Anda di halaman 1dari 21

STANDAR 2.

STANDAR RESTORASI HUTAN TROPIKA BASAH

13
STANDAR 2. STANDAR RESTORASI HUTAN TROPIKA BASAH

Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan


PerubahanIklim (PUSTANDPI)
Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan
KehutananKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
TINGKAT INSTRUMEN: Standar (SBSI) NOMOR DOKUMEN:
SBSI.PUSTANDPI.2022-1
KATEGORI INSTRUMEN:
Pengelolaan dan Pengendalian Ketahanan Bencana
dan Perubahan Iklim

KELAS RISIKO:
Menengah Rendah
REVISI: 0
KELAS PENGGUNA:

TANGGAL BERLAKU:
KLUSTER KEGIATAN: 21 April 2022
Operasional - Teknis
JUMLAH HALAMAN: 26

NAMA: Restorasi Hutan Tropika Basah

A. URAIAN KEGIATAN STANDARDISASI


Pemindahan Ibu kota negara Indonesia yang baru ke wilayah Kecamatan
Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur telah memiliki dasar
hukum dan politik yang kuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun2022
tentang Ibu Kota Negara. Ibu Kota baru ini bernama Nusantara yang meliputi luas
wilayah daratan ± 256.142 Ha dan luas wilayah perairan laut ± 68.189 Ha.
Proses pembangunan IKN Nusantara diperkirakan akan menimbulkanbeberapa
masalah lingkungan seperti tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora
dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
sehingga untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut, pemerintah dalam
pembangunan IKN Nusantara akan menerapkan konsep smart city dan forest city
dimana konsep tersebut sudah tergambarkan dalam desain IKN Nusantara oleh Sibarani
Sofian dan tim yaitu konsep Nagara Rimba Nusa. Konsep ini bermaksud untuk
menyatukan alam dan teknologi secara berdampingan, sehingga dapat tercipta kota
yang baik serta ramah lingkungan. Penerapan konsepforest city akan berbasis pada: 1)
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), 2) jaringan ruang hijau yang terstruktur, 3)
perlindungan habitat satwa yang meliputi wilayah habitat dan daerah jelajah satwa liar
kunci, 4) kualitas tutupan lahan yang baik dan terevitalisasinya lanskap “Hutan Hujan
Tropis”.
Pemerintah telah menyusun lima peta Jalan Pemulihan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan untuk mewujudkan konsep forest city. Peta jalan yang berhubungan dengan
pemulihan tutupan lahan adalah roadmap ke-3 mengenai pemulihan ekosistem hutan
hujan tropis dengan program: 1) pemulihan wilayah konservasi Bukit Soeharto, 2)
pengkayaan dan restorasi bertahap lanskap hutan tanaman, 3) pengkayaan bertahap
koridor hijau dan jaringan ruang terbuka hijau publik. Program pengkayaan dan restorasi
14
lanskap hutan tanaman membutuhkan rencana kegiatan tahap 1 (2020-2024) dengan
melaksanakan rehabilitasi terpadu dan pengkayaan vegetasi di eks hutan tanaman,
sekitar ± 5.000 Ha areal prioritas, dan pada tahap 2 (2025 dan selanjutnya) melakukan
kegiatan restorasi ekosistem dengan melakukan pengaturan lanskap dan
pengembangan keragaman vegetasi untuk mencegah penyebaran spesies invasif dan
meningkatkan kemampuan suksesi alaminya.
Kegiatan transformasi Hutan Tanaman Indonesia (HTI) menjadi hutan tropika
basah harus menggunakan jenis-jenis asli dan endemik Kalimantan. Salah satu jenis
penting dan dominan di hutan hujan tropis Kalimantan Timur adalah pohon- pohon dari
keluarga Dipterokarpa. Famili Dipterokarpa (Dipterocarpaceae) adalah simbol keluarga
dari hutan hujan tropis Asia Tenggara dan banyak dari hutan kering musiman di benua
Asia Selatan dan Tenggara. Famili dipterokarpa ini merupakan suku tumbuhan yang
seluruh anggotanya berupa pohon yang mempunyai peranan penting, baik dari segi
ekonomi maupun ekologi. Sebagian besar jenis dari suku ini merupakan penghasil kayu
komersial untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Transformasi kawasan hutan tanaman menjadi hutan tropika basah,
membutuhkan komitmen transformasi kebijakan yang dapat mendorong perubahan
sektor FOLU yang sistemik menuju net sink dalam pemanfaatan lahan ke depan.
Kegiatan prakontruksi kawasan hutan menjadi hutan kota IKN Nusantara merupakan
pondasi penting dalam meletakkan dasar pengelolaan hutan menuju hutan yang lestari
dan berkeadilan. Penetapan kawasan hutan merupakan kondisi pemungkin (enabling
condition) yang utama bagi segala aktivitas berusaha maupun non berusaha di kawasan
hutan. Tujuan utama dari penetapan kawasan hutan ini adalah mewujudkan kawasan
hutan yang mantap, memiliki kejelasan status, letak, batas, luasan, serta keberadaannya
mendapat pengakuan dari masyarakat serta bebas dari hak-hak pihak ketiga.

A.1. Tujuan
Tujuan Standar ini adalah sebagai panduan dalam penyusunan desain dan
pelaksanaan pembangunan hutan tropika basah pada lokasi eks HTI melalui
penanaman dan pengayaan jenis asli dan endemik Kalimantan dengan menggunakan
teknik silvikultur dan bioteknologi yang tepat guna.

A.2. Pelaksana
Pelaksana kegiatan ini adalah Badan Otorita dan tim infrastruktur, kementerian
terkait, kontraktor, swasta, masyarakat lokal, dan komunitas masyarakat peduli
lingkungan.

A.3. Tahap Kluster Kegiatan


Beberapa tahapan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan ini yaitu:

A.3.1. Penentuan lokasi kegiatan


Lokasi kegiatan restorasi akan mencakup: letak geografis dan administratif,luas,
deliniasi, serta status hukum.
A.3.2. Menggali informasi mengenai existing/baseline condition
Informasi yang dibutuhkan mencakup informasi geobiofisik serta sosialekonomi
dan budaya.

