Anda di halaman 1dari 15

Bioscience BIOSCIENCE

Volume 2 Number 1, 2018, pp. .. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bioscience


ISSN: Print 1412-9760 – Online
2541-5948
DOI:

Analisis Vegetasi Hutan Mangrove Kawasan Mandeh, Pesisir Selatan

(Vegetation Analysis of Mandeh Mangrove Forest, Pesisir Selatan)

Fadhila Humaira* Irma Lailani Eka Putri

Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri


Padang,
Jl. Prof. Dr. Hamka No. 1, Air Tawar Barat, Padang Utara, Kota Padang
Sumatera Barat, Indonesia
*Surel Korespondesi : fhumaira8@gmail.com

Mangroves are halophyte plants that live along the coast, above, to
the top, on average in the air that grows in the tropics and sub-tropics.
There are species found, namely Rizhopora apiculata, Ceriops tagal,
Aegiceras corniculata, Rizhopora stylosa, Bruguiera, Nypa fruticans, Pteris
Vittata, and Derris sp. At the observation site the dominant plant species
are Rhizophora apiculata. Rhizophora apiculata has roots that are able to
withstand the waves so that many grow and dominate the observation site
in the river area. The soil structure of the observation site is muddy soil.
Based on the diversity index, the level of diversity is moderate. Mandeh
mangrove forests have good ecotourism potential and need development
from the government.

Katakunci: Mangrove,vegetasi, analisis,INP

This is an open access article distributed under the Creative Commons 4.0
Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and
reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
©2017 by author and Universitas Negeri Padang.

1. PENDAHULUAN
Analisis vegetasi ialah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan.
Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan
tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan
tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan

1
tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang
struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan (Michael,1994).
Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komposisi jenis)
dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Analisis
vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau
masyarakat tumbuh-tumbuhan: 1) Mempelajari tegakan hutan, yaitu pohon dan
permudaannya. 2) Mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang dimaksud
tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah
tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang rumput/alang-alang dan
vegetasi semak belukar (Dwisang,2008).
Ekosistem Mangrove merupakan ekosistem utama penyusun ekosistem
wilayah pesisir. Hutan mangrove adalah formasi tumbuhan litural yang
kerakteristik terdapat didaerah tropika dan sub tropika , terhampar disepanjang
pesisir (Manan, 1986). Menurut Nybakken (1988), sebutan mangrove atau bakau
ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi
seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.Hutan
mangrove sebagai suatu ekosistem dan sumberdaya alam pemanfaatannya
diarahkan untuk kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan pemanfaatannya
agar dapat berkelanjutan, maka hutan mangrove perlu dijaga keberadaannya
(Kusmana, 2005)
Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan
Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun
dan menyokong keberadaan wilayah pesisir. Hutan bakau atau mangal adalah
sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas
pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
(Nybakken, 1988).
“Bakau” adalah tumbuhan daratan ber- bunga yang mengisi kembali
pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua indi- vidu tumbuhan.
Harahab (2010) mendefinisikan hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai
tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan
berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga
sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Hutan mangrove merupakan

2
komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut dan
pantai berlumpur. Dalam pengertian yang lebih sederhana, hutan mangrove
adalah suatu ekosis- tem yang menggabungkan komponen daratan dan
komponen akuatik yang merangkumi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Mangrove
merupakan ekosistem utama di wilayah pesisir, terutama pada wilayah tropis. Dari
± 15,9 juta ha hutan mangrove dunia, ± 27 % ada di Indonesia. Selanjutnya
dijelaskan, bahwa ekosistem tersebut merupakan salah satu ekosistem alamiah
penting yang memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi, karena dapat
menghasilkan berbagai bahan dasar untuk keperluan manu- sia, seperti ; bahan
bakar, keperluan industri, bahan pembuat kertas dan lain-lain. (Bengen, 2000).
Lahan basah mangrove membantu masyarakat pesisir dengan mengurangi
erosi pantai, banjir, dan gelombang badai, gelombang peredam dan angin
kencang yang dihasilkan oleh badai tropis dan subtropis; dan mungkin
mengurangi kerusakan akibat gelombang pasang (tsunami) di daerah seismik aktif
(Salm et al,2000).
Konsentrasi kehidupan manusia dan berbagaai kegiatan pembangunan di
wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga alas an
ekonomi (economic rationality) yang kuat, yaitu : Pertama; wilayah pesisir
merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif di planet
bumi. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan
mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berada di wilayah pesisir.
Lebih dari 90 % total produksi perikanan dunia, baik melalui kegiatan
penangkapan maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir. Kedua; wilayah
pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan
relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman, dan kegiatan pembangunan
lainnya, dari pada yang disediakan oleh daerah lahan atas (upland areas). Ketiga;
wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat
dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan
(lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan untuk
berenang, selancar, dan berperahu, dan terumbu karang serta keindahan bawah
laut untuk pariwisata selam dan snorkeling. (Dahuri, 2001)

