Anda di halaman 1dari 102

AGROFORESTRI DAN EKOSISTEM SEHAT

Pengantar
Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masa-
lah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna,
banjir, kekeringan dan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah
berat dengan meningkatnya luas hutan yang dialih gunakan menjadi lahan
usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang
dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah akibat adanya alih guna lahan
tersebut dan sekaligus untuk mengatasi masalah pangan.

Agroforestri adalah suatu cabang ilmu pengetahuan baru bidang pertanian


dan kehutanan, berupaya memahami dan mengembangkan sistem agrofo-
restri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu. Agroforestri secara seder-
hana, berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, petani atau masyara-
kat sebagai unsur pokok (pelaku). Kajian agroforestri tidak terfokus masalah
teknik dan biofisik tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang
selalu berubah, sehingga agroforestri adalah cabang ilmu yang dinamis.

Buku ini adalah buku bahan ajar dan rujukan untuk Pengantar Agroforestri.
Penulisan didasarkan pada bahan-bahan yang sudah dikembangkan oleh
Pusat Penelitian Agroforestry dunia (World Agroforestry Centre = ICRAF)
se-Asia, juga diperkaya oleh para penulisnya dengan pengalaman di
berbagai lokasi di Indonesia.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 1


Lima pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam buku ini yaitu:
(1) Apakah ada masalah dengan sumber daya alam Indonesia?
(2) Sistem apa yang ditawarkan dan apa itu agroforestri?
(3) Adakah manfaatnya?
(4) Apa yang dapat diperbaiki dengan agroforestry?
(5) Prospek penelitian dan pengembangan agroforestri di Indonesia?.
Pembahasan dalam buku ini diawali dengan memberikan pengertian agrofo-
restri, sejarah perkembangan, jenis dan klasifikasinya disertai dengan con-
toh sederhana.

Agroforestri secara umum berfungsi melindungi (manfaat biofisik) dan pro-


duksi (manfaat ekonomis). Manfaat biofisik agroforestri dibagi dua tingkat
yaitu tingkat bentang lahan atau global dan tingkat plot. Pada tingkat global
meliputi fungsi agroforestri dalam perlindungan dan penyelamatan tanah
serta air, cadangan karbon (C stock) di daratan, mempertahankan keragam-
an hayati. Pembahasan diuraikan dalam Bab III. Manfaat skala plot, bahas-
an difokuskan pada peran pohon dalam menjaga kesuburan tanah, walau-
pun tidak semua pohon memberi dampak menguntungkan. Karena itu dibu-
tuhkan pemahaman tentang interaksi pohon-tanah dan tanaman semusim.

Pembahasan tentang proses dasar dalam sistem agroforestri diuraikan da-


lam Bab IV. Agroforestri juga berfungsi sebagai sistem produksi, karena itu
perlu dikuasai prinsip analisis ekonomi dan finansial, dibahas dalam Bab V.

Di Indonesia, agroforestri dianggap sebagai salah satu sistem pertanian


lestari. Tetapi dalam pelaksanaan sering gagal, karena pengelolaan kurang
tepat. Guna meningkatkan kemampuan mengelola agroforestri, diperlukan

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 2


tiga keterampilan utama yaitu: (a) menganalisis permasalahan yang terjadi,
(b) merencanakan dan melaksanakan kegiatan agroforestri, (c) dan monito-
ring dan evaluasi kegiatan. Pada prakteknya, ketiga ketrampilan ini belum
cukup, karena kompleksnya proses dalam sistem agroforestri. Sebelum me-
lakukan kegiatan agroforestri perlu memahami potensi dan permasalahan
yang akan dihadapi (diagnosis). Guna menyederhanakan dugaan terhadap
proses yang terlibat maka diperlukan alat bantu simulasi model agroforestri.
Bahasan ini diuraikan dalam Bab VI.

Hasil penelitian sebagai pemecahan masalah dalam penerapan agroforestry


sudah banyak dilaporkan, tetapi secara teknis masih sering mengalami ke-
gagalan. Dikarenakan tingkat adobsi teknologi dari peneliti ke petani ren-
dah. Berpijak pada fakta ini, dilakukan perubahan pandangan lebih
mengembangkan partisipasi aktif petani dalam penelitian dan pembangun-
an. Guna mendukung arah pandang ini, pada Bab VII, diuraikan pembahas-
an pentingnya memasukkan pengetahuan ekologi lokal dalam memahami
dan mengembangkan sistem agroforestri. Bab ini diperkuat dengan pemba-
hasan Bab VIII, tentang kelembagaan dan kebijakan sebagai landasan
pengembangan agroforestri yang berkelanjutan, dan analisis atas aspek
kelembagaan dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan agroforestri.

Agroforestri adalah praktek pengelolaan lahan yang sudah lama di Indone-


sia, namun agroforestri adalah cabang ilmu pengetahuan baru. Agroforestri
merupakan sistem yang kompleks, butuh perubahan pola pikir dari peneli-
tian agroforestri skala plot ke skala bentang lahan atau bahkan ke skala glo-
bal. Guna mendukung pola pikir ini, dalam Bab IX diuraikan gambaran ten-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 3


tang jenis-jenis penelitian agroforestri yang masih dibutuhkan dan beberapa
pendekatannya. Pembahasan juga dilengkapi dengan beberapa contoh ag-
roforestri di Indonesia: mulai dari cara pandang sederhana sampai menda-
lam. Contoh yang disajikan juga dilengkapi dengan beberapa pertanyaan,
sehingga diharapkan pembaca buku mampu mengembangkan lebih lanjut
dengan pengamatan, analisis dan bahkan penelitian tentang praktek-praktek
agroforestri di lingkungan masing-masing. Keragaman yang ada di Indone-
sia, menyebabkan kesempatan terbuka luas untuk menggali sistem agrofo-
restri yang berbeda dengan yang disajikan dalam buku ini.

Penutup
Pembahasanyang disajikan dalam buku ini bukanlah erupakan bahan mati,
isinya harus dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi dan ke-
butuhan. Oleh karena itu, selesainya penyusunan buku ini oleh oleh para
penulis bukan berarti tugas telah berakhir. Dengan penyelesaian penulisan,
justru memberikan kesadaran bahwa masih banyak materi penting lainnya
yang belum dibahas. Para penulis sepakat untuk terus mengadakan pemba-
haruan dan pengembangan. Demi kesempurnaan Bahan Ajaran ini, kritik
dan saran perbaikan dari pengguna, peneliti maupun anggota masyarakat
lainnya sangat dibutuhkan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan semoga dapat memperbaiki tingkat pengetahuan generasi muda
yang akan datang dalam mengelola sumber daya alam.

Bogor, pertengahan Maret 2003 Editor

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 4


BAB I PENGANTAR AGROFORESTRI

Hal yang diharapkan dari dipahami oleh pembaca dari buku ini adalah
pemahaman tenntang contoh-contoh agroforestri khas di Indonesia yang
disajikan dalam bab-bab selanjutnya. Pembaca diharapkan mampu
memahami intisari pembahasan yang diuraikan melalui penyajian conto-
contoh penerapan sistem agroforestri di Indonesia. Intisari tersebut adalah:

1. Mengenal empat klasifikasi sistem agroforestri di Indonesia,


2. Manfaat atau fungsi-fungsi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya yang da-
pat diperoleh dari sistem agroforestri,
3. Kelemahan, hambatan atau bahaya potensi yang harus dihadapi oleh pe-
tani dalam menerapkan sistem agroforestri,
4. manfaat dan kerugian yang akan diterima oleh masyarakat dan lingkung-
an sekitarnya bila suatu kawasan didominasi oleh sistem agroforestri,
5. Pemeliharaan dan pengembangan sistem agroforestri dari segi biofisik,
sosial, ekonomi dan budaya, dan
6. Kebijakan yang perlu dibuat atau dikembangkan untuk mendukung
pengembangan sistem-sistem agroforestri.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 5


BAB II SISTEM AGROFORESTRI DI MALUKU

2.1. Kondisi umum biofisik, sosial-ekonomi, budaya


Agroforestri di Maluku dikenal sebagai dusun. Sistem ini telah membudaya
pada masyarakat sebelum bangsa Portugis masuk di Maluku (pada awal
abad ke-16) dan Bangsa Belanda (pada awal abad ke-17, 1602). Dusun
adalah suatu aset “intagible” (tidak ternilai) di Maluku yang termasuk dalam
“indigenous knowledge” (pengetahuan lokal) dan “indigenous technology”
(teknologi lokal) yang sudah teradaptasi dengan lingkungan fisik, biologis
dan masyarakat setempat. Sistem dusun inilah yang membawa Maluku ter-
kenal dengan nama “the Spice Island” (Pulau Rempah), Bangsa Belanda
berusaha menguasai Maluku pada tahun 1602 dan menebang sebagian be-
sar pohon-pohon pala, cengkeh demi mempertahankan monopoli perda-
gangan rempah-rempah. Gerakan penebangan ini dikenal dengan nama
Hongi Tochten (Hongi = Bahasa daerah Maluku untuk ribut, dan Tochten =
Bahasa Belanda untuk misi perjalanan). Pembahasan sistem agroforestri di
Maluku dibatasi hanya untuk dua daerah yaitu Tobelo dan Galela dari Ma-
luku Utara (Halmahera) dan Pulau Ambon dari Maluku Tengah.

Pulau Halmahera, Ambon, Seram dan Buru terletak antara 1270–1310 Bujur
Timur, dan antara 40 Lintang Selatan–20 Lintang Utara. Ambon, Buru, Se-
ram terletak dibagian Selatan yaitu 20 Lintang Selatan–40 Lintang Utara. Ta-
nah di pulau Halmahera, Ambon, Seram dan Buru termasuk bahan induk
vulkanik. Tanah di Galela dan Tobelo termasuk tanah Entisol dengan tipe

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 6


iklim B (7-9 bulan basah, 1-3 bulan kering). Tanah di pulau Ambon berva-
riasi dari oxisols, ultisols dan inceptisols dengan tipe iklim C (5-6 bulan ba-
sah, 1-3 bulan kering). Kondisi lahan di daerah tersebut datar, bergelom-
bang dan berbukit (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).

Masyarakat di Galela, Tobelo maupun masyarakat Pulau Ambon yang hidup


dari dusun adalah petani, nelayan dan pemburu. Sistem pemerintahan desa
dan perangkat hukum sangat baik di dalam mengatur dusun dan kekayaan
lainnya. Sistem desa di Maluku adalah berkelompok sedangkan dusun ter-
letak 1-8 km dari pinggiran desa. Tidak semua penduduk desa memiliki du-
sun, karena di setiap desa ada pendatang. Pendatang dapat menikmati ha-
sil dari dusun dengan memungut apa yang jatuh di tanah, kecuali buah duri-
an dan kelapa. Istilah memungut apa yang jatuh dari pohon itu disebut usu.

Terdapat aturan pelarangan pengambilan hasil pada jangka waktu tertentu


bagi ikan, telur burung dan tanaman. Pelarangan untuk ikan, burung dan
mamalia lainnya, terutama saat musim breeding (melahirkan). Pelarangan
ini disebut Sasi. Sasi berlaku juga bagi hasil tanaman, agar panen dilaku-
kan tepat waktu. Sasi juga berlaku bagi batas maksimum panenan.

Petani di Maluku adalah petani graanloze hakbouw (Bahasa Belanda) yaitu


pertanian tanpa tanaman padi-padian, menggunakan parang, pacul dan
linggis. Makanan pokok berupa umbi-umbian (singkong, ubi jalar, talas,
kembili, ubi, pisang, sukun, dan sagu). Dusun terbentuk dengan sistem la-
dang berpindah dan graanloze hakbouw. Dusun diurus oleh seluruh anggo-
ta keluarga tetapi sistem pewarisan dan pemilikan adalah sistem patriachal
(keturunan bapak).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 7


Di dalam membuka hutan untuk dijadikan kebun atau kegiatan panen (pala,
cengkeh) masih berlaku sistem gotong royong yang di Maluku Tengah dike-
nal dengan masohi. Bagi yang mempunyai hajat hanya menyediakan ma-
kan pagi, siang dan malam. Sistem masohi berperan penting dalam memb-
entuk agroforestri dalam bentuk dusun seperti sekarang yang menjadi sum-
ber makanan, bangunan, sumber bahan obat dan sumber keperluan keluar-
ga sehari-harinya bagi masyarakat Maluku.

2.2 Praktek agroforestri yang khas


A. Model dan konsep agroforestri
Model agroforestri yang lama di Maluku tidak begitu bervariasi, ada bebe-
rapa model yang baru. Kekhasan Agroforestri di Maluku, dusun yang ter-
bentuk segera dihuni oleh burung-burung dan mamalia spesifik dari daerah
Wallacea dan endemik di Maluku.

Kombinasi tanaman buah dengan tanaman pangan; tanaman rempah dan


tanaman pangan; tanaman kelapa, pala, cengkeh dengan tanaman pangan
adalah bentuk peralihan dari hutan alam ke hutan tanaman buah (rempah).
Budidaya menetap tanaman kelapa, ubi-ubian dan pisang adalah sistem la-
dang menetap, hidup dari ladang tersebut. Ubi-ubian yang dibudidayakan:
ubi (Discorea alata), kembili (Discorea esculen-tum), singkong, ubi jalar, ta-
ro atau talas lamo (Colocasia esculentum), talas kuping gajah (Xanthosoma
sagitifolium) dan talas (Alocasia spp). Pisang dibudidayakan untuk pengha-
sil karbohidratdan pisang tongkat langit (Musa troglodytorium, L). Hutan
sagu monokultur, umumnya di tepi sungai dan tanah tergenang air.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 8


Sistem silvopastoral di pulau Buru Utara dan Ambon merupakan bentuk pe-
manfaatan rumput alamiah yang tumbuh subur di daerah tersebut, disebut
kusu-kusu (Imperata cylindrica) dan kusu-kusu padi (Andropogon ambonien-
sis). Sapi Bali terbaik di Indonesia berasal dari Maluku, makanannya dari
kusu-kusu padi. Dusun di Maluku terdiri dari tanaman kenari, kelapa, coklat;
atau kenari dan pala, sedangkan campuran pohon buah-buahan.

Maluku berada pada daerah fauna Wallacea, kaya mamalia dan avifauna
(campuran binatang dan burung daratan Asia dan benua Australia). Dusun
akan memiliki lebih banyak burung dan kusu (mamalia phalangeridae) bila
ada pohon kenari, kelapa, pala dan duren (2 dan tabel 3), karena kusu dan
burung adalah herbivora pemakan daun muda, bunga dan buah.

Kusu adalah binatang berkantung dan selalu memiliki sepasang anak. Da-
ging kusu disukai penduduk Maluku Kristen. Dua spesies endemik Pulau
Ambon, Seram dan Buru adalah Kuskus (Phalanger Orientalis) dan Kuskus
berbintik-bintik (Spilocuscus maculatus). Di setiap dusun di Ambon, Seram
dan Buru selalu ada dua spesies kusu ini. Phalanger orientalis jantan dise-
but kusu putih dan betina disebut kusu sihar. Spilocuscus maculatus betina
disebut kusu nela dan jantan disebut kusu potar. Jenis burung (avifauna)
bernilai ekonomis dan endemik adalah: nuri, kasturi, perkici, betet, kakatua,
kring-kring, merpati, terkukur, perkutut, uncal, pergam dan mambruk.

B. Lokasi dan tata guna lahan


Dusun di Maluku Tengah (Ambon, Seram dan Banda) dan di Maluku Utara
(Galela, Tobelo) sekitar 1-10 km dari desa, terletak sepanjang garis pantai
ke pedalaman. Daerah ini adalah dataran rendah basah (0-500 m dpl).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 9


Tanaman yang sesuai dengan iklim (suhu, curah) daerah ini adalah; buah
(duren, manggis, duku, bacang), rempah (pala, cengkeh, kemiri) dan
pangan (ubi-ubian dan pisang). Daerah tepi sungai dan daerah basah, ter-
dapat budidaya pohon sagu monokultur, di pesisir pantai budidaya kelapa
monokultur, dan daerah-daerah curam adalah budidaya bambu dan enau.

C. Komposisi, keragaman horizontal dan vertikal


Tipe dusun dari komposisi sangat sederhana sampai kompleks antara lain:
a). Kenari dan pala di Pulau Banda
Dusun di pulau Banda adalah bekas perkebunan Belanda, strata (lapisan)
teratas berupa kenari (Canarium communeL) dan strata kedua adalah pala
(Myristica fragrans Houtt). Kedua tanaman ini dominan. Tanaman lain,
cengkeh (Syzygium aromaticum L), melinjo (Gnetum gnemon L) dan jenis
lainnya. Pohon kenari adalah habitat burung-burung endemik Maluku Te-
ngah seperti merpati (Gymnophaps spp) betet (Tanygnathus spp) dan uncal
(Macropygia spp) serta kusu.

b). Kelapa dan coklat di Galela dan Tobelo


Kelapa pada strata atas dan coklat pada strata dua. Pada strata dua selain
coklat, ada pala, cengkeh dan pisang. Pada strata satu selain kelapa ada
duren. Tanaman tambahan, 10 persen dari kelapa dan coklat. Buah coklat
bebas dari serangan hama dan penyakit kelapa dan coklat. Kombinasi ini
ditemukan di Jepara dengan tambahan lamtorogung (Leucaena leucoce-
phala) antara kelapa dan coklat dan diberi nama Sistem Balong Beji (SBB).
Sistem SBB ada tiga strata yaitu strata–1 kelapa, strata–2 lamtorogung dan
strata–3 coklat. Keistimewaan sistem kelapa dan coklat dan beberapa

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 10


tanaman campuran di Galela dan Tobelo ini adalah terbentuknya tempat
hunian (habitat) bagi berbagai jenis burung nuri, Kasturi dan kakatua.

c). Dusun dengan komposisi tanaman campuran di Maluku Tengah


(Seram dan Ambon)
Dusun dengan kombinasi campuran tanaman pohonan: dominasi kelapa,
cengkeh, dan pala; dominasi tanaman buah: duren, langsat, dan gandaria,
kelapa dan kenari. Pohon buah yang terdapat dalam dusun campuran, ada-
lah durian (Durio zibethinus Mur), gandaria (Borrea macrophylla Griff), duku
(Lansium domesticum Correa), langsat (Lansium domesticum Correa), ko-
kosan (Langsium domesticum Correa), bacang (Mangifera foetida Lour),
Kuini (Mangifera odorata Griff), mangga (Mangifera indica L), rambutan
(Nephelium lappaceum L), salak Bali (Salacca zallaca var amboninensis
Becc). Tanaman campuran lain berupa bambu antara lain: loleba (Bambusa
atra Lindl), bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad), bambu patung (Den-
drocalamus asper Backer). Jenis pohon penghasil kayu: bapa (Shorea sela-
nica), salawaku (Albizzia falcata Backer), langgua (Intsia amboinensis Thou-
ars), gamutu (Arenga pinnata Mur), kemiri (Aleurites spp), pinang (Areca ca-
techu), melinjau (Gnetum gnemon), petai (Parkia speciosa Hask).

Dusun dengan kombinasi campuran ini dihuni oleh burung dan mamalia en-
demik Maluku. Kalong, mamalia bersayap juga menghuni dusun campuran
ini. Terdapat 58 spesies kalong, terutama kalong besar (Pteropus spp).

Dusun campuran secara umum terdiri dari 4 strata. Strata–1 ditempati ke-
nari, petai; strata–2 ditempati pohon buah, pinang dan enau; strata–3 ditem-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 11


pati tanaman salak, nenas, pisang dan stra-ta–4 ditempati deris (Derris elip-
tica), jenis umbi (Discorea spp, Xanthosoma spp, Colocasia spp) dan nenas.

D. Manfaat ekologi dan ekonomi


Dusun adalah bentuk modifikasi ekosistem baru dan manfaat lebih besar
bagi pertanian. Menurut definisi TAC/CGIAR dan Gips (1987), dusun ada-
lah sistem pertanian lestari. TAC/CGIAR 1988 mengartikan pertanian lestari
sebagai pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian gu-
na membantu kebutuhan manusia yang berubah dan mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Menurut Gibs
(1987) pertanian lestari adalah pengelolaan ekologis, menguntungkan seca-
ra ekonomi dan manusiawi. Manfaat dusun di Maluku menurut definisi Gibs:
a). Mantap secara ekologis
Kualitas sumber daya alam (hewan, tanaman dan jasad renik) dan agroeko-
sistem secara keseluruhan dipertahankan. Tanaman yang ada memiliki ke-
dalaman akar, ketinggian, dan kerapatan tajuk berbeda. Kebutuhan berbeda
terhadap suhu, intensitas cahaya, kelembaban tanah, udara dan kualitas la-
han. Keragaman fungsi ini menghasilkan keselarasan antar komponen
yang menguntungkan. Antar tanaman dan tanaman dengan hewan satu sa-
ma lain membentuk kondisi menguntungkan bagi komponen lain. Dalam
agroekosistem dusun terjadi keselarasan saling melengkapi dan mengun-
tungkan misalnya: tanaman memberi makanan dan tempat berkembangbiak
bagi burung dan mamalia yang mendiami dusun. Terbentuk iklim sekitar
yang cocok bagi tiap-tiap lapisan. Menghasilkan senyawa kimia pendorong
perkembangan dan pertumbuhan tanaman atau senyawa kimia penghambat

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 12


pertumbuhan gulma (alelopati). Mengendalikan jumlah hama, penyakit dan
gulma di bawah batas aman. Pergerakan unsur hara di dalam ekosistem,
menjaga air, mengoptimalkan pemakaiannya dan menjaga keragaman ge-
netik dengan fungsi berbeda guna kestabillan ekosistem dusun.
b). Berkelanjutan (lestari) secara ekonomis
Sistem ini mampu memenuhi kebutuhan hidup pengelola dusun. Fungsi du-
sun mirip dengan fungsi pekarangan dimana kebutuhan hidup mulai dari pa-
ngan, bahan bangunan serta uang berasal dari dusun. Kombinas dusun
diatur sehingga ada tanaman yang menghasilkan sepanjang tahun seperti
kelapa, coklat, pala, dan kenari dan musiman seperti cengkeh, duren, duku,
dan gandaria. Dusun juga mampu memenuhi kebu-tuhan daging dari kusu,
burung, dan kalong. Burung-burung nuri, kasturi, kakatua, perkici dan kring-
kring mempunyai harga yang cukup tinggi sebagai penghasil uang cash.
c). Adil dan manusiawi
Hasil dusun itu dapat dimanfaatkan bagi semua pihak (miskin dan kaya) dan
memenuhi kebutuhan dasar makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manu-
sia). Peraturan mengenai usu dan sasi mengandung unsur keadilan dan
manusiawi di dalamnya.

E. Permasalahan dan hambatan


1. Dusun yang dekat kota dan tempat konsentrasi penduduk terancam pu-
nah karena terjadi alih guna menjadi areal bangunan,
2. Sistem warisan dari ayah kepada anak laki-laki secara adil dan merata
menyebabkan luas dusun kecil dan bisa mencukupi kebutuhan hidup,

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 13


3. Sistem pemerintahan adat diganti sistem pemerintahan nasional. Pada
sistem adat, raja (kepala desa) memerintah negeri dengan peraturan
adat dalam mengatur persoalan sosial budaya dan negeri atas dusun
negeri (dusun dati). Raja dipilih dari keturunan raja. Dusun dati diberi-
kan kepada keturunan selama anak tersebut menjadi raja,
4. Ketika negeri menjadi unit desa dan diangkat kepala desa tidak menurut
turunan raja, terjadi penjualan tanah dati dusun oleh kepala desa. Pem-
beli mensertifikat tanah, sehingga pemilik dati tanpa sertifikat selalu dika-
lahkan. Dusun akhirnya dikonversi menjadi pemukiman atau usaha lain,
5. Dusun adalah unit pertanian dalam arti luas, menyangkut: Pertanian,
kehutanan, peternakan dan perikanan. Pendekatan selama ini adalah
pendekatan parsial dan bukan integral dari pihak-pihak,
6. Otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Da-
erah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah menjadi penghambat dan pendorong tergantung pemerintah
setempat, dan
7. Generasi muda yang sudah mengecap pendidikan yang lebih baik eng-
gan kembali ke desa membangun desa.