15
A.3.3. Melakukan penyusunan Detail Engineering Design (DED)
Dalam penyusunan DED akan mencakup hal-hal sebagai berikut :

A.3.3.1 Risalah Umum


A.3.3.1.1. Batasan Hutan Tropika Basah
Tipe hutan yang paling luas penyebarannya di Kalimantan adalah hutan dataran
rendah dipterokarpa atau dikenal juga dengan sebutan hutan pamah dipterokarpa
(Lowland Dipterocarp Forest). Tipe hutan ini tumbuh pada tanah podsolik merah kuning
pada elevasi 0-1000 m diatas permukaan laut. Kanopi utama hutan mencapai 30-45m
dengan tinggi pohon hingga 60m. Hutan ini disebut hutan Dipterocarpa karena tipe hutan
ini didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari suku Dipterocarpaceae terutama marga
Anisoptera, Balanocarpus, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea,
Parashorea, Shorea, Upuna, dan Vatica. Tidak jarang dalam satu lokasi, beberapa jenis
Dipterocarpaceae tumbuh bersama-sama dan menguasai kanopi atas.
Sebagian besar jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim basah,
kelembaban tinggi, pada ketinggian tempat 0-800 mdpl, dan curah hujan di atas 2000
mm/tahun dengan musim kemarau yang pendek. Jenis-jenis Dipterocarpaceae juga
sebagian besar tumbuh pada tanah yang kering, bereaksi asam, bersolum dalam dan liat.
Pada kondisi tanah yang asam, perakaran jenis tumbuhan Dipterocarpaceae berasosiasi
dengan ektomikoriza sehingga mereka dapat bertahan hidup dan berkembang. Meskipun
sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae menyukai tanah yang kering dan asam, ada
juga sebagian kecil yang mampu tumbuh pada tanah dengan kondisi berkapur, berpasir
dan gambut.

A.3.3.1.2. Kondisi Biofisik Lokasi Kegiatan


Kondisi biofisik berisi data dan informasi mengenai kondisi lingkungan lokasi
kegiatan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Data dan informasi bifisik tersebut berupa :1). Letak areal
kegiatan;2) kondisi geologi dan jenis tanah;3). Ketinggian tempat dan topografi;4). Kondisi
hidrologi;5). Kondisi tutupan lahan.
Data dan informasi mengenai kondisi biofisik lokasi kegiatan berasal dari Identifikasi
lokasi kegiatan penanaman RHL dilakukan melalui desk analisis peta Verifikasi peta hasil
penapisan dilakukan dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Hasil dari verifikasi
peta tersebut adalah peta indikatif yang akan dijadikan sebagai dasar dalam peninjauan
lapangan (ground check) kondisi riil dilapangan.

A.3.3.1.3. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Data dan informasi yang dikumpulkan mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat sekitar antara lain:1). Data demografi;2).Aksesibilitas;3).Mata pencaharian;4).
Tenaga kerja;5). Kelembagaan masyarakat; 6). Potensi Konflik Masyarakat.
Data yang dikumpulkan berasal dari desk studi, wawancara langsung dan kegiatan
Focus Group Discussion (FGD).

16
A.3.3.2. Tahapan Kegiatan Restorasi
A.3.3.2.1. Kegiatan Pra Penanaman
A.3.3.2.1.1 Pemilihan Jenis dan Komposisi
Penanaman dilakukan secara bertahap dengan komposisi jenis menggunakan pola
campuran tanaman asli dari ekosistem dipterokarpa. Tegakan yang diharapkan adalah
tegakan hutan campuran yang berasal dari jenis dipterokarpa dan non dipterokarpa.
rancangan penanaman menggunakan penanaman campuran dalam satu petak,
penanaman jalur-jalur jenis yang berbeda atau penanaman dalam bentuk blok-blok jenis
yang berbeda.
Untuk jenis-jenis dipterokarpa, di Kalimantan Timur, ada sekitar 8 marga. Marga
tersebut antara lain Shorea (meranti), Dryobalanops (kapur), Dipterocarpus (keruing),
Anisoptera (mersawa), Parashorea (meranti bunga), Cotylelobium (giam), Vatica (resak)
dan Hopea (merawan). Dari marga tersebut ada jenis-jenis yang sudah dikenal untuk
kegiatan penanaman yaitu Shorea balangeran, Shorea leprosula, Shorea parvifolia,
Shorea agamii, Shorea atrinervosa, Shorea ovalis, Shorea pinanga, Dryobalanops
aromatic, Dryobalanops lanceolata, Dipterocarpus borneensis, Dipterocarpus tempehes,
Anisoptera costata, Anisoptera polyandra, Parashorea smythiesii, Parashorea
malaanonan, Cotylelobium burckii, Vatica javanica, Vatica oblongifolia, Hopea
mengarawan, Hopea sangal. Jenis-jenis tersebut biasa ditanam untuk kegiatan rehabilitasi
lahan dan hutan.
Selain jenis dipterokarpa, dalam ekosistem hutan tropika basah di Kalimantan Timur
terdapat jenis-jenis non dipterokarpa yang cukup dikenal dan biasa ditanam juga untuk
kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan, seperti ulin (Eusideroxylon zwageri), gaharu
(Aquilaria mallacensis), pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack), laban (Vitex Pinnata) dari,
parang-parang (Fordia splendidissima), medang (Litsea spp.), mahang (Macaranga
hypoleuca), jambu-jambu (Syzygium spp.), jengkol hutan (Archidendron microcarpum),
pulai (Alstonia spp.), kayu bawang (Cratoxylum sumatranum), Kareumbi (Homalanthus
populneus), dan Arang sungsang (Vernonia arborea).
Untuk jenis pohon penghasil buah asli hutan tropika basah di Kalimantan Timur bisa
dibudidayakan dan ditanam untuk kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan, seperti dari jenis
dipterokarpa penghasil tengkawang yaitu: Shorea macrophylla dan Shorea stenoftera, dan
jenis non dipterokarpa seperti ara (Ficus carica), terap (Artocarpus elasticus), keledang
(Artocarpus Longifolius), kalangkala (Litsea Garciae Vidal), lai (Durio kutejensis (Hassk.)
Becc.). Penanaman tanaman buah asli hutan tropika basah ini diharapkan bisa memacu
pembentukan ekosistem hutan dengan kehadiran satwa liar penyebar biji seperti burung,
kelalawar, babi hutan, dan binatang mamalia lainnya.

