Pengantar
Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masa-
lah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna,
banjir, kekeringan dan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah
berat dengan meningkatnya luas hutan yang dialih gunakan menjadi lahan
usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah akibat adanya alih guna lahan
tersebut dan sekaligus untuk mengatasi masalah pangan.
Buku ini adalah buku bahan ajar dan rujukan untuk Pengantar Agroforestri.
Penulisan didasarkan pada bahan-bahan yang sudah dikembangkan oleh
Pusat Penelitian Agroforestry dunia (World Agroforestry Centre = ICRAF)
se-Asia, juga diperkaya oleh para penulisnya dengan pengalaman di
berbagai lokasi di Indonesia.
Penutup
Pembahasanyang disajikan dalam buku ini bukanlah erupakan bahan mati,
isinya harus dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi dan ke-
butuhan. Oleh karena itu, selesainya penyusunan buku ini oleh oleh para
penulis bukan berarti tugas telah berakhir. Dengan penyelesaian penulisan,
justru memberikan kesadaran bahwa masih banyak materi penting lainnya
yang belum dibahas. Para penulis sepakat untuk terus mengadakan pemba-
haruan dan pengembangan. Demi kesempurnaan Bahan Ajaran ini, kritik
dan saran perbaikan dari pengguna, peneliti maupun anggota masyarakat
lainnya sangat dibutuhkan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan semoga dapat memperbaiki tingkat pengetahuan generasi muda
yang akan datang dalam mengelola sumber daya alam.
Hal yang diharapkan dari dipahami oleh pembaca dari buku ini adalah
pemahaman tenntang contoh-contoh agroforestri khas di Indonesia yang
disajikan dalam bab-bab selanjutnya. Pembaca diharapkan mampu
memahami intisari pembahasan yang diuraikan melalui penyajian conto-
contoh penerapan sistem agroforestri di Indonesia. Intisari tersebut adalah:
Pulau Halmahera, Ambon, Seram dan Buru terletak antara 1270–1310 Bujur
Timur, dan antara 40 Lintang Selatan–20 Lintang Utara. Ambon, Buru, Se-
ram terletak dibagian Selatan yaitu 20 Lintang Selatan–40 Lintang Utara. Ta-
nah di pulau Halmahera, Ambon, Seram dan Buru termasuk bahan induk
vulkanik. Tanah di Galela dan Tobelo termasuk tanah Entisol dengan tipe
Maluku berada pada daerah fauna Wallacea, kaya mamalia dan avifauna
(campuran binatang dan burung daratan Asia dan benua Australia). Dusun
akan memiliki lebih banyak burung dan kusu (mamalia phalangeridae) bila
ada pohon kenari, kelapa, pala dan duren (2 dan tabel 3), karena kusu dan
burung adalah herbivora pemakan daun muda, bunga dan buah.
Kusu adalah binatang berkantung dan selalu memiliki sepasang anak. Da-
ging kusu disukai penduduk Maluku Kristen. Dua spesies endemik Pulau
Ambon, Seram dan Buru adalah Kuskus (Phalanger Orientalis) dan Kuskus
berbintik-bintik (Spilocuscus maculatus). Di setiap dusun di Ambon, Seram
dan Buru selalu ada dua spesies kusu ini. Phalanger orientalis jantan dise-
but kusu putih dan betina disebut kusu sihar. Spilocuscus maculatus betina
disebut kusu nela dan jantan disebut kusu potar. Jenis burung (avifauna)
bernilai ekonomis dan endemik adalah: nuri, kasturi, perkici, betet, kakatua,
kring-kring, merpati, terkukur, perkutut, uncal, pergam dan mambruk.
Dusun dengan kombinasi campuran ini dihuni oleh burung dan mamalia en-
demik Maluku. Kalong, mamalia bersayap juga menghuni dusun campuran
ini. Terdapat 58 spesies kalong, terutama kalong besar (Pteropus spp).
Dusun campuran secara umum terdiri dari 4 strata. Strata–1 ditempati ke-
nari, petai; strata–2 ditempati pohon buah, pinang dan enau; strata–3 ditem-
Nusa Tenggara secara fisik memiliki tanah subur (kaya hara) tapi keku-
rangan persediaan , memiliki sifat fisik kurang menguntungkan, tingkat pro-
duktivitas pertanian cenderung rendah. Kondisi ini bertambah sulit dengan
rendahnya teknologi pendukung pengelolaan sistem produksi pertanian.
Pulau di Nusa Tenggara memiliki zona semi kering dan sub-humid, curah
hujan dipengaruhi oleh pola iklim Asia dan Australia. NTT dan NTB memiliki
ciri khas iklim semi kering (sub-humid), lama musim hujan antara 3-4 bulan
dan musim kemarau panjang (7-8 bulan) kecuali di dataran tinggi. Curah
hujan berkisar di bawah 1000 mm di beberapa daerah tertentu seperti Sabu
dan Bena (Timor, NTT) mencapai 1.250 atau 1.500 mm. Di dataran tinggi
curah hujan 2.000 mm atau lebih. Walaupun total curah hujan rendah, na-
mun intensitas hujan tinggi pada waktu tertentu. Hal ini mempengaruhi erosi
atau bencana alam serta persoalan keseimbangan air. Penyebaran hujan
bulanan (jumlah hari hujan) tidak merata dan bervariasi, kemarau panjang,
temperatur tinggi dan evapotranspirasi besar.
