Anda di halaman 1dari 39

RENCANA KERJA

PRAKTEK KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN


PELESTARIAN BANTENG JAWA (​Bos javanicus​) DI RESORT BAMA
TAMAN NASIONAL BALURAN (TNB) PROVINSI JAWA TIMUR

Disusun oleh:
Ayu Shagiira Rahmatika 16/393963/KT/08164
Riana Nur P 16/393978/KT/08215
Krisna Adi G. 16/398333/KT/08328
Regriya Figo Primadana 16/398361/KT/08356
Rendy Dwi Ramadhan 16/398362/KT/08357

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
RENCANA KERJA PRAKTEK KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
PELESTARIAN BANTENG (​Bos javanicus)​ DI RESORT BAMA
TAMAN NASIONAL BALURAN (TNB) PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan yang memiliki flora
dan fauna endemik pulau Jawa. Taman Nasional (TN) sendiri merupakan kawasan
pelestarian alam dengan ekosistem asli yang pengelolaannya menggunakan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengetahuan, pendidikan,
penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi yang dijabarkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistemnya. TN Baluran ditetapkan menjadi Taman Nasional melalui
SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dengan luas
kawasan 25.000 ha. Berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran
Tahun 2014 - 2023, TN Baluran memiliki potensi baik hayati maupun non hayati
yang cukup beragam dan menarik. Salah satu potensi hayati yang menarik yaitu
Banteng Jawa (​Bos javanicus)​ .
Taman Nasional Baluran sebagai habitat alami dari Banteng (​Bos javanicus​)
atau dikenal dengan Banteng jawa yang termasuk satwa liar asli Indonesia,
keberadaanya kini semakin sulit ditemukan. Banteng tergolong dalam jenis sapi liar
(​wild cattle​) yang dikategorikan sebagai ​endangered species (Timmins et al., 2010).
Persebaran alami Banteng jawa di pulau jawa saat ini hanya dapat ditemukan TN
Ujung Kulon, TN Baluran, TN Alas Purwo, dan TN Meru Betiri (Pudyatmoko,
2004). Pudyatmoko ​et al (2012) menjabarkan jika populasi Banteng jawa alam liar
tersisa kurang lebih 1.237 individu yang berada di pulau Jawa. Populasi Banteng
jawa yang berada di TN Baluran berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional
Baluran Tahun 2014 - 2023 sendiri terdapat sebanyak 29 individu pada tahun 2012.
Populasi Banteng jawa di TN Baluran mengalami naik-turun dengan catatan populasi
tertinggi pada tahun 1996 dengan jumlah populasi 312 - 338. Populasi Banteng jawa
yang mengalami mengalami penurunan diikuti dengan adanya penurunan kualitas
habitatnya.
Pudyatmoko (2004) menjelaskan jika penurunan kualitas habitat merupakan
ancaman bagi keberlangsungan populasi Banteng jawa. Savana Bekol yang menjadi
salah satu sumber pakan bagi Banteng jawa juga mengalami penurunan. Djufri
(2013) menyatakan jika adanya penurunan savana bekol yang diakibatkan oleh
invasi ​Acacia nilotica.​ Penurunan populasi yang terjadi di Taman Nasional Baluran
tidak hanya diakibatkan oleh penurunan kualitas habitat saja, tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor ancaman lainnya. Menurut RPTNB tahun 2013 menyebutkan bahwa
ancaman pelestarian Banteng jawa dapat meliputi ancaman secara alami dan
ancaman dari manusia. Ancaman secara alami salah satunya yaitu dengan munculnya
kompetitor dan predator dari Banteng jawa. Kompetitor utama Banteng jawa yaitu
Kerbau (​Bubalus bubalis​) dan predator Banteng jawa yaitu Ajag (​Cuon alpinus​)
(Pudyatmoko, 2017). Selain itu, ancaman dari manusia berupa adanya aktivitas
perburuan dan gangguan-gangguan yang menyebabkan satwa menjauh dari
habitatnya seperti kehadiran manusia dalam mengambil hasil hutan dan aktivitas
wisatawan (RPTNB, 2013).
Upaya pelestarian banteng perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaannya agar tercapai tujuan pelestarian banteng ini. Pihak Taman Nasional
telah memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok peduli konservasi,
memperkenalkan keberadaan TN Baluran kepada sekolah-sekolah terutama dalam
membangun rasa cinta satwa Banteng (misalnya Mitra Banteng, Komunitas Pecinta
Banteng), meningkatkan dukungan organisasi kemasyarakatan dan politisi lokal
(RPTNB, 2013). Selain itu, masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan penanaman
pohon dan aksi bersih-bersih sampah yang ada di dalam kawasan TN Baluran,
bahkan juga terbentuk komunitas Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagai wujud
kepedulian masyarakat untuk menanggulangi kebakaran hutan yang kerap melanda
TN Baluran. Dalam upaya pelestarian yang telah dilakukan, perlu untuk mengetahui
efektivitas pengelolaan pelestarian Banteng. Efektivitas pengelolaan digunakan
untuk menilai keberhasilgunaan pengelolaan. Penilaian pelaksanaan program
dilakukan untuk menilai tingkat keefisienan dan keefektifan pengelolaan yang
dilakukan oleh pengelola. Penilaian efektivitas sebagai evaluasi yang dilakukan
untuk melihat sejauh mana pengelolaan pelestarian Banteng jawa telah dilakukan
dalam kerangka mancapai tujuan yang ditetapkan. Dimana hasil evaluasi diharapkan
dapat memberikan masukan mengenai perbaikan yang perlu dilakukan yang
mendukung untuk peningkatan jumlah populasi Banteng jawa.
Kondisi populasi Banteng jawa di Taman Nasional Baluran yang mengalami
penurunan dari tahun ke tahun menjadi salah satu permasalahan yang sangat penting.
Upaya peningkatan populasi yang dilakukan oleh pengelola Taman Nasional
Baluran masih belum maksimal. Penurunan kualitas habitat, adanya ancaman dari
predator dan kompetisi dengan kompetitor, ancaman dari manusia juga perlu
diperhatikan serta partisipasi dari masyarakat dan efektivitas dari pengelolaan
pelestarian perlu ditingkatkan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung adanya
peningkatan dari populasi Banteng jawa yang ada di Taman Nasional Baluran.
Penurunan populasi Banteng jawa menjadi fokus permasalahan yang harus diteliti
dan perlu dicari solusi permasalahannya agar populasi Banteng jawa mengalami
peningkatan.
Oleh karena itu praktek ini perlu dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek
yang menyangkut penurunan populasi Banteng jawa yang menjadi fokus
permasalahan dan harus diteliti serta perlu dicari solusi permasalahannya sehingga
terjadi peningkatan ​fitness Banteng jawa yang mengarah ke peningkatan ukuran
populasinya, diperlukan perencanaan komprehensif yang melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Dalam Praktek Konservasi Sumberdaya Hutan tidak hanya berupa
pengamatan terhadap aspek teknis pengelolaan kawasan konservasi, namun lebih
menekankan pada aspek penelitian. Oleh karena itu, perlu adanya riset untuk
memecahkan permasalahan Pelestarian Banteng jawa sehingga dapat membantu
pengelola dalam menyusun rencana alternatif pengelolaan kawasan di Resort Bama,
Taman Nasional Baluran.

1.2. Rumusan Masalah


Pelestarian Banteng jawa di Taman Nasional Baluran memiliki beberapa
tantangan diantaranya, penurunan populasi banteng serta kondisi habitat yang
mengalami penurunan akibat invasi spesies, utamanya di padang savana Bekol yang
menjadi salah satu sumber pakan banteng. Potensi ancaman salah satunya dari
spesies invasif (Acacia nilotica),​ efektifitas pengelolaan serta partisipasi masyarakat.
Untuk pelestarian Banteng jawa yang efektif diperlukan pengelolaan yang
berkelanjutan serta melibatkan segala aspek baik biotik, abiotik dan sosial, sehingga
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana ukuran populasi dan sebaran Banteng jawa di Resort Bama TN
Baluran?
2. Bagaimana kondisi habitat Banteng jawa di Resort Bama TN Baluran?
3. Bagaimana potensi ancaman terhadap kelestarian Banteng jawa di resort Bama
TN Baluran?
4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam program pelestarian Banteng jawa di
Resort Bama TN Baluran?
5. Bagaimana efektivitas pelaksanaan pelestarian Banteng jawa di Resort Bama
TN Baluran?

