Anda di halaman 1dari 43

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hutan diklat Sisimeni Sanam sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk
kediklatan memiliki karakteristik yang mirip seperti daerah lain di Provinsi NTT pada
umumnya. Dengan curah hujan yang rendah, tutupan vegetasi yang tidak terlalu rapat serta
tipe tanah lempung yang mudah tererosi, sebagian wilayahnya merupakan areal terbuka
berupa savanna atau hutan sekunder. Kondisi biofisik yang rentan ini menjadikan kawasan
hutan diklat berpotensi menjadi lahan kritis jika tidak dikelola dengan tepat.
Tekanan dari masyarakat sekitar hutan diklat juga turut menambah potensi kerentanan
tersebut dan dapat menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan. Pola penggembalaan ternak
milik masyarakat, khususnya ternak sapi, yang dibiarkan bebas memasuki kawasan hutan
merusak tumbuhan bawah dan anakan beberapa jenis pohon. Pembukaan lahan dengan cara
dibakar juga berpotensi ikut terbakarnya kawasan hutan yang letaknya berdekatan dengan
ladang masyarakat. Pencurian bambu untuk tujuan komersil juga dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem di htan diklat.
Hingga penelitian ini dilakukan, kondisi dan tingkat kekritisan kawasan hutan diklat sisimeni
sanam belum dipetakan. Padahal pemetaan kondisi kawasan berdasarkan tingkat
kekritisannya perlu dilakukan sebagai salah satu tool untuk mempermudah pengambilan
keputusan dalam kegiatan pengelolaan kawasan.
Selain memiliki fungsi ekologi, hutan diklat sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus
kediklatan juga memiliki fungsi sebagai sarana pendukung proses pembelajaran dalam diklat.
Beberapa jenis diklat, khususnya yang terkait dengan kegiatan perencanaan hutan seperti:
diklat Rancangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), diklat inventarisasi hutan, dan diklat
Sistem Informasi geografis bagi Analis, juga memanfaatkan keberadaan HD Sisimeni Sanam
sebagai lokasi praktik.



Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 2

Namun kawasan hutan diklat sisimeni sanam belum memberi kontribusi yang optimal
sehingga proses pembelajaran pun berjalan kurang optimal. Hal ini disebabkan karena data
spasial kawasan hutan diklat yang detail dan akurat belum tersedia. Kalau pun ada sifatnya
masih sangat umum.
Berdasarkan kedua masalah tersebut di atas, diperlukan suatu penelitian yang mengkaji
kondisi biofisik kawasan hutan diklat yang lebih spesifik, khususnya yang berkaitan dengan
tingkat kekritisan lahan, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan dan
lokasi praktek pembelajaran. Selain itu Informasi yang diperoleh juga dapat digunakan
sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan pengelolaan kawasan
hutan diklat.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat Sisimeni Sanam
2) Memberikan rekomendasi pemanfaatan data spasial untuk kegiatan pembelajaran serta
pengelolaan lahan kritis di Hutan Diklat Sisimeni Sanam

C. MANFAAT
Hasil yang didapat dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk:
1) Bahan pertimbangan dalam melakukan pengelolaan kawasan
2) Sumber data dan informasi spasial kawasan Hutan Diklat untuk kegiatan diklat yang
relevan (RHL, Konservasi Tanah, GIS bagiAnalis, dan sebagainya)
3) Data awal untuk kegiatan penelitian lain/lanjutan

D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tujuan serta manfaat penelitian yang ingin dicapai, beberapa rumusan masalah
yang dapat ditarik antara lain:
1) Bagaimana kondisi tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat saat ini ?
2) Bagaimana langkah tindak lanjut pengelolaan kawasan dan rekomendasi pemanfaatan
data spasial untuk kegiatan pembelajaran ?

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 3

E. BATASAN PENELITIAN
Penelitian ini difokuskan pada penilaian tingkat kekritisan lahan Hutan Diklat Sisimeni
Sanam yang mengacu pada Permenhut No 32 Tahun 2009 tentang cara penyusunan
RTkRHL DAS. Beberapa istilah untuk penamaan penutupan lahan mengikuti penamaan
yang diberikan oleh Bakosurtanal (Badan Informasi dan Geo-spasial).

F. PENGERTIAN DAN ISTILAH
Beberapa pengertian dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Lahan Kritis
Lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau
berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut
disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatikan teknik
konservasi tanah, tata air dan lingkungan
2. Penutup Lahan
Penutup lahan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu kenampakan
lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia.
3. Hutan
Lahan di mana pohon mendominasi tipe vegetasi di dalamnya
4. Hutan Lahan Kering
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan
dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi
5. Semak Belukar
Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi dengan berbagai vegetasi alami heterogen
dan homogen dengan tingkat kerapatan jarang sampai rapat. Kawasan tersebut didominasi
vegetasi rendah (alami)
6. Permukiman/Lahan Terbangun
Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan orang.


Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 4

7. Overlay
Proses menumpangsusunkan (mengombinasikan) dua input data layer untuk
menghasilkan sebuah layer baru (layer ke tiga)
8. Erosi
Proses berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat ke
tempat lain oleh media alami (air atau angin)





















Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 5

G. KERANGKA PEMIKIRAN

Latar Belakang










Rumusan Masalah


Analisis




Hasil Penelitian




Data spasial peta lahan kritis
Rekomendasi untuk
Pengelolaan kawasan
Rekomendasi pemanfaatan
data spasial untuk
kegiatan pembelajaran
Tingkat kekritisan lahan
Kelerengan Penutupan lahan Tingkat erosi Manajemen kawasan
1. Bagaimana kondisi tingkat kekritisan lahan di Hutan Diklat saat ini?
2. Bagaimana langkah tindak lanjut dan rekomendasi pengelolaan selanjutnya?

Penelitian tingkat kekritisan lahan di kawasan hutan diklat
Data spasial tingkat kekritisan lahan di kawasan Hutan Diklat
dibutuhkan untuk pengelolaan dan mendukung diklat

Diklat bidang perencanaan
belum berjalan optimal
Tekanan masyarakat terhadap
keberadaan kawasan hutan
diklat cukup tinggi
Kondisi dan tingkat kekritisan kawasan
hutan diklat saat ini belum terpetakan
Data spasial dalam mendukung
pembelajaran belum tersedia
Biofisik kawasan
Hutan Diklat
potensial kritis
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 6

BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Lahan
Pengertian lahan menurut FAO and IIRR (1995) adalah suatu daerah dipermukaan
bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi,
hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang,
sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti
terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Menurut FAO and IIRR (1995), lahan memiliki banyak fungsi yaitu :
a. Fungsi Produksi
Sebagai basis bagi berbagai sistem penunjang kehidupan, melalui produksi biomassa
yang menyediakan makanan, pakan ternak, serat, bahan bakar kayu dan bahan-bahan
biotik lainnya bagi manusia, baik secara langsung maupun melalui binatang ternak
termasuk budidaya kolam dan tambak ikan.
b. Fungsi Lingkungan Biotik
Lahan merupakan basis bagi keragaman daratan (terestrial) yang menyediakan habitat
biologi dan plasma nutfah bagi tumbuhan, hewan dan jasad mikro diatas dan dibawah
permukaan tanah.
c. Fungsi Pengatur Iklim
Lahan dan penggunaannya merupakan sumber (source) dan rosot (sink) gas rumah kaca
dan menentukan neraca energi global berupa pantulan, serapan dan transformasi energi
radiasi matahari dan daur hidrologi global.
d. Fungsi hidrologi
Lahan mengatur simpanan dan aliran sumberdaya air tanah dan air permukaan serta
mempengaruhi kualitasnya.
e. Fungsi penyimpanan
Lahan merupakan gudang (sumber) berbagai bahan mentah dan mineral untuk
dimanfaatkan oleh manusia.


Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 7

f. Fungsi pengendali sampah dan polusi
Lahan berfungsi sebagai penerima, penyaring, penyangga dan pengubah senyawa-
senyawa berbahaya.
g. Fungsi ruang kehidupan
Lahan menyediakan sarana fisik untuk tempat tinggal manusia, industri, dan aktifitas
sosial seperti olahraga dan rekreasi.
h. Fungsi peninggalan dan penyimpanan
Lahan merupakan media untuk menyimpan dan melindungi benda-benda bersejarah dan
sebagai suatu sumber informasi tentang kondisi iklim dan penggunaan lahan masa lalu.
i. Fungsi penghubung spasial
Lahan menyediakan ruang untuk transportasi manusia, masukan dan produksi serta untuk
pemindahan tumbuhan dan binatang antar daerah terpencil dari suatu ekosistem alami.
Sifat-sifat lahan terdiri dari beberapa bagian yaitu karakteristik lahan, kualitas lahan,
pembatas lahan, persyaratan penggunaan lahan, perbaikan lahan (Jamulya, 1991:2 dalam
Mahfudz, 2001).
a. Karakteristik lahan
Karakteristik lahan adalah suatu parameter lahan yang bisa diukur atau diestimasi,
misalnya kemiringan lahan, curah hujan, tekstur tanah dan struktur tanah. Satuan
parameter lahan dalam survey sumberdaya lahan pada umumnya disertai deskripsi
karakteristrik lahan.
b. Kualitas lahan
Kualitas lahan mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu.
Kualitas lahan dinilai atas dasar karakteristrik lahan yang berpengaruh pada suatu
kualitas lahan tertentu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada kualitas lahan lainnya.
c. Pembatas lahan
Pembatas lahan merupakan faktor pembatas jika tidak atau hampir tidak dapat memenuhi
persyaratan untuk memperoleh produksi yang optimal dan pengelolaan dari suatu
penggunaan lahan tertentu. Pembatas lahan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1)
pembatas lahan permanen, pembatas lahan yang tidak dapat diperbaiki dengan usaha-
usaha perbaikan lahan (land improvement). (2) pembatas lahan sementara, pembatas
lahan yang dapat diperbaiki dengan cara pengelolaan lahan.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 8

d. Persyaratan penggunaan lahan
Persyaratan penggunaan lahan dapat dikelompokkan beberapa bagian, yaitu :
(1) Persyaratan ekologikal, contohnya ketersediaan air, ketersedian unsur hara,
ketersedian oksigen, resiko banjir, lingkup temperatur, kelembaban udara dan periode
kering.
(2) Persyaratan pengelolaan, contohnya persiapan pembibitan dan mekanisasi selama
panen.
(3) Persyaratan konservasi, contohnya kontrol erosi, resiko komplen tanah, resiko
pembentukan kulit tanah.
(4) Persyaratan perbaikan, contohnya pengeringan lahan, tanggap terhadap pemupukan.
e. Perbaikan lahan
Perbaikan lahan adalah aktifitas yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas lahan pada
sebidang lahan untuk mendapatkan keuntungan dalam meningkatkan produksi pertanian.
Perbaikan lahan mutlak dilakukan agar kualitas lahan dapat terus terjaga dan bermanfaat
bagi generasi yang akan datang.

B. Evaluasi Lahan
a. Konsep Dasar
Evaluasi Lahan adalah proses pengukuran, pencatatan dan pengumpulan
keterangan mengenai suatu areal tanah untuk mengevaluasi kegunaannya.
Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan
tanah atau sumber daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah serta
fisik lingkungan untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Sejalan dengan dibedakannya
macam dan tingkat pemetaan tanah, maka dalam evaluasi lahan juga dibedakan menurut
ketersediaan data hasil survei dan pemetaan tanah atau survei sumber daya lahan lainnya,
sesuai dengan tingkat dan skala pemetaannya.
Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu biasanya dievaluasi dengan
karakteristrik lahan atau kualitas lahan. Karakteristrik lahan merupakan kelengkapan
lahan itu sendiri, yang dapat dihitung atau diperkirakan seperti curah hujan, tekstur tanah
dan ketersediaan air, sedangkan kualitas lahan lebih merupakan sifat tanah yang lebih
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 9

kompleks, seperti kesesuaian kelembaban tanah, ketahanan terhadap erosi dan bahaya
banjir (FAO, 1977 dalam Nasution, 2005).
Dent and Young (1987) dalam Nasution (2005) menyatakan bahwa evaluasi lahan
suatu proses untuk memprakirakan potensi lahan untuk penggunaan tertentu termasuk
didalamnya penggunaan lahan untuk tanaman pangan, perkebunan, daerah turis,
pemukiman dan daerah konservasi. Dengan demikian dengan mengevaluasi lahan
diperlukan banyak ahli dalam bidangnya masing-masing, sebagai contoh dalam evaluasi
lahan untuk pertanian memerlukan ahli dalam bidang tanah, agronomi, hidrologi, biologi
dan ekologi yang dibentuk menjadi satu tim yang akan mengambil keputusan dalam
menentukan kesesuaian lahan.
b. Prinsip-prinsip Evaluasi Lahan
Dasar prinsip dari kerangka kerja evaluasi lahan adalah : 1) Kesesuaian lahan
dinilai dan diklasifikasikan sesuai dengan penggunaan lahan yang direncanakan, 2)
Evaluasi memerlukan suatu perbandingan antara keuntungan yang akan diperoleh dan
masukan yang diberikan terhadap lahan, 3) Pendekatan multi disiplin, 4) Evaluasi
dilaksanakan dengan pertimbangan berbagai faktor fisik, kimia tanah, ekoomi dan sosial,
5) Kesesuaian telah memperhitungkan keberlanjutan penggunaan lahan, dan 6) Evaluasi
meliputi berbagai pilihan penggunaan lahan.

C. Lahan Kritis
a. Definisi
Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kemerosotan kesuburannya atau
lahan yang dalam proses kemunduran kesuburan baik secara fisik maupun kimia dan
biologi. Sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan
peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.
Lahan kritis memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung pada
penyebab kerusakan lahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis
menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara, kondisi fisik tanah
yang tidak memungkinkan akar berkembang dan proses infiltrasi air hujan, kandungan
garam yang tinggi akibat akumulasi garam sekunder atau intrusi air laut yang
menyebabkan plasmolisis, atau tanaman keracunan oleh unsur toksik yang tinggi. Lahan
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 10

