Anda di halaman 1dari 16

I.

1.1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang
mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas
tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar
di dunia. Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan
produsen yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang
majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di lautan.
Hal ini menjadikan terumbu karang memiliki potensi keragaman jenis biota yang tinggi
dan bernilai ekonomis penting.Terumbu karang menjadi habitat ikan-ikan karang, seperti
ikan Kerapu, ikan Kakap Merah dan ikan Napoleon, Teripang dan Kima. Potensi terumbu
karang juga memberikan jasa lingkungan karena keindahan yang dimilikinya dan
sekaligus sebagai sumberdaya industri ekowisata kelautan. Namun potensi sumberdaya
terumbu karang di Indonesia semakin menurun dan terancam rusak.
Kerusakan terumbu karang di Indonesia diindikasikan terutama sebagai akibat
aktivitas manusia. Praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti
pemboman, pembiusan dan penggunaan racun oleh nelayan di sekitar terumbu karang.
Penambangan karang dan pasir juga turut andil dalam eksploitasi sumberdaya ekosistem
terumbu. Perusakan ini menjadi kekhawatiran akan punahnya biota laut di pulau kecil dan
terganggunya

keseimbangan

ekologi

yang

selanjutnya

berpengaruh

terhadap

berkurangnya populasi ikan.


Salah satu sumber daya laut lainnya yang cukup potensial untuk dapat
dimanfaatkan

adalah

lamun,

Lamun

(seagrass)

adalah

tumbuhan

berbunga

(angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga
dan buah. Dimana secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting diaerah
pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal diseluruh dunia dan
merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme.
Komunitas padang lamun di perairan pesisir mempunyai manfaat baik secara
ekonomis maupun ekologis. Secara ekonomis lamun banyak dimanfaatkan sebagai bahan
makanan ternak, pupuk, bahan kerajinan, obat dan di beberapa tempat dikonsumsi sebagai

bahan pangan. Secara ekologis lamun merupakan tempat pemijahan (spawning ground),
tempat asuhan (nursery ground) dan sebagai tempat hidup berbagai jenis ikan dan
organisme laut lainnya.
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan memiliki
fungsi yang sangat penting. Soehardjono dan Soemarto (1998) mengungkapkan ditinjau
dari fisiknya, hutan mangrove dapat menjadi pelindung pantai (penahan abrasi karena
hempasan ombak) dan mempercepat akresi daratan. Hutan mangrove juga memiliki
fungsi ekologis yang penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat
pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari
makan (feeding ground) bagi biota-biota laut tertentu. Secara sumber daya, mangrove
menghasilkan bahan untuk keperluan rumah tangga seperti kayu bakar, arang dan bahan
bangunan. Jika dilihat dari aspek kimia, maka hutan mangrove berfungsi sebagai
penyerap bahan pencemar dan sumber energi bagi lingkungan sekitarnya (Bengen, 1998).
Selain itu mangrove juga merupakan habitat biota yang memiliki nilai ekonomis penting
seperti benih ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan dan madu serta dapat dikembangkan
sebagai objek pariwisata bahari, pendidikan dan penelitian.
Luas hutan mangrove di dunia kurang lebih 14,7 juta ha dan negara yang paling
luas hutan mangrovenya adalah Indonesia (Kamal, 1997). Ditjen Intag Dephut (1993)
memperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia 3,75 ha. Penyebarannya ditemukan
hampir di seluruh Kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Propinsi Irian
Jaya, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Selatan. Data terakhir menunjukkan luas
hutan mangrove di Jawa tinggal 74.950 ha dan di luar Jawa tinggal 3.67 juta ha, padahal
sekitar 20 tahun yang lalu luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.25 juta ha (Darsidi,
1987 dalam Arie Budiman dan Suhardjono, 1992).
1.2.

