. Karang
dikelantang putih mencolok dan bisa mati jika zooxanthellae baru tidak dapat
berasimilasi. Penyebab umum pemutihan dan kematian karang termasuk polusi, suhu air
normal hangat, pengasaman laut meningkat, sedimentasi, dan eutrofikasi.

English (1994) dalam Syarifuddin (2011), menggolongkan bentuk


pertumbuhan Acropora sebagai berikut:

Acropora branching (ACB), bentuk bercabang seperti ranting pohon. Contohnya


adalah Acropora tenuis, Acropora formosa, Acropora digitifera, Acropora
humilis, Acropora gamezi, Acropora florida, Pectinia lectuca.
Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata
seperti meja. Contohnya adalah Acropora hyacinthus, Acropora cytherea,
Acropora clathrata, Acropora latistella.
Acropora encrusting (ACE), bentuknya mengerak.
Acropora submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng kokoh,
contohnya pada genus Isopora, yaitu Acropora palifera.
Acropora digitate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-
jari tangan. Contohnya adalah Acropora gemmifera, Acropora humilis.

2. Non - Acropora
Karang non-Acropora terdiri atas:

Coral branching (CB), bentuknya bercabang seperti ranting pohon. Contohnya


adalah Acropora sp., Echinopora sp., Pocillopora meandrina, Pocillopora
eyrduxi, Tubastrea micranatha.
Coral massive (CM), bentuknya seperti batu yang padat. Contohnya yaitu, Porites
lobata, Porites lutea, Cyphastrea sp., Goniastrea sp., Astreopora sp., Montipora
sp., Symphyllia sp., Favia sp., Porites sp., dan Favitas sp..
Coral encrusting (CE), bentuknya merayap, hampir seluruh bagian menempel
pada substrat.

17
Coral submassive (CS), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-
kolom kecil. Contohnya adalah Pocillopora eyeduxi dan Pocillopora verucosa.
Coral foliose (CF), bentuk menyerupai lembaran daun. Contohnya adalah
Echinopora lamellosa dan Montipora sp..
Coral mushroom (CMR), bentuk menyerupai jamur.
Coral Millepora (CME), semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya
warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar apabila tersentuh.
Coral Heliopora (CHL), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada skeleton

2.3.4 Habitat (Hubungan Ekologi Karang dengan Parameter Oseanografi)


Dalam ekosistem terumbu karang, hewan karang merupakan bagian yang penting
dari lingkungan ekosistem terumbu karang sama halnya seperti air, substrat, dan lain-
lain. Keberadaan ekosistem terumbu karang sesuai dengan keberadaan karang, yakni
memiliki sebaran yang terbatas. Terumbu karang terdapat khususnya pada laut yang
memiliki suhu hangat, tidak terdapat pada perairan yang bermusim dingin dimana suhu
bisa mencapai di bawah 20oC. Keadaan lingkungan perairan yang menyenangkan
pertumbuhan karang meliputi suhu air di atas 18oC, kejelukan air yang kurang dari 50
m, salinitas air yang tetap di atas 30 o/oo tetapi di bawah 35 o/oo, kecepatan sedimentasi
yang rendah, peredaran air bebas pencemaran yang cukup dan tersedianya substrat keras
(Romimohtarto, 1999).

2.3.5 Faktor Kerusakan Karang


Mungkin sumber terbesar dari kematian terumbu masif antara lain perusakan
mekanik oleh badai tropik yang hebat, dimana topan atau angin puyuh yang kuat ketika
melalui suatu daerah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu. Ledakan
populasi Acanthaster Plancii, serta kegiatan mausia secara langsung (Nybakken, 1992).
a. Faktor Alam
Fenomena alam dan berbagai tindakan destruktif masyarakat mengancam
kesehatan maupun keberadaan terumbu karang. Ancaman terhadap terumbu karang
dibagi menjadi dua kategori yaitu ancaman bencana alam dan ancaman yang
ditimbulkan oleh manusia. Ancaman yang ditimbulkan oleh alam termasuk kerusakan
akibat badai, perubahan suhu (Cesar, 2000) .
b. Faktor Manusia

18
Ancaman yag disebabkan oleh aktivitas manusia menurut Cesar (2000) adalah
sebagai berikut:
1 Praktek penangkapan dengan racun, dengan peledak, muroami .
2 Sedimentasi, polusi, dan sampah
3 Pertambangan
4 Praktek tourism yang tidak berkelanjutan.
Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar besaran dengan
bahan peledak dan sianida di Indonesia. Penyebabnya adalah demand yang tinggi
terhadap ikan karang terutama jenis kerapu (groupers) maupun ikan Napoleon wrasse.
Dengan nilai pasar yang tinggi berkisar US$ 60- 180 per kilo telah menyebabkan
perburuan ikan karang di hampir seluruh perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang
menggiurkan ini mau tidak mau supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah,
sehingga masyarakat beramai - ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan
sianida.
Praktek penambangan karang pun sejak lama telah terjadi, umumnya untuk
membangun fondasi rumah penduduk atau kantor pemerintah di pulau terpencil dan
untuk campuran semen. Penambangan karang tidak hanya menghancurkan karang tetapi
juga mengakibatkan penebangan hutan untuk pembakaran karang. Penambangan karang
juga berdampak terhadap jasa ekologis seperti pelindung garis pantai.

2.3.6 Penyakit Karang


Penyakit karang didefinisikan sebagai semua perusakan dari suatu sistem atau
fungsi penting organisme, mencakup gangguan (interruption), perhentian (cessation),
perkembang biakan (proliferation), atau kegagalan lain (other malfunction). Penyakit
karang (coral disease) tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun masih
banyak penyebab lainnya. Berdasarkan penyebabnya, penyakit karang dapat
digolongkan menjadi dua, yakni infeksi pathogen dan noninfeksi. Pathogen dibedakan
menjadi dua, yaitu mikro dan makro parasit. Sedangkan noninfeksi dapat berupa mutasi
genetik, kekurangan nutrisi, meningkatnya suhu air laut, radiasi ultraviolet, sedimentasi
dan polutan (Santavy dan Peters, 1997). Hingga saat ini, telah ditemukan sekitar 30
penyakit karang. Namun demikian, masih sedikit yang diketahui tentang penyebab dan
efek dari penyakit karang antara lain penyakit karang yang disebabkan oleh bakteri,
jamur alga dan cacing (worm). Berikut ini adalah jenis-jenis penyakit karang yang
umum dijumpai dan masih terus dilakukan pengamatan antara lain:
1. Black-band Disease
Pada awal 1970, Arnfried Antonius melaporkan kejadian suatu band bermaterial
hitam lembut yang keluar ke permukaan dari beberapa jenis karang otak dan karang
19
masif pada terumbu karang di Caribbean barat. Band adalah suatu tanda berupa garis
yang terdapat pada koloni karang dimana warna tersebut mencirikan jenis penyakit pada
suatu jenis karang. Penyakit ini ditandai dengan suatu lembaran/bercak (mate) hitam
yang luasnya sekitar - 2 inchi pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini bergerak
melewati permukaan rangka karang, dengan kecepatan sekitar 3 mm -1 cm perhari dan
kemudian meninggalkan rangka karang berwarna putih kosong. Black Band Disease
atau BBD juga dicirikan oleh suatu cincin gelap, yang memisahkan antara jaringan
karang yang masih sehat dengan rangka karang. Penyakit ini juga disebut Black Band
Ring.