A.3.3.2.1.2. Penyiapan Sumber Bibit dan Penyiapan Persemaian


Tersedianya lokasi sumberdaya bibit dipterokarpa dan pemanfaatan persemaian
yang baik dan berkualitas dalam proses pemeliharaan bibit hingga memenuhi standar
bibit yang siap untuk ditanam berdasarkan SNI 8420:2018 mengenai standar bibit
tanaman hutan. Pada SNI 8420:2018, bibit tanaman hutan harus memenuhi persyaratan
umum dan persyaratan khusus. Untuk persyaratan umum, bibit harus memiliki asal usul
benih (harus punya sertifikat asal usul benih dan sertifikat mutu benih), bibit normal
(berbatang tunggal dan lurus, bibit sehat bebas dari hama penyakit dan warna daun
normal), batang bibit telah berkayu. Untuk persyaratan-persyaratan khusus bibit tanaman

17
hutan berdasarkan hasil pengukuran untuk jenis-jenis dipterokarpa yaitu tinggi bibit ≥ 40
cm, diameter pangkal batang bibit ≥ 3,5 cm, jumlah daun atau LCR ≥ 7.
Sumberdaya bibit Dipterokarpa bisa berasal dari sekitar kawasan IKN Nusantara,
yaitu PT. ITCIKU, PT. Balikpapan Wana Lestari, dan hutan lindung Gunung Lumut yang
kaya akan pohon-pohon dari jenis dipterokarpa. Penyiapan bibit dipterokarpa hingga
pemeliharaan sampai dengan siap tanam dapat dilakukan di :1) Persemaian milik PT.
ITCI Hutani Manunggal (IHM) di Kabupaten Penajam Paser Utara Persemaian milik PT.
IHM dengan luas sekitar 10 Ha dan kapasitas persemaian kurang lebih 1 juta bibit.
Persemaian ini merupakan persemaian modern dengan standar internasional sehingga
penyiapan bibit hingga siap tanam dilakukan dengan sangat hati-hati dan profesional; 2)
Persemaian BPDAS dan RH di Kabupaten Penajam Paser Utara Persemaian milik
BPDAS ini rencananya akan dibangun di atas lahan seluas 120 Ha, rencana
lokasinya di kawasan Hutan Produksi Mentawir pada areal IUPHHK-HTI PT. Inhutani
1. Selain itu, untuk kapasitas produksi bibit, direncanakan sebesar 15-20 juta
bibit per tahun;3) Persemaian milik Balai Besar Pengujian Standar Instrumen
Lingkungan Hidup (BBPSILH) di Kota Samarinda Persemain BBPSILH memiliki
luas sekitar 3.479,34 m 2 dengan kapasitas 20 ribu bibit. Meskipun relatif kecil
dari sisi luasan, namun persemaian BBPSILH mempunyai koleksi bibit jenis-
jenis dipterokarpa endemik Kalimantan yang sekarang mulai terancam punah.

A.3.3.2.2. Kegiatan Penanaman


A.3.3.3.2.1. Teknik Pengolahan Lahan
Tantangan yang dihadapi dalam kegaiatan transformasi HTI menjadi hutan tropika
basah Kalimantan adalah resiko rendahnya tingkat keberhasilan revegetasinya. Hal ini
disebabkan antara lain karena kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai jenis-
jenis yang akan dikembangkan, termasuk informasi persyaratan tempat tumbuh dan
teknik silvikulturnya. Untuk mengatasi masalah ini, selain diiperlukan strategi dalam
pemilihan jenis-jenis yang akan dikembangkan juga harus didukung informasi mengenai
persyaratan tumbuhnya. Pohon andalan setempat memiliki kriteria ekologis sesuai
dengan daerah yang bersangkutan, mempunyai nilai ekonomi dan fungsi ekologis, serta
dapat diterima masyarakat sebagai jenis yang akan dikembangkan.
Di samping itu, untuk mendukung keberhasilan kegiatan penanamannya, dalam
kegiatan transformasi HTI menjadi hutan tropika basah Kalimantan, hal-hal yang penting
dilakukan adalah 1) melakukan penataan tanah dengan tujuan untuk pengendalian erosi
dan sedimentasi berupa pembuatan teras pada lahan yang memiliki kelerengan 26–40%,
melakukan pendataran tanah pada daerah yang bergelombang (kelerengan 0–25%); 2)
melakukan perbaikan kesuburan tanah dengan memanfaatkan mikroorganisme, aplikasi
top soil dan soil conditioner. Beberapa perlakuan-perlakuan dalam pengolahan lahan
agar tanaman bisa tumbuh dengan baik bisa dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

18
Tabel 2. Perlakuan pengolahan lahan.
No Perlakuan Dosis
1. Perlakuan pupuk tahun ke-1
Dolomit (kg/lubang/th) 2
Asam humat (gr/lubang/th) 8
Pupuk kandang (kg/lubang/th) 8-16
Biochar (kg/lubang/th) 5
2. Perlakuan pupuk tahun ke-2 2
Asam humat (gr/lubang/th) 8
Pupuk kandang (kg/lubang/th) 8-16
3. Perlakuan pupuk tahun ke-3 2
Asam humat (gr/lubang/th) 8
Pupuk kandang (kg/lubang/th) 8
Keterangan:
* Pemeliharaan sampai tahun ke-3,
* Pemberian amelioran 4x/tahun

