OLEH :
Laporan Praktikum Ekologi Laut Tropis ini telah selesai disusun sebagai
salah satu syarat untuk mengikuti respond akhir. Laopran ini di susun oleh :
Nim : C1N020027
Kelompok :VIII
Mengetahui
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem hutan mangrove. Menurut data
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, luas hutan bakau Indonesia mencapai 4,3 juta ha (2006).
Sedang menurut FAO (2007) pada tahun 2005 Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3 juta ha.
Hal ini membuat Indonesia menjadi negara dengan hutan mangrove paling luas di dunia. Ini
disebabkan karena mangrove hidup di wilayah pesisir pantai yang tergenang air, dan tinggi air di
wilayah ini bervariasi karena adanya fenomena pasang surut air dan ini sesuai dengan kondisi yang
banyak dapat kita temukan di Indonesia.
Definisi mangrove menurut Steenis (1978) adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis
pasang surut. Sedangkan Nybakken (1988) memberi definisi hutan mangrove sebagai sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin. Menurut Soerianegara (1990) hutan mangrove mempunyai pengertian sebagai hutan
yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai. Hutan
mangrove sendiri mempunyai definisi sebagai hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau
yang terletak di garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut. Menurut KKP sendiri
mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat air payau dan air laut
Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir berperan penting, baik dilihat dari
sisi ekologi, yaitu peranan dalam memelihara produktivitas perairan maupun dalam menunjang
kehidupan ekonomi penduduk sekitarnya. Bagi wilayah pesisir, ekosistem ini, terutama sebagai jalur
hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuk nener/ikan dan udang serta
mempertahankan kualitas ekosistem perikanan, pertanian, dan permukiman yang berada
dibelakangnya dari gangguan abrasi, instrusi, dan angin laut yang kencang. Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah mangrove memasok unsur hara bagi
lingkungannya. Unsur hara kemudian dimanfaatkan oleh plankton dalam fotosintesis, sehingga
perairan mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kelimpahan organisme pada
tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di
perairan tersebut merupakan makanan bagi ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan
ekosistem perairan mangrove sebagai daerah mencari makan, memijah, dan pembesaran.
Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air
dan alam sekitarnya. Fungsi atau manfaat hutan mangrove dapat ditinjau dari sisi fisik, biologi,
maupun ekonomi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove amat penting kontribusinya bagi nilai
ekonomi mangrove itu sendiri. Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi
perikanan, hampir 80 dari seluruh jenis ikan laut yang dikonsumsi manusia berada di ekosistem
mangrove (Saenger et al. 1983). Nilai jasa ekosistem mangrove atau indirect use value merujuk pada
nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya
alam dan lingkungan.
Gastropoda merupakan salah satu sumber daya hayati non-ikan yang mempunyai
keanekaragaman tinggi pada ekosistem mangrove. Gastropoda berasosiasi pada ekosistem mangrove
sebagai habitat hidupnya, yaitu sebagai tempat berlindung, memijah dan sebagai daerah mecari makan
untuk kelangsungan hidupnya (Nontji, 2007). Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap
detritus organik yang sangat penting sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di perairan
sekitarnya. Gastropoda yang berada pada hutan mangrove berperan penting dalam struktur rantai
makanan yaitu dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang
bersifat herbivor. Dengan kata lain gastropoda berkedudukan sebagai pencacah daun-daun menjadi
bagian-bagian kecil yang kemudian akan dilanjutkan proses dekomposisi oleh mikroorganisme (Arief,
2003 dalam Sirante, 2011).
Gastropoda relatif menetap pada habitatnya karena pergerakannya yang sangat terbatas.
Gastropoda biasanya hidup menempel pada akar, batang mangrove dan pada permukaan tanah.