F. Potensi dan penunjang


Maluku dalam pengembangan agroforestri berpotensi besar. Betangan
alam darat dan laut berpotensi lahan budidaya. Luas potensi budidaya laut
dan perikanan adalah 1.044.100 ha dan 188.400 ha. Kaya dengan
keragaman flora, fauna dan ikan, terutama avifauna dan mamalia yang
menjadi pusat keragaman dari fauna Wallacea.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 14


G. Konsep dan rancangan pengembangan
1. Pertanian arti luas dan sempit (kehutanan, peternakan dan perikanan),
2. Pengembangan agroforestri (dusun) secara menyeluruh dan terpadu
antara pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan,
3. Agroforestri itu mulai dari laut, pesisir pantai sampai ke daratan,
4. Agroforestri di Maluku di pulau besar (Seram) dan pulau kecil (Banda)
perlu dipelajari untuk membangun agroforestri (dusun) di Maluku,
5. Agroforestri di Maluku bersifat membangun pulau, dibedakan atas pulau
besar dan kecil, pantai hutan bakau dan pantai tanpa hutan bakau,
6. Pengembangan pulau kecil lebih difokuskan. Karena pulau kecil memi-
liki lingkungan khusus, terisolasi, terbuka dari semua sisi, daratan sem-
pit, kekurangan air tawar dan daya dukung yang terbatas,
7. Agroforestri budidaya laut, perikanan dan tanaman agar bisa mendistri-
busi tenaga, pendapatan dan meningkatkan daya tampung agroforestri,
8. Budidaya laut daerah Maluku diprioritaskan untuk ikan kakap, kerapu, ti-
ram, teripang, rumput laut dan mutiara. Budidaya tambak udang windu,
putih, api-api, cendana, dan ikan bandeng, baronang, belanak, dan nila,
9. Pengembangan agroforestri diikuti industri hilir dan industri hulu, selan-
jutnya akan terbentuk kawasan agroindustri dan agrobisnis,
10. Agroforestri terutama di pulau-pulau kecil menjadi pusat-pusat konser-
vasi sumber daya genetik (plasma nutfah) tanaman, hewan dan ikan.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 15


BAB III SISTEM AGROFORESTRI DI NUSA TENGGARA

3.1 Kondisi umum biofisik dan sosial ekonomi


Nusa Tenggara adalah salah satu Propinsi Sunda Kecil hingga tahun 1958.
Provinsi ini dibagi menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat
(NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketiga provinsi ini memiliki keka-
yaan budaya, ekosistem, flora dan fauna khas. Bali dipisahkan dari NTB
dan NTT oleh garis Wallace karena kekhasan satwanya. Nusa Tenggara
adalah kawasan kepulauan, terdapat berbagai pulau kecil bersifat vulkanik.

Nusa Tenggara secara fisik memiliki tanah subur (kaya hara) tapi keku-
rangan persediaan , memiliki sifat fisik kurang menguntungkan, tingkat pro-
duktivitas pertanian cenderung rendah. Kondisi ini bertambah sulit dengan
rendahnya teknologi pendukung pengelolaan sistem produksi pertanian.

Pulau di Nusa Tenggara memiliki zona semi kering dan sub-humid, curah
hujan dipengaruhi oleh pola iklim Asia dan Australia. NTT dan NTB memiliki
ciri khas iklim semi kering (sub-humid), lama musim hujan antara 3-4 bulan
dan musim kemarau panjang (7-8 bulan) kecuali di dataran tinggi. Curah
hujan berkisar di bawah 1000 mm di beberapa daerah tertentu seperti Sabu
dan Bena (Timor, NTT) mencapai 1.250 atau 1.500 mm. Di dataran tinggi
curah hujan 2.000 mm atau lebih. Walaupun total curah hujan rendah, na-
mun intensitas hujan tinggi pada waktu tertentu. Hal ini mempengaruhi erosi
atau bencana alam serta persoalan keseimbangan air. Penyebaran hujan
bulanan (jumlah hari hujan) tidak merata dan bervariasi, kemarau panjang,
temperatur tinggi dan evapotranspirasi besar.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 16


Jenis tanah bervariasi, aluvial di dataran rendah di kawasan pantai, tanah
berpasir, mediteranean di daerah kawasan busur luar, tanah berbatu, tanah
gamping, tanah liat sampai dengan andosol di kawasan pegunungan. Ting-
kat kesuburan dari rendah hingga tinggi. Topografi bergunung dengan
kemiringan lereng sangat tinggi dan rentan erosi dan longsor. Daerah datar
hanya berada di daerah aluvial kawasan pantai Flores, Sumba dan Timor.

Vegetasi alamiah didominasi oleh jenis tanaman daerah semi kering khas
NTB dan NTT. Di dataran tinggi atau kawasan pegunungan di dominasi oleh
tanaman khas yang hijau sepanjang tahun baik tanaman asli maupun intro-
duksi seperti Eucalyptus urophylla (Asli Timor dan Flores), kemudian diin-
troduksi ke daerah lain, Casuarina junghuhniana, berbagai jenis bambu dan
beringin (Ficus spp). Tanaman asli bervariasi, berbagai jenis casia, acacia
dan albizia, pterocarpus namun bervariasi pula menurut daerah atau pulau.

Sistem produksi pertanian umunya berbasis pertanian lahan kering skala ke-
cil berbasis pedesaan semi subsisten. Sebagian besar penduduk tinggal di
pedesaan dan tergantung hidupnya dari pertanian.

3.2 Nusa Tenggara Timur


NTT memiliki 550 pulau dengan tiga pulau utama (Flores, Timor dan Sum-
ba). Dihuni lebih dari lima puluh suku dengan bahasa berbeda. Dipenga-
ruhi iklim Australia, curah hujan rendah tetapi intensitas tinggi, waktu sing-
kat, dan musim kemarau panjang. NTT terdiri dari dua gugusan pulau yaitu
vulkanik (Flores, Solor, Alor, Lomblen dan sekitarnya) dan busur luar (outer
arc) yang bersifat gampingan (calcareous) dan terus mengalami pengang-
katan (uplifted coral islands) di Timor, Sumba dan pulau sekitarnya.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 17


3.3 Nusa Tenggara Barat (NTB)
NTB terdiri dari dua pulau utama yaitu Lombok dan Sumbawa serta ratusan
pulau kecil di sekitarnya. Kedua pulau ini juga memiliki kawasan semi kering
dan sub humid yang mempengaruhi pembentukan ekosistem dan sistem
produksi pertanian. Kedua pulau ini terletak di gugusan vulkanik. Secara ki-
miawi harusnya memiliki lahan yang subur. Namun seperti NTT produkti-
vitas lahan pertanian tergantung pada ketersediaan air, sifat fisik tanah, pi-
lihan tanaman, teknologi dan sistem produksi yang dikembangkan.

3.4 Proses perkembangan agroforestri


Nusa Tenggara memiliki berbagai model wanatani (agroforestri), berbasis
pertanian, peternakan dan perkebunan rakyat. Agroforestri berbasis hutan
dan perikanan atau perairan sangat terbatas di daerah tertentu. Kondisi iklim
dan tanah menyebabkan karakteristik agroforestri berbeda dari daerah lain
di Indonesia. Terdapat berbagai jenis Agroforestri yang dipengaruhi kera-
gaman budaya, sosial, ekonomi dan kondisi geografis. Introduksi jenis ta-
naman kayu, pertanian dan tanaman makanan ternak ikut mempengaruhi.

Agroforestri adalah teknologi tradisional di Nusa Tenggara. Umumnya lahan


pertanian dibuka dari hutan. Hutan dibuka untuk lahan pertanian kering. La-
dang berkembang manjadi hutan sekunder, dibiarkan karena ada kayu yang
bermanfaat. Kondisi lain, saat pembukaan ladang tanaman setahun, dita-
nam tanaman keras seperti buah-buahan. Terdapat pola campuran antara
tanaman buah dan kayu, ditumpangsarikan dengan tanaman musiman.
Proses terbentuknya pola campuran bersifat kombinasi tata ruang pada mu-
sim tertentu (tumpangsari) atau bisa bersifat pola campuran dalam periode

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 18


waktu tertentu (tumpang gilir). Model lainnya, tanaman pangan tidak diusa-
hakan lagi karena tajuk tanaman pohon sudah rapat menutupi sebagian
besar areal. Model yang muncul adalah kombinasi pohon dengan berbagai
fungsi. Namun ada peluang untuk mengembangkan tanaman tahan naung-
an seperti kunyit, jahe atau talas dan ubi-ubian lain. Misalnya model mamar
yang terkenal di pulau Timor, Rote dan Sabu.

Pada awalnya, agroforestri mempunyai struktur yang didominasi oleh fungsi


sosial dan ekologis. Jumlah jenis dalam pertanian dan agroforestri sangat
tinggi. Keterbatasan teknologi pemulihan kesuburan tanah menyebabkan
keragaman jenis tanaman dipertahankan meskipun produktivitas per jenis
tanaman rendah.

Agroforestri mempunyai fungsi sosial yang kuat. Perkembangan masyara-


kat menyebabkan sistem produksi pertanian berorientasi pasar dan pola bu-
didaya yang dikembangkan dengan sedikit jenis. Sistem agroforestri juga
lebih teratur dan terseleksi. Pada daerah yang agroforestrinya berbasis ta-
naman perkebunan (coklat, cengkeh dan kopi), masyarakat tidak lagi memi-
liki cukup lahan untuk tanaman pangan semusim karena sudah didominasi
tanaman keras dipadukan dengan tanaman pelindung, pagar dan tanaman
lain. Kondisi ini menghasilkan agroforestri secara tidak disengaja. Masyara-
kat mengandalkan sumber pendapatan dari tanaman perkebunan guna
membeli pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Tanaman pangan atau se-
musim pola monokultur, jarang ditemukan karena karakteristik iklim, sosial
dan ekonomi. Berpotensi besar untuk mengembangkan agroforestri yang
bisa menyeimbangkan pemenuhan ekonomi dengan fungsi ekologisnya.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 19


3.5 Masalah dasar yang menjadi alasan pengembangan agroforestri
Sumber utama pemenuhan kegutuhan hidupan masyarakat tradisional Nusa
tengara adalah usaha pertanian skala kecil dan bersifat subsisten. Sistem
produksi pertanian lahan kering dikembangkan tahun 1960-1970-an memiliki
keragamanan jenis tinggi (30-50 jenis) dalam satu kebun. Perubahan
orientasi produksi ke arah pasar, menyebabkan jumlah jenis berkurang.

Sistem produksi pertanian tradisional utama adalah pertanian tanaman pa-


ngan semusim, peternakan dengan sistem penggembalaan, tanaman keras
dan perkebunaan, diusahakan dalam pola campuran skala kecil di peka-
rangan. Dalam pengembangan sistem produksi pertanian melalui agrofo-
restri, terdapat permasalahan yang ingin di atasi yaitu:

Pertama. Pola iklim (curah hujan, temperatur dan evapotranspirasi). Sistem


produksi perlu diarahkan kepada upaya pemanfaatan musim hujan yang
pendek guna menjaga keseimbangan air. Pemilihan tanaman diupayakan
sesuai kondisi curah hujan terbatas, dimana tanaman pangan semusim diu-
sahakan di musim hujan. Pada masa transisi dipilih tanaman yang hidup
dengan curah hujan rendah dan suhu tinggi. Tanaman yang butuh naungan,
untuk fungsi pelindung dipilih dari perkebunan (kopi, lada dan vanili).

Kedua. Erosi tanah dan keseimbangan air memerlukan tindakan penjagaan


tanah dan air (soil and water conservation), mengingat kondisi kemiringan
tanah yang tinggi dan rentan erosi. Tradisi yang dilakukan adalah dengan
pola tanam dalam jalur atau larikan tanaman hidup (Tahun 1930-an dan
Tahun 1980-an) dinamakan alley cropping. Penjagaan tanah tradisional
secara mekanik dengan menggunakan batu, terasering, sisa tanaman.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 20


Ketiga. Peternakan sebagai sumber pendapatan dan juga fungsi sosial
butuh penyediaan pakan ternak yang cukup sepanjang tahun. Ketersediaan
pakan secara alamiah selama satu tahun perlu dimanipulasi agar pakan se-
lalu tersedia dari segi kuantitas dan kualitas. Pemilihan pakan ternak dari
alam sangat mengandalkan spesies lokal. Pertambahan populasi penduduk
menyebabkan lahan gembalaan semakin terbatas dan ketersediaan pakan
ternak juga menurun di alam, maka upaya pengembangan penyediaan pa-
kan ternak di lahan milik pribadi menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
Petani menggunakan tanaman tertentu sebagai pagar hidup untuk penga-
man dari ternak. Cara ini juga berpengaruh pada sistem agroforestri.

Keempat. Usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga dari sistem


produksi pertanian lahan kering tanaman semusim maupun tanaman perda-
gangan monokultur (kelapa, cengkeh, kopi, vanili, kemiri, jambu mente)
tidak begitu besar dan tidak stabil. Oleh sebab itu tindakan penganekara-
gaman sistem produksi pertanian dianggap sebagai alternatif penting.

Kelima. Kebutuhan terhadap kayu bangunan dan bakar sudah menjadi ke-
butuhan mendesak yang menyebabkan masyarakat mengalokasikan seba-
gian lahannya untuk ditanami dengan kayu.

Keenam. Sistem pengolahan lahan dengan api bisa menimbulkan masalah


kebakaran kebun yang berbatasan langsung dan padang penggembalaan
yang biasanya dibakar di musim kemarau guna mendapatkan rumput muda
bagi ternak dan tujuan perburuan hewan liar di hutan dan padang rumput.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 21


Ketujuh. Fungsi sosial yang tetap ingin dipertahankan dalam masyarakat
tradisional atau masyarakat yang masih memakai lembaga adat. Terdapat
lokasi, jenis tanaman dan upacara tertentu yang perlu diperhatian.

Ketujuh masalah ini menjadi landasan untuk menentukan pola kombinasi


tanaman, teknologi serta sistem (struktur dan fungsi) agroforestri yang
dikehendaki. Misalnya, daerah dengan kemiringan lahan tinggi maka pola
pengembangan agroforestri pasti membutuhkan tindakan pengendalian ero-
si dan pengawetan tanah serta air. Di daerah budidaya tanaman perkebun-
an, memerlukan naungan (shade trees). Berbagai jenis tanaman pelindung
yang akan dikembangkan harus ada atau tersedia. Demikian juga dengan
upaya pengembangan ternak, pola tanam dan jenis tanaman penghasil pa-
kan akan menjadi perhatian utama dalam pengembangan agroforestrinya.

3.6 Konsep dan model agroforestri menurut proses pengembangan


Berdasarkan model wanatani tradisional setempat (indigenous) dapat dikla-
sifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu wanatani yang terbentuk
alami dan wanatani yang terbentuk karena campur tangan manusia.
a) Agroforestri terbentuk secara alami, karena proses alami atau proses
ekologis kemudian manusia melihat model itu sebagai sumberdaya yang
memiliki hasil yang bermanfaat bagi manusia dan ekosistem alam.
Contoh wanatani alami adalah kawasan bakau (mangrove) dengan ikan
di bawahnya. Manusia mencari ikan, kepiting, udang sebagai sumber
makanan, dan ikan tergantung pada ekosistem atau habitat yang terben-
tuk karena interaksi antara mangrove dengan air. Model interaksi antara
bakau dan air serta ikan ini kemudian dimanipulasi oleh manusia dengan

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 22


pengembangan ikan bandeng dan kepiting sehingga menjadi agroforestri
buatan yang dikenal dengan silvofishery.

Di kawasan Indonesia Timur (Timor dan Flores), memiliki iklim rata-rata


lebih kering dengan curah hujan tahunan di bawah 1.000 mm-1.300 mm
per tahun dan hujan turun dalam periode waktu 3-4 bulan saja, telah ter-
bentuk ekosistem savana. Ekosistem savana disebut wanatani alami ka-
rena terdapat pola campuran antara tanaman pohon dari jenis legum se-
perti akasia (Acacia leucophloea), akasia yang diintriduksi (Acacia ni-
lotica) dan albisia lokal dan di bawahnya ada rumput pakan ternak.
Campuran pohon dan rumput bermanfaat bagi ternak karena keduanya
bisa dikonsumsi (polong dan daun jatuh atau dipangkas dan diberikan
kepada ternak) serta rumput yang dimakan oleh ternak.

Wanatani alami di kawasan hutan, banyak ditemukan di Indonesia na-


mun di NTT agak terbatas. Pola campuran tanaman kayu dan buah di
hutan serta tanaman penghasil makanan, obat-obatan dan hewan di ba-
wahnya bisa disebut wanatani alami tanpa campur tangan manusia da-
lam pembentukannya, terlibat hanya pada pemanfaatan. Misalnya ka-
wasan hutan dengan tanaman kunyit, jahe, kayu manis atau tanaman
obat alami di Pulau Flores dan di Alor. Wanatani ini di beberapa daerah
sudah mengalami perubahan, diupayakan di lahan-lahan milik. Agrofo-
restri alami umumnya di kawasan umum (common property) baik lahan
adat (communal land), desa atau negara. Perubahan ke lahan milik pri-
badi butuh manipulasi karena biasanya tujuan ekonomi lebih dominan.
Di kawasan milik umum, fungsi ekologi dan sosial lebih ditekankan.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 23


b). Agroforestri yang dikembangkan dengan campur tangan manusia umum-
nya di lahan pertanian (farm or agricultural based agroforestry) dan ber-
basis pekarangan (homestead based agrofoestry). Di Indonesia dan ne-
gara lain, banyak wanatani yang dikembangkan dengan komposisi uta-
ma tanaman hutan dan berbasis hutan (forest based agroforestry).

Klasifikasi wanatani yang banyak dikembangkan adalah model kombinasi


tanaman atau komponen hutan dan tanaman atau komponen pertanian.
Klasifikasi tersebut adalah:
1) Agrisilviculture (kombinasi antara tanaman pertanian dan kehutanan),
2) Agrosilvofishery (kombinasi antara tanaman hutan dengan perikanan),
3) Agrosilvopastoral (Kombinasi pertanian, peternakan dan kehutanan).

Ada kombinasi antaranya (model transisi), dinamakan dari komposisi utama-


nya. Misal, silvopastoral system adalah wanatani yang memadukan ternak
dan pakan ternak dengan tanaman kayu atau pohon. Silvofishery adalah
campuran antara perikanan dan tanaman kayu atau pohon. Agropastoral
system hanya memadukan pertanian dan peternakan dan tanaman pakan
ternak di dalamnya. Klasifikasi seperti ini dianggap kurang tepat karena me-
lakukan penyederhanaan dari suatu sistem yang mungkin lebih kompleks.
Klasifikasi ini tidak bisa diterima oleh pihak kehutanan karena komponen hu-
tan di dalam sistem-sistem tersebut cenderung terlalu sederhana dan tidak
diklasifikasikan sebagai komponen hutan. Misalnya agrisilvikultur terdiri dari
tanaman pangan dengan karet atau tanaman pangan dengan larikan legum
cepat tumbuh. Pihak kehutanan tidak menerima klasifikasi ini karena kom-
ponen pohon tidak jelas. Model larikan tanaman hidup dengan tanaman

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 24


pangan (alley cropping) atau kombinasi komponen lain (alley farming) se-
perti ternak dan pakan ternak dengan tanaman serbaguna (multipurpose
trees and shrubs species) menurut pertanian adalah agrisilviculture tetapi
kehutanan mengatakan itu hanya pertanian (agropastoral system).

Agroforestri tradisional (Traditional Agroforestry System) dan Agroforestri


yang diperkenalkan (Introduced Agroforestry System). Wanatani yang di-
bentuk karena campur tangan manusia banyak ditemukan. Dikembangkan
guna tujuan tertentu atau tidak sengaja untuk uji coba, atau dibatasi oleh
luas lahan, jenis tanaman tersedia atau karena program pemerintah, swasta
dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Wanatani dikembangkan sebagai teknologi baru, diperkenalkan sebagai tek-


nologi luar sistem kehidupan dan pola pertanian masyarakat. Tahun 1870-
an, pola campuran (tumpangsari) Jati dan lamtoro sudah ada di Jawa.
Wanatani ini diperkenalkan (introduced agroforestry model). Tahun 1930-an
Model yang sama dikembangkan di Amarasi (Timor), Tahun 1960-an di
Sikka (Flores) dan Tahun 1980-an Sumba Timur dikembangkan di Flores
berdasarkan program kerjasama beberapa LSM.

Universitas Udayana di Bali mengembangkan wanatani sistem tiga tingkat


(Three Strata System). Sistem ini mengembangkan pakan ternak dalam
tiga tingkat (rumput, semak dan pohon), disesuaikan dengan jenis tanaman
yang bisa bertahan dengan kondisi iklim Bali dan Nusa Tenggara. Pada
musim hujan, rumput tumbuh dengan baik, kemarau rumput tidak banyak
tersedia, namun petani bisa mengandalkan jenis tanaman pohon yang dapat
dipangkas. Antara musim hujan dan kemarau jenis semak seperti lamtoro,

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 25


gamal, flamengia, dan beberapa jenis akasia tertentu bisa bertahan.
Wanatani ini, ada komposisi rumput, tanaman semak dan pohon sebagai
sumber pakan ternak. Pada kondisi kekeringan dengan pola tanam biasa,
ketersediaan pakan sulit terjamin. Dengan sistem tiga tingkat pakan ternak
bisa diperoleh pada musim hujan, musim peralihan dan musim kemarau.

Di Nusa Tenggara Barat model agroforestri yang menarik adalah kombinasi


antara padi sawah dan turi (Sebania grandiflora), dikembangkan bersamaan
dengan perkembangan sistem produksi padi sawah. Pola ini juga terdapat
di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur di mana petani bisa menggu-
nakan daun turi untuk menyuburkan tanah. Pengembangan Hutan Kema-
syarakatan (HKM ) di NTB menyebabkan masyarakat membuka hutan dan
mengembangkan pola agroforestri yang khas berbasis hutan. Pengembang-
an HKM cenderung beriringan dengan pengembangan agroforestri yang
diperkenalkan maupun yang dimodifikasi secara swadaya.

Di Pulau Sabu (Nusa Tenggara Timur) petani menanggapi tantangan keke-


ringan dan kurangnya kesuburan tanah dengan memadukan turi dan legu-
minosae lainnya dengan padi sawah maupun tanaman hortikultura seperti
bawang dan sayuran. Masyarakat petani di dataran tinggi Manggarai (Flo-
res Barat) melakukan modifikasi pengembangan kopi dengan menggunakan
Albizia chinensis sebagai tanaman pelindung. Model ini baru hanya kopi
yang tanaman perdagangan potensial yang diperkenalkan, sedangkan Albi-
zia adalah tanaman lokal dan berkembang selama ratusan tahun. Masya-
rakat melakukan inisiatif memadukan kedua tanaman ini dalam pola agrofo-
restri yang sangat menarik dan potensial, di daerah lain sengon (Paraserian-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 26


thes falcataria) mulai dikenalkan sebagai pelindung kopi (Djogo, 1994b). Di
Ngada dan Manggarai masyarakat menggunakan dadap, gamal dan lamtoro
sebagai pelindung kopi. Di Timor ada yang menggunakan cemara sebagai
tanaman pelindung kopi (Djogo, 1996).