1.3 Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari
Praktek ini adalah :
1. Mengetahui ukuran populasi dan sebaran Banteng jawa di TN Baluran.
2. Mengetahui kondisi habitat Banteng jawa di Resort Bama TN Baluran.
3. Mengidentifikasi potensi ancaman terhadap kelestarian Banteng jawa di resort
Bama TN Baluran.
4. Mengetahui tingkatan partisipasi masyarakat dalam program pelestarian
Banteng jawa di Resort Bama TN Baluran.
5. Mengetahui efektifitas pelaksanaan pelestarian Banteng jawa di TN Baluran.

1.4. Manfaat Kegiatan


Manfaat dari kegiatan ini diantaranya yaitu :
1. Memperoleh data dan informasi mengenai Banteng jawa di TN Baluran dari segi
populasi, kondisi habitat, ancaman, maupun sosial.
2. Memberikan informasi mengenai jumlah populasi banteng terkini sehingga
menjadi referensi bagi pengelola dalam upaya peningkatan populasi seperti
breeding dan reintroduksi banteng
3. Sebagai bahan pertimbangan pengelolaan kondisi habitat dan peningkatan
kualitas habitat Banteng yang dapat menunjang kehidupan banteng di Taman
Nasional Baluran
4. Untuk bahan pertimbangan pengadaan kegiatan partisipatif bersama masyarakat
dalam upaya pelestarian Banteng di Taman Nasional Baluran
5. Untuk bahan pertimbangan bagi pengelola dalam pengambilan keputusan
pengelolaan di TN Baluran.

1.5. Output
Praktek yang dilakukan diharapkan memberikan output berupa rekomendasi
pengelolaan pelestarian Banteng jawa (​Bos javanicus)​ di Taman Nasional Baluran.
Rekomendasi pelestarian Banteng jawa (​Bos javanicus​) berasal dari tujuan
dilakukannya praktek ini yang ditinjau dari aspek populasi, sebaran, kondisi habitat,
masyarakat serta efektivitas program yang telah ada.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Banteng (​Bos javanicus)​

Gambar 1. Banteng jawa (​Bos javanicus), sumber : repro.com


Jantan dewasa (kiri), Betina dewasa dan anak (kanan)
Banteng termasuk jenis satwa yang mudah beradaptasi, dan dapat hidup pada
tipe-tipe habitat yang berbeda, seperti di kawasan dengan curah hujan yang sedikit, di
hutan musim yang menggugurkan daun (​deciduous monsoon forest)​ , serta di padang
rumput. Banteng juga dapat hidup di lokasi dengan curah hujan tinggi yang didominasi
oleh hutan hijau sepanjang tahun (​evergreen forest).​ Sebaran alami banteng meliputi
kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja
sampai ke Yunnan China, serta Pulau Kalimantan dan Jawa di Indonesia. Sementara itu,
banteng dinyatakan telah punah di Semenanjung Malaysia (Francis, 2008). Di Indonesia,
banteng merupakan salah satu mamalia besar di Pulau Jawa.
2.1.1. Klasifikasi Banteng Jawa
Klasifikasi Banteng berdasarkan ITIS (​Integrated Taxonomic Information
System)​ ​Report Taxonomic Serial No.552760
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom : Deuterostomia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Infraphylum : Gnathostoma
Class : Mammalia
Subclass : Theria
Infraclass : Eutheria
Order : Artiodactyla
Family : Bovidae
Subfamily : Bovinae
Genus : Bos
Species : ​Bos javanicus ​d’Alton, 1823
Subspecies di Jawa dan Bali yaitu ​B. javanicus javanicus​, di Kalimantan ​B.
javanicus lowi​, dan di Asian mainland ​B.​ ​javanicus birmanicus​ (Imron, 2012).
2.1.2. Deskripsi Morfologi
Secara morfologis, Banteng memiliki tubuh tegap, besar dan kuat anteng
dewasa memiliki panjang tubuh 190-225 cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor
65-70 cm dan berat badan 600-800 kg (Grzimek 1975; Lekagul and Mc. Neely
1977, dalam Alikodra, 1983) dengan bahu bagian depannya lebih tinggi daripada
bagian belakang tubuhnya (Hoogerwerf 1970, dipacu dalam Alikodra 1983).
Banteng (memperlihatkan dimorfisma seksual yang dibedakan secara morfologis.
Banteng jantan (dewasa) berkulit kehitaman sedangkan yang betina coklat.
Banteng jantan dan betina bercorak putih pada kaki bagian bawah, pantat, mulut
dan lingkar mata. Banteng merupakan satwa ​diurnal​. Pada kawasan yang
memiliki tingkat gangguan tinggi, sering dijumpai Banteng aktif di malam hari
(​nocturnal)​ (Alikodra, 1987).
2.1.3 Persebaran Banteng Jawa
Banteng di dunia terbagi menjadi tiga sub species, dan di Indonesia hidup 2
sub species yaitu ​Bos javanicus javanicus dengan sebaran alami di Pulau Jawa,
dan ​Bos javanicus lowi di Kalimantan. Sub species ​Bos javanicus birmanicus
dijumpai di daratan Asia yang meliputi Myanmar, Kamboja, Vietnam,
Thailand,dan Laos. Perbedaan ketiga sub species tersebut dapat dilihat pada
warna dan ukuran tubuh (Halder, 1976). Secara umum ukuran banteng Jawa lebih
besar daripada banteng Asia, sedangkan banteng Kalimantan memiliki ukuran
tubuh yang paling kecil (Hoogerwerf, 1970).
Persebaran Banteng di Pulau Jawa berada di beberapa kawasan konservasi,
seperti Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional
Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Cagar Alam Cikepuh, Cagar Alam
Leuweng Sancang, Cagar Alam Pangandaran dan beberapa di luar kawasan
konservasi Jawa Timur (Mardiono, 2010).
Sebaran banteng mengalami perubahan dari waktu ke waktu, menurut
laporan Taman Nasional Baluran sebelum tahun 1980-an, Banteng banyak
dijumpai di Talpat, Bekol, Bama Sirontoh, dan Semiang. Pada periode
2000-2010an, Banteng teramati di Kramat, Bekol, Bama, Kelor, Nyamplung, dan
Popongan. Sejak tahun 2010, Banteng diperkirakan menggunakan areal Bekol,
Nyamplung, Dung Biru, Palongan, Grekan, dan Putatan sebagai habitatnya. Tim
TNB menyatakan bahwa pergerakan tersebut disebabkan oleh ketersediaan air,
ketersediaan dan kualitas area dengan rerumputan yang baik, dan ancaman
terhadap Banteng (RPTNB, 2013).
2.1.4 Kondisi Habitat
Habitat merupakan kompleksitas berbagai komponen biofisik, antara iklim,
fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan sebagai tempat hidup organisme
(Alikodra, 1979). Menurut Morrison (2002) habitat adalah sumberdaya dan
kondisi yang terdapat di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu
spesies. Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe
vegetasi karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan
aspek vegetasi (Dashman, 1981 dalam Garsetiasih, 2014). Hubungan satwa liar
dan vegetasi ada dua arah, karena kebanyakan satwa liar bergantung pada
vegetasi untuk memenuhi kebutuhan pakan dan sebagai tempat berlindung, begitu
pula vegetasi yang membutuhkan bantuan satwa untuk siklus hidupnya dalam
persebaran biji dan penyerbukan bunga (Mardiono, 2010). Menurut Moen (1973)
habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik biotik maupun abiotik.
Banteng adalah jenis satwa yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka
(Alikodra, 1983 dalam, Garsetiasih, 2014). Banteng memerlukan habitat berupa
padang rumput, semak belukar, hutan, tempat minum, dan tempat mengasin
(Alikodra, 2012). Banteng lebih bersifat sebagai pemakan rumput daripada
sebagai pemakan tumbuhan semak (Hoogerwerf, 1970). Habitat banteng yang
paling ideal adalah yang memiliki komposisi hutan alam sebagai fungsi
bersembunyi dan berlindung baik dari gangguan berupa cuaca, manusia, serta
pemangsa. Padang rerumputan digunakan untuk tempat mencari makan, istirahat,
mengasuh, serta membesarkan anak dan melakukan hubungan sosial lainnya
(Alikodra 1983).
Menurut Wharton (1968) dalam SRAK tahun 2012 menyebutkan bahwa,
banteng lebih banyak dijumpai di hutan sekunder yang setengah terbuka dengan
beberapa bukan berupa padang rumput daripada hutan primer yang tertutup. Hal
ini juga didukung dengan pernyataan Hoogerwerf (1970) yang menyatakan
bahwa hutan yang tertutup tidak cocok sebagai habitat banteng, areal terbuka di
dalam atau di pinggiran hutan lebih cocok sebagai habitat banteng.
Menurut Alikodra dan Palete (1980), banteng sangat menyukai fungsi dan
komponen lingkungan hidup yang meliputi :
• Hutan alam primer dipergunakan banteng sebagai tempat berlindung dari
serangan musuh/predator, tempat istirahat, tempat tidur dan tempat
berkembang biak.
• Padang rumput/savana. Paling baik terletak pada daerah yang berbukit sampai
datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan
pantai/payau ke arah laut.
• Sumber air. Padang rumput juga harus berdekatan dengan sumber air.
• Hutan pantai atau hutan payau sebagai ​“buffer zone”,​ yaitu sebagai
pencegahan intrusi garam ke arah darat dan tempat berlindung atau
beristirahat.
• Air laut, sangat penting untuk keperluan hidup guna mencukupi kebutuhan
mineral bagi satwa banteng, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa
herbivora besar.
Empat komponen dasar habitat menurut Shaw (1985) yaitu :
a. Pakan ​(food)
Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis
satwa mempunyai kesukaan atau preferensi yang berbeda dalam memilih
pakannya (Purnomo, D. W. 2003). Masing-masing satwa liar memiliki kesukaan
dalam memilih pakannya yang berhubungan dengan palatabilitas dan selera.
Pakan harus selalu ada bagi satwa jika tidak tersedia dalam jumlah cukup, akan
terjadi perpindahan untuk mencari daerah baru yang mencukupi kebutuhan
pakannya (Innayah, 2011). Bagi satwa herbivora, pakan dapat menjadi faktor
pembatas, yaitu kurangnya jumlah pakan ataupun rendahnya kualitas pakan.
Banteng sebagai satwa herbivora, mempunyai cara adaptasi yang khusus untuk
memilih jenis pakannya, utamanya memakan rerumputan, bahkan juga
mengkonsumsi buah (Alikodra dan Sastradipradja, 1983). Banteng termasuk
satwa ruminansia, yang lebih banyak mengkonsumsi rumput-rumputan. Hal ini
menunjukkan pola konsumsi sebagai satwa pemakan rumput (Nugroho, 2002).
Menurut penelitian Garsetiasih et al. (2012) jenis rumput yang menjadi pakan
kesukaan Banteng adalah Kolonjono (Hierochlos horsfieldi), Putian ​(Andropogon
pertusus), ​ omdoman
D ​(Andropogon aciculatus) dan Paitan ​(Paspalu,
conjagatum).
b. Pelindung ​(cover)
Garsetiasih dan Heriyanto (2017) menyatakan bahwa pelindung
merupakan segala sesuatu yang terdapat di habitat yang dapat digunakan sebagai
perlindungan dari ancaman cuaca, predator, atau memberi kondisi yang lebih baik
dan menguntungkan bagi satwa. Naungan atau pelindung berfungsi sebagai
pelindung dari cuaca (panas, hujan, angin) dan predator, serta untuk aktivitas
reproduksi kawin dan melahirkan. Mamalia sering membutuhkan perlindungan
(cover) untuk mencegah penambahan atau kehilangan panas yang berlebihan
(Bolen dan Robinson, 2003 dalam Susanto, et al. 2008).
c. Air ​(water)
Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa serta untuk
kebutuhan berkubang. Perubahan ketersediaan air juga akan mengubah kondisi
habitat yang mempengaruhi kehidupan satwa liar, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. Menurut Alikodra dan Sastradipradja (1983),
ketersediaan air di suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal. Air
memegang peranan penting bagi kehidupan banteng yang diperlukan sebagai
sumber air minum, sehingga air harus tersedia di dalam wilayah jelajah (home
range) b​ anteng dalam keadaan bersih. Bukan hanya air tawar, Banteng juga
memerlukan garam untuk membantu proses pencernaannya sehingga Banteng
selalu mendatangi pantai untuk memenuhi kebutuhan garam mineral dengan cara
meminum air laut (Santosa dan Delfiandi, 2007). Sumber Air bagi Banteng
terdapat di Sumber Bama, Manthing Utara yang merupakan Kubangan Alami,
Kajang yang merupakan Kubangan modifikasi manusia, dan Bekol yang
merupakan kubangan buatan (Totilisa et al. 2014)
d. Ruang ​(space)
Luasan ruang dalam habitat yang memadai tergantung pada ukuran
populasi yang diinginkan. Ukuran populasi tergantung besarnya satwa atau
semakin besar ukuran satwa semakin luas ruang yang dibutuhkan. Pemanfaatan
ruang sangat berkaitan dengan jenis aktivitas yang dilakukan oleh banteng
(Santosa dan Delfiandi, 2007). Ruang yang terbuka digunakan banteng untuk
mencari makan dan juga istirahat (Innayah, 2011).
2.1.5 Kondisi Fisik
Banteng mudah beradaptasi dengan lingkungan yang lembab dan
dingin pada musim hujan serta terhadap kondisi kering dan panas pada musim
kemarau (National Research Council, 1983 dalam Garsetiasih et al. 2019), oleh
karena itu kondisi suhu dan kelembaban tidak diambil dalam pengamatan kondisi
habitat Banteng. Banteng bergantung pada kelerengan lahan serta ketinggian
tempat dalam mencari makan dan berlindung (Garsetiasih et al. 2019).
a. Kelerengan Lahan yang mempunyai kemiringan curam dapat lebih mudah
terganggu atau rusak lebih-lebih bila derajat kemiringannya besar. Banteng dapat
hidup pada daerah dengan ketinggian sampai 2.000 mdpl (National Research
Council, 1983 dalam Kementerian Kehutanan, 2012).
b. Ketinggian tempat di Taman Nasional Baluran bervariasi mulai dari 0 mdpl
hingga 1.200 mdpl pada tipe vegetasi hutan pegunungan bawah (RPTN Baluran,
2013). Daerah yang disukai banteng adalah yang bertopografi datar hingga sedikit
bergelombang dan menghindari daerah dengan topografi yang terjal dan berbukit
( Garsetiasih et al. 2019).