Vegetasi alamiah didominasi oleh jenis tanaman daerah semi kering khas
NTB dan NTT. Di dataran tinggi atau kawasan pegunungan di dominasi oleh
tanaman khas yang hijau sepanjang tahun baik tanaman asli maupun intro-
duksi seperti Eucalyptus urophylla (Asli Timor dan Flores), kemudian diin-
troduksi ke daerah lain, Casuarina junghuhniana, berbagai jenis bambu dan
beringin (Ficus spp). Tanaman asli bervariasi, berbagai jenis casia, acacia
dan albizia, pterocarpus namun bervariasi pula menurut daerah atau pulau.
Sistem produksi pertanian umunya berbasis pertanian lahan kering skala ke-
cil berbasis pedesaan semi subsisten. Sebagian besar penduduk tinggal di
pedesaan dan tergantung hidupnya dari pertanian.
Kelima. Kebutuhan terhadap kayu bangunan dan bakar sudah menjadi ke-
butuhan mendesak yang menyebabkan masyarakat mengalokasikan seba-
gian lahannya untuk ditanami dengan kayu.
Bagian hulu yaitu Kampung Galudra 2 (1300 m dpl), Desa Galudra, Keca-
matan Cugenang; bagian tengah yaitu Kampung Burangkeng (950m dpl),
Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang; dan bagian hilir yaitu Kampung
Cibakung (300m dpl), Desa Selajambe, Kecamatan Sukaluyu (Tabel 6).
Tata ruang pekarangan didasarkan pada pola pembagian ruang dalam pe-
karangan terhadap posisi relatif bangunan rumah, dibedakan menjadi tiga,
yaitu: pekarangan depan, samping dan belakang (Arifin, 1998). Bila satu
pekarangan ada 2 rumah atau lebih, zonasi didasarkan pada posisi bangun-
an rumah induk. Pekarangan depan (buruan) lebih banyak ditanami dengan
tanaman hias dan atau dibiarkan bersih. Buruan digunakan tempat bermain
anak, menjemur hasil pertanian, membuat kerajinan rumah tangga dan
mengemas sayuran. Pekarangan belakang (kebon) tidak hanya ditanami
tanaman hias, tetapi juga sayuran, buah dan bumbu membentuk pola multi-
storey seperti miniatur hutan hujan tropis. Pola tersebut menunjukkan
adanya hubungan fungsi-fungsi ruang di dalam rumah dan di pekarangan.
Total tanaman pekarangan yang ditemukan di tiga lokasi adalah 238 jenis.
Di hulu ada 90 jenis (27 jenis/pekarangan); di tengah 166 jenis (40 jenis per
Tanaman sayur yang dominan di tengah, yaitu Allium fistulasum, ranti (Sola-
num nigrum L), cabai merah (Capsicum annuum L), daun katu (Sauropus
androgynus (L) Merr). Terdapat enam jenis tanaman hias, yaitu hanjuang
merah (Cordyline terminalis), kecubung (Datura metel L), krokot (Portulaca
oleracea L), azalea (Rhododendron indicum), sosor bebek (Kalanchoe pin-
nata Pers), dan dracena (Dracaena variegata). Hilir didominasi oleh tanam-
an hias teh-tehan, dan tujuh jenis tanaman buah (rambutan, sirsak, mayang
batu, Phyllanthus javanicus (Miq) MA, nenas, kecapi dan salak, tiga jenis ta-
naman industri (kelapa, kapuk, kopi robusta), dan tiga jenis pohon lain se-
perti mahoni (Swietenia mahogani), Gordonia exelsa (kisapi) dan legundi
(Vitex trifolia). Tanaman buah seperti pisang dan alpo-kat (Persea
americana Mill) serta tanaman hias terang bulan (Duranta re-pens)
merupakan spesies tanaman dengan frekuensi penyebaran merata di
berbagai lokasi penelitian. Terlihat kecenderungan jenis tanaman dominan
yang dijumpai di hulu dan tengah adalah tanaman hias dan sayur. Di
bagian Hilir adalah tanaman buah dan industri. Perbedaan ketinggian anta-
ra hulu dan hilir mengakibatkan kondisi agroklimat pun berbeda.
Tanaman non hias yang banyak dijumpai di hulu dan tengah adalah tanam-
an sayur, buah dan pati. Tanaman lain di hilir umumnya adalah tanaman ta-
hunan berupa pohon tinggi dan besar serta memerlukan tempat yang luas
untuk tumbuh. Penduduk di hulu dan tengah lebih suka menanam tanaman
hias dan sayur karena sesuai dengan iklim dan memiliki nilai ekonomi. Ta-
naman buah yang banyak dijumpai di hulu dan tengah adalah jeruk (Citrus
nobilis Lour) dan pisang. Tanaman ini tidak terlalu besar sehingga masih
memungkinkan untuk ditanam di pekarangan tanpa menaungi sayuran. Ta-
naman besar, seperti alpokat dijumpai di hulu dan tengah, karena tanaman
ini termasuk salah satu tanaman buah khas dataran tinggi. Tanaman bum-
bu dan obat hanya sedikit dijumpai di hulu, tengah dan hilir. Arifin (1998)
Fungsi pekarangan yang sangat penting adalah mengkonservasi air dan ta-
nah (Abdoellah, 1991). Fungsi ini berjalan baik bila nilai kerapatan penutup-
an kanopi tanaman semakin besar. Nilai kerapatan penutupan ini besar
dengan semakin beragamnya stratifikasi tanaman di pekarangan. Kerapat-
an penutupan kanopi tanaman di hilir lebih besar daripada di hulu dan te-
ngah. Tanaman pohon tinggi dan besar lebih banyak ditemui di hilir daripa-
da di tengah dan hulu. Nilai kerapatan penutupan yang kecil di hulu karena
dominasi tanaman hias dan sayur di pekarangan. Sebagai tanaman
penutup tanah, tanaman hias dan sayur umumnya tidak diukur (diameter ka-
nopi kurang dari satu meter). Dengan nilai kerapatan penutupan kanopi
yang kecil dan pola tanam dengan sayuran semusim, pekarangan di hulu
memiliki fungsi konservasi air dan tanah yang rendah dibandingkan dengan
di hilir dan tengah. Densitas penutupan kanopi tanaman yang rapat berpe-
ran dalam mengurangi erosi tanah akibat curah hujan, menurunkan suhu
udara serta menghambat pertumbuhan gulma di pekarangan (Stoler, 1978).