Dari hasil pengamatan pada bagian karang yang terkena penyakit ini, dijumpai
suatu gabungan jasad renik, cyanobacterium Spirulina, oksidasi sulfur bakteri pereduksi
sulfat, bakteri heterotropik dan jasad renik lain (Richardson et al., 1997). BBD akan
meningkat, apabila terjadi sedimenasi serta adanya pasokan nutrien, bahan-kimia
beracun dan suhu yang melebihi normal (Richardson, 1998).
2. Dark Spots Disease
Dark spots disease dalam jaringan karang masif telah banyak dikenal, tetapi
belum banyak yang dipelajari. Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen gelap,
warna coklat atau warna ungu yang menyerang pada karang scleractinian. Jaringan
karang yang tertinggal terlihat tetap utuh, walaupun terkadang mengakibatkan kematian
jaringan karang dalam pusat bintik (GIL-AGUDELO & GARZON-FERREIRA, 2001).
Warna ungu gelap ke coklatan atau kelabu dari jaringan tersebut sering melingkar pada
permukaan, tapi kadangkadang dijumpai juga bentuk yang tidak beraturan pada
permukaan koloni (bercak warna ungu terang terlihat pada pemutihan koloni). Penyebab
penyakit ini belum diketahui, namun diduga disebabkan oleh adanya akumulasi sedimen
pada suatu bintik hitam.
3. Red-Band Disease
Penyakit yang menyerupai Blackband disease (BBD) adalah Red-band disease
(RBD). SANTAVY & PETERS, 1997) melaporkan bahwa suatu "band coklat" telah
menginfeksi karang di Geat Barrier Reef. RBD adalah suatu lapisan microbial yang
berwarna merah bata atau coklat gelap, dan warna tersebut mudah dilihat pada
permukaan jaringan karang. Penyakit ini menginfeksi karang otak (Diploria strigosa,
Montastrea annularis, ontastraea cavernosa, Porites astreoides, Siderastrea sp. dan
Colpophyllia natans) di Great Barrier Reef. Band nampak seperti gabungan dari
cyanobacteria dan jasad renik yang berbeda dibanding dengan biota yang dtemukan
pada BBD. Selain itu, pergerakan microbial ini berbeda, yakni tergantung pada induk
20
karang (RICHARDSON, 1992). RBD ditemukan di perairan Caribbean barat Amerika,
sedangkan "Brown Band" ditemukan di Great Barreir Reef. Penyakit RBD dan BBD
menunjukkan gejala yang sama, yaitu hilangnya jaringan karang. Penyakit ini
disebabkan karena rangka karang tercemar oleh alga berfilamen dan adanya akumulasi
sedimen, yang dampaknya menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang baru.
4. White-band Disease
White band disease (WBD) pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk
Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang
bercabang. Hilangnya jaringan tersebut, akan mengakibatkan suatu garis pada koloni
karang, oleh karena itu penyakit ini disebut whiteband disease atau WBD (GREEN &
BRUCKNER, 2000). Berbeda dengan kasus BBD, pada penyakit WBD tidak
ditemukan adanya kumpulan jasad renik yang konsisten yang menyebabkan ditemukan
pengelupasan pada jaringan dan rangka karang yang kosong. Pada bagian karang dari
jenis (Acropora cervicornis), jaringan karang yang hilang hanya terjadi pada
pertengahan suatu cabang (Gambar 6). Tingkat jaringan karang yang hilang adalah
sebesar 1/8 - 1/4 inci per hari, dan rangka karang yang kosong segera akan ditumbuhi
oleh alga berfilamen. Band rangka karang yang berwarna putih kosong yang terlihat,
lebarnya dapat mencapai antara 5-10 cm (GLADFELTER, 1991). Jaringan karang yang
tersisa pada cabang tidak menunjukkan adanya pemutihan, walaupun koloni yang
terpengaruh secara keseluruhan terlihat adanya goresan warna.
Penyebab dari penyakit WBD masih belum banyak diketahui, namun demikian
sudah ditemukan adanya kumpulan bakteri pada jaringan karang yang mampu meluas
djari satu koloni ke koloni lainnya. Pada saat ini, para peneliti masih belum mampu
mengidentifikasi peranan dari mikroorganisme yang ada pada jaringan karang yang
terkena penyakit tersebut ( RICHARDSON, 1998).
5. White Plague
Penyakit White plague (WP) terlihat mirip dengan WBD, tetapi WP menyerang
pada karang yang berbeda. Karang jenis massive dan encrusting yang diamati terlihat
adanya jaringan karang yang hilang, meninggalkan rangka karang yang berwarna putih
kosong, wabah ini disebut wabah putih atau WP (Gambar 7). WP juga dikenal sebagai
"white-band disease", "white death" dan "stress-related necrosis", tetapi peran dari
tekanan perubahan lingkungan dan infeksi bakteri pathogen terhadap hilangnya jaringan
belum dilakukan penelitian. White-band disease pada karang.WP tipe I, dilaporkan
mempengaruhi 10 spesies karang dan efeknya menyebabkan jaringan lunak karang
mengalami kematian dengan kisaran sekitar 3 mm/ hari. Pada WP tipe II, menyebabkan

21
kematian pada jaringan lunak karang sampai sekitar 2 cm/hari. (RICHARDSON, 1998)
melaporkan bahwa sekitar 32 spesies karang terkontaminasi/ terjangkit oleh WP II. WP
tipe III mempengaruhi karang pembentuk terumbu yang sangat luas termasuk karang
dengan bentuk pertumbuhan massive. Jaringan karang yang hilang yang disebabkan
oleh WP III, dampaknya lebih besar dari pengamatan pada tipe I dan tipe II
(RICHARDSON, 1998). Hilangnya jaringan karang yang sangat cepat, mungkin
disebabkan oleh bacterium dan dampaknya meluas dari satu koloni ke koloni yang lain.
6. White Pox
Penyakit karang White Pox telah ditemukan oleh Craig Quirolo dan Jim Porter di
barat Florida pada tahun 1996. Penyakit ini ditandai dengan munculnya tambalan
(bercak) pada rangka karang berwarna putih kosong yang berbentuk irregular. Tambalan
(bercak) dapat terjadi pada permukaan atas atau bagian bawah percabangan. Jaringan
karang terlihat mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju penghilangan jaringan
karang terjadi sangat cepat. Jaringan karang pada umumnya mulai ditempeli oleh alga
berfilamen dalam beberapa hari. Peristiwa mengelupasnya jaringan karang ini masih
belum diketahui secara pasti, namun demikian kemungkinan disebabkan oleh bakteri
pathogen.
7. Yellow-blotch/Yellow-band Disease
Yellow blotch disease hanya mempengaruhi karang dari genus Montastrea dan
karang otak Colpophyllia natans. Yellow blotch disease (YBD) pertama kali ditemukan
pada tahun 1994 (GREEN & BRUCKNER, 2000). Yellow blotch disease diawali
dengan adanya warna yang pucat, bintik yang sirkular pada jaringan translusen atau
sebagai band yang sempit pada jaringan karang yang pucat di bagian pinggir koloni,
namun areal di sekitar koloni tersebut masih normal dengan pigmen jaringan yang baik.
Bagian dari jaringan karang yang dipengaruhi oleh penyakit tersebut, akan keluar dari
karang dan kemudian karang akan mati. Jaringan karang yang hilang dari
pengaruh penyakit YBD, rata-rata adalah 5-11 cm/tahun, lebih sedikit dari penyakit
karang lainnya. Meskipun demikian penyakit ini dapat menyebar pada koloni karang
yang lain dan dapat pula menyerang koloni karang yang sudah dewasa dan berukuran
besar (BRUCKNER, 2001).