2.2. Ancaman terhadap Banteng


Ancaman merupakan salah satu bentuk usaha yang bersifat untuk
mengubah atau merombak kebijaksanaan yang dilakukan secara konsepsional
melalui segala tindak kriminal (Prayetno, 2015). Sejak tahun 1996, IUCN ​Red
Data List ​telah memasukkan banteng dalam status konservasi ​“endangered”
artinya populasinya mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan
akan terjadi kepunahan jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan perlindungan.
Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah :
1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian
dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk.
2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies
dan munculnya kompetitor).
3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan
oleh manusia.
4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestifikasi
dan hibridisasi serta adanya penyakit/pathogen.

2.3. Partisipasi Masyarakat


Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007) adalah keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di
masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan
masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Apa yang ingin
dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan
(pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung
dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam
pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang
lebih panjang.
Menurut (Sutami, 2009) dikemukakan bahwa jenis-jenis partisipasi
meliputi: Tenaga, Pikiran, Pikiran dan tenaga, Keahlian serta Barang dan uang.
Dari jenis-jenis partisipasi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Pikiran
Merupakan jenis partisipasi pada level pertama dimana partisipasi tersebut
merupakan partisipasi dengan menggunakan pikiran seseorang atau kelompok
yang bertujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan
b. Tenaga
Merupakan jenis partisipasi pada level kedua dimana partisipasi tersebut
dengan mendayagunakan seluruh tenaga yang dimiliki secara kelompok maupun
individu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
c. Pikiran dan Tenaga
Merupakan jenis partisipasi pada level ketiga dimana tingkat partisipasi
tersebut dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok dalam mencapai tujuan
yang sama.
d. Keahlian
Merupakan jenis partisipasi pada level keempat dimana dalam hal tersebut
keahlian menjadi unsur yang paling diinginkan untuk menentukan suatu
keinginan.
e. Barang
Merupakan jenis partisipasi pada level kelima dimana partisipasi dilakukan
dengan sebuah barang untuk membantu guna mencapai hasil yang diinginkan.
f. Uang
Merupakan jenis partisipasi pada level keenam dimana partisipasi tersebut
menggunakan uang sebagai alat guna mencapai sesuatu yang diinginkan.
Biasanya tingkat partisipasi tersebut dilakukan oleh orang-orang kalangan atas.
Menurut Abe (2002), disebutkan bahwa adanya bentuk partisipasi
masyarakat, antara lain: (a) Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk
memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang
memerlukan bantuan. (b) Partisipasi buah pikiran adalah partisipasi berupa
sumbangan berupa ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk
menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga
untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. (c) Partisipasi tenaga adalah
partisipasi berupa mendayagunakan seluruh tenaga yang dimiliki secara
kelompok maupun individu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
2.4. Efektivitas Pengelolaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata ​efektif b​ erarti suatu
pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari
serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa
pilihan lainnya, efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan
dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Penilaian efektivitas
pengelolaan merupakan sebuah evaluasi sebagai suatu kajian untuk mengetahui
sebaik apa kawasan konservasi dikelola dalam kerangka mencapai tujuan yang
ditetapkan. Dimana hasil evaluasi diharapkan dapat memberikan masukan
mengenai perbaikan yang perlu dilakukan, terutama yang berkaitan dengan
perlindungan sumberdaya dan pencapaian tujuan pengelolaan. Evaluasi
efektivitas pengelolaan dapat diartikan sebagai upaya memantau kegiatan atau
unsur-unsur dari pengelolaan sehingga dapat diketahui kendala atau hal-hal yang
menghambat proses pencapaian tujuan. Kegiatan evaluasi dapat mengarahkan
suatu pengelolaan agar bisa lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
(Wardhana, 2015).
Pada konteks pelestarian Banteng, efektivitas dilihat dari ketercapaian
tujuan pelestarian Banteng yakni meningkatkan jumlah populasi dan
keseimbangan ekosistem. Dalam praktek ini, efektivitas pelestarian Banteng
menggunakan kriteria yang mampu mewakili penilaian efektivitas pelestarian
Banteng. Terdapat 5 kriteria untuk menilai efektivitas pelestarian yaitu prasyarat,
perlindungan sistem penyangga, pengawetan keanekaragaman hayati,
pemanfaatan sumberdaya alam hayati, serta administrasi dan organisasi
pengelola.

2.5. Pelestarian Banteng


Upaya pelestarian banteng memerlukan habitat yang ideal untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Pelestarian banteng tidak cukup hanya mengetahui
jumlahnya tetapi juga harus ditinjau dari parameter-parameter lainnya seperti
pergerakan, kematian, kelahiran, struktur kelamin dan umur serta berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap setiap parameter tersebut (Setiawati, 1986). Selain itu,
keberhasilan pelestarian juga ditentukan berdasarkan faktor pengelolaan kawasan
dan kondisi sosial masyarakat. MacKinnon et al., (1993) menyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan kawasan yang dilindungi banyak bergantung pada
kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang
dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Jika kawasan yang dilindungi dipandang
sebagai penghalang, masyarakat dapat menjadi faktor penyebab kegagalan
pelestarian. Tetapi jika pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat,
masyarakat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan.
BAB III. DESKRIPSI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

3.1 Risalah Kawasan


Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukan bagi perlindungan
kawasan alami dan berpemandangan indah, serta secara nasional atau internasional
memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alam ini luas,
materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia, mempunyai nilai alam yang menonjol
dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh
pengunjung, mempunyai fungsi dan manfaat bagi kawasan sekitarnya (MacKinnon et al.
1993).
Secara administratif, Taman Nasional Baluran termasuk dalam Kecamatan
Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Sedangkan secara geografis
terletak antara 70 29’10”-70 55’55” Lintang Selatan dan 1140 29’10”-1140 39’10” Bujur
Timur. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei
1997 kawasan TN Baluran seluas 25.000 Ha. Sesuai dengan peruntukkannya luas
kawasan tersebut dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan SK. Dirjen PKA No.
187/Kpts./DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 yang terdiri dari: zona inti seluas
12.000 Ha, zona rimba seluas 5.537 ha (perairan = 1.063 Ha dan daratan = 4.574 Ha),
zona pemanfaatan intensif dengan luas 800 Ha, zona pemanfaatan khusus dengan luas
5.780 Ha, dan zona rehabilitasi seluas 783 Ha. Sedangkan dari segi pengelolaan kawasan
TN Baluran dibagi menjadi dua seksi pengelolaan Taman Nasional, yaitu: seksi
pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Bekol, meliputi Resort Bama, Balanan dan
Perengan, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Karangtekok meliputi Resort
Watu Numpuk, Labuhan Merak dan Bitakol (Andreina, 2016).

3.2 Flora
Menurut RPTN Bauran (2013) Flora Baluran didominasi oleh flora eksistem
kering, sebanyaknya 475 spesies ditemukan termasuk dalam 100 famili. Dari 475
spesies, 7 spesies termasuk dalam spesies tumbuhan yang dilindungi, antara lain Buni
(Antidesima bunius L. Spring)​, Kemiri ​(Aleutus moluccana (L) Wild)​, Kepuh ​(Sterculia
foetida L),​ Kesambi ​(Schleichera oleosa Merr)​, Mundu ​(Garcinea dulcis Kurz),​
Sonokeling ​(Dalbergia latifolia Roxb)​ dan Trenguli ​(Cassia fistula L).
3.3 Fauna
Secara garis besar keanekaragaman fauna dalam kawasan TN Baluran dapat
dikelompokkan kedalam ordo mamalia (28 jenis), aves (155 jenis), pisces dan reptilia.
Dari jenis-jenis yang diketahui tersebut 47 jenis merupakan satwa yang dilindungi
undang-undang yaitu insektivora 5 jenis, karnivora 5 jenis, herbivora 4 jenis, burung 32
jenis dan reptilia 1 jenis. Mamalia besar yang khas di TN Baluran adalah banteng (​Bos
javanicus​), kerbau liar (​Bubalus bubalis​), rusa (​Cervus timorensis​), kijang (​Mutiacus
muntjak)​ , babi hutan (​Sus scrova)​ , macan tutul (​Panthera pardus)​ , kucing batu (​Felis
bengalensis)​ , kucing bakau (​Felis viverrina)​ dan ajag (​Cuon alpinus)​ . Sedangkan untuk
jenis primata adalah kera ekor panjang (​Macaca fascicularis)​ dan lutung/budeng
(​Trachypithecus auratus cristatus)​ . Dari ± 155 jenis burung di TN Baluran jenis-jenis
yang mudah untuk dijumpai antara lain adalah merak hijau (​Pavo muticus)​ , ayam hutan
merah (​Gallus gallus)​ , ayam hutan hijau (​Gallus varius)​ , kangkareng (​Anthracoceros
convexus​) dan rangkong (​Bucheros rhinoceros​) (Balai TNB, 2007).

3.4 Tipe Habitat


Tipe habitat merupakan merupakan gambaran struktur dan komposisi vegetasi di
suatu kawasan. Tipe habitat dicirikan oleh vegetasi utama yang merupakan faktor
kesejahteraan satwa (Bailey, 1984 dalam Nurcahyono, 2010) dan merupakan bagian
habitat yang digunakan oleh satwa untuk berbagai fungsi seperti tempat pakan, minum,
bersarang, maupun berlindung. Keberadaanya dapat menjadi indikator bagi
kelangsungan hidup satwa liar. Menurut RPTN Baluran (2013) tipe habitat yang terdapat
di Taman Nasional Baluran yang terdapat sumber air yang biasa dimanfaatkan Banteng
yaitu :
a. Hutan Pantai
Substrat dasar pantai Baluran terdiri dari pasir hitam, putih, batu pantai
yang hitam kecil, atau lereng karang. Formasi Baringtonia umum dijumpai
dengan pohon ​Baringtonia asiatica, Pandanus tectorius, Ipomoea pescaprae.
b. Hutan Mangrove dan Rawa Asin
Hutan mangrove terdapat di beberapa lokasi seperti Bilik, Bama, Labuhan
Merak, Tanjung Sedana, Puyangan, Kelor dan Mesigit. Rhizophoraceae adalah
kelompok umum yang dijumpai pada hutan mangrove, yang terdiri dari tiga
marga ​(Brubuiera, ​Ceriops dan Rhizophora) dan sembilan jenis ​(i.e.
B.cylindrical, B. gymnorrhiza, B. Sexangula, C. tagal, C. decandra, R. lamarckii,
R.mucronata dan R stylosa). ​Mangrove pendek yang tumbuh dengan agak baik di
atas lumpur, terdapat di Kelor dan Bilik yang dikuasai oleh kayu api ​(Avicenia
sp), Bogem ​(Sonneratia spp), ​Bakau-bakauan (Rhizopra spp)​, cantigi ​(Ceriops
tagal)​ serta ​Rhizopora apiculata.
c. Hutan Payau
Hutan payau yang terbesar terdapat di Sungai Kepuh sebelah Tenggara
dan daerah lebih kecil di Popongan, Kelor, Bama di bagian Timur dan Gatal di
bagian Barat Laut. Hutan payau menjamin ketersediaan air sepanjang tahun di
TNB. Vegetasi yang ada disini adalah Malengan ​(Excoecaria agallocha)​,
Manting ​(Syzygium polyanthum),​ dan poh-pohan ​(Buchanania arborescens).
d. Padang Rumput Savana
Savana adalah salah satu karakteristik penting dari TNB. Savana Baluran
adalah savana alamiah terbesar sebagai habitat aneka ragam satwa yang ada di
Jawa Timur. Berdasarkan kontur tanah savana, terdapat dua macam savana di
Baluran yaitu savana datar dan savana bergelombang. Savana datar tumbuh diatas
tanah hitam alluvial muda yang berbatu-batu seluas sekitar 1.500 – 2.000 ha di
bagian tenggara kawasan taman nasional, yaitu sekitar Plalangan dan Bekol.
Jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh pada savana datar antara lain adalah
Dichantium caricosum (melimpah di Bekol, Kramat, Labuhan Merak dan Karang
Tekok), ​Eulalia amaura dan ​Bothriocloa modesta (melimpah di Semiang), dan
Impera cylindrica (melimpah di Dadap). Tumbuhan yang umum dijumpai di
savana bergelombang adalah ​Dichantium caricosum, Schleracne punctata ​dan
Sorgum nitidus. Savana adalah habitat penting dari herbivor seperti ​Bos
javanicus, Bubalus bubalis, Cervus timorensis, Muntiacus muntjak serta
​ ermasalahan yang dihadapi savanna Baluran
predatornya seperti ​Cuon alpinus. P
saat ini adalah invasi dari spesies eksotik​ Acacia nilotica.
e. Hutan Pegunungan bawah
Hutan pegunungan bawah (lower mountain forest) terutama tersebar di
Gunung Baluran sampai pada ketinggian 1200 m dpl. Vegetasi hutan relative
belum mengalami gangguan. Wilayah ini mempunyai peran penting sebagai
daerah tangkapan air. Sumber air yang keluar di wilayah Baluran mempunyai
peran vital sebagai sumber air minum bagi satwa, terutama ketika memasuki
musim kemarau.
f. Hutan Musim
Hutan musim yang terdapat di Baluran dapat dipisahkan ke dalam dua
kelompok, yaitu hutan musim dataran rendah dan hutan musim dataran tinggi.
Hutan musim dataran rendah luasnya sekitar 1.500 ha yang berbatasan dengan
hutan jati, evergreen forest, dan savana Bekol serta savana Kramat. Sedangkan
hutan musim pegunungan bawah terdapat di lereng Gunung Baluran, Gunung
Klosot dan Gunung Periuk.
BAB IV. METODE PELAKSANAAN PRAKTEK
4.1. Lokasi Praktek

Gambar 2. Peta Resort Bama, Taman Nasional Baluran


Lokasi praktek terletak di Resort Bama TN Baluran yang terletak di Kabupaten
Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Secara administratif TN Baluran terletak pada
1140°29'10"-1140°39'10" BT dan 70°29'10"-70°55'55" LS. Batas wilayah sebelah utara
adalah Selat Madura, sebelah timur adalah Selat Bali, sebelah selatan adalah Selat Sungai
Bajulmati dan sebelah barat adalah Sungai Klokoran.

4.2. Waktu Pengambilan Data


Pengambilan data praktek ini dilakukan selama 12 hari pada tanggal 23 Januari
sampai 3 Februari 2020.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Praktek

Agenda Hari ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Presentasi Proposal

Pengambilan Data Populasi dan Distribusi


Banteng di Sabana Bekol dan Mangrove
Kajang

Pengambilan Data Populasi dan Distribusi


Banteng di Akasia

Pengambilan Data Habitat

Pengambilan Data Wisatawan

Pengambilan Data Pengelola

Pengambilan Data Partisipasi dan


Ancaman Masyarakat

Penyusunan Laporan Kerja

Presentasi Hasil

4.3. Alat dan Bahan Praktek


4.3.1. Alat
Tabel 2. Peralatan yang diperlukan dalam Praktek

Alat Fungsi

Kuesioner Mengambil data sosial (masyarakat dan


pengelola)

Alat tulis Menulis data di lapangan

Tallysheet Untuk mencatat hasil data di lapangan

Pita meter Mengukur diameter pohon


Roll meter Mengukur petak ukur

GPS (​Global Positioning System) Menentukan jarak dari sumber air, ​marking
point,

Handphone d​ engan aplikasi GLAMA Mengukur persentase tutupan tajuk

Kompas Menentukan arah dalam pembuatan petak


ukur

Kamera Mengambil gambar/foto

Peta kawasan Taman Nasional Baluran Menentukan titik pengambilan data

Tape Recorder Merekam informasi dari narasumber

Senter Sebagai penerangan untuk pengamatan pada


malam hari

Clinometer Mengetahui kelerengan

Gunting / arit Alat memotong rumput

Timbangan Untuk menimbang berat basah rumput

Kertas label Untuk melabeli rumput

4.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan di kegiatan ini adalah
a. Banteng di Taman Nasional Baluran
b. Pengelola Taman Nasional Baluran
c. Masyarakat di sekitar Resort Bama Taman Nasional Baluran
d. Kondisi habitat Taman Nasional Baluran yang menjadi habitat Banteng
4.4. Metode Pengumpulan Data
4.4.1. Estimasi Ukuran Populasi
Estimasi ukuran populasi Banteng jawa dilakukan dengan metode
Concentration Count pada tempat potensial perjumpaan. Pengamatan dilakukan
pada malam hari sesuai dengan temuan Pudyatmoko (2017) dimana Banteng jawa
di Taman Nasional Baluran melakukan kegiatan pada malam hari. Pengamatan
akan dilakukan pukul 18.00 - 20.00 untuk mengamati Banteng jawa.
Concentration Count d​ ilakukan pada titik potensi ditemukannya Banteng jawa
yaitu di sekitar kubangan air Mangrove Kajang, kolam air di Savana Bekol, dan
tipe habitat Akasia.
4.4.2. Persebaran Populasi
Persebaran populasi banteng berdasarkan penemuan Banteng jawa secara
langsung dan tidak langsung. Pertemuan dengan Banteng jawa nantinya ditandai
dengan menggunakan GPS. Observasi langsung d​ igunakan untuk mencari jejak
dari Banteng jawa. Titik penemuan nantinya digambarkan dalam peta sebagai
sebaran dari Banteng jawa. Pengamatan dilakukan pada pukul 08.00 - 12.00
untuk mencari jejak yang ditinggalkan oleh Banteng jawa maupun pertemuan
secara langsung dengan Banteng jawa.
4.4.3. Kondisi Habitat
Kondisi habitat Banteng diambil melalui komponen ​ruang (space)​,
tutupan/pelindung (cover)​, air, pakan dan kondisi fisik. Sebaiknya untuk
kelompok hutan yang luasnya 10.000 ha atau lebih dipakai intensitas 2%
(Soerianegara dan Andry, 2005). Namun, pada praktek kali ini menggunakan IS
sebesar 0,1% dengan pertimbangan waktu, biaya serta tenaga yang dibutuhkan.
Pengukuran kondisi habitat dilakukan menggunakan metode ​systematic sampling
karena lebih tepat untuk keperluan penelitian ekologi hutan (Soerianegara dan
Andry, 2005). Pengambilan data dilakukan pada masing-masing tipe habitat di
Resort Bama Taman Nasional Baluran. Berdasarkan hasil pemodelan desain
sampling, diketahui bahwa di Tipe Habitat Savana dengan luasan 476 ha dibuat
12 plot, Hutan ​Evergreen l​ uasannya 119 ha dibuat 3 plot, Hutan Sekunder
luasannya 1.180 ha dengan jumlah 29 plot, dan Belukar luasannya 190 ha dengan
jumlah 5 plot sehingga total plot pengamatan sebanyak 49 plot.
a. Ruang ​(space)
Data ruang bisa didapatkan dengan cara menandai titik-titik perjumpaan
melalui pengamatan di lapangan yang berupa jejak dan kotoran yang merupakan
tanda kehadiran satwa yang diamati dalam bentuk perjumpaan langsung maupun
tidak langsung. Data titik perjumpaan kemudian dipetakan dan data spasial
tersebut diubah dalam format ​shapefile ​(shp) (Hermawan et al. 2012).

b. Pelindung​ (cover)
Pengambilan data untuk komponen vegetasi mulai dari pancang, tiang dan
pohon. Data semai tidak diambil dalam praktek ini dikarenakan untuk pelindung
bagi Banteng, semai yang berukuran anakan pohon dengan tinggi kurang dari 1,5
m belum mampu menjadi pelindung bagi Banteng yang memiliki ukuran panjang
tubuh 190-225 cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor 65-70 cm dan berat badan
600-800 kg (Grzimek 1975; Lekagul and Mc. Neely 1977, dalam Alikodra,
1983). Kerapatan vegetasi digunakan untuk mengetahui ruang yang dimiliki
Banteng untuk bergerak dan variabel lain yang berhubungan dengan kondisi
habitat Banteng menggunakan petak bersarang atau ​nested sampling​. Ukuran 5x5
m untuk tingkat pertumbuhan pancang, 10x10 m untuk tingkat pertumbuhan tiang
dan 20x20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon.

Gambar 3. Petak bersarang untuk pengukuran kerapatan vegetasi

Data kepadatan semak (​Shrub density)​ diambil untuk mengetahui pelindung


bagi Banteng yang berupa semak yang memiliki ketinggian lebih ≥ 1,3 meter di
tiap tipe habitat dengan cara membuat plot lingkaran dengan jari-jari 11,3 m.
Teknik pengambilan data dilakukan dengan tongkat sepanjang 1 meter.
Kemudian dibawa setinggi data (1,3 m) dari permukaan tanah, selanjutnya
berjalan dari selatan-utara dan timur-barat. Semak yang terkena tongkat tersebut
dicatat jenis dan jumlahnya (Noon, 1981).

Gambar 4. Desain plot ​Shrub density

Data tutupan tajuk diambil untuk mengetahui seberapa banyak cahaya yang
masuk ke lantai bumi dan seberapa mampu tajuk mampu melindungi Banteng.
Pengambilan data tutupan dilakukan dengan menggunakan GLAMA ​(Gap Light
Analysis Mobile App). Aplikasi GLAMA merupakan program untuk perhitungan
indeks tutupan tajuk dengan mengestimasi tutupan tajuk dari ​hemispherical
photograph.​ Menurut penelitian Landert (2016) GLAMA mampu menunjukkan
perkiraan tutupan kanopi yang konsisten dengan metode berbasis teknologi yang
terbaik. Cara pengambilan datanya yaitu dengan mengambil gambar melalui
kamera ​handphone d​ i 4 titik sudut plot, aplikasi akan memproses foto sesuai
dengan apa yang ditetapkan sebagai area terang dan gelap yang akan menentukan
penutupan kanopi atau keterbukaan kanopi di akhir proses.
c. Air
Pengukuran Jarak sumber air yang berupa kubangan, kolam, maupun
sumber mata air diukur berdasarkan jarak terdekat dari titik perjumpaan.
Perjumpaan Banteng baik secara langsung maupun tidak langsung ​Jarak antar
titik perjumpaan dengan sumber air dapat diukur digunakan menggunakan GPS
dan kemudian diolah menggunakan ArcGis.
d. Pakan
Ketersediaan pakan Banteng menggunakan plot ukur 1x1 meter. Untuk
mengetahui ketersediaan pakan dilakukan dengan memotong rumput sedekat
mungkin dengan tanah (Gaol, 20017). Rumput yang telah dipotong kemudian
dipisahkan dan ditimbang berdasarkan jenisnya sehingga diperoleh produksi
rumput segar (berat basah) untuk masing-masing plot dan masing-masing jenis
(Hersalida, 2001). Identifikasi rumput untuk mengetahui berapa banyak pakan
yang tersedia atau menghitung produksi per unit luas lokasi pengamatan sehingga
diketahui kuantitas dan kualitas pakan satwa. Pengambilan data biomassa pakan
untuk Banteng dilakukan di masing-masing tipe habitat dengan jumlah plot sesuai
dengan jumlah plot untuk pengamatan habitat.

4.4.4. Kondisi fisik


Pengukuran kondisi fisik berupa kelerengan dan ketinggian tempat
dilakukan di titik pengamatan yang telah ditentukan menggunakan metode
systematic sampling di tiap tipe habitat. Pengukuran untuk kelerengan dengan
clinometer d​ an ketinggian tempat dapat diketahui menggunakan GPS.

4.4.5. Partisipasi Masyarakat dan Potensi ancaman


Pengambilan data potensi ancaman dan partisipasi masyarakat
menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Pengambilan data potensi
ancaman menggunakan metode antara lain studi literatur, observasi, dan
wawancara kepada sumber yang berpotensi mengancam. Data primer diperoleh
dengan cara observasi dan wawancara. Pengambilan data potensi ancaman dilihat
berdasarkan sumber ancaman yaitu ancaman secara alami dan ancaman dari
manusia. Ancaman secara alami berupa predator ​dan kompetitor yang
pengambilan datanya dilakukan dengan studi literatur. Sedangkan ancaman yang
berasal dari manusia berupa kegiatan perburuan, perambahan dan wisata yang
datanya diambil secara observasi lapangan dan wawancara. Sampel yang dipilih
terdiri dari masyarakat desa dan wisatawan. Sampel wisatawan diperoleh dengan
​ erupakan teknik penentuan
metode ​accidental sampling. Accidental sampling m
sampel berdasarkan kebetulan, yaitu pertemuan yang terjadi secara kebetulan
dengan peneliti apabila dipandang orang tersebut cocok sebagai sumber data
(Sugiyono, 2007)​. Sampel masyarakat ditentukan dengan pendekatan ​key
informan yang mempertimbangkan waktu dan tenaga pengamat. ​Key informan
merupakan masyarakat dan pengelola yang terkait langsung dengan pelestarian
banteng.
Penentuan sampel masyarakat digunakan untuk mengetahui bentuk
partisipasi masyarakat terhadap pelestarian banteng dengan memperhatikan
batasan wilayah dan waktu. Sampel masyarakat ditentukan dengan
mewawancarai masyarakat yang terlibat langsung dengan program-program
pelestarian banteng. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terpandu
menggunakan kuesioner.

4.4.6. Efektivitas Pelestarian


Untuk mengetahui tingkat efektivitas pelestarian banteng dilakukan dengan
menilai ketercapaian tujuan dan target yang jelas dari 5 kriteria. Kelima kriteria
tersebut yaitu prasyarat, perlindungan sistem penyangga, pengawetan
keanekaragaman hayati, pemanfaatan sumberdaya alam hayati, serta administrasi
dan organisasi pengelola. Kelima kriteria ini kemudian diturunkan menjadi 18
indikator diantaranya membutuhkan alat ukur efektivitas dengan panduan
wawancara kepada pengelola Unit Suaka Satwa, serta diperlukan data observasi
langsung dilapangan dan data sekunder/studi literatur sebagai data pendukung
dalam penelitian.
Masing-masing indikator menjadi titik acuan untuk menyusun item-item
instrumen yang berupa pertanyaan atau panduan wawancara. Jawaban dari setiap
instrumen diskalakan dengan menggunakan skala ​Likert ​(Sugiyono, 2007).
Indikator dari setiap kriteria diukur berdasarkan skala yang disusun menjadi 4
(empat) kelas pilihan. Pilihan diurutkan berdasarkan yang paling negatif hingga
paling positif dengan skor berturut-turut 0, 1, 2, dan 3. Skor 0, 1 , 2 dan 3 agar
nantinya memiliki penilaian yang jelas. Kategori efektivitas pengelolaan
pelestarian banteng di Resort Bama TNB diukur dengan merujuk pada metode
Management Effectiveness Tracking Tools (METT) dengan ketentuan
parameter-parameter yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan pelestarian Banteng jawa. Karakteristik metode penilaian ini yaitu
cepat, murah dan mudah. Penilaian efektivitas bukan untuk menilai pengelola
(manager) (KLHK, 2017).
5.5 Analisis Data
5.5.1. Analisis Data Biotik
a. Analisis Estimasi Ukuran Populasi
Hasil perjumpaan Banteng jawa secara langsung pada titik pertemuan
concentration count.​ Penghitungan dilakukan dengan menghitung jumlah banteng
secara langsung pada pengambilan data.

b. Analisis Sebaran Populasi


Sebaran populasi digambarkan menggunakan ​software ArcGis 10.3 dengan
menggunakan data perjumpaan secara langsung dan tidak langsung untuk
mengetahui sebarannya.