A.3.3.3.1.2. Teknik penanaman


Penanaman bibit di lapangan dalam skala yang luas sebaiknya dilakukan pada waktu
musim penghujan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan hidup tanaman
dengan mendapatkan suplai air dan hara yang relatif lebih lama. Selanjutnya diuraikan
alternative teknik penanaman pada beberapa kondisi lahan, sebagai berikut :
a. Kondisi lahan terbuka dengan kondisi tanah datar dan landai (lanskap buatan)
1) Penanaman menggunakan pohon berdiameter besar
Penanaman pohon-pohon dipterokarpa dan jenis-jenis tanaman asli lainnya
dengan diameter ≥ 10cm, menggunakan alat berat (excavator), jarak tanam 10m x
10m dengan lubang tanam 1m x 1m x 1m, pemupukan dengan menggunakan pupuk
kandang dicampur top soil dengan perbandingan 1:1 (Kementerian PUPR 2014).
Skenario teknik penanaman pohon-pohon dipterokarpa dan jenis-jenis tanaman asli
hutan tropika lainnya dengan diameter ≥ 10cm, menggunakan alat berat (excavator)
bertujuan untuk mempercepat proses transformasi lahan HTI menjadi hutan tropika
basah Kalimantan dengan kondisi lahan yang sangat terbuka. Namun demikian
penggunaan alat berat dapat menyebabkan pemadatan/pengerasan tanah dan
merusak tumbuhan bawah/lantai hutan sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan
disekitar akses jalan serta penamanan dalam skala yang luas perlu pertimbangan
ekonomisnya. Jenis tanaman yang banyak dikembangkan penanamannya dengan
ukuran diameter batang besar ≥ 10 cm diantaranya antara lain Alstonia scholaris.
Salah satu contoh penanaman dengan menggunakan pohon berdiameter
besar yaitu pembangunan Taman hutan hujan tropis Indonesia (THHTI) di Kota
Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Pembangunan THHTI ini merupakan salah
satu kegiatan dalam rangka mewujudkan bentuk miniatur hutan tropis ditengah
perkotaan. Penanaman pohon-pohon besar dari jenis-jenis cepat tumbuh (fast
growing) seperti mahoni (Swietenia mahagoni), sengon (Albizia chinensis), trembesi
(Samanea saman), jabon (Neolamarckia cadamba) dan mahoni (Swietenia
mahagoni) bertujuan untuk menciptakan prakondisi iklim mikro yang cocok untuk
tanaman utama dan asli hutan tropika basah. Jenis-jenis tanaman lokal yang telah
ditanam antara lain jenis ulin (Eusideroxylon zwageri), meranti (Shorea sp), anglai
(Intsia bijuga), jenis HHBK (tanaman obat) dan jenis-jenis tanaman rimba campuran.

19
Gambar 1. Penanaman pohon berdiameter besar.

Gambar 2. Pembangunan THHTI kota Banjarbaru, Kalsel


menggunakan pohon besar.

2) Penanaman dengan menggunakan paranet


Penanaman dengan menggunakan paranet 45% atau 55%, agar semua jenis
anakan dipterokarpa dapat tumbuh dengan baik karena dengan adanya paranet
kondisi iklim mikro dapat diatur sesuai dengan yang disukai oleh anakan
dipterokarpa, yaitu suhu lingkungan dibawah 36oC, kelembaban lingkungan 60-80%,
dan intensitas cahaya antara 40-60%. Sumber bibit direkomendasikan dari cabutan
alam dimana perakarannya masih membawa tanah yang mengandung Mikoriza
sehingga dapat bersimbiosis dalam membantu akar untuk menyerap sumber air dan
hara dari tanah.
Bibit yang siap tanam di lapangan merupakan bibit cabutan alam yang sudah
terseleksi. Jarak tanam dapat menggunakan 3m x 3m, 5m x 5m, 6m x 6m, dan 6m x
3m, ditanam selang-seling dengan tanaman Jenis pionir atau pohon non diptrokarpa
dari ekosistem asli hutan dipterokarpa Seperti mahang (Macaranga sp.), kayu ara
(Ficus sp.), jambu-jambuan (Syzygium sp.), katiau (Madhuca malaccensis), parang-
parang (Fordia splendidissima), ulin (Eusideroxylon zwageri), gaharu (Aquilaria
malaccensis). Ukuran lubang tanam 30cm x 30cm x 30cm, pemupukan dengan
menggunakan pupuk kandang sebanyak 1-2 kg/lubang tanam.
20
Gambar 3. Penanaman menggunakan paranet menyeluruh atau
paranet/tanaman.

3) Penanaman tanpa naungan


Penanaman pada kondisi lahan terbuka tanpa naungan, jenis anakan
dipterokarpa yang direkomendasikan adalah S. balangeran. Sumber bibit
direkomendasikan dari cabutan alam dimana perakarannya masih membawa tanah
yang mengandung mikoriza sehingga dapat bersimbiosis dalam membantu akar untuk
menyerap sumber air dan hara dari tanah. Bibit yang siap tanam di lapangan
merupakan bibit cabutan alam yang sudah terseleksi. Penanaman menggunakan
sistim jalur dengan jarak tanam 3m x 3m atau 5m x 5m. Apabila dicampur dengan jenis
pionir atau pohon dari ekosistem asli hutan dipterokarpa, jarak tanam dapat
menggunakan jarak tanam 6m x 6m, 6m x 3m. Jenis pionir atau tumbuhan non
dipterokarpa yang direkomendasikan adalah mahang (Macaranga sp.), laban (V.
pubescens), kayu ara (Ficus sp.), jambu-jambuan (Syzigium sp.), katiau (M.
malaccensis), parang-parang (F. splendidissima), gaharu (A. malaccensis). Ukuran
lubang tanam 40 cm x 40 cm x 40 cm, pemupukan dengan menggunakan pupuk
kandang sebanyak 3-4 kg/lubang tanam.

b. Kondisi lahan semi terbuka dengan kondisi lanskap alami


Penanaman pada kondisi lahan semi terbuka, jenis anakan dipterokarpa yang
direkomendasikan adalah S. balangeran, S. leprosula, D. lanceolata, H. sangal dan P.
smythiesii karena jenis-jenis tersebut mampu tumbuh pada lahan yang masih terbuka
dengan kondisi iklim mikro yang masih kurang bagus. Sumber bibit direkomendasikan
dari cabutan alam dimana perakarannya masih membawa tanah yang mengandung
mikoriza sehingga dapat bersimbiosis dalam membantu akar untuk menyerap sumber
air dan hara dari tanah. Bibit yang siap tanam dilapangan merupakan bibit cabutan alam
yang sudah terseleksi. Penanaman menggunakan sistim jalur dengan jarak tanam 3m
x 3m atau 5m x 5m. Apabila penanaman dicampur dengan jenis non dipterokarpa dari
jenis pionir atau tumbuhan dari ekosistem asli hutan dipterokarpa dapat menggunakan
jarak tanam 6m x 6m atau 6 m x 3m, ditanam selang-seling. Ukuran lubang tanam 40cm
x 40cm x 40cm, pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang sebanyak 3-4
kg/lubang tanam.

