Anda di halaman 1dari 6

FORMAT INSTRUMEN STANDARDISASI

BADAN STANDARDISASI INSTRUMEN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Pusat Standardisasi Instrumen Pengelolaan Hutan Berkelanjutan


Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

TINGKAT INSTRUMEN: NOMOR DOKUMEN:


Standar [SBSI]/Petunjuk Teknis SBSI …

KATEGORI INSTRUMEN:
Pengelolaan dan Pengendalian Kerusakan Hutan

KELAS RISIKO:
Menengah Rendah
REVISI:
KELAS PENGGUNA:
Usaha/Kegiatan Risiko Menengah Rendah
TANGGAL BERLAKU:
KLUSTER KEGIATAN:
Operasional - Teknis JUMLAH HALAMAN: 12

NAMA: Standar Pemulihan Fungsi Ekosistem


Mangrove

STANDAR PEMULIHAN FUNGSI EKOSISTEM MANGROVE UNTUK


MENINGKATAN UPAYA-UPAYA PERLINDUNGAN FUNGSI EKOSISTEM
MANGROVE YANG RENTAN DAN MENGALAMI KERUSAKAN

A. URAIAN KEGIATAN STANDARDISASI


Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya lahan basah wilayah pesisir dan sistem
penyangga kehidupan dan kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi, oleh karena itu
perlu upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk
kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu untuk menyelenggarakan pemulihan
ekosistem mangrove berkelanjutan yang merupakan bagian integral dari pengelolaan
wilayah pesisir yang terpadu dengan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai diperlukan
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor, instansi dan lembaga.

Ekosistem Mangrove adalah kesatuan antara komunitas vegetasi mangrove berasosiasi


dengan fauna dan mikro organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada
daerah sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai yang
terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam membentuk
keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove merupakan aktivitas yang dilakukan untuk


mengembalikan sifat dan fungsi Ekosistem Mangrove sesuai atau mendekati sifat dan

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 1 dari 6


fungsi semula melalui suksesi alami, restorasi hidrologis, rehabilitasi vegetasi, dan/atau
cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya
Fungsi Ekosistem Mangrove dibagi menjadi dua, yaitu: Fungsi Lindung/Konservasi dan
Fungsi Budidaya. Fungsi Lindung/Konservasi Ekosistem Mangrove adalah tatanan
unsur Mangrove yang memiliki karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi utama
dalam perlindungan dan keseimbangan tata air, penyimpan cadangan karbon, dan
pelestarian keanekaragaman hayati untuk dapat melestarikan fungsi Ekosistem
Mangrove. Kemudian Fungsi Budidaya Ekosistem Mangrove adalah tatanan unsur
Mangrove yang memiliki karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi dalam
menunjang produktivitas Ekosistem Mangrove melalui kegiatan budidaya sesuai
dengan daya dukungnya untuk dapat melestarikan fungsi Ekosistem Mangrove.

A.1. TUJUAN
Standar ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pedoman teknis pemulihan fungsi
ekosistem mangrove dalam rangka meningkatan semua upaya perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai
keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat.

A.2. PELAKSANA
Pelaksana pemulihan fungsi ekosistem mangrove dibawah koordinasi Dirjen PDASRH
Kementerian LHK (UPT Pusat) dan DLH Provinsi (UPT Daerah). Pada pelaksanaannya
dapat melibatkan berbagai stakeholder, mulai dari Pemerintah Kotamadya/Kabupaten,
Badan Riset dan Inovasi Nasional, Perguruan Tinggi, Perusahaan Swasta, NGO dan
Masyarakat.

A.3. TAHAP KLUSTER KEGIATAN


Kegiatan pemulihan fungsi ekosistem mangrove meliputi kegiatan:
1. Perencanaan Pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove
2. Pelaksanaan Pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove
3. Penilaian Keberhasilan Pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove

B. URAIAN STANDAR
B.1. BESARAN DAMPAK
Indonesia masih terus berjuang untuk memulihkan ekosistem mangrove yang
kondisinya saat ini sedang kritis dan menyebar di seluruh provinsi. Salah satu upaya
pemulihan dilakukan dengan cara rehabilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia. Dari catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekosistem
mangrove yang kondisinya kritis saat ini luasnya mencapai 637 ribu hektare atau
mencakup 19 persen dari total luas mangrove di Indonesia yang mencapai 3,3 juta ha.
Selain kondisi kritis yang memerlukan upaya rehabilitasi, kondisi mangrove di Indonesia
saat ini dalam keadaan baik dengan luas mencapai 2,6 juta ha atau mencakup 81
persen dari total luas yang ada. Seluruh ekosistem tersebut menyebar luas di seluruh
provinsi Indonesia.