kritis ditandai oleh rusaknya struktur tanah, menurunnya kualitas dan kuantitas bahan
organik, defisiensi hara dan terganggunya siklus hidrologi, perlu direhabilitasi dan
ditingkatkan produktivitasnya agar lahan dapat kembali berfungsi sebagai suatu
ekosistem yang baik atau menghasilkan sesuatu yang bersifat ekonomis bagi manusia.
b. Faktor Penyebab Lahan Kritis
1. Perambahan hutan
2. Penebangan liar (illegal logging)
3. Kebakaran hutan
4. Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian
5. Penataan zonasi kawasan belum berjalan
6. Pola pengelolaan lahan tidak konservatif
7. Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan)
Penebangan hutan yang tidak terkendali yang diikuti perladang berpindah akan
berakibat; (a) Lahan terbuka, sehingga butiran hujan akan langsung menerpa tanah dan
butiran tanah akan hancur dan terlepas; (b) Aliran permukaan akan menghanyutkan
butiran tanah yang terlepas, sekaligus membawa humus dan unsur hara; (c) Hanyutnya
butiran tanah, humus dan unsur hara akan menurunkan kesuburan tanah; dan (d)
Pengelolaan lahan dengan tanaman yang sama terus menerus tanpa adanya usaha
mengembalikan unsur hara yang terbawa dari hasil panen akan mengakibatkan
pengurasan hara tertentu yang akan mengganggu keseimbangan hara dalam tanah, hal ini
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Pembakaran yang tidak terkontrol terutama dalam persiapan lahan akan
mengakibatkan: (a) Hilangnya sumber bahan organik dan humus tanah; (b)
Terganggunya kehidupan dan kegiatan jasad renik; (c) Hilangnya unsur hara tertentu
seperti Nitrogen; dan (d) Menurutnya fungsi penyimpangan dan penyediaan air serta
hara.
Erosi merupakan peristiwa pelepasan butiran tanah dan pengangkutan butiran tanah
oleh air dan angin. Erosi tanah mirip dengan merantau, hanya saja tanah yang merantau
tidak pulang atau kembali ketempat semula. Erosi yang tidak terkendali mengakibatkan;
(a) Hilangnya lapisan atas tanah; (b) Hanyutnya unsur hara tanah; (c) Terjadinya
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 11

pendangkalan sungai, waduk dan muara suangai; dan (d) Polusi lingkungan akibat bahan
beracun yang terakumulasi.
Modal yang kurang akan mempengaruhi kemampuan petani untuk membeli saprodi
usahataninya, terutama pupuk. Kurangnya pupuk yang diberikan maka akan terjadi
pengurasan hara setia panen. Hal ini akan mempercepat mundurnya kesuburan tanah,
sehingga secara perlahan-lahan akan menjadi kritis.
Ilmu/informasi yang kurang menyebabkan lahan dikelola secara tradisional atau
seadanya, sehingga produktivitas menjadi berkurang. Bahaya kemunduran kesuburan
akan semakin tinggi akibat kurang tepatnya pengelolaan tanah dan tanaman, terutama
dalam usaha menekan erosi dan pengembalian biomas/sisa tanaman.
Sosial/faktor dan status tanah yang komplek, kesadaran dan motivasi yang kurang
juga akan mempercepat lahan menjadi kritis. Tanah ulayat/tanah nagari sering tidak
dikelola secara baik. Ini disebabkan banyak hal, terutama kekurangan tenaga penggarap,
sehingga lahan tersebut dibiarkan terbuka. Belum adanya aturan yang jelas tentang
pembagian hasil bila seseorang menanam tanaman keras/ tahunan pada tanah
ulayat/nagari sehingga penggarap hanya mau menanam tanaman semusim. Secara umum,
tanah ulayat dan nagari ini mempunyai kelerengan yang tajam yang selalu terancam erosi
dimusim hujan bila tidak ada tanaman tahunan sebagai pengendali erosi.
c. Karakteristik Lahan Kritis
Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-
batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng
curam (Hakim, 1985). Tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat
kemasaman tanah, kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation
(KT), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang
dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis
ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasinya dengan sifat-sifat lahan
padang alang-alang memiliki pH tanah relatif rendah sekitar 4,8-6,2, mengalami
pencucian tanah tinggi, ditemukan rizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan
mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi alelopati dari akar rimpang alang-
alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada lahan tersebut.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 12

Pada umumnya, penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin (sedikit
kesempatan untuk memperoleh income), yang disebabkan pemberdayaan tanah kritis
tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya
kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang
terdegradasi. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan
melibatkan penduduk dan kelembagaan.
d. Akibat dari lahan kritis
1. Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang
yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau.
2. Terjadinya arus permukaan tanah pada waktu musim hujan yang mengakibatkan
bahaya banjir dan longsor.
3. Menurunnya kesuburan tanah, dan daya dukung lahan serta keanekaragaman hayati
4. Krisis air bersih
5. Meluasnya penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah, dan diare
6. Kebakaran hutan
7. Hilangnya jutaan spesies flora dan fauna karena tidak mampu beradaptasi dengan
perubahan suhu bumi.













Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 13

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kawasan Hutan Diklat Sisismeni Sanam,
Camplong, Kabupaten Kupang pada bulan September-November 2013. Luas hutan diklat
Sisimeni Sanam sebesar 2.973,2 ha. Berdasarkan batas administrasi desa, Hutan Diklat
Sisimeni Sanam terdiri dari 5 (lima) yaitu Desa Benu, Ekateta, Sillu, Oesusu dan Desa
Camplong II. Berikut ini proporsi luas kawasan hutan diklat berdasarkan batas administrasi
desa ;









Gambar 1. Proporsi luas kawasan hutan diklat berdasarkan batas desa

B. Alat dan Bahan
a) Komputer
b) Software ArcGIS 10
c) Peta Penggunaan Lahan
d) Peta jenis tanah
e) Citra ASTER GDEM
f) Citra Google Earth
g) GPS
h) Blangko pengukuran lapangan

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 14

C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan atau analisis
data, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber/instansi maupun penelitian
terdahulu.
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Penelitian
No Jenis Data Cara Pengumpulan Sumber Data
1 Peta Penggunaan Lahan Data Sekunder BAKOSURTANAL, Peta RBI
2 Peta Jenis Tanah Data Sekunder BPDAS Benanin Noelmina
3 Peta kelas lereng Data Primer Citra Aster GDEM
4 Erosi Data Primer Analisis Data
5 % Penutupan Tajuk Data Primer Peta Penggunaan Lahan
6 Manajemen Data Primer Wawancara

D. Teknik Penelitian
Konsep dasar penelitian evaluasi lahan adalah mengelompokkan unit terkecil dari
suatu lahan yang memiliki karakteristik biofisik yang sama. Kesamaan karakteristik biofisik
ini akan menjadi dasar dalam pengelolaannya. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2007), unit lahan yang memiliki karakteristik biofisik yang sama akan memiliki kesamaan
dalam hal : (a) kemampuan memproduksi tanaman (b) tindakan konservasi dan pengelolaan
(c) tanaman yang ditanam pada lahan tersebut dengan pengelolaan yang sama akan
memberikan hasil yang kurang lebih sama. Penelitian ini akan menilai tingkat kekritisan
lahan dengan mempertimbangkan faktor kelerengan, erosi, penutupan lahan dan
manajemen/pengelolaan kawasan. Penentuan kekritisan lahan tersebut mengacu pada
Permenhut No.32 Tahun 2009 tentang tata cara penyusunan RTkRHL-DAS. Berdasarkan
kriteria tersebut, kemudian dilakukan pembobotan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan.
Tabel 2. Persentase Pembobotan Kriteria Lahan Kritis.
No Kriteria Pembobotan (%)
1 Penutupan Lahan 50%
2 Lereng 20%
3 Erosi 20%
4 Manajemen 10%
Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 15

Tabel 3. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan
No Tingkat Kekritisan Lahan Besarnya Nilai
1 Sangat kritis 120-180
2 Kritis 181-270
3 Agak kritis 271-360
4 Potensial kritis 361-450
5 Tidak Kritis 451-500
Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