21
c. Kondisi lahan sudah ternaungi dengan lanskap alami
Penanaman pada hutan tanaman >2 tahun (sekunder muda) dan kawasan lindung
PT. IHM (hutan sekunder tua), jenis-jenis dipterokarpa yang direkomendasikan adalah
S. leprosula, S. pauciflora, S. parvifolia, S. smithiana, S. maxwelliana, S. macrophylla,
S. atrinervosa, S. ovalis, S. johorensis, D. tempehes, D. stellatus, P. smythiesii, C.
burckii, V. rassak, dan H. mengarawan. Sumber bibit direkomendasikan dari cabutan
alam dimana perakarannya masih membawa tanah yang mengandung mikoriza
sehingga dapat bersimbiosis dalam membantu akar untuk menyerap sumber air dan
hara dari tanah. Bibit yang siap tanam dilapangan merupakan bibit cabutan alam yang
sudah terseleksi. Penanaman menggunakan sistem jalur dengan jarak tanam 10m x
2,5m, 10m x 5m, 6m x 3m, 5m x 5m, dan 2,5m x 2,5m. Ukuran lubang tanam 30cm x
30cm x 30cm; 40cm x 40cm x 30cm. Pemupukan dapat menggunakan pupuk kandang
sebanyak 2-4 kg/lubang tanam, kompos 1 kg/lubang tanam atau pupuk tablet NPK
sebanyak 4 tablet/lubang tanam.
Adapun desain pola tanam campuran jenis dipterokarpa dan non dipterokarpa bisa
dilihat pada Gambar 3 berikut ini :

KETERANGAN

: Tanaman Endemik dan Asli Kalimantan (Intoleran)

: Tanaman pionir

: Tanaman Endemik dan Asli Kalimantan (Toleran)

Gambar 4. Desain pola tanam campuran jenis dipterokarpa dan non dipterokarpa.

A.3.3.2.3. Kegiatan Pemeliharaan


A.3.3.2.3.1. Monitoring pertumbuhan tanaman dan perawatan tanaman
Dalam monitoring atau pemantauan pertumbuhan tanaman utama, ada beberapa
kegiatan yang dilakukan, yaitu:
a. Pengendalian gulma
Pengendalian gulma merupakan pembersihan tanaman bawah berupa
tanaman yang melilit tanaman utama (jenis liana) dan tanaman semak pengganggu
seperti alang-alang (Imperata cylindrica), jukut pahit (Paspalum conjugatum) dan
kirinyuh (Eupatorium odoratum). Hasil pembersihan tanaman gulma dan serasah
yang berlebihan pada jalur tanam, selain untuk pencegahan kebakaran hutan dan
lahan, bisa juga dijadikan bahan kompos untuk diproses sebagai pupuk alami.

22
b. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit harus menggunakan perlakuan alami seperti
penggunaan predator dan pembersihan tanaman utama dari tanaman bawah dan
pengaturan cahaya yang masuk ke tanaman utama agar tidak diserang penyakit
seperti jamur, bakteri, dll.

c. Penyulaman ulang
Penyulaman merupakan kegiatan penggantian tanaman-tanaman yang mati
dengan tanaman yang baru.

d. Pemupukan
Pemupukan dilakukan sebanyak 4 kali dalam setahun khususnya pada fase
pertumbuhan tanaman pada waktu 3 tahun pertama setelah penanaman.

A.3.4. Pembangunan Infrastruktur


Pembangunan infrastuktur meliputi pos jaga, pondok kerja, denah lokasi, jalan
utama, jalan sekunder, drainase jalan, embung, koridor, papan nama, pembangunan plot
pengamatan.

A.3.5. Pengukuran dan pemantauan (pertumbuhan, stok karbon, biodiversitas)


a. Pengukuran tanaman
Pengambilan data dilakukan dari tingkat semai s.d pohon. Untuk tingkat pohon
berdiameter 20 cm ke atas. Tingkat tiang adalah jenis pohon dengan diameter antara
10 cm sampai kurang dari 20 cm, Tingkat pancang adalah jenis-jenis pohon dengan
tinggi lebih dari 1,5 m dan dbh kurang dari 10 cm. Tingkat semai jenis-jenis pohon
dengan tinggi kurang dari 1,5 m. Pengukuran diameter menggunakan pita meter (phi-
band) untuk pohon dan tiang sedangkan tingkat pancang dan semai menggunakan
Califer dan tinggi pohon diukur menggunakan Clinometer dan Stick meter untuk tingkat
semai, pancang dan tiang.

b. Pengukuran cadangan karbon


Pemerintah telah menetapkan target NDC yang harus dipenuhi dalam program
penurunan emisi. Disamping itu juga telah ditetapkan target FOLU Net Sink 2030
dimana Indonesia menargetkan menjadi net sink pada tahun 2030 pada sektor
kehutanan dan berbasis lahan lainnya. Pembangunan hutan tropika basah akan
berkontribusi dalam program ini, sehingga perlu dilakukan pengukuran cadangan
karbon yang dihasilkan pada hutan dipterokarpa yang tengah dibangun ini. Dilakukan
pembuatan Plot Sampel Permanen. Plot Sampel Permanen adalah areal dengan tanda
batas yang jelas dalam suatu petak ukur berbentuk persegi panjang/bujur
sangkar/lingkaran dengan ukuran tertentu yang digunakan untuk pengumpulan dan
pemantauan data secara kontinu. Data yang diambil adalah :1).vegetasi tingkat
permudaan (semai, pancang, dan tiang) meliputi: jenis vegetasi dan jumlah individu tiap
jenis; 2). vegetasi tingkat pohon meliputi: jenis vegetasi, jumlah individu tiap jenis,
diameter setinggi dada (dbh), dan tinggi pohon sampai tinggi bebas cabang; 3).
tumbuhan bawah; 4) pohon mati rebah dan berdiri; 5). Nekromass; 6). serasah dan
tanah. Untuk menghitungan cadangan stok karbon bisa menggunakan hasil
penghitungan Allometrik yang sudah ada. Pembuatan plot sampel permanen dan
penghitungan stok karbon dapat berpedoman pada SNI 7724:2019 tentang Pengukuran
23
dan Perhitungan Cadangan Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penghitungan
Cadangan Karbon Berbasis Lahan (Land based Carbon Accounting) dan SNI
7725:2019 tentang Penyusunan persamaan Alometrik Biomassa Pohon untuk
Penaksiran Cadangan Karbon Berbasis Lahan Berdasar Pengukuran Lapangan.

c. Pengukuran indeks keanekaragaman


Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman (biodiversitas), maka variabel yang
diamati pada masing-masing tingkat pertumbuhan vegetasi sebagai adalah sebagai
berikut: 1). vegetasi tingkat permudaan (semai, pancang, dan tiang) meliputi: jenis
vegetasi dan jumlah individu tiap jenis. 2). vegetasi tingkat pohon meliputi: jenis
vegetasi, jumlah individu tiap jenis, diameter setinggi dada (dbh), dan tinggi pohon
sampai tinggi bebas cabang. Selanjutnya tingkat keanekaragaman dihitung
menggunakan Indeks keanekaragaman jenis dengan menggunakan rumus Indeks
Shannon Wiener. Tingkat keanekaragaman jenis Shannon didefinisikan sebagai
berikut: 1) H′ > 3 = keanekaragaman jenis tinggi pada suatu kawasan; 2) 1 ≤ H′ ≤ 3 =
keanekaragaman jenis sedang; 3) H′ < 1 = keanekaragaman jenis rendah.