Mangrove yang kondisinya kritis saat ini ada yang berada di dalam kawasan hutan
dengan luas mencapai 460 ribu ha atau mencakup 72,18 persen dari total ekosistem

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 2 dari 6


mangrove yang kritis. Selain itu, ada juga ekosistem mangrove yang sudah kritis namun
lokasinya ada di luar kawasan hutan dengan luas mencapai 177 ribu ha. Luasan
tersebut mencakup 27,82 persen dari total luas lahan kritis ekosistem mangrove yang
saat ini ada.

Selain kegiatan penanaman kembali dalam kegiatan pemulihan fungsi ekosistem


mangrove ini juga diperlukan kegiatan pengadaan bibit mangrove, bantuan sarana dna
prasarana seperti membangun pusat restorasi dan pengembangan ekosistem pesisir,
tempat pembibitan mangrove, bangunan konservasi tanah dan air, serta bantuan-
bantuan yang diberikan kepada masyarakat pesisir.dan kegiatan pendukung lainnya
melalui kegiatan padat karya. Program pemulihan juga bermanfaat untuk program
pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat pandemi COVID-19 yang sekarang sedang
dilaksanakan Pemerintah RI. Dengan kata lain, program pemulihan fungsi ekosistem
mangrove yang tujuannya sebagai kegiatan ekonomi, dan sekaligus memperbaiki
ekosistem mangrove dari kerusakan.

Ekosistem mangrove sendiri menjadi tujuan utama rehabilitasi, karena memiliki fungsi
yang sangat besar sebagai habitat bagi organisme laut, tempat berlindung, tempat
mencari makan, dan tempat berkembang biak bagi hewan laut. Hutan mangrove juga
berperan besar dalam melindungi pantai dari abrasi air laut.

B.2. STANDAR PENGELOLAAN


B.2.1. Bentuk Pengelolaan

B.2.1.1. Perencanaan
Perencanaan pemulihan fungsi Ekosistem Mangrove didasarkan pada hasil survei
lapangan atau hasil analisis dari data spasial, dan berdasarkan perubahan tata ruang
serta perubahan Rencana Kerja Usaha (RKU). Rencana pemulihan fungsi Ekosistem
Mangrove memuat beberapa hal sebagai berikut:
a) lokasi pemulihan;
b) luas lahan pemulihan;
c) cara pemulihan;
d) komponen dan jadwal kegiatan;
e) rencana biaya;
f) manajemen pelaksanaan;
g) target capaian per 6 (enam) bulan; dan/atau
h) teknik dan jadwal pemantauan.

Rencana pemulihan disusun paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak mendapat
penentuan hari mulai terjadinya kerusakan dari Direktur Jenderal terkait. Dokumen
Rencana Pemulihan yang telah disusun disampaikan kepada Direktur Jenderal terkait.

B.2.1.2. Pelaksanaan
Pemulihan fungsi Ekosistem Mangrove dilakukan dengan cara melaksanakan:
a) rehabilitasi;
b) suksesi alami;
c) restorasi; dan/atau

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 3 dari 6


d) cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pemulihan dengan cara rehabilitasi dilakukan dengan revegetasi atau penanaman


kembali pada areal:
a) bekas tambak;
b) bekas tambang;
c) terbuka dengan kondisi vegetasi jarang;
d) bekas pelabuhan atau sandaran kapal yang telah mengalami suksesi alami
(menurut kebutuhan dan setelah penilaian teknis); dan/atau
e) bekas tebang liar.

Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan mengutamakan jenis tanaman asli dan telah
mempertimbangkan:
a) kesesuaian lahan;
b) aspek lingkungan;
c) aspek sosial; dan
d) aspek ekonomi.

Jenis-jenis tanaman asli yang dapat digunakan untuk kegiatan rehabilitasi disesuaikan
dengan formasi vegetasi yang umum dijumpai pada ekosistem mangrove, jenis-jenis
tanaman tersebut antara lain:
a) Bakau (Rhizophora sp)
b) Burus/Tanjang (Bruguiera sp)
c) Pedada/Perepat (Sonneratia sp)
d) Api-api/Mangi-mangi Putih (Avicennia sp)
e) Nipah (Nypa fruticans)

Suksesi alami dilakukan terhadap Ekosistem Mangrove yang telah disekat dan tidak
terdapat gangguan dari aktivitas manusia. Kemudian kegiatan restorasi dilakukan untuk
menjadikan Ekosistem Mangrove atau bagian-bagiannya berfungsi kembali
sebagaimana semula, melalui pembangunan infrastruktur pusat restorasi dan
pengembangan ekosistem pesisir, dan pembuatan bangunan konservasi tanah dan air.