Kelimpahan dan distribusi gastropoda dipengaruhi oleh lingkungan habitatnya, ketersediaan makanan,
pemangsaan, dan juga kompetisi. Tekanan ekologis dan perubahan lingkungan seperti vegetasi
mangrove dapat mempengaruhi kelimpahan organisme tersebut. Kepadatan gastropoda pada
ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang terdapat pada ekosistem mangrove
dimana hal ini akan memberikan efek terhadap kelangsungan hidup gastropoda.
Gastropoda hidup cenderung menetap dengan pergerakan yang terbatas. Adanya bermacam
aktifitas di ekosistem mangrove akan merubah kondisi lingkungan tempat hidup gastropoda.
Distribusi gastropoda di hutan mangrove mempunyai penyebaran yang sempit. Gastropoda banyak
ditemukan sangat dekat dengan genangan air dan mampu bertahan pada rentang kadar garam air yang
tinggi (Alexander & Rae 1979).
Gastropoda yang hidup di daerah pasang surut memiliki beberapa cara dalam mengatasi
perubahan faktor lingkungan yaitu dengan menyimpan air dalam cangkangnya. Bergerak di tempat
masih digenangi air atau masih lembap, memodifikasi atau menambah alat pernapasan selain insang,
sehingga dapat mengambil oksigen langsung dari udara. Memiliki cara reproduksi yang dipengaruhi
oleh pasang surut, mempunyai toleransi terhadap fluktuasi salinitas yang besar terutama di daerah
tropis yang mengalami penyinaran matahari yang kuat dan frekuensi hujan yang cukup tinggi.
Perilaku hidup Gastropoda tersebut merupakan bentuk adaptasi terhadap perubahan temperatur dan
berbagai faktor lingkungan yang diakibatkan oleh adanya pasang surut di daerah mangrove.
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan praktikum ini untuk mengetahui struktur komunitas
gastropoda pada ekosistem mangrove.
2.1 Mangrove
2.1.1 Mangrove secara umum
Mangrove adalah masyarakat tumbuhan atau vegetasi tumbuhan yang ditemukan hidup di
daerah pantai dan sekitar muara sungai yang kehidupannya selalu dipengaruhi oleh arus pasang surut
air laut. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang
berpasir tipis, atau pada pantai yang mempunyai jenis tanah alluvial, hal ini menyebabkan mangrove
disebut sebagai tumbuhan pantai, tumbuhan pasang surut dan tumbuhan payau (Kordi, 2012).
Mangrove memiliki fungsi, antara lain fungsi fisik, biologis, dan ekonomi. Fungsi fisik
mangrove yaitu untuk menjaga garis pantai agar tetap stabil, dan melindungi pantai dari erosi (abrasi)
air laut, fungsi biologis yang dimiliki hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery
ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) dari
berbagai biota laut sedangkan fungsi ekonomi sebagai sumber mata pencarian antara lain sumber
bahan bakar (kayu), bahan bangunan (papan) serta bahan tekstil, obat-obatan dan makanan
(Rahmawaty, 2006).
B. Sonneratia alba
Zulkifli et.al,. (2017) menyatakan bahwa Sonneratia alba merupakan salah satu tanaman
mangrove yang banyak ditemukan di pesisir negara-negara di Asia antara lain Indonesia, Malaysia
Filipina, India, Cina dan Australia tropis merupakan jenis mangrove yang tumbuh di habitat rawa di
lokasi pantai yang terlindung, juga di bagian yang lebih asin di sepanjang pinggiran sungai yang
dipengaruhi pasang surut, serta di sepanjang garis pantai.
C. Avicennia alba
Kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dimiliki oleh
tumbuhan mangrove. Shannon et al,. (1994) juga menyatakan bahwa bagian tumbuhan yang
senantiasa kontak dengan substrat adalah akar. Penyerapan nutrisi yang terdapat pada substrat juga
dilakukan oleh akar. Akar merupakan barrier utama bagi tumbuhan.
Ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di
pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut FAO,
Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi habitat
tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan ekosistem yang khas
untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di derah pantai yang berlumpur dan airnya tenang
(gelombang laut tidak besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di
daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30%.