A.3.6. Kebijakan Instrumen LHK Sektor FOLU Net Sink


Dalam rangka mendukung kebijakan penurunan emisi pada sektor FOLU, KLHK
telah menterjemahkan komitmen dan kebijakan tersebut ke dalam rencana kawasan
hutan melalui Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) dan rencana pembangunan
melalui Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RKTN
memuat arahan makro pemanfaatan dan penggunaan spasial atau ruang dan potensi
kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di luar kehutanan.
Berdasarkan berbagai pertimbangan diantaranya: a) berbagai perubahan strategis
lingkungan hidup, b) penyesuaian dengan perkembangan paradigma dan tantangan
strategis nasional, regional dan global, c) penyelarasan dengan peraturan perundang-
undangan terkait, d) reformasi struktural pengurusan kehutanan sampai dengan tahun
2030 serta adanya perubahan komitmen global yang salah satunya komitmen penurunan
emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan melalui NDC maka RKTN telah direvisi tahun
2019.
Pembangunan IKN Nusantara memerlukan arahan-arahan pemanfaatan di
kawasan hutan dan perlu dipastikan dalam kegiatan melalui Rencana Strategis
Kementerian dan dipantau serta dievaluasi untuk memastikan program dan kegiatan
kehutanan yang
dilaksanakan di tingkat nasional, daerah sampai dengan tingkat tapak dapat mendukung
pencapaian target penurunan emisi yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana pembangunan nasional.
Untuk itu penyusunan standar restorasi hutan tropika basah menjadi salah satu
arah kebijakan dalam prakontruksi IKN Nusantara dalam rangka meningkatkan mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim. Dalam mendukung kebijakan tersebut telah ditetapkan
dalam kebijakan dan strategi yang menjadi arahan pemanfaatan ruang di kawasan IKN
Nusantara, sebagai upaya pencapaian target sektor FOLU menuju Net Sink yaitu:
kawasan budidaya pola swakelola dan pola kemitraan, serta kawasan lindung.
Transformasi kebijakan yang dapat mendorong perubahan yang sistemik dalam
pemanfaatan lahan berupa restorasi hutan tropika basah ke depannya adalah

24
1) Membentuk hutan alam yang baru melalui penanaman jenis asli dan endemic yang
diarahkan untuk jasa lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan
mengembangkan kebijakan tata ruang rendah karbon;
2) Mendorong terjadinya regenerasi hutan alam terdegradasi, dalam scenario LTS-
LCCP, perlindungan hutan sekunder untuk mengoptimalkan proses regenerasi
memegang bagian penting untuk menuju net sink.
3) Efisiensi penggunaan lahan dan optimasi lahan tidak produktif, melalui penurunan
angka deforestasi sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi penggunaan lahan.
4) Akselerasi kegiatan penyerapan karbon dalam kawasan hutan untuk menjamin
keberlangsungan layanan jasa ekosistem, melalui kegiatan rehabilitasi dan
perlindungan hutan alam tidak hanya berkontribusi pada penyerapan cadangan
karbon, tapi juga menjaga dan meningkatkan jasa lingkungan dari suatu ekosistem
untuk mendukung kegiatan ekonomi pada sektor lain.
5) Kegiatan penguatan basis data sektor FOLU, melalui beragam aksi mitigasi yang
dilakukan harus terukur dan perlu didokumentasikan dalam suatu basis data yang
tertata dan berkualitas, serta memenuhi kaidah kebutuhan Measuring, Reporting and
Verification (MRV) sektor FOLU.

B. URAIAN STANDAR
B.1. BESARAN DAMPAK
B.1.1. Luas Areal
Luas areal pembangunan hutan tropika basah masuk dalam Strategi Lingkungan
Hidup dan Kehutanan di IKN Berdasarkan Key Performance Indicator (KPI), yaitu:
1. Bagian dari 75% kawasan IKN yang ditetapkan menjadi ruang terbuka hijau
(RTH) termasuk hutan kota dengan persentase untuk area hijau yang dilindungi
sekitar 65% dan 10% untuk produksi pangan.
2. Pembangunan hutan tropika basah disesuaikan dengan Permen PU No.5 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan.

B.1.2. Potensi dampak lingkungan


Ada beberapa ancaman yang diperkirakan akan muncul akibat dampak dari
pembangunan IKN Nusantara, beberapa dampak tersebut diantaranya:
a. Gangguan ekologis (perubahan iklim mikro, banjir, longsor, kebakaran hutan dan
lahan, pencemaran air dan udara)
b. Ancaman Kesehatan masyarakat
c. Hilangnya habitat fauna
d. Gangguan terhadap sektor FOLU menuju Net Sink 2030.

B.2. STANDAR PENGELOLAAN & PENGENDALIAN LINGKUNGAN


B.2.1. Bentuk Pengelolaan dan Pengendalian
B.2.1.1. Cara mengelola teknis
a. Kriteria pemilihan jenis vegetasi pohon
Tabel 3. Kriteria jenis vegetasi pohon yang akan dikembangkan