4.7 Kesimpulan
Permasalahan dan hambatan
• Terjadi perubahan tataguna lahan yang sangat cepat, terutama daerah
hulu yang berudara sejuk; banyak lahan pertanian berubah menjadi
resor pemukiman mewah dan villa,
Terjadi fragmentasi lahan pekarangan akibat sistem pewarisan
Pengaruh urbanisasi yang dapat mengubah pola berpikir agraris ke pola
industri
Rancangan pengembangan
Pekarangan perdesaan dengan sistem agroforest kompleks perlu diper-
tahankan dan dikembangkan dengan menerapkan sistem usaha tani
terpadu,
Penataan ruang halaman depan, samping dan belakang dirancang seca-
ra fungsional dan produktif dan tetap memperhatikan aspek estetikanya,
Pembinaan teknologi pascapanen serta kelembagaan perlu ditangani
secara serius.
Sendawar terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Barongtongkok, Melak, dan Da-
mai. Terletak di antara 115o316‟–116o47‟ BT dan 0o6 –0o20‟ LS dengan luas
wilayah 5000 km2. Sendawar diapit oleh dua sungai besar yaitu Mahakam
(sungai utama di Kalimantan Timur) dan Kedangpahu (anak sungai Maha-
kam). Sendawar beriklim khas tropis lembab (humid tropical region). Curah
hujan rata-rata per tahun 2.000 mm hingga 4.500 mm.
Beberapa jenis pohon dari suku penghasil buah. Tanaman buah, teruta-
ma berasal dari suku Anacardiaceae, Bombacaceae, Dipterocarpaceae, Eu-
phorbiaceae, Meliaceae, Moraceae, Sapindaceae, Palmae, dan Rubiaceae.
Dominasi tanaman buah menunjukkan „nilai ekonomi‟ lembo di samping ni-
lai ekologis dan sosio-kultural, jadi tujuan penerapan budidaya lahan tradi-
sional ini. Lembo ditujukan untuk sumber pangan, lokasi berburu, tanda
penguasaan lahan dan warisan bagi generasi berikutnya.
Karakter kunci ini, di lapangan dan perkembangan dewasa ini, tidak selalu
ditemukan secara keseluruhan dan akurat. Pemilik lembo telah melakukan
modifikasi dengan alasan: keinginan untuk meningkatkan nilai ekonomi,
dengan memperbanyak jenis komersial atau mengatur jarak tanam;
mengikuti perkembangan program pembangunan yang ada dan pewaris
memiliki perbedaan prioritas dalam pemanfaatan lembo.
Lembo Lamin. Lembo ini berada di sekitar lamin (rumah panjang tradisio-
nal masyarakat Dayak, di mana beberapa keluarga tinggal bersama dalam
bilik-bilik kecil di Lamin). Masing-masing keluarga (atau turunannya) yang
tinggal dalam lamin berhak memanfaatkan dan menguasai petak-petak lem-
bo di belakang atau depan bilik masing-masing. Warga satu desa umumnya
berasal dari satu lamin, maka lembo ini selanjutnya menjadi milik bersama
warga desa (komunal).
Lembo Jalan. Sepanjang jalan menuju ladang atau sungai dijumpai lembo
yang tidak bertuan dan kurang terawat, disebut „Lembo Jalan‟. Lembo ini
milik komunal, dan penguasaan bersifat individu dan temporal (misalnya,
saat musim buah diberi tanda penguasaan atau pupu)
Klasifikasi lembo lainnya diBasuki, 1998; Sunaryo, 1998; Widjono,1998.
5.3 Perkembangan budidaya lembo
Istilah lembo diduga berasal dari bahasa Belanda Landbouw (pertanian).
Hal ini diperkuat dengan nama lokal yang jauh berbeda, yaitu munan (dayak
Waktu dan alasan masyarakat Dayak Tunjung dan Benuaq mulai membudi-
daya lembo tidak diketahui pasti. Sistem kebun-hutan dan kebun pekarang-
an seenis ini juga dijumpai pada suku Dayak lain di Kalimantan (Nieuwen-
huis, 1904; Sutlive jr., 1978) dan di luar Kalimantan (Mary dan Michon,
1993; Soemarwoto, et al., 1985; Wiersum, 1982) serta di Afrika tropis (Oka-
for dan Fernandes, 1987) dan Amazona (Padoch dan de Jong, 1987).
Hasil penelitian dijumpai 127 jenis (35 suku) tanaman berkayu yang ber-
manfaat atau dimanfaatkan penduduk setempat. Pada lahan seluas 0,25 ha
dapat dijumpai 40 jenis, hal ini menunjukkan keragaman yang tinggi. Dari
jumlah tersebut 90% adalah pohon atau perdu dan sisanya adalah palma,
bambu atau liana (10%). Sebagian besar jenis tumbuhan berkayu adalah
endemik dan indigenous, hanya sebagian kecil berasal dari luar (eksotis).