22
III. MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Hari / tanggal : Sabtu, 05 Desember 2015
Pukul : 10.00 14.00 WIB
Tempat: Pantai Blebak, Desa Ujung Piring, Kecamatan Mlonggo
Jepara, Jawa Tengah

3.2 Materi Penelitian


3.2.1 Mangrove
Untuk identifikasi mangrove parameter yang diukur adalah diameter batang, tinggi
batang dan mencatat spesies vegetasi yang terdapat dalam lokasi penelitian, pada penelitian
ini akan didapatkan keragaman dan kerapatan spesies mangrove. Pengamatan di kelompokkan
menjadi 3 kelompok yakni pohon, seedling dan sapling.

3.2.2 Lamun
Identifikasi ekosistem lamun parameter yang diukur adalah antara lain mencatat
spesies lamun dan biota yang berasosiasi baik pada lamun maupun dengan di substrat pada
transek.

3.2.3 Terumbu Karang


Identifikasi ekosistem terumbu karang parameter yang diukur adalah spesies coral,
komponen biotik dan abiotik dengan menggunakan metode Line Intercept Transect.

23
3.3. Alat dan Bahan
3.3.1. Ekosistem Mangrove
Tabel 1. Alat dan Bahan pada Pratikum Ekosistem Mangrove
No Nama Gambar Fungsi
.
1. Tali Rafia Warna Merah Sebagai material
42 Meter pembuatan transek 10 x 10
meter.

2. Tali Rafia Warna Biru 12 Sebagai material


Meter pembuatan transek 5 x 5
meter.

3. Tali Rafia Warna Kuning Sebagai material


3 Meter pembuatan transek 1 x 1
meter.

4. Jangka Sorong Alat dalam yang


digunakan dalam
pengukuran diameter
batang mangrove.

5. Kamera Digital Alat yang digunakan


sebagai media
dokumentasi.

6. Alat Tulis Alat untuk mencatat data


di lapangan

24
7. Papan Jalan Sebagai alas dalam
melakukan pendataan

8. Modul Praktikum Alat bantu dalam


Ekologi Laut Tahun 2014 mengidentifikasi
mangrove

3.3.2. Ekosistem Lamun


Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pratikum Ekosistem Lamun
No Nama Gambar Fungsi
1. Pipa kecil 1 x 1 meter Sebagai material
pembuatan transek lamun.

25
2. Skin Dive Alat bantu dalam melihat
objek yang diamati di
dalam air.

3. Kamera Digital Alat yang digunakan


sebagai media
dokumentasi.

4. Alat Tulis Alat untuk mencatat data


pengamatan di lapangan.

5. Papan Jalan Sebagai alas dalam


melakukan pendataan.

6. Botol Kaca Sebagai tempat herbarium


sampel lamun

26
27
3.3.3. Ekosistem Terumbu Karang
Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pratikum Ekosistem Terumbu Karang
No Nama Gambar Fungsi
1. Roll Meter Sebagai alat bantu
pengukuran panjang
transek pada pengukuran
tiap ekosistem terumbu
karang.

2. Skin Dive Alat bantu pengelihatan


dalam melaksanakan
pengamatan karang di
dalam perairan.

3. Botol Air Minum atau Alat yang digunakan


Pelampung sebagai penanda pada
setiap transeknya.

4. Tali Rafia 25 Meter Sebagai material


pembuatan transek.

5. Kamera Digital Alat yang digunakan


sebagai media
dokumentasi.

28
6. Alat Tulis Alat untuk mencatat hasil
pengamatan objek di
lapangan.

7. Papan Jalan Sebagai alas dalam


melakukan pendataan

8. Bentuk Life Form Alat bantu dalam


Karang mengidentifikasi karang.

29
3.3 Metode
3.3.1 Mangrove
1. Menetapkan transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai
sepanjang zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal.
2. Meletakkan secara acak transek (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10
m sebanyak paling kurang 3 (tiga) stasiun dengan di dalamnya terdapat transek 5 x 5
m dan 1 x 1 m pada setiap zona hutan mangrove yang berada di sepanjang transek
garis.
3. Mendeterminasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada pada setiap petak contoh
yang telah ditentukan, menghitung jumlah individu tiap jenis, dan mengukur lingkaran
batang setiap pohon mangrove pada setinggi 1,3 m.
4. Memotong bagian ranting yang lengkap dengan daunnya apabila belum diketahui
nama tumbuhan jenis mangrove yang ditemukan, dan bila mungkin ambil pula bunga
dan buahnya. Selanjutnya memisahkan bagian tumbuhan tersebut berdasarkan
jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik atau membuat koleksi
herbariumnya serta memberi label dengan keterangan yang sesuai dengan yang
tercantum pada Tabel Form Mangrove untuk masing-masing koleksi.
5. Mengukur parameter lingkungan yang ditentukan (suhu, salinitas, pH substrat) pada
setiap zona sepanjang transek garis.
6. Mengamati dan mencatat tipe substrat (lumpur, lempung, pasit, dsb.) dari petak-petak
sampel.
7. Mencatat fauna terestrial (serangga, burung, reptil, dsb.) dan fauna akuatik (kepiting,
kerang, ikan, dsb.) yang ditemukan pada setiap petak contoh (plot).

Gambar 4. Sketsa transek mangrove yang digunakan 10x10 m untuk yang tergolong pohon,
5x5 m untuk mangrove tergolong sappling, 1x1 m untuk mangrove berukuran seedling.

3.3.2. Lamun
1. Mendata lamun dengan menggunakan metode acak.

30
2. Menentukan stasiun pengamatan, dalam metode ini menggunakan 3 stasiun yang
setiap stasiunnya dilakukan 3x pengamatan pada tempat yang berbeda
3. Tiap stasiun berjarak 10 meter ke kanan atau ke kiri.
4. Mencatat jenis lamun, jumlah tegakan dan biota yang ada di transek.
5. Mengamati bagian-bagian lamun seperti bentuk daun, panjang dan lebar daun, bentuk
tulang daun, permukaan daun, batang serta akarnya.
6. Menganalisa tipe substrat serta persebaran biota di dalam transek yang diamati.

1
m

Gambar 5. Sketsa Transek Lamun

3.3.3. Terumbu Karang


A. Pemasangan transek
1. Pelampung kuning pertama disiapkan dan dipasang sebagai titik 0 transek
2. Roll meter ditebar sepanjang 100 m dari titik 0 dan sejajar dengan garis pantai
3. Roll meter dibagi ke dalam 4 segmen 25 m, 50 m, 75 m, dan 100 m
4. Kemudian pelampung disiapkan dan dipasang pada titik 25 m, 50 m, 75 m, 100 m
dengan mengaitkan pelampung dengan tali pada karang pada setiap titik tersebut
untuk menandai setiap segmen.
5. Pelampung dipasang dengan urutan warna kuning (0 m), merah (25 m), kuning
(50 m), kuning (75 m), dan merah (100 m).