3
Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi
dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ekosistem mangrove bagi bermacam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-
kerangan) berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara anak,
dan berkembang biak. Dari segi ekonomis, vegetasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu
bakar, bahan arang, alat tangkap ikan, dan sumber bahan lain seperti tannin dan
pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari
hempasan gelombang air laut serta penyerap logam berat dan pestisida yang
mencemari laut (Mukhtasor, 2007).
Ekosistem hutan mangrove telah mengalami kerusakan parah akibat beban
eksploitasi komersial yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Penebangan hutan mangrove untuk berbagai kegiatan pembangunan
(pemukiman, perikanan dan industri) dengan semena-mena tanpa memikirkan
akibat yang dapat ditimbulkan merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem
tersebut (Dirjen Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, 2002).
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan
dampak terhadap ekosistem mangrove. Beberapa aktivitas manusia terhadap
ekosistem hutan mangrove yang menimbulkan dampak kerusakan terhadap
ekosistem tersebut adalah; tebang habis, konversi lahan, pembuangan sampah
cair, pembuangan sampah padat, penambangan dan ekstraksi mineral serta
pencemaran (Berwick, 1983 dalam Dahuri et al, 2001).
Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga juga
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem wilayah pesisir, seperti
halnya ekosistem hutan mangrove melalui proses masuknya bahan pencemaran.
Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri et al (2001) sebagian besar (80 %) bahan
pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land
basic activities). Sebagai contoh kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan
(up land) yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai melalui banjir dan erosi
tetapi juga akan menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan.
Melalui penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang terus mengalami
peningkatan telah menimbulkan masalah besar bagi wilayah pesisir dan lautan
(Supriharyono, 2000).

4
Tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir-pantai
yang semakin parah memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh untuk
pelestariannya kedepan. Rehabilitasi ekosistem hutan mangrove yang sudah
mengalami kerusakan dan menjaga kelestariannya secara bekesinambungan
harus dilakukan secara terprogram. Pengelolaan dan pelestarian sumberdaya
pesisir merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena
kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak
terkait, baik yang berada disekitar kawasan maupun diluar kawasan. Dengan
demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai
komponen utama penggerak pengelolaan dan pelestarian sumberdaya pesisir.
Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya pesisir
perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya
sumberdaya pesisir tersebut (Ginting, 2003).
Jika dicermati secara lebih mendalam, sebenarnya akar permasalahan
kerusakan ekosistem wilayah pesisir, termasuk ekosistem hutan mangrove
meliputi empat hal, yaitu : 1) Kemiskinan masyarakat dan ketiadaan mata
pencaharian alternatif, 2) ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat dan
pengguna (stakeholders), (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan
(4) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam
mengelola keberadaan kawasan pesisir dan lautan. Dalam hal ketidaktahuan dan
ketidaksadaran masyarakat dan pengguna (stakeholders) terhadap keberadaan
ekosistem hutan mangorve di wilayah pesisir, menunjukkan lemahnya
pemahaman tentang status dan sifat sumberdaya tersebut (Clark , 1992)
Ekologi merupakan ilmu pengetahuan yang membahas tentang hubungan
organisme dengan lingkungannya.Lingkungan berarti semua faktor eksternal yang
bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan,
pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme (Odum, 1998).
Ekologi merupakan kombinasi dari lingkungan dan habitat.Lingkungan
merupakan suatu kombinasi khusus dari kedaan luar yang mempengaruhi
organisme. Habitat adalah suatu keadaan yang lebih umum yang merupakan
tempat dimana organisme terbentuk dari keadaan luar, baik secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi organisme tertentu ( Ramli, 1989).