Jumlah pohon berdiameter 10 cm atau 5 cm ke atas pada budidaya lembo
lebih besar dibandingkan kebun pekarangan di lokasi transmigrasi. Jumlah
pohon (diameter 10 cm ke atas) relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah po-
hon diameter yang sama di hutan primer di wilayah tersebut. Jumlah pohon
cenderung menurun dengan semakin dekatnya lembo pada pemukiman.
Dari status, maka sebagian jumlah tersebut (55%) tumbuh secara alami
(tidak dibudidayakan), 23 % setengah dibudidayakan dan 23% dibudidaya-
kan (22%). Kondisi ini sesuai dengan pengamatan Seibert (1989) bahwa
sistem agroforestri tradisional di Kalimantan Timur dibandingkan dengan
yang ada di Jawa lebih didominasi jenis pohon liar. Dilihat dari letaknya, ke-
seluruhan jenis yang ada (80%) dapat dijumpai pada Lembo-lembo yang
jauh (kebun hutan) dan hanya 60% yang dekat (kebun pekarangan).
Diameter pohon setinggi dada terbesar 50 cm (kebun pekarangan) dan 100
cm (kebun hutan). Tinggi pohon berkisar antara 5-35 m. Pohon-pohon
Komponen lain yang menyusun budidaya lembo adalah beberapa jenis he-
wan ternak (kebun pekarangan), terutama babi dan ayam. Komponen he-
wan penting bagi keberlangsungan fungsi lembo (kebun hutan) adalah sat-
wa liar, meskipun sebagian dari satwa ini tidak menetap (hanya periodik, ter-
utama musim buah) tetapi bermanfaat untuk diburu dan membantu proses
regenerasi pohon dan tanaman, disamping ada yang dianggap hama.
Struktur yang kompleks dan variasi jenis yang tinggi dalam lembo, menim-
bulkan interaksi antar komponen bersifat persaingan (concurrence), keter-
gantungan (interdependence) dan atau saling melengkapi (complementare).
Dibutuhkan pengetahuan tentang kesesuaian kombinasi dalam pemelihara-
an lembo. Penduduk Dayak telah memiliki pengetahuan tradisional, meski-
pun dianggap primitif. Bila anggapan ini dipertahankan maka dikhawatirkan
pengetahuan tersebut punah. Perpindahan pemuda ke kota membahaya-
kan keberadaan lembo ke depan, mengingat komponen penyusun lembo
salah satunya tenaga kerja yang intensif (laborintensive). Karena mekanisa-
si tidak mungkin dilaksanakan dalam budidaya lembo, di samping keragam-
an yang tinggi juga menuntut sistem kerja yang khas. Keuntungan dari sisi
pola hidup dan tradisi masyarakat Dayak, tersedianya tenaga kerja musiman
pada sistem tradisional tersebut.
Jenis produk
Buah/biji, umbi/akar/empulur, sari palma, karet/getah, serat (kulit/buah), ka-
yu, banir, daun, damar, tunas/pucuk/umbut, rotan, bambu, madu, telur, sat-
wa buru, dan daging/tulang/kulit binatang.
Pemanfaatan Produk
Bahan pangan/pakan ternak, bumbu, sagu, minuman, gula palma, obat-
obatan, insektisida, racun, bahan pewarna, bahan perekat/dempul, bahan
bangunan, kayu bakar, tikar, alat rumah tangga/pertanian. Berburu/pe-
rang/memancing, pembungkus, keranjang, peti, patung, perahu, rakit
dayung, dulang, alat musik, permainan, bahan pengikat, perhiasan.
Fungsi Lain
Pendapatan, ruang hidup (satwa), tabungan, hak milik lahan, batas lahan,
warisan, identitas budaya, tempat berburu, pelindung tanah, kesuburan ta-
nah, perlindungan terhadap erosi, tata air, lklim mikro, bank plasma nutfah.
Orientasi masa depan budidaya lembo, bisa dievaluasi secara subyektif, arti
tergantung dari sudut siapa budidaya lembo dilihat. Bagi masyarakat pede-
Sumatera Barat memiliki ciri kebudayaan tua dengan beragam sistem perta-
nian perpaduan sawah beririgasi dan bermacam tanaman keras. Tutupan
hutan tropika yang dulu mendominasi wilayah Minangkabau sekarang terba-
tas di kawasan hutan lindung. Maninjau adalah salah satu daerah di
Sumatera Barat yang petaninya mengembangkan kebun campuran pepo-
honan yang sangat mengesankan, berisi perpaduan pohon komersil dengan
spesies lain yang mendominasi bentang alam kawasan pertanian. Kebun-
kebun ini sudah dikembangkan sejak lama, berawal dari upaya untuk mena-
nami bekas lahan tegakan hutan dengan pepohonan setelah ditanami padi.
B. Lingkungan biofisik
Curah hujan kawasan ini antara 3.000-4.500 mm per tahun dan daerah pa-
ling kering di bagian timur. Curah hujan terbesar di Bulan Oktober-Maret,
Kemarau singkat terjadi pada bulan Februari dan musim kemarau (curah hu-
jan <200 mm) pada bulan Juli–Agustus. Suhu rata-rata relatif tetap sepan-
Jenis tanahnya adalah vulkanik muda (Andosol) yang kaya unsur hara tetapi
struktur kurang stabil sehingga rawan erosi dan longsor. Tanah di bagian
bawah lereng berkarang dan berbatu, dan kurang padat di bagian atas ka-
wah. Petani menanam pohon penutup permanen, pelindung efisien untuk
mencegah tanah longsor.
