EKOSISTEM MANGROVE
(SPEED)
kisaran yang ekstrim, menyebabkan vegetasi mangrove dan fauna
yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut mempunyai pola
adaptasi yang unik. Fauna yang hidup di ekosistem mangrove
sangat beragam, terdiri dari fauna terrestrial dan akuatik. Fauna
akuatik antara lain hidup di dalam substrat, permukaan substrat,
menempel di akar, batang dan daun mangrove.
Rantai makanan di ekosistem mangrove seperti halnya di
ekosistem lainnya terdiri dari rantai makanan pemangsaan dan
rantai makanan detritus, akan tetapi rantai makanan detritus
yang sumber makanannya berasal dari serasah mangrove sangat
dominan. Ini merupakan ciri khas dari ekosistem mangrove, yang
berbeda dengan ekosistem perairan lainnya.
1. PENDAHULUAN
Pesisir adalah wilayah perbatasan antara
daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini
dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat
maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut
sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat
tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum,
1993) (Gambar 1). Sebagai daerah transisi, ekoton
dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua
komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur
menghilang dan diganti oleh spesies lain yang
merupakan ciri ekoton, dimana seringkali
kelimpahannya lebih besar dari komunitas di darat
dan laut.
Ekosistem mangrove adalah interaksi antara Gambar.1. Kawasan mangrove
Mangunharjo, Probolinggo (koleksi
komunitas vegetasi yang tumbuh dan berkembang pribadi, Juni 2010)
di daerah pantai dan muara sungai tropis dan sub-
tropis (selain dari formasi hutan pantai), yang dipengaruhi pasang surut dengan
lingkungannya.
Kata mangrove berasal dari kombinasi kata mangue (Portugal) atau mangle
(Spanyol) yang berarti pohon serta grove (Inggris) untuk menyebut tegakan
pohon-pohon. Selanjutnya istilah mangrove memiliki makna ganda yang berbeda,
yaitu sebagai individu dari spesies vegetasi (semai, anakan, pohon muda dan
pohon) serta sebagai kelompok vegetasi yang terdiri atas banyak spesies, sehingga
mangrove dapat diartikan sebagai sekelompok vegetasi yang terdiri dari berbagai
spesies dari genus yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan adaptasi fisiologi
dan morfologi terhadap kondisi habitat yang dipengaruhi oleh fenomena pasang
surut air laut dan masukan air tawar. Oleh karena itu, istilah mangrove lebih
merupakan istilah ekologi, sehingga penggunaan istilah hutan bakau untuk
menggambarkan ekosistem mangrove tidak tepat sebab bakau merupakan nama
lokal / daerah salah satu jenis mangrove dari famili Rhizopora.
Rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan di ekosistem perairan
lainnya. Di ekosistem perairan rantai makanan diawali oleh produsen berupa
fitoplankton dan tanaman air, biasa disebut grazing food chain, sementara di
ekosistem mangrove rantai makanan diawali oleh detritus dan disebut detritus food
chain. Rantai makanan yang unik ini menyebabkan ekosistem mangrove
mempunyai produktivitas yang tinggi, dan mempunyai fungsi ekologis (selain fisk
dan ekonomi) sebagai spawning, nursery, feeding dan sheltering ground bagi
berbagai fauna.
Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan cara
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi
lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan penebangan untuk
berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem
mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
2. BIOLOGI MANGROVE
2.1. Taksonomi
2.2. Anatomi
3. KOMPONEN ABIOTIK
3.2. Pasang
3.4. Iklim
3.6. Oksigen terlarut berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik
(serasah) dan respirasi.
4. EKOFISIOLOGI
4.2. Desalinasi.
Kelebihan garam yang diserap oleh pohon mangrove sebagian besar disimpan
di daun, beberapa adaptasi yang dilakukan oleh daun adalah :
1) Xeromorphic : daun mempunyai kulit luar (kutikel) tebal, rambut, lapisan lilin,
stomata, succulence (tempat penyimpanan air di jaringan daun) yang
merupakan respons terhadap keberadaan Cl–.
2) Laju transpiration lebih rendah jika dibandingkan dengan vegetasi yang hidup
di daerah dengan salinitas rendah.
4.4. Reproduksi.
1) Pembungaan dimulai pada umur 3–4 tahun dan dipengaruhi oleh alam bukan
ukuran. Polinasi terjadi dibantu oleh angin, serangga dan burung.
2) Produksi Propagule, pembuahan terjadi hanya 0 – 7,2% dari bunga yang
dihasilkan. (a) Vivipary yaitu embrio keluar dari pericarp dan tumbuh diantara
pohon atau tidak berkecambah selama masih berada pada induknya,
contohnya Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Rhizophora, Nypa. (b) Cryptovivipary
embrio berkembang melalui buah tidak keluar dari pericarp, contohnya
Aegialitis, Acanthus, Avicennia, Laguncularia.