Permasalahan dalam pengklasifikasikan model agroforestri tradisional dan


yang diperkenalkan, adalah adanya sistem agroforestri yang berkembang
(mengalami evolusi) dan dikembangkan oleh masyarakat karena masuknya
komoditi tertentu atau jenis serba guna (MPTS). Masyarakat melakukan
pengembangan sistem agroforestri bukan berasal dari luar sistemnya tetapi
yang dikenalkan adalah komoditi atau tanaman penunjang agroforestrinya.

Sebagai daerah penghasil ternak persoalan ketersediaan pakan ternak me-


rupakan masalah serius. Masyarakat dahulu mengandalkan sistem peng-
gembalaan bebas dan spesies lokal dari alam. Peternak saat ini harus me-
ngusahakan di kebun sendiri dengan melakukan pengayaan (diversifikasi)
jenis pakan ternak disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan jenis ternak
yang diusahakan (Djogo, 1994a dan Djogo, 1997).

Pengenalan vanili ke pulau Flores telah menghasilkan berbagai model agro-


forestri dengan komoditi ini. Misalnya Vanili dipadukan dengan dadap
gamal, lamtoro atau Tephrosia candida sebagai pohon pelindung.
(1) Mamar: Agroforestri khas di Timur,
(2) Sistem penggemukan ternak berbasis lamtoro,
(3) Terasering lamtoro dan diversifikasi tanaman multiguna (MPTs),
(4) Hutan keluarga, dan
(5) Kopi dan vanili dengan sstem pelindung.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 27


BAB IV AGROFORESTRI KOMPLEKS: POLA DAN STRUKTUR
PEKARANGAN PEDESAAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI CIANJUR, JAWA BARAT

4.1 Kondisi umum


Di daerah perdesaan, pekarangan merupakan salah satu bentuk ruang ter-
buka pertanian. Ketersediaan lahan di perdesaan memungkinkan ukuran
pekarangan yang relatif lebih luas dibandingkan daerah perkotaan. Pem-
berdayaan pekarangan pedesaan dengan bentuk dan pola penutupan lahan
mirip sistem agroforestri kompleks dengan beragam aktivitas pertanian ter-
padu (mix farming: tanaman, kolam ikan dan ternak) diharapkan dapat
memberikan nilai positif dalam hal ketahanan pangan bagi keluarga petani.

Contoh praktek agroforestri kompleks pada pekarangan perdesaan di Jawa


Barat disajikan dari hasil penelitian di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur,
Sub-DAS Cisokan. Penelitian dilakukan di desa yang ada di hulu, tengah
hingga hilir. Hulu dan hilir suatu DAS memiliki hubungan ekologis yang sa-
ngat erat, sebab aktivitas yang terjadi di hulu akan mempengaruhi kondisi
hilir, dan sebaliknya.

Bagian hulu yaitu Kampung Galudra 2 (1300 m dpl), Desa Galudra, Keca-
matan Cugenang; bagian tengah yaitu Kampung Burangkeng (950m dpl),
Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang; dan bagian hilir yaitu Kampung
Cibakung (300m dpl), Desa Selajambe, Kecamatan Sukaluyu (Tabel 6).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 28


4.2 Tata guna lahan
Galudra sebagai daerah hulu, pekarangan tertua dibentuk pada tahun 1952.
Mangunkerta yang merupakan daerah tengah, pekarangan tertua dibentuk
pada tahun 1943. Sedangkan Selajambe yang merupakan wilayah hilir, pe-
karangan tertua dibentuk pada tahun 1930. Kecenderungan manusia dalam
membuka lahan sebagai tempat bermukim dimulai dengan menempati dae-
rah di dataran rendah kemudian merambah ke dataran yang lebih tinggi
(Sandy, 1982). Lahan hutan dan area sayuran dataran tinggi memdominasi
daerah hulu. Tataguna lahan di daerah tengah adalah tegalan sayuran dan
sawah (berteras). Sementara daerah hilir didominasi penggunaan lahan sa-
wah beririgasi semi-teknis. Berdasarkan sejarah, pekarangan di hulu umum-
nya dibangun di atas lahan yang berasal dari tegalan. Pada daerah tengah
dan bawah pekarangan sebagian besar berasal dari kebun campuran. Tata
guna lahan di hulu didominasi oleh tegalan, di tengah dan hilir didominasi
persawahan. Selain kecenderungan pekarangan dibangun di atas lahan ke-
ring, konversi sawah penggunaan lainnya juga relatif kecil karena fungsinya
sebagai penghasil makanan pokok.

4.3 Unit area


Luas ruang terbuka hijau (RTH) pekarangan adalah luas total tapak dikura-
ngi luas daerah terbangun. RTH pekarangan di kawasan ini mulai dari 0 m
(tidak berpekarangan) sampai dengan lebih dari 1,000 m. Rata-rata luas pe-
karangan di hulu, tengah dan hilir adalah 188,1 m2. Semakin tinggi lokasi
pekarangan, rata-rata luas total tapak dan luas RTH pekarangannya
semakin sempit. Topografi yang relatif datar di daerah hilir memungkinkan

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 29


seseorang memiliki pekarangan yang luas. Pekarangan di hulu di daerah
berbukit dengan membuat teras dan meratakan lahan sesuai kontur. Dari
luas bangunan, daerah hulu memiliki rata-rata luas bangunan lebih besar
dibanding dengan di tengah dan hilir.

Tata ruang pekarangan didasarkan pada pola pembagian ruang dalam pe-
karangan terhadap posisi relatif bangunan rumah, dibedakan menjadi tiga,
yaitu: pekarangan depan, samping dan belakang (Arifin, 1998). Bila satu
pekarangan ada 2 rumah atau lebih, zonasi didasarkan pada posisi bangun-
an rumah induk. Pekarangan depan (buruan) lebih banyak ditanami dengan
tanaman hias dan atau dibiarkan bersih. Buruan digunakan tempat bermain
anak, menjemur hasil pertanian, membuat kerajinan rumah tangga dan
mengemas sayuran. Pekarangan belakang (kebon) tidak hanya ditanami
tanaman hias, tetapi juga sayuran, buah dan bumbu membentuk pola multi-
storey seperti miniatur hutan hujan tropis. Pola tersebut menunjukkan
adanya hubungan fungsi-fungsi ruang di dalam rumah dan di pekarangan.

3.4 Komposisi komoditas/struktur floristik


Komoditas dalam agroforestri di pekarangan Cianjur terdiri dari budidaya
pohon, buah, tanaman penghasil pati, obat-obatan, bumbu, tanaman hias,
ternak dan ikan. Keragaman ini dipengaruhi kondisi agroklimat daerah alir-
an sungai, ketersediaan air, dan kebiasaan masyarakat. Ukuran kolam ikan
makin ke hilir makin besar dan ekonomis. Jenis ternak di hulu berbeda
dengan di tengah dan di hilir.

Total tanaman pekarangan yang ditemukan di tiga lokasi adalah 238 jenis.
Di hulu ada 90 jenis (27 jenis/pekarangan); di tengah 166 jenis (40 jenis per

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 30


pekarangan) dan di hilir 116 jenis (43 jenis/pekarangan). Keragaman jenis
tanaman per pekarangan semakin ke bawah, tambah besar. Daerah ,
wilayah peralihan (ecotone) dijumpai total jenis tanaman lebih besar dari di
hilir dan hulu. Rata-rata jumlah individu tanaman/pekarangan di tengah
lebih besar daripada hilir dan hulu. Di hilir banyak ditanam pohon tinggi dan
besar, yaitu tanaman yang digunakan sebagai bahan bangunan, pakan
ternak, kayu bakar, kerajinan rumah tangga, serta tanaman buah.

Tanaman sayur yang dominan di tengah, yaitu Allium fistulasum, ranti (Sola-
num nigrum L), cabai merah (Capsicum annuum L), daun katu (Sauropus
androgynus (L) Merr). Terdapat enam jenis tanaman hias, yaitu hanjuang
merah (Cordyline terminalis), kecubung (Datura metel L), krokot (Portulaca
oleracea L), azalea (Rhododendron indicum), sosor bebek (Kalanchoe pin-
nata Pers), dan dracena (Dracaena variegata). Hilir didominasi oleh tanam-
an hias teh-tehan, dan tujuh jenis tanaman buah (rambutan, sirsak, mayang
batu, Phyllanthus javanicus (Miq) MA, nenas, kecapi dan salak, tiga jenis ta-
naman industri (kelapa, kapuk, kopi robusta), dan tiga jenis pohon lain se-
perti mahoni (Swietenia mahogani), Gordonia exelsa (kisapi) dan legundi
(Vitex trifolia). Tanaman buah seperti pisang dan alpo-kat (Persea
americana Mill) serta tanaman hias terang bulan (Duranta re-pens)
merupakan spesies tanaman dengan frekuensi penyebaran merata di
berbagai lokasi penelitian. Terlihat kecenderungan jenis tanaman dominan
yang dijumpai di hulu dan tengah adalah tanaman hias dan sayur. Di
bagian Hilir adalah tanaman buah dan industri. Perbedaan ketinggian anta-
ra hulu dan hilir mengakibatkan kondisi agroklimat pun berbeda.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 31


4.5 Keragaman struktur horizontal dan vertikal
Struktur horizontal pekarangan sebagai agroforetri kompleks, diklasifikasi-
kan menurut delapan kategori fungsi tanamannya, yaitu tanaman: hias, sa-
yur, buah, bumbu, obat, pati, industri, kayu bakar, pakan ternak, dan kerajin-
an (Karyono, 1985; Arifin, 1998). Pengelompokan yang lebih sederhana
dibedakan dua, yaitu tanaman hias dan non hias (Arifin, 1998). Semakin ke
hulu, rasio jumlah spesies tanaman hias semakin tinggi. Berdasarkan jum-
lah individu tanaman, rasio jumlah individu tanaman hias di tengah lebih be-
sar daripada di hulu dan di hilir. Iklim yang sejuk di hulu dan tengah sesuai
untuk pertumbuhan tanaman hias. Di daerah tengah, jumlah individu tanam-
an hias per pekarangan besar, disebabkan rata-rata luas pekarangan lebih
besar dari hulu. Di hilir, rata-rata luas pekarangan lebih besar, tetapi kondisi
iklim lebih cocok untuk pertumbuhan tanaman keras, buah dan lain-lainnya.

Tanaman non hias yang banyak dijumpai di hulu dan tengah adalah tanam-
an sayur, buah dan pati. Tanaman lain di hilir umumnya adalah tanaman ta-
hunan berupa pohon tinggi dan besar serta memerlukan tempat yang luas
untuk tumbuh. Penduduk di hulu dan tengah lebih suka menanam tanaman
hias dan sayur karena sesuai dengan iklim dan memiliki nilai ekonomi. Ta-
naman buah yang banyak dijumpai di hulu dan tengah adalah jeruk (Citrus
nobilis Lour) dan pisang. Tanaman ini tidak terlalu besar sehingga masih
memungkinkan untuk ditanam di pekarangan tanpa menaungi sayuran. Ta-
naman besar, seperti alpokat dijumpai di hulu dan tengah, karena tanaman
ini termasuk salah satu tanaman buah khas dataran tinggi. Tanaman bum-
bu dan obat hanya sedikit dijumpai di hulu, tengah dan hilir. Arifin (1998)

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 32


membagi tanaman dalam lima strata yaitu strata I: <1 m, strata II: 1-2 m,
strata III: 2-5 m, strata IV: 5-10 m dan strata V: >10 m. Semakin ke hulu,
jumlah spesies dan individu tanaman pada strata tinggi semakin berkurang
dengan rasio tanaman hias semakin besar. Semakin ke hulu, tanaman hias
dan sayur semakin dominan. Tetapi, semakin tinggi strata tanaman, rasio ta-
naman hias menurun, karena tanaman hias umumnya tanaman penutup
tanah dan perdu.

4.6 Manfaat Ekologis dan Ekonomis


Tata ruang pekarangan dibagi tiga, yaitu pekarangan depan, samping dan
belakang (Arifin, 1998). Spesies tanaman non-hias di hulu dan tengah lebih
banyak ditemui di pekarangan belakang, dan tanaman hias di pekarangan
depan. Sedang di hilir, spesies tanaman hias di pekarangan depan, samping
dan belakang lebih rendah dari tanaman non-hias. Keragaman tanaman hi-
as di hilir lebih rendah daripada tanaman non-hias. Tanaman hias untuk
fungsi keindahan sangat sesuai ditanam pada pekarangan depan. Tanam-
an sayur dan bumbu lebih sesuai ditanam pada pekarangan belakang yang
berdekatan dengan dapur (Christanty, 1985). Berdasarkan hasil pengamat-
an di tiap lokasi, jumlah individu tanaman hias lebih banyak di pekarangan
depan dan samping. Dalam hal ini tanaman hias berfungsi sebagai pagar.
Tanaman non hias cenderung ditemui di pekarangan belakang yang diguna-
kan untuk fungsi produksi. Pola tanam ini mencerminkan hubungan antara
ruang dalam rumah dan tataletak pekarangan yang efisien.

Pengukuran kanopi dilakukan pada tanaman dengan diameter kanopi 1 m


atau lebih. Kanopi terbesar di hulu berdiameter 8,0 m pada pisang. Rata-ra-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 33


ta luas penutupan tanaman di hulu per pekarangan 169,0 m2 dan rata-rata
luas RTH pekarangan adalah 188,1 m2. Dengan demikian kerapatan penu-
tupan kanopi tanaman per pekarangan di daerah hulu adalah 89,8%.

Fungsi pekarangan yang sangat penting adalah mengkonservasi air dan ta-
nah (Abdoellah, 1991). Fungsi ini berjalan baik bila nilai kerapatan penutup-
an kanopi tanaman semakin besar. Nilai kerapatan penutupan ini besar
dengan semakin beragamnya stratifikasi tanaman di pekarangan. Kerapat-
an penutupan kanopi tanaman di hilir lebih besar daripada di hulu dan te-
ngah. Tanaman pohon tinggi dan besar lebih banyak ditemui di hilir daripa-
da di tengah dan hulu. Nilai kerapatan penutupan yang kecil di hulu karena
dominasi tanaman hias dan sayur di pekarangan. Sebagai tanaman
penutup tanah, tanaman hias dan sayur umumnya tidak diukur (diameter ka-
nopi kurang dari satu meter). Dengan nilai kerapatan penutupan kanopi
yang kecil dan pola tanam dengan sayuran semusim, pekarangan di hulu
memiliki fungsi konservasi air dan tanah yang rendah dibandingkan dengan
di hilir dan tengah. Densitas penutupan kanopi tanaman yang rapat berpe-
ran dalam mengurangi erosi tanah akibat curah hujan, menurunkan suhu
udara serta menghambat pertumbuhan gulma di pekarangan (Stoler, 1978).

Sebagai sistem agroforestri, pekarangan memilikik fungsi produksi yang da-


pat memberi kontribusi secara ekonomis bagi pemiliknya. Keanekaragaman
jenis baik secara horizontal maupun vertikal memberikan hasil yang terus
menerus sepanjang tahun. Pada skala kecil hasil pekarangan dimanfaatkan
untuk konsumsi rumah tangga sendiri secara subsisten, akan tetapi pada
skala tertentu hasil pekarangan ini dapat memberikan pendapatan tambah-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 34


an terutama bagi mereka yang menerapkan sistem pertanian terpadu antara
tanaman pertanian dan tegakan pohon, ternak dan kolam ikan seperti yang
dijumpai di pekarangan perdesaan daerah aliran sungai Cianjur.

4.7 Kesimpulan
Permasalahan dan hambatan
• Terjadi perubahan tataguna lahan yang sangat cepat, terutama daerah
hulu yang berudara sejuk; banyak lahan pertanian berubah menjadi
resor pemukiman mewah dan villa,
 Terjadi fragmentasi lahan pekarangan akibat sistem pewarisan
 Pengaruh urbanisasi yang dapat mengubah pola berpikir agraris ke pola
industri

Potensi dan penunjang


 Kondisi biofisik yang sesuai untuk pengembangan Agroforestri
 Tambahan pendapatan yang diperoleh dapat meningkatkan taraf hidup
petani agroforestri.

Rancangan pengembangan
 Pekarangan perdesaan dengan sistem agroforest kompleks perlu diper-
tahankan dan dikembangkan dengan menerapkan sistem usaha tani
terpadu,
 Penataan ruang halaman depan, samping dan belakang dirancang seca-
ra fungsional dan produktif dan tetap memperhatikan aspek estetikanya,
 Pembinaan teknologi pascapanen serta kelembagaan perlu ditangani
secara serius.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 35


BAB V LEMBO: PRAKTEK AGROFORESTRI TRADISIONAL DI
KAWASAN SENDAWAR, KALIMANTAN TIMUR

5.1 Kondisi umum wilayah Sendawar


Agroforestri tradisional yang ada di kawasan tropis lembab Indonesia, ter-
masuk di Kalimantan Timur, adalah sistem-sistem kebun hutan (forest-gar-
dens) dan kebun pekarangan (home-gardens). Kedua sistem ini ini masih
sangat berperan bagi kehidupan masyarakat hingga saat ini. Salah satunya
adalah budidaya lembo di wilayah Sendawar Kabupaten Kutai Barat
Propinsi Kalimantan Timur.

Sendawar terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Barongtongkok, Melak, dan Da-
mai. Terletak di antara 115o316‟–116o47‟ BT dan 0o6 –0o20‟ LS dengan luas
wilayah 5000 km2. Sendawar diapit oleh dua sungai besar yaitu Mahakam
(sungai utama di Kalimantan Timur) dan Kedangpahu (anak sungai Maha-
kam). Sendawar beriklim khas tropis lembab (humid tropical region). Curah
hujan rata-rata per tahun 2.000 mm hingga 4.500 mm.

Secara geologis wilayah ini memiliki keistimewaan dibandingkan daerah


lainnya di Kalimantan Timur, yaitu terdapat batuan induk vulkanis, tetapi
memiliki tanah acrisol (bahasa latin „acris' = asam) miskin yang mendomina-
si wilayah tersebut (a.l. FAO, 1979; Ruhiyat, 1989; Voss,1982). Jumlah
penduduk wilayah Sendawar menurut catatan statistik terakhir (1999) ada-
lah 46.500 jiwa kepadatan 17 Jiwa/km2 (KKPKD-Kubar, 2001). Dengan
demikian dibandingkan daerah pantai Kalimantan Timur kepadatan pendu-
duk di lokasi ini relatif masih rendah.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 36


Penduduk hidup dari sektor pertanian lahan kering (80%), khususnya perla-
dangan berpindah (shifting cultivation) atau pertanian gilir balik. Sisanya
adalah pedagang, buruh/karyawan, pegawai negeri dan lain-lain. Hanya
sebagian kecil yang melakukan aktivitas bertani tidak tetap. Dengan demiki-
an dapat dikatakan bahwa ekonomi subsisten hingga kini masih dominan.

Penduduk asli Sendawar, terutama pada bagian Dataran Tinggi Tunjung


(Tunjung Plateau; pada bagian tengah wilayah) adalah dari suku Dayak
Tunjung dan Dayak Benuaq. Di desa-desa sepanjang hilir sungai Mahakam
terdapat suku-suku Kutai (penduduk asli Kalimantan Timur untuk wilayah
pantai). Penduduk pendatang adalah Jawa (Program Transmigrasi Tahun
1964), Banjar (asli dari Kalimantan Selatan), Bugis (dari Sulawesi Selatan),
dan lain-lain. Pada saat Sendawar secara administratif masih termasuk
Kabupaten Kutai lokasi ini terisolir, hanya dapat dicapai melalui sungai (taksi
air) dari ibukota propinsi selama 24 jam. Setelah otonomi daerah, sebagian
kecamatan di bagian tengah dan hulu Sungai Mahakam termasuk wilayah
Sendawar menjadi kabupaten tersendiri (Kabupaten Kutai Barat). Kondisi
ini memungkinkan kemajuan yang pesat. Ibukota kabupaten dan beberapa
desa sudah bisa ditempuh dengan jalan darat dan udara (pesawat perintis).

5.2 Apakah itu budidaya lembo?


Lembo dapat disebut sebagai „kebun buah‟. Bagi masyarakat setempat, isti-
lah kebun berkaitan dengan aspek budidaya tunggal dengan jenis eksotik
(dari luar) yang berorientasi perdagangan (komersial), misalnya kebuh karet
(rubber plantation), kebun kelapa sawit (oil-palm plantion), dan lain-lain. Da-
lam banyak kasus dijumpai lembo yang didominsi oleh jenis tertentu (se-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 37


hingga disebut lembo durian, lembo cempedak, dan lain-lain. Fenomena ini
bukan „wajah asli‟ suatu lembo.

Pemahaman lembo lebih rinci adalah Areal kebun tradisional Masyarakat


Dayak Kalimantan Timur, terdapat berbagai jenis tanaman berkayu berman-
faat, yang belum dibudidayakan (wild-species), setengah budidaya (semi-
cultivated species) dan dibudidayakan (cultivated species), didominasi po-
hon penghasil buah, dikombinasikan dengan tanaman lainnya atau hewan,
dan tersebar tidak beraturan di bekas ladang atau sekitar tempat tinggal”.
Kata-kata bercetak miring dalam definisi ini adalah karakter kunci lembo.

Kebun. Batasan, untuk membedakan dengan hutan alam (natural forest).


Lembo belum sepenuhnya dikategorikan sebagai tegakan buatan (man-ma-
de stand), karena aspek perkembangan sistem, secara umum bertumpu pa-
da permudaan alami (natural regeneration) dan pengelolaan belum intensif
seperti perkebunan komersial tanaman keras ataupun hutan tanaman.

Tradisional. Teknologi pengelolaan masih sederhana dan telah diterapkan


secara bergenerasi. Penerapan ini menyatu dengan nilai-nilai budaya ma-
syarakat setempat. Nilai-nilai ini menyangkut memfungsikan kelembagaan
adat dalam proses dan permasalahan pengelolaannya (pemanfaatan, pewa-
risan, perselisihan). Topik bahasan tentang lembo, tidaklah hanya terkait
aspek biofisik, melainkan juga terkait aspek sosio-kulturalnya (socio-cultural-
ly embedded).
Berbagai jenis tanaman berkayu (woody plants) bermanfaat. Menyang-
kut jenis yang belum dibudidayakan, setengah dibudidayakan dan dibudida-
yakan. Hal ini menunjukkan karakter asli lembo (dipengaruhi oleh tujuan

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 38


pembentukannya), keragaman jenis tinggi (high biodiversity atau polycul-
ture), komponen utama tanaman berkayu (pohon, perdu, palem-paleman
dan lain-lain). Lembo adalah agroforestri tradisional yang „sederhana‟, maka
komponen utama belum seluruhnya dibudidayakan.