5.5.2. Analisis Kondisi Habitat


a. Ruang
Analisis ruang dilakukan dengan mengubah titik-titik koordinat perjumpaan
dengan Banteng menjadi data spasial berbentuk file shp yang kemudian di
analisis melalui cara ​overlay ​dengan peta tipe habitat menggunakan software
ArcGis.
b. Pelindung
Untuk menganalisis kondisi vegetasi yang dibutuhkan banteng melalui
perhitungan kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi ditentukan dari setiap tingkat
pertumbuhan (sapihan, tiang, dan pohon). Kerapatan vegetasi merupakan jumlah
individu spesies dibagi dengan luas ukuran plot sampel yang kemudian
dikonversi ke dalam ukuran individu per ha.
Adapun rumusnya sebagai berikut (Alikodra, 1990):
jumlah individu vegetasi per petak ukur
K erapatan vegetasi = luas petak ukur
Analisis untuk persen tutupan tajuk dilakukan dengan cara hasil persentase
tutupan tajuk yang telah diketahui dari GLAMA App pada 4 titik sudut plot
kemudian dirata-rata.
Kepadatan semak dihitung menggunakan rumus (Noon, 1981):
D= I x 1000/H

Keterangan:

D : Kerapatan semak per Ha


I : Jumlah semak yang tersentuh tongkat
H : lebar tongkat (1 m) dikalikan panjang transek (2 x 22,6 m)
Analisis persen tutupan tajuk dapat langsung diketahui dari Aplikasi GLAMA,
hasil persen tutupan tajuk dari 4 sudut yang didapatkan pada tiap plot kemudian
dirata-rata.
c. Air
Jarak dari sumber air (JDSA) berupa kubangan, sungai, maupun
sumber mata air diukur jaraknya dengan menggunakan GPS. Jarak titik
perjumpaan Banteng dengan jarak dari sumber air terdekat diukur untuk
mengetahui JDSA.
d. Pakan
Analisis pakan Banteng dengan menghitung produksi rumput segar,
yaitu menimbang berat segar rumput yang ada di plot pengamatan serta
mengidentifikasi jenis dan beratnya. Data identifikasi produksi rumput segar
per titik pengamatan kemudian dirata-rata untuk masing-masing tipe habitat.
Produksi rumput segar ditunjukkan dalam satuan kg/m.

5.5.2.1 Analisis Kondisi Fisik


Analisis kondisi fisik berupa Ketinggian Tempat, dan Kelerengan yang
ada di lokasi pengamatan per plot dianalisis dengan melakukan tabulasi.
Menurut Undang-Undang Tata Ruang yang dibuat oleh Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), kemiringan lereng dibagi
menjadi beberapa kelas yaitu
Tabel 3. Kategori tingkat Kelerengan Lahan

Kemiringan lereng Keterangan


(%)

0-8% datar

8-15% landai

15-25% agak curam

25-45% curam

≥ 45 % sangat curam

5.5.3. Analisis Potensi Ancaman


Analisis potensi ancaman kelestarian Banteng jawa menggunakan metode
analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif menggunakan data primer berupa
bentuk, intensitas dan sebaran serta data sekunder berupa studi literatur tentang
potensi ancaman kelestarian Banteng jawa. Selanjutnya, data akan
ditabulasikan dan akan menghasilkan informasi berupa sebaran ancaman
terhadap Banteng jawa yang disajikan dalam bentuk peta.

3.5.4. Analisis Partisipasi Masyarakat


Untuk mengetahui bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pelestarian banteng, data yang diambil berupa karakteristik masyarakat,
partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian banteng dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif. Selanjutnya data akan ditabulasikan
dan hasil yang diperoleh berupa diagram yang menyajikan bentuk partisipasi
masyarakat terhadap pelestarian banteng.

3.5.5. Analisis Efektivitas Pelestarian


Analisis data dilakukan dengan membandingkan kondisi lapangan
(observasi) dengan alat ukur efektivitas pelestarian yang telah disusun. Alat
ukur efektivitas terdiri dari 18 indikator lalu diklasifikasikan dengan
menjumlahkan skor total dari jawaban maksimal dan melihat hasil dari
jawaban responden yang sebenarnya. Secara teoritis dari total 18 indikator
yang ada, skor minimal yang diperoleh jika seluruh responden menjawab
negatif yakni 18 x 0 = 0 poin dan skor maksimal diperoleh jika seluruh
responden menjawab positif yakni 18 x 3 = 54 poin. Terdapat rentang skor
sebesar 54, akan dibagi menjadi 3 kelas masing-masing interval yaitu 18.
Maka dari itu efektivitas pelestarian Banteng diklasifikasikan menjadi sebagai
berikut:
0-18 = tidak efektif
19-36 = kurang efektif
37-54 = efektif
Semua indikator tersebut ditabulasikan, lalu dihitung, dan
diklasifikasikan sehingga mengetahui pelestarian Banteng dapat dikatakan
efektif atau tidak efektif. Analisis deskriptif dilakukan secara lebih mendalam
untuk masing-masing kriteria dan indikator untuk dapat membandingkan
kondisi lapangan dengan alat ukur efektivitas.
Daftar Pustaka

Alikodra HS, Palete R. 1980. ​Laporan Potensi Makanan Banteng (Bos javanicus) di Cagar
Alam Ujung Kulon​. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS, Palete R. 1983. Ekologi Banteng (​Bos javanicus d’Alton)​ di Taman Nasional
Ujung Kulon. ​Disertasi.​ Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alikodra, H.S. 1987. ​Manfaat taman nasional bagi masyarakat di sekitarnya.​ Media
Konservasi. Indonesia.
Alikodra, H. S. 1990. ​Pengelolaan Satwa Liar Jilid I​. Bogor (ID): Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Alikodra, H.S., 2012. Konservasi Sumber Daya dan Lingkungan. Pendekatan Ecosophy Bagi
Penyelamatan Bumi 1st ed. Gajah Mada. Yogyakarta.

Andreina, Kiki. 2016. ​Struktur dan Pola Distribusi Tegakan Acacia nilotica Berdasarkan
Kelas Tinggi dan Diameter Pohon di Savana Bekol Taman Nasional Baluran.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Bismark, M. 2011. ​Prosedur Operasi Standar (SOP) Untuk Survei Keragaman Jenis Pada
Kawasan Konservasi​. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Balai Taman Nasional Baluran. 2007. ​Secuil Afrika di Jawa: Sekilas Potensi Wisata Taman
Nasional Baluran.​ Situbondo, Jawa Timur.

Balai Taman Nasional Baluran. 2013. ​Rencana Pengelolaan Taman Nasional Baluran
2014-2023​. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Kementerian Kehutanan.
Dharmawan, I.W dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Status Ekosistem Mangrove.
COREMAPCTI. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Djufri. 2013. Penurunan Kualitas Savana Bekol sebagai ​Feeding Ground bagi Rusa (​Cervus
timorensis)​ dan Banteng (​Bos javanicus​) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unsyiah Darussalam Banda Aceh.
Francis, C. 2008. ​A Guide to the Mammals of South-East Asia. Princeton University Press.
Princeton, New Jersey, and Oxford. United Kingdom.
Fuad, N. 1994. Analisis Vegetasi Habitat Banteng di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Skripsi. ​Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Gaol, R. Potensi Produksi Hijauan Pakan Ternak Ruminansia pada Pastura Alami di Pulau
Samosir Kabupaten Samosir. ​Skripsi​. Fakultas Peternakan Universitas Sumatera Utara.
Garsetiasih, R., H.S. Alikodra., R. Soekmadi., M. Bismark. 2012. Potensi dan Produktivitas
Habitat Pakan Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Padang Perumputan Pringtali
dan Kebun Pantai Bandealit Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. ​Jurnal
​ ol 9 No 2. Pp 113-123.
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. V
Garsetiasih, R dan N.M Heriyanto. 2014. Karakteristik Vegetasi Habitat Banteng (Bos
javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi. ​Jurnal Pendidikan Hutan dan Konservasi Alam. Vol 11
No 1.
Garsetiasih, R., Reny, S., Anita, R. 2019. Bioekologi dan Konservasi Banteng di Indonesia.
Forda Press.​ Bogor
Halder, U. 1976. ​Okologie und Verhalten Des Banteng (& javanicus) in Java. Verlag Paul
Parey, Hamburg, Berlin. 123 pp.
Hardjana, A. 2013. Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi
Dada pada Tegakan Tengkawang Tungkul Putih (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.
Ashton) dan Tungkul Merah (Shorea stenoptera Burck.) di Semboja, Kabupaten
Sanggau. ​Jurnal Penelitian Dipterokarpa.​ Vol. 7 No.1.