Tujuan Praktikum
1.2.1. Ekosistem Lamun (Seagrass)
o Mengetahui keanekaragaman biota di ekosistem padang lamun.
o Mengetahui hubungan atau interaksi antar biota pada ekosistem padang lamun.
o Mampu menganalisa factor pertumbuhan dari biota yang terdapat pada
ekosistem padang lamun.
1.2.2. Ekosistem Terumbu Karang
o Melakukan pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang di Perairan Pantai
Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.

o Mengetahui teknik pendataan ekosistem terumbu karang dengan metode LIT


(Line Intercept Transect).
o Mengetahui presentase tutupan terumbu karang di Perairan Pantai Blebak,
Kecamatan Mlonggo, Jepara.
1.2.3. Ekositem Mangrove
o Melakukan pengamatan terhadap tumbuhan mangrove di Perairan Pantai
Blebak, Kecamatan Mlonggo, Jepara.
o Mengetaui teknik pendataan terhadap ekosistem mangrove dengan metode
sample plot.
o Mengetahui keanekaragaman spesies mangrove di Perairan Pantai Blebak,
Kecamatan Mlonggo, Jepara.
1.3.

Manfaat

II.
2.1 Mangrove
2.1.1. Definisi Mangrove

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Dawes (1981), kata mangrove berasal dari bahasa Portugis untuk
pohon (mangue) dan bahasa Inggris untuk pohon yang berdiri tegak (grove), dimana
secara ekologi termasuk didalamnya adalah semak dan pohon-pohon (dikotil dan
monokotil) yang terdapat dalam zona intertidal dan subtidal dari rawa pasang surut daerah
tropik dan subtropik.
Secara umum kata mangrove mempunyai dua arti, pertama mangrove sebagai
komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua mangrove sebagai individu spesies
(Macnae 1968 in Supriharyono 2000). Macnae menggunakan istilah mangal apabila
berkaitan dengan komunitas atau hutan dan istilah mangrove untuk individu tumbuhan.
Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan
payau, namun menurut Giesen (2006), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya
kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan
mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Berdasarkan dua pendapat tersebut mengenai
definisi dasar mangrove, sehingga definisi ekosistem mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air
laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam
perairan asin/payau (Santoso 2004).
Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas
tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di
daerah pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan
pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama,
yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai rendah
dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut.
Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus
biologi di suatu perairan (Arief, 2003).
2.1.2. Klasifikasi Mangrove

Tomlinson (1986) membagi mangrove menjadi tiga kelompok, yaitu :


1. Mangrove mayor, yakni yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove,
berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur
komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar
dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis
dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2. Mangrove minor, yakni mangrove komponen yang tidak termasuk elemen yang
menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan
yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan
mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara
musiman pada pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove
lain yang merjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, tetapi jenis-jenis ini tidak
terbatas pada zona litoral. Contohnya adalah Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera,
Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia
dan Pelliciera.
3. Mangrove asosiasi, yakni komponen yang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam
komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan darat. Contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, dan lain-lain.
4.
2.1.3 Zonasi Mangrove
Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,
umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya
dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut:
1. Zona Api-api Prepat (Avicennia Sonneratia)
Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak
lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar
garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp)
dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis bakau (Rhizophora
spp).
2. Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp) dan di beberapa tempat
dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp).
3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan
berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya ditumbuhi jenis
tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.
4. Zona Nipah (N fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air
dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang
dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada
umumnya ditumbuhi jenis nipah (N fruticans) dan beberapa spesies palem lainnya.
2.1.4. Bentuk Adaptasi Mangrove
2.1.5. Fungsi Mangrove
Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan organisme
yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut Kusmana dkk. (2005)
dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi dan fungsi
biologi seperti yang berikut :
1. Fungsi fisik :
o Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil
o Mempercepat perluasan lahan
o Mengendalikan intrusi air laut
o Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan gelombang dan
angin kencang
o Menjadi kawasan penyangga terhadap rembesan air laut (intrusi)
o Mengolah bahan limbah organik
2. Fungsi ekonomi :
o Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu bakar),
bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar)
o Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman serta
makanan, tanin dan lain-lain
o Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman,
pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain)
3. Fungsi biologi :
o Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning
ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang,
kerang dan biota laut lainnya
o Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung
o Merupakan sumber plasma nutfah
Dari semua fungsi ini yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh bentuk
ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang
menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem daratan.

