Anda di halaman 1dari 19

STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA PADA EKOSISTEM

MANGROVE DESA PARE MAS KECAMATAN JEROWARU


LOMBOK TIMUR.

OLEH :

RAFLIECHASYA LISTIO SALIE


C1N020027
KELOMPOK VIII

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis ini telah selesai disusun sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti respond akhir. Laopran ini di susun oleh :

Nama : Rafliechasya Listio Salie

Nim : C1N020027

Kelompok :VIII

Mataram, Mei 2022

Mengetahui
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem hutan mangrove. Menurut data
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, luas hutan bakau Indonesia mencapai 4,3 juta ha (2006).
Sedang menurut FAO (2007) pada tahun 2005 Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3 juta ha.
Hal ini membuat Indonesia menjadi negara dengan hutan mangrove paling luas di dunia. Ini
disebabkan karena mangrove hidup di wilayah pesisir pantai yang tergenang air, dan tinggi air di
wilayah ini bervariasi karena adanya fenomena pasang surut air dan ini sesuai dengan kondisi yang
banyak dapat kita temukan di Indonesia.

Definisi mangrove menurut Steenis (1978) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis
pasang surut. Sedangkan Nybakken (1988) memberi definisi hutan mangrove sebagai sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin. Menurut Soerianegara (1990) hutan mangrove mempunyai pengertian sebagai hutan
yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai. Hutan
mangrove sendiri mempunyai definisi sebagai hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau
yang terletak di garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut. Menurut KKP sendiri
mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut

Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir berperan penting, baik dilihat dari
sisi ekologi, yaitu peranan dalam memelihara produktivitas perairan maupun dalam menunjang
kehidupan ekonomi penduduk sekitarnya. Bagi wilayah pesisir, ekosistem ini, terutama sebagai jalur
hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuk nener/ikan dan udang serta
mempertahankan kualitas ekosistem perikanan, pertanian, dan permukiman yang berada
dibelakangnya dari gangguan abrasi, instrusi, dan angin laut yang kencang. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah mangrove memasok unsur hara bagi
lingkungannya. Unsur hara kemudian dimanfaatkan oleh plankton dalam fotosintesis, sehingga
perairan mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kelimpahan organisme pada
tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di
perairan tersebut merupakan makanan bagi ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan
ekosistem perairan mangrove sebagai daerah mencari makan, memijah, dan pembesaran.

Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air
dan alam sekitarnya. Fungsi atau manfaat hutan mangrove dapat ditinjau dari sisi fisik, biologi,
maupun ekonomi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove amat penting kontribusinya bagi nilai
ekonomi mangrove itu sendiri. Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi
perikanan, hampir 80 dari seluruh jenis ikan laut yang dikonsumsi manusia berada di ekosistem
mangrove (Saenger et al. 1983). Nilai jasa ekosistem mangrove atau indirect use value merujuk pada
nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya
alam dan lingkungan.
Gastropoda merupakan salah satu sumber daya hayati non-ikan yang mempunyai
keanekaragaman tinggi pada ekosistem mangrove. Gastropoda berasosiasi pada ekosistem mangrove
sebagai habitat hidupnya, yaitu sebagai tempat berlindung, memijah dan sebagai daerah mecari makan
untuk kelangsungan hidupnya (Nontji, 2007). Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap
detritus organik yang sangat penting sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di perairan
sekitarnya. Gastropoda yang berada pada hutan mangrove berperan penting dalam struktur rantai
makanan yaitu dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang
bersifat herbivor. Dengan kata lain gastropoda berkedudukan sebagai pencacah daun-daun menjadi
bagian-bagian kecil yang kemudian akan dilanjutkan proses dekomposisi oleh mikroorganisme (Arief,
2003 dalam Sirante, 2011).

Gastropoda relatif menetap pada habitatnya karena pergerakannya yang sangat terbatas.
Gastropoda biasanya hidup menempel pada akar, batang mangrove dan pada permukaan tanah.
Kelimpahan dan distribusi gastropoda dipengaruhi oleh lingkungan habitatnya, ketersediaan makanan,
pemangsaan, dan juga kompetisi. Tekanan ekologis dan perubahan lingkungan seperti vegetasi
mangrove dapat mempengaruhi kelimpahan organisme tersebut. Kepadatan gastropoda pada
ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang terdapat pada ekosistem mangrove
dimana hal ini akan memberikan efek terhadap kelangsungan hidup gastropoda.