25
No Kriteria Keterangan
1. Jenis asli dan endemik Tanaman khas Kalimantan
Bernilai ekonomi tinggi ▪ Memiliki fungsi multiguna dalam
pemanfaatannya
▪ Memiliki manfaat secara ekonomi
2. Cepat tumbuh tetapi tidak ▪ Efektif dalam menyerap air, unsur hara
memerlukan hara yang banyak dan energi matahari serta CO2
3. Menghasilkan serasah yang ▪ Serasah dapat berperan sebagai mulsa
banyak dan mudah yang dapat membantu meningkatkan
terdekomposisi kelembaban tanah
▪ Mudah terdekomposisi berarti mampu
menyerap air, memiliki kandungan kimia
yang kaya karbohidrat, dan tidak banyak
mengandung lignin serta zat-zat lainnya
yang sulit diuraikan
4. Sistim perakaran yang baik ▪ Mempunyai sistem perakaran dengan
dan mampu bersimbiosis asosiasi tanaman inang dan jamur mikoriza
dengan mikroba tertentu sehingga meningkatkan penyerapan unsur
hara, memperbaiki struktur tanah
meningkatkan toleransi tanaman terhadap
kekeringan juga faktor pengganggu lain,
seperti salinitas tinggi, logam berat, dan
ketidakseimbangan hara
5. Merangsang datangnya vektor ▪ Memiliki daya tarik bagi hadirnya satwa liar
pembawa biji misalnya memiliki bunga, buah, biji atau
daunnya disuka satwa liar
▪ Membantu proses regenerasi
6. Mudah dan murah dalam ▪ Mudah dibudidayakan, ditanam dan
perbanyakan, penanaman dan dipelihara
pemeliharaan

b. Pemilihan metode penanaman (naungan buatan dan alami) dan pemeliharaan.


c. Pemilihan material green building mengacu pada Permen PUPR No. 21 tahun 2021
tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau.
d. Pembangunan dan pengelolaan serapan air (biopori).

B.2.1.2. Peningkatan kesadaran/disiplin


Beberapa kegiatan yang akan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan
kedisiplinan masyarakat pengguna, yaitu:
a. Melakukan sosialisasi kepada para pengguna/stakeholder
b. Pemasangan papan peringatan, arah lokasi, dll
c. Melakukan pengelolaan sampah terpadu didalam hutan kota.

B.2.1.3. Membangun rantai kelola


Beberapa kegiatan untuk membangun rantai kelola yang baik, yaitu:
a. Pemberdayaan masyarakat sebagai pengawas, pelaksana, dan pengguna (PP
Nomor 26 tahun 2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan).

26
b. Pembentukan unit pembangunan dan pengelolaan hutan alam tropika dibawah
Badan Otorita IKN Nusantara.
B.2.2. Lokasi
Lokasi kegiatan direncanakan pada Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN
pada zonasi RTH rimba kota, dan wilayah penyanggah IKN yang berdampingan dengan
areal budidaya HTI dan kawasan lindung PT IHM.

B.2.3. Periode Pengelolaan


Waktu kegiatan dilakukan dimulai tahap awal pembangunan IKN Nusantara.

B.3. STANDAR PEMANTAUAN HUTAN


B.3.1. Bentuk Pemantauan
B.3.1.1. Cara-cara pemantauan teknis
Beberapa cara pemantauan teknis yang akan dilakukan dalam pembangunan hutan
tropika basah, yaitu:
a. Pengukuran luasan tutupan tajuk.
b. Analisis land surface temperature
c. Pengukuran dan pemantauan stok karbon dan biodiversitas yang terdiri dari:
▪ Pengukuran cadangan stok karbon
▪ Pengukuran indeks keanekaragaman
B.3.1.2. Indikator kualitas hutan tropika
Beberapa indikator yang akan dilihat dalam pembagunan hutan tropika basah, yaitu:
a. Database hutan tropika di PUP (karbon untuk FOLU Net Sink 2030, struktur dan
komposisi tegakan).
b. Pengukuran indeks rawan kebakaran.
c. Pengukuran indeks kualitas air dan udara.
d. Pengukuran indeks keanekaragaman hayati
B.3.1.3. Survei dampak
Kegiatan survei yang akan dilakukan untuk melihat dampak pembangunan hutan
tropika basah bagi manusia dan lingkungan, yaitu:
a. Survei dampak kesehatan masyarakat
b. Survei dampak lingkungan
B.3.2. Lokasi
Lokasi kegiatan pemantauan dilakukan pada Kawasan Inti Pusat Pemerintahan
(KIPP) IKN pada zonasi RTH hutan perkotaan, dan wilayah penyanggah IKN yang
berdampingan dengan areal budidaya HTI dan kawasan lindung PT IHM.
B.3.3. Periode Pemantauan
B.3.3.1. Waktu pantau minimal
Kegiatan pemantauan akan dilakukan satu kali dalam 3 (tiga) bulan oleh Badan
Otoritas IKN Nusantara. Hasil pemantauan disampaikan ke KLHK (cq. BSI KLHK) dan
Badan Otorita IKN. Adapun beberapa contoh jenis-jenis anakan dipterokarpa yang
dapat dikembangkan dalam kegiatan “Transformasi HTI menjadi Hutan Tropika Basah”
pada kawasan Ibu Kota Negara Nusantara yang bisa dilihat pada gambar 5 s.d 12.