2.1.6. Habitat Mangrove


2.1.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelulushidupan Mangrove
Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan
memelihara

kelestarian

ekosistem

mangrove

sangat

tergantung

pada

kondisi

berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival
and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi
lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut
dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat
eksploitasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi

adalah :
Salinitas
Salinitas merupakan berat garam dalam gram per kilogram air laut. Salinitas
ditentukan dengan mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas. Salinitas dapat juga
diukur melalui konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip
konduktivitas ini untuk menentukan salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan
mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10- 30 ppt (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis


mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa
diantaranya selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya,
sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus
pada daunnya (Noor, 2006).

Fisiografi Pantai
Fisiografi Pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi sepesies dan lebar
hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam
jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai
menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi
spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan
lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove
untuk tumbuh (LPP Mangrove, 2008).

Gelombang Arus
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada
lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan
mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan
arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai
Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk
menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung
terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir dimuara sungai.
Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan ini merupakan substrat yang baik untuk
menunjang pertumbuhan mangrove (Noor dkk, 2006).

Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan
air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu,
dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik
mangrove. Intensitas, kualitas, dan lama pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan
mangrove (mangrove adalah tumbuhan long dayplants yang membutuhkan intensitas
cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup didaerah tropis). Laju pertumbuhan
tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan
sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap pembungaan
dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan
menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada
tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
2. Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi curah hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan
mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air
dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.
3. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi daun
baru A. marina terjadi pada suhu 18-200 C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi
menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal
pada suhu 26-280 C. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 270C, dan Xylocarpus tumbuh
optimal pada suhu 21-260 C.
4. Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan
diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove
(Biology Resources on Shantybio, 2004).

2.2. Lamun
2.2.1. Definisi Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai
vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Padang lamun dapat berbentuk vegetasi
tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun saja atau vegetasi campuran yang disusun
mulai dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama pada suatu substrat (Kirkman,
1985 dalam Kiswara dan Winardi, 1997). Pengertian lamun sendiri menurut Den Hartog
(1970) dalam Kiswara (1997) yaitu tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh
dan berkembang baik pada dasar perairan laut dangkal, mulai daerah pasang surut (zona
intertidal) sampai dengan daerah sublitoral. Peranan padang lamun secara fisik di perairan
laut dangkal adalah membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus, menyaring
sedimen yang terlarut dalam air, dan menstabilkan dasar perairan (Fonseca et al., 1982
dalam Kiswara dan Winardi, 1997). Selain itu, padang lamun diketahui mendukung
berbagai jaring rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivora maupun detrivor
(McRoy dan Helferich, 1997 dalam Kiswara dan Winardi, 1997).
Fungsi akar lamun adalah sebagai tempat penyimpanan O2 hasil fotosintesis dan
CO2 yang digunakan untuk fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Rimpang dan akar lamun
menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan stabilitas permukaan
air di bawahnya, dan saat itu air menjadi lebih jernih karena sedimen halus turun ke
bawah, lalu berada diantara akar dan tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak
dan arus (Hutomo and Azkab 1987).
Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan
kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya
pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa
lamun. Menurut BTNKpS (2004) in Dwintasari (2009), jenis lamun yang tumbuh di
wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan seperti kecerahan dan substrat yang
kurang baik, serta adanya masukan pencemaran biasanya memiliki rata-rata kerapatan dan
biomassanya yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang bukan pemukiman.

2.2.2. Karakteristik Lamun

Tumbuhan yang hidup di laut.

Ditemukan di kedalaman rata-rata-25 m

Memiliki bunga, buah dan seed/biji

Bedasarkan penelitian Den Hartog (1970), terdapat 49 species seagrass, 12


Genus, 6 Sub-family dan 2 Family.