Gastropoda hidup cenderung menetap dengan pergerakan yang terbatas. Adanya bermacam
aktifitas di ekosistem mangrove akan merubah kondisi lingkungan tempat hidup gastropoda.
Distribusi gastropoda di hutan mangrove mempunyai penyebaran yang sempit. Gastropoda banyak
ditemukan sangat dekat dengan genangan air dan mampu bertahan pada rentang kadar garam air yang
tinggi (Alexander & Rae 1979).

Gastropoda yang hidup di daerah pasang surut memiliki beberapa cara dalam mengatasi
perubahan faktor lingkungan yaitu dengan menyimpan air dalam cangkangnya. Bergerak di tempat
masih digenangi air atau masih lembap, memodifikasi atau menambah alat pernapasan selain insang,
sehingga dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Memiliki cara reproduksi yang dipengaruhi
oleh pasang surut, mempunyai toleransi terhadap fluktuasi salinitas yang besar terutama di daerah
tropis yang mengalami penyinaran matahari yang kuat dan frekuensi hujan yang cukup tinggi.
Perilaku hidup Gastropoda tersebut merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan temperatur dan
berbagai faktor lingkungan yang diakibatkan oleh adanya pasang surut di daerah mangrove.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan praktikum ini untuk mengetahui struktur komunitas
gastropoda pada ekosistem mangrove.

1.2 Tujuan praktikum


Membahas tujuna praktikum ( apabila tujuan lebih dari satu maka dibuatkan secara
urutan nomor
Adapaun tujuan pada praktikum lapangan yang telah dilakukan adalah : ( apabila tujuan lebih
dari satu)

1. MENGETAHUI STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA


2. MENGETAHUI STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE
3. MENGETAHUI TUTUPAN MANGROVE
4. MENGETAHUI PARAMETER PENDUKUNG KUALITAS PERAIRAN PADA
EKOSISTEM MANGROVE
5. MENGETAHUI INTERAKSI ANTARA KOMUNITAS GASTROPODA DAN
VEGETASI MANGROVE
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove
2.1.1 Mangrove secara umum
Mangrove adalah masyarakat tumbuhan atau vegetasi tumbuhan yang ditemukan hidup di
daerah pantai dan sekitar muara sungai yang kehidupannya selalu dipengaruhi oleh arus pasang surut
air laut. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang
berpasir tipis, atau pada pantai yang mempunyai jenis tanah alluvial, hal ini menyebabkan mangrove
disebut sebagai tumbuhan pantai, tumbuhan pasang surut dan tumbuhan payau (Kordi, 2012).

Mangrove memiliki fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis, dan ekonomi. Fungsi fisik
mangrove yaitu untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, dan melindungi pantai dari erosi (abrasi)
air laut, fungsi biologis yang dimiliki hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery
ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) dari
berbagai biota laut sedangkan fungsi ekonomi sebagai sumber mata pencarian antara lain sumber
bahan bakar (kayu), bahan bangunan (papan) serta bahan tekstil, obat-obatan dan makanan
(Rahmawaty, 2006).

2.1.2 klasifikasi mangrove


A. Rhizhopora apiculata
Menurut Onrizal (2004) spesies ini dapat tumbuh mencapai 30 m dengan diameter pohon
mencapai 50cm3 . Selain itu, spesies ini dapat tumbuh pada tanah yang berlumpur, berpasir, dan
tergenang. Mangrove jenis ini merupakan komponen mayor dari bakau dan dapat tumbuh pada daerah
dengan lumpur agak keras dan dangkal, tergenang air pasang harian serta dapat membentuk tegakan
murni.