Beberapa jenis pohon dari suku penghasil buah. Tanaman buah, teruta-
ma berasal dari suku Anacardiaceae, Bombacaceae, Dipterocarpaceae, Eu-
phorbiaceae, Meliaceae, Moraceae, Sapindaceae, Palmae, dan Rubiaceae.
Dominasi tanaman buah menunjukkan „nilai ekonomi‟ lembo di samping ni-
lai ekologis dan sosio-kultural, jadi tujuan penerapan budidaya lahan tradi-
sional ini. Lembo ditujukan untuk sumber pangan, lokasi berburu, tanda
penguasaan lahan dan warisan bagi generasi berikutnya.

Tersebar tidak beraturan. Agroforestri ini bersifat tradisional didasarkan


pada „pengalaman‟ yang dimiliki, sehingga struktur lembo yang terbentuk
menyerupai ekosistem alami (nature-like). Ketidak-teraturan yang dimaksud
terkaitan dengan sebaran komponen lembo secara horizontal (spatial
distribution), struktur vertikal dan umur tegakan (temporal arrangement).

Karakter kunci ini, di lapangan dan perkembangan dewasa ini, tidak selalu
ditemukan secara keseluruhan dan akurat. Pemilik lembo telah melakukan
modifikasi dengan alasan: keinginan untuk meningkatkan nilai ekonomi,
dengan memperbanyak jenis komersial atau mengatur jarak tanam;
mengikuti perkembangan program pembangunan yang ada dan pewaris
memiliki perbedaan prioritas dalam pemanfaatan lembo.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 39


Klasifikasi Lembo didasarkan pada Lokasi Keberadaannya
Lembo Ladang. Bentuk khas dari kebun-hutan (forest-garden), terletak ja-
uh dari areal pemukiman, umumnya pada hutan sekunder bekas perladang-
an atau di dekat hutan primer. Di samping berbagai jenis pohon buah, juga
tumbuh berbagai jenis pohon atau perdu yang bermanfaat.

Lembo Lamin. Lembo ini berada di sekitar lamin (rumah panjang tradisio-
nal masyarakat Dayak, di mana beberapa keluarga tinggal bersama dalam
bilik-bilik kecil di Lamin). Masing-masing keluarga (atau turunannya) yang
tinggal dalam lamin berhak memanfaatkan dan menguasai petak-petak lem-
bo di belakang atau depan bilik masing-masing. Warga satu desa umumnya
berasal dari satu lamin, maka lembo ini selanjutnya menjadi milik bersama
warga desa (komunal).

Lembo Rumah. Bila penghuni bilik di lamin berpindah ke rumah tunggal,


maka di sekitar tempat tinggal dikembangkan lembo. Lembo Rumah dimiliki
oleh keluarga dan oleh karena itu perkembangannya berjalan lebih cepat
dan kombinasi tanaman lebih eksotik dibandingkan Lembo Lamin.

Lembo Jalan. Sepanjang jalan menuju ladang atau sungai dijumpai lembo
yang tidak bertuan dan kurang terawat, disebut „Lembo Jalan‟. Lembo ini
milik komunal, dan penguasaan bersifat individu dan temporal (misalnya,
saat musim buah diberi tanda penguasaan atau pupu)
Klasifikasi lembo lainnya diBasuki, 1998; Sunaryo, 1998; Widjono,1998.
5.3 Perkembangan budidaya lembo
Istilah lembo diduga berasal dari bahasa Belanda Landbouw (pertanian).
Hal ini diperkuat dengan nama lokal yang jauh berbeda, yaitu munan (dayak

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 40


Tunjung) atau simpukng (dayak Benuaq). Penduduk asli Tunjung dan Be-
nuaq menduga bahwa lembo merupakan istilah dari masyarakat Kutai. Su-
ku Kutai sendiri menamakan rondong. Menurut Widjono (1998), lembo yang
telah dikenal di atas adalah bagian dari simpukng munan. Simpukng munan
adalah hutan bekas ladang atau sekitar kampung yang ditanami pohon buah
atau tanaman keras, dengan pengelompokannya, sebagai berikut:
(a) Simpukng umaq: berada di kawasan perladangan; Lembo ladang;
(b) Simpukng lou: berada di sekitar rumah panjang; Lembo lamin);
(c) Simpukng belay: berada di sekitar rumah tunggal; Lembo rumah; dan
(d) Simpukng lalaq: berada di sepanjang jalan kampung; Lembo jalan.

Waktu dan alasan masyarakat Dayak Tunjung dan Benuaq mulai membudi-
daya lembo tidak diketahui pasti. Sistem kebun-hutan dan kebun pekarang-
an seenis ini juga dijumpai pada suku Dayak lain di Kalimantan (Nieuwen-
huis, 1904; Sutlive jr., 1978) dan di luar Kalimantan (Mary dan Michon,
1993; Soemarwoto, et al., 1985; Wiersum, 1982) serta di Afrika tropis (Oka-
for dan Fernandes, 1987) dan Amazona (Padoch dan de Jong, 1987).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya lembo berkaitan dengan


aktivitas tradisional masyarakat Tunjung dan Benuaq yaitu mengumpulkan,
meramu hasil hutan dan perladangan berpindah. Kegiatan ini ditemukan
berbagai jenis pohon dan tanaman hutan lainnya yang bermanfaat, khusus-
nya jenis buah, pada lahan pertanian, di sekitar tempat tinggal (lamin dan
rumah) dan di sepanjang jalan menuju ladang atau sungai. Perkembangan
sosial-budaya dan ekonomi masyarakat telah merubah struktur dan kompo-
sisi lembo, terutama dengan kehadiran jenis pohon luar yang lebih ekono-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 41


mis. Oleh karena itu, lembo digolongkan empat bentuk yaitu Lembo Ladang,
Lembo Lamin, Lembo Rumah, dan Lembo Jalan. Lembo Jalan tidak dianali-
sis lanjut karena sulit menetapkan batas areal dan tidak jelas pemiliknya.

Tipe lembo yang ada menurut klasifikasi agroforestri dapat dikelompokkan


lagi menurut struktur, komposisi dan jarak dari pemukiman menjadi kebun
hutan (terletak jauh) dan kebun pekarangan (terletak dekat). Status ganda
hanya dimiliki oleh Lembo Lamin, karena kebanyakan masyarakat telah me-
ninggalkan rumah panjang. Banyak pihak yang terkait dalam perkembang-
an budidaya lembo, baik kelompok atau institusi. Sebagian terlibat langsung
dalam pengelolaan (masyarakat Dayak pemilik lembo) dan sebagian lain ha-
nya terbatas pada keuntungan ataupun kerugian adanya budidaya tradisio-
nal tersebut (misalnya pedagang perantara, pendatang, peneliti, dinas pe-
merintah dan lain-lain). Pendatang, para transmigran dari Jawa, memiliki po-
la pemanfaatan lahan yang beda dengan yang dilaksanakan suku Tunjung
dan Benuaq. Instansi pemerintah berupaya meningkatkan kondisi ekonomi
(Dinas perkebunan mengembangkan tanaman karet).

5.4 Struktur dan komposisi lembo


Sebagian besar lembo berada pada areal yang tidak luas, antara 0,1-2,0 ha.
Luas lembo ditentukan oleh jumlah anggota keluarga atau kelompok, jangka
waktu dan adanya musim buah besar saat bermukim. Pada umumnya tidak
ada batas nyata antar rumah dalam pemukiman atau desa penduduk asli
(Soedjito, 1980). Lembo rumah dan lamin lebih besar dari lembo ladang mi-
lik perorangan yang tersebar di lahan pertanian. Budidaya lembo adalah

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 42


bagian dari lahan pertanian atau pemukiman, maka lahan usaha lembo
meliputi areal yang tertutup pohon dan bagian lainnya pada lahan pertanian
dan atau pemukiman di sekitarnya yang dikuasai pemilik lembo.

Hasil penelitian dijumpai 127 jenis (35 suku) tanaman berkayu yang ber-
manfaat atau dimanfaatkan penduduk setempat. Pada lahan seluas 0,25 ha
dapat dijumpai 40 jenis, hal ini menunjukkan keragaman yang tinggi. Dari
jumlah tersebut 90% adalah pohon atau perdu dan sisanya adalah palma,
bambu atau liana (10%). Sebagian besar jenis tumbuhan berkayu adalah
endemik dan indigenous, hanya sebagian kecil berasal dari luar (eksotis).
Jumlah pohon berdiameter 10 cm atau 5 cm ke atas pada budidaya lembo
lebih besar dibandingkan kebun pekarangan di lokasi transmigrasi. Jumlah
pohon (diameter 10 cm ke atas) relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah po-
hon diameter yang sama di hutan primer di wilayah tersebut. Jumlah pohon
cenderung menurun dengan semakin dekatnya lembo pada pemukiman.

Dari status, maka sebagian jumlah tersebut (55%) tumbuh secara alami
(tidak dibudidayakan), 23 % setengah dibudidayakan dan 23% dibudidaya-
kan (22%). Kondisi ini sesuai dengan pengamatan Seibert (1989) bahwa
sistem agroforestri tradisional di Kalimantan Timur dibandingkan dengan
yang ada di Jawa lebih didominasi jenis pohon liar. Dilihat dari letaknya, ke-
seluruhan jenis yang ada (80%) dapat dijumpai pada Lembo-lembo yang
jauh (kebun hutan) dan hanya 60% yang dekat (kebun pekarangan).
Diameter pohon setinggi dada terbesar 50 cm (kebun pekarangan) dan 100
cm (kebun hutan). Tinggi pohon berkisar antara 5-35 m. Pohon-pohon

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 43


mem-bentuk lapisan tajuk bertingkat seperti hutan primer (Richard, 1952)
tajuk terbanyak berada pada stratum-C (tinggi 10-20 m) (Tabel 9.)

Pada budidaya lembo dijumpai juga tanaman semusim (minimal 15 jenis).


Penanaman sayur di kalangan masyarakat Dayak banyak dilakukan di seki-
tar pondok di ladang (Lihat Tabel 12.). Alasannya: ternak babi secara tidak
di kandang, dibiarkan bebas di sekitar rumah dan Ibu-ibu rumah tangga
yang berperan dalam menanam sayuran ikut bekerja di ladang yang jarak-
nya cukup jauh dari tempat tinggal. Hal penting lainnya, kebutuhan sayuran
masyarakat Dayak banyak dipasok dari lahan hutan, seperti umbut rotan
atau daun muda pohon hutan dan tumbuhan paku. Menurut Terra (1966),
dibandingkan tanaman musiman, kelebihan pohon atau tanaman kayu ada-
lah produksi dapat berjalan sepanjang tahun, tidak terpengaruh musim
kemarau. Kondisi ini tentu saja sangat sesuai dengan hadirnya musim
kemarau panjang secara periodik di Kalimantan Timur akibat El-Nino.

Komponen lain yang menyusun budidaya lembo adalah beberapa jenis he-
wan ternak (kebun pekarangan), terutama babi dan ayam. Komponen he-
wan penting bagi keberlangsungan fungsi lembo (kebun hutan) adalah sat-
wa liar, meskipun sebagian dari satwa ini tidak menetap (hanya periodik, ter-
utama musim buah) tetapi bermanfaat untuk diburu dan membantu proses
regenerasi pohon dan tanaman, disamping ada yang dianggap hama.

5.5 Pengelolaan budidaya lembo


Besar dan umur pohon dalam lembo bervariasi dan tergantung pada masa
terbentuk lembo dan pemeliharaan. Setelah penebangan pohon besar, po-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 44


hon buah yang tidak produktif, atau jenis lain yang tidak dikehendaki, tegak-
an dipermuda melalui permudaan alam atau penanaman (artifitial regenera-
tion) dengan memanfaatkan semai liar (wildings) dari lembo tua atau hutan
sekunder di sekitar. Khusus pada lembo rumah penanaman jenis eksotis,
terlihat makin meningkat. Pemilihan jenis pada lembo rumah cenderung ko-
mersil (commercial tree speciesa, seperti kopi).

Struktur yang kompleks dan variasi jenis yang tinggi dalam lembo, menim-
bulkan interaksi antar komponen bersifat persaingan (concurrence), keter-
gantungan (interdependence) dan atau saling melengkapi (complementare).
Dibutuhkan pengetahuan tentang kesesuaian kombinasi dalam pemelihara-
an lembo. Penduduk Dayak telah memiliki pengetahuan tradisional, meski-
pun dianggap primitif. Bila anggapan ini dipertahankan maka dikhawatirkan
pengetahuan tersebut punah. Perpindahan pemuda ke kota membahaya-
kan keberadaan lembo ke depan, mengingat komponen penyusun lembo
salah satunya tenaga kerja yang intensif (laborintensive). Karena mekanisa-
si tidak mungkin dilaksanakan dalam budidaya lembo, di samping keragam-
an yang tinggi juga menuntut sistem kerja yang khas. Keuntungan dari sisi
pola hidup dan tradisi masyarakat Dayak, tersedianya tenaga kerja musiman
pada sistem tradisional tersebut.

Kondisi lainnya yang penting bagi kesinambungan budidaya lembo hingga


saat ini adalah 'hak atas tanah'. Secara tradisional masyarakat asli setempat
dapat memanfaatkan lahan di dalam wilayah desanya (dan bahkan di desa
lainnya, apabila diakui ada hak waris/keturunan darah), sejauh belum
digunakan atau dihaki oleh warga lainnya. Akan tetapi Pemerintah Daerah

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 45


setempat menginginkan adanya “sertifikat tanah” sebagai tanda bukti hak
milik. Hingga saat penelitian belum satupun pemilik lembo yang memiliki
sertifikat tersebut diam tampaknya ketentuan tersebut masih sulit
dilaksanakan dengan alasan: batas-batas

lembo yang kurang jelas, lokasinya yang terpencar-pencar, pemilikan dan


pewarisan yang masih rumit. Berkaitan dengan hal tersebut, pemisahan
antara “hak pakai” dan “hak milik” sebagaimana yang tercantum dalam
Hukum Agraria (lihat Abdurrahman, 1983) kurang dikenal pada masyarakat
di luar Jawa, khususnya masyarakat Dayak (lihat juga Dove, 1987). Satu hal
lainnyayang cukup menarik pada budidaya lembo adalah sifatnya yang
relatif “kapitallos” (tanpa kapital), karena hampir kesemua kamponen

dan pengendiaannya dapat diperoleh dengan mudah dan secara mandiri.


Pertanyaan sekarang, sampai berapa jauh modal luar dari luar (misalnya
kredit) diperlukan dalam pengembangan sistem lembo selanjutnya, karena
modal dari luar meskipun me-mungkinkan peningkatan produksi, seringkali
kurang memperhatikan nilai-nilai ekologis dan sosial-budaya sistem.

6. Manfaat dan fungsi budidaya


Lembo bagi masyarakat Dayak Tunjung dan Benuaq dapat dikatakan telah
menjadi bagian dari tradisinya dan oleh karenanya amat penting bagi buda-
ya mereka. Budidaya lembo menghasilkan berbagai produk sehingga men-
jadi salah satu sumber penghidupan, untuk kebutuhan sendiri (subsistens)
atau diperdagangkan. Khusus untuk pendapatan, diperoleh dari produk
yang dihasilkan berbagai jenis tanaman semi-komersial (kelapa dan kopi),

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 46


buah (durian, cempedak, rambutan, asam, dan nenas), rotan, aren, madu,
dan produk langsung atau tidak langsung (kerajinan) dari beberapa satwa.

Keragaman struktur dan jenis, dominasi jenis tumbuhan berkayu, sistem


penggunaan lahan tradisional amat penting peranannya bagi keseimbangan
ekologi wilayah (klimatis dan hidrologis) hingga global (adanya keanekara-
gaman jenis yang tinggi memiliki aspek perlindungan sumber daya genetik
bagi kepentingan bioteknologi di masa depan).

Jenis produk
Buah/biji, umbi/akar/empulur, sari palma, karet/getah, serat (kulit/buah), ka-
yu, banir, daun, damar, tunas/pucuk/umbut, rotan, bambu, madu, telur, sat-
wa buru, dan daging/tulang/kulit binatang.

Pemanfaatan Produk
Bahan pangan/pakan ternak, bumbu, sagu, minuman, gula palma, obat-
obatan, insektisida, racun, bahan pewarna, bahan perekat/dempul, bahan
bangunan, kayu bakar, tikar, alat rumah tangga/pertanian. Berburu/pe-
rang/memancing, pembungkus, keranjang, peti, patung, perahu, rakit
dayung, dulang, alat musik, permainan, bahan pengikat, perhiasan.

Fungsi Lain
Pendapatan, ruang hidup (satwa), tabungan, hak milik lahan, batas lahan,
warisan, identitas budaya, tempat berburu, pelindung tanah, kesuburan ta-
nah, perlindungan terhadap erosi, tata air, lklim mikro, bank plasma nutfah.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 47


5.7 Potensi budidaya
Lembo berada di wilayah tropis lembab, memiliki berbagai sistem pemanfa-
atan lahan, baik tradisional atau yang baru diperkenalkan dari luar. Semua-
nya diharapkan mampu mengelola sumber alam yang ada secara berkesi-
nambungan bagi kesejahteraan masyarakat. Struktur dan fungsi lembo
perlu dievaluasi tentang peluang dan kendala dalam mencapai tujuan pe-
ngembangan penggunaan lahan. Dengan demikian ada beberapa pertanya:
• Apakah lembo sesuai kondisi ekologi dan sosial-ekonomi setempat?
• Apakah lembo berorientasi pada kebutuhan masyarakat setempat?
• Apakah budidaya lembo berorientasi ke masa depan?
Hasil evaluasi menunjukkan, dari sisi ekologi budidaya lembo sangat sesu-
ai. Dari sisi sosial-ekonomi, budidaya lembo dianggap layak, tetapi temporal
karena faktor-faktor sosial-ekonomi sensitif, dipengaruhi faktor luar (program
pembangunan dan kebijakan perekonomian nasional), sehingga sulit diduga
apakah budidaya lembo memiliki kemampuan penyesuaian yang cepat. Po-
tensi ini ada, namun butuh faktor luar dalam bentuk inovasi ilmiah dan teknis
di samping upaya kebijakan pertanian. Kemampuan penyesuaian yang ber-
kaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, adalah orientasi pada pemenuh-
an kebutuhan. Kebutuhan masyarakat meningkat pesat dari ekonomi sub-
sisten dan budaya tradisional kepada ekonomi berorientasi pasar dan ma-
syarakat modern. Keragaman yang tinggi dan fleksibilitas penataan kompo-
nen dalam budidaya lembo, adalah potensi bagi pengembangannya.

Orientasi masa depan budidaya lembo, bisa dievaluasi secara subyektif, arti
tergantung dari sudut siapa budidaya lembo dilihat. Bagi masyarakat pede-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 48


saan, resiko kegagalan panen dan perubahan harga pasar adalah kriteria
utama dalam memilih pola pemanfaatan lahan. Budidaya lembo yang sedi-
kit membutuhkan masukan dari luar (tidak tergantung pasar), golongkan
memiliki resiko sangat kecil. Budidaya lembo adalah bagian dari tradisi, per-
kembangan sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan (sertifikat tanah),
bagi masyarakat setempat kurang dipermasalahkan. Tetapi dilihat dari daya
saing terhadap sistem pertanian modern (perkebunan karet), budidaya lem-
bo dinilai kurang efisien karena ketidakseimbangan pekerjaan dan keun-
tungan diperoleh. Meskipun demikian bagi kebutuhan sendiri dan stabilitas
ekologi, sistem ini cukup efektif. Bila prinsip kesinambungan menjadi krite-
ria penting dalam penilaian pengembangan sistem penggunaan lahan yang
berorientasi ke depan di wilayah tropis basah, maka budidaya lembo dinilai
memenuhi persyaratan.

Hasil evaluasi menunjukkan, bahwa pengembangan budidaya lembo ke wi-


layah lain dalam bentuk utuh, baik fisik maupun nilai yang dikandungnya,
amatlah sulit. Oleh karenanya pemeliharaan dan pengembangan budidaya
lembo baik sistem kebun hutan dan kebun pekarangan di wilayahnya sendiri
lebih menguntungkan.

5.8 Lembo bagi pelestarian hutan tropis lembab


Problema penggunaan lahan, khusus pengelolaan hutan hujan tropis yang
berkelanjutan (sustainable), terkait erat dengan keragaman ekosistem hutan
yang tinggi. Berdasarkan analisis budidaya lembo, pemanfaatan keragam-
an berdampak postif bagi keberlanjutan pengelolaan. kebun hutan dan pe-
karangan dan menekan risiko kegagalan. Hal ini berlaku tidak hanya pada

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 49


agroekosistem pedesaan, tetapi juga pada ekosistem lebih luas di Propinsi
Kalimantan Timur. Kombinasi antara teknik tradisional yang mapan secara
ekologi dan sosial-budaya, bila dipadu dengan teknologi pengelolaan mo-
dern dan komersial bisa menjawab permasalahan pedesaan, termasuk pe-
ngembangan sistem penggunaan lahan yang efisien dan berkesinambung-
an. Pemanfaatan keragaman dan modernisasi budidaya Lembo, kebun hu-
tan dan pekarangan dapat dikembangkan. Di tinjauan dari potensi budidaya
lembo sebagai sistem penggunaan lahan, secara agroforestri tidak terpisah
dari situasi kehutanan dewasa ini. Strategi penggunaan lahan secara agro-
forestri, yaitu upaya penghutanan kembali lahan-lahan kritis dan pengem-
bangan produk pangan dan hasil hutan, secara ekologi maupun ekonomi le-
bih menguntungkan dibanding pembangunan hutan tanaman monokultur
dan masyarakat akan lebih berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Hasil analisis budidaya lembo diharapkan bisa memberi arah dalam


merubah sistem tradisional yang berorientasi subsisten ke pasar. Perubah-
an orientasi ini diperlukan untuk memperkecil perbedaan ekonomi di Kali-
mantan Timur, yaitu wilayah pantai yang sarat industri padat modal dan wi-
layah pedalaman yang mayoritas masyarakatnya berorientasi subsisten.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 50


BAB VI KEBUN PEPOHONAN CAMPURAN DI MANINJAU
SUMATERA BARAT

Sumatera Barat memiliki ciri kebudayaan tua dengan beragam sistem perta-
nian perpaduan sawah beririgasi dan bermacam tanaman keras. Tutupan
hutan tropika yang dulu mendominasi wilayah Minangkabau sekarang terba-
tas di kawasan hutan lindung. Maninjau adalah salah satu daerah di
Sumatera Barat yang petaninya mengembangkan kebun campuran pepo-
honan yang sangat mengesankan, berisi perpaduan pohon komersil dengan
spesies lain yang mendominasi bentang alam kawasan pertanian. Kebun-
kebun ini sudah dikembangkan sejak lama, berawal dari upaya untuk mena-
nami bekas lahan tegakan hutan dengan pepohonan setelah ditanami padi.

6.1 Deskripsi umum wilayah


A. Lokasi geografi
Maninjau terletak di bagian tengah Sumatera Barat, wilayahnya berupa
hamparan mengitari Danau Maninjau sekitar 10.000 ha. Di bagian timur di-
batasi oleh dataran tinggi persawahan Bukittinggi dan bagian utara oleh pe-
gunungan. Kawah Maninjau terbuka ke arah barat melalui celah sempit me-
nuju ke dataran pantai Padang.