Vegetasi alami adalah hutan hujan tropika, masih menutupi 30-79% areal
pedesaan. Berada pada ketinggian 900 m sampai ke punggung kawah. Di
atas ketinggian 800 m dpl terdapat formasi hutan pegunungan dengan jenis
Fagaceae (Quercus dan Castanopsis), Lauraceae dan Myrtaceae sebagai
pohon kanopi, dan jenis Anacardiaceae (Mangifera dan Swintonia) atau
Shorea platyclados (Dipterocarpaceae). Namun sangat rawan gangguan
angin, hujan dan tanah longsor. Memilik tumbuhan menjalar yang banyak
(antara lain rotan) dan keberadaan Ficus (beringin) menjadi penstabil tanah
yang efisien. Pada lereng paling terjal, terdapat vegetasi semak dan pan-
dan, pakis dan herba. Ketinggian di bawah 800 m dpl, vegetasi hutan asli
yang tersisa adalah Burseraceae (Canarium, Santiria, Dacryodes), Fagace-
ae (Lithocarpus, Quercus), beberapa sisa Dipterocarpaceae (Shorea sumat-
rana, S. sororia, Hopea mengarawan, Parashorea lucida), dan sejenis Mi-
Spesies pohon dari formasi suksesi awal adalah Octomeles sumatrana (Da-
tiscaceae), Alstonia angustiloba (Apocynaceae), Terminalia spp (Combreta-
ceae), Pisonia umbellifera (Nyctaginaceae), Artocarpus spp. (Moraceae).
Kebanyakan spesies hutan ini ditemukan pada sistem agroforestri,
dipertahankan dan dikelola oleh petani untuk berbagai tujuan.
C. Tataguna lahan
Pertanian
Usaha tani masyarakat di kawasan Maninjau bersifat menetap. Usaha ini
meliputi dua komponen. (1) Budidaya padi sawah beririgasi. Kegiatan ini
berada di teras danau dan dasar lereng (sekitar 13- 75% lahan pertanian,
atau 3,5-30% dari tanah pedesaan). Produksi padi terutama untuk konsum-
si sendiri dan pada desa tertentu dijual. Panen, dilakukan 1-3 kali setahun
tergantung dari ketersediaan air dan tenaga kerja. Diantara dua masa ta-
nam, sawah ditanami cabai, terong, dan mentimun; (2) Kebun pohon
campuran, merupakan agroforestri di lereng, antara desa dan kawasan hu-
tan lindung. Kebun-kebun ini, disebut parak, mencakup 50-88% total lahan
pertanian (13-33% dari total lahan).
Hutan
Penduduk tidak mengambil hasil hutan alam; kayu bangunan dan kebutuhan
lain tersedia di kebun hutan. Hutan alam berada di ketinggian >900 m dpl di
lereng yang terjal, berstatus kawasan hutan lindung. Penetapan status
kawasan hutan lindung sejak zaman Belanda, tetapi batas-batas kawasan
sedikit berubah mulai beberapa tahun yang lalu untuk tujuan perlindungan.
Danau
Dimanfaatkan untuk budidaya perikanan, terutama di bagian selatan dan
barat kawah. Ikan ditangkap untuk konsumsi sendiri dan dijual di pasar se-
tempat. Jenis ikan khas danau Maninjau yaitu rinuak dan pensi..
Tanaman keras
Jenis yang dibudidayakan khusus pohon yang memerlukan pemeliharaan
dan pemanenan teratur. Ada enam jenis pohon yang dibudidayakan di ke-
bun campuran: (1) Durian (Durio zibethinus) dari suku Bombacaceae. Po-
hon besar, tinggi 40 m, merupakan komponen kanopi kebun campuran dan
spesies utama. Durian berasal dari hutan alam di bagian Barat Indonesia.
Berbuah pada bulan Juli-Agustus, sejak berumur 7-100 tahun. Buah durian
dijual kepada pedagang setempat dan dimakan sendiri. Pada puncak mu-
sim, konsumsi durian melebihi jumlah konsumsi beras. Durian dibiakkan da-
ri biji dan ditanam di kebun. Pohon ini tidak memerlukan pemeliharaan khu-
sus, sebelum musim berbuah vegetasi bawah dibersihkan untuk memudah-
kan pemanenan. Pohon durian tua dibiarkan mati dan tumbang alami, kayu
diambil untuk bangunan, memiliki kayu berwarna merah, baik untuk dinding.
(3) Pohon surian (Toona sinensis) dari suku Meliaceae. Merupakan jenis
asli hutan setempat, berukuran sedang dengan tinggi 35 m. Berfungsi seba-
gai naungan bagi kopi dan pala, menghasilkan kayu bagus untuk lantai, din-
ding rumah dan perabotan. Anakan surian diambil dari lahan di bawah po-
hon tua. Kayu dipanen pada umur 30 tahun. Pohon berdiameter 30 cm da-
pat menghasilkan 25 keping papan (400 x 22 x 4 cm).
(4) Kayu manis (Cinnamomum burmani) dari suku Lauraceae. Kayu manis
adalah komoditi ekspor di Sumatera Barat, dan dibudidayakan sejak bera-
bad-abad yang lalu. Kayu manis termasuk spesies tumbuhan bawah yang
utama. Ditanam di bawah tegakan durian, bayur dan spesies lain yang ra-
pat‟. Anakan dikumpulkan dari kebun dan dipelihara di persemaian selama
setahun. Kulit kayu manis dipanen setelah berumur 8-10 tahun; diameter
batang >10 cm dan tinggi 15 m. Pohon ditebang untuk pemanenan, kulit ba-
tang dan dahan diambil, jumlah kulit yang dihasilkan sekitar 8 kg kulit kering.