E. Pengumpulan Data
1. Erosi :
Dalam persamaan penaksiran jumlah erosi dengan metode Universal Soil Loss
Equation (USLE) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi adalah erosivitas
hujan (hujan), erodibilitas tanah (tanah), panjang dan kemiringan lereng (lereng),
faktor tanaman dan konservasi tanah (pengunaan lahan). Dengan mempertimbangkan
keterbatasan yang ada, pendekatan yang digunakan untuk menilai tingkat erosi dalam
penelitian ini, didasarkan hanya pada pada faktor kelerengan, jenis tanah serta
penutupan tanahnya saja. Faktor curah hujan diasumsikan sama karena areal hutan
diklat yang relatif kecil dan kompak, sedangkan teknik konservasi tanah diasumsikan
untuk semua unit lahan adalah sama karena pada umumnya di dalam kawasan hutan
tidak ada tindakan konservasi tanah layaknya di lahan pertanian.
Metode yang digunakan dalam penentuan tingkat erosi adalah dengan melakukan
skoring terhadap faktor lereng, tanah serta penggunaan lahannya. Hasil ketiga skor
tersebut kemudian ditambahkan. Range (jangkauan) dari nilai tersebut kemudian
dibagi menjadi 4 (jumlah kelas erosi), sehingga diperoleh empat kelas tingkat erosi
mengacu pada parameter erosi pada tingkat kekritisan lahan.
Tabel 4. Skor penilaian kelerengan untuk penentuan tingkat erosi
No Kelas Lereng Kriteria Skor
1 0-8% Datar 1
2 8-15% Landai 2
3 15-25% Agak curam 3
4 25-40% Curam 4
5 >40% Sangat curam 5
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Permenhut No.32 Tahun 2009
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 16

Tabel 5. Skor penilaian kepekaan tanah terhadap erosi.
No Jenis Tanah Kriteria Skor
1 Aluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Kelabu, Laterit air tanah Tidak peka 1
2 Latosol Agak peka 2
3 Brown Forest Soil, Non Calcic Brown, Mediteran Kurang peka 3
4 Andosol, Laterik, Grumusol, Podsol, Podsolik Peka 4
5 Regosol, Litosol, Organosol, Rendzina Sangat peka 5
Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dan Permenhut No.32 Tahun 2009

Tabel 6. Skor penilaian penutupan tanah berdasarkan penggunaan lahan
No Penggunaan Lahan Skor
1 Hutan (Hutan alam) 1
2 Savana 2
3 Hutan lahan kering (Hutan tanaman) 3
4 Semak belukar 4
5 Pemukiman, Tanah kosong 5
Sumber : Analisis data dan pengamatan lapangan

Tabel 7. Skor penilaian tingkat erosi untuk penilaian lahan kritis
No Kelas Erosi Range Erosi Skor Lahan Kritis
1 Ringan 3-6 5
2 Sedang 6-9 4
3 Berat 9-12 3
4 Sangat Berat >12 2
Sumber : Analisis data dan Permenhut No.32 Tahun 2009

2. Penutupan lahan
Penutupan lahan didasarkan pada peta penggunaan lahan yang bersumber pada peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000. Pada peta tersebut, Hutan Diklat
Sisimeni Sanam berada pada empat scene (lembar) yaitu Camplong. Ekateta, Oemofa,
serta Takari, seperti pada tabel berikut ini :



Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 17

Tabel 8. Peta Rupa Bumi Indonesia untuk Hutan Diklat Sisimeni Sanam
No No.Scene Lokasi Tahun Survey RBI
1 2305-544 Camplong 1994
2 2306-222 Ekateta 1996
3 2306-311 Takari 1999
4 2305-633 Oemofa 1996
Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia
Penutupan lahan (persen tajuk) didekati dengan menggunakan peta penggunaan
lahan. Peta tersebut kemudian diverifikasi melalui pengamatan lapangan serta
perbandingan penutupan lahan dengan menggunakan citra Google Earth. Hasil dari
analisis tersebut kemudian digunakan untuk menentukan kelas penutupan lahan
sebagai parameter penentuan tingkat kekritisan lahan.
Tabel 9. Skor penilaian untuk kelas penutupan lahan
No Kelas Penutupan Lahan Kondisi Penutupan Skor Lahan Kritis
1 Sangat Baik > 80% 5
2 Baik 61-80% 4
3 Sedang 41-60% 3
4 Buruk 21-40% 2
5 Sangat Buruk < 20% 1
Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009

3. Manajemen kawasan hutan
Penilaian pada parameter ini didasarkan pada aspek : (a) Kejelasan status kawasan, (b)
Pengelolaan kawasan hutan, (c) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan
hutan. Sasaran wawancara adalah seksi sarana hutan diklat yang bertindak sebagai
pengelola kawasan hutan diklat Sisimeni Sanam. Hasil wawancara kemudian
diskoring dan dibuat kelas intervalnya, nilai maksimal untuk aspek manajemen adalah
12 dan minimal 0. Hasil tersebut kemudian digunakan sebagai dasar penentuan untuk
skoring lahan kritis..




Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 18

Tabel 10. Skor penilaian untuk Manejemen
No Kelas Manejemen Range Manajemen Skor Lahan Kritis
1 Baik 8-12 5
2 Sedang 4-8 4
3 Buruk 0-4 3
Sumber : Analisis data dan Permenhut No.32 Tahun 2009

4. Kelerengan
Data kelerengan diperoleh dari pengolahan data citra Aster GDEM dengan
menggunakan program Global Mapper 11 dan Arc GIS 10. Citra Aster GDEM di
overlay dengan peta kawasan hutan diklat dan diekstrak dengan menggunakan
program Global Mapper, sehingga diperoleh data kontur dengan kelas interval 10
meter. Data kontur tersebut kemudian diolah dengan menggunakan fitur 3D Analyst
sehingga diperoleh peta lereng dengan jumlah 5 kelas. Peta lereng yang diperoleh
digunakan sebagai dasar skoring.

Tabel 11. Skor penilaian untuk Kelerengan
No Kelas Lereng Interval kelas Skor Lahan Kritis
1 Datar 8% 5
2 Landai 8-15% 4
3 Agak curam 15-25% 3
4 Curam 25-40% 2
5 Sangat curam >40% 1
Sumber : Permenhut No.32 Tahun 2009











Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 19

Gambar 2. Grafik persentase luas kawasan berdasarkan kelas lereng
di Hutan Diklat Sisimeni Sanam
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kelerengan
Kelerengan diperoleh dengan menggunakan citra ASTER GDEM. Software yang
digunakan adalah program Global Mapper dengan tools Generate Contours dengan kontur
interval 10 meter. Kontur hutan diklat yang diperoleh kemudian dilakukan 3D Analyst
dengan menggunakan program ArcGis 10 untuk mendapatkan peta lereng. Kelerengan dibagi
menjadi lima kelas. Hasil analisis seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 12. Kelas lereng Hutan Diklat Sisimeni Sanam
No Kls_Lereng Kriteria Luas Persen (%)
Skor Kelerengan
1 0-8% Datar 1,305.90 41.54
5
2 8-15% Landai 845.77 26.90
4
3 15-25% Agak curam 644.11 20.49
3
4 25-40% Curam 216.36 6.88
2
5 > 40% Sangat curam 131.85 4.19
1
Jumlah 100.00


Berdasarkan hasil analisis tersebut, diketahui bahwa sekitar 65% luasan hutan diklat
memiliki bentuk topografi yang datar sampai landai. Kondisi tersebut umumnya tersebar di
sekitar Desa Ekateta dan Desa Silu. Topografi agak
curam sampai curam banyak dijumpai disekitar Desa
Oesusu serta sekitar Kaut (pondok kerja), sedangkan
untuk areal yang sangat curam sebagian besar berada
pada batas Desa Ekateta dan Desa Benu, yang
bentuknya berupa perbukitan. Peta lereng seperti
dilihat pada gambar 3.


Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 20

Gambar 3. Peta Lereng Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam









Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 21

B. Penutupan Lahan
Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan tingkat penutupan lahan di Hutan Diklat
Sisimeni Sanam adalah dengan menggunakan data penggunaan lahan, groundcheck keadaan
di lapangan dan membandingkan penutupan tajuk dengan menggunakan citra google earth.
Ketiga data ini digunakan secara bersama-sama sehingga diperoleh keadaan penutupan lahan
yang terkatual di lapangan. Salah satu data groundcheck yang digunakan adalah data
identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013. Selain data tersebut, groundcheck juga dilakukan
di sekitar Desa Ekateta, Oesusu dan Desa Benu.
Di Hutan Diklat Sisimeni Sanam jenis penggunaan lahan yang ada menurut Peta RBI
adalah hutan (hutan alam), ladang (hutan lahan kering), semak belukar, Savana serta
pemukiman. Penggunaan lahan berupa hutan dapat dijumpai di Desa Benu. Jenis pohon yang
ada antara lain, bonak (Tetrameles nudiflora), beringin (Ficus spp.), pangkal buaya
(Zanthoxylum rhetza),dll. Berdasarkan hasil identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013, Desa
Benu merupakan daerah yang memiliki tingkatan jenis pohon paling banyak jika
dibandingkan dengan tingkatan pohon pada beberapa desa lain yang masuk didalam kawasan
hutan diklat. Pertumbuhan pohon di Desa Benu umumnya merupakan permudaan alam dan
memiliki struktur tajuk yang lengkap dan rapat. Jika dilihat dengan menggunakan google
earth penutupan tajuk di desa ini sangatlah kompak dan sangat berbeda dengan penutupan
lain di wilayah hutan diklat. Melihat kondisi tersebut, berdasarkan tingkat penutupan tajuknya
maka penggunaan lahan berupa hutan termasuk dalam kategori sangat baik dengan penutupan
tajuk > 80%.









Gambar 4. Penutupan lahan hutan dari citra google earth (kiri), struktur vegetasi hutan di Desa Benu (kanan)
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 22

Gambar 5. Penutupan hutan lahan kering (jati)
di Hutan Diklat, Desa Oesusu.
Dalam jenis penggunaan lahan RBI, di hutan diklat Sisimeni Sanam terdapat jenis
penggunaan lahan dengan nomenklatur ladang. Setelah dilakukan groundchek, penggunaan
lahan ini di lapangan merupakan tegakan eks tanaman HTI dengan jenis tanaman adalah jati
(Tectona grandis) dan johar (Cassia siamea), sehingga istilah yang digunakan dalam
penelitian ini diganti dengan Hutan Lahan Kering. Peta RBI untuk wilayah hutan diklat terdiri
dari 4 scene (lembar) dimana tahun survey lapangan untuk keempat peta tersebut adalah pada
tahun 1994,1996 dan 1999, seperti yang disajikan dalam tabel 8. Munculnya penggunaaan
lahan berupa ladang kemungkinan tidak lepas dari kegiatan penanaman yang dilakukan pada
waktu tersebut dimana, pada awal penanaman tanaman eks HTI tersebut umumnya
ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian (jagung, kedelai, dll). Pada saat ini tanaman
tersebut telah berupa tegakan dengan diameter 25 cm dengan tinggi 18 meter. Hutan jati
dan johar yang ada di hutan diklat merupakan tanaman eks perhutani yang sengaja ditanam
untuk kepentingan produksi atau berorientasi bisnis. Oleh karena itu penampakan yang dapat
dilihat di lapangan, umumnya tegakan ini tersusun rapi dengan jarak tanam dan struktur yang
seragam.
Penutupan tajuk yang terlihat pada hutan lahan kering (tegakan jati & johar) dapat
dibedakan dengan keberadaan penggunaan lahan yang lain. Ciri umum yang dapat digunakan
sebagai dasar interpretasi adalah warna dari tajuk yang cenderung seragam, dan lokasinya
yang kompak (mengelompok). Dalam melakukan
interpretasi, sebagai bahan perbaikan data penggunaan
lahan, penampakan dari google earth di cross check
dengan hasil kegiatan identifikasi potensi hutan diklat
serta ground check yang dilakukan di Desa Ekateta,
Oesusu serta Benu. Dengan mempertimbangkan
kondisi tersebut, penutupan tajuk untuk penggunaan
lahan hutan lahan kering termasuk dalam kategori
baik.




Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 23

Gambar 6. (a) Penutupan Savana dari citra google earth,
(b) dan (c) kondisi Savana di sekitar Desa Ekateta
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional tentang SNI Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI),
semak belukar adalah lahan yang tertutup oleh tanaman hutan dengan ketinggian tanaman
rata-rata kurang dari 10 meter. Hasil analisis data penggunaan lahan seperti yang dapat dilihat
pada tabel 13, semak belukar merupakan jenis penggunaan lahan terbesar yang ada di hutan
diklat yaitu 51%. Kondisi yang ada di lapangan, jenis penggunaan lahan ini umumnya
didominasi oleh jenis-jenis semak, perdu maupun belukar dengan beberapa titik (spot)
ditemukan vegetasi tingkat pohon. Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada di lapangan
serta komposisi vegetasi yang menyusunnya maka untuk tingkat penutupan lahannya
termasuk dalam kategori sedang.
Jenis penggunaan keempat yang ada di hutan diklat adalah Savana. Di Hutan Diklat
Sisimeni Sanam, jenis penggunaan lahan ini paling banyak ditemui sekitar Desa Ekateta
bagian utara serta beberapa spot/titik di bagian utara Desa Silu. Savana di hutan diklat
umumnya banyak ditemui pada kelerengan datar sampai landai (<15%). Di kedua desa
tersebut, penggembalaan ternak yang dilepasliarkan paling sering dijumpai, umumnya adalah
jenis sapi. Kondisi di lapangan, jenis vegetasi yang mendominasi adalah jenis rumput-
rumputan dan pada beberapa titik dengan jumlah yang sangat jarang, ditemukan semak atau
pohon-pohonan. Skor penutupan lahan pada jenis penggunaan lahan ini dikategorikan buruk.






(b)




(a) (c)

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 24

Pemukiman yang ada dalam data penggunaan lahan RBI terletak di Desa Silu, yaitu
antara batas kawasan hutan diklat terluar sebelah tenggara. Luasnya kurang lebih 0,88 ha.
Karena keterbatasan yang ada, data ini belum dapat diverifikasi kebenarannya. Skor
penutupan lahan untuk pemukiman dikategorikan sangat buruk.
Tabel 13. Tingkat penutupan lahan dan luas penggunaan lahan di hutan diklat Sisimeni Sanam
No Keterangan Luas Persen (%)
Kelas
Penutupan
Skor Penutupan
Lahan
1 Hutan 132.29 4%
Sangat baik
5
2 Hutan Lahan Kering 929.35 29%
Baik
4
3 Semak Belukar 1,604.10 51%
Sedang
3
4 Savana 485.49 15%
Buruk
2
5 Pemukiman 0.88 0%
Sangat buruk
1
100%



C. Erosi
o Jenis Tanah
Pendekatan yang digunakan untuk menaksir erosi adalah dengan mempertimbangkan
faktor jenis tanah, lereng serta penutupan tanahnya. Ketiga faktor tersebut kemudian
dioverlay dan diskoring seperti pada tabel 4-6. Berdasarkan jenis tanahnya, hutan diklat
Sisimeni Sanam didominasi jenis tanah Kambisol (39%), kemudian diikuti dengan jenis tanah
Rendzina (35%) dan Latosol (26%). Menurut Hardjowigeno (2003), kambisol merupakan
tanah dengan horizon kambik (horizon bawah telah terbentuk struktur tanah) dan tidak ada
gejala-gejala hidromorfik (pengaruh air). Padanan nama tanah kambisol dalam USDA Soil
Taxonomy adalah Inceptisol, yaitu tanah muda dengan penciri utama horizon kambik. Karena
tanah belum berkembang lanjut kebanyakan tanah ini cukup subur. Jenis tanah ini
membentang mulai dari Desa Benu, Desa Ekateta bagian barat, Desa Oesusu serta Desa Silu
bagian utara. Seperti yang disajikan pada gambar 8. Nama padanan lain dalam sistem Dudal,
tanah ini termasuk dalam brown forest soil.
Dalam klasifikasi kepekaan jenis tanah terhadap erosi menurut Hardjowigeno dan
Widiatmaka (2007), Rendzina termasuk ke dalam kelas sangat peka terhadap erosi. Bahkan
untuk jenis tanah rendzina yang berada pada kelerengan lebih dari 15% dapat langsung
dikategorikan termasuk dalam kawasan lindung. Darmawijaya (1990) menyatakan bahwa
tanah Rendzina banyak mengandung bahan organik dari vegetasi rumput. Di Indonesia jenis
tanah ini banyak dijumpai di kepulauan nusa tenggara.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 25