5
Faktor lingkungan menentukan makhluk hidup yang hidup/tinggal di
dalamnya dan juga vegetasi yang tumbuh di sekitarnya.Hal tersebut mencakup
semua faktor eksternal, yaitu lingkungan biotik dan abiotik.Lingkungan biotik
meliputi produsen, konsumen, dan dekomposer.Sedangkan lingkungan abiotik
termasuk suhu, cahaya matahari, air, tanah, dan juga iklim.Faktor
lingkungantersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, serta reproduksi
organisme (Suin, 2004 ).
Faktor-faktor lingkungan mempengaruhi suatu organisme secara sendiri-
sendiri atau kombinasi dari berbagai faktor. Pengaruhnya dapat menentukan
kehadiran atau keberadaan dan proses kehidupan makhluk hidup. Terdapat
berbagai prinsip yang mendasari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya,
seperti makhluk hidup tidak dapat hidup pada lingkungan yang hampa udara;
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi makhluk hidup akan membentuk
lingkungan atau factor lingkungan yang terdiri dari faktor lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Setiap jenis, individu, kelompok atau umur makhluk hidup
dipengaruhi atau membutuhkan faktor lingkungan yang berbeda-beda.
Komponen-komponen lingkungan terdiri dari faktor-faktor lingkungan fisika-kimiawi
dan biologi, seperti energi, tanah, gas-gas atmosfir, tumbuhan hijau, manusia atau
dekomposer. Dari analisis faktor-faktor lingkungan berdasarkan aspek faktor
lingkungan yang penting, terdapat macam-macam factor lingkungan, seperti faktor
iklim, geografis dan edafis (lingkungan abiotik) dan faktor tumbuhan, hewan,
dekomposer, dan manusia sebagai lingkungan biotik. Berkaitan dengan sifat-sifat
toleransi dan adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya, terdapat beragam
jenis, sifat, keanekaragaman, kelimpahan, dan pola sebaran makhluk hidup
(Ramli, 1989)

6
2 Bahan dan Metode
. Alat :
a. Tali Transek
b. Meteran
c. Kompas
d. Plastik
e. Label
f. Parang
g. Kamera
h. Alat Tulis
i. Bahan
j. Mangrove
k. Tanah

E. Cara Kerja
1. Membuat 6 Plot pada hutan mangrove masing masing dengan luas 10x10
m.
2. Mengambil 3 sampel tanah pada masing masing plot .
3. Melihat semua jenis spesies yang terdapat pada plot.
4. Menghitung jumlah masing masing spesies setiap plot.
5. Mengukur diameter mangrove yang dikategorikan pohon
6. Mencatat data pada buku dan mendokumentasikannya.
7. Melakukan pengolahan data

7
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 10x10 kelompok 1

Jum
Kelil
Ha lah DBH Basal
Species ing F FR Do DoR D DR INP
dir Indi (m) Area
(m)
vidu
Rizhopora 0,39 0,126 0,123 0,545 54,545 0,000 11,737 0,006 42,85 109,1
6 3
apiculata 67 3 5 5 5 2 2 0 71 398
0,143 0,159 0,090 0,000 15,103 0,002 14,28 38,47
Ceriops tagal 1 1 0,45
3 0 9 9,0909 3 1 0 57 97
Aegiceras 0,47 0,150 0,175 0,272 27,272 0,000 16,707 0,004 28,57 72,55
3 2
corniculata 33 7 9 7 7 4 6 0 14 18
Rizhopora 0,594 0,090 0,001 56,452 0,002 14,28 79,82
1 1 0,87
stylosa 0,277 2 9 9,0909 2 1 0 57 87
Jumlah 3,997 1,052 1,000 100,00 0,002 100,00 0,014 100,0 300,0
11 7 2 4 5 0 00 1 00 0 000 000

Tabel 5x5 kelompok 1

Jum
Kelil
Ha lah DBH Basal
Species
dir Indi
ing
(m) Area
F FR Do DoR D DR INP
(m)
vidu
Rhizopora 5 85 0,11 0,036 0,010 0,357 35,71 0,000 1,704 0,680 53,79 91,216
apiculata 5 6 4 1 43 1 6 0 75 4
Ceriops tagal 2 6 0,27 0,087 0,059 0,142 14,28 0,000 9,747 0,048 3,797 27,830
5 6 4 9 57 5 7 0 5 9
Aegiceras 4 43 0,54 0,172 0,230 0,285 28,57 0,001 37,86 0,344 27,21 93,651
orniculata 2 6 6 7 14 8 49 0 52 5
Bruguiera 2 4 0,20 0,064 0,032 0,142 14,28 0,000 5,280 0,032 2,531 22,097
24 5 2 9 57 3 3 0 6 7
Nypa fruticans 1 20 0,59 0,189 0,276 0,071 7,142 0,002 45,40 0,160 12,65 65,203
35 0 5 4 9 2 25 0 82 5
Jumlah 0,609 1,000 0,004
14 158 2 4 0 0 100 9 100 1,264 100 300