Meliputi sistem zonasi dan sertakan gamabar sistem zonasinya ( boleh
menempelkan gambar dari jurnal ,gogle,wikipedia dll yang penting menuliskan sumbernya
dari mana )
2.2 Gastropoda
2.2.1 gastropoda secara umum
Gastropoda merupakan salah satu moluska penyusun komunitas bentik pada suatu perairan.
Gastropoda bergerak menggunakan otot perut, mengalami torsi, dan apabila bercangkang, bentuk
cangkangnya adalah kerucut terpilin. Poutiers (1998) menyatakan bahwa Gastropoda banyak
ditemukan di perairan laut dan beberapa di antaranya dikonsumsi oleh masyarakat. Nybakken &
Bertness (2005) menyatakan bahwa Gastropoda merupakan moluska paling sukses dan memiliki
penyebaran sangat luas, yaitu mulai dari darat hingga laut dalam. Hendrickx et al. (2007) menyatakan
bahwa Gastropoda dan Bivalvia merupakan penyusun komunitas makrozoobentos di kawasan pesisir
pantai.
Gastropoda berperan dalam poses dekomposisi serasah, dengan kata lain gastropoda
berkedudukan sebagai dekomposer awal. Menurut Nurrudin et al. (2015), gastropoda pada ekosistem
mangrove merupakan pemakan detritus yang berperan dalam merobek dan memperkecil serasah yang
jatuh untuk mempercepat proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme. Gastropoda sangat
mudah ditemukan di ekosistem mangrove karena ekosistem tersebut merupakan habitat, mencari
makan, dan tempat pemijahan bagi gastropoda. Tekanan akibat dari adanya penebangan mangrove,
pembuangan sampah akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove.
2.2.2 Klasifikasi
A. Vexillum cruentatum
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Moluska
Kelas: Gastropoda
Ordo: Neogastropoda
Famili: Costellariidae
Genus: Vexillum
B. Agrobuccinum pustulosum
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Moluska
Kelas: Gastropoda
Ordo: Littorinimorpha
Famili: Cymatiidae
Genus: Agrobuccinum
C. Minolia subangulata
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Moluska
Kelas: Gastropoda
Ordo: Trochida
Famili: Solariellidae
Genus: Minolia
D. Nerita senegalensis
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Moluska
Kelas: Gastropoda
Ordo: Cycloneritida
Famili: Neritidae
Genus: Nerita
E. Mitra belcheri
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Moluska
Kelas: Gastropoda
Ordo: Neogastropoda
Famili: Mitridae
Genus: Mitra
Keberadaan gastropoda sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang terdiri dari faktor
biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari pohon mangrove dan fitoplankton yang merupakan
sumber makanan utama bagi gastropoda. Faktor lingkungan yang mempengaruhi gastropoda terdiri
dari suhu, salinitas, substrat dasar, dan kandungan bahan organik. Tiap jenis gastropoda memerlukan
suatu kombinasi faktor abiotik yang optimum agar jenis tersebut dapat hidup, tumbuh dan
berkembang dengan baik (Hutabarat & Evans 1985).
Faktor utama menentukan distribusi (penyebaran) Gastropoda adalah substrat dasar peraira.
Substrat dengan ukuran partikel yang besar dan kasar mengandung lebih sedikit bahan organik
dibandingkan substrat yang halus. Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun sedimen
yang berasal dari sisa tumbuhan dan hewan yang mati. Oleh kerena itu, keadaan sedimen yang banyak
mengandung lumpur, memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga merupakan habitat
yang sesuai bagi Gastropoda (Bolam et al. 2002).
Hewan yang hidup di ekosistem mangrove, dapat ditemukan di lumpur atau tanah yang
tergenang air dan juga dapat menempel pada akar, batang dan daun mangrove. Pada umumnya
pergerakan Gastropoda sangat lambat dan bukan merupakan hewan yang berpindah-pindah. Kondisi
lingkungan di ekosistem tersebut seperti tipe substrat, salinitas, dan suhu perairan dapat memberikan
variasi yang besar pada kehidupan Gastropoda (Shanmugam & Vairamani 2008).