27
Gambar 5. Anakan Shorea balangeran, S. leprosula, S. laevis

Gambar 6. Anakan Shorea johorensis, S. parvifolia, S. ovalis

Gambar 7. Anakan Shorea smithiana, S. parvistipulata, S. seminis

28
Gambar 8. Anakan Shorea beccariana, S. pinanga, S. macroptera

Gambar 9. Anakan Shorea mecistopteryx, S. macrophylla, S. stenoftera


senofteramacroptera

Gambar 10. Anakan D. lanceolata, D. pachyphyllus, D. littoralis

29
Gambar 11. Anakan Hopea odorata, Anisoptera sp, Vatica sp

Gambar 12. Anakan Dryobalanops lanceolata, P. malaanonan

30
Daftar Pustaka

Armundito, E. 2022. Arah Standar Bidang Lingkungan Hidup dalam Mendukung Ekonomi
Sirkular dan Ibu Kota Negara. Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur. 2020. Inventarisasi SDA Dan
Lingkungan Hidup Dalam Rangka Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Di Provisi
Kalimantan Timur. Disampaikan secara Daring (Video Konferensi) Direktorat
Pencegahan Dampak Lingkungan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Fajri, M. 2022. Menggagas Ide Miniatur Hutan Dipterokarpa Ibu Kota Negara Nusantara.
Standar, 1 (2): 4-14. ISSN : 2827-9867.
Fajri, M. 2008. Pengenalan umum Dipterocarpaceae, kelompok jenis bernilai ekonomi
tinggi. Info Teknis Dipterokarpa 2(1): 9-21.
Hermawan, B., Junaidah, & Priyanto, E. 2017. Taman Hutan Hujan Tropis Indonesia.
Kerjasama Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan, Balai penelitian dan
Pengembangan Banjar Baru dengan Dinas Kehutanan Provinsi kalimantan Selatan.
Newman, M F. et al. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae Pulau
Kalimantan. Prosea.
Ngatiman, Saridan, A. 2012. Ekplorasi jenis-jenis dipterokarpa di Kabupaten Paser,
Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 6(1): 1-10
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 23. 2021. Tentang Pelaksanaan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Primiantoro, E.T. 2022. Konsep Awal Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Di Wilayah Ibu Kota Negara. Kementerian lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
PT. ITCI Hutani Manunggal. 2019. Laporan hasil inventarisasi kawasan lindung PT. IHM.
Tidak diterbitkan.
PT. ITCI Hutani Manunggal. 2017. Profil PT. ITCI Hutani Manunggal.
Sari, N. dan Karmilasanti. (2015). Kajian tempat tumbuh jenis Shorea smithiana, S.
johorensis dan S. leprosula di PT. ITCI Hutani Manunggal, Kalimantan Timur. Jurnal
Penelitian Ekosistem Dipterokarpa 1(1):15-28.
Standar Nasional Indonesia No 8420. 2018. Tentang Bibit tanaman hutan. Badan Standar
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3. 2022.tentang Ibu Kota Negara.
Wahyudi, A., Fajri, M. 2016. Karakteristik kondisi habitat dan keragaman jenis
dipterocarpaceae pada hutan tropika dataran rendah. Prosiding Ekspose Hasil- Hasil
Penelitian B2P2EHD.

31
ISTILAH DAN DEFINISI

Dipterokarpa : Suku meranti-merantian merupakan sekelompok tumbuhan


pantropis yang anggota-anggotanya banyak dimanfaatkan
dalam bidang perkayuan
Forest City : Kota hutan yang didominasi oleh bentang lanskap
berstruktur hutan
Hutan Tropika basah : Hutan yang selalu basah atau lembap, yang dapat ditemui di
wilayah sekitar khatulistiwa
Koridor : Jalan penghubung
Restorasi : Pengembalian atau pemulihan sesuatu kepada bentuk dan
kondisi semula
RTH : Area atau jalur dalam kota/wilayah menjadi tempat tumbuh
Tanaman baik secara alamiah ataupun yang sengaja
ditanami
SNI : Standar yang berlaku secara nasional di Indonesia yang
dirumuskan Oleh Komite Teknis Perumusan SNI dan
ditetapkan oleh BSN
Smart City : Kota cerdas/pintar yang membantu masyarakat yang berada
di dalamnya dengan mengelola sumber daya yang ada
dengan efisien dan memberikan informasi yang tepat
kepada masyarakat/lembaga dalam melakukan kegiatannya
atau pun mengantisipasi kejadian yang tak terduga
sebelumnya

32
Lampiran 1. Detil Teknis Kegiatan Standar Restorasi Hutan Tropika Basah di IKN
Nusantara

Lokasi Teknis Tahapan Teknis Pengelolaan Indikator Keberhasilan Verifier


1. Areal Budidaya Pola A.Detail Engineering Design A. Detail Engineering A. Detail
swakelola seluas
1. Pra kegiatan Design Engineerig
±34.209 Ha (83,62%) - Identifikasi kondisi biofisik lokasi 1. Pra kegiatan Design
kegiatan (peta eksisting dari - Diperolehnya Peta - Dokumen
2. Areal Budidaya Pola KLHK, Ground chek, dan uji lab kondisi biofisik lokasi rancangan
Kemitraan seluas ±1.624 untuk kondisi tanah). kegiatan. kegiatan.
Ha (3,97%) - Idendifikasi kondisi sosekbud - Diperolehnya data dan - Lokasi kegiatan
masyarakat sekitar informasi kondisi penanaman.
3. Kawasan Lindung seluas (wawancaradan FGD). soksekbud masyarakat
±5.079 Ha (12,41%). - Lokasi kegiatan. sekitar lokasi kegiatan. B. Standar
2. Rancangan kegiatan Penanaman 2. Kegiatan Penanaman pengelolaan
a. rancangan penyediaan bibit - Tersedianya bibit dan
- Menentukan lokasi persemaian. sesuai dengan pengendalian
- Pemilihan jenis dan komposisi komposisi dan jenis lingkungan
jenis tanaman. yang dibutuhkan. - Dokumen hasil
- Penentuan kebutuhan tanaman. - Bibit yang tersedia uji lab
- Kegiatan pemeliharaan bibit sesuai dengan SNI lingkungan.
tanaman dipersemaian. 8420:2018, bibit
b. Rancangan penanaman tanaman hutan. C. Standar
- Penyiapan lahan. - Tersedianya lahan pemantauan
- Penyiapan bahan dan peralatan. yang siap tanaman. hutan
- Kegiatan penanaman (pembuatan - Tersedianya bahan dan - Peta tutupan
lobang tanam, pemberian pupuk peralatan kegiatan lahan .
dasar/media tanam, distribusi bibit penanaman. - Database
kelubang tanam dan kegiatan - Persentase tumbuh kondisi iklim
penanaman bibit). tanaman minimal 80 %. mikro .
c. Rancangan Pemeliharaan 3. Kegiatan pemeliharaan - Database hasil
- Pengendalian gulma. - terkendalinya gulma. pengukuran dan
- Pengendalian hama pema - terkendalinya hama pemantauan
penyakit. penyakit. stok karbon dan
- Penyulaman ulang. - tersedianya bibit biodiversitas.
- Pemupukan. sulaman
3. Rancangan anggaran kegiatan - tersedianya pupuk
Restorasi. sesuai dengan
- Biaya pra kegiatan. kebutuhan.
- Biaya kegiatan penanaman.
- Biaya kegiatan pemeliharaan. B. Standar pengelolaan
dan pengendalian
A. Standar pengelolaan dan lingkungan
pengendalian lingkungan - Tidak terjadi
- Penyiapan bibit ramah lingkungan pencemaran
- Penyiapan lahan ramah lingkungan.
lingkungan. - Tidak terjadi erosi.
- Kegiatan penanaman ramah - Tidak terjadi banjir.
lingkungan.
- Kegiatan pemeliharaan ramah C. Standar pemantauan
lingkungan. hutan
- Meningkatnya tutupan
B. Standar pemantauan hutan lahan.
- Pengukuran luasan tutupan tajuk. - Meningkatnya
- Analisis land surface temperature. biodiversitas.
- Pengukuran dan pemantauan stok - Meningkatnya stok
karbon dan biodiversitas. karbon
- Terjadinya perbaikan
kondisi iklim mikro.

33

Anda mungkin juga menyukai