B. Pengambilan data karang (dengan metode Line Intercept Transect)


1. Alat-alat pengambilan data disiapkan seperti papan jalan, laporan sementara
yang dicetak pada kertas newtop, pensil, tali rafia, dan alat snorkeling.
2. Pensil diikat pada papan jalan menggunakan tali rafia
3. Laporan sementara diletakkan di papan jalan
4. Pengambilan data dilakukan dengan berenang mengamati tutupan karang yang
ada
5. Praktikan berenang dari bagian kiri tutupan karang untuk menghindari gesekan
dengan puncak karang

31
6. Praktikan mengambil data karang sesuai dengan segmen yang telah ditentukan.
Segmen 1: kelompok 1,5 dan 9, segmen 2: kelompok 2, 6, dan 10, segmen 3:
kelompok 3 dan 7, dan segmen 4: kelompok 4 dan 7.
7. Praktikan harus bergerak secara perlahan sepanjang segmen sambil mencatat
bentuk pertumbuhan yang ditemukan secara langsung di bawah garis segmen.
8. Tempat transisi (perubahan) dicatat dalam sentimeter dimana bentuk
pertumbuhan mengalami perubahan.
9. Agar data yang didapatkan akurat maka praktikan harus mencatat semua
perubahan bila segmen garis membelah suatu lifeform atau koloni tunggal
lebih dari satu kali.
10. Setelah semua data karang diambil, praktikan kembali menuju daratan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1. Hasil
IV.1.1. Mangrove
IV.1.1.1. Plotting

Transek Mangrove A
10 m

32
5m
10 m

5m

1m

1m

Keterangan
= Rhizophora stylosa

33
Transek Mangrove B

10 m

5m
10 m

5m

1m

1m

Keterangan
= Rhizophora stylosa
= Sonneratia caseolaris

34
Transek Mangrove C

10 m

5m

10 m

5m

1m

1m

Keterangan
= Rhizophora stylosa
= Sonneratia caseolaris

35
4.1.1.2 Data Identifikasi

Transek Ukuran 1x1 Meter


Tabel 4. Data Identifikasi Transek A Ukuran 1x1 Meter

Tabel 5. Data Identifikasi Transek B Ukuran 1x1 Meter

Tabel 6. Data Identifikasi Transek C Ukuran 1x1 Meter

Transek Ukuran 5x5 Meter


Tabel 7. Data Identifikasi Transek A Ukuran 5x5 Meter

Tabel 8. Data Identifikasi Transek B Ukuran 5x5 Meter

Tabel 9. Data Identifikasi Transek C Ukuran 5x5 Meter

36
Transek Ukuran 10x10 Meter
Tabel 10. Data Identifikasi Transek A Ukuran 10x10 Meter

Tabel 11. Data Identifikasi Transek B Ukuran 10x10 Meter

Tabel 12. Data Identifikasi Transek C Ukuran 10x10 Meter

37
38
4.1.1.3. Hasil Pengolahan Data
Tabel 13. Hasil Pengolahan Data Seeding

Tabel 14. Hasil Pengolahan Data Sappling

Tabel 15. Hasil Pengolahan Data Pohon

39
4.1.2 Lamun
IV.1.1.2. Data Lamun
Tabel 16. Data Lamun Transek A

Tabel 17. Data Lamun Transek B

Tabel 18. Data Lamun Transek C

IV.1.1.3. Data Kepadatan Lamun


Tabel 19. Data Kepadatan Lamun Transek A

Tabel 20. Data Kepadatan Lamun Transek B

40
Tabel 21. Data Kepadatan Lamun Transek C

IV.1.1.4. Data Presentase Penutupan Lamun


Tabel 22. Data Presentase Penutupan Lamun Transek A

Tabel 23. Data Presentase Penutupan Lamun Transek B

Tabel 24. Data Presentase Penutupan Lamun Transek C

IV.1.1.5. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun


Tabel 25. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek A

Tabel 26. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek B

Tabel 27. Data Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lamun Transek C

41
IV.1.1.6. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun
Tabel 28. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek A

Tabel 29. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek B

Tabel 30. Data Kerapatan dan Kerapatan Relatif Lamun Transek C

IV.1.1.7. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun


Tabel 31. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek A

Tabel 32. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek B

Tabel 33. Data Presentase Penutupan dan Penutupan Relatif Lamun Transek C

42
IV.1.1.8. Data Indeks Penting Lamun
Tabel 34. Data Indeks Penting Lamun

IV.1.1.9. Data Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi


Berdasarkan Individu Lamun
Tabel 35. Data Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Berdasarkan
Individu Lamun Transek A

Tabel 36. Data Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Berdasarkan


Individu Lamun Transek B

Tabel 37. Data Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Berdasarkan


Individu Lamun Transek C

43
IV.1.2. Karang
IV.1.2.1. Data Karang
Tabel 38. Data Karang Shift 1

44
45
46
Tabel 39. Data Karang Shift 2
47
48
49
50
51
IV.1.2.2. Total Panjang Transek
Tabel 40. Total Panjang Transek Shift 1

52
53
54
Tabel 41. Total Panjang Transek Shift 2

55
56
57
58
59
IV.1.2.3. Tabel Presentase Tutupan
Tabel 42. Presentase Tutupan Karang Shift 1

Tabel 43. Presentase Tutupan Karang Shift 2

IV.1.2.4. Tabel Hasil Pengolahan Data


Tabel 44. Hasil Pengolahan Data Shift 1

60
61
Tabel 45. Hasil Pengolahan Data Shift 2

62
4.2 Pembahasan
4.2.1 Mangrove
4.2.1.1 Karakteristik Habitat Ekosistem Mangrove di Pantai Blebak
Pada ekosistem mangrove di Pantai Blebak diketahui bahwa terdapat
beberapa biota yang hidup di dalam habitat ekosistem mangrove tersebut, seperti
kepiting, udang tembak, kelomang, laba-laba, cacing, keong, burung dan semut.
Substrat mangrove yang ada pada ekosistem Pantai Blebak, Mlonggo berupa
lumpur berpasir, karena campuran air dan partikel endapan lumpur dan tanah liat.
Perbedaan substrat pada transek A, B, dan C disebabkan oleh adanya pasokan air
laut dan air tawar yang masuk ke dalam transek A, B, dan C berbeda.
Mangrove yang diamati adalah jenis Rhizophora stylosa, Sonneratia
caseolaris, Lumnitzera racemosa, Sesivium postularcastrum dan Spinifex lithoria.
Rhizophora stylosa dan Sonneratia caseolaris ditemukan di dalam transek yang
sedang dianalisa, yakni Sonneratia caseolis ditemukan pada semua transek
(transek A, B dan C), tetapi Rhizophora stylosa hanya ditemukan pada transek A
dan transek C saja. Sementara 3 jenis mangrove lainnya (Lumnitzera racemosa,
Sesivium postularcastrum dan Spinifex lithoria) ditemukan pada saat praktikan
melakukan perjalanan pulang.
4.2.1.2 Bentuk Adaptasi Mangrove di Pantai Blebak
Terdapat dua jenis adaptasi Mangrove yang terjadi di Pantai Blebak.
Pertama, adaptasi anatomi. Adaptasi anatomi jenis Mangrove terhadap keadaan
tanah dan kekurangan oksigen adalah melalui sistem perakaran yang khas dan
lentisel pada akar nafas (pneumatophore roots, merupakan akar yang muncul
dipermukaan tanah untuk aerasi), batang dan organ lainnya. Kedua, yaitu adaptasi
fisiologi. Kulit Mangrove akan mengelupas atau Mangrove akan mengalirkan
kadar garam yang berlebihan ke daun-daun muda yang baru terbentuk. Hail ini
terjadi karena jenis Mangrove tersebut termasuk ke dalam jenis Mangrove non
secreter. Mangrove non secreter merupakan jenis mangrove yang tidak memiliki
kelenjar pengeluaran garam pada daunnya sehingga mengakibatkan transpirarsi
pada beberapa jenis mangrove rendah, sedangkan akarnya akan terus menerus
mengabsorbsi air garam, sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi garam pada
permukaan daun.
4.2.1.3 Kerapatan
Pada Pantai Blebak, memiliki tingkat kerapatan mangrove yang tinggi.
Tingkat kerapatan mangrove yang tinggi tersebut dimungkinkan karena
konsentrasi unsur hara, suhu dan PH. Berdasarkan dari data yang didapatkan pada
ekosistem mangrove di Pantai Blebak yang telah terbagi menjadi transek A, B dan

