Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem perairan dengan
sejumlah jasa lingkungan, fungsi dan kondisi ekologi yang spesifik
(Krisnawati, 2017). Ekosistem mangrove juga disebut dengan hutan
pantai, hutan payau atau hutan bakau (Harahab, 2010). Hutan mangrove
merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan unik dan khas yang
terdapat diwilayah pesisir pantai atau pulau-pulau kecil sebagai sumber
daya alam yang sangat potensial. Mangrove memiliki nilai ekonomi dan
ekologis yang tinggi, namun rentan terhadap kerusakan jika kurang
bijaksana dalam memanfaatkannya (Novianty, 2011).
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai habitat berbagai jenis
satwa. Ekosistem mangrove berperan penting dalam pengembangan
perikanan pantai (Heriyanto dan Subiandono, 2012); karena merupakan
tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak bagi
beberapa jenis ikan, kerang, kepiting, dan udang (Kariada dan Andin,
2014; Djohan, 2007). Jenis plankton di perairan mangrove lebih banyak
dibandingkan di perairan terbuka (Qiptiyah, et al, 2008). Hutan mangrove
menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan organik ke
dalam rantai makan (Hogarth, 2001). Ketersediaan spesies biota laut
seperti kepiting terletak di sepanjang pantai yang terkena dampak
pasang surut dan memiliki beragam variasi lingkungan dari hutan
mangrove (Supardjo, 2008).
Ekosistem hutan mangrove dapat dibedakan dalam tiga tipe
utama yaitu bentuk pantai/delta, bentuk muara sungai/laguna dan bentuk
pulau. Ketiga tipe tersebut semuanya terwakili di Indonesia. Menurut
Khazali (2005), kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi vegetasi hutan
mangrove adalah pantai yang mempunyai sifat-sifat; air tenang/ombak
tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur dan lereng
endapan tidak lebih dari 0,25-0,50%
Ekosistem mangrove (bakau) adalah ekosistem yang berada di
daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Ekosistem mangrove berada di antara level pasang naik tertinggi sampai
level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata pada daerah pantai
yang terlindungi (Supriharyono, 2009), dan menjadi pendukung berbagai
jasa ekosistem di sepanjang garis pantai di kawasan tropis (Donato et al,
2012).
Hutan mangrove memiliki potensi sumber daya alam yang sangat
banyak untuk dimanfaatkan. Mangrove memiliki peranan penting baik
secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, mangrove berperan
sebagai pelindung pantai dari angin, gelombang dan badai. Tegakan
mangrove berperan sebagai benteng biologis pemukiman, bangunan
dan pertanian dari angin kencang atau instrusi air laut. Secara ekonomis,
mangrove dapat dimanfaatkan langsung untuk keperluan sehari-hari
seperti kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas,
obat-obatan, kulit kayu dan arang bahkan buahnya dapat diolah menjadi
aneka makanan dan minuman (Khoiriah, et al., 2015).
Menurut Imran (2016), ekosistem hutan mangrove merupakan
salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan
ekosistem lain dengan dekomposisi bahan organik yang tinggi, dan
menjadikannya sebagai mata rantai ekologis yang sangat penting bagi
kehidupan makhluk hidup yang berada di perairan sekitarnya. Materi
organik menjadikan hutan mangrove sebagai tempat sumber makanan
dan tempat asuhan berbagai biota seperti ikan, udang dan kepiting.
Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung dengan
produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Berbagai
kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan
tumbuhan penyusun hutan mangrove. Selain itu, hutan mangrove
mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan formasi hutan
lainnya. Keunikan hutan tersebut terlihat dari habitat tempat hidupnya,
juga keanekaragaman flora, yaitu: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera,
dan tumbuhan lainnya yang mampu bertahan hidup di salinitas air laut,
dan fauna yaitu kepiting, ikan, jenis Molusca, dan lain-lain.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Menjelaskan apa itu hutan mangrove
2. Menjelaskan peran penting mangrove sebagai habitat organisme
laut
3. Menjelaskan fungsi dan manfaat dari hutan mangrove
4. Menjelaskan permasalahan yang terjadi pada hutan mangrove
3. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu hutan mangrove
2. Untuk mengetahui peran penting hutan mangrove bagi organisme
laut
3. Agar dapat mengetahui fungsi dan manfaat hutan mangrove
4. Serta dapat mengetahui masalah yang terjadi pada hutan
mangrove
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hutan Mangrove