Penyebaran sangat luas dari daerah tropis hingga kutub.

Ada dua faktor pembatas dari seagrass community yaitu:


o Arus pasut yang kuat dan tinngi
o Tidal range sangat luas
(Nontji, A. 1987).

2.2.3. Taksonomi Lamun


Beberapa tahun yang lalu ahli taksonomi tanaman darat telah mengadopsi
percobaan fenologi sebagai studi sampingan dari spesimen kering herbarium dalam
membuat analisis. Metode percobaan termasik studi biokimia isozyme dan senyawa
sekunder (Alston dan Turner, 1962) dan percobaan pertumbuhan dalam rumah kaca serta
kultur vegetatif dan pertumbuhan dari biji (Kruckeberg, 1967). Aplikasi dari metode
percobaan ini dalam taksonomi lamun dimulai pada tahun 1974 ketika McMillan
melakukan studi fenologi sebagai bagian dari Studi Ekosistem Lamun yang dibiayai
oleh The National Science Foundation.
Den Hartog (1964) telah menyimpulkan bahwa sejak bunga dan buah agak jarang
ditemukan pada lamun Holodule. Ahli taksonomi telah melakukan usaha keras untuk
mencari karakter vegertatif dalam mengindentifikasi material yang steril. Tiga karakter
daun telah digunakan untuk menemukan jenis baru pada marga Holodule yaitu : lebar, ada
atau tidak ada lakuna pada tulang daun dan morfologi ujung daun yang dewasa. Den
Hartog (1964) telah menjelaskan tiga jenis baru Halodule dari perairan Pasifik, Amerika
Tengah dengan menggunakan morfologi daun sebagai bahan dasar prinsip untuk
memisahkan satu spesimen dengan yang lainnya. Den Hartog (1964) menyimpulkan

bahwa semua jenis dari marga Halodule adalah berasal dari Amerika Serikat, dimana H.
beaudettei adalah salah satu dari jenis baru yang telah terindentifkasi.
Philipps (1960) menemukan karaktrer daun vegetatif dari Halodule wrightii
bervariasi dengan zona pasang-surut. Pada tahun 1967, dia melaporkan bahwa ada tiga
karakteristik daun yang telah digunakan untuk membedakan jenis pada tanaman yang
sama atau tanaman yang berbeda pada daerah pasang surut. Lebih lanjut Philipps et al.
(1974) menemukan bunga dan buah yang melimpah dari Halodule di Texas. Sejak bunga
disepakati sebagai deskripsi untuk jenis H. wrightii, dan sejak morfologi ujung daun
dijadikan interprestasi sebagai material koloni, maka disimpulkan bahwa material tersebut
merupakan jenis H. wrightii. Menurut Den Hartog (1964) disamping itu, telah
disimpulkan juga bahwa semua marga Halodule di Teluk Meksiko adalah lamun jenis H.
wrightii.
Den Hartog (1964) menemukan jenis baru dari marga Zostera yang ditemukan di
Washington, disebut Z. nana Roth (Z. noltii Hornem), i.e. Z. americana den Hartog.
Sedangkan deskripsi jenis dari Z. americana dan Z. noltii dianggap telah terjadi tumpang
tindih dari bagian-bagian tanaman pada kedua jenis lamun tersebut. Philipps et al. (1974)
telah melakukan penelitian pada beberapa koleksi vegetatif dan reproduktif pada marga
Zostera di perairan Washington, dan pada lamun marga Zostera tersebut telah ditemukan
retinakula yang merupakan salah satu ciri untuk mengindentifikasi jenis Z. noltii dan Z.
americana. Tetapi, Philipps et al. (1974) telah menyimpulkan bahwa jenis-jenis lamun
dari marga Zostera yang ditemukan di perairan Washington adalah Z. noltii, sedangkan
jenis lamun Z. americana masih diperdebatkan keabsahannya.
Sejarah menunjukkan bahwa ahli taksonomi tanaman telah menggunakan
morfologi flora sebagai dasar untuk pemisahan jenis tanaman berpembuluh. Biasanya,
struktur flora digunakan sebagai perbandingan untuk bagian vegetatif dari tanaman.
Masalahnya pada lamun adalah pada beberapa jenis lamun, pembungaannya jarang atau
tidak sama sekali (Den Hartog, 1964). Jadi penggunaan karakter vegetatif dalam
taksonomi telah lama berkembang. Dalam kasus Halodule, reproduksi seksual belum
diketahui sampai tahun 1974, setelah itu telah ditemukan bunga secara konsiten di Texas
(Philipps et al, 1974).