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:


 Kerajaan: Plantae
 Divisi: Magnoliophyta
 Kelas: Magnoliopsida
 Ordo: Malpighiales
 Famili: Rhizoporaceae
 Genus: Rhizopora

B. Sonneratia alba
Zulkifli et.al,. (2017) menyatakan bahwa Sonneratia alba merupakan salah satu tanaman
mangrove yang banyak ditemukan di pesisir negara-negara di Asia antara lain Indonesia, Malaysia
Filipina, India, Cina dan Australia tropis merupakan jenis mangrove yang tumbuh di habitat rawa di
lokasi pantai yang terlindung, juga di bagian yang lebih asin di sepanjang pinggiran sungai yang
dipengaruhi pasang surut, serta di sepanjang garis pantai.

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:


 Kerajaan: Plantae
 Divisi: Magnoliophyta
 Kelas: Magnoliopsida
 Ordo: Myrtales
 Famili: Lythraceae
 Genus: Sonneratia

C. Avicennia alba

Kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dimiliki oleh
tumbuhan mangrove. Shannon et al,. (1994) juga menyatakan bahwa bagian tumbuhan yang
senantiasa kontak dengan substrat adalah akar. Penyerapan nutrisi yang terdapat pada substrat juga
dilakukan oleh akar. Akar merupakan barrier utama bagi tumbuhan.

Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:


 Kerajaan: Plantae
 Divisi: Tracheophyta
 Kelas: Magnoliopsida
 Ordo: Lamiales
 Famili: Acantahceae
 Genus: Avicennia

Mambahas klasifikasi mangrove yang didapatkan DARI SEMUA JENIS MANGROVE


YANG TELAH DIDAPATKAN SEMUA KELOMPOK , mulai dari kingdom sampai tingkatan
paling rendah

2.1.3 Habitat dan sebaran


(source: kkp.go.id)

Ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di
pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO,
Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi habitat
tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas
untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di derah pantai yang berlumpur dan airnya tenang
(gelombang laut tidak besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di
daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30%.
Meliputi sistem zonasi dan sertakan gamabar sistem zonasinya ( boleh
menempelkan gambar dari jurnal ,gogle,wikipedia dll yang penting menuliskan sumbernya
dari mana )
2.2 Gastropoda
2.2.1 gastropoda secara umum
Gastropoda merupakan salah satu moluska penyusun komunitas bentik pada suatu perairan.
Gastropoda bergerak menggunakan otot perut, mengalami torsi, dan apabila bercangkang, bentuk
cangkangnya adalah kerucut terpilin. Poutiers (1998) menyatakan bahwa Gastropoda banyak
ditemukan di perairan laut dan beberapa di antaranya dikonsumsi oleh masyarakat. Nybakken &
Bertness (2005) menyatakan bahwa Gastropoda merupakan moluska paling sukses dan memiliki
penyebaran sangat luas, yaitu mulai dari darat hingga laut dalam. Hendrickx et al. (2007) menyatakan
bahwa Gastropoda dan Bivalvia merupakan penyusun komunitas makrozoobentos di kawasan pesisir
pantai.

Gastropoda berperan dalam poses dekomposisi serasah, dengan kata lain gastropoda
berkedudukan sebagai dekomposer awal. Menurut Nurrudin et al. (2015), gastropoda pada ekosistem
mangrove merupakan pemakan detritus yang berperan dalam merobek dan memperkecil serasah yang
jatuh untuk mempercepat proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme. Gastropoda sangat
mudah ditemukan di ekosistem mangrove karena ekosistem tersebut merupakan habitat, mencari
makan, dan tempat pemijahan bagi gastropoda. Tekanan akibat dari adanya penebangan mangrove,
pembuangan sampah akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove.

2.2.2 Klasifikasi

A. Vexillum cruentatum
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom: Animalia
 Filum: Moluska
 Kelas: Gastropoda
 Ordo: Neogastropoda
 Famili: Costellariidae
 Genus: Vexillum

B. Agrobuccinum pustulosum
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom: Animalia
 Filum: Moluska
 Kelas: Gastropoda
 Ordo: Littorinimorpha
 Famili: Cymatiidae
 Genus: Agrobuccinum

C. Minolia subangulata
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom: Animalia
 Filum: Moluska
 Kelas: Gastropoda
 Ordo: Trochida
 Famili: Solariellidae
 Genus: Minolia

D. Nerita senegalensis
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom: Animalia
 Filum: Moluska
 Kelas: Gastropoda
 Ordo: Cycloneritida
 Famili: Neritidae
 Genus: Nerita