63
C, dapat diketahui kerapatan dari ekositem mangrove tersebut pada setiap
transeknya.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada ekosistem
mangrove di Pantai Blebak, Jepara yang telah terbagi menjdai 3 transek, yakni
transek A, B dan C; dapat diketahui kerapatan dari ekositem mangrove tersebut
pada setiap transeknya. Pada transek A, di plot yang berukuran 1 x 1 meter
(sapling) mempunyai kerapatan (KR) sebesar 100% yang seluruhnya hanya terdiri
dari mangrove jenis Rhizophora stylosa saja. Sementara pada plot yang
berukuran 5 x 5 meter (sedling) dan 10 x 10 meter (pohon), kerapatannya terdiri
atas dua jenis mangrove, yakni jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia caseolis.
Pada plot yang berukuran 5 x 5 meter, kerapatan (KR) yang terdiri dari mangrove
jenis Rhizophora stylosa adalah sebesar 95.45%; sementara kerapatan (KR) yang
terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis hanya sebesar 3.83%. Sementara
pada plot yang berukuran 10 x 10 meter, kerapatan (KR) yang terdiri dari
mangrove jenis Rhizophora stylosa adalah sebesar 64.29%; sementara kerapatan
(KR) yang terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis hanya sebesar 35.71%.
Dari hasil tersebut dapat diketahui, bahwa pada transek A, kerapatannya
sebagiannya besar terdiri dari jenis mangrove Rhizophora stylosa.
Pada transek B, kerapatan mangrovenya pada semua plot, baik plot
yang berukuran 1 x 1 meter, 5 x 5 meter maupun 10 x 10 meter; kerapatannya
hanya terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis saja. Dengan besar
kerapatan (KR) pada masing-masing plotnya adalah sebesar 100%. Dari hasil
tersebut dapat diketahui, bahwa pada transek B, kerapatannya (KR) 100% terdiri
dari mangrove jenis Sonneratia caseolis. Sementara pada transek C, plot yang
berukuran 1 x 1 meter kerapatannya terdiri dari mangrove jenis Rhizophora
stylosa dengan besar kerapatan (KR) sebesar 100%. Sedangkan pada plot yang
berukuran 5 x 5 meter dan 10 x 10 meter, kerapatannya terdiri dari mangrove jenis
Sonneratia caseolis dengan besar kerapatannya (KR) pada masing-masing
transeknya adalah sebesar 100%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pada
transek C, kerapatannya sebagian besar terdiri dari mangrove jenis Soneratia
caseolis.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekosistem mangrove pada perairan
Pantai Blebak, Jepara memiliki tingkat kerapatan yang tinggi. Tingkat kerapatan
mangrove yang tinggi tersebut dimungkinkan karena konsentrasi unsur hara
(khususnya nitrat) memiliki konsentrasi yang cukup tinggi, yakni 0.139 0.404
mg/L. Selain itu, pH pada ekosistem mangrove tersebut dimungkinkan juga

64
konstan, yakni antara 7.99 8.13. Sementara untuk suhu pada daerah ekosistem
mangrove tersebut dimungkinkan berkisar antara 29.08 30.5 oC.

4.2.1.4 Keanekaragaman
Dari hasil praktikum yang dilakukan, dapat dilihat bahwa nilai
keanekaragaman jenis mangrove di Pantai Blebak Jepara adalah rendah, dengan
hanya ditemukannya jenis Rhizopora dan Sonneratia di dalam transek penelitian.
Hal tersebut berdasarkan hasil analisa yang dilakukan pada ekosistem mangrove
pada transek A, B, dan C seluruhnya memiliki nilai H < 2.303, maka termasuk
dalam kategori keanekaragaman rendah. Secara keseluruhan untuk
keanekaragaman ekosistem mangrove pada Pantai Blebak memiliki tingkat
keanekaragaman yang sedang. Tingkat keanekaragaman yang sedang
menunjukkan produktivitas yang tinggi, kondisi ekosistem yang seimbang dan
tekanan ekologi sedang. Selain itu, Ketidakberagaman ini mungkin disebabkan
oleh ketidakcocokan mangrove lain untuk tumbuh dan belum adanya campur
tangan manusia untuk menanam bibit mangrove jenis lain di kawasan Pantai
Blebak. Nilai H (keanekaragaman) didapatkan berdasarkan dari rumus:
1
H = log K - K x Ki x log Ki

Dimana:
H < 2.303 = keanekaragaman rendah
2.303 < H < 6.908 = keanekaragaman sedang
H > 6.908 = keanekaragaman tinggi
4.2.1.5 Keseragaman
Nilai J (keseragaman) didapatkan berdasarkan dari rumus:
Ki
J = ln Ki