Hutan mangrove merupakan formasi dari tumbuhan yang spesifik,
dan umumnya dijumpai tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir
yang terlindung di daerah tropika dan subtropika. Kata mangrove sendiri
berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis yaitu mangue, dan
bahasa Inggris yaitu grove (MACNAE 1968). Dalam bahasa Portugis,
kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan, dan kata
mangal dipergunakan untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-
individu jenis mangrove. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata
mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan atau
rumput-rumputan yang tumbuh di kawasan pesisir maupun untuk
individu jenis tumbuhan lainnya yang tumbuh yang berasosiasi
dengannya. Selain itu, MASTALLER dalam Noor dkk. (1999)
menyebutkan bahwa kata mangrove adalah berasal dari bahasa Melayu-
kuno, yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga
Avicennia, dan sampai saat ini istilah tersebut masih digunakan untuk
kawasan Maluku. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai macam istilah
yang digunakan untuk memberikan sebutan pada hutan mangrove,
antara lain adalah coastal woodland, mangal dan tidalforest (MACNAE
1968; WALSH 1974).
Secara umum, SAENGER et al. (1986) memberikan pengertian
bahwa hutan mangrove adalah sebagai suatu formasi hutan yang
dipengaruhi oleh adanya pasang-surut air laut, dengan keadaan tanah
yang anaerobik. Sedangkan SUKARDJO (1996), mendefinisikan hutan
mangrove sebagai sekelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai
macam jenis tumbuhan dari famili yang berbeda, namun memiliki
persamaan daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap
habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Sementara SORIANEGARA
(1987) memberi definisi hutan mangrove sebagai hutan yang terutama
tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai, yang
eksistensinya selalu dipengaruhi oleh air pasang-surut, dan terdiri dari
jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. TOMLILNSON (1986)
mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang tumbuh di
daerah pasang-surut maupun sebagai komunitas.
Mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri
khusus, di antaranya adalah tanahnya tergenang air laut secara berkala,
baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama,
tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang
kuat, airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2–22 ppt) hingga asin.
Mangrove biasanya hidup di rawa payau yang terlindung dari gelombang
besar dan berair tenang. Namun sebenarnya mangrove merupakan
tumbuhan darat yang beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
bersalinitas tinggi sehingga mampu hidup di darat hingga pantai
berkarang pada kedalaman tertentu (Sulastini dkk, 2011).
Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan
komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal
adalah wilayah di bawah pengaruh pasang surut sepanjang garis pantai,
seperti laguna, estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan
ekosistem yang spesifik pada umumnya hanya dijumpai pada pantai
yang berombak relatif kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di
sepanjang delta dan estuaria yang dipengaruhi oleh masukan air dan
lumpur dari daratan. Mangrove merupakan tipe vegetasi yang terdapat
didaerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi air laut atau
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi
tanah berlumpur, berpasir atau lumpur pasir, hutan mangrove tersebut
merupakan tipe hutan yang khas, untuk daerah pantai yang berlumpur
dan airnya tenang (Eko, 2011). Mangrove tumbuh optimal diwilayah
pesisir muara sungai besar dan delta yang alirannya banyak
mengandung lumpur. Sedangkan yang tidak terdapat muara sungai,
vegetasi mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove sulit
tumbuh di daerah yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang
surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya
pengendapan lumpur, serta substrat yang diperlukan untuk
pertumbuhannya (Dahuri, 2001).
Mangrove mempunyai sejumlah bentuk khusus yang
memungkinkan untuk hidup di perairan yang dangkal yaitu berakar
pendek, menyebar luas dengan akar penyangga, atau ujung akarnya
yang khusus tumbuh dari batang atau dahan. Hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis
sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan
yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi
tanah an-aerob(Kathiresan, 2010). Vegetasi mangrove termasuk
ekosistem pantai atau komunitas dangkal yang sangat menarik, yang
terdapat pada perairan tropik atau subtropik. Vegetasi mangrove
merupakan ekosistem yang lebih spesifik, jika dibandingkan dengan
ekosistem lainnya karena mempunyai vegetasi yang agak seragam,
serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan
bentuk yang khas (Bengen, 2002).
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau.
Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya
didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya
tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon
yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang
tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari
bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik
untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan
ternak, kertas, arang). Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-
tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum (Soerianegara,1993).
Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras,
Scyphyphora dan Nypa (Nybakken, 1986; Soerianegara, 1993).
Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan
keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap
endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan
biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi
dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung
jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan
menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat
tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda
dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan
pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman yang
terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk pencampuran
antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan terestial (arboreal)
yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove dan kelompok
fauna perairan /akuatik. Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian
lain di antara akar dan lumpur sekitarnya. Walaupun banyak hewan yang
tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk
pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang
menggunakan dahan mangrove untuk bertengger atau membuat
sarangnya tetapi mencari makan di daratan yang jauh dari habitat
mangrove (Nybakken,1992).
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut
air laut acapkali disebut pula sebagai hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Segala tumbuhan dalam hutan ini saling
berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat biotik maupun
yang abiotik. Seluruh sistem yang saling bergantung membentuk apa
yang disebut sebagai ekosistem mangrove.