Gambar 7. Luas kawasan hutan diklat
berdasarkan jenis tanah
Tanah Latosol merupakan jenis tanah yang telah
mengalami pelapukan yang intensif dan perkembangan
lebih lanjut sehingga terjadi pelindian unsur basa dan
bahan organik. Ciri morfologi yang umum ialah tekstur
lempung sampai geluh, struktur remah sampai gumpal
lemah dan konsistensi gambur. Warna tanah cenderung
merah (Darmawijaya, 1990). Jenis tanah ini menurut
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) termasuk dalam
kategori agak peka terhadap erosi.

o Penutupan Tanah
Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan tingkat penutupan tanah adalah dengan
berdasarkan data penggunaan lahan yang telah dilakukan ground check terkait dengan
tumbuhan bawah serta jenis tanaman atau vegetasi yang mendominasi. Tingkat penutupan
tanah akan menentukan besar kecilnya laju erosi yang terjadi. Tanah yang tertutupi oleh
tumbuhan bawah atau seresah akan terlindungi dari energi kinetik yang dihasilkan oleh air
hujan, sehingga peluang terjadinya penglupasan dan penghancuran partikel tanah akan dapat
diminimalisir.
Berdasarkan hasil groundcheck dan pengamatan terkait kondisi penutupan tanah, hutan
merupakan jenis penggunaan lahan yang paling baik dalam melindungi tanah dari erosi.
Selain penutupan tajuk yang rapat, keberadaan tumbuhan bawah yang rapat dan tumpukan
seresah yang ada mampu meminimalisir energi kinetik yang dihasilkan oleh air hujan. Savana
yang banyak ditemui disekitar Desa Ekateta dan Desa Silu juga mampu mengurangi
kerusakan tanah akibat energi yang dihasilkan oleh air hujan. Penutupan rumput yang rapat
mampu memberikan perlindungan terhadap tanah. Untuk penutupan tanah pada hutan lahan
kering, perlindungan yang diberikan masih lebih rendah daripada penggunaan lahan hutan
maupun Savana. Jenis tanaman yang monokultur dengan jenis jati dan johar mengakibatkan
keberadaan tumbuhan bawah relatif jarang. Pelindung tanah umumnya hanya seresah daun
maupun cabang yang jatuh ke tanah. Struktur dan tingkatan tajuk yang seragam
mengakibatkan tidak adanya gradasi/perlindungan bertingkat yang diberikan oleh tajuk untuk
menahan air hujan. Tingkatan selanjutnya adalah semak belukar dan pemukiman.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 26

Gambar 8. Peta Jenis Tanah Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 27

Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 28

Gambar 11. Luas kawasan hutan diklat berdasarkan tingkat erosi
Semak belukar memiliki skor penutupan tanah yang rendah karena hasil pengamatan
dilapangan, umumnya dibawah tanaman semak tersebut tidak ada seresah yang melindungi
tanah. Selain itu hasil pengamatan di lapangan, keberadaan semak belukar ini dilapangan
umumnya berupa titik-titik/spot yang letaknya menyebar kurang rapat.




(a) (b) (c) (d)
Gambar 10. Penutupan tumbuhan bawah, (a) Hutan, (b) Hutan Lahan Kering (jati),
(c) Semak belukar, (d) Savana

o Lereng
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar kelerengan di hutan diklat
adalah datar sampai landai (0-15%). Menurut Arsyad (2006), selain dari memperbesar jumlah
aliran permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan
dengan demikian memperbesar energi angkut aliran permukaan. Selain daripada itu, dengan
semakin miringnya lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bagian bawah
lereng oleh tumbukan butir-butir hujan akan semakin banyak. Berdasarkan asumsi tersebut,
kelerengan menjadi salah satu faktor penting penentu erosi.

Tingkat Erosi
Ketiga parameter di atas yaitu tanah, penutupan tanah dan lereng kemudian diskoring
sesuai dengan pengaruhnya terhadap erosi. Langkah selanjutnya adalah melakukan overlay
antara ketiga peta di atas sehingga diperoleh satuan
lahan yang memiliki karakteristik yang sama. Hasil
overlay ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada
lampiran 1. Hasil analisis data diketahui bahwa tingkat
erosi di Hutan Diklat Sisimeni Sanam 40% berada pada
tingkat berat dan hanya 12% saja yang dalam kondisi
ringan. Seperti yang disajikan dalam gambar
disamping.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 29

Dari 40% atau 1.239, 16 ha areal yang berada dalam kondisi berat, 70% nya atau 874,42
ha disumbang dari penggunaan lahan berupa semak belukar. Selain faktor penggunaan lahan
faktor tanah dengan jenis Rendzina serta kelerengan yang umumnya berada >15% menjadi
penyebab tingginya tingkat erosi di hutan diklat. Tingkat erosi sangat berat terdapat pada
jenis tanah rendzina, dengan penggunaan lahan semak belukar dan pada kelerengan 25-40%
dengan luas 5,46 ha. Berikut ini analisis data sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi
yang terjadi di Hutan Diklat Sisimeni Sanam.







Gambar 12. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi ringan









Gambar 13. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi sedang






Gambar 14. Sebaran faktor penyebab erosi pada tingkat erosi berat

Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 30

Gambar 15. Peta Tingkat Erosi Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam

















Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 31

D. Manajemen
Aspek manajemen merupakan salah satu aspek penting yang digunakan untuk menilai
tingkat kekritisan lahan. Satuan penilaian menggunakan desa, dimana pada setiap desa yang
masuk dalam kawasan hutan diklat dinilai bagaimana kejelasan status kawasan yang masuk
ke dalam desa tersebut, pengelolaan kawasan yang telah dilakukan serta bagaimana
partisipasi atau pelibatan masyarakat pada tiap desa dalam ikut mengelola kawasan hutan.
Kriteria tersebut kemudian diskoring dan dikelaskan berdasarkan tingkat manajemen kawasan
hutan diklat pada satuan desa. Berikut ini kriteria dan indikator yang digunakan sebagai
penilaian pada aspek manajemen.
Tabel 14. Kriteria dan indikator penilaiaian aspek manajemen
No Kriteria Indikator
1 Kejelasan Status Kawasan
SK Penetapan Kawasan
Konflik terkait batas kawasan
Kondisi Pal
Sosialisasi status kawasan
2 Pengelolaan Kawasan
Pengamanan Kawasan
Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan & Lahan
Pemeliharaan pal
Perlindungan hutan
3 Partisipasi masyarakat
Bantuan dalam rangka pemberdayaan Masy.
Peningkatan pengetahuan/ikut kegiatan diklat
Pelibatan massa dalam pengelolaan hutan (pengamanan
& perlindungan hutan, rehabilitasi, dll)

Berdasarkan wawancara dengan pengelola hutan diklat diperoleh hasil sebagai berikut ;
Tabel 15. Skoring penilaian aspek manajemen pada tiap desa

Skor Penilaian Nilai
Maks
No Kriteria Desa Benu Desa Sillu Desa Ekateta Desa Oesusu Desa Camplong II
1 Kejelasan Status Kawasan
3 4 2 3 4
4
2 Pengelolaan Kawasan
3 5 2 4 2
5
3 Partisipasi masyarakat
2 2 2 3 1
3
Jumlah 8 11 6 10 7

Keterangan : Nilai maksimal penilaian =12, minimal = 0. Kelas penilaian dapat dilihat pada tabel 10.



Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 32

Berdasarkan hasil pada tabel 15, diperoleh bahwa tingkat manajemen kawasan hutan
diklat pada tiap desa berada pada tingkat sedang sampai baik. Seperti yang disajikan dalam
tabel 16. Dari kelima desa yang masuk dalam kawasan hutan diklat, Desa Ekateta merupakan
desa dengan skor penilaian manajemen terendah yaitu 6 (enam). Desa ekateta merupakan
desa enclave yang ada di Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Lokasi desa ini sangat strategis
karena dekat dengan akses jalan nasional. Jumlah penduduk desa ini semakin lama semakin
bertambah banyak, hal tersebut ditandai dengan rencana pemekaran desa yang akan
dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola hutan diklat, salah satu
permasalahan yang ada pada desa tersebut adalah terkait konflik terkait batas kawasan.
Berdasarkan data identifikasi potensi hutan diklat tahun 2013, kondisi pal batas kawasan yang
paling banyak mengalami rusak maupun hilang berada pada kawasan yang masuk dalam
Desa Ekateta. Selain itu pada kawasan hutan di Desa Ekateta banyak ditemukan aktivitas
masyarakat membuka ladang/kebun di dalam kawasan serta kejadian bekas penebangan
pohon.
Secara keseluruhan, manajemen pengelolaan kawasan hutan diklat tergolong baik. Hal
ini penting diketahui karena selain faktor biofisik, tingkat kekritisan lahan sangat terkait
dengan pola masyarakat sekitar kawasan dalam mengelola atau memanfaatkan hutan.
Semakin tinggi ketergantungan masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan maka
potensi terjadinya lahan kritis juga alkan semakin tinggi. Oleh karena itu diperlukan
pengarahan dan pelibatan masyarakat sekitar kawasan dalam ikut mengelola hutan baik dalam
kegiatan rehabilitasi, perlindungan dan pengamanan, dan lain-lain sehingga mereka merasa
ikut memiliki dan menjaga kelestarian hutan.
Tabel 16. Skoring penilaian tingkat manajemen pada tiap desa di Hutan Diklat Sisimeni Sanam
No Nama Desa Tingkat Manejemen
Skor Manajemen Lahan Kritis
1 Benu Sedang
4
2 Sillu Baik
5
3 Ekateta Sedang
4
4 Oesusu Baik
5
5 Camplong II Sedang
4
Sumber : Wawancara dan analisis data



Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 33

Gambar 16. Peta Tingkat Manajemen Kawasan Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 34

E. Lahan Kritis
Langkah akhir untuk mengetahui sebaran lahan kritis adalah dengan melakukan
overlay (tumpang susun) antara peta lereng, peta penggunaan lahan, peta tingkat erosi serta
peta manajemen kawasan. Tingkat kekritisan lahan diperoleh dengan cara menjumlahkan
semua skor dari masing-masing peta tersebut. Hasilnya diklasifikasikan sesuai dengan tabel 3.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebagian besar kawasan hutan diklat
dalam kondisi agak kritis (62%). Kondisi ini merupakan tingkatan ketiga dari lima tingkatan
kondisi kekritisan lahan. Kondisi tertinggi kedua adalah potensial kritis. Potensial kritis
merupakan kondisi dimana lahan tersebut memiliki potensi atau kemungkinan untuk menjadi
kritis jika salah satu atau lebih faktor yang menyusunnya berubah menjadi turun
tingkatannya. Luas lahan yang dalam kondisi potensial kritis sekitar 32%. Areal ini banyak
terdapat di Desa Benu dan Desa Sillu. Urutan ketiga adalah kondisi kritis, yaitu sebesar 4%.
Areal ini menyebar di Desa Benu, Ekateta dan Sillu, dengan luasan 3 - 42 hektar. Untuk
kondisi tidak kritis hanya sebesar 2% atau seluas 70 ha. Areal tersebut terletak di Desa
Benu dan Desa Silu. Penggunaan lahanya berupa hutan dengan kelerengan 0-15% dan tingkat
erosi ringan. Di Hutan Diklat Sisimeni Sanam tidak didapatkan areal dengan kondisi sangat
kritis. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :













Gambar 17. Grafik Tingkat Kekritisan Lahan di Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 35

Gambar 18. Peta Indikatif Sebaran Lahan Kritis Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 36

F. Rekomendasi untuk kegiatan pembelajaran
No Jenis Data Spasial Nama Diklat Mata Diklat Keterangan
1 Peta/lokasi lahan
kritis
Penyusunan
Rancangan
RHL
Pengukuran dan
Pemetaan lokasi
RHL
o Sebagai lokasi pengukuran areal yang
representatif untuk contoh lokasi
rehabilitasi.
o Luasan lokasi yang akan diukur dapat
dipilih sesuai dengan kebutuhan dan
skenario diklat.
2 Lereng/Kontur Penyusunan
Rancangan
RHL
Penyusunan
Rancangan
Kegiatan RHL
o Data kontur digunakan sebagai dasar
penyusunan rencana dalam kegiatan
penanaman (arah kontur dan jumlah
tanaman), perencanaan bangunan sipil
teknis (teras).
3 Penggunaan Lahan Inventarisasi
Hutan
Inventarisasi
hutan
o Potensi hutan tanaman eks HTI/hutan lahan
kering (jati & johar) dapat digunakan
sebagai dasar atau contoh pelaksanaan
inventarisasi hutan tanaman (kayu).
o Penggunaan lahan hutan dapat digunakan
sebagai contoh praktek inventarisasi hutan
alam (kayu).
4 Data lahan kritis
(Lereng, penutupan
lahan, manajemen,
tingkat erosi)
SIG Analyst Spasial analyst
dan pemodelan
spasial
o Studi kasus pembuatan peta lahan kritis.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini dapat digunakan sebagai contoh/data
dasar dalam pembuatan peta lahan kritis.
o Memodelkan alur analis spasial

G. Rekomendasi Pengelolaan
Berdasarkan hasil analisis di atas, ada dua hal yang bisa ditindaklanjuti dalam
pengelolaan kawasan hutan diklat. Pertama, untuk areal dengan kondisi tidak kritis dan
potensial kritis hal yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestarian dan kondisi biofisik
kawasan. Secara umum areal dengan kondisi tidak kritis dan potensial kritis memiliki jenis
penggunaan lahan hutan dan hutan lahan kering. Artinya dari sisi vegetasi kedua jenis
penggunaan lahan tersebut telah terdapat vegetasi tingkat pohon, yang membedakannya
adalah faktor lain yang menyebabkan tingkat kekritisan lahan, yaitu tingkat erosi, manajemen
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 37

dan kelerengan. Berdasarkan sebarannya areal dengan kondisi potensial kritis paling banyak
berada di Desa Sillu, seperti yang disajikan dalam gambar berikut ini :