Dimana:
0,4 < J < 0.6 = keseragaman rendah
0.6 < J < 1 = keseragaman sedang
J > 1 = keseragaman tinggi
Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka dapat diketahui untuk
keseragaman ekosistem mangrove pada Pantai Blebak dapat dikatakan memiliki
keanekaragaman yang rendah, hal tersebut berdasarkan hasil analisa yang
dilakukan pada ekosistem mangrove disana.Secara keseluruhan, keseragam
ekosistem mangrove pada Pantai Blebak tergolong rendah karena nilai
keseragamannya pada setiap transeknya tidak ada yang mencapai nilai 1. Jika nilai
keseragamannyayang mencapai nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel yang ada
di transek tersebut memiliki jumlah jenis vegetasi yang sama, begitu pula
sebaliknya.
65
Nilai keseragaman (J) transek stasiun A pada transek 1x1m bernilai 0,
karena mangrove yang tumbuh hanya terdiri dari satu spesies, yaitu Rhizophora
stylosa. Pada transek 5x5m nilai keseragaman bernilai 0 juga, karena mangrove
yang tumbuh hanya terdiri dari satu spesies, yaitu Rhizophora stylosa. Pada
transek 10x10m nilai keseragaman Sonneratia caseolaris bernilai 0.04497, dan
nilai keseragaman Rhizophora stylosa sebesar 0.01139, yang termasuk kategori
keseragaman rendah karena nilai dari J diantara 0-0.4.
Nilai keseragaman (J) transek stasiun B pada transek 1x1m bernilai 0,
karena tidak ditemukan mangrove kategori semai. Pada transek 5x5m nilai
keseragaman bernilai 0 juga, karena mangrove yang tumbuh hanya terdiri dari
satu spesies, yaitu Rhizophora stylosa. Pada transek 10x10m nilai keseragaman
Sonneratia caseolaris bernilai 0.05255, dan nilai keseragaman Rhizophora stylosa
sebesar 0.06015, yang termasuk dalam kategori keseragaman rendah karena nilai
dari J diantara 0-0.4.
Nilai keseragaman (J) transek stasiun C pada transek 1x1m bernilai 0,
karena tidak ditemukan mangrove kategori semai. Pada transek 5x5m nilai
keseragaman Sonneratia caseolaris bernilai 0.17111, dan nilai keseragaman
Rhizophora stylosa sebesar 0.36916, yang termasuk dalam kategori keseragaman
rendah karena nilai dari J diantara 0-0.4. Pada transek 10x10m nilai keseragaman
bernilai 0, karena mangrove yang tumbuh hanya terdiri dari satu spesies, yaitu
Rhizophora stylosa.
4.2.1.6 Dominansi
Pantai Blebak, Jepara menmiliki dominansi yang tinggi, yang
didominansi oleh mangrove jenis Sonneratia caseolis. Tingginya dominansi
menunjukkan bahwa tempat tersebut memiliki kekayaan jenis yang rendah dengan
sebaran tidak merata. Adanya dominansi menandakan bahwa tidak semua
makrozoobenthos memiliki daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang
sama di suatu tempat. Hal ini juga berarti makrozoobenthos di lokasi pengamatan
tidak memanfaatkan sumberdaya secara merata.
Berdasarkan analisa yang tealah dilakukan, dapat diketahui dominansi
ekosistem mangrove di Pantai Blebak, Jepara pada setiap transeknya. Pada transek
A, di plot yang berukuran 1 x 1 meter mempunyai dominansi (D) sebesar 1 yang
seluruhnya hanya terdiri dari mangrove jenis Rhizophora stylosa saja. Sementara
pada plot yang berukuran 5 x 5 meter dan 10 x 10 meter, dominansi (D) terdiri
atas dua jenis mangrove, yakni jenis Rhizophora stylosa dan Sonneratia caseolis.
Pada plot yang berukuran 5 x 5 meter, dominansi (D) yang terdiri dari mangrove
66
jenis Rhizophora stylosa adalah sebesar 0.911; sementara dominansi (D) yang
terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis hanya sebesar 0.002. Sementara
pada plot yang berukuran 10 x 10 meter, dominansi (D) yang terdiri dari
mangrove jenis Rhizophora stylosa adalah sebesar 0.128; sementara dominansi
(D) yang terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis hanya sebesar 0.413.
Dari hasil tersebut dapat diketahui, bahwa pada transek A, dominansi sebagiannya
besar terdiri dari jenis mangrove Rhizophora stylosa dengan tinggi antara 0.5 6
meter dan diameternya antara 0.32 12.24 cm.
Pada transek B, kerapatan mangrovenya pada semua plot, baik plot
yang berukuran 1 x 1 meter, 5 x 5 meter maupun 10 x 10 meter; dominansinya
hanya terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis saja. Dengan besar
dominansi (D) pada masing-masing plotnya adalah sebesar 1. Dari hasil tersebut
dapat diketahui, bahwa pada transek B, dominansi (D) 100% terdiri dari
mangrove jenis Sonneratia caseolis dengan tinggi antara 0.1 6 meter dan
diameternya antara 0.3 12cm.
Sementara pada transek C, plot yang berukuran 1 x 1 meter
kerapatannya terdiri dari mangrove jenis Rhizophora stylosa dengan besar
dominansinya (D) sebesar 1. Sedangkan pada plot yang berukuran 5 x 5 meter dan
10 x 10 meter, dominansinya terdiri dari mangrove jenis Sonneratia caseolis
dengan besar dominansi (D) pada masing-masing transeknya adalah sebesar 1.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pada transek C, dominansinya sebagian
besar terdiri dari mangrove jenis Soneratia caseolis dengan tinggi antara 0.5 1.5
meter dan diameternya antara 1.1 11.2 cm. sedangkan dominansi dari mangrove
jenis Rhizophora stylosa pada transek ini memiliki tinggi antara 0.5 1 meter dan
diameternya antara 0.24 3.68 cm.
4.2.1.7 Perbandingan antara Transek A, B dan C
Berdasarkan hasil dari data yang telah di olah perbandingan antara
transek A,B dan C dapat di bilhat dari beberapa aspek salah satunya adalah
substrat. Substrat pada tiap transek berbeda beda pada stasiun A jenis substratnya
lebih pekat di bandingkan dengan kedua stasiun lainya, hal ini disebabkan karena
pada stasiun B dan C terdapat genangan air yang memisahkan kedua stasiun ini.
Genangan air ini dapat memungkinkan air mengalir kedalam stasiun B dan C dan
akhienya pasoakn air yang di dapat pada staiun B dan C berbeda dengan stasiun
A.
Jika dilihat dari nilai kerapatam transek 1x1m pada stasiun A memiliki
nilai yang besar dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Hal ini disebabkan
karena mangrove yang terdapat pada transek B dan C tidak terdapat mangrove
67
semai. Mangrove semai hanya terdapat pada transek A. Sedangkan pada transek
5x5m nilai kerapatan stasiun A lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya
(B dan C). hal ini dibuktikan dengan nilai total dari K pada stasiun A lebih besar
yaitu 7600 sedangkan nilai K pada transek B dan C adalah 800 dan 1200. Pada
transek 10x10m nilai kerapatan Stasiun A lebih besar dibandinhkan dengan nilai
kerapatan pada staiun lainya. Nilai yang terdapat pada stasiun A lebih besar dari
nilai B dan C yaitu 1200, 900 dan 400.
Apabila dilihat dari nilai keanekaragamannya pada transek 1x1m pada
stasiun A, B dan C bernilai 0 karena pada pada stasiun A hanya terdiri dari satu
jenis mangrove yaitu Rhizophora stylosa. Sedangkan pada stasiun B, dan C
bernilai nol karena tidak ditemukan mangrove jenis semai. Pada transek 5x5m
nilai keanekaragaman terbesar ditemukan pada stasiun C yaitu sebesar 3.35562
dengan nilai keanekargaman pada Rhizophora stylosa sebesar 2.21183 dan nilai
keanekaragaman Sonneratia caseolaris sebesar 1.14397. Berdasarkan hasil total
nilai H, maka stasiun C termasuk dalam golongan keanekaragaman sedang
karena nilai 2.303 < H < 6.908. Sedangkan pada stasiun A dan B nilai H bernilai
nol. Karena ditemukan satu jenis mangrove yang tumbuh pada stasiun A dan B,
yaitu Rhizophora stylosa. Pada transek 10x10m nilai total H terbesar pada stasiun
B, yaitu sebesar 0.68696 yang termasuk dalam golongan keanekaragaman rendah,
karena H<2.303. Sedangkan total nilai keanekaragaman pada stasiun A bernilai
0.28684 yang termasuk dalam golongan keanekaragaman rendah, karena
H<2.303. Sedangkan pada stasiun C nilai H nol karena hanya ditemukan satu
spesies mangrove, yaitu Sonneratia caseolaris.

4.2.2 Lamun
4.2.2.1 Hasil Pengolahan Data
Dari hasil yang telah di dapat pada pantai blebak untuk jenis lamun
yang ada hanya 1 jenis yaitu Thalassia hempricii. T. hemprichii dapat tumbuh
baik secara sendiri (hanya satu jenis dalam suatu padang lamun) maupun
berasosiasi dengan lamun jenis lainnya atau tumbuhan lain. T. hemprichii banyak
ditemukan di daerah dekat pantai yang selalu tergenang hingga kedalaman 4-5
meter, meski juga pernah ditemukan di kedalaman 30 meter. T. hemprichii hidup
di daerah intertidal rataan terumbu karang yang menerima hempasan energi yang
tinggi dengan substrat pasir dan pecahan-pecahan karang yang kasar.
4.2.2.2 Kerapatan Lamun di Pantai Blebak (sesuai hasil pengolahan data)
Kemudian untuk kerapatan, dari ketiga transek didapat nilai kerapatan
dengan rentang 54 hingga 623, dengan semua kerapatan relatif bernilai 1 karena