Pembangunan Pusat Restorasi dan Pengembangan Ekosistem Pesisir meliputi:


a) Pondok Informasi
b) Tracking Mangrove
c) Menara Pantau
d) Gazebo
e) Kamar Mandi
f) Kantin
g) Dermaga
h) Aula Pertemuan
i) Gapura
j) Tempat Rest Area
k) Tempat Pembibitan Mangrove
l) Kios/Pusat Oleh-Oleh

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 4 dari 6


m) Penginapan.

Waktu mulai dilaksanakan pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove paling lama 14


(empat belas) hari kerja sejak penyampaian rencana pemulihan.

Pembuatan bangunan konservasi tanah dan air merujuk kepada Peraturan Menteri LHK
Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
pada lampiran IV yaitu Tata Cara Penyusunan Rancangan Kegiatan Penerapan Teknik
Konservasi Tanah.

B.2.1.3. Penilaian Keberhasilan Dalam Rangka Pemulihan Fungsi Ekosistem


Gambut
Pemulihan Fungsi Ekosistem Mangrove dinyatakan berhasil apabila:
a) mengikuti tahapan kegiatan Reboisasi, kecuali tahapan penanaman, seperti:
1. penyusunan rancangan kegiatan;
2. persiapan;
3. penyediaan bibit;
4. penanaman;
5. pemeliharaan.
b) menerapkan Teknik Konservasi Tanah secara sipil teknis melalui pembuatan
bangunan konservasi tanah dan air
c) tidak tereksposnya sedimen yang akhirnya mengakibatkan pendangkalan alur
muara/sungai;
d) Jumlah tanaman yang tumbuh sehat paling sedikit 500 batang/hektar berdasarkan
pola tanamnya pada tahun ketiga.

Terhadap hasil penilaian dinyatakan tidak berhasil seluruhnya atau sebagian, maka
perlu mendapatkan tindakkan berupa:
a) memberikan peringatan;
b) mengambil langkah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
c) menunjuk pihak lain untuk melakukan pemulihan fungsi Ekosistem Mangrove
dengan biaya dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sebelumnya.

B.2.2. Lokasi
Teluk Balikpapan, Muara Sepaku, Pesisir Laut Samboja, dan wilayah mangrove di
Provinsi Kalimantan Timur

B.2.3. Periode Pengelolaan


Selama operasi kegiatan pengembangan Kawasan IKN, khususnya wilayah penyangga
IKN, yaitu: Balilpapan (Teluk Balikpapan), Penajam Paser Utara (Muara Sepaku), Kutai
Kertanegara (Pesisir Laut Samboja).

B.3. STANDAR PEMANTAUAN


B.3.1. Bentuk Pemantauan

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 5 dari 6


Bentuk pemantauan meliputi pemantauan jenis tanaman, pemantauan tahapan
reboisasi, pemantauan aktivitas Pusat Restorasi dan Pengembangan Ekosistem
Pesisir, pemantauan teknik konservasi tanah dan air, pemantauan pembibitan dan
pemeliharaan bibit mangrove, dan pemantauan pertumbuhan bibit mangrove di
lapangan.

B.3.2. Lokasi
Teluk Balikpapan, Muara Sepaku, Pesisir Laut Samboja, dan wilayah mangrove di
Provinsi Kalimantan Timur

B.3.3. Periode Pengelolaan


Selama operasi kegiatan pengembangan Kawasan IKN, khususnya wilayah penyangga
IKN, yaitu: Balilpapan (Teluk Balikpapan), Penajam Paser Utara (Muara Sepaku), Kutai
Kertanegara (Pesisir Laut Samboja).

Bahan Acuan

1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2021 Tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan
3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
24/PERMEN-KP/2016 Tentang Tata Cara Rehabilitasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-
Pulau Kecil
4. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Departemen Kelautan Dan Perikanan,
Direktorat Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Bina Pesisir, Tahun 2004
5. Buku Panduan Perencanaan Strategi Reboisasi, Yayasan Mangrove Lestari (Yml)
Delta Mahakam Dan Planete Urgence, Tahun 2016

Badan Standardisasi Instrumen LHK |Halaman 6 dari 6

Anda mungkin juga menyukai