Hedges S. 2000. ​Bos javanicus​. In : IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species.

Hermawan, M., M. Baiquni., M. Ali. 2012. Perlindungan Ruang Jelajah Banteng dalam
Kesenjangan Sistem Kawasan Konservasi di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa
Timur. ​Jurnal Ilmu Kehutanan.​ Vol 6 No 2.

Hersalida, V. 2001. Studi Produktivitas Rumput sebagai Sumber Pakan Rusa Jawa (Cervus
timorensis rusa, Mull & Schl.) di Penangkaran Rusa Jawa Wanawisata Monumen Suryo
Ngawi. ​Skripsi.​ Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Hockings, M., Stolton, S., Leverington, F., Dudley, N. and Courrau, J. 2006. ​Evaluating
Effectiveness: A framework for assessing management effectiveness of protected areas.​
2nd edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Hockings, M., Stolton, S., Leverington, F., Dudley, N. MacKinnon, K., and Whitten, T. 2007.
Management Effectiveness Tracking Tool - reporting Progress at Protected Area Sites.
2nd edition​. Gland. WWF.
Hoogerwerf. 1970. ​Ujung Kulon. The Land of The Last. Java Rhinoceros.​ Leiden. E.J. Brill.
Husein, Umar. 2008. ​Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.​ Jakarta. PT
Rajagrafindo Persada.
Innayah, F.H, 2011. Karakteristik Habitat Banteng (​Bos javanicus ​d’Alton, 1832) di Taman
Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. ​Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata IPB. Bogor.
Imron, M. Ali, Satyawan P, dan Wahyu M. 2012. Pengembangan Pendekatan Habitat
Suitability Index Map Untuk Prediksi Persebaran Banteng (Bos Javanicus D’alton
1832) Di Taman Nasional Alas Purwo. Penelitian Kerjasama Institusi. Universitas
Gadjah Mada.
Isbandi, Rukminto Adi. 2007. ​Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari
Pemikiran Menuju Penerapan.​ Depok: FISIP UI Press.
IUCN [International Union for Conservation of Nature and natural Resources]. 2004. ​IUCN
Species Survival Commission the IUCN Red List of Threatened Species​.
Jenning, S., N.D Brown., D. Sheil. 1999. Assessing forest canopies and understorey
illumination: canopy closure, canopy cover and other measure. ​Forestry 72. ​Vol 1 Pp
59-74.
Kartasapoetra, A. 2004. ​Klimatologi : Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.​ Bumi
Aksara. Jakarta.
Kementrian Kehutanan. 2012. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanius)
tahun 2010 - 2020​. Neulus Cipta Karya. Jakarta
KLHK. 2017. ​Efektivitaas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. ​Direktorat
Kawasan Konservasi. DITJEN KSDAE.
Kementrian Kehutanan. 2012. ​Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanius)
tahun 2010-2020. ​Neulust Ciptakarya. Jakarta
Landert, K. 2016. Comparing Photographic and GIS-based Applications for Estimating
Canopy Cover in Southern Appalachian Bogs. ​Proceedings of The National Conference
On Undergraduate Research (NCUR) 2016 University of North Carolina Asheville
Asheville, North Carolina​.
MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993. ​Pengelolaan Kawasan yang
Dilindungi di Daerah Tropika​. UGM Press, Yogyakarta.
Manan, F. 2017. Pendugaan Indeks Produktivitas Tegakan Hutan Alam Menggunakan Indeks
​ ekolah Pasca Sarjana
Luas Daun Di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Tesis. S
IPB. Bogor
Mardiono, D. 2010. Penggunaan Habitat Oleh Banteng (Bos javanicus) di Perkebunan
Treblasala-Banyuangi. ​Tesis.​ Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Marsono, D. 1977. ​Diskripsi Vegetasi dan tipe Vegetasi Tropika​. Yayasan Pembina Fakultas
Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Moen, A.N., 1973. ​Wildlife ecology : an analitycal approach.​ San Francisco:Cornell
University, W.H. Freaman and Company.
Morrison, M.L. 2002. ​Wildlife Restoration : Technique for habitat Analysis and Animal
monitoring.​ Island Press. Washington.
Noon, B.R. 1981. ​Techniques for sampling avian habitats. pp. 42-52. In: The use of
multivariate statistics in studies of wildlife habitat. Capen, D.E. (ed)​. U.S. Department
of Agriculture, Forest Service, General Technical Report RM-87. Rocky Mountain
Forest and Range Experiment Station, Fort Collins, CO.

Nugroho, R. 2002. Studi Pakan Banteng ​(Bos javanicus) d​ engan Metode Analisis Kotoran di
Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuangi. ​Skripsi.
Universitas tma Jaya. Yogyakarta.

Prayetno, A., 2015. Kerja Sama Komunitas ASEAN 20115 dalam Menghadapi ATHG
(ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Terbuka. Yogyakarta

Nurcahyono, M.E. 2010. Seleksi Habitat Oleh Banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional
Baluran). ​Skripsi.​ Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Pudyatmoko, S., Ali, I. Murdyatmaka, W. 2012. Pengembangan Pendekatan Habitat
Suitability Index Map Untuk Prediksi Persebaran Banteng (Bos Javanicus D’alton
1832) Di Taman Nasional Alas Purwo. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan UGM.
Yogyakarta.

Pudyatmoko, S. 2004. Does the banteng (Bos javanicus) have a future in Java? Challenges of
the conservation of a large herbivore in a densely populated island. ​Report of the 3rd
IUCN World Conservation Congress.​ Bangkok.

Pudyatmoko, S. 2017. Free-ranging livestock influence species richness, occupancy, and


daily behaviour of wild mammalian species in Baluran National Park, Indonesia.
J​ournal Mammalian Biology.​ Vol 86. Pp 33-41.

Purnomo, D. W. 2003. Studi Jenis Pakan dan Tingkat Kesukaannya Pada Rusa Jawa (​Cervus
​ ul.&Schl) di Wanagama I Gunungkidul. ​Skripsi tidak dipublikasikan​.
timorensis M
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Santosa, Y dan Delfiandi. 2007. Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Wilayah Jelajah
Banteng (​Bos javanicus d​ ’Alton, 1832) di Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur.
Pulikasi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.

Scott, J.M., Csuti, B., Jacobi, J.D dan Estes, J.E. 1987. Spesies Richness : A Geographical
Approach to Protecting Biodiversity. ​Journal Bioscience.​ Vol 37 : Pp 782-788.

Setiawati T. 1986. Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Cagar alam Leuweung
Sancang-Garut Jawa Barat. ​Skripsi.​ Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.

Shaw, J.H. 1985. ​Introduction to Wildlife Management​. Mc Graw-Hill Book Co., New York.

So, W. 2017. Struktur dan Komposisi Vegetasi Suaka Margasatwa Egon Ilmedo Kabupaten
Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. ​Tesis.​ Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Soerianegara, I. 1978. ​Ekologi Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu. Direksi Perum
Perhutani.

Soerianegara, I dan Andy,I. 2005. ​Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sugiyono. 2007. ​Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.​ Bandung: Alfabeta.

Susanto, A., Abdul, R., Poltak, B., Panjaitan. 2008. Analisis Habitat Banteng (​Bos javanicus
d’Alton, 1832) di Padang Pengembalaan Butun SPTN WIlayah I P. Panaitan Taman
NAsional Ujung Kulon Propinsi Banten. ​Jurnal Nusa Sylva.​ Vol 8 Pp 1-6.

Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. dan Pattanavibool, A. 2010. Bos
javanicus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4.
www.iucnredlist.org.

Totilisa, E., R. Ayu., Endang, A. 2014. P​eta Lokasi dan Kondisi Beberapa Sumber Air Tawar
sebagai Tempat Minum Satwa di Taman Nasional Baluran. Jurusan Biologi Fakultas
MIPA Univeristas Brawijaya. Malang.

Wardhana, D. 2015. Mengenal Metode Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan


Konservasi. Artikel ​http://ksdasulsel.org/kawasan/164.

Anda mungkin juga menyukai