68
memang hanya terdapat satu spesies lamun. Nilai kerapatan dengan rentang
demikian berarti kerapatan ekosistem lamun di Pantai Blebak termasuk jarang
hingga agak rapat. Skala jarang berada pada nilai 25 hingga 224, sementara skala
agak rapat bernilai 225-424
4.2.2.3 Spesies Lamun di Pantai Blebak (mengapa hanya ada 1 spesies)
Ekosistem lamun yang terdata pada saat dilakukan praktikum di
perairan Pantai Blebak, Desa Ujung Piring, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten
Jepara, hanya terdiri dari satu spesies lamun, yakni Thalassia hemprichii. T.
hemprichii adalah salah satu jenis lamun yang penyebarannya paling luas di
perairan tropik. Berdasarkan literatur, T. hemprichii dapat tumbuh baik secara
sendiri (hanya satu jenis dalam suatu padang lamun) maupun berasosiasi dengan
lamun jenis lainnya atau tumbuhan lain.
T. hemprichii banyak ditemukan di daerah dekat pantai yang selalu
tergenang hingga kedalaman 4-5 meter, meski juga pernah ditemukan di
kedalaman 30 meter. T. hemprichii hidup di daerah intertidal rataan terumbu
karang yang menerima hempasan energi yang tinggi dengan substrat pasir dan
pecahan-pecahan karang yang kasar. Maka bila dikaitkan dengan hasil praktikum
karang yang menunjukkan kekayaan ekosistem karang yang berada di daerah
lokasi yang sama, dapat dimengerti mengapa ekosistem lamun T. hemprichii
tumbuh subur di perairan Pantai Blebak. Sehingga disimpulkan bahwa terdapat
keterkaitan antar ekosistem lamun dengan ekosistem terumbu karang.
Penyebab hanya ada satu spesies yang hidup di tempat dilakukannya
praktikum ini mungkin karena T. hemprichii merupakan jenis lamun yang paling
sesuai kebutuhan jenis substratnya dengan yang ada di Pantai Blebak. T.
hemprichii hidup dengan baik di daerah substrat pasir berlumpur yang berbeda
atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar sebagaimana yang ditemukan di
perairan Pantai Blebak.

4.2.2.4 Biota yang terdapat di Transek Lamun dan Hubungannya


Pada praktikum diketahui bahwa pada ketiga transek terdapat
organisme-organisme yang tinggal disekitar padang Lamun. Organisme tersebut
adalah gastropoda, bivalvia, rumput laut, ikan dan kerang-kerang kecil. Padang
lamun merupakan tempat penjebakan nutrien atau sedimen (sediment trap).
Padang lamun umumnya menerima banyak kandungan nutrien yang terbawa oleh
arus dan gelombang, untuk kemudian jatuh dan berada di substrat dari padang

69
lamun tersebut. Nutrien yang sudah masuk ke daerah padang lamun akan tetap
berada di sana dan hanya berputar siklusnya di dalam daerah padang lamun. Hal
itulah yang menyebabkan padang lamun disebut memiliki produktivitas primer
yang tinggi dan menjadi tempat mencari makan bagi banyak organisme-organisme
laut. Selain itu, khusus untuk jenis Thalassia hemprichii, lamun jenis ini memiliki
nama lain lamun dugong karena ia sendiri menjadi makanan bagi duyung atau
ikan dugong bila berada di perairan lepas.
4.2.2.5 Ekosistem Lamun dengan Kondisi Perairan Pantai Blebak (suhu,
salinitas, kecerahan, kedalaman, nutrien, substrat)
Thalassia hemprichii hidup dengan baik pada kisaran salinitas 3,5-
60o/oo, sehingga menyebabkan ia dapat tumbuh di banyak perairan tropis termasuk
di Indonesia. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia hemprichii adalah
dari salinitas 24-35o/oo. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa,
produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Kerapatan
semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan
lebar daun semakin menurun. Selain itu, lamun dapat tumbuh pada kondisi suhu
antara 25-30 oC, karena dalam kisaran suhu tersebut proses fotosintesis dapat
terjadi dengan baik. Meningkatnya suhu pada ekosistem lamun dapat
mempengaruhi proses fotosintesis, yang juga akan mengalami peningkatan
begitupula dengan proses respirasi.
Sementara untuk kecerahan pada perairan tersebut cukup cerah karena
kedalamannya yang tidak terlalu dalam, sehingga masih dapat ditembus oleh sinar
matahari. Kecerahan di Pantai Blebak ini belum terlalu banyak terganggu faktor
dari luar baik fisika maupun kimiawi, karena memang kawasan ini terbilang sepi
dan tidak banyak aktivitas manusia yang dapat mengganggu parameter fisik dari
perairannya.

4.2.3 Karang
4.2.3.1 Kondisi Umum Pantai Blebak
Pada daerah penelitian terdapat saluran pembuangan yang letaknya
tidak jauh dari titik pengamatan. Pengamatan untuk shift 2 dilakukan pada pukul
11.15 sampai 12.00 WIB dengan kondisi cuaca pada pukul 11.30 sampai pukul
12.00 WIB hujan. Kondisi perairan untuk segmen 1 dan Segmen 2 perairan keruh,
terumbu karang tertutup oleh sedimen, dan suhu perairan cukup hangat sebelum
terjadi hujan. Segmen 3 perairan mulai jernih, sebagian karang tertutup sedimen,
dan suhu perairan sedang. Segmen 4 perairan jernih, karang tidak tertutup
sedimen, dan suhunya dingin. Arus perairan tenang, arus pukul 11:30 WIB mulai
70
kencang akibat hujan, dan pada pukul 12:00 WIB arus mulai tenang karena hujan
reda.Saat terjadi hujan, gelombang dan arus semakin kencang, akibatnya terjadi
pengadukan sedimen sehingga perairan menjadi keruh dan mengurangi jarak
pandang di perairan Perairan Pantai Blebak.Suhu perairan menurun akibat
turunnya hujan.Terjadi surut yang cukup rendah.
4.2.3.2 Frekuensi Jenis Lifeform diperairan pantai blebak
Frekuensi jenis life from pada perairan blebak terdiri dari 4 transek
yaitu transek 1 dari 0-25m , transek 2 dari 25-50m, transek 3 dari 50-75m dan
transek 4 dari 75-100m. berdasarkan 4 daerah yang sudah di amati terdapat
berbagai macam karang beserta frekuensinya seperti Acropora Digitate (ACD)
yang memiliki frekuensi karang 4, Acropora Encrusting (ACE) frekuensi 1,
Acropora Submassive (ACS) frekuensi 19, Coral Encrusting (CE) frekuensi 2,
Coral Foliose (CF) frekuensi 25, Coral Heliopora (CHL) frekuensi 1, Coral
Massive (CM) frekuensi 37, Coral Mushroom (CMR) frekuensi 2, Coral
Submassive (CS) frekuensi 44, Death Coral (DC) frekuensi 10, SC frekuensi 1,
SCS frekuensi 1 dan Sand (SD) frekuensi 26. Dari hasil yang didapatkan diketahui
bahwa frekuensi jenis lifeform terbesar dimiliki oleh Coral Submassive (CS) yaitu
dengan frekuensi 44.
Jenis terumbu karang yang tumbuh biasanya di pengaruhi oleh factor
lingkungan. Pada suatu habitat karang kadang di dominasi oleh beberapa karang.
Misalnya pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karang-karang kecil
yang umumnya berbentuk masif dan submasif. Gelombang berpengaruh terhadap
perubahan bentuk koloni terumbu. Secara umum ada empat faktor dominan yang
mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan hidrodinamis
(gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure. Jenis lifeform terbanyak
pada perairan Pantai Blebak yaitu Coral Submassive (CS) karena jenis karang ini
hidup pada perairan dangkal (antara 0 - 5 m), yang pada umumnya karang pada
perairan ini mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang yang merupakan adaptasi
morfologi terhadap arus permukaan. Karang Coral Submassive (CS) terdapat
hamper di semua segmen, hal ini menandakan bahwa pertumbuhan karang ini
memerlukan suplai cahaya matahari yang cukup.
4.2.3.3 Lifeform karang di Perairan Pantai Blebak
Berdasarkan hasil yang sudah di dapat pada kawasan pantai blebak
terdapat banyak karang baik arcopora dan non-archopora. Jenis yang terbanyak
adalah Coral Massive dengan persentase lebih dari 20%. Jenis-jenis life form lain

71
yang ada adalah Acropora digitate, Acropora encrusting, Coral encrusting, Coral
submassive, Coral branching, Coral Massive, dan Coral foliose. Untuk life form
abiotik, yang ditemukan adalah sand.
4.2.3.4 Hubungan Presentase Tutupan Karang dengan Ekosistem
Terumbu Karang diperairan Pantai Blebak
Parameter Fisika
Parameter fisika yang dianalisa yaitu kondisi arus, gelombang, pasang
surut, cuaca, kedalaman, morfologi pantai, kecerahan dan zooxanthelata.
Pada Perairan pantai Pantai Blebak termasuk dalam Pantai Utara Jawa,
karakteristik dari pantai ini adalah pantainya yang landai dan gelombangnya
yang kecil. Hal ini menyebabkan transport sedimen pada wilayah ini kecil
sehingga tingkat kekeruhannya rendah. Apabila perairan mempunyai tingkat
kekeruhan yang tinggi akan menyebabkan pembunuhan karang karena
sedimen yang terangkut akan menutupi mulut dan organ penangkap mangsa
pada karang.