E. Mitra belcheri
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom: Animalia
 Filum: Moluska
 Kelas: Gastropoda
 Ordo: Neogastropoda
 Famili: Mitridae
 Genus: Mitra

Membahas klasifikasi gastropoda yang di dapatkan semua kelommpok (DATA YANG


DIPAKAI ADALAH DATA SELURUH GASTROPODA YANG DIDAPATKAN PADA
SAAT PRAKTIKUM LAPANGAN)
2.2.3 Habitat dan sebaran

Keberadaan gastropoda sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang terdiri dari faktor
biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari pohon mangrove dan fitoplankton yang merupakan
sumber makanan utama bagi gastropoda. Faktor lingkungan yang mempengaruhi gastropoda terdiri
dari suhu, salinitas, substrat dasar, dan kandungan bahan organik. Tiap jenis gastropoda memerlukan
suatu kombinasi faktor abiotik yang optimum agar jenis tersebut dapat hidup, tumbuh dan
berkembang dengan baik (Hutabarat & Evans 1985).
Faktor utama menentukan distribusi (penyebaran) Gastropoda adalah substrat dasar peraira.
Substrat dengan ukuran partikel yang besar dan kasar mengandung lebih sedikit bahan organik
dibandingkan substrat yang halus. Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun sedimen
yang berasal dari sisa tumbuhan dan hewan yang mati. Oleh kerena itu, keadaan sedimen yang banyak
mengandung lumpur, memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga merupakan habitat
yang sesuai bagi Gastropoda (Bolam et al. 2002).
Hewan yang hidup di ekosistem mangrove, dapat ditemukan di lumpur atau tanah yang
tergenang air dan juga dapat menempel pada akar, batang dan daun mangrove. Pada umumnya
pergerakan Gastropoda sangat lambat dan bukan merupakan hewan yang berpindah-pindah. Kondisi
lingkungan di ekosistem tersebut seperti tipe substrat, salinitas, dan suhu perairan dapat memberikan
variasi yang besar pada kehidupan Gastropoda (Shanmugam & Vairamani 2008).
Gastropoda di ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis gastropoda yang banyak hidup
di air payau atau hutan mangrove yang didominasi oleh pohon mangrove (Rhizopora sp) sehingga
orang menyebutnya sebagai keong bakau dan di Kepulauan Seribu dikenal dengan nama ‘‘blencong’’
Gastropoda biasanya hidup menempel pada akar, batang mangrove dan pada permukaan tanah.

Membahas habitat dan sebaran gastropoda yang didapatkan mulai dari habita dan
sebaran secara umum.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari sabtu, 25 maret 2022 pada pukul 08.00 – 10.00 WITA di Desa
Pare Mas, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara barat.
3.2 Alat dan bahan
Dibuatkan dengan
tabel
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum lapang yang telah dilakukan adalah
( 1.Tabel alat) :

1. Tabel alat

No Nama Alat Fungsi

1
2
3
4
5
6
7
8
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum lapang yang telah dilakukan
adalah ( 2.Tabel alat) :

2. Tabel bahan

No Nama Bahan Fungsi

1 Sampel Mangrove Sebagai bahan yang diteliti


2 Sampel Gastropoda Sebagai bahan yang diteliti

3.3 Prosedur kerja


Membuat masing masing prosedur kerja pada setiap sub bab.
Persedurnya ada di modul
3.3.1 pengukuran kerapatan mangrove
Studi struktur dan komposisi dapat dilakukan dengan menggunakan metode sample plot yang
merupakan modifikasi dari cara yang digunakan oleh Mueller Dumbois and Ellenberg (1974). Sample
plot adalah garis transek yang berupa plot berukuran 10x10 m sepanjang 100 m, lebar seluruh plot
adalah 30 m dan luas total seluruh plot sampel adalah 300 m2 . untuk masing-masing stasiun
penelitian mempunyai satu transek dengan panjang 100 m dimulai titik nol meter tepi pantai ke arah
sepanjang sungai sampai berjarak 100 m. Tiap stasiun penelitian terdapat 3 plot yang berukuran
10x10 m yang diletakkan pada kedua ujung dan di tengah transek. Didalam plot 10x10 m dibuat
subplot 5x5 m dan di dalam subplot 5x5 m dibuat subplot 1x1 m. Pengambilan sampel vegetasi
meliputi tree, sapling dan seeding.