2.2.4. Perairan Pantai Blebak Terhadap Ekosistem Lamun


a. Kondisi Perairan
b. Jenis Substrat
c. Letak Geografis
d. Jenis Lamun yang Ada

2.2.5. Fungsi Ekosistem Lamun


Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem
pesisir dan sangat menunjang dalam mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih
penting lagi sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang
lamun, yaitu:
1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai
perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih
jernih
2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non
ikan)
3) lamun sebagai produser primer
4) komunitas lamun memberikan

habitat

penting

(tempat

hidup)

dan

perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan


5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka
di lingkungan laut
(Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).
Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang
berada diperairan sekitarnya. Ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai
makanan di perairan laut dengan produktivitas primer berkisar antara 900-4650
gC/m2/tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada
suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan
ammonium (Green dan Short, 2003).
2.3. Karang
2.3.1. Definisi Karang

Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat
kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
(Calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat
(CaCO3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina)
merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef
-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum
Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari
dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya
dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.
Menurut Sorokin (1993) terumbu karang (Coral reef) merupakan masyarakat
organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang
cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organismeorganisme yang
dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur,
dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu
karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu
organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu
ekosistem.
2.3.2. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal,
seperti paparan benua dan gugusan pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai
pertumbuhan maksimum, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu
perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar dan sirkulasi air yang lancar serta
terhindar dari proses sedimentasi. Ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan yang
baik dalam memperbaiki bagian yang rusak, bila karakteristik habitat dari berbagai
macam formasi terumbu karang dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya
terpelihara dengan baik. Seperti ekosistem lainnya, terumbu karang tidak memerlukan
campur tangan atau manipulasi langsung manusia untuk kelangsungan hidupnya (Dahuri
et al, 2004).
Dalam proses saling makan, berbagai biota laut yang hidup dalam lingkungan
komunitas terumbu ada yang bersimbiosis mutualisme, komensalisme, dan parasitisme.
Yang berbentuk hubungan komensalisme dengan terumbu karang antara lain hewanhewan Decapoda (Crustaceae) misalnya udang dan rajungan (Portunus spp) serta

berbagai jenis ikan karang membutuhkan keberadaan terumbu karang sebagai tempat
berteduh (shelter) dan tempat menyelinap (sembunyi) untuk melindungi diri dari serangan
predator, serta tempat mencari makan berupa plankton dan serasah. Organisme lain yang
juga bisa ditemui dilingkungan terumbu karang antara lain bulu babi (Diadema), hewan
bangsa

kerang-kerangan

(Pelecypoda),

ubur-ubur

(jellyfish),

bintang

mengular

(Ophiuroidea), bintang laut (Asterias sp), sea anemones, cumi (loligo sp), gurita (octopus
spp), dan sebagainya (Wibisono, 2005).
Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu
karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di
tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di
atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off)
dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan
salinitas air laut.
Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi
terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang
melimpah (overgrowth) terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari
lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis.
Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan
oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC.
Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan
suhu sekitar 25 o C sampai 29 oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak
dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
2.3.3. Keragaman Terumbu Karang
2.3.4. Klasifikasi Terumbu Karang

2.3.5. Habitat Karang

Anda mungkin juga menyukai