B. Lingkungan biofisik
Curah hujan kawasan ini antara 3.000-4.500 mm per tahun dan daerah pa-
ling kering di bagian timur. Curah hujan terbesar di Bulan Oktober-Maret,
Kemarau singkat terjadi pada bulan Februari dan musim kemarau (curah hu-
jan <200 mm) pada bulan Juli–Agustus. Suhu rata-rata relatif tetap sepan-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 51


jang tahun (250 C) di permukaan danau. Topografi lahan umumnya lereng
dan curam. Bagian selatan dan barat danau dikelilingi lereng yang sangat
curam (>40%) menuju tebing batas kawah, lebar teras tepi danau < 100 m.
Di bagian utara dan timur teras danau membentuk dataran hingga ke dasar
lereng kawah seluas 500-2000 m. Danau berada pada ketinggian 450 m dpl
dan punggungan kawah mencapai 1.200-1.500 m dpl.

Jenis tanahnya adalah vulkanik muda (Andosol) yang kaya unsur hara tetapi
struktur kurang stabil sehingga rawan erosi dan longsor. Tanah di bagian
bawah lereng berkarang dan berbatu, dan kurang padat di bagian atas ka-
wah. Petani menanam pohon penutup permanen, pelindung efisien untuk
mencegah tanah longsor.

Vegetasi alami adalah hutan hujan tropika, masih menutupi 30-79% areal
pedesaan. Berada pada ketinggian 900 m sampai ke punggung kawah. Di
atas ketinggian 800 m dpl terdapat formasi hutan pegunungan dengan jenis
Fagaceae (Quercus dan Castanopsis), Lauraceae dan Myrtaceae sebagai
pohon kanopi, dan jenis Anacardiaceae (Mangifera dan Swintonia) atau
Shorea platyclados (Dipterocarpaceae). Namun sangat rawan gangguan
angin, hujan dan tanah longsor. Memilik tumbuhan menjalar yang banyak
(antara lain rotan) dan keberadaan Ficus (beringin) menjadi penstabil tanah
yang efisien. Pada lereng paling terjal, terdapat vegetasi semak dan pan-
dan, pakis dan herba. Ketinggian di bawah 800 m dpl, vegetasi hutan asli
yang tersisa adalah Burseraceae (Canarium, Santiria, Dacryodes), Fagace-
ae (Lithocarpus, Quercus), beberapa sisa Dipterocarpaceae (Shorea sumat-
rana, S. sororia, Hopea mengarawan, Parashorea lucida), dan sejenis Mi-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 52


mosaceae khas (Acrocarpus fraxinifolius). Vegetasi lapisan bawah terdiri
dari Meliaceae (langsat hutan (Aglaia argentea), A. gango, Chisocheton
spp., Disoxylon macrocarpum, D. cauliforum, suren (Toona sinensis)), Lau-
raceae (seperti kayu gadis (Cinnamomum parthenoxylon), huru atau me-
dang (Litsea spp.), medang (Actinodaphne sp.)) Annonaceae, Euphorbiace-
ae, dan Myristicaceae.

Spesies pohon dari formasi suksesi awal adalah Octomeles sumatrana (Da-
tiscaceae), Alstonia angustiloba (Apocynaceae), Terminalia spp (Combreta-
ceae), Pisonia umbellifera (Nyctaginaceae), Artocarpus spp. (Moraceae).
Kebanyakan spesies hutan ini ditemukan pada sistem agroforestri,
dipertahankan dan dikelola oleh petani untuk berbagai tujuan.

C. Tataguna lahan
Pertanian
Usaha tani masyarakat di kawasan Maninjau bersifat menetap. Usaha ini
meliputi dua komponen. (1) Budidaya padi sawah beririgasi. Kegiatan ini
berada di teras danau dan dasar lereng (sekitar 13- 75% lahan pertanian,
atau 3,5-30% dari tanah pedesaan). Produksi padi terutama untuk konsum-
si sendiri dan pada desa tertentu dijual. Panen, dilakukan 1-3 kali setahun
tergantung dari ketersediaan air dan tenaga kerja. Diantara dua masa ta-
nam, sawah ditanami cabai, terong, dan mentimun; (2) Kebun pohon
campuran, merupakan agroforestri di lereng, antara desa dan kawasan hu-
tan lindung. Kebun-kebun ini, disebut parak, mencakup 50-88% total lahan
pertanian (13-33% dari total lahan).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 53


Kebun campuran memiliki keragaman dan kerapatan pohon yang tinggi,
struktur vertikal yang kompleks dan bertingkat-tingkat. Kebun campuran
memberikan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebu-
tuhan sehari-hari termasuk kayu bangunan, kayu bakar, dan hasil non kayu
(buah, sayuran, obat, dan lain-lain). Kebun ini ditanami tanaman komersil
(kayu manis, pala, kopi, buah-buahan, cabai, umbi-umbian, dan kacang-ka-
cangan). Pola produksi dan regenerasi spesies mirip dengan yang terjadi
pada ekosistem hutan alam, campur tangan manusia terbatas pemanfaatan
hasil dan aktivitas penanaman dan perawatan beberapa spesies saja.

Pemanfaatan lahan tanaman pekarangan dilakukan sebagai komponen kecil


kawasan pertanian, tidak semua rumah memiliki pekarangan. Pekarangan
ditanami tanaman hias (depan) dan tanaman bernilai ekonomi (rempah,
kopi, buah, kayu, dan sayuran). Ternak yang dipelihara adalah ayam dan
domba atau kambing. Kerbau dipelihara untuk membajak sawah.

Hutan
Penduduk tidak mengambil hasil hutan alam; kayu bangunan dan kebutuhan
lain tersedia di kebun hutan. Hutan alam berada di ketinggian >900 m dpl di
lereng yang terjal, berstatus kawasan hutan lindung. Penetapan status
kawasan hutan lindung sejak zaman Belanda, tetapi batas-batas kawasan
sedikit berubah mulai beberapa tahun yang lalu untuk tujuan perlindungan.
Danau
Dimanfaatkan untuk budidaya perikanan, terutama di bagian selatan dan
barat kawah. Ikan ditangkap untuk konsumsi sendiri dan dijual di pasar se-
tempat. Jenis ikan khas danau Maninjau yaitu rinuak dan pensi..

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 54


6.2 Keadaan sosial ekonomi
Pola demografi, pemilikan tanah dan kepadatan penduduk bervariasi antara
150-350 orang/km2. Dua dekade terakhir pertambahan penduduk tergolong
kecil (10,5%; Indonesia 52%). Laju pertumbuhan penduduk kecil karena tra-
disi penduduk Minang, pemudanya suka bermigrasi kewilayah lain yang ber-
dekatan atau merantau. Di Maninjau 40-70% penduduk asli hidup menetap
di luar Sumatera Barat dan kebanyakan migran muda beserta keluarga. Hal
ini menyebabkan hilangnya tenaga produktif untuk pertanian. Dampak posi-
tifnya, mengurangi tekanan terhadap sumber daya lahan (Naim, 1973).

Adat istiadat penduduk Maninjau khas sebagaimana di daerah Minangkabau


lainnya. Pola budaya masyarakat Minang adalah matrilinial. Tanah dan po-
hon dimiliki secara bersama oleh suku. Lahan sawah dibagi di antara anak
perempuan yang telah menikah. Pembagian lahan kebun hanya menyang-
kut pohon atau hasil, tergantung pada sifat pohon, pola produksi, penggarap
dan lain-lain. Di Maninjau, pemeliharaan kebun dilakukan oleh pihak yang
berhak menanam pohon atau tanaman semusim dan memungut hasilnya
(terutama kopi, kayu manis atau kayu). Hasil pohon lain (buah pohon usia
panjang dan pala) dibagi di antara anggota suku. Pengambilan keputusan
mengenai penjualan atau penggadaian tanah atau pohon dibuat bersama.
Sistem kepemilikan tanah ini adalah usaha untuk mencegah pensekatan la-
han secara berlebihan, pembagian lahan produktif, dan penumpukan pemi-
likan tanah oleh orang kaya. Hal ini juga menghindari perubahan dalam sis-
tem pertanian karena lahan tidak dapat dijual atau diubah peruntukkan dan
pohon ditebang atas dasar keputusan perorangan (Ok Kung Pak, 1982).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 55


Karakteristik tanah pertanian dan desa
Ukuran lahan budidaya dan bentuk pengelolaan beragam (Mary, 1986). Pe-
ngamatan di tiga desa mencerminkan kondisi yang berbeda. Desa pertama
memiliki lahan pertanian sangat luas berupa sawah beririgasi. Desa kedua
memiliki sawah beririgasi dan lahan pertanian lain yang tidak luas tetapi di-
kelola intensif terutama kebun campuran. Desa ketiga langka lahan pertani-
an terutama sawah dan didominasi oleh kebun campuran.

Fasilitas jalan dan pasar


Maninjau terhubung baik dengan kawasan di sekitar. Tingkat ketercapaian
sangat mudah. Jarak dari ibukota propinsi (Padang) sekitar 100 km (tiga
jam perjalanan) dan pusat pasar daerah di Bukittinggi sekitar 40 km (2 jam
perjalanan). Angkutan umum sangat lancar dari desa di bagian utara dan
timur kawah. Namun desa di Selatan dan Barat belum memiliki sarana ang-
kutan darat dan transportasi utama adalah perahu kecil. Terdapat koperasi
untuk budidaya, pengolahan, atau penjualan padi di seluruh bagian kawah,
dan koperasi yang mengurus budidaya dan pemasaran rempah-rempah dan
kopi di bagian tenggara kawah. Di wilayah lain, pemasaran hasil bumi
dilakukan pedagang setempat. Fasilitas kredit hanya diberikan untuk padi.

6.3 Sistem kebun pepohonan campuran


Agroforestri di Maninjau beragam dalam komposisi dan struktur. Perbedaan
jenis tanaman, kombinasi komponen yang dibudidayakan dan yang tumbuh
sendiri adalah hasil perkembangan sejarah dan ekonomi. Tetapi komponen
tersebut membentuk tutupan lebat dan mirip dengan hutan alam di lereng-
lereng (Michon, 1985).

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 56


A. Komponen agroforest
Tanaman semusim
Tanaman ini bukanlah unsur dominan di dalam kebun campuran, adalahkan
komponen sementara yang ditanam saat penanaman kembali kayu manis
(kayu manis ditebang untuk mengambil kulitnya). Tanaman semusim ber-
dampingan dengan anakan kayu manis, kopi, atau pala. Jenis yang dita-
nam sama dengan yang ditanam di antara dua masa tanam padi yaitu ca-
bai, terong (Solanum melongena), jagung (Zea mays), kacang-kacangan
(Vigna spp., Phaseolus spp), mentimun (Cucumis sativus), pisang, dan pe-
paya (Carica papaya). jenis umbi-umbian dihindari karena gangguan babi.

Tanaman keras
Jenis yang dibudidayakan khusus pohon yang memerlukan pemeliharaan
dan pemanenan teratur. Ada enam jenis pohon yang dibudidayakan di ke-
bun campuran: (1) Durian (Durio zibethinus) dari suku Bombacaceae. Po-
hon besar, tinggi 40 m, merupakan komponen kanopi kebun campuran dan
spesies utama. Durian berasal dari hutan alam di bagian Barat Indonesia.
Berbuah pada bulan Juli-Agustus, sejak berumur 7-100 tahun. Buah durian
dijual kepada pedagang setempat dan dimakan sendiri. Pada puncak mu-
sim, konsumsi durian melebihi jumlah konsumsi beras. Durian dibiakkan da-
ri biji dan ditanam di kebun. Pohon ini tidak memerlukan pemeliharaan khu-
sus, sebelum musim berbuah vegetasi bawah dibersihkan untuk memudah-
kan pemanenan. Pohon durian tua dibiarkan mati dan tumbang alami, kayu
diambil untuk bangunan, memiliki kayu berwarna merah, baik untuk dinding.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 57


(2) Pohon bayur (Pterospermum javanicum) dari suku Sterculiaceae. Berupa
pohon besar, mencapai tinggi 35-40 m, termasuk komponen utama kanopi.
Pohon bayur biasanya ditemukan di hutan pantai dan pegunungan rendah di
Sumatera. Di dalam kebun campuran, bayur tumbuh berdampingan dengan
durian. Pohon bayur ditanam untuk menghasilkan kayu bangunan. Tanam-
an ini dibiakkan di persemaian alam di kebun dan dipanen umur 15-25 tahun
menghasilkan 30-50 keping papan berukuran 300-400 cm x 22 cm x 3-4 cm
untuk pohon berdiameter 35-50 cm. Bayur memiliki kayu warna merah yang
cocok untuk lantai dan dinding rumah.

(3) Pohon surian (Toona sinensis) dari suku Meliaceae. Merupakan jenis
asli hutan setempat, berukuran sedang dengan tinggi 35 m. Berfungsi seba-
gai naungan bagi kopi dan pala, menghasilkan kayu bagus untuk lantai, din-
ding rumah dan perabotan. Anakan surian diambil dari lahan di bawah po-
hon tua. Kayu dipanen pada umur 30 tahun. Pohon berdiameter 30 cm da-
pat menghasilkan 25 keping papan (400 x 22 x 4 cm).

(4) Kayu manis (Cinnamomum burmani) dari suku Lauraceae. Kayu manis
adalah komoditi ekspor di Sumatera Barat, dan dibudidayakan sejak bera-
bad-abad yang lalu. Kayu manis termasuk spesies tumbuhan bawah yang
utama. Ditanam di bawah tegakan durian, bayur dan spesies lain yang ra-
pat‟. Anakan dikumpulkan dari kebun dan dipelihara di persemaian selama
setahun. Kulit kayu manis dipanen setelah berumur 8-10 tahun; diameter
batang >10 cm dan tinggi 15 m. Pohon ditebang untuk pemanenan, kulit ba-
tang dan dahan diambil, jumlah kulit yang dihasilkan sekitar 8 kg kulit kering.
Kayu yang kulitnya telah dikelupas, diambi untuk kayu bakar, dipakai sendiri

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 58


atau dijual. Kerapatan rata-rata tegakan kayu manis di kebun bervariasi an-
tara 800-1.500 batang/ha, tergantung kombinasi perpaduan dengan pohon
atas dan spesies lapisan bawah lainnya. Cara panen dipilih yaitu tegakan di-
panen sekaligus lalu ditanami kembali seluruhnya, atau dipanen secara ter-
atur 10-20 batang ditebang bergiliran, memberikan kesempatan regenerasi
bagi tunas baru. Hasil yang lebih baik diperoleh dari tegakan yang rapat
dan yang ditanam di bagian atas lereng. Kayu manis adalah spesies asli
hutan pegunungan >900 m dpl di Sumatera, dan tidak dapat tumbuh di dae-
rah lebih rendah, kecuali di bawah pohon naungan dengan kanopi rapat,
guna mempertahankan iklim mikro (lembab dan sejuk).

(5) Pohon pala (Myristica fragrans) dari suku Myristicaceae. Pala berukuran
sedang, tinggi sampai 20 m, berasal dari kepulauan Timur Indonesia. Di-bi-
akkan dari biji, dipelihara di persemaian selama satu tahun, semaian dita-
nam di bawah kanopi pohon durian dan surian yang agak jarang. Kerapatan
pala bervariasi 300-500 batang/ha. Pada umur 6 tahun, pala mulai berbuah
dan menghasilkan hingga umur 50-70 tahun. Berbuah sepanjang tahun,
puncaknya pada Bulan Juli dan Januari. Hasil beragam 10- 30 kg biji kering
per pohon per tahun, dan arilus (selaput biji) kering juga diambil dan dijual
sebagai bunga pala.
(6) Kopi (Coffea canephora) dari suku Rubiaceae. Kopi adalah komponen
dominan di dalam sistem kebun campuran sampai tahun 1940. Kopi dita-
nam di bawah kanopi durian yang kurang rapat. Bibitnya diambil dari kebun
telantar di bagian atas lereng. Pada tahun awal pertumbuhan, kopi muda
ditanam berdampingan dengan pisang dan pepaya; saat yang sama tanam-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 59


an muda surian, bayur, dan jenis kayu lain juga ditanam di antara tegakan
kopi. Kopi sering dipupuk dengan kulit durian yang membusuk. Pemang-
kasan kopi umumnya tidak dilakukan. Tingkat produksi kopi tergolong ren-
dah, rata-rata 120 kg biji kering/ha/tahun. Puncak produksi pada Bulan Juli-
Agustus. Sejak Tahun 1930-an (penurunan harga kopi), petani mulai mema-
dukan kopi dan tanaman komersial lain dengan tanaman buah dan kayu.
Berfungsi sebagai naungan bagi kopi dan meningkatkan hasil kebun.

Pohon lain dan perdu


Banyak spesies penting lainnya yang ditemukan di dalam kebun campuran.
Baik spesies yang ditanam atau berkembang melalui persemaian alami tan-
pa campur tangan manusia, dibiarkan hidup, dirawat, dan dipanen dengan
berbagai tujuan. Spesies-spesies ini berasal dari hutan asli atau spesies
pionir dari hutan sekunder, atau spesies budidaya. Di samping itu, tumbuh-
an liar juga diambil untuk obat atau keperluan lain. Terdapat spesies lain
yang tidak bermanfaat khusus tetapi dianggap bisa memperbaiki kondisi ta-
nah seperti Eupatorium inulifolia (gulma umum), Pisonia umbellifera (pohon
berbatang licin) atau Laportea stimulans (jenis jelatang) suku Urticaceae.

Hewan
Kerbau dipelihara di kebun campuran, tetapi komponen hewan utama ada-
lah hewan liar yang merusak buah dan umbi-umbian tetapi penting dalam
penyerbukan dan penyebaran biji. Hama kebun yang utama adalah simpai
merah (Presbytis rubicunda), beruk (Macaca nemestrina), monyet (M. fasci-
cularis), dan siamang (Hylobates syndactylus), musang, tupai, babi hutan,
beruang madu (Helarctos malayanus), binturung (Arctidis binturong), hari-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 60


mau dan kucing hutan, kambing hutan (Capricornus sumatraensis) sampai
tingkat tertentu dapat membahayakan tanaman atau manusia.

B. Pengaturan komponen
Ciri paling menonjol dari kebun campuran adalah keragaman jenis, tanpa
ada jenis yang dominan. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan
arsitektur kebun mencakup ukuran petak kebun yang dimiliki, tingkat pemeli-
haraannya, kebutuhan uang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi ke-
luarga, dan lokasi kebun (ketinggian dan jarak). Secara umum terdapat ciri
pengaturan yang erat antara spesies lapisan atas dan bawah. Berdasarkan
analisa ekosistem hutan, struktur dan arsitektur vegetasi memiliki ciri khas
yaitu lapisan berbeda pada pohon yang sudah berproduksi, disebut paduan
struktur atau paduan produksi (Michon, 1983). Berdasarkan tanaman pohon
yang relatif dominan dalam kebun, ada dua tipe kebun yaitu:
Kombinasi durian, jenis kayu, dan kayu manis atau pala
Dua kombinasi struktur dari pohon produktif yang dominan adalah
perpaduan kanopi durian dan bayur menempati strata bagian atas (ketinggi-
an 40 m, penutup dihitung dari jumlah luas tutupan tajuk, 90% dari total per-
mukaan petak), kerapatan pohon sekitar 110 pohon produktif/ha. Tegakan
kayu manis dan pala membentuk paduan kanopi lebih bawah (5-15 m), ta-
juknya menutupi sampai 70% permukaan petak. Di antara dua paduan ini
terdapat lapisan pohon (surian dan Alangium) yang tidak selalu ada
(ketinggian 18-22 m), dan pada ketinggian 5-12 m terdapat spesies buah
yang berbenturan dengan paduan kanopi pala atau kayu manis. Lapisan
bawah ditumbuhi rerumputan dan suku pandanus. Pohon muda pengganti

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 61


terdapat di antara lapisan-lapisan produktif ini. Tumpang tindih paduan ka-
nopi yang berbeda menyebabkan tingginya tingkat penutupan tajuk, secara
kumulatif penutupan kanopi sekitar 200% dari permukaan petak. Bila pala
dan kayu manis tumbuh dalam kebun bersama maka paduan kanopi bawah
menjadi sangat rapat (dari tanah hingga ketinggian 18 m), kondisi ini ber-
dampak menurunkan tumbuhan liar yang tumbuh spontan.

Kopi dan tanaman jenis kayu yang ditanam di bawah pohon


Kebun kopi mulai ditemukan sejak Tahun 1970-an menggantikan kebun pa-
la atau lahan yang ditelantarkan. Kanopi kebun kopi tidak selebat kebun la-
in, tajuk hanya menutupi 30-50% dari areal kebun. Tegakan kopi mengisi
ruang dari tanah hingga tinggi 5 m dengan kerapatan tegakan 1.500 po-
hon/ha. Berbagai pohon ditanam secara bersamaan terutama jenis kayu.
Kayu setelah tua (umur 20-30 tahun) akan membentuk lapisan yang berbe-
da. Bayur dan medang (Actinodaphne) membentuk paduan kanopi teratas
sedangkan surian dan Alangium membentuk kanopi dibawahnya (20-30 m).
Pada awal pembukaan, kebun pisang juga ditanam, membentuk kanopi
produktif lebih di bawah (ketinggian 0-2 m). Tanaman kopi sering dipadukan
dengan kayu manis membentuk paduan kanopi di ketinggian 5-15 m (tingkat
tutupan daun rendah karena kerapatan tegakan kayu manis kurang).

Gabungan dan interaksi antara tipe kebun yang berbeda menyebabkan mo-
saik yang kompleks di lereng-lereng. Komposisi dan konfigurasi tiap kebun
bisa berubah dari waktu ke waktu, namun tutupan kebun campuran secara
keseluruhan tetap stabil. Perubahan dari satu tipe kebun ke tipe yang lain,
atau dari kebun terbengkalai menjadi kebun baru seringkali terjadi tanpa pe-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 62


rubahan struktur yang drastis, karena pembabatan dan pembakaran dihin-
dari. Penggantian tanaman maupun pohon dilakukan secara bertahap se-
hingga keseimbangan antar kanopi-kanopi komponen bisa tetap terjaga.

C. Pengelolaan
Para petani menerapkan teknik pertanian konvensional dalam pengelolaan
kebunnya, memadukan proses alami dengan bahan organik, perputaran un-
sur hara, dan regenerasi vegetasi. Faktor penentu dalam pemeliharaan ke-
bun adalah interaksi fungsi dari tanaman, antara tanaman dengan tanah,
dan antar siklus biologi tiap-tiap tanaman. Petani memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang kebutuhan ekologi tiap jenis tanaman dalam kebun
campuran. Misalnya kayu manis, jenis ini hidup pada ketinggian sedang,
bila ditanam di bawah 800 m dpl akan membutuhkan naungan berupa kano-
pi lebat yang bisa mempertahankan suhu dan kelembaban optimum. Suri-
an, adalah jenis yang menyukai rumpang dalam hutan alam, tidak bisa ber-
kecambah di bawah naungan kebun. Petani mengusahakan ruang terbuka
di dekat pohon surian dengan menjarangkan kanopi dan menyiangi tanam-
an bawah guna mendapatkan semaian. Dengan demikian, biji dari pohon
tua bisa berkecambah, kemudian dipindahkan pada umur 1-2 tahun (saat ini
bibit sudah bisa tumbuh di bawah naungan). Penanaman bibit secara tera-
tur hanya untuk jenis-jenis tertentu. Manfaat dari penanaman adalah bahwa
petani dapat mengatur letak pohon tersebut dan pertumbuhan dapat lebih
baik, salah satu dengan teknik memilih posisi tumbuh bibit dekat tunggul
pohon yang busuk (fungsi pupuk). Penanaman akan dilakukan secara total,

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 63


jika petani bermaksud mengganti komposisi kebun atau mengganti tegakan
dominan (kayu manis atau kopi).