8
Tabel 5x5 kelompok 2
Nama Jenis Jum Ha Kelili DBH BA F FR D DR Do DoR INP
lah dir ng
Indivi
du
Rizhophora 147 10 0,135 0,043 0,001 1 47,619 14, 60,995 0,000 18,490
apiculata 0 0 5 0 7 9 1 9 127,105
8

Aegiceras 6 2 0,196 0,062 0,003 0,2 9,5238 0,6 2,4896 0,000 39,222 51,232
corniculata 7 6 1 3 4

Nypa 88 9 0,002 0,065 0,003 0,9 42,857 8,8 36,514 0,000 42,286 121,658
fruticans 1 0 3 1 5 3 7 3

Total 2,1 100 24, 100 0,000 100 299,996


1 8 1

Tabel 2x2 kelompok 2

DoR(%
Jenis Hadir Cover F FR (%) Do ) INP
Pteris Vittata 0,00 66,666
2 0,1 0,2 66,6667 025 7 133,3334
0,00 33,333
Derris Sp
1 0,05 0,1 33,3333 0125 3 66,6666
0,00
0,3 100 0375 100 200

3.2 Pembahasan

Kuliah lapangan ini dilakukan di kawasan Mandeh Pesisir Selatan. Kuliah


lapangan ini dilakukan untuk menganalisis vegetasi hutan mangrove dikawasan
tersebut. Mangrove merupakan pohon yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(intertidal trees), ditemukan di sepanjang pantai tropis di seluruh dunia. Pohon
mangrove memiliki adaptasi fisiologis secara khusus untuk menyesuaikan diri
dengan garam yang ada di dalam jaringannya. Mangrove juga memiliki adaptasi
melalui system perakaran untuk menyokong dirinya di sedimen lumpur yang halus
dan mentransportasikan oksigen dari atmosfer ke akar.
Proses dilakukan dengan cara mengidentifikasi jenis mangrove dengan
pembuatan plot-plot pada daerah yang telah dipilih. Pada masing-masing plot
dilakukan identifikasi jenis yang ditemukan, menghitung jumlahnya dan kemudian

9
melakukan pengukuran keliling pohon untuk mengetahui DBH nya. Selanjutnya
pengukukuran dilakukan dengan pengambilan sampel tanah pada masing-masing
plot untuk mengetahui struktur tanah pada lokasi ini.
Berdasarkan dari hasil pengamatan vegetasi mangrove pada 20 plot
dilokasi telah ditemukan 8 jenis vegetasi mangrove sejati, diantaranya: Rizhopora
apiculata, Ceriops tagal, Aegiceras corniculata, Rizhopora stylosa, Bruguiera,
Nypa fruticans, Pteris Vittata,dan Derris sp.
Vegetasi asli dimaksudkan sebagai vegetasi yang memang merupakan
vegetasi asli penghuni hutan mangrove. Masing-masing jenis tanaman mangrove
memiliki tipe perakaran yang berbeda-beda. Rizhopora memiliki akar Tunjang
(Stilt -Roots) Akar jenis ini merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari
batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini merupakan akar udara yang
tumbuh di atas permukaan tanah, mencuat dari batang pohon dan dahan paling
bawah serta memanjang ke luar dan menuju ke permukaan tanah.
Bruguiera memiliki jenis akar banir, struktur akar jenis ini seperti papan,
memanjang secara radial dari pangkal batang.
Lokasi plot ini merupakan lokasi yang paling tepi dari ekosistem mangrove
yang kami lakukan pengukuran. Pada lokasi ini tanaman mangrove tumbuh pada
kondisi tanah yang berpasir dan berlumpur. Rhizophora apiculata merupakan
tanaman yang paling mendominasi pada plot ini. Hal ini dikarenakan tanaman
tersebut sangat cocok tumbuh pada kondisi tanah yang berlumpur dan berpasir.
Struktur akarnya juga cocok baginya dalam penyesuaian diri terhadap kondisi
pantai yang deras dengan terpaan ombak. Sesuai dengan fungsi perakarannya
yang mampu menahan terpaan ombak sehingga tanaman ini mampu bertahan
dan tidak terbawa arus.
Dari data plot ini dapat disimpulkan bahwa tanaman yang diperoleh
memiliki jenis keanekaragaman yang minim. Karena pada plot yang kami data
hanya terdapat 8 jenis tanaman mangrove yang hadir. Pada lokasi ini plot yang
kami letakkan semakin dekat dengan arah datangnya ombak, sehingga jenis
vegetasi yang muncul adalah vegetasi yang memiliki sistem perakaran kuat untuk
menahan terpaan ombak.
Dari keseluruhan data Rhizophora apiculata mendominasi jenis vegetasi