Tetapi saat dilakukan pengambilan data karang, perairan menjadi keruh


akibat hujan dan kondisi cuaca mendung. Pada wilayah perairan Pantai
Blebak yang digunakan untuk pengamatan, rata- rata karang ditemukan pada
kedalaman < 2 m. Hal ini terjadi karena pada kedalaman ini sinar matahari
dapat terserap secara maksimum oleh bakteri zooxanthelata untuk melakukan
fotosintesis.
Arus pada perairan berguna untuk transport nutrisi dan ketersediaan
oksigen arus juga digunakan agar ketika terdapat sedimen tidak terjadi
penumpukan sedimen yang akan menyebabkan karang akan mati.
Parameter Kimia
Parameter kimia yang dianalisa disini yaitu suhu, salinitas dan pH.
Menurut Antik Erlina dkk pada tahun 2007 suhu perairan Jepara berkisar
antara 28 30oC. Menurut Kinsman, 1964 dalam Supriharyono (2000) suhu
yang sesuai untuk pertumbuhan dan hidup karang berkisar antara 250 290 C.
Sedangkan batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16 0 170 dan
360 C Suhu yang mematikan bagi karang bukan hanya suhu yang ekstrem,
namun fluktuasi suhu yang mendadak juga sangat berpengaruh namun
beberapa karang masih mampu hidup sampai batas suhu 360 400. Suhu
mempengaruhi perkembangan bakteri patogen karang, apabila suhu terlalu
tinggi bakteri ini akan cepat berkembang biak sehingga menyebabkan
72
penyakit penyakit karang. Berdasarkan studi yang dilakukan Antik Erlina
dkk perairan Jepara masih ideal untuk karang dapat hidup.
Menurut studi Antik Erlina dkk pada tahun 2007 perairan Jepara
mempunyai salinitas berkisar antara 31 32 sedangkan nilai pHnya
berkisar antara 7 8,3. Menurut Supriharyono (2000), salinitas air laut yang
baik untuk pertumbuhan karang berkisar pada salinitas 34 36.
Berdasarkan hal tersebut perairan Jepara kurang optimal untuk pertumbuhan
karang, namun karang dapat tetap hidup dan berkembang biak walaupun
kurang maksimal. Atkitson, et all (1995) mengatakan bahwa perairan yang
baik untuk pertumbuhan karang antara 7 8,3 berdasarkan hal tersebut maka
pH pada perairan Jepara cocok untuk pertumbuhan karang.

73
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1 Mangrove
1 Pada daerah pantai Blebak jenis mangrove yang ditemukan adalah Sonneratia
casiolaris., Rhizophora stylosa dan Aegiceras curniculatum.
2 Pengambilan data mangrove dengan metode plot adalah dengan menggunakan
transek 10x10 m, 5x5 m dan 1x1 m.
3 Kerapatan jenis di kawasan Pantai Blebak cukup rapat namun
keanekaragamannya rendah.
2 Lamun
1 Biota yang hidup di ekosistem lamun di Pantai Blebak adalah jenis bivalvia atau
kerang-kerang dan gastropoda.
2 Biota-biota seperti bivalvia dan gastropoda mencari makan pada ekosistem lamun
serta berlindung dari predator yang memangsanya.
3 Faktor pertumbuhan dari biota di sekitar ekosistem antara lain nutrien yang
terdapat disekitar ekosistem lamun dan terdapat banyak makanan pada daerah
sekitar ekosistem lamun.
3 Karang
1 Pengamatan ekosistem terumbu karang telah dilakukan pada perairan Pantai
Blebak, Mlonggo, Jepara.
2 Metode LIT atau Line Intercept Transect merupakan metode yang digunakan
untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang
hidup, karang mati, bentuk substrat, alga dan keberadaan biota lain.
3 Karang dominansi di kawasan Pantai Blebak adalah Coral Submassive dimana
menepati tutupan sebesar 31, 28 %.

5.2 Saran
1 Sebaiknya pada praktikum selanjutnya setiap kelompok diarahkan untuk membawa
kamera underwater untuk keperluan dokumentasi karang.
2 Sebaiknya para praktikan harus lebih siap membawa peralatan yang diperlukan saat
praktikum, seperti botol sampel, jas hujan, dan lain sebagainya.
3 Para praktikan harus lebih efisien lagi dalam pendataan, mengingat waktu praktikum
terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Azkab, Muhammad Husni. 2000. Struktur dan Fungsi Pada Komunitas Lamun. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta.

74
Hutching, P. P. Saenger. 1983. Ecology of Mangroves. University of Queensland,
London.

http://ke-laut-an.blogspot.co.id/2013/07/pengertian-dan-manfaat-tumbuhan-lamun.html

Irwanto. 2006. Keankearagaman Faunan Pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com.


Diakses pada Selasa, 1 Desember 2015 pukul 23.45.

Kitamura, Shozo. dkk. 2003. Buku Panduan Mangrove Di Indonesia. Jaya Abadi. Denpasar.

Kusmana, C. 2001. Respon Mangrove Terhadap Perubahan Iklim Global: Aspek Biologi dan
Ekologi Mangrove. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Nontji, Anugrah. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

Poedjiraharjoe, Erny, et al. 2013. Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan
Pesisir Madasanger, Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, Vol 5 (1) : 36-46

Romimohtarto, Kasijan. Sri Juwina. 1999. Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi LIPI. Jakarta.

Syarifuddin, Amirah Aryani. 2011. Skripsi: Studi Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan
Karang Acropora formosa Menggunakan Teknologi Biorock Di Pulau Barrang
Lompo Kota Makassar. FPIK Universitas Hasanuddin. Makassar.

Syarani, L. 1992. Karang: Kunci Determinasi Genus. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.

Tomascik. 1997. The Ecology of the Indonesian Sea part 2. Peripilus Edition. Singapura.

BIODATA

75
Nama : Kaisar Parti Hasudungan

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 22 September 1996

Alamat Kos : Jalan Iweni Sari No. 27

No. HP : 082122332630

E-mail : kaisar.parti@gmail.com

Hobi : Membaca, Bernyanyi

Kesan (Praktikum) : Cukup Menyenangkan

Pesan (Praktikum) : Praktikum agar berbeda Lokasi Praktikum agar lebih


menyenangkan.

Asisten Terasik : Kak Fauzan

Asisten Terbaik : Kak Fauzan

DOKUMENTASI
76
77
78
Lampiran Peta Penelitian
A. Mangrove

Peta Penelitian Mangrove


Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2014

B. Lamun
Stasiun A

Peta Penelitian Lamun Stasiun A


Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2014

79
Stasiun B

Peta Penelitian Lamun Stasiun B


Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2014

Stasiun C

Peta Penelitian Lamun Stasiun C


Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2014

80
C. Karang

Peta Penelitian Karang


Sumber: Citra Google Earth Perekaman Tahun 2014

81

Anda mungkin juga menyukai