Pepohonan tidak akan ditebang tetapi dibiarkan atau tumbang secara alami,
kecuali untuk kopi dan kayu manis. Kayu, bila berharga diambil atau dibiar-
kan membusuk di kebun. Kematian alami ini menimbulkan ruang terbuka di
lapisan bawah atau kanopi (seperti rumpang pada hutan alam). Rumpang
bila ukurannya tidak besar akan menambah masuknya sinar matahari pada
tanah. Adanya ruang kosong ini meningkatkan pertumbuhan pohon peng-
ganti di lapisan bawah dan berkembang menutupi ruang yang terbuka. Bila
pohon pengganti tidak ada, tempat terbuka tersebut dimanfaatkan untuk me-
nanam pohon baru; bibit ditanam di dekat pohon tumbang untuk tujuan pe-
mupukan. Semaian muda digabungkan dengan tanaman bersiklus singkat
dan memerlukan banyak cahaya (misalnya pisang). Dalam tahap ini pisang
sebagai tumbuhan perintis (pionir). Teknik ini, di samping mengurangi jum-
lah spesies alami yang tidak bermanfaat dan mempercepat suksesi, dan
memberikan lingkungan yang baik untuk tahap awal pertumbuhan semaian.
Semaian mendapat naungan, kelembaban, dan pemeliharaan atas pisang.
Pemanenan jenis kayu menghasilkan rumpang, sehingga terjadi suksesi
seperti halnya pada rumpang alami. Untuk kayu manis, bila tegakan dipa-
nen sekaligus, akan mengakibatkan gangguan mendadak pada struktur ke-
bun. Penyiangan dilakukan berulang kali di tiga tahun pertama guna meng-
hindari pertumbuhan jenis yang tidak dikehendaki dan mempercepat rege-
nerasi tegakan kayu manis.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 64


Dominasi lapisan tanah kebun campuran oleh spesies yang agresif
(Eupatorium inulifolia, Lantana camara, atau spesies Urticaceae) perlu di-
perhatikan, butuh penyiangan secara teratur. Kebun dibersihkan sebelum
musim durian dengan cara selektif. Beberapa jenis pakuan dibiarkan kare-
na merupakan sayuran berharga, semaian alami dan anakan pohon dari
jenis bermanfaat dipertahankan dan dipelihara. Semaian alami yang diperta-
hankan mencakup jenis buah dan kayu. Pohon-pohon muda ini dapat tum-
buh dalam kondisi ternaungi dan menghasilkan batang yang lurus. Pohon
dengan bentuk tidak bagus (seperti bayur, cepat bercabang) dipangkas
perlu dipangkas agar bentuknya lebih baik dan menghasilkan banyak kayu.

Dampak langsung penggabungan antar-tanaman adalah mengurangi masa-


lah hama dan secara tidak langsung meningkatkan pendapatan keluarga.
Penyakit pada pala dilaporkan terjadi di bagian selatan kawah yang menim-
bulkan kekuatiran. Petani setempat belum mengetahui teknik penanggu-
langannya, baik kimia atau biologi. Beberapa penyakit juga terdapat pada
kayu manis, tetapi serangan terjadi setelah pohon berumur enam tahun dan
kulit kayu manis tetap diambil ketika pohon mati. Pada spesies kayu tidak
ada masalah yang dilaporkan. Untuk buah-buahan, kekuatiran yang utama
adalah seringnya terjadi gangguan hewan liar. Pada musim buah petani
hanya mengatasi dengan teknik tradisional.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 65


6.4 Fungsi sistem
A. Masukan sumber daya dan pemanfaatannya
Lahan
Lahan lahan kebun campuran dikuasai oleh suku-suku. Tiap suku memiliki
bidang tanah berjajar dari desa sampai ke hutan. Tiap lahan milik suku, di-
bagikan kepada perorangan (ukuran lahan bervariasi, tergantung luas desa
dan jumlah keluarga, dari 0.01-3 ha, rata-rata 0,63 ha). Pepohonan tidak di-
kuasai perorangan, kecuali kayu manis dan kopi. Lahan sawah juga dibagi
perorangan menurut cara yang sama. Perbedaan topografi antara desa me-
nyebabkan perbedaan luas sawah dari satu den desa lain.

Tenaga kerja
Setiap rumah tangga, umumnya memiliki 5 anggota, karena budaya meran-
tau hanya sedikit tenaga produktif (umur 18-35 tahun) yang mendiami desa.
Tenaga kerja yang dilibatkan dalam kebun campuran hanya dari keluarga.
Periode pekerjaan paling sibuk ialah pada musim durian dan panen kayu
manis. Pada masa panen kayu manis, petani saling membantu; laki-laki
menebang pohon, perempuan mengupas kulit dan membawanya ke desa.
Waktu kegiatan pengelolaan kebun campuran, tidak memiliki jadwal tertentu
sehingga bisa diatur bergiliran. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin
nampak jelas, perempuan melakukan pengumpulan kayu bakar dan laki-laki
melakukan penanaman. Pemetikan buah dilakukan oleh seluruh anggota
keluarga. Menebang dan menggergaji kayu dilakukan oleh pekerja khusus
yang dibayar dengan barang atau uang tunai. Pada puncak kesibukan kerja
di sawah, kegiatan di kebun ditunda. Tetapi pada musim durian pemanenan-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 66


nya diberi prioritas dan menyita waktu setiap orang. Panen padi tertunda bi-
la waktu bersamaan dengan musim durian (durian buah komersil).

Modal dan masukan lainnya


Mekanisasi tidak dilakukan di kebun dan penggunaan tenaga hewan relatif
sedikit. Beberapa desa memiliki traktor dan kerbau untuk menggarap lahan
sawah. Alat yang digunakan di kebun adalah parang, kapak, gergaji mesin,
dan cangkul. Biji untuk benih diambil dari kebun campuran. Kulit dan lim-
bah durian, pala, serta kopi yang dikeringkan digunakan sebagai pupuk.

B. Produksi
Angka produksi untuk produk yang diperdagangkan tercatat dengan jelas,
namun data untuk produk yang dikonsumsi penduduk hanya sulit didata. Ke-
bun memberikan sumbangan 26-80% dari total pendapatan keluarga. Agro-
forestri memberikan pendapatan Rp 350.000- Rp 5.000.000/ha/tahun (Ta-
hun 1984). Nilai produk kayu adalah perkiraan, karena hanya sebagian
yang dapat dihitung. Nilai total tumbuhan liar juga tidak diketahui.

6.5 Dinamika sistem


A. Pertumbuhan sistem
Batas antara sawah dan kebun campuran, atau antara kebun campuran dan
hutan jelas dan tetap. Ada beberapa perubahan struktural dalam percam-
puran. Di beberapa desa yang sawahnya luas, menjual kelebihan hasil pa-
di, kebun campurannya kurang terawat dan hasilnya hanya untuk konsumsi
sendiri seperti kayu bakar dan bahan bangunan, buah-buahan, dan sayuran.
Kebun yang jauh dari desa; didominasi oleh kopi juga ditelantarkan.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 67


B. Kesinambungan
Agroforest Maninjau menghasilkan bermacam produk dan dijual, namun da-
pat mengalami perubahan struktur dan komposisi akibat pertambahan pen-
duduk. Kebiasaan bermigrasi adalah faktor yang bisa mengatasi dampak
pertambahan penduduk dan mempertahankan kelangsungan sistem. Faktor
lain yang menentukan kestabilan agroforest Maninjau adalah pola kepemilik-
an tanah yang ketat (untuk kelestarian lahan dan pepohonan). Kegagalan
kadang pada tanaman komersil, misalnya kegagalan kopi akibat penurunan
drastis harga di pasar internasional, dan masalah pala karena serangan
hama. Kondisi ini tidak menyebabkan berkurangnya areal kebun campuran.
Disebabkan keragaman spesies dan fungsi di dalamnya, dan sedikit campur
tangan manusia. Kebun campuran memiliki tingkat kestabilan dan kesinam-
bungan biologi dan ekonomi yang tinggi. Kebun campuran pepohonan ada-
lah sistem yang lentur, jenis pepohonan bisa diganti tanpa berakibat besar
pada struktur dan produktivitas. Memiliki daya penyesuaian yang tinggi
terhadap perubahan kondisi ekonomi. Komposisi sistem bisa diubah sesuai
keadaan ekonomi, komponen untuk kebutuhan harian dan komponen yang
bernilai jual dapat saling ditukar. Kelemahannya adalah adalah rendahnya
produktivitas tanaman komersil dibandingkan dengan jenis yang sama pada
perkebunan monokultur yang intensif. Tanaman ekspor adalah usaha yang
beresiko, petani Maninjau lebih mempertahankan kesinambungan jangka
panjang dibanding keuntungan sesaat.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 68


5.6 Evaluasi
A. Keuntungan
1. Penutupan tajuk permanen pada lahan di lereng sangat berperan dalam
mempertahankan sistem pertanian secara menyeluruh. Penutupan tajuk
kebun pepohonan campuran yang rapat, kanopi yang bertingkat, sistem
perakaran yang beragam, dan penutup tetap tanah berupa rerumputan
dan semak belukar sangat penting untuk menghindari tanah longsor, dan
untuk menjaga kesuburan tanah, serta kestabilan sistem persawahan,
2. Kebun pepohonan campuran berperan sebagai penyangga antara desa
dan hutan lindung. Perubahan ekologi antara hutan dan lahan pertanian
terjadi secara bertahap, kebun campuran menjamin kesinambungan
ekologi dari struktur hutan sampai ke lahan pekarangan desa. Bagi
petani, kebun campuran adalah pengganti hutan yang menghasilkan ka-
yu, pangan, bahan bangunan, dan sumber pendapatan. Dengan demiki-
an mengurangi gangguan terhadap hutan lindung. Perlindungan terha-
dap sumber daya hutan dalam kebun campuran meningkat karena sum-
ber daya ini cocok bagi keluarga, dan dikelola guna menjamin perkem-
bangbiakannya. Kebun campuran di Maninjau menunjukkan cara yang
baik sebagai daerah penyangga efisien bagi perlindungan hutan alam,
3. Keragaman spesies yang tinggi di kebun campuran adalah bank plasma
nutfah yang berharga. Banyak spesies dari hutan kawah mampu ber-
kembangbiak di dalam struktur kebun campuran, memberikan lingkung-
an lembab dan teduh. Spesies Dipterocarpaceae hampir tidak bisa dite-
mukan, tetapi spesies pohon lain yang berharga tetap dipertahankan dan
berkembang baik di kebun campuran. Bermacam buah dan tanaman
Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 69
budidaya merupakan hasil seleksi bertahun-tahun. Durian misalnya,
mempunyai tingkat keragaman genetika yang tinggi dan kelompok plas-
ma nutfah yang berharga dalam program pemuliaan,
4. Komoditi ekspor yang dihasilkan wilayah Maninjau menyumbang terha-
dap ekonomi Sumatera Barat; kayu manis menyumbang 50% dari total
ekspor propinsi, pala 55%, dan kopi 10%. Maninjau menyediakan kayu
bangunan dan bahan bakar bagi daerah sekitarnya, dan
5. Pendapatan yang diperoleh dari kebun campuran setara atau bahkan le-
bih besar dibanding hasil sawah. Pada tahun 1984, hasil tahunan padi
sawah Rp 500.000-Rp 800.000 per ha, sementara dari kebun campuran
Rp 365.000-Rp 1.210.000 per ha. Keanekaragaman produk dan pilihan
cara berproduksi memungkinkan petani memperkecil risiko ekonomi.

B. Hambatan dan perbaikan yang diperlukan


1. Petani kebun campuran belum mendapatkan bantuan teknis. Petugas
penyuluh hanya dilatih menangani kayu manis, pala, atau kopi sebagai
tanaman monokultur. Ujicoba pemuliaan atau pemberantasan hama ha-
nya pada tegakan monokultur dan penggabungan tanaman seperti yang
dilakukan petani tidak diperhitungkan. Hal ini terkait aspek administrasi
budidaya kebun (pajak tanah dan hasil bumi); pajak kayu dan hasil hutan
dipungut instansi kehutanan, komoditi ekspor oleh instansi perkebunan,
dan hasil buah oleh instansi pertanian. Hal ini karena kesalah pahaman
pejabat administrasi dan penyuluh terhadap sistem kebun campuran.
Merugikan petani karena membayar pajak pada instansi yang berbeda-
beda dan membayar pajak dua kali untuk barang yang sama,

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 70


2. Masalah hama belum terpecahkan sampai sekarang. Di bagian selatan
kawah, pala dan durian diserang hama dan bencana tanah longsor,
petani percaya bahwa semua penyakit dan „keletihan lahan‟ disebabkan
oleh roh halus, dan lebih memilih meninggalkan kawasan tersebut,
3. Tingkat produksi kebun agak rendah. Variasi spesies dan ketidakteratur-
an musim buah mengakibatkan hasil panen kopi, pala, dan durian dari
tahun ke tahun bervariasi. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan meng-
gunakan jenis yang lebih produktif maupun perbaikan cara pengelolaan,
4. Petani tidak memiliki posisi tawar dalam penentuan harga komoditas eks-
por. Koperasi perdagangan baru terbatas di beberapa desa saja, dan
perlu dikembangkan untuk memastikan pengawasan harga yang lebih
baik dengan memperbesar simpanan, kesempatan mendapat kredit, dan
kekuatan untuk bernegosiasi dengan pedagang besar di Padang, dan
5. Di Maninjau belum dikembangkan peternakan, seperti kawasan di seki-
tarnya. Kebun campuran merupakan potensi besar untuk usaha peter-
nakan komersil seperti sapi atau kerbau, melalui pengaturan giliran
pemanfaatan rumput atau pemanfaatan secara terpadu penutup tanah
sebagai penghasil hijauan pakan.

D. Kemampuan pengembangan
Agroforest di Maninjau adalah contoh untuk hal-hal berikut ini:
1. Pola kawasan penyangga efisien di sekitar hutan lindung. Teknik yang
menarik dan strategi pepaduan sumber daya hutan ke dalam struktur ke-
bun campuran melalui budidaya spesies hutan dan perlindungan kompo-
nen alami bisa dipelajari dari kebun campuran di Maninjau,

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 71


2. Bentuk penerapan silvikultur terpadu untuk produksi kayu oleh petani.
Jenis spesies kayu dan teknik yang digunakan dapat menjadi contoh ba-
gi wilayah di sekitar Maninjau. Dinas Kehutanan yang melakukan prog-
ram penghijauan seringkali menggunakan spesies eksotik. Spesies ini
membuat petani ragu untuk membudidayakannya. Produksi kayu terpa-
du yang bertumpu pada spesies lokal kemungkinan akan lebih berhasil
seperti di Maninjau. Spesies kayu-kayuan setempat yang bernilai tinggi
dipadukan di dalam kebun-kebun pepohonan campuran, dan
3. Budidaya tanaman komersil di bawah kanopi pohon serbaguna. Para
petani di Maninjau telah mengembangkan metode yang berhasil untuk
mengelola tanaman ekspor di dalam struktur kompleks pepohonan. Me-
tode ini, meskipun masih dapat diperbaiki, dapat menjadi dasar untuk
memperkenalkan kebun campuran komersial di wilayah yang keadaan-
nya hampir sama. Sistem agroforestri Maninjau sangat erat hubungan-
nya dengan sistem sosial tertentu. Upaya mengekstrapolasi tipe kebun
campuran semacam ini pada daerah lain yang berbeda latar belakang
sosial, ekonomi, dan budayanya paling tidak dalam sistem kepemilikan
lahan dan hukum adat harus terlebih dahulu dikaji secara mendalam.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 72


BAB VII TEMBAWANG PRAKTEK AGROFORESTRI KHAS
DI KALIMANTAN BARAT

7.1 Model dan konsep Tembawang


Sistem kebun adalah suatu tradisi yang sangat tua. Belum diketahui sejak
kapan masyarakat Dayak di Kabupaten Sanggau mulai mengembangkan
sistem kebun, sistem kebun hutan di Sanggau dikenal sebagai Tembawang.

Menurut Kartasubrata (1991) kebun hutan berasal dari perladangan berpin-


dah, beberapa jenis pohon, bambu dan palem ditanam atau dipelihara pada
bagian tertentu atau seluruh lahan. Sistem kebun masyarakat Dayak berhu-
bungan erat dengan perladangan berpindah yang dilakukan sejak ratusan
tahun lalu. Tembawang di Kabupaten Sanggau ialah bentuk kebun hutan
yang berlokasi jauh dari pemukiman. Tembawang diklasifikasikan ke dalam
bentuk kebun hutan karena penampakan fisik seperti hutan dan berisi ber-
bagai jenis pohon yang berdiamater cukup besar.

Tembawang berasal dari bahasa masyarakat Dayak di Kabupaten Sanggau


Propinsi Kalimantan Barat. Beberapa kelompok masyarakat Dayak memiliki
istilah khusus untuk kebun hutan seperti itu. Misal, masyarakat Dayak dae-
rah Mabit menyebutnya Mawa, di Darok disebut Mbawa. Kedua istilah ini
tampaknya merupakan modifikasi dari istilah umum Tembawang. Pada ma-
sa lalu pemukiman masyarakat Dayak berpindah mengikuti perpindahan lo-
kasi ladang. Di lokasi pemukiman ditanam berbagai jenis buah, bahan ma-
kanan dan bumbu. Bila pemukiman berpindah maka lokasi lama yang di-
tinggal menjadi kebun hutan yang disebut Tembawang.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 73


Dalam aktivitas perladangan, pohon buah (Durian dan Entawak), termasuk
pohon Tengkawang (Dipterocarpacea) yang tumbuh di lokasi calon ladang
tidak ditebang, dibiarkan tumbuh untuk diambil buahnya. Kumpulan pohon
buah ini berkembang menjadi pulau buah di tengah lahan perladangan. Pu-
lau buah ini berkembang menjadi kebun hutan yang disebut Tembawang.

Belanda mengenalkan pohon karet di Indonesia, Tahun 1864 dibangun per-


kebunan pertama di Pamaukan dan Ciasem, Jawa Barat (Anonym, 1992).
North Borneo Trading Company dari Malaysia mengembangkan perkebunan
karet pertama di Kalimantan. Karet berkembang dari wilayah Kalimantan
Utara seluruh Kalimantan. Masyarakat Dayak mulai mengenal budidaya ta-
naman karet. Penanaman karet yang dilakukan tidak berbentuk perkebunan
monokultur namun berupa kebun campuran, anakan karet ditanam di lahan
bekas perladangan berpindah. Karet dibiarkan tumbuh tanpa pemeliharaan
yang cukup bersama dengan berbagai jenis pioner, pohon buah, pohon ber-
kayu dan semak belukar. Bila karet tidak produktif lagi dan banyak mati
maka pohon buah dan pohon kayu menggantikan karet. Pada tahap ini
kebun karet telah menjadi kebun hutan dikenal seba-gai Tembawang.
Gambar. Diagram pembentukan Tembawang di Kabupaten Sanggau
HUTAN
LADANG BERPINDAH
PEMUKIMAN
KARET
KEBUN KARET
KEBUN TEMBAWANG
KEBUN KARET CAMPURAN

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 74


7.2 Tata guna lahan
Luas hutan negara di Kabupaten Sanggau sekitar 39% dari total area dan
sekitar 14% lahan hutan desa. Lahan pertanian didominasi oleh perkebunan
komersial, kebun rakyat, lahan perladangan berpindah dan sawah (30%).
Penebangan hutan yang terus menerus menyebabkan padang alang-alang
yang luas (8,1%). Kabupaten Sanggau memiliki banyak sungai besar dan
kecil, terdapat daerah berawa-rawa (3,7%). Penggunaan lain, perumahan
dan peruntukan lain. Masyarakat Dayak di Kampung Mabit, Kabupaten
Sanggau mengklasifikasikan Tembawang berdasarkan asal pembentukan-
nya, yaitu Mawa Romin atau Tembawang Rumah dan Mawa Bori atau Tem-
bawang Bera. Tembawang diklasifikasikan atas asal pemilikan lahan, yaitu
Tembawang waris dan Tembawang milik. Tembawang waris adalah temba-
wang yang dimiliki hasil warisan dari orang tua atau leluhur. Tembawang
waris, dimiliki beberapa keluarga batih yang terikat dalam keluarga besar.
Tembawang milik adalah tembawang yang dimiliki kepala keluarga, diba-
ngun sejak masih muda. Tembawang milik akan menjadi tembawang waris
bila diwariskan kepada anak. Tembawang waris dimiliki oleh beberapa kelu-
arga batih, namun tidak ada sekat lahan, karena hak pemilikan bersama dan
tiap anggota keluarga mendapat hak pengambilan hasil.

7.3 Unit area


Luasan lahan rata-rata untuk unit tembawang tidak terlalu besar. Di Mabit
luasan rata-rata 0,41 ha, sedangkan di Darok 0,64 ha dan yang terluas di
Pisang yaitu rata-rata 0,72 ha.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 75


Masyarakat Dayak mengembangkan tembawang di tanah dingin. Istilah ta-
nah dingin menunjukkan tembawang dikembangkan di lahan yang cukup su-
bur dan air. Oleh karena itu, lokasi tembawang berada di tepi sungai atau
dekat sungai. Masyarakat Dayak mengetahui lokasi terbaik untuk Temba-
wang dengan melihat kehadiran pohon buah asli hutan (misalnya durian),
mengindikasikan bahwa lokasi tersebut dapat ditnamai jenis buah lainnya.

7.4 Komposisi komoditas/struktur floristik


Dalam tembawang terdapat 90 jenis tumbuhan (pohon, bambu dan palem).
Lapisan bawah didominasi semak, bambu kecil, pakis dan rumput. Lapisan
kedua didominasi tumbuhan berkayu berdiameter kecil, buah, dan kopi.
Tengkawang (Sho-rea spp.) dan durian mendominasi lapisan atas. Pohon
Kempas (Koompasia excelsa) sebagai tumbuhan emergent. Semak dan
rumput di bawah dibersihkan guna pemungutan buah tengkawang. Jumlah
pohon (diamater >10 cm) rata-rata 399 pohon/ha. Tembawang berisi
berbagai jenis pohon dengan diameter bervariasi, kecil- besar (>100 cm).

7.5 Manfaat ekologis dan ekonomis


A. Manfaat konservasi biologi (keragaman jenis, dan lain-lain)
Dibandingkan dengan lembo di Kalimantan Timur, keragaman jenis temba-
wang lebih rendah (90 jenis spesies tumbuhan dari 30 famili). Spesies ta-
naman merambat, paku, rumputrumputan dan lain-lain belum. Namun kera-
gam jenis dalam Tembawang cukup tinggi.

Tembawang dikelola secara minimal bahkan tanpa pemeliharaan, sehingga


memungkinkan pertumbuhan alami berbagai spesies lokal. Selain itu terda-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 76


pat berbagai jenis penting yang menjadi komponen utama tembawang se-
perti tengkawang dan kayu besi (Eusideroxylon zwageri) yang bernilai tinggi.
Pada pengelolaan tembawang, terutama tembawang waris, penebangan po-
hon hanya bila dapat ijin dari keluarga besar, sehingga secara tidak lang-
sung pohon terlindungi. Oleh karena itu, tembawang berfungsi sebagai tem-
pat konservasi sumber daya genetik.