A. Tree/Pohon: diameter batang pohon ≥ 4 cm (diambil pada plot 10x10 m)


• Apabila batang bercabang di bawah ketinggian sebatas dada (1,3 m) dan tiap cabang
(diameter batang pohon ≥ 4 cm) maka diukur sebagai dua pohon yang terpisah.
• Apabila cabang batang berada di atas setinggi dada atau sedikit di atasnya maka
diameter diukur
• Apabila batang mempunyai akar udara, maka diameter diukur 30 cm di atas tonjolan
tertinggi
• Apabila batang mempunyai batang yang tidak lurus, cabang atau terdapat
ketidaknormalan pada poin pengukuran maka diameter diambil pada 30 cm di atas
atau di bawah setinggi dada.
B. Sapling: 1 cm ≤ diameter batang pohon < 4 cm, tinggi > 1 m (diambil pada subplot
5x5 m) ketinggian pohon diukur dari bagian pohon paling bawah yang menyentuh
tanah hingga daun pohon bagian ujung teratas.
C. Seedling: h pohon < 1 m (diambil pada subplot 1x1 m). Data yang dicatat dalam
data sheet adalah berupa spesies, jumlah spesies dan prosentase penutupan terhadap
subplot 1x1 m. Penutupan seedling diklasifikasikan dala enam kelompok, yaitu; <
5%, 5-10%, 10-25%, 25-50%, 50-75%, 75-100%.
3.
Dalam mengidentifikasi spesies mangrove jika terdapat keragu-raguan, maka diambil
sampel (daun, bunga dan buah) untuk kemudian diidentifikasi dengan buku-buku
identifikasi mangrove yang mengacu pada Kitamura et al. (1997) maupun Tomlinson
(1994).

Gambar: Peletakan transek (sample plot) untuk pengambilan data vegetasi mangrove

3.3.2 penghitungan kanopi mangrove


1. Pengambilan data dilakukan dengan kamera untuk mengambil foto yang diarahkan tegak lurus ke
arah langit.
2. Setiap plot 10x10 m2 dibagi menjadi beberapa subplot/kuadran posisi pengambilan foto tergantung
dari kondisi hutan mangrovenya, antara lain: - Mangrove dengan kanopi yang rapat, menutupi seluruh
plot, kondisi masih sangat alami dan tegakan pohon yang tinggi, dilakukan pengambilan foto
sebanyak 4 empat foto pada setiap plot. - Mangrove dengan kanopi yang tinggi, kondisinya ada
beberapa penebangan atau kondisi tutupan yang tidak sempurna menutup seluruh plot, maka
dilakukan pengambilan foto sebanyak 5 foto pada setiap plot. - Jika pohon rendah, atau tutupan
kanopi tidak beraturan, atau banyak penebangan, maka pengambilan foto dilakukan sebanyak 9 kali
dalam setiap plot.
3. Titik pengambilan foto, ditempatkan di sekitar pusat plot kecil; harus berada diantara satu pohon
dengan pohon lainnya; serta hindarkan pemotretan tepat disamping batang satu pohon.
4. Posisi kamera disejajarkan dengan tinggi dada peneliti/ tim pengambil foto serta tegak
lurus/menghadap lurus ke langit.
5. Pada pohon yang berukuran rendah, pengambilan gambar dilakukan dibawah kanopi atau sejajar
dengan batang utama.
6. Untuk membatasi tiap plot, dilakukan pengambilan gambar lingkungan atau data sheet, swafoto
atau bisa dengan teknik lainnya yang hanya bertujuan untuk memisahkan foto-foto dari plot yang
berbeda.
7. Dihindarkan pengambilan foto ganda pada setiap kuadran untuk mencegah kebingungan dalam
analisis data.
8. Diminimalisir sorotan langsung sinar matahari mengenai lensa kamera untuk mendapatkan kualitas
foto yang terbaik.
9. Lensa kamera yang digunakan harus kering sehingga harus dihindari dari lembab atau basah air
laut, air minum ataupun keringat. Jika sudah lembab, keringkan lensa dengan lap kering sebelum
menggunakannya.
3.3.3 pengambilan sampel gastro
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang didapatkan pada praktikum lapangan yang telah di lakukan adalah
sebagai berikut:
4.1.1 Kerapatan mangrove
Membuat tabel data sheet dan memasukan hasil data mangrove yang didapatkan di
lapangan sesuai kelompok