Gastropoda di ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis gastropoda yang banyak hidup
di air payau atau hutan mangrove yang didominasi oleh pohon mangrove (Rhizopora sp) sehingga
orang menyebutnya sebagai keong bakau dan di Kepulauan Seribu dikenal dengan nama ‘‘blencong’’
Gastropoda biasanya hidup menempel pada akar, batang mangrove dan pada permukaan tanah.
Membahas habitat dan sebaran gastropoda yang didapatkan mulai dari habita dan
sebaran secara umum.
BAB III
METODOLOGI
1. Tabel alat
1
2
3
4
5
6
7
8
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum lapang yang telah dilakukan
adalah ( 2.Tabel alat) :
2. Tabel bahan
Gambar: Peletakan transek (sample plot) untuk pengambilan data vegetasi mangrove
4.1 Hasil
Adapun hasil yang didapatkan pada praktikum lapangan yang telah di lakukan adalah
sebagai berikut:
4.1.1 Kerapatan mangrove
Membuat tabel data sheet dan memasukan hasil data mangrove yang didapatkan di
lapangan sesuai kelompok
Dan mencari nilai atau menghitung menggunakan rumus yang ada di modul
A. Basal area indeks
B. Kerapatan
C. Kerapatan relatif
D. Dominasi relatif
G. Indeks keseragaman
4.1.2 Kanopi mangrove
Memasukan foto kanopi di lapangan bisa di prin hitam putih dan warna
Dan mencari nilai kerapatanya . yaitu dengan memasukan nilia pixel dan p255 dan mencari
berapa presentase tutupannya menggunakan rumus yang telah dijelaskan pada saat praktikum
kemarin
4.1.3 Gastropoda
Membuat tabel jumlah dan jenis yang didapatkan di setiap kelompok
Adapun jumlah dan jenis gastropoda yang telah didapatkan pada praktikum lapangan yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut ( 3.Tabel jumlah dan jenis gastropoda) :
Basal area merupakan penutupan areal hutan mangrove oleh batang pohon. Basal area
didapatkan dari pengukuran batang pohon mangrove yang diukur secara melintang (Cintron dan
Novelli, 1984). Diameter batang tiap spesies tersebut kemudian diubah menjadi basal area. Basal area
indeks jenis R. apiculate dan jenis S. alba pada hutan mangrove di Desa Paremas menunjukan angka
326,76 untuk jenis R. apiculate dan 1288,42 untuk jenis S. alba. Dari angka tersebut dapat dilihat
bahwa basal area indeks dari jenis S. alba lebih besar daripada jenis R. apiculate
Indeks keanekaragaman (H’) jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas berkisar
antara -2,08 dan -3,87. Berdasarkan angka tersebut keanekaragaman dari kedua jenis mangrove
tersebut masuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukan bahwa komunitas keanekaragaman
mangrove di Desa Pare Mas terdiri dari beragam jenis dengan masing-masing individu yang beragam.
Beragamnya jumlah individu dari tiap jenis R. apiculate dan S. alba diduga karena karena kedua jenis
spesies mangrove tersebut memiliki faktor atau syarat-syarat pertumbuhan yang berbeda-beda.
Indeks keseragaman (E) jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas menunjukan
bahwa keseragamannya berkisar 0,15 dan 0,45. Dilihat dari angka tersebut bahwa itu termasuk
kedalam kategori sedang. Hal ini menunjukan bahwa komunitas keanekaragaman mangrove di Desa
Pare Mas terdiri dari berbagai jenis dengan kelimpahan yang bervariasi pada tiap jenisnya. Kondisi
tersebut mungkin diakibatkan karena jenis mangrove R. apiculate memiliki pertumbuhan yang lebih
cepat jika dibandingkan dengan jenis mangrove jenis R. apiculate (Rahwarin et. al,. 2019).
Dominasi jenis mangrove R. apiculate dan S. alba di desa Pare Mas menunjukan kisaran nilai
yang tinggi. Nilai tersebut berkisar 20,3 dan 79,77 untuk masing-masing dari kedua jenis mangrove
tersebut. Hutan mangrove di Desa Pare Mas terdistribusi ke dalam beberapa jenis yang berbeda. Jika
dilihat dari hasil data penelitan yang kita ambil dapat diliaht bahwa jenis mangrove R. apiculate lebih
mendominasi dari jenis mangrove S. alba. Hal ini diduga karena hutan mangrove yang berada di Desa
Pare Mas yang memiliki substrat pasir belumpur lebih cocok untuk jenis mangrove R. apiculate
dibandingkan S. alba. Amin et. al., (2015) menyatakan Spesies ini umumnya tumbuh pada tanah
berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Rhizophora apiculata tidak
menyukai substrat yang keras (dengan komposisi pasir yang tinggi). Tingkat dominasi jenis ini dapat
mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Spesies ini tumbuh dengan baik pada
perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen.
Indeks keanekaragaman (H’) gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru
menunjukan bahwa keanekaragaman gastropodanya adalah 0,72. Dilihat dari angka tersebut
keanekaragamannya masuk ke dalam kategori yang rendah. Hal ini berarti komunitas gastropoda di
Desa Pare Mas tersebut terdiri dari beragam jenis kecil dengan jumlah masing-masing individu yang
lumayan beragam. Menurut Wirakusuma (2003), tekanan dan perubahan lingkungan dapat
mempengaruhi jumlah jenis gastropoda pada suatu daerah. Jumlah jenis dalam suatu komunitas
sangat penting dari segi ekologis karena keanekaragaman jenis bertambah bila komunitas menjadi
semakin stabil.
Indeks keseragaman (J’) gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru
menunjukan angka 0,45, yaitu masuk kedalam kategori kecil. Hal ini berarti komunitas gastropoda di
Desa Pare Mas terdiri dari berbagai jenis dengan keseragaman yang bervariasi tiap jenisnya. Kondisi
tersebut. Menurut Krebs (1989) dalam Syafikri, (2008) jika nilai indeks keseragaman 0,4≥ E ≥0,6
maka keseragaman spesies pada daerah itu sedang (stasiun 4) yaitu 0,55, dan jika indeks keseragaman
>0,6 maka keseragaman spesies tinggi. Menurut Odum (1993) nilai indeks keseragaman jenis akan
mendekati 1 jika sebaran individu antar jenis merata dan akan mendekati 0 jika sebaran jenis tidak
merata atau terdapat individu yang mendominasi.
Indeks dominasi gastropoda pada ekosistem mangrove di Desa Pare Mas, Jerowaru menunjukan
angka yang masuk ke dalam kategori rendah, yakni 0,60. Jika dilihat dari data hasil penelitian tersebut
ada satu spesies gastropoda yang lebih mendominasi dibandingkan jenis gastropda laiinya yaitu jenis
V. cruentatum. Adanya dominansi gastropoda jenis tersebut diduga karena beberapa faktor khusus
seperti substrat, tempat tinggal, atau kompetisi yang lebih cocok untuk spesies tersebut. Shanmugam
& Vairamani (2008) menyatakan bahwa kondisi lingkungan di ekosistem tersebut seperti tipe
substrat, salinitas, dan suhu perairan dapat memberikan variasi yang besar pada kehidupan
Gastropoda.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap struktur komunitas ekosistem
mangrove di Desa Pare Mas dapat diketahui bahwa komposisi jenis mangrove yang dapat
ditemukan ada 2 jenis yaitu Rhizopora apiculata dan Sonneratia alba dengan jenis yang menjadi
dominansi adalah jenis Rhizopora apiculata, jenis itu juga dengan tingkat keanekaragaman rendah
dan keseragaman yang rendah sedang, serta tingkat kepadatan yang sempit pada jenis Rhizopora
apiculate jika dibandingkan dengan jenis Sonneratia alba.