B. Manfaat konservasi tanah, air dan iklim mikro


Fungsi utama pohon adalah melindungi tanah dari erosi, runoff dan pema-
datan. Tembawang berpotensi dalam mengurangi bahaya erosi karena diisi
oleh berbagai jenis pohon seperti tengkawang, durian dan kempas sebagai
komponen utama, dan kanopi yang berlapis. Penggundulan hutan mempe-
ngaruhi kondisi iklim dengan terjadinya pemanasan global. Pada tingkat lo-
kal, kehilangan hutan menyebabkan perubahan iklim mikro seperti perbeda-
an suhu harian makin besar (sangat panas di siang hari dan dingin di malam
hari). Keberadaan tembawang paling tidak dapat mempertahankan iklim
mikro, terutama di sekitar pemukiman dan ladang.

C. Manfaat bagi kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup petani.


Tembawang memberikan penghasilan musiman, penghasilan utama dari biji
(Illipe Nut), dibuat mentega dan bahan pencampur pembuatan permen cok-
lat. Berbuah sekali setahun, puncak panen tiap 3-5 tahun sekali. Pada pa-
nen puncak, petani mengumpulkan tengkawang sekitar 600 kg/ha, harga
tengkawang berkisar Rp 500- Rp 700/kg. Berbagai buah bernilai ekonomi
diperoleh dari tembawang, seperti durian, lansat (Lansium domesticum) dan
Entawak (Artocarpus anisophylus). Hampir seluruh kebutuhan masyarakat

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 77


Dayak dipenuhi dari Tembawang; bahan bagunan kelas satu, kayu bakar,
bahan makanan dan obat, bahan serat, dan lain-lain.

7.6 Permasalahan dan hambatan


Tingkat produktivitas tembawang rendah, karena tidak dikelola intensif dan
periode berbuah pohon penghasil biji dan buah tidak teratur. Produktivitas
karet lokal yang menjadi komponen utama juga rendah. Disebabkan karet
berasal dari anakan tanpa okulasi. Pemukiman masyarakat Dayak Kabupa-
ten Sanggau banyak yang di dalam hutan negara, sehingga lokasi temba-
wang juga di dalam. Ketidakpastian hak pemilikan lahan tentu menghambat
pengembangan tembawang kedepan.

Hasil tembawang sebagian besar tidak bisa dipasarkan, karena sarana


pemasaran minim dan transportasi sulit. Saat ini, ketersedian lahan untuk
perladangan berpindah yang diikuti pemukiman semakin sempit, akibatnya
tembawang dari pemukiman (mawa romin) atau tembawang dari perladang-
an berpindah sedikit dibangun. Kesulitan ini mendorong terjadinya perubah-
an tembawang yang sudah tua menjadi perladangan berpindah.

7.7 Potensi dan penunjang


Tembawang adalah sistem produksi yang permanen, tidak membutuhkan la-
han luas. Kesulitan mendapatkan lahan yang cocok bagi perladangan ber-
pindah karena menurunnya areal hutan dan kenaikan jumlah penduduk,
mendorong untuk mempraktekan sistem pertanian yang permanen seperti
tembawang. Pembangunan dan pemeliharaan tembawang tidak membutuh-
kan tenaga kerja dan modal besar, sesuai untuk masyarakat di pedesaan
dan perkotaan (tidak memiliki tenaga keluarga dan modal banyak). Bisa di-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 78


bangun pada areal yang lebih kecil dibandingkan perladangan berpindah.
Tembawang adalah sistem Agroforestri yang dikembangkan sejak lama, su-
dah menjadi tradisi, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Dayak di Kabu-
paten Sanggau. Pengembangan sistem ini sebagai sistem Agroforestri
dengan perbaikan teknik produksi akan mudah diterima masyarakat lokal
yang sudah mengenal sistem ini. Penerapan tembawang di daerah lain
harus mempertimbangkan kondisi kesesuaian lahan, iklim lokal serta latar
belakang sosial ekonomi dari wilayah tersebut.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 79


BAB VIII TEMBAWANG DI KALIMANTAN BARAT

Pada abad ke-19, petani Dayak mulai membudidayakan tanaman meram-


bat, semak, dan pohon (rotan, damar, biji tengkawang, kemenyan, nyatuh,
dan jelutung). Seperti masyarakat Sumatera dan Sulawesi, Suku Dayak
memadukan tanaman ke dalam sistem pertanian dengan menanamnya di
ladang yang diberakan dan membuat sistem agroforestri bersiklus atau
menetap, bertahan hingga sekarang. Contoh hubungan saling mendukung
antara teknik perladangan berpindah dengan pohon adalah budidaya karet,
dari luas dan pendapatan bagi petani Kalimantan Barat, peringkat pertama.

Sistem agroforest terpenting kedua di Kalimantan Barat adalah tembawang,


Tembawang memadukan pohon buah dengan tengkawang. Sistim ini satu
contoh keberhasilan budidaya Dipterocarpaceae. Kalimantan Barat juga
mengalami kesalah-kelolaan sumber daya hutan, berdampak hilangnya hu-
tan dengan pesat. Hal ini mendorong Masyarakat Dayak mengembangkan
sistem pengelolaan hutan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dan pasar. Ssistem asli ini berpotensi menjadi contoh pembangunan
berkesinambungan dan pelestarian alam.

8.1 Keadaan umum wilayah


A. Lingkungan biofisik
Lokasi pengamatan sebagian besar berada di lembah Sungai Kapuas, Ka-
bupaten Sanggau Kalimantan Barat dan daerah kecil berpegunungan di per-
batasan Sarawak. Daerah ini memanjang di atas sedimen tersier, topografi
berupa untaian perbukitan dan pegunungan. Jenis tanah terbanyak adalah

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 80


jenis Acrisol bercampur dengan Ferrasol. Tanah extrazonal (Gleysol) di ba-
gian bawah lereng yang tidak bersaluran air, dan Fluvisol di sepanjang su-
ngai dan di dataran aluvial. Tanah cenderung asam, kejenuhan basa ren-
dah kecuali tanah Fluvisol. Daerah pengamatan beriklim tropika basah,
curah hujan antara 3000 mm dan 4000 mm, suhu rata-rata 260C. Di Bulan
November dan April curah hujan terbesar, dan Bulan Juni dan Agustus
puncak kemarau. Pada bulan terkering, curah hujan masih di atas 100 mm.
Vegetasi alam berupa hutan dataran rendah yang selalu hijau. Kalimantan
Barat adalah daerah paling parah dalam penggundulan hutan dan banyak
ditemui hutan sekunder, padang semak dan padang alang-alang. Kabupa-
ten Sanggau masih memiliki hutan primer di sekitar perbatasan sebelah uta-
ra, selatan dan timur. Vegetasi didominasi ciri-ciri tahap perladangan berpin-
dah, vegetasi sekunder, beberapa hutan primer kecil dan kebun agroforestri.

B. Sosial ekonomi
Kalimantan Barat memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kelom-
pok etnik besar di daerah pengamatan adalah Dayak Pedalaman yang ber-
tani di pedalaman, nelayan atau pedagang, dan orang Cina yang tinggal di
kota kecil dan berusaha di bidang perdagangan dan industri kerajinan. Pen-
datang Bugis datang dari daerah pesisir, menetap sejak abad ke-18, dan
transmigran Jawa dan Madura. Infrastruktur tergolong yang paling baik di
Kalimantan tetapi belum mendukung bagi komoditas berukuran besar.
Sarana perhubungan selain Sungai Kapuas, juga ada jalan dari ibukota pro-
pinsi sepanjang Sungai Kapuas dan jalan ke Sarawak. Struktur proses dan
pemasaran hasil bumi masih buruk, belum ada fasilitas pemrosesan produk

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 81


selain kayu dan biji tengkawang. Karet hasil propinsi ini diproses di Jawa.
Pasar besifat melayani kepentingan pembeli, harga jual di tingkat petani ren-
dah. Di seluruh desa, petani Dayak tergantung kepada pedagang dari luar.

C. Sistem tataguna lahan


Bentang alam pedesaan berupa ladang, vegetasi sekunder berbagai usia,
dan tutupan hutan yang terdiri dari kebun dan sisa hutan primer. Sistem per-
tanian utama di dataran tinggi adalah perladangan berpindah dengan sistem
padi gogo dan rawa, agroforestri, dan perkebunan karet terpadu, memben-
tuk sistem agroforestri bersiklus. Kebun karet memakai lahan bera, diperka-
ya dengan karet, lada, dan sagu. Penggunaan lahan lain adalah sawah dan
perkebunan kecil, terutama perkebunan karet unggul dan kebun kelapa sa-
wit yang dikembangkan bersama dengan Program Pengembangan Karet
Petani Kecil dan proyek PIR yang didanai Bank Dunia. Sistem penggunaan
lahan termasuk kehutanan multiguna dengan mengelola daerah sakral dan
hutan tutupan. Tiap desa memiliki hutan tutupan, dari yang kecil sampai
yang luas (2-400 ha), beberapa sumber daya kayu dilestarikan dan dilaku-
kan pengumpulan hasil hutan bukan kayu. Hasil yang dikumpulkan berasal
dari kebun agroforestri, kecuali rotan.

D. Penghasilan dan usaha


Kayu menempati 74,8% dari total hasil ekspor propinsi dan karet 21,6%. Ka-
ret adalah sumber utama pendapatan tetap rumah tangga. Penebangan
kayu, dibeberapa desa masih menjadi sumber utama pendapatan keluarga.
Kayu penting yang dikumpulkan penduduk adalah kayu ulin (kayu besi).
Hasil hutan bukan kayu dikumpulkan untuk keperluan sendiri, perbaikan gizi

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 82


dan kesehatan. Sedangkan kayu digunakan untk bahan bangunan dan ka-
yu bakar. Hasil hutan bukan kayu yang komersil berupa biji tengkawang. Ka-
limantan Barat menghasilkan biji tengkawang terbesar, 75% dari produksi
nasional. Tengkawang yang dipanen di proses di satu pabrik minyak di
Pontianak untuk diekspor sebagai pengganti mentega coklat untuk industri
coklat di Eropa dan Jepang. Awalnya dihasilkan hanya dari hutan, tetapi
saat ini telah dibudidaya di kebun. Produk ini memberikan pendapatan ting-
gi, tetapi karena tengkawang adalah biji rontokan buah yang dikumpulkan,
penghasilan yang diperoleh bersifat tidak tetap. Rotan dan damar, adalah
produk komersil lain yang dihasilkan dari sisa hutan alam. Dewasa ini jum-
lah panen yang dijual rendah. Semua buah selain jeruk dibudidayakan atau
tumbuh liar di agroforestri. Beberapa spesies dalam dijual di pasar. Sumber
penghasilan lain adalah upah buruh, kegiatan perdagangan dan kerajinan.

E. Kepemilikan tanah
Wilayah desa, dasar bagi kepemilikan tanah dan hutan yang diatur dengan
hukum adat. Orang luar tidak bisa memanfaatkan sumber daya kecuali jika
termasuk dalam salah satu kelompok keluarga di desa. Selain hak dasar
untuk pemanfaatan sumber daya dalam wilayah desa, hak tetap untuk mem-
buka kembali dan membudidayakan lahan dimiliki oleh pribadi atau keluarga
yang pertama membuka hutan alam. Hak ini diwariskan dan dapat disewa-
kan kepada keluarga lain. Hak atas pohon ditetapkan dengan menanam
atau menandai lalu dirawat, hak ini juga dapat disewakan dan diwariskan.
Hutan tutupan adalah milik bersama warga dengan hak pemanfaatan indivi-
du terbatas, guna menjamin pasokan kayu bagi seluruh masyarakat. Pro-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 83


duk hutan seperti rotan dan gaharu di hutan alam adalah hak milik seluruh
penduduk. Hutan yang jauh, pengumpulannya hanya dikontrol oleh jaringan
perdagangan. Saat ini terjadi dua perubahan besar. Tanah bera yang dimi-
liki oleh kelompok keluarga besar, dibagi dan dijadikan milik pribadi di ba-
wah tatacara pewarisan Barat, sebagian kecil masih milik bersama. Pepo-
honan dan produknya masih mengikuti adat kepemilikan dan pewarisan tra-
disional, kecuali untuk karet mengikuti konsep kepemilikan Barat. Penanam-
an karet, tanah menjadi milik pribadi, kepemilikan tanah secara pribadi mulai
dikenal. Sistem tataguna lahan dan peraturan kepemilikan Dayak adalah:
1. Kebun karet campuran. Karet ditanam di tanah bera ladang berpindah
menjadi kebun campuran dengan komponen hutan sekunder. Pohon
karet milik pribadi. Jika dipadu dengan pohon buah atau tengkawang,
setelah diwariskan kebun menjadi tembawang dan dimiliki bersama, jika
tidak, kebun tetap milik pribadi. Kebun tua untuk menanam padi,
2. Kebun karet unggul. Perkebunan karet monokultur dengan pohon karet
unggul, lahan dimiliki pribadi,
3. Tembawang. Agroforest, hutan sekunder yang didominasi pohon buah
dan tengkawang di bekas ladang yang kemudian diperkaya. Kebanyak-
an dimiliki bersama, di beberapa desa dibagi-bagi jadi milik pribadi,
4. Hutan tutupan. Hutan milik bersama seluruh warga, pemanfaatan seca-
ra terbatas supaya sumber dayanya tetap terlindungi,
5. Rimba. Hutan alam, terdapat hak milik keluarga besar terhadap bebera-
pa jenis kayu berharga tertentu (kayu besi, misalnya),
6. Hutan keramat. Hutan alam yang tidak boleh dijamah, misalnya di Tu-
nguh merupakan tempat upacara persembahan dipuja di awal musim ta-
Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 84
nam untuk keberhasilan panen, atau dipuja untuk kesembuhan jika ada
penyakit. Tempat upacara kematian merupakan daerah keramat,
7. Sawah. Lahan berpengairan untuk menanam padi, milik pribadi,
8. Ladang. Lahan ladang berpindah, tanaman utama padi, miliki pribadi,
9. Bawas. Lahan bera, berisi vegetasi sekunder dari siklus perladangan
berpindah. Sebagian besar dibagikan menjadi milik pribadi, sebagian
kecil dimiliki bersama keluarga besar.

8.2 Agroekologi tembawang


Pengamatan dilakukan di desa Sanjan dan Tunguh. Desa Sanjan dikelilingi
vegetasi sekunder terdegradasi dan agroforestri, berjarak 18 km dari ibukota
Kabupaten Sanggau. Desa Tunguh masih dikelilingi hutan alam termasuk
areal perusahaan HPH PT Batasan, dapat dicapai dengan kano bermotor
atau berjalan kaki selama sehari dari jalan raya Sanggau-Balai Karangan.
Tiga desa lain yang dikunjungi, yakni Pemodis, Embaong, dan Gok Tanjung.

Pendapatan rata-rata tahunan rumah tangga di Desa Sanjan Rp 1.405.000.


Penyadapan karet merupakan sumber pendapatan utama (57%), di sam-
ping tengkawang (27%) dan buah-buahan (9%). Sebagian kecil keluarga
memiliki sumber pendapatan diluar sektor pertanian. Pendapatan rata-rata
tahunan rumag tangga di Desa Tunguh Rp 1.229.000. Sumber pendapatan
utama Senso (memotong) belian (48%), memikul belian (6%), cok belian
(3%), dan hasil rotan (2%). Jadi, 69% pendapatan dari hasil hutan. Sebe-
sar 18% pendapatan dari tengkawang dan 23% dari emas dan intan.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 85


Agroforest dibangun dengan menanam pohon dari hutan alam Kalimantan,
kecuali karet di lahan bekas ladang padi. Pepohonan yang ditanami tumbuh
bersama tumbuhan alami lain. Campur tangan manusia terbatas pada pe-
manenan hasil, di awal musim berbuah melakukan penyiangan semak untuk
mendukung pertumbuhan spesies spontan yang bermanfaat dan tanaman
muda. Kebun memiliki keragaman spesies yang tinggi, struktur berlapis me-
nyerupai hutan. Tembawang termasuk agroforestri penting bagi masyarakat,
selain karet campuran. Nama tembawang dari pohon tengkawang. Temba-
wang dibangun di sepanjang sungai dan sepanjang jalan. Selain temba-
wang, agau durian (pulau durian) adalah kebun campuran berisi pohon buah
durian. Areal agau durian luas dan dari sisi komersil kurang dibandingkan
tembawang. Sistem seperti ini hanya ditemukan di Gok Tanjung di tanah
rendah kurang subur dan tidak cocok untuk tengkawang. Sistem agrofores-
tri lain adalah pulau buah atau pulau tengkawang (ditanam sekeliling pondok
di ladang di tanah tinggi bekas padi, maksimal 1/2 ha. Beberapa pulau buah
dan pulau tengkawang tumbuh menyatuh dan menjadi tembawang baru.

A. Komposisi flora
Pohon adalah unsur penting dalam tembawang, yaitu tengkawang, karet,
nyatuh, dan pohon buah. Beberapa jenis pohon lain dalam jumlah kecil dibu-
didayakan guna menghasilkan kayu dan beberapa spesies liar.

Tengkawang
Di Kalimantan Barat, ada enam spesies famili Sapotaceae dan 15 spesies
Shorea dari famili Dipterocarpaceae. Nama daerah tengkawang dan teng-
kabang (Sarawak). Minyak tengkawang sebagian besar diekspor ke Eropa

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 86


(Jerman) dengan nama Borneo Talg (Bergner et al 1969), dan juga ke
Jepang. Tengkawang pengganti mentegadan coklat dalam pembuatan cok-
lat dan margarine (Altemeier 1991, Seibert 1990).

Semua spesies tengkawang adalah kayu berharga, jenis meranti merah mu-
da, kecuali Shorea seminis, jenis kayu keras yang tahan lama (Balau, I-II)
dan Shorea macrantha, sejenis meranti merah tua (Anderson 1975). Jenis
kayu ini terancam penebangan oleh HPH atau penduduk (Akcaya 1991,
Seibert 1990). Salah satu ciri khas Dipterocarpaceae dan jenis tengkawang
adalah musim bunga tidak teratur, kecuali Shorea stenoptera forma. Musim
bunga berkaitan dengan kemarau panjang. Terkadang musim buah hutan
terjadi di hampir semua lokasi, setiap 3-4 tahun. Masa dewasa pohon anta-
ra 3-20 tahun (Buchele 1991, komunikasi pribadi). Tengkawang tungkul
(Shorea macrophylla) adalah jenis paling banyak ditanam oleh petani Dayak
dan Melayu, di sepanjang sungai (85% ). Jenis ini penghasil biji tengka-
wang terbesar (Sunarica 1991) dan Shorea stenoptera, memasok produksi
minyak tengkawang terbesar di Indonesia dan Malaysia. Dengan tinggi po-
hon 55 m dan tajuk sangat besar, tengkawang tungkul mendominasi tingkat
atas tajuk tembawang, dan memiliki tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi
di antara semua jenis tengkawang.
Nama tengkawang tungkul digunakan oleh orang Dayak untuk jenis Shorea
stenoptera yang banyak di Sarawak. Di desa Sanjan, Embaong, dan Gok
Tanjung ditemukan lebih banyak Tengkawang tungkul. Di Tunguh lebih se-
ring dijumpai Shorea stenoptera berbiji besar. Tengkawang rambai (Shorea
splendida) berkerabat dengan Tengkawang tungkul, menghasilkan biji lebih

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 87


kecil. Tengkawang pinang (Shorea pinanga) menghasilkan biji berukuran
sedang. Arsitektur pohon beranting menggantung, berbeda dari jenis teng-
kawang lain, mudah dikenali.

Nyatuh (nyatoh, balem)


Nyatuh adalah jenis Sapotaceae menghasilkan gutta percha (getah pecah),
jenis getah non-elastis didapat dengan menyadap getah yang meleleh. Ge-
tah nyatuh digunakan untuk bola golf, wadah tahan asam, dan insulator lis-
trik (kabel bawah laut, tahan air garam). Saat ini getah nyatuh tidak lagi
penting di dalam dunia industri. Payena leerii menghasilkan getah yang ku-
rang baik dibandingkan dengan getah nyatuh dari Palaquium gutta yang
tidak ditemukan di dalam tembawang di Kalimantan Barat. Pohon besar ini
jenis paling dominan di dalam tembawang Sanjan dan bersama tengka-
wang membentuk lapisan tajuk tertinggi. Jenis ini banyak dijumpai di Emba-
ong. Di Gok Tanjung, jenis penghasil getah nyatuh adalah Palaquium ros-
tratum, jenis pohon yang sangat tinggi dan besar.

Pepohonan penghasil getah lainnya


Kayu menyan (Styrax benzoin Styracaceae) tumbuh liar di tembawang Gok
Tanjung. Pohon ini tidak disadap. Di Sumatera tetap dibudidayakan untuk
mendapatkan kemenyan. Kemenyan diekspor dalam jumlah kecil untuk
obat dan dupa (de Beer 1989). Jelutung (Dyera costulata Apocynaceae)
penghasil lateks bahan permen karet. Jelutung diekspor (de Beer 1989), di
lokasi pengamatan jelutung tidak lagi disadap. Jenis Ficus penghasil lateks
juga ada di tembawang. Pulai atau jitaa (Alstonia scholaris), pohon yang sa-
ngat tinggi dan tajuk besar, masih disadap untuk menangkap burung. Bebe-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 88


rapa jenis Shorea liar disadap untuk getah damar, digunakan untuk men-
dempul perahu. Merawan (Hopea dryobalanoides), jenis penghasil getah
damar terbaik, ditanam di Sanjan dan Embaong, untuk pemanfaatan kayu.

Pohon penghasil buah


Di Desa Tunguh, terdapat 45 jenis buah di dalam tembawang, 10 jenis liar
dan 35 jenis budidaya. Di Embaong dan Sanjan, ada 44 jenis buah, 18 liar
dan 26 ditanam. Buah dijual di pasar Kabupaten Sanggau. durian, langsat,
rambutan, dan nangka dijual dalam jumlah besar.

Dian dan durian adalah tanaman yang umum dibudidayakan di tembawang.


Suku Dayak membudidayakan durian-durian yang lezat dalam kebun (9 je-
nis). Musim durian sekali dalam setahun dan menjadi peristiwa sosial kare-
na memanfaatkan tembawang-tembawang tua secara bersama. Durian di-
kumpulkan, dimakan atau dijual secepatnya. Buah durian dapat diawetkan
dengan garam, disebut tempoyak. Di Sanjan dan Embaong, tanah di sekitar
pohon durian dibersihkan untuk memudahkan pengumpulan buah. Di Tu-
nguh, tangga diikatkan pada pohon untuk mengambil durian sebelum jatuh.
Kayu dari jenis berwarna merah bermutu cukup baik tetapi kurang tahan la-
ma, digunakan untuk dinding penyekat dan perkakas rumah tangga.
Sukun, nangka, cempedak (Artocarpus spp., Suku Moraceae) adalah tum-
buhan asli hutan dataran rendah Kalimantan, banyak ditemui dalam temba-
wang. Jenis-jenis ini tergolong kayu keras kelas rendah sampai menengah.

Jenis rambutan (Sapindaceae) yang ada di tembawang berasal dari Nephe-


lium, Mischocarpus, Pometia, Guoia, dan Lepisanthes, tumbuhan asli hutan
alam Kalimantan. Jenis-jenis ini ada di lapisan bawah, ukuran sedang.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 89


Memiliki buah manis, kecil (panjang 2,5- 3,5 cm dan lebar 1-1,5 cm) dan
berbulu. Suku Dayak belum menggunakan kayunya karena batang kecil
dan bermutu rendah, kecuali Pometia pinnata memiliki kayu dengan keta-
hanan baik (kelas III) dan spesies lain berpotensi sebagai penghasil kayu.