Kayu yang kulitnya telah dikelupas, diambi untuk kayu bakar, dipakai sendiri
(5) Pohon pala (Myristica fragrans) dari suku Myristicaceae. Pala berukuran
sedang, tinggi sampai 20 m, berasal dari kepulauan Timur Indonesia. Di-bi-
akkan dari biji, dipelihara di persemaian selama satu tahun, semaian dita-
nam di bawah kanopi pohon durian dan surian yang agak jarang. Kerapatan
pala bervariasi 300-500 batang/ha. Pada umur 6 tahun, pala mulai berbuah
dan menghasilkan hingga umur 50-70 tahun. Berbuah sepanjang tahun,
puncaknya pada Bulan Juli dan Januari. Hasil beragam 10- 30 kg biji kering
per pohon per tahun, dan arilus (selaput biji) kering juga diambil dan dijual
sebagai bunga pala.
(6) Kopi (Coffea canephora) dari suku Rubiaceae. Kopi adalah komponen
dominan di dalam sistem kebun campuran sampai tahun 1940. Kopi dita-
nam di bawah kanopi durian yang kurang rapat. Bibitnya diambil dari kebun
telantar di bagian atas lereng. Pada tahun awal pertumbuhan, kopi muda
ditanam berdampingan dengan pisang dan pepaya; saat yang sama tanam-
Hewan
Kerbau dipelihara di kebun campuran, tetapi komponen hewan utama ada-
lah hewan liar yang merusak buah dan umbi-umbian tetapi penting dalam
penyerbukan dan penyebaran biji. Hama kebun yang utama adalah simpai
merah (Presbytis rubicunda), beruk (Macaca nemestrina), monyet (M. fasci-
cularis), dan siamang (Hylobates syndactylus), musang, tupai, babi hutan,
beruang madu (Helarctos malayanus), binturung (Arctidis binturong), hari-
B. Pengaturan komponen
Ciri paling menonjol dari kebun campuran adalah keragaman jenis, tanpa
ada jenis yang dominan. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan
arsitektur kebun mencakup ukuran petak kebun yang dimiliki, tingkat pemeli-
haraannya, kebutuhan uang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi ke-
luarga, dan lokasi kebun (ketinggian dan jarak). Secara umum terdapat ciri
pengaturan yang erat antara spesies lapisan atas dan bawah. Berdasarkan
analisa ekosistem hutan, struktur dan arsitektur vegetasi memiliki ciri khas
yaitu lapisan berbeda pada pohon yang sudah berproduksi, disebut paduan
struktur atau paduan produksi (Michon, 1983). Berdasarkan tanaman pohon
yang relatif dominan dalam kebun, ada dua tipe kebun yaitu:
Kombinasi durian, jenis kayu, dan kayu manis atau pala
Dua kombinasi struktur dari pohon produktif yang dominan adalah
perpaduan kanopi durian dan bayur menempati strata bagian atas (ketinggi-
an 40 m, penutup dihitung dari jumlah luas tutupan tajuk, 90% dari total per-
mukaan petak), kerapatan pohon sekitar 110 pohon produktif/ha. Tegakan
kayu manis dan pala membentuk paduan kanopi lebih bawah (5-15 m), ta-
juknya menutupi sampai 70% permukaan petak. Di antara dua paduan ini
terdapat lapisan pohon (surian dan Alangium) yang tidak selalu ada
(ketinggian 18-22 m), dan pada ketinggian 5-12 m terdapat spesies buah
yang berbenturan dengan paduan kanopi pala atau kayu manis. Lapisan
bawah ditumbuhi rerumputan dan suku pandanus. Pohon muda pengganti
Gabungan dan interaksi antara tipe kebun yang berbeda menyebabkan mo-
saik yang kompleks di lereng-lereng. Komposisi dan konfigurasi tiap kebun
bisa berubah dari waktu ke waktu, namun tutupan kebun campuran secara
keseluruhan tetap stabil. Perubahan dari satu tipe kebun ke tipe yang lain,
atau dari kebun terbengkalai menjadi kebun baru seringkali terjadi tanpa pe-
C. Pengelolaan
Para petani menerapkan teknik pertanian konvensional dalam pengelolaan
kebunnya, memadukan proses alami dengan bahan organik, perputaran un-
sur hara, dan regenerasi vegetasi. Faktor penentu dalam pemeliharaan ke-
bun adalah interaksi fungsi dari tanaman, antara tanaman dengan tanah,
dan antar siklus biologi tiap-tiap tanaman. Petani memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang kebutuhan ekologi tiap jenis tanaman dalam kebun
campuran. Misalnya kayu manis, jenis ini hidup pada ketinggian sedang,
bila ditanam di bawah 800 m dpl akan membutuhkan naungan berupa kano-
pi lebat yang bisa mempertahankan suhu dan kelembaban optimum. Suri-
an, adalah jenis yang menyukai rumpang dalam hutan alam, tidak bisa ber-
kecambah di bawah naungan kebun. Petani mengusahakan ruang terbuka
di dekat pohon surian dengan menjarangkan kanopi dan menyiangi tanam-
an bawah guna mendapatkan semaian. Dengan demikian, biji dari pohon
tua bisa berkecambah, kemudian dipindahkan pada umur 1-2 tahun (saat ini
bibit sudah bisa tumbuh di bawah naungan). Penanaman bibit secara tera-
tur hanya untuk jenis-jenis tertentu. Manfaat dari penanaman adalah bahwa
petani dapat mengatur letak pohon tersebut dan pertumbuhan dapat lebih