Gambar 19. Grafik luas kawasan potensial kritis & tidak kritis berdasarkan batas desa
Dari aspek manajemen, pengelolaan kawasan di Desa Sillu sudah dikategorikan baik,
akan tetapi hal tersebut harus terus dijaga dan dipertahankan, khususnya terkait dengan
kondisi penggunaan lahannya. Jika penggunaan lahan tersebut mengalami perubahan maka
status tingkat kekritisan lahan juga akan mengalami perubahan. Penggunaan lahan berupa
hutan secara langsung akan mampu meningkatkan ketersediaan sumber mata air. Berdasarkan
hasil identifikasi potensi hutan diklat, ditemukan 3 sumber mata air yang ada di dalam
kawasan yang masuk kedalam Desa Silu dan 2 sumber mata air di Desa Benu. Oleh karena itu
kondisi hutan harus tetap dijaga kelestariannya, karena jika penggunaan lahan ini berubah
maka tingkat kekritisan lahan juga akan mengalami perubahan, dampaknya fungsi lahan
dalam mendukung fungsi hidroorologi akan terganggu.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah lahan dengan kondisi agak kritis dan kritis.
Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, pengelolaan lahan yang perlu diprioritaskan adalah
lahan dengan kondisi sangat kritis dan kritis. Hasil analisis, di Hutan Diklat Sisimeni Sanam
tidak ditemukan lahan dengan kondisi sangat kritis, sedangkan lahan kondisi kritis sebesar
120 ha.
Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2013, Hutan Diklat Sisimeni Sanam telah
melakukan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan total luasan sebesar 1000 ha.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di Desa Silu, Camplong II dan Ekateta. Sebaran kegiatan
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 38

tersebut dapat dilihat pada gambar 21. Hasil overlay kegiatan RHL 2011-2013 dengan
sebaran lahan kritis, lahan dengan kondisi kritis yang telah direhabilitasi sebesar 40 ha. Sisa
nya 80 ha masih dalam kondisi kritis, dengan jenis penggunaan lahan berupa Savana dan
semak belukar dengan kelerengan > 15%. Sebagai rekomendasi pengelolaan areal ini perlu
diprioritaskan untuk direhabilitasi melalui kegiatan penanaman jenis-jenis yang memiliki
perakaran yang dalam, mengingat kelerengannya > 15%. Untuk lahan dengan kondisi agak
kritis telah telah direhabilitasi sebesar 700 ha. Jenis penggunaan lahan yang direhabilitasi
umumnya Savana dan semak belukar.
Terkait dengan potensi Savana yang ada di hutan diklat, hasil kegiatan identifikasi
potensi hutan diklat tahun 2013 serta identifikasi demplot RHL diketahui bahwa salah satu
permasalahan yang ada di hutan diklat adalah adanya penggembalaan liar yang dilakukan
oleh masyarakat. Menurut informasi petugas hutan diklat di sekitar lokasi RHL tahun 2011
dan 2012 terdapat 20 titik lokasi kandang sapi. Rata-rata 1 kandang sapi mampu
menampung 20 ekor sapi. Menurut informasi yang diperoleh, ternak sapi yang dilepas
tersebut merupakan milik masyarakat dari 4 Desa yaitu Silu, Ekateta, Camplong serta Oesusu
yang terkonsentrasi di Desa Sillu dan Ekateta. Dua desa tersebut memiliki potensi Savana
yang cukup tinggi. Melihat kondisi tersebut, untuk lahan dengan kondisi agak krtitis,
khususnya yang memiliki jenis penggunaan berupa Savana perlu dipertahankan dan
dikombinasikan dengan tanaman yang dapat berfungsi sebagai Hijauan Makan Ternak
(HMT). Lahan dengan kondisi agak kritis yang masih ada di Desa Ekateta dan Sillu perlu
dikembangkan menjadi blok silvopasture yang bertujuan untuk memproduksi tanaman untuk
pakan ternak.
Berdasarkan hasil analisis, areal yang direkomendasikan sebagai potensi
pengembangan blok silvopasture adalah lahan yang tidak termasuk rehabilitasi tahun 2011-
2013, memiliki jenis penggunaan lahan berupa Savana dan memiliki tingkat kekritisan lahan
agak kritis. Hasilnya terdapat 130 ha lahan yang memenuhi syarat diatas. Dari luas tersebut
55% (74,1 ha) berada di Desa Benu, 38% (50,96 ha) di Desa Ekateta dan 4% (5,9 ha) di Desa
Silu, sisanya ada di Desa Oesusu. Seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut ini :



Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 39











Gambar 20. Luas potensi blok silvopasture berdasarkan batas desa

Jenis-jenis yang dapat direkomendasikan antara lain lamtoro, turi, rumput gajah serta
kabesak. Pembuatan blok silvopasture, harapannya dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak
sehingga ternak-ternak tersebut tidak dilepasliarkan lagi. Hal tersebut tetap juga harus
didukung oleh kesadaran masyarakat untuk tidak melepasliarkan ternaknya di dalam kawasan
hutan.
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 40

Gambar 21. Peta Sebaran Lahan Kritis dan Lokasi RHL Hutan Diklat Sisimeni Sanam


Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 41

Gambar 22. Peta Potensi Blok Silvopasture Hutan Diklat Sisimeni Sanam
Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 42

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1) Tingkat kekritisan lahan, di Hutan Diklat Sisimeni Sanam terdapat 71,22 ha (2%) tidak
kritis, 999,89 ha (32%) potensial kritis, 1.944 (62%) agak kritis, 128,24 (4%) dalam
kondisi kritis dan tidak didapatkan lahan dengan kondisi sangat kritis (0%).
2) Data spasial yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung
pembelajaran pada diklat Penyusunan Rancangan RHL, Inventarisasi Hutan serta SIG
bagi analis.
3) Lahan dengan tingkatan tidak kritis & potensial kritis perlu dijaga kondisi biofisiknya,
agak kritis, dapat dijadikan sebagai blok silvopasture, sedangkan lahan dengan tingkat
kritis dapat diprioritaskan untuk kegiatan penanaman

B. Saran
1) Penelitian ini hanya menilai tingkat kekritisan lahan, perlu ada penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui kesesuaian jenis serta bentuk pengelolaan kawasan yang tepat dengan
mempertimbangkan hasil penelitian ini sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan
untuk kepentingan pembelajaran bagi diklat lainnya.









Pemetaan Tingkat Kekritisan Lahan Hutan Diklat Sisimeni Sanam untuk Penyediaan Media Pembelajaran 43

DAFTAR PUSTAKA

-------. 2009. Permenhut No.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTKRHL-DAS). Kementerian
Kehutanan.
---------. 2011. Membumikan RHL DAS Benain Noelmina Berbasis Rencana Teknik RHL. BPDAS
Benain Noelmina, Kupang.
-------. 2013. Identifikasi Potensi Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Balai Diklat Kehutanan Kupang.
Kupang (Tidak dipublikasikan).
Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press : Bogor.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2010. SNI : Spesifikasi penyajian peta rupa bumi - bagian 2
: Skala 1:25.000. Jakarta.
Darmawijaya, M. Isa. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
FAO and IIRR. 1995. Resource management for upland area in Southeast Asia. Rapa Publication
: 1995/12
Hakim, N. 1985. Pengaruh sisa pupuk hijau, kapur, pupuk P dan Mg oada tanah podsolik
terhadap produksi jagung. Makalah Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Bandung,
25-28 Februari 1985. Ditjen Dikti Depdikbud.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo : Jakarta.
Hardjowigeno, Sarwono dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Mahfudz. 2001. Peningkatan Produktivitas Lahan Kritis Untuk Pemenuhan Pangan Melalui
Usahatani Konservasi. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor.
Nasution, Z. 2005. Evaluasi Lahan Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba Sebagai Dasar
Perencanaan Tata Guna Lahan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Survey Tanah dan Evaluasi Lahan pada Fakultas
Pertanian. Medan, 26 Mei 2005. Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai