Anda di halaman 1dari 23

KONDISI KUALITAS PERAIRAN KAITANNYA DENGAN EKOSISTEM

LAMUN

SHANDRA DEWI L032222002

Kesehatan Ekosistem

PROGRAM MAGISTER ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang
Lamun adalah salah satu ekosistem yang penting di perairan pesisir. Secara ekologis,
lamun mempunyai fungsi sebagai pendaur ulang unsur hara, penstabil substrat, dan perangkap
sedimen, daerah asuhan (nursery ground), makanan utama manatee, duyung, penyu hijau, dan
merupakan habitat penting bagi satwa perairan lainnya seperti ikan, dan sebagainya. Lamun
dapat melindungi organisme-organisme tersebut dari para predator.
Ekosistem padang lamun memiliki berbagai potensi yang sangat penting bagi perairan
dangkal, namun sampai dengan saat ini belum banyak diperhatikan apabila dibandingkan dengan
ekosistem pesisir lainnya seperti ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang (Putriet al.,
2018). Menurut Noviarini dan Ermavitalini (2015), ekosistem padang lamun merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang sangat produktif dan bersifat dinamik. Faktor lingkungan yaitu faktor fisika,
kimia, dan biologi secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun (Fernando et
al., 2019; Mariani et al., 2019).
Ekosistem lamun rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh manusia ataupun
faktor alam dan sangat dinamis perubahannya. (Sjafrie et al, 2018). Penurunan dan kerusakan
padang lamun telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kerusakan ekosistem lamun tersebut
disebabkan oleh tekanan ekologis dengan tingginya aktivitas manusia, termasuk kerusakan
mekanis (pengerukan, perikanan dan jangkar), eutrofikasi, pembangunan di wilayah pesisir, dan
pengembangan wisata yang tanpa memperhatikan dampak ekologis ekosistem lamun (Awanis,
2018). Selain itu, kerusakan padang lamun disebabkan oleh faktor alam yaitu adanya bencana
alam (Fortes et al, 2016).
Faktor kualitas perairan yang menjadi pembatas pertumbuhan jenis lamun adalah: CO2,
HCO3-, intensitas cahaya, suhu, salinitas, pergerakan air, dan nutrien (Bengen, 2003). Faktor –
faktor - faktor pembatas tersebut berpengaruh terhadap kelimpahan, kerapatan dan kondisi
lamun di suatu tempat.
II. Sub Topik

Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika (kecerahan, suhu dan
salinitas) dan parameter kimia (nitrat, ammonium dan fosfat). Parameter-parameter ini sangat
mempengaruhi kelestarian dari ekosistem lamun, kemudian dibandingkan dengan KEPMEN LH
No. 51 Tahun 2004 (Baku Mutu Air Laut untuk lamun). Keberadaan ekosistem lamun di wilayah
pesisir secara ekologis memberikan kontribusi yang cukup besar terutama berperan penting
sebagai penyumbang nutrisi bagi kesuburan lingkungan perairan pesisir dan laut. Ekosistem
lamun di daerah pesisir mempunyai produktivitas biologis yang tinggi, memiliki fungsi sebagai
produsen primer, pendaur zat hara, stabilisator dasar perairan, perangkap sedimen, serta
penahan erosi.

a. Penggunaan Indeks Saprobitas untuk penilaian kesehatan ekosistem lamun


Indeks saprobitas merupakan indeks yang digunakan untuk mengetahui status
pencemaran pada perairan dengan menggunakan keberadaan organisme seperti komposisi
fitoplankton diperairan.
 Kelimpahan fitoplankton inilah digunakan untuk menentukan nilai saprobitas di perairan
dengan melihat nilai Tropik Saprobik Indeks
 Nilai indeks saprobitas perairan adalah gambaran dari tingkat pemcemaran pada suatu
perairan diukur berdasarkan kandungan nutrien dan bahan pencemar lainnya.
 Tingginya kadar nutrien didaerah perairan tersebut menyebabkan terjadinya blooming
fitoplankton sehingga berakibat pada meningkatnya kekeruhan perairan serta turunnya
kecerahan air.
Penggolongkan tingkat saprobitas sebagai berikut :
1. Polisaprobik/pencemaran berat
2. α – Mesosaprobik/pencemaran sedang sampai berat
3. β – Mesosaprobik /pencemaran ringan sampai berat
4. Oligrosaprobik/pencemaran ringan atau belum tercemar
Studi Kasus 1

Analisis Kelimpahan Dan Indeks Saprobitas Fitoplankton Pada Ekosistem Padang Lamun
Di Pantai Sindhu, Sanur, Bali Oleh: Laras Syahrani, Sang Ayu Made Putri Suryani, I Wayan
Arya.

Pantai Sanur merupakan salah satu wilayah perairan di Bali dengan potensi lingkungan
ekosistem padang lamun. Sebaran ekosistem lamun yang terdapat di Sanur yakni seluas 322 ha,
tersebar dari Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit, Pantai Sindhu sampai Pantai Mertasari.
Keberadaan fitoplankton disuatu perairan dapat memberikan informasi untuk mengevaluasi
kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan, serta mengetahui jenis-jenis fitoplankton yang
mendominasi, adanya jenis fitoplankton yang dapat hidup karena zat-zat tertentu yang sedang
blooming, dapat memberikan gambaran mengenai keadaan perairan yang sesungguhnya.
Keanekaragaman fitoplankton yang dimiliki oleh suatu ekosistem perairan dapat dijadikan
indikator tingkat kesuburan dan tingkat pencemaran dari perairan, sehingga perlu melakukan
penelitian tentang kelimpahan dan indeks saprobik fitoplankton yang ada dipantai Sindhu, Sanur,
Bali.

Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di Pantai Sindhu

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengukuran parameter fisika diperairan Pantai
Sindhu. Suhu rata-rata yang diperoleh 28,3oC. Nilai suhu tersebut masuk dalam kriteria baku
mutu yang telah diterapkan oleh KepMen LH Nomor 51 Tahun 2002. Semua organisme yang
hidup di laut memiliki sifat poikilotermik yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri.
Sehingga organisme laut sangat bergantung pada suhu air tempat mereka hidup. Suhu menjadi
salah satu faktor fisika yang paling banyak mempengaruhi kehidupan organisme di perairan,
termasuk plankton. Menurut Pratiwi (2015) Pada perairan dangkal lapisann suhu air bersifat
homogen berlanjut sampai ke dasar, sedangkan pada perairan laut yang lebih dalam terjadi
perbedaan suhu antar kedalaman perairan sehingga mempengaruhi kelimpahan serta
komposisinya di perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai rata-rata salinitas diperairan Pantai Sidhu
o
29,3 /oo . Nilai tersebut masuk dalam kategori baku mutu KepMen LH Nomor 51 Tahun 2002.
Dimana salinitas merupakan salah satu parameter penting yang cukup berpengaruh terhadap
biota laut, termasuk didalamnya adalah plankton. Peningkatan ataupun penurunan salinitas yang
signifikan dapat mempengaruhi kelimpahan plankton.
Hasil pengamatan pH pada perairan Pantai Sidhu memperoleh nilai rata-rata 7,6. Derajat
Derajat keasaman di suatu daerah biasanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan di sekitarnya.
Damar (2012) menyatakan bahwa fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi yang
dilakukan fitoplankton. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi,
maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka
akan menyebabkan pH semakin tinggi.
Hasil pengukuran oksigan terlarut di perairan Pantai Sidhu di dapatkan hasil rata- rata
pengukuran yaitu 7,3 mg/L dengan baku mutu >5 mg/L. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijayanti
(2011), plankton dapat hidup baik pada konsentrasi oksigen lebih dari 3 mg/L. Oleh karena itu,
makin rendah nilai oksigen terlarut maka makin tinggi tingkat pencemaran suatu ekosistem
perairan tersebut.

Tabel Hasil Perhitungan Indeks Saprobitas

Tingkat pencemaran suatu perairan dapat diketahu dari nilai Saprobitas Indeks (SI).
Berdasarkan hasil perhitungan saprobik pada setiap stasiun dapat dilihat pada tabel. Dimana
hasil perhitungan tersebut perairan Pantai Sidhu masuk dalam fase mesosaprobik dengan derajat
pencemaran dari ringan hingga sedang. Bahan pencemar yang terdapat pada perairan tersebut
yaitu organik dan anorganik. Bahan organik secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri
melalui proses - proses penguraian, pelapukan ataupun dekomposisi buangan limbah, baik
limbah daratan, seperti: domestik, industri, pertanian dan limbah peternakan ataupun sisa pakan
yang dengan adanya bakteri terurai menjadi zat hara, sedangkan bahan buangan anorganik
sukar didegradasi oleh mikroorganisme, umumnya adalah logam. Apabila masuk ke perairan,
maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Bahan buangan anorganik ini
biasanya berasal dari limbah industri yang melibatkan penggunaan unsur-unsur logam. Jenis
fitoplankton yang ditemukan pada daerah tersebut selama pengamatan terdiri dari 4 kelas
Chlorophyceae, Diatomae, Bacillariophyceae, dan Cyanophyceae. Menurut Raymont, (1980)
dalam Yuliana (2012), Fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu
perairan, selain sebagai dasar dari rantai pakan (Primary producer) juga merupakan salah satu
parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Terdapat hubungan positif antara kelimpahan
fitoplankton dengan produktivitas perairan. Jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi
maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang tinggi pula.

Studi Kasus 2
Struktur Komunitas Plankton Pada Padang Lamun Di Pantai Pulau Panjang, Jepara Oleh:
Amalia Nurtirta Sari, Sahala Hutabarat, Prijadi Soedarsono

Perubahan yang terjadi dalam perairan sebagai akibat dari adanya beban masukan yang
ada akan menyebabkan perubahan pada komposisi, kelimpahan, dan distribusi dari komunitas
plankton. Maka dari itu, keberadaan plankton dapat dijadikan sebagai indikator perairan karena
sifat hidupnya yang relatif menetap, jangka hidup yang relatif panjang dan mempunyai toleransi
spesifik pada lingkungan. Kondisi kualitas perairan pada areal lamun pantai Pulau Panjang
Jepara, menganalisa kelimpahan, dan mengetahui jenis fitoplankton dan zooplankton yang
mendominasi dan mengetahui nilai tropik saprobik indeks dengan menggunakan fitoplankton dan
zooplankton sebagai indikator.

Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di Pulau Panjang

No. Parameter Nilai


1. Suhu 27 - 30,5 0C
2. Kecepatan Arus 0,02 – 1,7 m/s
3. Kecerahan 0 – 0,98 m
4. Kedalaman 0,30 – 1,2 m
5. Salinitas 30 o/oo
6. Oksigen Terlarut (DO) 3,96 – 4,71 ppm
7. Nitrat 1,6 – 1,8 mg/L
8. Fosfat 0,15 – 0,17 mg/L.
9. pH 8

Berdasarkan hasil pengamatan diperolah nilai suhu berkisar 27-30,5 oC dimana nilai
tersebut menunjukkan keadaan perairan normal dan sesuai dengan baku mutu yang telah di
tetapkan oleh KepMen LH No. 51 Tahun 2002. Tinggi rendah suhu pada hasil pengukuran dapat
dipengaruhi beberapa faktor seperti kondisi cuaca, lokasi titik pengambilan sampel serta waktu
pengambilan sampel. Menurut Effendi (2003) dalam Zainuri (2022) kisaran suhu 20-30˚C
merupakan suhu optimal untuk pertumbuhan plankton di lautan. Sedangkan menurut Nybakken
(1992) dalam Zainuri (2022) bahwa batas toleransi suhu yang baik untuk plankton sebesar 35˚C,
sehingga kisaran suhu tersebut masih bisa ditoleransi oleh pertumbuhan fitoplankton.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kecepatan arus berkisar antara 0,2-1,7 m/s.
Nilai tersebut sesuai dengan baku mutu yang telah di tetapkan oleh KepMen LH No. 51 Tahun
2002. Arus menjadi salah satu faktor perubahan kualitas diperairan, dikarenakan arus laut dapat
mambawa masukan dari berbagai sumber yang dapat menurunkan komposisi dan kelimpahan
pada plankton. Sejalan dengan hal tersebut Nybakken (1992) dalam Marlian, (2017)
mengemukakan bahwa pengaruh dari arus terlihat dari penyebaran organisme di laut. Arus di
laut akan membawa fitoplankton dan nutrien sejalan mengikuti kecepatan dan pola arus.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kecerahan berkisar antara 0-0,98 m.
Kecerahan air mempengaruhi jumlah dan kualitas sinar matahari dalam perairan. Jumlah dan
kualitas sinar matahari ini mempengaruhi aktivitas fitoplankton melalui penyediaan energi untuk
melangsungkan fotositesis. Faktor yang mempengaruhi kecerahan adalah kejernihan yang
sangat ditentukan partikel-partikel terlarut dalam lumpur (Muhtadi et al., 2014).
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kedalaman berkisar 0,3-1,2 m. Dimana
kedalaman suatu perairan mempengaruhi tingkat kecerahan pada suatu perairan, semakin dalam
suatu perairan maka intensitas cahaya akan berkurang yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebutuhan oksigen dan fitoplankton akan sulit untuk melakukan fotosintesis.
Untuk kedalaman pada perairan Pantai Pulau Panjang masih sangat normal untuk aktivitas
fitoplankton.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai salinitas 30 o/oo. Menurut Yuliana (2012),
salinitas yang sesuai untuk fitoplankton adalah lebih besar dari 20 yang memungkinkan
fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai oksigen terlarut 3,96 – 4,71 ppm.
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian masih sesuai dengan kebutuhan fitoplankton.
Sejalan dengan hal tersebut Boyd (1988) dalam Marlian (2017) menyatakan bahwa kadar oksigen
terlarut di perairan yang masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik terutama fitoplankton adalah
5 mg/L.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh konsentrasi nitrat berkisar antara 1,6 – 1,8 mg/L.
Nilai tersebut berada dalam kisaran normal yang di butuhkan oleh fitoplankton. Sehubungan
dengan hal tersebut Macketum (1969) dalam Marlian (2017) pertumbuhan optimal fitoplankton
memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/L.
Kisaran konsentrasi fosfat yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 0,15 – 0,17
mg/L Fosfat merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme perairan. Menurut Patty (2014), Tinggi
rendahnya kadar fosfat dan nitrat di suatu perairan adalah salah satu indikator untuk menentukan
kesuburan perairan.
Kisaran konsentrasi pH yang diperoleh selama pengamatan memperoleh nilai 8, Pada
umumnya air laut mempunyai nilai pH lebih besar dari 7 yang cenderung bersifat basa, Derajat
keasaman suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam
memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap organisme ak uatik
mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi, tergantung pada suhu air laut,
konsentrasi ok sigen terlarut dan ad anya anion d an kation. Menurut Simanjuntak, 2009. Nilai pH
ini akan membuat lingkungan menjadi kondusif terhadap keberadaan plankton di perairan ini dan
untuk perkembang biakan.
Hasil identifikasi fitoplankton pada areal lamun di Pantai Pulau Panjang
Berdasarkan kelimpahan plankton maka didapatkan nilai Saprobik Indeks (SI) berkisar
0,6 – 1,07 dan nilai Tropik Saprobik Indeks (TSI) berkisar 1,1 – 2,3 hal ini menunjukkan bahwa
kualitas perairan di areal lamun pantai Pulau Panjang Jepara dikategorikan dalam tingkat
saprobitas â-Mesosaprobik yaitu tercemar ringan sampai sedang. suatu perairan dengan nilai SI
dan TSI 0,5 – 1,5 tergolong dalam kelompok β-mesosaprobik yang berarti bahwa kondisi perairan
tersebut tercemar ringan sampai sedang. Hasil yang didapat tersebut berdasarkan sifat distribusi
plankton yang dipengaruhi oleh arus dan aktivitas pasang surut. Nilai saprobitas perairan
merupakan gambaran dari tingkat pencemaran suatu perairan yang diukur dari kandungan
nutrient dan bahan pencemar. Namun, kandungan nutrient yang cukup akan meningkatkan
produktifitas fitoplankton. Meningkatnya produktifitas fitoplankton akan mendukung
meningkatnya produktifitas organisme lain yang memiliki tingkatan trofik lebih tinggi (Chanton dan
Lewis, 2002) dalam Sari (2014).
Jenis fitoplankton yang ditemukan pada area lamun pantai Pulau Panjang Jepara selama
pengamatan terdiri dari 4 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophycae dan
Dinophyceae.

Studi Kasus 3

Kajian Pencemaran Perairan Pulau Panjang, Jepara Berdasarkan Indeks Saprobik dan
Komposisi Fitoplankton Oleh: Endang Supriyantini, Munasik, Sri Sedjati, Sri Yulina
Wulandari, Ali Ridlo, Eka Mulya.

Pulau Panjang yang berada di Pantai Utara Jawa Tengah Kabupaten Jepara telah
berkembang pemanfaatannya ke arah wisata pulau, wisata ziarah, dan sebagai lokasi
penangkapan ikan. Aktivitas masyarakat di wilayah Pulau Panjang ini dapat menimbulkan
perubahan yang mengarah pada peningkatan pencemaran bahan organik. Bahan pencemar hasil
aktivitas masyarakat sekitar seperti limbah rumah tangga, limbah pariwisata dan limbah industri
perikanan, jika dibiarkan dapat berakibat pada turunnya produktivitas habitat fitoplankton.
Hasil Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Di Perairan Pulau Panjang, Jepara

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengukuran parameter fisika diperairan Pantai
Pulau Panjang. Suhu yang diperoleh berkisar 29,7-30,3oC. Suhu menjadi salah satu faktor fisika
yang paling banyak mempengaruhi kehidupan organisme di perairan, termasuk plankton.
Menurut Pratiwi (2015) Pada perairan dangkal lapisann suhu air bersifat homogen berlanjut
sampai ke dasar, sedangkan pada perairan laut yang lebih dalam terjadi perbedaan suhu antar
kedalaman perairan sehingga mempengaruhi kelimpahan serta komposisinya di perairan.
Hasil pengamatan pH pada perairan Pantai Pulau Panjang memperoleh nilai berkisar 8,1-
8,3. Derajat Derajat keasaman di suatu daerah biasanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
di sekitarnya. Damar (2012) menyatakan bahwa fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses
respirasi yang dilakukan fitoplankton. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari
proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis
semakin tinggi maka akan menyebabkan pH semakin tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai rata-rata salinitas diperairan Pantai Pulau
Panjang 32,4- 33o/oo. Dimana salinitas merupakan salah satu parameter penting yang cukup
berpengaruh terhadap biota laut, termasuk didalamnya adalah plankton. Peningkatan ataupun
penurunan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi kelimpahan plankton.
Hasil pengukuran oksigan terlarut di perairan Pantai Pulau Panjang di dapatkan hasil
pengukuran berkisar 3,24-4,37 mg/L dengan baku mutu >5 mg/L. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wijayanti (2011), plankton dapat hidup baik pada konsentrasi oksigen lebih dari 3 mg/L. Oleh
karena itu, makin rendah nilai oksigen terlarut maka makin tinggi tingkat pencemaran suatu
ekosistem perairan tersebut.
Kisaran konsentrasi fosfat yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 0,002 –
0,059 mg/L Fosfat merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme perairan. Menurut Patty (2014),
Tinggi rendahnya kadar fosfat dan nitrat di suatu perairan adalah salah satu indikator untuk
menentukan kesuburan perairan. Menurut Wardoyo (1982) dalam Supriyantini (2020), perairan
yang cukup subur mempunyai kandungan fosfat antara 0,0021-0,050 mg/L dan perairan yang
subur antara 0,051-0,100 mg/L.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai kecerahan berkisar antara 2,5-3 m.
Kecerahan air mempengaruhi jumlah dan kualitas sinar matahari dalam perairan. Jumlah dan
kualitas sinar matahari ini mempengaruhi aktivitas fitoplankton melalui penyediaan energi untuk
melangsungkan fotositesis. Faktor yang mempengaruhi kecerahan adalah kejernihan yang
sangat ditentukan partikel-partikel terlarut dalam lumpur (Muhtadi et al., 2014).
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh konsentrasi nitrat berkisar antara 0,003 – 1,599
mg/L. Nilai tersebut berada dalam kisaran normal yang di butuhkan oleh fitoplankton.
Sehubungan dengan hal tersebut Macketum (1969) dalam Marlian (2017) pertumbuhan optimal
fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/L.
Hasil pengukuran BOD5 menunjukkan nilai berkisar 36,55-54,83 mg/L yang melebihi baku
mutu menurut Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yakni 20 mg/L. Nilai BOD5 yang tinggi ini
menggambarkan bahwa adanya oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan
bahan organik mudah terurai menjadi nutrien yang akan dimanfaatkan oleh fitoplankton yang
merupakan sumber makanan bagi konsumen tingkat selanjutnya.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh konsentrasi COD berkisar antara 71-101,68
mg/L. Dimana nilai tersebut melampaui batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen LH
No. 51 Tahnu 2002. Hal tersebut diduga adanya masukan Nilai COD pada umunya akan lebih
besar dibandingkan dengan nilai BOD. Tingginya kandungan COD dalam perairan dapat
dipengaruhi oleh degradasi bahan organik maupun anorganik yang berasal dari aktivitas
masyarakat di sekitar maupun limbah yang tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
badan perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh konsentrasi TSS berkisar antara 2,8-3,2
mg/L.Nilai tersebut masih berada dalam batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen LH
No. 51 Tahun 2002. Padatan tersuspensi, kecerahan dan kekeruhan merupakan
parameterparameter yang saling terkait satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan
tersuspensi sebanding dengan peningkatan konsentrasi kekeruhan dan berbanding terbalik
dengan kecerahan. Ketiga parameter tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam
produktivitas perairan. Hal ini berkaitan erat dengan proses fotosintesis dan respirasi organisme
perairan. Maka dari itu, untuk perairan Pantai Pulau Panjang masuk dalam kategori aman untuk
perkembangan biota.

Indeks Saprobik
Hasil perhitungan koefisien saprobik pada perairan Pulau Panjang berkisar antara -0,38–
0,12. Hasil koefisien saprobik menunjukkan tingkat pencemaran perairandi Pulau Panjang,
Jepara dalam kategori tercemar ringan hingga sedang dengan fase pada β/α- mesosaprobik (0,0
s/d 0,5) hingga α/β- mesosaprobik (-0,5 s/d 0,0). Pencemaran bahan organik di perairan Pulau
Panjang ini diduga berasal dari limbah pariwisata, perikanan, dan jasad biota di sekitar perairan.
Sumber bahan organik terlarut juga dapat berasal dari hasil metabolisme mikroalga terutama
fitoplankton. Menurut Anggoro (1988) dalam Supriyantini (2019), jika di perairan terdapat
fitoplankton jenis Skeletonema sp., maka dapat diindikasikan bahwa perairan tersebut terjadi
pencemaran tingkat ringan. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa di
semua stasiun telah ditemukan genus Skeletonema yang termasuk ke dalam kelas
Bacillariophyceae dalam jumlah yang banyak.
Jenis fitoplankton yang ditemukan pada area lamun pantai Pulau Panjang Jepara selama
pengamatan terdiri dari 4 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophycae dan
Dinophyceae.

b. Penggunaan Indeks Coliform untuk penilaian kesehatan ekosistem lamun

Bakteri coliform merupakan jenis bakteri yang digunakan sebagai indikator pencemaran
lingkungan perairan. Penentuan coliform sebagai indikator pencemaran dengan melihat dari
jumlah koloninya bakteri yang pasti berkolerasi positif dengan adanya keberadaan bakteri-bakteri
pathogen. Adanya bakteri coliform di dalam perairan laut menunjukkan kemungkinan adanya
mikroorganisme yang bersifat eterpatogenetik dan taksigenetik yang mampu mempengaruhi
kesehatan biota maupun manusia. Rendahnya keberadaan bakteri coliform pada perairan
menunjukan semakin baiknya kualitas perairan tersebut. Analisa coliform lebih cepat dan murah
dari pada analisis jenis bakteri-bakteri lain.
Studi Kasus 1

Kepadatan Bakteri Coliform Sebagai Indikator Pencemaran Biologis Di Perairan Pesisir


Sepuluh Kabupaten Bangkalan Oleh: Endang Tita Saputri dan Makhfud Efendy

Wilayah pesisir Kabupaten Bangkalan memiliki permasalahan antara lain faktor alam, segi
masyarakat dan permasalahan akibat faktor antropogenik. Antropogenik merupakan faktor yang
berpotensi mengakibatkan konflik yang besar seperti, beratnya tekanan eksploitasi sumberdaya
pesisir serta pesatnya laju pencemaran secara gradual. Pencemaran yang dipengaruhi oleh
masuknya limbah baik domestik, maupun industri yang berakibat pada penurunan kualitas
perairan dan produktivitas ekosistem. Pencemaran biologis dapat diketahui dengan eksplorasi
mikroba sebagai mikroorganisme di perairan laut, yang dapat dilakukan dan digunakan sebagai
informasi kondisi lingkungan. Beberapa mikroba dapat digunakan sebagai parameter indikator
pencemaran lingkungan salah satunya bakteri coliform yang tumbuh dan berkembang di perairan.

Tabel Parameter Perairan Sepuluh

Bakteri coliform merupakan indikator kontaminasi lingkungan atau sanitasi yang kurang
baik, Bakteri coliform memiliki daya tahan yang lebih tinggi dari pada bakteri pathogen lain serta
lebih mudah diisolasi dan ditumbuhkan. Berdasarkan pengamatan nilai suhu pada perairan
Sepuluh berkisar antara 30,9-33,8oC. Menurut Herd (2001) dalam Saputri (2020) Kondisi suhu
yang menunjang pertumbuhan bakteri coliform adalah 12-44. Suhu dapat memengaruhi
mikroorganisme dalam dua cara yaitu apabila suhu naik, kecepatan metabolisme naik dan
pertumbuhan dipercepat, dan sebaliknya apabila suhu turun kecepatan metabolisme juga turun
dan pertumbuhan diperlambat.
Berdasarkan pengamatan nilai salinitas yang diperoleh pada perairan Sepuluh berkisar
antara 24-27 o/oo, Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serta
pertumbuhan mikroorganisme di dalam suatu perairan. Salinitas sangat berpengaruh pada
kelimpahan bakteri Coliform, karena bakteri ini merupakan bakteri yang memiliki kemampuan
adaptasi rendah dalam lingkungan. Bakteri kelompok Coliform memiliki resistensi yang terus
menurun dan derajat kematian di perairan laut akan semakin meningkat dengan naiknya kadar
salinitas yang sudah melebihi salinitas alami air laut itu sendiri. Menurut Herd (2001) dalam
Saputri (2020) kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan bakteri coliform yang tidak lebih
besar dari 85 ppt.
Berdasarkan pengamatan nilai pH yang diperoleh pada perairan Sepuluh berkisar antara
7,9- 8,5. Sebagian besar biota akuatik dapat hidup dengan baik pada kondisi pH ini. Nilai pH
dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, semakin tinggi nilai pH maka nilai
alkalinitas semakin tinggi dan kadar karbondioksida semakin rendah. Menurut Nurdiana (2019)
Ph mempengaruhi pertumbuhan bakteri Coliform karena berkaitan dengan aktivitas enzim yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan
bakteri. pH optimal untuk pertumbuhan bakteri, yaitu berkisar antara 7-8,5.
Berdasarkan pengamatan nilai Oksigen Terlarut pada perairan Sepuluh berkisar antara
4,37- 4,61 mg/L. Kadar oksigen terlarut (DO) dalam air baik yaitu >5 mg/L. Kandungan DO pada
suatu perairan sangat berhubungan dengan tingkat pencemaran, jenis limbah dan banyaknya
bahan organik di suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut tidak terlalu berpengaruh terhadap
pertumbuhan bakteri coliform, sebab bakteri ini merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat
hidup dengan ataupun tanpa oksigen.
Menurut Waluyo (2017), menyatakan salah satu indikator pencemar mikroba adalah
keberadaan bakteri coliform, selain itu bakteri coliform ada yang bersifat pathogen yaitu bakteri
yang dapat menimbulkan penyakit, oleh karena itu sangat pentingnya melakukan uji bakteri
coliform pada perairan. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukan bahwa semua sampel
positif membentuk gelembung (gas), yang diduga telah terjadi kontaminasi oleh bakteri coliform.
Nilai koloni dan MPN yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukan jumlah bakteri coliform
pada perairan dan sedimen daerah Sepuluh rata-rata bakteri coliform pada perairan 500-800
koloni/ml sedangkan untuk sedimen 27-120 MPN/g. Menurut Putri (2018), menyatakan bahwa
tinggi rendahnya nilai dari bakteri coliform dapat digunakan untuk menentukan kondisi kualitas
suatu perairan. Pembuangan limbah organik yang berasal dari aktivitas m asyarakat dapat
menyebabkan pencemaran dan dapat meningkatkan organisme pathogen pada perairan.
Perairan Sepuluh Kabupaten Bangkalan dapat dikatakan dalam kondisi baik secara biologis.
Studi Kasus 2

Kualitas Perairan Laut Desa Jikumerasa Kabupaten Buru Berdasarkan Parameter Fisik,
Kimia Dan Biologi Oleh: Samsia Umasugi, Irwan Ismail, Irsan

Perairan Jikumerasa adalah salah satu perairan yang memiliki nilai ekologi maupun
ekonomis. Tingginya aktivitas manusia dalam memanfaatkan wilayah perairan laut di Desa
Jikumerasa dapat berpotensi menimbulkan pencemaran dan menurunkan kualitas perairan.
Untuk itu perlu dilakukan pengukuran kualitas perairan Desa Jikuemerasa berdasarkan kondisi
parameter fisik, kimia dan biologi.

Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia dan Biologi di Perairan Laut Desa Jikumerasa

Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting dalam lingkungan perairan.
Perubahan suhu perairan akan mempengaruhi proses fisika, kimia perairan. Berdasarkan
pengamatan suhu perairan pada waktu pengamatan berkisar antara 28,3 – 29,5OC. Nilai tersebut
masuk dalam katagori normal berdasarkan baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen LH
No. 51 Thn 2004. Perbedaan suhu yang terdapat pada setiap stasiun dipengaruhi oleh waktu
pengukuran dan intensitas cahaya matahari. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, dan salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah lama sinar matahari. Hutabarat
dan Evans dalam As-Syakur & Wiyanto (2016) faktor yang memengaruhi suhu permukaan laut
adalah letak ketinggian dari permukaan laut (Altituted), intensitas cahaya matahari yang diterima,
musim, cuaca, kedalaman air, sirkulasi udara, dan penutupan awan.
Berdasarkan hasil pengamatan kecerahan pada perairan Laut Desa Jikumerasa diperoleh
nilai berkisar antara 3-8,5 m. Nilai tersebut masih tergolong baik menurut baku mutu KepMen LH
No. 51 Thn 2004. Tingkat kecerahan suatu perairan berkaitan dengan tingkat kekeruhan, apabila
suatu perairan keruh maka suplai cahaya matahari akan berkurang dan akan menghambat
proses fotosintesis biota laut. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Hanum (2018) yang
menyatakan bahwa perairan yang memiliki nilai kecerahan rendah pada waktu cuaca yang
normal dapat memberikan suatu petunjuk atau indikasi banyaknya partikel-partikel tersuspensi
dalam perairan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai TDS yang diperoleh berkisar antara 42800-52800
mg/L. Nilai tersebut melampaui batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen LH No. 51
Thn 2004. Tingginya kadar TDS diakibatkan karena banyaknya terkandung senyawa-senyawa
organik dan anorganik yang larut dalam air, mineral dan garam. Nilai TDS perairan sangat
dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah dan pengaruh antropogenik (berupa
limbah domestik dan industri (Wibowo & Rachman, 2020).
Berdasarkan hasil pengamatan nilai pH yang diperoleh berkisar antara 5,5- 7. Dimana
nilai tesebut berdasarkan baku mutu hanya 1 stasiun saja yang memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh KepMen LH No. 51 Thn 2004. Tinggi rendahnya pH suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh kadar CO2 yang terlarut dalam perairan tersebut (Simanjuntak, 2012). Suatu
perairan laut dikategorikan baik apabila derajat keasamannya (pH>7)) atau bersifat basa.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai salinitas yang diperoleh berkisar antara 29-31 o/oo
Nilai salinitas pada stasiun pengamatan bila dibandingkan dengan baku mutu Kepmen LH No 51
tahun 2004 untuk biota laut, dimana nilai salinitas perairan yang dapat menunjang kehidupan
biota laut adalah sebesar 30o/oo .
Berdasarkan hasil dari pengamatan nilai Oksigen Terlarut (DO) yang diperoleh berkisar
antara 4,73 – 5,52 mg/L. Nilai tersebut masuk dalam kategori normal menurut baku mutu KepMen
LH No. 51 Thn 2004. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal hasil fotosintesis
organisme yang hidup dalam perairan tersebut, selain dari proses difusi dari udara bebas.
Kandungan DO pada suatu perairan sangat berhubungan dengan tingkat pencemaran, jenis
limbah dan banyaknya bahan organik di suatu perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai COD yang diperoleh berkisar antara 2,6 – 3,9 mg/L.
nilai tersebut masuk dalam kategori baik untuk pertumbuhan biota menurut KepMen LH No. 51
Thn 2004. COD adalah kebutuhan oksigen kimia (KOK) merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat- zat organik yang ada dalam sampel air atau banyaknya
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat- zat organik menjadi CO2 dan H2O (Umasugi,
2021). Perairan yang tidak tercemar biasanya mengandung COD kurang dari 20 mg/Liter.
Berdasarkan hasil pengamatan nilai BOD yang diperoleh berkisar antara 1,1 – 2,6 mg/L.
Nilai tersebut termasuk sangat rendah menurut baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen
LH No. 51 Thn 2004. Dimana nilai BOD perairan yang dapat menunjang kehidupan biota laut
adalah sebesar 20 mg/L. Nilai BOD yang tinggi akan menurunkan ketersediaan oksigen terlarut
(DO) dalam air karena terpakai dalam proses oksidasi bahan organik yang dapat diuraikan oleh
mikroorganisme.
Bakteri Coliform merupakan suatu kelompok bakteri yang digunakan sebagai salah satu
indikator kualitas air adanya cemaran mikroba, biasanya biasa melalui kotoran yang kondisinya
tidak baik terhadap kualitas air. Berdasarkan hasil pengamatan nilai bakteri coliform yang
diperoleh berkisar 15-31 MPN/100. Bakteri Coliform merupakan suatu kelompok bakteri yang
digunakan sebagai salah satu indikator kualitas air adanya cemaran mikroba, biasanya biasa
melalui kotoran yang kondisinya tidak baik terhadap kualitas air. jumlah bakteri coliform ini jika
dibandingkan dengan baku mutu total coliform berdasarkan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 Untuk
Biota Laut sebanyak 1000 MPN/100 ml dengan toleransi < 10% dan keberadaan patogen adalah
kecil, maka diketahui bahwa pada wilayah perairan laut Desa Jikumerasa masih sesuai, dan
dapat menunjang kehidupan biota laut. Karbasdehi et al (2017) menjelaskan keberadaan bakteri
di laut dipengaruhi oleh banyak faktor, diantarnya adalah salinitas.

Studi Kasus 3

Bakteri Coliform di Perairan Teluk Doreri, Manokwari Aspek Pencemaran Laut dan
Identifikasi Species Oleh: Tresia Tururaja dan Rina Mogea

Teluk Doreri merupakan salah satu jalur pelayaran yang penting baik secara nasional maupun
internasional sehingga dijadikan pintu gerbang mobilitas orang dan barang dari dan ke Papua
dan sekitarnya. Perairan tersebut memiliki nilai ekologis antara lain sebagai kawasan ekowisata
di Pantai Bakaro.
Tabel Kualitas Air dari Teluk Doreri, Manokwari

Parameter yang diukur


Lokasi Pengamatan Salinitas DO Bakteri
SuhuoC pH E. Coli
O
/OO mg/L Coliform
Pantai Pasir Putih 29,1 7,23 32 5,32 >2400 1100
Muara Sungai Sanggeng 30,4 6,77 30 1,21 >2400 >2400
Muara Sungai Wosi 31,5 6,84 32 2,85 >2400 >2400
Muara Sungai Andai 31,8 7,23 34 4,63 >2400 1100

Berdasarkan hasil pengamatan suhu di setiap lokasi pengamatan pada perairan Teluk
Doreri, memperoleh nilai berkisar 29,1-31,8OC. Dimana nilai tersebut masuk dalam kategori aman
untuk suhu perairan berdasarkan baku mutu yang telah ditetapkan oleh KepMen LH No. 51 Thn
2004. Suhu yang optimum sangat berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan bakteri,
kecepatan sintesis enzim, dan kecepatan inaktivasi enzim Menurut Herd et al.,(2001) kondisi
yang dapat menunjang pertumbuhan bakteri coliform adalah 12-44oC.
Berdasarkan hasil pengamatan Ph di setiap lokasi pengamatan pada perairan Teluk
Doreri, memperoleh nilai berkisar 6,77- 7,23. Bakteri laut dapat tumbuh pada pH 6.5-8.5 namun
pertumbuhan optimumnya 7,2-8,5. Kondisi pH perairan juga merupakan salah satu parameter
yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri Coliform karena berkaitan dengan aktivitas enzim
yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan
pertumbuhan bakteri. Keadaan pH yang tidak optimal dalam lingkungan dapat mengganggu
kerja enzim tersebut dan mengganggu pertumbuhan bakteri (Sanita, 2013). Berdasarkan
derajat keasaman, bakteri dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu netrofilik (pH 6,0-8,0), asidofilik
(pH optimal serendah 3,0), dan alkalofilik (pH optimal setinggi 10,5). Akan tetapi sebagian besar
organisme tumbuh dengan baik pada pH 6,0-8,0 (netrofilik) (Jawetz, et.al., 2008) dalam Widhah
(2022). Escherichia coli dapat hidup di lingkungan makanan yang asam pada pH di bawah 4,4
Berdasarkan hasil pengamatan salinitas di setiap lokasi pengamatan pada perairan Teluk
Doreri, memperoleh nilai berkisar 30-34. Salinitas merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kehidupan serta pertumbuhan mikroorganisme di dalam suatu perairan. Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan dan aliran sungai. Salinitas sangat berpengaruh pada kelimpahan bakteri Coliform dan e
coli, karena bakteri ini merupakan bakteri yang memiliki kemampuan adaptasi rendah
dalam lingkungan. Bakteri kelompok Coliform memiliki resistensi yang terus menurun dan
dan derajat kematian di perairan laut akan semakin meningkat dengan naiknya kadar
salinitas yang sudah melebihi salinitas alami air laut itu sendiri (derajat kematian di perairan
laut akan semakin meningkat dengan naiknya kadar salinitas yang sudah melebihi salinitas
alami air laut itu sendiri.
Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut di setiap lokasi pengamatan diperoleh
nilai berkisar antara 1,21-5,32. mg/L. Kadar tidak berpengarauh dengan DO yang diperoleh,
karena bakteri ini merupakan bakteri anaerob fakultatif atau bakteri yang dapat tumbuh
dengan maupun tanpa oksigen.
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri coliform di setiap lokasi pengamatan diperoleh
nilai >2400. Nilai tersebut melampaui bata baku mutu air yang telah ditetapkn oleh KepMen LH
No.51 Thn 2004. Tingginya kadar kandungan bakteri coliform pada perairan diduga dikarenakan
adanya kandungan organik yang tinggi diperairan tersebut yang berasal dari aktivitas
masyarakat, seperti perdagangan, Pariwisata dan Pelayaran. Menurut Salle (2013) bahwa
pembuangan limbah organik yang berasal dari aktivitas masyarakat dapat menyebabkan
pencemaran dan dapat meningkatkan organisme patogen di perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri e coli di setiap lokasi pengamatan diperoleh nilai
berkisar antara 1100- >2400. Nilai tersebut melampaui bata baku mutu air yang telah ditetapkn
oleh KepMen LH No.51 Thn 2004. Tingginya kandungan baketri coliform di perairan ini dapat
menyebabkan kehadiran bakteri petogen lainnya. Karena bakteri coliform ini mempunyai sifat
dapat berkorelasi positif terhadap bakteri patogen lain. Menurut Bambang et al., (2014), semakin
tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, semakin tinggi pula resiko kehadiran bakteri-bakteri
patogen lain yang biasa hidup dalam kotoran manusia dan hewan. Salah satu contoh bakteri
patogen yang kemungkinan terdapat dalam air terkontaminasi kotoran manusia atau hewan
berdarah panas ialah bakteri Escherichia coli, yaitu mikroba penyebab gejala diare, demam, kram
perut, dan muntah- muntah.
III. Penutup

Hasil perhitungan menggunakan indeks saprobitas menunjukkan bahwa kelimpahan


fitoplankton menjadi tolak ukur dari kesuburan suatu perairan. Fitoplankton mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam suatu perairan, selain sebagai dasar dari rantai pakan (Primary
producer) juga merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Terdapat
hubungan positif antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas perairan. Jika kelimpahan
fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang
tinggi pula.
Indikator kesehatan suatu perairan dapat dilihat dengan keberadaan bakteri coliform,
selain itu bakteri coliform ada yang bersifat pathogen yaitu bakteri yang dapat menimbulkan
penyakit, oleh karena itu sangat pentingnya melakukan uji bakteri coliform pada perairan.
semakin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, semakin tinggi pula resiko kehadiran bakteri-
bakteri patogen lain yang biasa hidup dalam kotoran manusia dan hewan. Salah satu contoh
bakteri patogen yang kemungkinan terdapat dalam air terkontaminasi kotoran manusia atau
hewan berdarah panas ialah bakteri Escherichia coli, yaitu mikroba penyebab gejala diare,
demam, kram perut, dan muntah- muntah.
Daftar Pustaka

Awanis. (2018). Penilaian ekonomi kerusakan dan kebijakan pengelolaan ekosistem lamun di
Pulau Pari Kepulauan Seribu. Bogor: Skripsi IPB.

Bambang, A.G., Fatimawali, dan N. Kojong. 2014. Analisis Cemaran Bakteri Coliform dan
Identifikasi Escherichia coli pada Air Isi Ulang dari Depot di Kota Manado. Universitas Sam
Ratulangi, Manado, Jurnal Ilmiah Farmasi 3(3).

Damar, A., Colijn, F., Hesse, K. J., & Wardiatno, Y. (2012). The eutrophication states of Jakarta,
Lampung and Semangka Bays: Nutrient and phytoplankton dynamics in Indonesian tropical
waters. Journal of Tropical Biology & Conservation, 9(1), 61-81.