Di Kalimantan Mangga (Mangifera spp. Suku Anacardiaceae) ditemukan


sedikitnya 14 jenis mangga asli di jual di pasar lokal, dan 5 jenis lainnya di-
temukan liar (Bompard 1988 dikutip de Beer 1989). Beberapa jenis mangga
menghasilkan kayu yang bisa dijual, keras dan tahan lama dan berserat in-
dah (Kochummen, 1989). Bagian tertentu dari pohon mangga dipakai da-
lam pengobatan (Burkill 1935). Semua jenis mangga memiliki daun yang m-
irip satu sama lain, dibedakan melalui bunga dan buah (Burkill 1935).

Sukkup, tokuai dan manggis (Garcinia selebica, Garcinia candiculata, Garci-


nia mangostana, Suku Clusiaceae/Guttiferae), adalah tiga jenis pohon kecil
yang ada di tembawang, menghasilkan buah lezat. Tokuai dan manggis di-
budidayakan dan sukkup tumbuh liar.

Langsat dan duku (Lansium domesticum, Suku Meliaceae) adalah dua tum-
buhan budidaya dari satu spesies. Pohon kecil yang berada di tingkat te-
ngah tembawang. Pohon ini juga dikenal sebagai pohon lapisan tengah da-
lam kebun hutan di Jawa dan Sumatera (Michon, 1985). Kayu langsat awet,
kuat, lentur dipakai untuk tiang rumah. Di Jawa, kulit langsat dibakar, bera-
roma wangi dan dipakai untuk mengusir nyamuk (Burkill 1935).

Tampui (Baccaurea griffithii, Suku Euphorbiaceae) adalah pohon kecil di la-


pisan bawah, banyak ditemui di dalam tembawang di Gok Tanjung. Di desa

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 90


lain, jenis ini kurang dibudidayakan. Buah berkulit tebal berwarna hijau
sampai kuning, dimakan. Kegunaan utama adalah untuk difermentasikan
menjadi minuman keras (tuak tampui). Kayu yang dihasilkan awet dan di-
manfaatkan untuk berbagai kebutuhan.

Jenis - jenis kayu


Belian, taas, kayu besi, kayu ulin (Eusideroxylon zwagerii, Suku Lauraceae)
merupakan pohon tinggi, memiliki kayu sangat berharga. Kayu besi Kali-
mantan adalah salah satu kayu paling awet (kelas I), tahan terhadap se-
rangga dan perubahan kelembaban, suhu, dan kayu terbaik untuk tiang pan-
cang pembuatan dermaga, atau untuk bahan yang butuh ketangguhan tinggi
(Burkill 1935). Kayu besi dibudidayakan di tembawang di bawah pohon
tengkawang di Embaong, Sanjan, dan Gok Tanjung. Jumlahnya tidak ba-
nyak karena kendala pertumbuhan yang sangat lambat. Persedian hutan
alam untuk kayu ini habis. Pengadaan bibit sulit (kurang pohon induk).

Keladan (Dryobalanops beccarii, Dipterocarpaceae) dibudidayakan di San-


jan dan Embaong. Menghasilkan kayu kelompok komersil kapur (klas III),
cukup awet, berbau kamfer. Kayu ini untuk perkakas rumah dan bila dikilap-
kan mirip kayu mahoni (Burkill 1935). Penduduk Sanjan menanam jenis ini
karena mudah dibudidayakan dan tumbuh lebih cepat dari jenis belian.
Omang, omang telor (Hopea dryobalanoides, Dipterocarpaceae) dibudida-
yakan di Sanjan dan Embaong. Menghasilkan kayu (klas II-III) termasuk ke-
lompok merawan, digunakan untuk perkakas rumah (kusen pintu dan jende-
la) (Burkill 1935). Kurang dibudidayakan karena biji dan bibit tidak tersedia.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 91


Jenis kayu lainnya adalah kayu raya dan tenam, kedua jenis ini adalah me-
ranti. Penghasil kayu lain yang potensial ekonomi adalah dari jenis pohon
buah, jenis tengkawang dan karet yang dibudidayakan.

Palma (kecuali rotan)


Palem aren adalah tumbuhan penghasil ijuk dan gula merah, dibudidayakan
dan tumbuh liar dalam tembawang. Aping (Arenga porphyrocarpa), jenis
palma liar, termasuk tipe khas pionir yang tumbuh di tembawang dan tanah
bera hutan belukar. Umbutnya digunakan sebagai sayuran. Pinang dijum-
pai di Tunguh untuk pemanfaatan buah. Di Sanjan dan Embaong, banyak
dijumpai pinang tapi tidak dimanfaatkan lagi (makan sirih). Beberapa jenis
salak (teresum) tumbuh liar di tembawang, buahnya dimakan. Palem sagu -
nya ditanam terpisah dalam lajur dan di tempat berawa dalam tembawang,
seperti di Pemodis. Daun sagu digunakan atap dan pati, dikonsumsi secara
lokal. Pati sagu bukan bahan pangan pokok, sebagai persediaan pangan.

Jenis-jenis rotan (uwi)


Rotan adalah batang tanaman palma merambat dari genera Calamus,
Daemonorops, Ceralolobus, Calospatha, Plectocomia, Plectocomiopsis dan
Korthalsia. Rotan jenis uwi marau, uwi podi, uwi segou, uwi danan, dan uwi
kiu, digunakan untuk keranjang anyaman yang indah (kerajinan tangan Da-
yak yang terkenal). Di Gok Tanjung keranjang rotan diproduksi untuk dipa-
sarkan secara komersil. Uwi kunyin dan uwi rois berkualitas rendah, dipakai
sebagai tali. Rotan uwi moa, uwi berankis, uwi podi, uwi tiboo memiliki tu-
nas, dimakan sebagai sayuran. Uwi kiu memiliki buah yang dapat dimakan.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 92


Uwi segou (rotan sega) dan uwi marau (rotan manau) digunakan di daerah
lain untuk membuat mebel ekspor.

Jenis liana lain yang dimanfaatkan


Sirih (kukah boyet) menghasilkan daun untuk konsumsi sirih. Kukak jantak
(Willughbeia firma, Suku Apocynaceae) adalah jenis liana liar penghasil
buah. Beberapa jenis liana juga digunakan sebagai tanaman obat.

Tanaman dari lapisan herba


Berbagai jenis pandan (budidaya dan liar) digunakan sebagai bahan kerajin-
an anyaman. Nanas (liar dan budidaya) penghasil buah nanas. Beberapa
jenis pakis, herba, dan perdu dimanfaatkan sebagai sayuran ataupun obat
(misal pasak bumi). Penduduk juga memanen jamur-jamur dari tembawang.

B. Tembawang: ekosistem pertanian yang mirip hutan


Tembawang menyerupai ekosistem hutan alam dengan struktur vertikal ber-
tingkat. Jenis kempas dan tualang menempati bagian atas kanopi hingga
ketinggian 70 m, satuan tajuk utama berada di ketinggian 35-45 m yang di-
dominasi oleh tajuk dari jenis tengkawang, nyatuh dan pohon buah yang
tinggi (durian dan mangga). Di bawah lapisan ini terdapat beberapa jenis
pohon buah (cempedak, rambutan, sukkup, manggis dan tampui) serta ber-
bagai jenis kayu dan karet yang membentuk tajuk bawah. Tanaman muda
dan semak di lantai menyerupai susunan lapisan atas. Regenerasi alam
adalah bagian yang menyatu dari sistem agroforestri Dayak yang dinamis.
Makin tua satu agroforestri, semakin mirip struktur dan komposisinya de-
ngan hutan alam dan jenis-jenis pohon tanaman awal menjadi semakin tidak

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 93


dominan. Selain itu bidang dasar pepohonan (Diameter tinggi sebatas da-
da) diatas 10 cm (mirip hutan). Tembawang di Embaong memiliki bidang
dasar lebih besar. Komposisi dan struktur tembawang tidak beragam.
Paduan struktur tembawang dibedakan dalam lima tipe yaitu:
(1) tengkawang dan pohon buah,
(2) tengkawang, nyatuh, dan pohon buah (kebun nyatuh),
(3) tengkawang, karet, dan pohon buah,
(4) tengkawang, coklat, dan pohon buah, dan
(5) tengkawang, pohon kayu, dan pohon buah.
Agroforestri tembawang mirip ekosistem hutan alam dalam hal kekayaan
tumbuhan dan pola perubahan khas ekosistem hutan. Dari empat petak
tembawang yang diamati, tembawang berperan bagi perlindungan tanah
dan air dan pelestarian sumber daya genetika hutan (tumbuhan dan
binatang). Petak yang diamati, dihuni lebih dari 250 jenis. Dalam 0,25 ha
tembawang di Sanjan berisi 126 enis, 0,01 ha tembawang di Embaong,
berisi 94 jenis. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Whitmore (1984,
dalam Jessup & Vayda 1988), menemukan 250 jenis untuk 2 ha hutan
primer dataran rendah di Kalimantan Timur. Petak yang diamati hanya
bagian kecil dari jumlah dan luas tembawang. Keragaman tumbuhan untuk
seluruh tembawang di pedesaan jauh lebih tinggi.

Belum semua spesies yang dibudidayakan dan liar yang tercatat secara sis-
tematis. Sistem agroforestri didasarkan pada budidaya beberapa spesies
pilihan, perlindungan dan pengelolaan bagi spesies liar yang bermanfaat.
Ratusan spesies sampingan yang dibiarkan tumbuh (pohon-pohon dari hu-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 94


tan alam primer penghasil kayu, spesies semak, perdu, herba, liana dan
epifit) baru sedikit sekali yang tercatat. Sebagian pohon lapisan atas dite-
mukan di lapisan bawah, dan pohon-pohon muda ini membentuk lapisan
pengganti. Sebagaimana dalam ekosistem hutan alam, pohon-pohon peng-
ganti ini tumbuh lambat hingga ada rumpang (buatan maupun alami) yang
memungkinkan tumbuh menjadi pohon dewasa. Umumnya, pepohonan di-
biarkan sampai mati atau tumbang dengan sendirinya.

C. Kepemilikan dan praktek pengelolaan


Teknik pengelolaan dan umur agroforestri menentukan komposisi tumbuh-
tumbuhan. Tembawang dibedakan menurut pola kepemilikan yang berubah
seiring dengan usia dan berpengaruh terhadap teknik pengelolaannya:
(1) tembawang umum; hak pemanfaatan dimiliki bersama-sama penduduk
satu desa atau lebih,
(2) tembawang waris tua, berusia 3 sampai 6 generasi yang dimiliki oleh
kelompok seketurunan,
(3) tembawang waris muda, berusia 1 sampai 2 generasi dan hak peman-
faatannya dimiliki bersama-sama oleh keluarga besar, dan
(4) tembawang pribadi, tembawang muda yang dimiliki secara perorangan.

Sistem kepemilikan ini berdasarkan sistem pewarisan Dayak Kodan peda-


laman yaitu tembawang tidak dibagi ketika pemilik meninggal. Semua anak
mempunyai hak pemanfaatan atas kebun, dan semakin tua kebun tersebut
akan semakin banyak orang yang memanfaatkan hasilnya. Penebangan
pohon dalam tembawang dilakukan atas persetujuan seluruh pemilik. Kayu-
kayuan, diambil hanya untuk kebutuhan sendiri, pohon tengkawang dan

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 95


buah tidak boleh ditebang. Pohon bermanfaat dilarang ditanam di kebun
bukan milik pribadi, karena penanam akan memiliki, dalam kebun milik ber-
sama tak boleh ada pemilikan pribadi. Akibat sistem pewarisan seperti ini
adalah kurangnya upaya pemeliharaan tembawang. Semakin tua temba-
wang semakin didominasi tanaman liar. Tumbuhan muda tidak dipelihara,
biji dan anakan tengkawang dikumpulkan untuk dijual. Jadi, semakin ba-
nyak pihak yang memiliki akses ke tembawang, semakin kecil peeliharaan
terhadap tembawang. Tembawang-tembawang tua yang menjadi milik ber-
sama warga satu desa adalah agroforestri dengan keragaman terbesar, ka-
rena jarang dilakukan penyiangan tanaman yang tidak bermanfaat. Pe-
nyiangan dilakukan hanya di sekitar pohon buah sebelum panen atau mem-
beri ruang hidup bagi jenis pohon bermanfaat yang tumbuh sendiri.

Di dalam tembawang milik pribadi atau kelompok kecil, teknik silvikultur


(teknik kehutanan) dalam seleksi jenis tumbuhan di lapisan bawah kebun
dan penanaman pohon muda sangat terperinci. Hal ini tidak ditemukan
pada tembawang tua yang hak pemanfaatan dimiliki oleh banyak pihak. Ka-
rena itu keragaman hayati sangat tinggi ditemukan.

Tembawang di Gok Tanjung dan di Embaong adalah tembawang muda, di-


miliki kelompok kerabat seketurunan. Tembawang di Sanjan adalah temba-
wang waris tua, berusia enam generasi. Jenis pohon yang memiliki lingkar
di atas dada di atas 10 cm hanya 25% di Sanjan. Jumlah pohon yang
ditanam dibandingkan yang tumbuh sendiri di Gok tanjung dan Embaong
adalah 35 berbanding 44. Perbedaan dalam rasio tumbuhan liar dan
tumbuhan yang ditanam di tembawang muda dan tua adalah sangat nyata.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 96


Suku Dayak memiliki teknik silvikultur bagi Dipterocarpaceae guna pena-
naman kembali tanaman muda di lahan kebun, yakni memperpendek usia
biji dan kebutuhan Mycorrhiza ectotrophis. Namun teknik penyimpanan bibit
dalam persemaian dan perbanyakan vegetatif belum dilakukan, sehingga
kekurangan biji dan bibit masih menjadi persoalan jika jumlah pohon teng-
kawang harus segera diperbanyak saat pembiakan alami bermasalah.

D. Hasil-hasil agroforest dan potensi ekonominya


Tengkawang memiliki banyak jenis tanaman yang berpotensi ekonomi besar
bila sarana pengolahan kayu dan infrastruktur pemasaran berkembang.
Fakta ini telah terbukti pada agroforest damar di Lampung. Agroforest dapat
berperan dalam pemasokan kayu meskipun orientasi utama bukan untuk
produksi kayu (Michon 1985). Sangat disayangkan bila sumber daya buah
dan hasil tanaman lain yang besar hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan
sendiri. Beberapa penelitian manfaat dan potensi hasil hutan selain kayu
(Burkill 1935; Hill, 1978; de Beer dan Mc Dermott 1989; Meyer 1991). Ken-
dala yang ditemukan, pasar untuk hasil hutan bukan kayu (misalnya damar,
lak, rempah, minyak atsiri, kacang, jamur, dan madu) (Meyer, 1991)
semakin sempit karena digantikan oleh bahan sintetik yang lebih murah.
Meyer (1991) menlaporkan, pasar di Kalimantan Barat adalah pasar pembe-
li. Pihak produsen adalah rantai pasar yang paling rentan, tidak memiliki in-
formasi pasar dan harga. Sarana pengolahan pascapanen di Kalimantan
Barat terbatas, hal ini sangat menghambat pengembangan potensi hasil ag-
roforestri ( termasuk hasil bukan kayu). Sarana prasarana yang ada, tidak

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 97


mendukung pemasaran produk berukuran besar dan mudah ru-sak, hanya
cocok untuk produk dengan perbandingan berat dan nilai yang tinggi.

Disimpulkan, untuk meningkatkan peluang pasar, penduduk membutuhkan


lebih banyak informasi mengenai permintaan hasil hutan bukan kayu serta
akses langsung ke pasar tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pedagang dari luar. Permintaan terhadap hasil
hutan bukan kayu yang sudah ada di kebun juga perlu dipelajari. Getah,
gum, dan tanaman obat mungkin paling cocok dalam kondisi pasar dewasa
ini, atau pendirian pabrik pengolahan misalnya untuk mengolah buah.

8.3 Kesimpulan
Pada daerah pengamatan, tidak ditemukan lagi hutan alam maka agrofores-
tri menggantikan fungsi hutan tersebut, secara ekologi, ekenomi dan sosial.
Tumbuhan dan satwa hutan yang dimanfaatkan penduduk setempat seba-
gian hadir spontan dalam tembawang, hutan tutupan, dan agroforestri karet.
Tindakan budidaya dilakukan bila jumlah tanaman liar tidak mencukupi ke-
butuhan. Prinsip ini mendorong berkembangnya teknik budidaya bagi ber-
bagai jenis tanaman dan kondisi ini akan berkembang pesat mengingat per-
sedian kayu bernilai ekonomi kelas I dan II di hutan alam sudah tidak ada.

Tekanan penduduk atas lahan mengancam keberadaan agroforestri. Sis-


tem-sistem pertanian memiliki keragaman tinggi dan berkesinambungan se-
cara ekologi, juga dituntut kesinambungannya secara ekonomi bila tetap
ingin bertahan. Sebagai solusi, menemukan pasar untuk produk yang su-
dah ada dan mendukung jenis-jenis-spesies lokal yang berpotensi ekonomi.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 98


Pengamatan ini menunjukan bahwa ahli kehutanan yang paling trampil
adalah petani. Mereka memiliki teknik budidaya sendiri bagi Dipterocarpa-
ceae yang sulit dibudidayakan. Memadukan agroforest ke dalam sistem
pertanian perladangan berpindah merupakan suatu tindakan yang orisinil
dan ahli. Membangun agroforestri relatif tidak butuh banyak masukan tam-
bahan waktu dan tenaga kerja. Agroforestri, khususnya kebun karet bersik-
lus memiliki nilai ekologi yang sama dengan tindakan pemulihan dan pe-
ningkatan kesuburan tanah melalui masa bera pohon secara tradisional.
Memiliki nilai ekologi lebih tinggi bila dilihat dari segi keragaman hayati. Da-
lam hal ini petani membuat kebun pepohonan yang stabil, sehingga meng-
hasilkan ekosistem yang mirip hutan alam sekunder. Pemeliharaan dan re-
produksi agroforestri sebagian besar bergantung pada proses alam.

Tembawang merupakan milik bersama yang menjadi sumber buah-buahan


dan hasil hutan bukan kayu yang penting, boleh ditebang secara selektif.
Pemberian harga bagi sumber daya yang belum dimanfaatkan (kayu dan
buka kayu) dan dukungan guna membudidayakan jenis-jenis asli yang multi-
guna bisa menjadi tindakan intensifikasi yang memiliki keunggulan ekonomi
dan ekologi. Program pengembangan kehutanan masyarakat (community
forestry) sangat berguna sebagai langkah memperkenalkan sarana pengo-
lahan skala kecil seperti penggergajian. Ketersedian sarana pengolahan
akan memunculkan nilai ekonomi kayu lainnya (seperti karet). Banyak
contoh spesies pohon agroforesti yang dikenali penghasil kayu berharga.

Perladangan berpindah tidak perlu dihapuskan, tetapi diintensifkan dengan


pola agroforestri bersiklus, perbaikan ekonomi dan ekologi lahan bera

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 99


melalui tindakan budidaya pohon pada tahap awal, dan dengan memadukan
kebun karet tua ke dalam siklus perladangan berpindah. Pada kasus masa
bera sangat pendek dan sumber daya yang sangat terbatas seperti di Desa
Embaong, sistem agroforestri intensif seperti pola tanam berlajur dan pema-
duan tanaman musiman dengan tanaman tahunan pada lahan dan waktu
yang sama dapat menghasilkan manfaat jangka pendek dan menengah,
khususnya bagi petani yang miskin sumber daya.

Agroforestri karet adalah bentuk penggunaan lahan dominan dan penting,


maka perbaikan unsur tanaman karet akan meningkatkan mutunya. Lem-
baga penelitian perlu berupaya melakukan pemuliaan tanaman karet dalam
masalah persaingan dengan tumbuhan alam. Jutaan petani agroforestri ka-
ret di Indonesia dapat memetik keuntungan dari tindakan ini, karena tidak
harus melakukan perpindahan ke sistem yang padat tenaga seperti yang
berkembang saat ini melalui adopsi bibit karet unggul.

Pilihan lain dengan menanam pepohonan selain karet di lahan bera bekas
perladangan berpindah. Berupa paduan karet dengan rotan atau tanaman
lain seperti kopi dan coklat, atau bahkan jenis-jenis kayu, tergantung pan-
jang masa bera. Banyak agroforest karet yang sudah terlalu tua dan kurang
produktif. Hal ini dapat dipecahkan dengan membukanya kembali.
Potensi sistem agroforestri asli dan lembaga-lembaga setempat harus diper-
timbangkan bagi pelestarian keragaman hayati dan hutan alam. Sistem ini
menjadi pelestari sumber daya genetik tanaman pertanian in-situ dan sum-
ber daya genetik hutan secara eks-situ. Sistem ini juga menjadi kantung
ekologi bagi jenis-jenis liar, menjadi zona penyangga yang efisien antara de-

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 100


sa dan kawasan hutan yang dilindungi, dan sebagai koridor satwa liar
dengan menghubungkan daerah sisa hutan dan meminimalisasi efek pele-
nyapan sekat habitat. Kebutuhan penelaahan lebih lanjut sangat mendesak.

Indonesia secara umum, mengalami pembukaan hutan, menjadi sumber


pendapatan 30-40 juta orang. Kebijakan dan perundang-undangan kehu-
tanan diharapkan tidak bias dan hanya menguntungkan eksploitasi sumber
daya hutan seragam dan padat modal. Bila tidak ada pengakuan legal hak
masyakarat adat dan penduduk setempat atas sumber daya alam dan peng-
hargaan pada sistem pengelolaan sumber daya penduduk asli, maka
program kehutanan masyarakat akan gagal dalam mendukung keberhasilan
pengelolaan sumber daya alam lestari. Perlu desentralisasi pembuatan ke-
putusan dalam program pembangunan yang memungkinkan pemanfaatan
pengetahuan penduduk setempat.

Respon kelembagaan (sesuai kehutanan masyarakat), perlu menghormati


tradisi dan keterbatasan kebutuhan setempat. Contoh-contoh dalam studi
ini membuktikan bahwa kehutanan masyarakat dapat sepenuhnya bertumpu
pada kelembagaan penduduk setempat. Partisipasi masyarakat bukan ha-
nya dibutuhkan dalam penguatan kelembagaan tetapi juga dalam penelitian
agroforestri, dapat memanfaatkan pengetahuan setempat

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 101


DAFTAR PUSTAKA

Pengantar Agroforestri. Penulis: Mustofa Agung Sardjono, Kurniatun


Hairiah, Sambas Sabarnurdin.
Klasifikasi Agroforestri. Penulis: Mustofa Agung Sardjono, Tony Djogo, Hadi
Susilo Arifin, Nurheni Wijayanto.
Fungsi dan Peran Agroforestri. Penulis: Widianto, Kurniatun Hairiah, Di-dik
Suharjito, Mustofa Agung Sardjono.
Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri sebagai
kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Penulis: Didik
Suprayogo, Kurniatun Hairiah, Sunaryo, Meine van Noordwijk.
Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. Penulis: Didik Suharjito,
Leti Sundawati, Sri Rahayu Utami, Suyanto.
Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri. Penulis: Widianto, Nur-heni
Wijayanto, Didik Suprayogo, Meine van Noordwijk, Betha Lusiana.
Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri. Penulis:
Sunaryo, Laxman Joshi.
Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Pe-nulis:
Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito, Martua Sirait.
Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri. Penulis: Kurniatun
Hairiah, Sri Rahayu Utami, Bruno Verbist, Meine van Noordwijk, Mustofa
Agung Sardjono.

Saduran: Agroforestry di Indonesia Page 102

Anda mungkin juga menyukai