baik, salah satu dengan teknik memilih posisi tumbuh bibit dekat tunggul
pohon yang busuk (fungsi pupuk). Penanaman akan dilakukan secara total,
Pepohonan tidak akan ditebang tetapi dibiarkan atau tumbang secara alami,
kecuali untuk kopi dan kayu manis. Kayu, bila berharga diambil atau dibiar-
kan membusuk di kebun. Kematian alami ini menimbulkan ruang terbuka di
lapisan bawah atau kanopi (seperti rumpang pada hutan alam). Rumpang
bila ukurannya tidak besar akan menambah masuknya sinar matahari pada
tanah. Adanya ruang kosong ini meningkatkan pertumbuhan pohon peng-
ganti di lapisan bawah dan berkembang menutupi ruang yang terbuka. Bila
pohon pengganti tidak ada, tempat terbuka tersebut dimanfaatkan untuk me-
nanam pohon baru; bibit ditanam di dekat pohon tumbang untuk tujuan pe-
mupukan. Semaian muda digabungkan dengan tanaman bersiklus singkat
dan memerlukan banyak cahaya (misalnya pisang). Dalam tahap ini pisang
sebagai tumbuhan perintis (pionir). Teknik ini, di samping mengurangi jum-
lah spesies alami yang tidak bermanfaat dan mempercepat suksesi, dan
memberikan lingkungan yang baik untuk tahap awal pertumbuhan semaian.
Semaian mendapat naungan, kelembaban, dan pemeliharaan atas pisang.
Pemanenan jenis kayu menghasilkan rumpang, sehingga terjadi suksesi
seperti halnya pada rumpang alami. Untuk kayu manis, bila tegakan dipa-
nen sekaligus, akan mengakibatkan gangguan mendadak pada struktur ke-
bun. Penyiangan dilakukan berulang kali di tiga tahun pertama guna meng-
hindari pertumbuhan jenis yang tidak dikehendaki dan mempercepat rege-
nerasi tegakan kayu manis.
Tenaga kerja
Setiap rumah tangga, umumnya memiliki 5 anggota, karena budaya meran-
tau hanya sedikit tenaga produktif (umur 18-35 tahun) yang mendiami desa.
Tenaga kerja yang dilibatkan dalam kebun campuran hanya dari keluarga.
Periode pekerjaan paling sibuk ialah pada musim durian dan panen kayu
manis. Pada masa panen kayu manis, petani saling membantu; laki-laki
menebang pohon, perempuan mengupas kulit dan membawanya ke desa.
Waktu kegiatan pengelolaan kebun campuran, tidak memiliki jadwal tertentu
sehingga bisa diatur bergiliran. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin
nampak jelas, perempuan melakukan pengumpulan kayu bakar dan laki-laki
melakukan penanaman. Pemetikan buah dilakukan oleh seluruh anggota
keluarga. Menebang dan menggergaji kayu dilakukan oleh pekerja khusus
yang dibayar dengan barang atau uang tunai. Pada puncak kesibukan kerja
di sawah, kegiatan di kebun ditunda. Tetapi pada musim durian pemanenan-
B. Produksi
Angka produksi untuk produk yang diperdagangkan tercatat dengan jelas,
namun data untuk produk yang dikonsumsi penduduk hanya sulit didata. Ke-
bun memberikan sumbangan 26-80% dari total pendapatan keluarga. Agro-
forestri memberikan pendapatan Rp 350.000- Rp 5.000.000/ha/tahun (Ta-
hun 1984). Nilai produk kayu adalah perkiraan, karena hanya sebagian
yang dapat dihitung. Nilai total tumbuhan liar juga tidak diketahui.
D. Kemampuan pengembangan
Agroforest di Maninjau adalah contoh untuk hal-hal berikut ini:
1. Pola kawasan penyangga efisien di sekitar hutan lindung. Teknik yang
menarik dan strategi pepaduan sumber daya hutan ke dalam struktur ke-
bun campuran melalui budidaya spesies hutan dan perlindungan kompo-
nen alami bisa dipelajari dari kebun campuran di Maninjau,
B. Sosial ekonomi
Kalimantan Barat memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kelom-
pok etnik besar di daerah pengamatan adalah Dayak Pedalaman yang ber-
tani di pedalaman, nelayan atau pedagang, dan orang Cina yang tinggal di
kota kecil dan berusaha di bidang perdagangan dan industri kerajinan. Pen-
datang Bugis datang dari daerah pesisir, menetap sejak abad ke-18, dan
transmigran Jawa dan Madura. Infrastruktur tergolong yang paling baik di
Kalimantan tetapi belum mendukung bagi komoditas berukuran besar.
Sarana perhubungan selain Sungai Kapuas, juga ada jalan dari ibukota pro-
pinsi sepanjang Sungai Kapuas dan jalan ke Sarawak. Struktur proses dan
pemasaran hasil bumi masih buruk, belum ada fasilitas pemrosesan produk
E. Kepemilikan tanah
Wilayah desa, dasar bagi kepemilikan tanah dan hutan yang diatur dengan
hukum adat. Orang luar tidak bisa memanfaatkan sumber daya kecuali jika
termasuk dalam salah satu kelompok keluarga di desa. Selain hak dasar
untuk pemanfaatan sumber daya dalam wilayah desa, hak tetap untuk mem-
buka kembali dan membudidayakan lahan dimiliki oleh pribadi atau keluarga
yang pertama membuka hutan alam. Hak ini diwariskan dan dapat disewa-
kan kepada keluarga lain. Hak atas pohon ditetapkan dengan menanam
atau menandai lalu dirawat, hak ini juga dapat disewakan dan diwariskan.