Fernando, R., W.R. Melani , dan D. Kurniawan. (2019). Pengaruh Laju Sedimentasi Terhadap
Kerapatan Lamun di Perairan Beloreng Kelurahan Tembeling Tanjung Kabupaten Bintan.
Jurnal Akuatiklestari. 3 (1) : 10-17.

Fortes, M.D., Salmo S. G. (2016). Proceedings of the First National Seagrass-Mangrove Bioshield
Conference. The National Seagrass-Mangrove Bioshield Conference (p.43). Philippines:
Marine Science Institute CS. Quezon.

Hamuna, B., Tanjung, R.H.R., Suwito., Maury, H.K., Alianto. (2018). Kajian Kualitas Air Laut dan
Indikasi Pencemaran Berdasarkan Parameter Fisika-Kimia Di Perairan Distrik Depapre,
Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(1), 35-43.

Marlian N. 2017. Hubungan Parameter Kualitas Air Terhadap Distribusi Kelimpahan Fitoplankton
Di Perairan Teluk Meulaboh Aceh Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Teuku Umar. Journal of Aceh Aquatic Science. Volume I, Nomor 1, 2017.

Muhtadi, A., Cordova, M. R., & Yonvitner. (2014). Ekologi Perairan: suatu panduan praktikum (H.
Baihaqi (ed.); 1st ed.). IPB Press.

Noviarini, W., dan D. Ermavitalini. (2015). Analisis Kerusakan Jaringan Akar Lamun Thalassia
hemprichi yang Terpapar Logam Berat Kadmium (Cd). Jurnal Sains dan Seni ITS. 4(2): 71-
74.

Nurdiana F, Pande G S J, Endang W S. 2019. Kelimpahan Bakteri Coliform Pada Musim Kemarau
di Perairan Laut Celukanbawang, Provinsi Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia. Current Trends in Aquatic
Science II(1), 101-107 (2019)

Patty S I. 2014. Karakteristik Fosfat, Nitrat Dan Oksigen Terlarut Di Perairan Pulau Gangga Dan
Pulau Siladen, Sulawesi Utara. Teknisi Litkayasa UPT. Loka Konservasi Biota Laut Bitung-
LIPI. Jurnal Ilmiah Platax Vol. 2:(2), Mei-Agustus 2014.

Pratiwi D E. (2015). Hubungan Kelimpahan Plankton Terhadap Kualitas Air Di Perairan Malang
Rapat Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Manajemen Sumberdaya Perairan,
FIKP UMRAH.

Putri, P.I., F. Lestari, dan Susiana. (2018). Potensi Sumberdaya Lamun sebagai Pencadangan
Kawasan Konservasi di Perairan Beloreng, Tembeling, Kabupaten Bintan. Jurnal
Akuatiklestari. 2 (1) : 14-21.

Salle, A.J. 2013. Fundamental Principles of Bacteriology. 8ed. Harper & Brothers. Studi
Pendahuluan Klasifikasi Ukuran Butir Sedimen di Danau Laut Tawar, Takengon, Kabupaten
Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Volume. 92-96 No. 2.
ISSN 2089-7790

Saputri T E, Makhfud E. 2020. Kepadatan Bakteri Coliform Sebagai Indikator Pencemaran


Biologis Di Perairan Pesisir Sepuluh Kabupaten Bangkalan. Perikanan Fakultas Pertanian,
Universitas Trunojoyo Madura. Juvenil, 1(2), 243-249, (2020).

Sari N A, Sahala H, Prijadi S. 2014. Struktur Komunitas Plankton Pada Padang Lamun Di Pantai
Pulau Panjang, Jepara. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.

Sjafrie, N.D.M., U.E. Hernawan, B. Prayudha, I.H. Supriyadi, M.Y. Iswari, Rahmat, K. Anggraini,
S. Rahmawati, dan Suyarso. (2018). Status Padang Lamun Indonesia 2018. Puslit
Oseanografi – LIPI. Jakarta. 40 hlm

Supriyantini E, Munasik, Sri S, Sri Y W, Ali R, Eka M. 2020. Kajian Pencemaran Perairan Pulau
Panjang, Jepara Berdasarkan Indeks Saprobik dan Komposisi Fitoplankton. Buletin
Oseanografi Marina April 2020 Vol 9 No 1:27–36

Syahrani L, Sang A M P S, Wayan A. (2022). Analisis Kelimpahan Dan Indeks Saprobitas


Fitoplankton Pada Ekosistem Padang Lamun Di Pantai Sindhu, Sanur, Bali. Program Studi
Manajamen Sumber Daya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa. Volume
27, Nomor 01, April 2022, Hal: 12~21.

Tururaja, Tresia., Mogea, Rani. 2010. Bakteri Coliform Di Perairan Teluk Doreri, Manokwari
Aspek Pencemaran Laut Dan Identifikasi Spesies. Universitas Negeri Papua, Manokwari.
Ilmu Kelautan Maret 2010. Vol. 15 (1) 47 - 52

Umasugi S, Ismail I, Irsan. 2021. Kualitas Perairan Laut Desa Jikumerasa Kabupaten Buru
Berdasarkan Parameter Fisik, Kimia Dan Biologi. Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Universitas Iqra Buru. Biopendix, Volume 8, Nomor 1, Oktober 2021,
29-35

Widhah S F. 2022. Analisis Kelimpahan Bakteri Escherichia Coli Di Kawasan Wisata Pantai
Mallasoro, Kabupaten Jeneponto Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan
Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

Wijayanti. (2011). Keanekaragaman Jenis Plankton Pada Tempat Yang Berbeda Kondisi
Lingkungannya Di Rawa Pening Kabupaten Semarang. Skripsi. IKIP PGRI
Semarang:Semarang.

Yuliana, Enan M A, Harris E, Niken T M P. (2011). Hubungan Antara Kelimpahan Fitoplankton


Dengan Parameter Fisikkimiawi Perairan Di Teluk Jakarta. Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan. Bogor, Jawa barat. Jurnal Akuatika Vol. III No. 2/ September 2012
(169-179).

Zainuri M, Novi I, Wasiqatus S, Ainul F. 2023. Korelasi Intensitas Cahaya Dan Suhu Terhadap
Kelimpahan Fitoplankton Di Perairan Estuari Ujung Piring Bangkalan. Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura. Buletin Oseanografi Marina Februari 2023 Vol 12 No 1:20-
26.

Anda mungkin juga menyukai