Dari hasil praktikum ini pula kita juga dapat mengetahui bahwa tingkat kelimpahan
gastropoda yang terdapat di desa Pare Mas, yaitu masuk kedalam kategori rendah, dimana dari
beberpa jenis gastropoda yang di temukan adalah jenis Agrobuccinum pustulosum, Minolia
Subungulata, Mitra balcheri, Nerita senegelensis dan Vexillum cruentatum, yang menjadi
dominansi disini adalah jenis Vexillum cruentatum. Memiliki tingkat keanekaragaman yang rendah
dan keseragaman yang sedang.
5.2 Saran
Mengingat pentingnya fungsi dan peranan dari ekosistem mangrove, perlu adanya penguatan
pemahaman semua pihak untuk terus menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove di Desa Pare
Mas. Harus adanya penegakan peraturan tentang pemanfaatan dan pengelolaan mangrove secara
berkelanjutan. Dan untuk gastropoda untuk kedepannya harus terus dilakukan penelitan lebih lanjut
untuk mengetahui keberadaan gastropoda sesuai peningkatan vegetasi mangrove pada hutan
mangrove di Desa Pare Mas.
DAFTAR PUSTAKA
Indrayanti, M. D., Fahrudin, A., & Setiobudiandi, I. (2015). Penilaian Jasa Ekosistem Mangrove di
Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(2), 91-96.
Sipahelut, P., Wakano, D., & Sahertian, D. E. (2020). Keanekaragaman Jenis Dan Dominansi
Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Sehati Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal
Biology Science & Education, 8(2), 160-170.
Ernanto, R., Agustriani, F., & Aryawaty, R. (2010). Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem
mangrove di muara sungai batang ogan komering ilir sumatera selatan. Maspari Journal: Marine
Science Research, 1(1), 73-78.
Silaen, I. F., Hendrarto, B., & Nitisupardjo, M. (2013). Distribusi dan kelimpahan gastropoda pada
hutan mangrove Teluk Awur Jepara. Journal of Management of Aquatic Resources, 2(3), 93-103.
Rahmasari, T., Purnomo, T., & Ambarwati, R. (2015). Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda
di Pantai Selatan Kabupaten Pamekasan, Madura. Journal of Biology & Biology Education, 7(1), 48-
54.
Laraswati, Y., Soenardjo, N., & Setyati, W. A. (2020). Komposisi dan kelimpahan gastropoda pada
ekosistem mangrove di Desa Tireman, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Journal of Marine
Research, 9(1), 41-48.
Tuheteru, M., Notosoedarmo, S., & Martosupono, M. (2014). Distribusi gastropoda di ekosistem
mangrove. In Dalam: Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat–Waisai, 12-13.
Hadi, A. M., Irawati, M. H., & Suhadi, S. (2016). Karakteristik Morfo-anatomi Struktur Vegetatif
Spesies Rhizopora Apiculata (Rhizoporaceae). Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan
Pengembangan, 1(9), 1688-1692.
Amaliyah, S., Purnobasuki, H., Nurhidayati, T., & Saptarini, D. (2012). Pengaruh Umur Tegakan
Tanaman Terhadap Adaptasi Pneumatophor Avicennia alba di Kawasan Wonorejo-Surabaya. Jurnal
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 15(1), 11-14.
Paputungan, Z., Wonggo, D., & Kaseger, B. E. (2017). Uji Fitokimia Dan Aktivitas Antioksidan Buah
Mangrove Sonneratia alba Di Desa Nunuk Kecamatan Pinolosian Kabupaten Bolaang Mongondow
Selatan Sulawesi Utara. Media Teknologi Hasil Perikanan, 5(3), 96-102.
LAMPIRAN