( TABEL DATA SHEET POHON)


4.Tabel data sheet
NO JENIS KELILING JARI- TINGGI DIAMETER LUAS BASAL
/SPESIES JARI AREA

Dan mencari nilai atau menghitung menggunakan rumus yang ada di modul
A. Basal area indeks

B. Kerapatan

C. Kerapatan relatif

D. Dominasi relatif

E. Indeks nilai penting


F. Indeks keanekaragaman

G. Indeks keseragaman
4.1.2 Kanopi mangrove

Memasukan foto kanopi di lapangan bisa di prin hitam putih dan warna
Dan mencari nilai kerapatanya . yaitu dengan memasukan nilia pixel dan p255 dan mencari
berapa presentase tutupannya menggunakan rumus yang telah dijelaskan pada saat praktikum
kemarin

4.1.3 Gastropoda
Membuat tabel jumlah dan jenis yang didapatkan di setiap kelompok
Adapun jumlah dan jenis gastropoda yang telah didapatkan pada praktikum lapangan yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut ( 3.Tabel jumlah dan jenis gastropoda) :

3. Tabel jumlah dan jenis gastropoda

4.1.4 Parameter kualitas air


Memasukan hasi parameter air yang didapatkan di setiap kelompok ( minta datanya di tim
eksplorasi angkatan 19)
Adapun hasil prameter kualitas air yang telah didapatkan pada saat praktikum lapangan adalah
….
4.2 Pembahasan
4.2.1 Struktur komunitas mangrove di Desa Pare Mas

Basal area merupakan penutupan areal hutan mangrove oleh batang pohon. Basal area
didapatkan dari pengukuran batang pohon mangrove yang diukur secara melintang (Cintron dan
Novelli, 1984). Diameter batang tiap spesies tersebut kemudian diubah menjadi basal area. Basal area
indeks jenis R. apiculate dan jenis S. alba pada hutan mangrove di Desa Paremas menunjukan angka
326,76 untuk jenis R. apiculate dan 1288,42 untuk jenis S. alba. Dari angka tersebut dapat dilihat
bahwa basal area indeks dari jenis S. alba lebih besar daripada jenis R. apiculate

Indeks keanekaragaman (H’) jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas berkisar
antara -2,08 dan -3,87. Berdasarkan angka tersebut keanekaragaman dari kedua jenis mangrove
tersebut masuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukan bahwa komunitas keanekaragaman
mangrove di Desa Pare Mas terdiri dari beragam jenis dengan masing-masing individu yang beragam.
Beragamnya jumlah individu dari tiap jenis R. apiculate dan S. alba diduga karena karena kedua jenis
spesies mangrove tersebut memiliki faktor atau syarat-syarat pertumbuhan yang berbeda-beda.

Indeks keseragaman (E) jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas menunjukan
bahwa keseragamannya berkisar 0,15 dan 0,45. Dilihat dari angka tersebut bahwa itu termasuk
kedalam kategori sedang. Hal ini menunjukan bahwa komunitas keanekaragaman mangrove di Desa
Pare Mas terdiri dari berbagai jenis dengan kelimpahan yang bervariasi pada tiap jenisnya. Kondisi
tersebut mungkin diakibatkan karena jenis mangrove R. apiculate memiliki pertumbuhan yang lebih
cepat jika dibandingkan dengan jenis mangrove jenis R. apiculate (Rahwarin et. al,. 2019).