2. Peranan Hutan Mangrove


Ekosistem hutan mangrove menggambarkan adanya hubungan
yang erat antara sekumpulan vegetasi dengan geomorfologi, yang
ditetapkan sebagai habitat (SUKARDJO 1996). Fenomena yang muncul
di kawasan pantai adalah terjadinya proses pengendapan sedimen dan
kolonisasi oleh tumbuhan mangrove dari jenis Rhizophora stylosa yang
dikenal sebagai jenis pioner, sehingga memungkinkan bertambahnya
luas areal hutan mangrove. Kondisi sebaliknya juga dapat terjadi apabila
kawasan pantai tersebut tidak terlindung, hal ini disebabkan oleh adanya
proses erosi pantai sebagai akibat gelombang laut. Terkait dengan
fenomena tersebut, PERCIVAL & WOMERSLEY (1975) mengungkapkan
bahwa ekosistem hutan mangrove merupakan refleksi dinamik antara
variasi iklim dari proses-proses yang terjadi di kawasan pesisir dan
kombinasi interaksi biologis, antara lain seperti flora, fauna dan elemen
fisiknya termasuk intervensi aktivitas manusia.
Menurut Saenger (1981) dalam Anwar, dkk (1984) salah satu
fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai Fungsi biologi, yaitu sebagai
daerah pasca larva dan yuwana jenis-jenis ikan tertentu dan menjadi
habitat alami berbagai jenis biota dengan produktivitas yang tinggi, serta
bersarangnya burung-burung besar.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara
darat dan laut yang dikenal memiliki peran dan fungsi sangat besar.
Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam
memainkan peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan,
yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan
moluska. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove tidak hanya melengkapi
pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan
suasana iklim yang kondusif bagi kehidupan biota aquatik, serta memiliki
kontribusi terhadap keseimbangan siklus biologi di suatu perairan.
Kekhasan tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti
Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dan kondisi lantai
hutan, kubangan serta alur-alur yang saling berhubungan merupakan
perlindungan bagi larva berbagai biota laut. Kondisi seperti ini juga
sangat penting dalam menyediakan tempat untuk bertelur, pemijahan
dan pembesaran serta tempat mencari makan berbagai macam ikan dan
udang kecil, karena suplai makanannya tersedia dan terlindung dari ikan
pemangsa. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi
jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi.
Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan
sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan
ombak dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh
banjir dari daratan. Tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove
(pneumatophore) tersebut juga mampu mengendapkan lumpur,
sehingga memungkinkan terjadinya perluasan areal hutan mangrove.
Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu
berperan sebagai perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan
sedimen, yang berarti pula dapat melindungi ekosistem padang lamun
dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran. Terciptanya keutuhan dan
kelestarian ketiga ekosistem dari bahaya kerusakan tersebut, dapat
menciptakan suatu ekosistem yang sangat luas dan kompleks serta
dapat memelihara kesuburan, sehingga pada akhirnya dapat
menciptakan dan memberikan kesuburan bagi perairan kawasan pantai
dan sekitarnya.

3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove


Hutan mangrove merupakan sumber daya alam pesisir yang
mempunyai peranan penting bagi kelangsungan hidup ekosistem
lainnya. Hal ini karena hutan mangrove mempunyai lokasi yang strategis,
dan dengan potensi yang terkandung didalamnya, serta fungsi
perlindungannya secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
keberadaan dan berfungsinya sumber daya alam lainnya. Hutan
mangrove memiliki bermacam-macam fungsi, antara lain fungsi fisik,
biologis dan sosial ekonomis.
Dilihat dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai
arti yang penting karena memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis
ekosistem hutan mangrove dapat dilihat dan beberapa aspek antara lain
aspek fisika, kimia dan biologi.
Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika adalah sebagai berikut :
Dalam ekosistem hutan mangrove terjadinya mekanisme hubungan
antara komponen-komponen dalam ekosistem mangrove serta
hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem
lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang. Dengan sistem
perakaran yang kuat dan kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi
pantai dan erosi, gelombang pasang dan angin taufan. Sebagai
pengendali banjir. Hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah
estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. Fungsi
ini akan hilang apabila hutan mangrove ditebang.
Beberapa fungsi ekologis oleh hutan mangrove memang sangat
ditunjang oleh karakteristik hutan mangrove itu sendiri seperti yang telah
diuraikan di atas. Mementingkan fungsi ekologis bukan berarti
meniadakan fungsi ekonomi yang dimiliki oleh hutan mangrove, tetapi
bagaimana menempatkan kepentingan ekonomis tidak merusak fungsi
ekologis hutan mangrove itu sendiri.
Fungsi lain dari hutan mangrove ialah melindungi garis pantai dan
erosi. Akar-akarnya yang kokoh dapat meredam pengaruh gelombang.
Selain itu, akar-akar mangrove dapat pula menahan lumpur hingga lahan
mangrove bisa semakin luas tumbuh ke luar, mempercepat terbentuknya
tanah timbul. Mengingat berbagai fungsi penting hutan mangrove, maka
penebangan atau pengalihan fungsinya menjadi tambak, lahan pertanian
atau pemukiman harus dilakukan secara hati-hati dengan terlebih dulu
mempertimbangkan secara bijaksana segala untung ruginya. Hendaknya
jangan hanya terpukau keuntungan jangka pendek, tetapi akan merugi
dalam jangka panjang.
Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimum
dalam kondisi dimana terjadi penggenangan dan sirkulasi air permukaan
yang menyebab kan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus
menerus. Sirkulasi yang tetap/terus menerus meningkatkan pasokan
oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan produksi yang
dilakukan oleh tumbuhan. Perairan dengan salinitas rendah akan
menghilangkan garam-garam dan bahan-bahan alkalin, mengingat air
yang mengandung garam dapat menetralisir kemasaman tanah.
Mangrove dapat tumbuh pada berbagai macam substrat contoh tanah
berpasir, tanah lumpur, lempung, tanah berbatu dan sebagainya.
Mangrove tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada
proses pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove. Secara
umum hutan mangrove dan ekosistemnya cukup tahan terhadap
berbagai gangguan dan tekanan Iingkungan. Namun demikian,
mangrove tersebut sangat peka terhadap pengendapan atau
sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahan
minyak.

4. Permasalahan yang terjadi pada Hutan Mangrove


Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total
potensi mangrove yang ada seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau
seluas 4,51 juta hektare rusak sedang dan 23% atau 2,15 juta hektare
dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah diutarakan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam keterangannya ketika
membuka Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten Pekalongan,
Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia mengatakan bahwa kerusakan sebagian
besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah manusia, baik
berupa konversi mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti
pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya.
Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu
adanya pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak
masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti yang
sudah kita ketahui Hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang
tumbuh di atas rawa-rawa berair payau, terletak pada garis pantai dan
dipengaruhi pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan
organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak,
maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya
antara lain:
1. Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga
permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini
lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan
kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup.
Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga dengan
meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi
lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih
paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove
menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan
padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan
mangrove akan lebih bermanfaat.
2. Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu
bersifat sangat sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa pengelolaan
yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan
mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang.
Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan
fungsi ekosistem mangrove.
3. Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah
pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak
cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan
lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan
mangrove dianggap sebagai lahan alternatif. Reklamasi seperti itu
telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan
efek-efek yang negatif teradap perikanan di perairan pantai
sekitarnya.

Siburian et al. (2016) dalam pengamatannya di areal hutan


mangrove dia menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut.
Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit
malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin
terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan
kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin
terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Kajian lain yang
berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005)
yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan
mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih
bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan
merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

Permasalahan ekologis Hutan Mangrove secara umum


mengakibatkan berkurangnya dan rusaknya ekosistem mangrove dan
hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir
umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan
mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan,
seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan
pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan
lainnya.

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah


rantai makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian
guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi
(Anugrah Nontji 2007).
Gambar rantai makanan Detritus
Gambar rantai makanan Detritus

Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan


ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus.
Hancuran bahan organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan
penting (nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji,
2007). Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove
dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan
oleh Surya diputra (2006) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi
dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata.

Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang


selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan
hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun
yang dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan.
Contohnya saja spesies monyet dan bangau mungkin tidak akan ada lagi
karena spesies ikan yang ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak.
Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung
akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan
berubah dan berkurang. Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa
sawit ini tentu saja akan menurunkan tingkat kualitas tanah sebagai salah satu
indikator dan pemegang peranan penting di dalam ekosistem apalagi dengan
semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya. Juga akan terjadi pendangkalan
perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove
dikonversi mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove yang
asalnya tempat pemijahan ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi dan
bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan. Sebagaimana kita
ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan berubah dan mungkin
tercemar oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk
lahan kelapa sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan konversi
pada areal hutan mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu penelitian
untuk mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi
mangrove yang telah dilakukan Kusmana (2003).

Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi
tambak atau pun lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak
ekosistem mangrove dan akan mengubah struktur kimia fisika dan fungsi
ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energi dan siklus biogeokimianya.
Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan fungsi dan
peranan masing-masing ekosistem karena untuk ke depannya alam ini akan
merugikan kita apabila kita merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan
kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang
ditimbulkan akan merugikan. persepsi yang menganggap mangrove merupakan
sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan
sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus diluruskan. Karena apabila
persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan hutan mangrove
Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat menolong ekosistem Hutan
Mangrove tersebut dari segala ancaman. Berikut adalah beberapa solusinya:
Pertama, Keterlibatan/partisipasi Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan
masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan
mangrove sangan penting dan perlu dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun
daerah harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta
terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Selanjutnya
masyarakat perlu diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya
hutan mangrove pada kehidupan ini terutama kehidupan di masa yang akan
datang.

Masyarakat harus tahu bahwa keberhasilan merehabilitasi hutan


mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi-
khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman,
rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan
dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih banyak
lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan
manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk
menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi
biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat
pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan
petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.

Kedua, Supremasi Hukum Lingkungan yaitu Undang-undang no 32


Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan, pengembangan hutan
mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti penting
lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan
menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku.
Masyarakat baik perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus
ditindak tegas bilamana melakukan pelanggaran. Selama ini yang terjadi adalah
di samping pemerintah kurang dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan
terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi jika
yang melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar
dapat dengan mudah terbebas dari jeratan hukum. Pada akhirnya banyak
manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan

hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir


harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan
mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat
akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut
memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove
tersebut. Di samping itu, juga supremasi hukum harus ditegakkan agar
program-program pemerintah yang telah di rencanakan dan dilaksanakan dapat
berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi
dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup khususnya
kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak ada lagi kesalahpahaman
antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus bersama-sama
bertanggung jawab sebagai upaya melaksanakan undang-undang no 32 tahun
2009.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap
kehidupan makhluk hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan
Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja dirusak, maka secara
langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup
makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab
beberapa makhluk hidup bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.
Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak,
lalu dialih fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak
dapat memberikan investasi yang lama disebabkan salinitas diwilayah
tersebut sangat tinggi, dan juga jenis tanah yang digunakan sebagai
perkebunan tersebut kurang cocok untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kelapa sawit, serta hal itu hanya akan
menurunkan kualitas tanah.
Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak
langsung akan berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem
yang satu dengan yang lain saling memiliki keterkaitan atau hubungan.
Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam ekosistem tersebut dapat
terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang paling parah
flora fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun akan
merasakan dampaknya sendiri.
2. Saran
Ada beberapa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga
dan memelihara ataupun membudidayakan Hutan Mangrove, yaitu : 1)
Menghadiri pertemuan kota dan menyampaikan suara keberatan atas
pembangunan mengganggu habitat satwa liar maupun suatu ekosistem,
2) Pelajari semua tentang pentingnya Rawa Mangrove, dan membuat
orang lain terkesan mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap
keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan produk yang ramah
lingkungan untuk mengurangi polusi air.

Anda mungkin juga menyukai