3) Penyebaran propagule dibantu burung, arus dan pasut. Kerusakannya
diakibatkan oleh substrat tidak sesuai, salinitas tanah tinggi, gelombang,
gangguan organism.
5. KOMPONEN BIOTIK
5.1. Mamalia
Mamalia antara lain monyet (Macacus irus), memakan kerang dan kepiting,
kera bermuka putih (Cebus capucinus) memakan cockles, kera proboscis (Nasalis
larvatus) endemik di mangrove Borneo, memakan daun Sonneratia caseolaris dan
Nipa fruticans (FAO,1982) dan propagul Rhizophora, sebaliknya, kera ini dimangsa
oleh buaya dan diburu oleh pemburu gelap, harimau royal bengal (Panthera tigris),
macan tutul (Panthera pardus), kijing bintik (Axis axis), babi liar (Sus scrofa),
kancil (Tragulus sp) di rawa-rawa , kucing (Felix viverrima), musang (Vivvera sp
dan Vivverricula sp), luwak (Herpestes sp), berang-berang (Aonyx cinera dan Lutra
sp), lumba-lumba gangetic (Platanista gangetica), lumba-lumba biasa (Delphinus
delphis), manatee (Trichechus senegalensis dan Trichechus manatus latirostris)
dan dugong (Dugong dugon), spesies-spesies ini terancam mengalami kepunahan.
Reptil dn amfibi antara lain biawak (Varanus salvatoe), ular belang (Boiga
dendrophila), ular sanca (Phyton reticulates), ular lainnya (Cerbera rhynchops,
Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata dan Fordonia leucobalia), buaya
(Lagarto), buaya Caiman crocodilus (Largarto cuajipal), buaya moncong panjang
(Crocodilus cataphractus) di Afrika dan Asia, iguana (Iguana iguana) dan garrobo
(Cetenosaura similis) di Amerika Latin, dimana mereka menjadi santapan
masyarakat setempat, kadal (Varanus salvator) di Afrika bagian barat, penyu,
katak (Rana cancrivora dan R. limnocharis).
5.3. Burung
Burung antara lain bangau yang berkaki panjang, elang laut (Haliaetus
leucogaster), burung layang-layang (Haliastur indus), elang pemakan ikan
(Ichthyphagus ichthyaetus), burung pekakak dan pemakan lebah.
5.4. Ikan
1) Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya di hutan
mangrove, contoh ikan belodok (Periopthalmus sp).
2) Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove
selama periode anakan, pada saat dewasa cenderung hidup di sepanjang
pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak
(Mugilidae), ikan kuweh (Carangidae) dan ikan kapasan, lontong (Gerreidae).
3) Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan
mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan
kekemek, gelama, krot (Scianidae), ikan barakuda, alu-alu, tancak
(Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari familia Exocietidae serta Carangidae.
4) Ikan pengunjung musiman, ikan yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai
tempat asuhan atau untuk memijah atau tempat perlindungan musiman dari
predator.
6. RANTAI MAKANAN
Ekosistem mangrove memiliki
kesuburan yang tinggi, dengan
produktivitas primer 2,8–24,0 gC- SERESAH HANYUT OLEH
PASUT, ARUS
organik/m /hari (Day, et al., 1989 dalam
2
Parino, 2005).
KEPITING
BIOLA
REFERENSI
Alongi, D.M., 2002. Present State and Future of the World's Mangrove Forests.
Environ. Conserv. 29, 331–349.
Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 61 hal.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 hal.
Kathiresan, K and B.L. Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove
Ecosystems. Advances in Marine Biology Vol. 40 : 81-251
Kristensen, E and R. Pilgaard. 2001. The Role of Fecal Pellet Deposition by Leaf-
eating Sesarmid Crabs on Litter Decomposition in a Mangrove Sediment
(Phuket, Thailand). In: Aller, J.Y., Woodin, S.A., Aller, R.C. (Eds.), Organism-
Sediment Interactions. Univ. S. Carolina Press, Columbia, pp. 369–384.
Kristensen, E. 2008. Mangrove Crabs as Ecosystem Engineers; with Emphasis on
Sediment Processes. Journal of Sea Research 59 (2008) 30–43.
Newell, S.Y., 1996. Established and Potential Impacts of Eukaryotic Mycelial
Decomposers in Marine / Terrestrial Ecotones. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 200,
187–206.
Odum, E.P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. ed.3. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 697 hal.
Soeroyo dan Parino. 2005. Struktur, Kompisisi, Zonasi dan Produksi Serasah
Mangrove di Suaka Margasatwa Sembilang, Sumatera Selatan. Seminar
Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Perikanan dan
Kalautan UGM, Yogyakarta.
Twilley, R.R., M. Pozo, V.H. Garcia, V.H. Rivera–Monroy, R. Zambrano and A.
Bodero. 1997. Litter Dynamics in Riverine Mangrove Forests in the Guayas
River Estuary, Ecuador. Oecologia. 111, 109–122.
P