Dominasi jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas menunjukan kisaran nilai
yang tinggi. Nilai tersebut berkisar 20,3 dan 79,77 untuk masing-masing dari kedua jenis mangrove
tersebut. Hutan mangrove di Desa Pare Mas terdistribusi ke dalam beberapa jenis yang berbeda. Jika
dilihat dari hasil data penelitan yang kita ambil dapat diliaht bahwa jenis mangrove R. apiculate lebih
mendominasi dari jenis mangrove S. alba. Hal ini diduga karena hutan mangrove yang berada di Desa
Pare Mas yang memiliki substrat pasir belumpur lebih cocok untuk jenis mangrove R. apiculate
dibandingkan S. alba. Amin et. al., (2015) menyatakan Spesies ini umumnya tumbuh pada tanah
berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Rhizophora apiculata tidak
menyukai substrat yang keras (dengan komposisi pasir yang tinggi). Tingkat dominasi jenis ini dapat
mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Spesies ini tumbuh dengan baik pada
perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen.

4.2.2 Struktur komunitas gastropoda di Desa Pare Mas

Kelimpahan gastropoda dipengaruhi oleh faktor lingkungan, ketersediaan makanan, pemangsa


dan kompetisi. Jenis gastropoda yang ditemukan pada ekosistem mangrove Desa Pare Mas antara lain
adalah Agrobuccinum pustulosum, Minolia Subungulata, Mitra balcheri, Nerita senegalensis dan,
vexillum cruentatum. Besarnya kelimpahan gastropoda pada daerah tersebut adalah 3,6. Angka
kelimpahan tersebut termasuk kedalam kategori sedang. Wijayanti (2007) menjelaskan bahwa
substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan benthos. Jenis
substrat dasar merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme benthos.
Kandungan bahan organik dalam substrat akan sangat mempengaruhi persebaran dan jumlah
kelimpahan makrobenthos di dalamnya. Menurut Wenno dan Witasari (2001), bahwa bahan organik
yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme
makrozoobenthos

Indeks keanekaragaman (H’) gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru
menunjukan bahwa keanekaragaman gastropodanya adalah 0,72. Dilihat dari angka tersebut
keanekaragamannya masuk ke dalam kategori yang rendah. Hal ini berarti komunitas gastropoda di
Desa Pare Mas tersebut terdiri dari beragam jenis kecil dengan jumlah masing-masing individu yang
lumayan beragam. Menurut Wirakusuma (2003), tekanan dan perubahan lingkungan dapat
mempengaruhi jumlah jenis gastropoda pada suatu daerah. Jumlah jenis dalam suatu komunitas
sangat penting dari segi ekologis karena keanekaragaman jenis bertambah bila komunitas menjadi
semakin stabil.

Indeks keseragaman (J’) gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru
menunjukan angka 0,45, yaitu masuk kedalam kategori kecil. Hal ini berarti komunitas gastropoda di
Desa Pare Mas terdiri dari berbagai jenis dengan keseragaman yang bervariasi tiap jenisnya. Kondisi
tersebut. Menurut Krebs (1989) dalam Syafikri, (2008) jika nilai indeks keseragaman 0,4≥ E ≥0,6
maka keseragaman spesies pada daerah itu sedang (stasiun 4) yaitu 0,55, dan jika indeks keseragaman
>0,6 maka keseragaman spesies tinggi. Menurut Odum (1993) nilai indeks keseragaman jenis akan
mendekati 1 jika sebaran individu antar jenis merata dan akan mendekati 0 jika sebaran jenis tidak
merata atau terdapat individu yang mendominasi.
Indeks dominasi gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru menunjukan
angka yang masuk ke dalam kategori rendah, yakni 0,60. Jika dilihat dari data hasil penelitian tersebut
ada satu spesies gastropoda yang lebih mendominasi dibandingkan jenis gastropda laiinya yaitu jenis
V. cruentatum. Adanya dominansi gastropoda jenis tersebut diduga karena beberapa faktor khusus
seperti substrat, tempat tinggal, atau kompetisi yang lebih cocok untuk spesies tersebut. Shanmugam
& Vairamani (2008) menyatakan bahwa kondisi lingkungan di ekosistem tersebut seperti tipe
substrat, salinitas, dan suhu perairan dapat memberikan variasi yang besar pada kehidupan
Gastropoda.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap struktur komunitas ekosistem
mangrove di Desa Pare Mas dapat diketahui bahwa komposisi jenis mangrove yang dapat
ditemukan ada 2 jenis yaitu Rhizopora apiculata dan Sonneratia alba dengan jenis yang menjadi
dominansi adalah jenis Rhizopora apiculata, jenis itu juga dengan tingkat keanekaragaman rendah
dan keseragaman yang rendah sedang, serta tingkat kepadatan yang sempit pada jenis Rhizopora
apiculate jika dibandingkan dengan jenis Sonneratia alba.
Dari hasil praktikum ini pula kita juga dapat mengetahui bahwa tingkat kelimpahan
gastropoda yang terdapat di desa Pare Mas, yaitu masuk kedalam kategori rendah, dimana dari
beberpa jenis gastropoda yang di temukan adalah jenis Agrobuccinum pustulosum, Minolia
Subungulata, Mitra balcheri, Nerita senegelensis dan Vexillum cruentatum, yang menjadi
dominansi disini adalah jenis Vexillum cruentatum. Memiliki tingkat keanekaragaman yang rendah
dan keseragaman yang sedang.