Hutan tutupan adalah milik bersama warga dengan hak pemanfaatan indivi-
du terbatas, guna menjamin pasokan kayu bagi seluruh masyarakat. Pro-
A. Komposisi flora
Pohon adalah unsur penting dalam tembawang, yaitu tengkawang, karet,
nyatuh, dan pohon buah. Beberapa jenis pohon lain dalam jumlah kecil dibu-
didayakan guna menghasilkan kayu dan beberapa spesies liar.
Tengkawang
Di Kalimantan Barat, ada enam spesies famili Sapotaceae dan 15 spesies
Shorea dari famili Dipterocarpaceae. Nama daerah tengkawang dan teng-
kabang (Sarawak). Minyak tengkawang sebagian besar diekspor ke Eropa
Semua spesies tengkawang adalah kayu berharga, jenis meranti merah mu-
da, kecuali Shorea seminis, jenis kayu keras yang tahan lama (Balau, I-II)
dan Shorea macrantha, sejenis meranti merah tua (Anderson 1975). Jenis
kayu ini terancam penebangan oleh HPH atau penduduk (Akcaya 1991,
Seibert 1990). Salah satu ciri khas Dipterocarpaceae dan jenis tengkawang
adalah musim bunga tidak teratur, kecuali Shorea stenoptera forma. Musim
bunga berkaitan dengan kemarau panjang. Terkadang musim buah hutan
terjadi di hampir semua lokasi, setiap 3-4 tahun. Masa dewasa pohon anta-
ra 3-20 tahun (Buchele 1991, komunikasi pribadi). Tengkawang tungkul
(Shorea macrophylla) adalah jenis paling banyak ditanam oleh petani Dayak
dan Melayu, di sepanjang sungai (85% ). Jenis ini penghasil biji tengka-
wang terbesar (Sunarica 1991) dan Shorea stenoptera, memasok produksi
minyak tengkawang terbesar di Indonesia dan Malaysia. Dengan tinggi po-
hon 55 m dan tajuk sangat besar, tengkawang tungkul mendominasi tingkat
atas tajuk tembawang, dan memiliki tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi
di antara semua jenis tengkawang.
Nama tengkawang tungkul digunakan oleh orang Dayak untuk jenis Shorea
stenoptera yang banyak di Sarawak. Di desa Sanjan, Embaong, dan Gok
Tanjung ditemukan lebih banyak Tengkawang tungkul. Di Tunguh lebih se-
ring dijumpai Shorea stenoptera berbiji besar. Tengkawang rambai (Shorea
splendida) berkerabat dengan Tengkawang tungkul, menghasilkan biji lebih
Langsat dan duku (Lansium domesticum, Suku Meliaceae) adalah dua tum-
buhan budidaya dari satu spesies. Pohon kecil yang berada di tingkat te-
ngah tembawang. Pohon ini juga dikenal sebagai pohon lapisan tengah da-
lam kebun hutan di Jawa dan Sumatera (Michon, 1985). Kayu langsat awet,
kuat, lentur dipakai untuk tiang rumah. Di Jawa, kulit langsat dibakar, bera-
roma wangi dan dipakai untuk mengusir nyamuk (Burkill 1935).
Belum semua spesies yang dibudidayakan dan liar yang tercatat secara sis-
tematis. Sistem agroforestri didasarkan pada budidaya beberapa spesies
pilihan, perlindungan dan pengelolaan bagi spesies liar yang bermanfaat.
Ratusan spesies sampingan yang dibiarkan tumbuh (pohon-pohon dari hu-
8.3 Kesimpulan
Pada daerah pengamatan, tidak ditemukan lagi hutan alam maka agrofores-
tri menggantikan fungsi hutan tersebut, secara ekologi, ekenomi dan sosial.
Tumbuhan dan satwa hutan yang dimanfaatkan penduduk setempat seba-
gian hadir spontan dalam tembawang, hutan tutupan, dan agroforestri karet.
Tindakan budidaya dilakukan bila jumlah tanaman liar tidak mencukupi ke-
butuhan. Prinsip ini mendorong berkembangnya teknik budidaya bagi ber-
bagai jenis tanaman dan kondisi ini akan berkembang pesat mengingat per-
sedian kayu bernilai ekonomi kelas I dan II di hutan alam sudah tidak ada.
Pilihan lain dengan menanam pepohonan selain karet di lahan bera bekas
perladangan berpindah. Berupa paduan karet dengan rotan atau tanaman
lain seperti kopi dan coklat, atau bahkan jenis-jenis kayu, tergantung pan-
jang masa bera. Banyak agroforest karet yang sudah terlalu tua dan kurang
produktif. Hal ini dapat dipecahkan dengan membukanya kembali.
Potensi sistem agroforestri asli dan lembaga-lembaga setempat harus diper-
timbangkan bagi pelestarian keragaman hayati dan hutan alam. Sistem ini
menjadi pelestari sumber daya genetik tanaman pertanian in-situ dan sum-
ber daya genetik hutan secara eks-situ. Sistem ini juga menjadi kantung
ekologi bagi jenis-jenis liar, menjadi zona penyangga yang efisien antara de-