10
pada lokasi ini. Pada total plot Rhizophora apiculata hadir sebanyak 21 kali,
dengan jumlah individu yang juga mendominasi diantara spesies lain. Sementara
urutan kedua jenis vegetasi yang mendominasi adalah Aegiceras corniculata.
dengan jumlah total hadir adalah sebanyak 13 kali. Disusul oleh Ceriops tagal dan
Nypa fruticans.
. Jenis vegetasi yang paling sedikit ditemukan pada lokasi ini adalah Derris dan
Pteris vittata dengan jumlah individu yang hadir sebanyak 3 individu dan jenis
vegetasi ini hanya ditemukan pada 1 petakan (plot) yaitu pada plot 2x2 pada
kelompok 2.
Pada plot (10x10) kelompok 2 tidak ditemukan adanya pohon yang
menempati plot tersebut. Hal tersebut mungkin dikarenakan lokasi transek yang
digunakan dan plot yang ditempati berada sangat dekat dengan pinggiran sungai
sehingga ketika air pasang, lokasi transek akan lebih sering terendam dan
pertumbuhannya terhambat yang kemudian tidak mampu bertahan dan lebih
sering mati. Menurut Kusmana, (1995) Ekosistem mangrove bersifat kompleks
dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena di dalam ekosistem mangrove dan
perairan maupun tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai jenis satwa
daratan dan biota perairan. Dinamis, karena ekosistem mangrove dapat terus
tumbuh dan berkembang serta mengalami suksesi serta perubahan zonasi sesuai
dengan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih
kembali.
Untuk menentukan jenis vegetasi yang mendominasi daerah hutan
mangrove pada daerah ini dapat diketahui melalui perhitungan Indeks Nilai
Penting (INP). Suzana (2011) dalam penelitiannya memaparkan bahwa “kondisi
ekologis hutan mangrove dapat diketahui dengan menggunakan beberapa jenis
perhitungan, yaitu kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan
Indeks Nilai Penting (INP) dari tiap jenis. Untuk mencari nilai INP digunakan tiga
perhitungan, yaitu nilai kerapatan tiap jenis, nilai frekuensi tiap jenis, dan nilai
dari penutupan tiap jenis”. Rhizophora apiculata dikatakan sebagi pendominasi
pada vegetasi ini ditandai dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 127,1058.
Indeks ini menunjukkan tingkat penguasaan suatu jenis terhadap jenis yang
lainnya, sehingga Rhizophora apiculata merupakan vegetasi mangrove yang
mempunyai pengaruh paling besar di kawasan hutan mangrove ini.