5.2 Saran
Mengingat pentingnya fungsi dan peranan dari ekosistem mangrove, perlu adanya penguatan
pemahaman semua pihak untuk terus menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove di Desa Pare
Mas. Harus adanya penegakan peraturan tentang pemanfaatan dan pengelolaan mangrove secara
berkelanjutan. Dan untuk gastropoda untuk kedepannya harus terus dilakukan penelitan lebih lanjut
untuk mengetahui keberadaan gastropoda sesuai peningkatan vegetasi mangrove pada hutan
mangrove di Desa Pare Mas.
DAFTAR PUSTAKA

Indrayanti, M. D., Fahrudin, A., & Setiobudiandi, I. (2015). Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di
Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(2), 91-96.

Sipahelut, P., Wakano, D., & Sahertian, D. E. (2020). Keanekaragaman Jenis Dan Dominansi
Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Sehati Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal
Biology Science & Education, 8(2), 160-170.

Ernanto, R., Agustriani, F., & Aryawaty, R. (2010). Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem
mangrove di muara sungai batang ogan komering ilir sumatera selatan. Maspari Journal: Marine
Science Research, 1(1), 73-78.

Silaen, I. F., Hendrarto, B., & Nitisupardjo, M. (2013). Distribusi dan kelimpahan gastropoda pada
hutan mangrove Teluk Awur Jepara.  Journal of Management of Aquatic Resources, 2(3), 93-103.

Rahmasari, T., Purnomo, T., & Ambarwati, R. (2015). Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda
di Pantai Selatan Kabupaten Pamekasan, Madura.  Journal of Biology & Biology Education, 7(1), 48-
54.

Laraswati, Y., Soenardjo, N., & Setyati, W. A. (2020). Komposisi dan kelimpahan gastropoda pada
ekosistem mangrove di Desa Tireman, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Journal of Marine
Research, 9(1), 41-48.

Tuheteru, M., Notosoedarmo, S., & Martosupono, M. (2014). Distribusi gastropoda di ekosistem
mangrove. In Dalam: Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat–Waisai, 12-13.

Hadi, A. M., Irawati, M. H., & Suhadi, S. (2016). Karakteristik Morfo-anatomi Struktur Vegetatif
Spesies Rhizopora Apiculata (Rhizoporaceae). Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan
Pengembangan, 1(9), 1688-1692.

Amaliyah, S., Purnobasuki, H., Nurhidayati, T., & Saptarini, D. (2012). Pengaruh Umur Tegakan
Tanaman Terhadap Adaptasi Pneumatophor Avicennia alba di Kawasan Wonorejo-Surabaya. Jurnal
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 15(1), 11-14.

Paputungan, Z., Wonggo, D., & Kaseger, B. E. (2017). Uji Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Buah
Mangrove Sonneratia alba Di Desa Nunuk Kecamatan Pinolosian Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan Sulawesi Utara. Media Teknologi Hasil Perikanan, 5(3), 96-102.
LAMPIRAN

Lampiran ( data sheet, foto kanopi, foto dokumentasi)


REVISI

Hasil mangrove Hasil gastropoda


a) Bai a) Kelimpahan
b) Kerapatan b) Keanekaragaman
c) Keanekaragaman c) Keseragaman
d) Keseragaman d) Dominasi
e) Dominasi

Anda mungkin juga menyukai