Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang
jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.
Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang
membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Pergeseran fungsi lahan
yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan
perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim,
penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor
penyebab penurunan populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat
panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi
“stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup
lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini
menjadi hal yang mendesak. Konservasi penyu merupakan upaya yang sangat penting untuk
menjamin keberlangsungan populasi penyu tersebut. Kelangkaan yang terjadi secara terus-
menerus dengan kecenderungan semakin lama semakin sulit ditemukan, dapat menjurus pada
kepunahan. Penyu, sebagai salah satu hewan langka, perlu segera dilakukan upaya
konservasi.
Dugong hanya terdapat di perairan tropis dan sb-tropis di daerah Indo-Pasifik. Sebaran
populasinya cukup luas, meliputi 48 negara dan wilayah dari Teluk Arabia hingga Vanuatu.
Hingga saat ini belum ditemukan laporan atau catatan yang secara akurat dapat dijadikan
referensi untuk menduga populasi dugong di Indonesia. Pada tahun 1970an, populasi dugong
di indonesia diperkirakan mencapai 10.000 ekor, sedangkan pada tahun 1994 diperkirakan
hanya tersisa sekitar 1.000 ekor saja. Walaupun belum banyak penelitian ilmiah tentang
sebaran dan populasi dugong di indonesia, namun berdasarkan laporan dari masyarakat lokal
ada indikasi yang cukup mengkhawatirkan bahwa populasi dugong di indonesia cenderung
terus menurun. Menurutnnya populasi dugong di sebabkan oleh kerusakan dan berkurangnya
padang lamun, polusi pesisir dan pantai yang berasal dari daratan maupun lautan,
penangkapan ikan dengan metode yang destruktif, penangkapan dugong tidak sengaja
(bycatch), akibat terdampar, perburuan liar oleh masyarakat lokal dan tertabrak kapal.
Penyediaan Benih
Kerang ini melalui tahapan trocophore, yaitu larva ditetaskan dari telur berganti menjadi
veliger. Selanjutnya, veliger berganti kembali menjadi pediveliger dan terakhir menjadi kima
muda. Tahapan pembenihan meliputi kultur larva yang dihasilkan dari telur yang sudah dibuahi.
Pelaksanaannya di dalam wadah yang diletakkan di dalam ruangan ataupun di luar ruangan.
Selama pemeliharaan larva kima sangat diperlukan kodisi yang higienis. Sebelum telur
dimasukkan, kolam dibersihkan dan diklorinasi dengan baik. Kepadatan telur berkisar antara
20-25 telur/mL atau 30-40 telur/mL apabila ada aerasi. Suhu optimum air media kultur
dipertahankan 26-30oC. Kolam-kolam bisa ditempatkan dalam ruang tertutup yang dapat diatur
suhunya atau di ruang terbuka dengan pelindung untuk mencegah serangga dan cahaya yang
terlalu terik.
Pendederan
Fase pendederan berupa kultur kerang muda dari ukuran panjang cangkang 0,2 mm
sampai kima muda berukuran 20-30 mm. Aktivitas ini dilakukakan memakai tangki-tangki di
hatchery (panti benih). Pada fase ini kima muda dengan ukuran 20 mm dikultur hingga panjang
cangkangnya mencapai 200 mm.
Pembesaran
Tahapan pembesaran dilakukan dari ukuran panjang cangkang 200 mm hingga siap
dipanen di lain tempat. Fase ini belum dilakukan secara komersial karena masih belum
ekonomis.
b) Penyu
Teknis Penangkaran
Secara teknis, kegiatan penangkaran meliputi kegiatan penetasan telur (pada habitat
semi alami atau inkubasi), pemeliharaan tukik, dan pelepasan tukik ke laut. Tahapan kegiatan
teknis penangkaran penyu secara rinci meliputi:
1. Pemindahan telur
Relokasi atau pemindahan telur dilakukan dari penetasan alami ke penetasan semi
alami. Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali ke laut. Pemindahan telur
penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus dilakukan dengan hati-hati karena sedikit
kesalahan dalam prosedur akan menyebabkan gagalnya penetasan.
Telur penyu yang diambil dari sarang alami dipindahkan ke lokasi penetasan semi alami.
Masukkan telur penyu kedalam media penetasan, dimana kapasitas media dalam
menampung telur disesuaikan dengan besar kecilnya media.
Lama penetasan telur penyu sampai telur penyu menetas menjadi tukik ± 45-60 hari
Lepaskan segera tukik yang baru menetas ke laut
3. Pembesaran tukik
Pembesaran tukik dilakukan dengan sistem rearing di pantai, pembesaran tukik menjadi
penyu muda atau sampai dewasa, termasuk tukik yang cacat fisik sejak lahir. Lokasi
pembesaran tukik harus berada pada daerah supratidal (di atas daerah pasang surut) untuk
menghindari siklus gelombang laut pada bulan mati dan bulan purnama. Langkah-langkah
pembesaran tukik adalah sebagai berikut:
4. Pelepasan tukik
Pelepasan yang dimaksud adalah pelepasan tukik ke laut hasil pemeliharaan yang
dilakukan dalam bak-bak penampungan. Tukik-tukik ini dapat berasal dari penetasan secara
alami maupun hasil penetasan buatan. Tujuan pelepasan adalah untuk memperbanyak
populasi penyu di laut. Pelepasan tukik dilakukan pada waktu malam hari sekitar jam 19.00-
05.30 WIB. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tukik tidak mudah dimangsa oleh predator.
c) Dugong
Konservasi dugong bertujuan untuk melindungi, menjaga kestabilan populasi dan daya
dukung habitatnya, serta mengembangkan model pemanfaatan dugong dan habitatnya serta
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Akan tetapi, untuk kegiatan
pengembangbiakan dugong sampai saat ini belum ditemukan teknik yang sesuai dan efektif.
Upaya konservasi dugong di Pulau Bintan salah satunya dilakukan melalui proyek
TRISMADES (Trikora Seagrass Management Demonstration Site) pada tahun 2007 hingga
2010 yang menitik beratkan pada pengelolaan ekosistem padang lamun. (Nontji, 2015).