11
Selanjutnya densitas (kerapatan). Densitas merupakan nilai yang menunjukkan
banyaknya suatu jenis per satuan luas. Semakin besar kerapatan suatu jenis,
makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Nilai densitas relative (DR)
yang paling tinggi ditunjukkan oleh Rhizophora apiculata yaitu 79,59183 %.
Dominansi merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis
terhadap komunitas. Untuk nilai Dominansi tertinggi diterdapat pada Sonneratia
sp. dengan nilai sebesar 56,4521 %. Hal ini menunjukkan bahwa Rizhopora
merupakan jenis vegetasi yang paling mendominasi pada komunitas mangrove
yang kami amati.
Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa jenis vegetasi yang paling
mendominasi adalah Rhizophora ditandai dengan Indeks Nilai Penting yang paling
tinggi. Nama daerah Rhizophora apiculata adalah bakau, tancang, tanjang,
tinjang, bangko, kawoka, wako, jangkar dan lain-lain. Tanaman ini termasuk ke
dalam Famili Rhizophoraceae. Tanaman ini memiliki batang silindris, kulit luar
berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar kulit terlihat retak-
retak. Memiliki akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup, daun
penumpu yang meruncing, buah yang berkecambah dan berakar ketika masih
berada di pohon. Biji ini biasa disebut dengan propagul.
Struktur tanah yang kami amati terlihat berpasir dengan campuran lumpur,
namun lumpur yang kami amati letaknya terlihat cukup dalam. Dimana jika dibuat
lapisan struktur tanah yang akan terlihat adalah pasir baru setelah digali akan
tampak struktur tanah yang berlumpur. Warna tanah yang kami amati berwarna
putih keabuan dengan butiran pasir yang lembut. Struktur tanah juga bercampur
dengan serasah yang berasal dari hutan mangrove. Serasah yang kami dapatkan
berupa serbuk-serbuk halus yang bercampur dengan pasir dan lumpur.
Berdasarkan dari hasil pengamatan, indeks keanekaragaman pada daerah
ini menunjukkan bahwa plot ini memiliki keanekaragaman jenisnya termasuk
dalam kategori sedang karena ekosistem mangrove tersebut memiliki
produktivitas yang cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, kondisi perairan
masih stabil, dan tekanan ekologisnya sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
vegetasi yang tumbuh pada plot ini sangat sedikit dan tidak beragam. Dibuktikan
dengan data bahwasanya jumlah jenis tanaman yang hadir hanya 8 jenis.
Ekosistem mangrove kawasan mandeh ini sebenarnya sangat berpotensi

12
sebagai kawasan ekowisata karena masih sangat asri dan mangrovenya masih
terjaga, hal ini disebabkan karena kawasannya cukup jauh dari dermaga maupun
tempat tinggal penduduk sehingga jauh dari pencemaran. Saat ini hutan
mangrove kawasan mandeh ini hanya dimanfaatkan sebagai ekologis saja, belum
sampai ekowisata. Untuk itu perlu pengembangan lebih lanjut untuk
pengembangan kawasan ini sebaga wisata unggulan di Sumatera Barat.

4. Kesimpulan
1. Terdapat 8 spesies yang di temukan yaitu Rizhopora apiculata,
Ceriops tagal, Aegiceras corniculata, Rizhopora stylosa, Bruguiera,
Nypa fruticans, Pteris Vittata,dan Derris sp.
2. Pada lokasi pengamatan jenis tanaman yang mendominasi adalah
Rhizophora apiculata dengan nilai INP 109,1398 %
3. Rhizophora apiculata memiliki akar yang mampu menahan terpaan
ombak sehingga banyak tumbuh dan mendominasi lokasi
pengamatan yang berada pada daerah sungai.
4. Struktur tanah lokasi pengamatan adalah tanah berlumpur.
5. Berdasarkan indeks keanekaragaman tingkat keanekaragaman
sedang.
6. Kawasan hutan mangrove mandeh memiliki potensi ekowisata yang
baik dan perlu pengembangan dari pemerintah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bengen D.G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Man- grove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.

Clark, J.R., 1992. Integrated Management of Coastal Zone. FAO Fisheries


Technical Paper. No. 327. Rome, Italy.

Dahuri, Rokhmin; Rais J.; Ginting S.P. dan Sitepu M.J., 2001. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta.

Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Modul Sosialisasi dan Orientasi
Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perika- nan, Jakarta.

Ginting, S., 2003. Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara


Terpadu, Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Pelatihan
ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning and Management). Bappeda
Propinsi Bengkulu.

Harahab, N., 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan


Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Cetakan Pertama.
Graha Ilmu, Yogyakarta.

Kusmana, C. 1995. Manajemen hutan mangrove Indonesia. Lab Ekologi Hutan.


Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Manan, 1986. Ekosistem Mangrove Wilayah Pesisir. Kanisius: Yogyakarta.

Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. PT. Pradnya
Paramita, Jakarta.

Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan


oleh Muhammad Eidman et al. PT. Gramedia, Jakarta.

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi.Gadjah Mada University


Press.Yogyakarta.

Ramli, O. 1989.Ekologi.Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Salm, R.V., Clark, J.R., and Siirila, E., 2000. Marine and Coastal Protected
Areas. A Guide for Planners and Managers. Third Edition. International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Gland,
Switzerland and Cambridge, UK.

Suin, N, M. 2004. Ekologi Populasi.Unand: Padang.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

14
Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai