KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sehingga Laporan Hasil Monitoring Pengelolaan DAS di Provinsi Kepulauan Riau
dapat diselesaikan tepat waktu. Monitoring Pengelolaan DAS di Provinsi
Kepulauan Riau telah dilaksanakan oleh tim BPDAS Sei Jang Duriangkang Tahun
Anggaran 2022 dengan mengacu pada Peraturan Direktur Jendral Pengendalian
DAS dan Hutan Lindung Nomor No. P.5/PDASHL/SET/DAS.0/11/2016 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Laporan Banjir dan Tanah Longsor serta Peraturan
Direktur Jendral Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Nomor No.
P.14/PDASHL/SET/KUM-1/12/2018 tentang Petunjuk Teknis Monitoring Tata Air
Daerah Aliran Sungai atau Sub Daerah Aliran Sungai.
Ucapan terima kasih tim penyusun sampaikan kepada :
1. Kepala BPDAS Sei Jang Duriangkang atas motivasi dan arahannya selama
rangkaian kegiatan Monitoring Pengelolaan DAS di Provinsi Kepulauan
Riau.
2. Seluruh pihak yang bersedia memberikan data dan masukan selama
rangkaian kegiatan Monitoring Pengelolaan DAS di Provinsi Kepulauan
Riau.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.
Tim Penyusun
i
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDASHL SEI JANG DURIANGKANG
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Maksud dan Tujuan ..................................................................... 3
1.3 Ruang Lingkup dan Sasaran Kegiatan .......................................... 3
BAB II. METODOLOGI .............................................................................. 4
2.1 Dasar Pelaksanaan ..................................................................... 4
2.2 Lokasi dan Waktu ....................................................................... 4
2.3 Pendekatan Identifikasi ................................................................ 4
2.4 Prosedur Identifikasi .................................................................... 6
BAB III. HASIL ........................................................................................... 7
3.1 Kota Tanjungpinang .................................................................... 7
3.2 Kota Batam ................................................................................ 11
3.3 Kabupaten Bintan ....................................................................... 17
BAB IV. PEMBAHASAN .............................................................................. 22
4.1 Kota Tanjungpinang .................................................................... 22
4.2 Kota Batam ................................................................................ 24
4.3 Kabupaten Bintan ....................................................................... 26
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 29
5.1. Kesimpulan ............................................................................... 29
5.2. Saran ....................................................................................... 29
BAB VI. LAMPIRAN .................................................................................... 30
ii
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDAS SEI JANG DURIANGKANG
BAB I
PENDAHULUAN
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Begitu juga UU Kehutanan
yang juga merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945 yang secara umum
menyatakan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak serta bumi,air dan SDA didalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan penetapan fungsi kawasan, baik
UU Penataan Ruang maupun UU Kehutanan mengatur fungsi suatu kawasan untuk
menjamin pemanfaatan SDA secara berkelanjutan.
Berdasarkan sudut pandang sektor kehutanan, meningkatnya frekuensi potensi
banjir disebabkan oleh meningkatnya lahan kritis khususnya deforestasi. Deforestasi
merupakan alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Berdasarkan data Ditjen PKTL (Planologi Kehutanan
dan Tata Lingkungan), Kementerian LHK pada periode 2019-2020 laju deforestasi di
Indonesia telah mengalami penurunan hingga 75% di angka 115,46 ribu ha. Hal ini
tidak terlepas dari upaya Pemerintah dalam mengurangi deforestasi, salah satunya
dengan mendorong kegiatan reforestasi. reforestasi dikerangkakan melaui kegiatan RHL
(Rehabilitasi Hutan dan Lahan). RHL merupakan upaya untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung,
produktivitas dan perannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga. Berkaitan dengan Pengelolaan DAS, RHL merupakan salah satu bentuk
pemulihan daya dukung DAS yang mengalami kerusakan akibat pemanfaatan SDA
secara berlebihan.
Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen untuk menekan terjadinya kerusakan
DAS sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37/2012 tentang
Pengelolaan DAS. Peraturan ini mengatur regulasi pengelulaan DAS mulai Perencanaan,
Pengorganisasian, Pelaksanaan hingga Monitoring dan Evaluasi DAS. Dalam pelaporan
ini, akan membahas kegiatan monitoring dan evaluasi tata air DAS. Monitoring dan
evaluasi pengelolaan DAS merupakan kegiatan untuk mengukur dampak kegiatan
pemanfaatan SDA di dalam DAS terutama terhadap sumberdaya air.
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan;
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya,
agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan;
3. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh
parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi,
vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan manusia;
4. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia;
5. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan
yang disertai penyediaan alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah;
6. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa
satuan kerja sebagai bagian untuk pencapaian sasaran yang terukur pada suatu
program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya untuk
menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa;
7. Input adalah sumber daya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan yang
diperlukan dalam rangka untuk menghasilkan keluaran (output);
8. Output atau Sasaran Kegiatan adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu
kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan
kebijakan/program;
9. Outcome atau Sasaran Program adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari suatu
program yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan;
10. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana
pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul
dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin;
11. Evaluasi adalah penilaian yang sistematis dan objektif atas desain, implementasi
12. Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya akibat
hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus menerus,
sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai yang ada,
maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya;
13. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air
laut yang berada di darat;
14. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah;
15. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;
16. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang
telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air DAS;
17. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya potensi
produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak hidrologi sistem
sungai (kualitas, kuantitas, kontinuitas), yang akhirnya membawa percepatan
degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial;
18. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga
daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga;
19. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan dan
pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan
Lahan untuk medukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang
lestari;
20. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang tanah pada penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat- syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga
dapat mendukung kehidupan secara lestari;
21. Infrastruktur hijau (green infrastructure) adalah pembangunan sarana dan
prasarana yang direncanakan secara strategis dengan memperhitungkan
ketersediaan ruang terbuka hijau yang berkualitas serta elemen lingkungan lainnya;
22. Penutupan lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area
tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang
buatan atau penutupan lahan dapat pula berarti tutupan biofisik pada permukaan
bumi yang dapat diamati dan merupakan hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan
manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan
kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada areal tersebut;
23. Aliran permukaan adalah aliran air yang mengalir di atas permukaan karena
penuhnya kapasitas infiltrasi tanah;
24. Aliran Bawah Permukaan (subsurface runoff) adalah bagian dari limpasan
permukaan yang disebabkan oleh bagian air hujan yang terinfiltrasi/meresap ke
dalam tanah dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas
menuju sungai;
25. Hasil Air (water yield) adalah total limpasan dari suatu daerah pengaliran air
(drainage basin) yang disalurkan melalui saluran air permukaan dan akuifer
(reservoir air tanah);
26. Hujan Lebih (rainfall excess) adalah kontribusi curah hujan terhadap laliran
permukaan langsung (direct runoff);
27. Infiltrasi adalah proses masuknya air ke dalam permukaan tanah dengan gaya gerak
gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran;
28. Laju infiltrasi aktual adalah laju air berpenetrasi ke permukaan tanah pada setiap
waktu dengan kombinasi gaya-gaya gravitasi, viskositas, dan kapilaritas;
LAPORAN MONITORING PENGELOLAAN DAS TAHUN 2022 6
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDAS SEI JANG DURIANGKANG
29. Kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum presipitasi yang dapat diserap oleh tanah
pada kondisi tertentu;
30. Hasil Sedimen adalah besarnya sedimen yang keluar dari suatu DAS/SubDAS;
31. Banjir limpasan adalah sebaran wilayah yang merupakan penyumbang banjir ke
wilayah terdampak (affected area);
32. Debit Air (discharge, Q) adalah volume air (cairan) yang mengalir melalui suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu, dalam satuan m3/detik;
33. Debit Puncak atau Debit Banjir (qp, Qmaks) adalah besarnya volume air (cairan)
maksimum (terbesar) yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu
sungai per satuan waktu, dalam satuan m3/detik;
34. Debit Minimum (Qmin) adalah besarnya volume air (cairan) minimum (terendah)
yang mengalir melalui suatu penampang melintang suatu sungai per satuan waktu,
dalam satuan m3/detik;
35. Koefisien Limpasan/aliran permukaan (C) adalah bilangan yang menunjukkan
perbandingan (nisbah) antara besarnya limpasan terhadap besar curah hujan
penyebabnya, nilainya lebih besar dari 0 (nol) dan lebih kecil atau sama dengan 1
(satu). Misalnya, nilai c = 20, artinya 20 persen dari curah hujan menjadi limpasan;
36. Koefisien Regim Sungai (KRS) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit minimum (Qmin) pada
suatu DAS/Sub DAS;
37. Sistem adalah sekumpulan urutan antar hubungan dari unsur-unsur yang
dialihragamkan (transform), dalam referensi waktu yang diberikan, dari unsur
masukan yang terukur menjadi unsur keluaran yang terukur;
38. Parameter adalah besaran yang menandai suatu sistem hidrologi yang memiliki nilai
tetap, tidak tergantung dari waktu;
39. Variabel adalah besaran yang menandai suatu sistem, yang dapat diukur dan
memiliki nilai berbeda pada waktu yang berbeda;
40. Model adalah penyederhanaan sistem yang digunakan untuk menggambarkan
sistem kehidupan nyata (real world) dengan suatu tujuan tertentu. Suatu model
merupakan pengungkapan bentuk konsep dari sistem yang sebenarnya;
41. Model Hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang
kompleks atau merupakan model yang menggambarkan secara abstrak atau
LAPORAN MONITORING PENGELOLAAN DAS TAHUN 2022 7
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDAS SEI JANG DURIANGKANG
BAB II
METODOLOGI
Identifikasi potensi dan penyebab banjir Tahun 2022 dilaksanakan pada bulan
Desember 2022. Adapun lokasi pelaksanaan / peninjauan lapangan berada di Kota
Tanjungpinang, Kota Batam dan Kabupaten Bintan.
Identifikasi potensi dan penyebab banjir Tahun 2022 di Provinsi Kepulauan Riau
menggunakan pendekatan analisis debit puncak (maksimum) serta analisis kapasitas
saluran drainase di lokasi banjir. Debit puncak (maksimum) diprediksi dengan “Metode
Rasional” yaitu dengan persamaan sebagai berikut:
Qp = 0,278 C.I.A
Keteranagn:
Qp = Debit Puncak (m3/s)
C = Koefisien Limpasan
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
A = Luas catchment area (km2)
Adapun nilai C mengacu pada Metode Hassing (1995) karena terdapat faktor topografi
dalam penetapannya sebagamana Tabel 1.
Tabel 1. Koefisien Limpasan Metode Hassing
Data dalam identifikasi bersumber dari sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer didapat melalui peninjauan lapangan / groundcheck, sedangkan sumber
sekunder didapat melalui studi literatur berbagai data dan dokumen terkait.
Groundcheck dilakukan untuk mengukur saluran dam mengamati kondisi di sekitar
lokasi banjir. Adapun ulasan alat yang akan digunakan beserta kegunaannya tersaji
pada Tabel 3. Sedangkan data beserta sumbernya tersaji sebagaimana Tabel 4.
Tabel 3. Bahan dan peralatan yang digunakan terdiri dari :
Nama alat Kegunaan
1. Meteran : Mengukur saluran drainase
2. Kamera/HP : Dokumentasi kegiatan
3. GPS/HP : Mengetahui koordinat lokasi
4. Blanko lapangan : Mencatat hasil pengukuran
5. Laptop : Pengolahan data dan analisis
Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait kaidah keilmuan dalam
penerapan berbagai metode prediksi. Hal ini dilakukan karena dalam kegiatan
Monitoring Pengelolaan DAS cukup banyak metode-metode prediksi yang digunakan.
Oleh sebab itu, studi literatur perlu dilakukan untuk mendapatkan berbagai macam
informasi pendukung, terutama dalam menjustifikasi nilai parameter penutupan
lahan dan tanah dalam menjalankan model prediksi.
Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi yang dapat menunjang
dan pembanding dari data yang telah diukur maupun direkam oleh AWS Telemetri.
Mengingat beberapa instansi juga melakukan pengamatan terhadap kondisi iklim
seperti BMKG dan BWS, Kementerian PUPR. Data yang lain yang juga menunjang
kegiatan Monitoring Pengelolaan DAS diantaranya data spasial seperti peta topografi,
peta tutupan lahan dan peta jenis tanah.
Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan daya tampung suatu sungai / saluran
drainase di suatu DAS Perhitungan kapasitas pengaliran dilakukan dengan
Metode Manning dilakukan pada suatu penampang sungai di outlet DAS. Nilai
koefisien kekasaran Manning yang sering dipakai dalam perencanaan praktis adalah
sebagai berikut:
Tabel 5. Nilai koefisien kekasaran Manning (n)
suatu DAS, hasil air (water yield) yang diperoleh semakin besar, karena hujan
yang ditangkap juga semakin banyak. Dalam kegiatan Monitoring Pengelolaan
DAS luas DAS dihitung menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan
waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung
intensitasnya cenderung makin tinggi, dan makin besar periode ulangnya
makin tinggi pula intensitasnya. Analisis intensitas curah hujan dapat diproses
dari data curah hujan yang terjadi. Intensitas hujan (mm/jam), yaitu tinggi
curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun waktu 1 jam. Apabila data
hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian
maksimum, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan Rumus Mononobe.
Intensitas curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) dapat diproses dari
data curah hujan yang terjadi. Namun, dalam sebuah perencanaaan dengan
metode rasional, dapat juga digunakan curah hujan rencana. Curah hujan
rencana untuk periode ulang tertentu secara statistik dapat diperkirakan
berdasarkan seri data curah hujan harian maksimum tahunan ( maximum
annual series) jangka panjang dengan analisis distribusi frekuensi dan dengan
cara grafis. Curah hujan rencana (design rainfall) dapat dihitung untuk periode
ulang 2, 5, 10, 20 atau 25 tahun. Untuk mencari distribusi yang cocok dengan
data yang tersedia dari pos-pos penakar hujan yang ada di sekitar lokasi
kajian perlu dilakukan analisis frekuensi. Analisis frekuensi dapat dilakukan
dengan seri data hujan. Untuk mengetahui kesesuaian distribusi probabilitas
dengan rangkaian data hidrologi, data digambarkan pada kertas probabilitas.
Ada tiga macam kertas probabilitas, yaitu kertas probabilitas normal, log
normal (bisa digunakan untuk distribusi log person) dan gumbel. Posisi
pengeplotan data merupakan nilai probabilitas yang dimiliki oleh masing-
masing data yang diplot. Data hidrologi (hujan) yang telah ditabelkan
diurutkan dari besar ke kecil (berdasarkan peringkat m), dimulai dengan m=1
untuk data dengan nilai tertinggi, dan m=n (n adalah jumlah data) untuk data
dengan nilai terkecil. Periode ulang Tr dapat dihitung dengan persamaan
Weibull.
Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan data muatan sedimen di lokasi RHL.
Metode pengambilan dan pengukuran sedimen disini dibatasi pada pengukuran
sedimen di sungai, khususnya yang ada pada SPAS. Sampel muatan sedimen
terangkut aliran adalah sample suspensi yang terangkut oleh aliran permukaan yang
berasal dari
Pengukuran sedimen terangkut secara langsung pada suatu vertical aliran air
dilakukan dengan menggunakan beberapa botol sampel yang dilengkapi dengan
nosel (Gambar 9). Penempatan botol sampel dirangcang dengan menempatkannya
pada setiap kenaikan ketinggian 5 cm atau 10 cm dari dasar saluran, dan
ketinggian/jumlah botol yang dipasang tergantung dari kondisi alairan/kedalam
salurannya. Metode ini bermanfaat untuk mengetahui dan menggambarkan kondisi
konsentrasi sedimen pada sebaran vertikalnya, khususnya untuk kejadian-kejadian
banjir yang terjadi pada malam hari. Pengambilan sampel sedimen terangkut hanya
dilakukan pada dua botol teratas untuk setiap kejadian banjir dan atau hariannya.
Dengan metode ini selain data sedimen terangkut aliran yang diperoleh juga data
tinggi banjir maksimum per kejadian banjirnya.
Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran rona awal muatan sedimen di
lokasi RHL. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan analisis konsentrasi sedimen
dan debit muatan sedimen, yaitu diuraikan sebagai berikut:
a. Analisis konsentrasi sedimen (Cs)
Metode penentuan konsentrasi dari sampel air dilakukan melalui cara
penguapan. Penguapan dilakukan untuk mendapatkan berat sedimen dalam
suatu volume tertentu (V,ml), caranya dengan menguapkan sample suspensi
tersebut dengan volume tertentu yang dituangkan kedalam cawan porselin (b,
gr) selanjutnya dimasukkan kedalam oven pada pemanasan 105 o C selama 2
jam. Konsentrasi sedimen diduga berdasarkan persamaan berikut:
Dimana:
Berat sedimen = berat sedimen dengan cawan (b, gr) – berat cawan (a, gr)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des
DAS Pulai
7m
2m
2,5 m
1,2 m
1,15 m 1,15 m
0,8 m
Prediksi debit puncak (Qp) menggunakan Rumus Rasional beberapa DAS di Kota
Tanjungpinang yang mengalami banjir tersaji sebagaimana Tabel 4.
Tabel 9. Prediksi debit puncak dengan Rumus Rasional pada kejadian banjir di Kota
Tanjunpinang
Nilai koefisien limpasan (C) pada Tabel 9 merupakan hasil perhitungan nilai tertimbang
dengan mengacu pada tutupan lahan dan topografi. Rumus Rasional tergolong sebagai
lumped model atau banyak juga disebut model kotak hitam yang tidak menggambarkan
distribusi respon hidrologi secara spasial. Untuk nilai intensitas hujan (I) merupakan hasil
perhitungan nilai intensitas hujan yang menyebabkan debit puncak dari perhitungan
data hujan yang bersumber dari Stasiun Meteorologi Raja Haji Fisabilillah. Walaupun
besar curah hujan yang disimulasikan sama, namun hasil perhitungan intensitas curah
hujan berbeda-beda karena setiap DAS mempunyai bentuk, luas dan topografi yang
berbeda–beda yang berpengaruh terhadap waktu tempuh yang diperlukan air hujan
darititik terjauh dari DAS hingga menuju outlet DAS atau yang disebut time
concentration (Tc). Debit puncak di DAS Pulai merupakan yang paling tinggi, sebab DAS
yang paling luas, walaupun nilai koefisien limpasan (C) dan intensitas hujannya (I) lebih
rendah dibandingkan DAS Sei Jang. Hal ini menunjukkan bahwa luas DAS merupakan
faktor biofisik DAS yang cukup dominan yang menyebabkan banjir di DAS Pulai, terlebih
ketika hujan terjadi dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang cukup lama.
Sebagai pembanding dari nilai debit puncak, dilakukan juga prediksi terhadap
kapasitas saluran drainase di lokasi yang terdampak banjir. Prediksi kapasitas saluran
menggunakan Rumus Manning atau yang sering disebut rumus radius hidrolika. Sama
halnya rumus rasional, rumus manning ini juga dikategorikan sebagai lumped model
dengan dasar prediksi debit pada luas penampang melintang dan kemiringan saluran
drainase. Adapun perhitungan dengan rumus manning tersaji sebagaimana Tabel 10.
Rumus manning ini berbasis terhadap kondisi saluran yang meliputi luas penampang
saluran, jari-jari hidrolik, kemiringan saluran dan kekasaran saluran atau yang dalam
rumus disebut kekasaran maning. Nilai luas penampang saluran, jari-jari hidrolik dan
kemiringan saluran didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan. Sedangkan nilai
kekasaran manning merupakan hasil pengamatan di lapangan yang dapat bersifat
subjektif, tergantung perspektif anggota yang mengamati. Saluran drainase di DAS Pulai
mempunyai kapasitas tampungan yang paling tinggi sebab mempunyai penampang
melintang yang cukup lebar dan kemiringan saluran yang lebih besar dibandingkan
saluran di DAS Sei Jang. Luas dan bentuk penampang serta kemiringan saluran drainase
merupakan faktor yang cukup dominan dalam prediksi kapasitas saluran di Kota
Tanjungpinang. Karena saluran di Kota Tanjungpinang pada umumnya merupakan
saluran-saluran buatan sehingga mempunyai tingkat kekasaran manning (tingkat
hambatan aliran) yang rendah.
Berdasarkan integrasi debit puncak sebagaimana Tabel 9 dan kapasitas saluran
sebagaimana Tabel 10, terdapat selisih debit antara keduanya. Adapun besaran selisih
untuk masing-masing DAS-nya tersaji pada Tabel 6.
Tabel 11. Selisih potensi debit maksimum dengan kapasitas saluran drainase
Nilai minus (-) pada kolom selisih debit tersebut menekankan bahwa terdapat air yang
meluap dari saluran drainase ketika debit puncak terjadi. Adapun besarannya bervariasi
karena karakteristik DAS dan kondisi saluran pada masing-masing DAS berbeda. Pada
DAS Pulai selisih antara debit puncak dan kapasitas saluran paling tinggi dibandingan di
DAS lainnya. Hal ini berarti perlu dilakukan berbagai upaya modifikasi untuk
meningkatkan kapasitas saluran drainase di DAS Pulai. Adapun modifikasi yang dapat
dilakukan diantaranya pelebaran saluran drainase, pengerukan sedimen serta
pembuatan perangkap. Selain itu, regulasi dalam perizinan pendirian bangunan di
wilayah ini juga perlu dilakukan peninjauan kembali untuk menciptakan penataan ruang
wilayah yang nyaman dan mampu memberikan daya dukung yang optimal terhadap
berbagai aktivitas di dalamnya. Banyaknya pemukiman di wilayah pesisir DAS Pulai dan
DAS Sei Jang juga perlu mendapatkan perhatian, karena di lokasi ini terdapat potensi
genangan yang lebih parah, terutama bilamana kejadian hujan ekstrim di kemudian
harinya bersamaan dengan pasang air laut yang tinggi. Oleh sebab itu, pada wilayah ini
juga dapat diterapkan sistem polder dimana air ditampung pada tampungan air ataupun
waduk dan dipompa ke laut karena daratan di pesisir lebih rendah dari pasang tertinggi.
Selain itu sistem polder ini juga dapat diaplikasikan di wilayah dengan karakteristik
cekungan di Kota Tanjungpinang.
DAS Baloi di Kecamatan Sekupang, serta DAS Tanjunguncang dan DAS Tembesi di Batu
Aji, DAS Jodoh di Lubuk Baja serta DAS Belian di Kecamatan Nongsa (Gambar 16).
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des
Topografi : Perbukitan
Kemiringan rata-rata : 15,1%
Tutupan lahan : Pemukiman, Lahan Terbuka, Badan Air dan Hutan
Luas catchment area : 1160 ha = 11,60 km2
Kondisi saluran : Beton, terdapat sedikit rerumputan
Luas penampang : 25 m2
Gambar profil :
10 m
2.5 m
DAS Baloi
Topografi : Perbukitan
Kemiringan rata-rata : 22,4 %
Tutupan lahan : Pemukiman, Lahan Terbuka, Pertanian Lahan Kering dan Hutan
Luas catchment area : 326 ha = 3,26 km2
Kondisi saluran : Beton, baru mengalami perbaikan saluran
Luas penampang : 25 m2
Gambar profil :
5m 5m
2.5 m
DAS Tiban
Topografi : Berbukit
Kemiringan rata-rata : 12,2 %
Tutupan lahan : Pemukiman dan Lahan Terbuka
Luas catchment area : 386 ha = 3,86 km2
Kondisi saluran : Beton, terdapat sedikit sampah plastik
Luas penampang : 6 m2
Gambar profil :
4m
1.5 m
Topografi : Perbukitan
Kemiringan rata-rata : 8,5%
Tutupan lahan : Pemukiman, Lahan Terbuka dan Hutan
Luas catchment area : 512 ha = 5,12 km2
Kondisi saluran : Saluran Tanah, terdapat sedikit rumput, berupa gorong-gorong
Luas penampang : 12,56 m2
Gambar profil :
1m
DAS Tembesi
Topografi : Bergelobang
Kemiringan rata-rata : 6,3%
Tutupan lahan : Pemukiman dan Hutan
Luas catchment area : 266 ha = 2,66 km2
Kondisi saluran : Saluran tanah, terdapat semak dan sampah plastik
Luas penampang : 4,5 m2
Gambar profil :
3m
1.5 m
DAS Jodoh
Topografi : Bergelombang
Kemiringan rata-rata : 8,1 %
Tutupan lahan : Pemukiman dan Hutan
Luas catchment area : 154 ha = 1,54 km2
Kondisi saluran : Saluran tanah, terdapat semak dan sampah plastik
Luas penampang : 10 m2
Gambar profil :
5m
2m
DAS Belian
Topografi : Bergelombang
Kemiringan rata-rata : 8,1 %
Tutupan lahan : Pemukiman, Lahan Terbuka dan Semak belukar
Luas catchment area : 156 ha = 1,56 km2
Kondisi saluran : Saluran tanah, terdapat semak dan sampah plastik
Luas penampang : 3,14 m2
Gambar profil :
1m
Prediksi debit puncak (Qp) menggunakan Rumus Rasional beberapa DAS di Kota
Batam yang mengalami banjir tersaji sebagaimana Tabel 12.
Tabel 12. Prediksi debit puncak dengan Rumus Rasional pada kejadian banjir di Kota
Batam
Berdasarkan hasil prediksi sebagaimana Tabel 12, debit puncak di DAS Sei Harapan
merupakan yang paling tinggi, sebab mempunyai luasan ini paling besar jika dibandikan
dengan DAS lainnya. Semakin besar luas DAS berarti semakin banyak jumlah air hujan
yang ditampung dalam sistem DAS. Hal ini menunjukkan bahwa luas DAS merupakan
faktor biofisik DAS yang cukup dominan yang menyebabkan banjir di DAS Pulai, terlebih
ketika hujan terjadi dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang cukup lama.
Prediksi kapasitas saluran menggunakan Rumus Manning beberapa DAS di Kota
Batam tersaji sebagaimana Tabel 13.
Tabel 13. Prediksi kapasitas saluran dengan Rumus Manning
Saluran drainase di DAS Baloi mempunyai kapasitas tampungan yang paling tinggi sebab
mempunyai kemiringan saluran yang lebih besar dibandingkan saluran di DAS lainnya.
Luas dan bentuk penampang serta kemiringan saluran drainase merupakan faktor yang
cukup dominan dalam prediksi kapasitas saluran di Kota Batam. Karena saluran di Kota
Tabel 14. Selisih potensi debit maksimum dengan kapasitas saluran drainase
Sebagaimana Tabel 14, menunjukkan bahwa di semua DAS terjadi luapan kecuali di DAS
Baloi. Adanya upaya dari Pemerintah Kota dan BP Batam dalam meningkatkan kapasitas
drainase berdampak pada berkurangnya potensi banjir di DAS Valau ketika terjadi hujan
ekstrim. Secara umum, tutupan lahan pemukiman dan tanah terbuka di dalam DAS di
Kota Batam berpotensi meningkatkan nilai limpasan serta erosi dan sedimentasi yang
juga dapat mengurangi kapasitas saluran. Oleh sebab itu, penanganan dalam bentuk
pengerukan sedimen dan pelebaran saluran drainase memang perlu dilakukan. Selain
itu, pemberian pemahaman terhadap penataan ruang wilayah yang berkelanjutan serta
peninjauan kembali perizinan pendirian bangunan di wilayah ini juga perlu dilakukan. Hal
ini tidak terlepas dari upaya Pemerintah untuk menciptakan penataan ruang wilayah
yang nyaman dan mampu memberikan daya dukung yang optimal terhadap berbagai
aktivitas di dalamnya. Selain itu, pada DAS Sei Harapan dan Tanjunguncang yang
berposisi di pesisir juga berpotensi terjadi genangan yang lebih parah bilamana
terjadinya curah hujan ekstrim di kemudian harinya bersamaan denga pasang air laut
yang tinggi dan berpotensi terjadi rob. Oleh sebab itu, pada wilayah ini dapat diterapkan
sistem polder dimana air ditampung pada situ ataupun waduk dan dipompa ke laut
karena daratan lebih rendah dari pasang tertinggi. Selain itu sistem polder ini juga dapat
diaplikasikan di wilayah dengan karakteristik cekungan di Kota Batam.
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des
CH (mm)
Topografi : Berbukit
Kemiringan rata-rata : 14,3 %
Tutupan lahan : Semak belukar, lahan pertanian dan Hutan
Luas catchment area : 246 ha = 2,46 km2
Kondisi saluran : Alami, terdapat jembatan
Luas penampang : 6 m2
Gambar profil :
3m
2m
DAS Walang
3m
1.5 m
Prediksi debit puncak (Qp) menggunakan Rumus Rasional di beberapa DAS yang
mengalami banjir di Kabupaten Bintan tersaji sebagaimana Tabel 15.
Tabel 15. Prediksi debit puncak dengan Rumus Rasional pada kejadian banjir di
Kabupaten Bintan
Berdasarkan hasil prediksi sebagaimana Tabel 15, debit puncak di DAS Walang lebih
tinggi dibandingkan DAS Wacopek. Hal ini karena nilai (C) tertimbang DAS Walang lebih
tinggi walaupun luasannya lebih kecil dibandingkan DAS Wacopek. Nilai koefisien
limpasan (C) yang tinggi di DAS ini disebabkan oleh tingginya tutupan lahan pemukiman
dan tanah terbuka yang nyaris mencapai 100%. Sedangkan di DAS Wacopek masih
terdapat tutupan lahan hutan dan semak belukar yang mampu meningkatkan resapan
air ke dalam tanah. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien limpasan (C) merupakan faktor
biofisik DAS yang cukup dominan penyebab banjir di DAS Walang, terlebih ketika hujan
terjadi dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang cukup lama..
Prediksi kapasitas saluran menggunakan Rumus Manning beberapa DAS di
Kabupaten Bintan tersaji sebagaimana Tabel 16.
Walang sehingga berpotensi meningkatkan limpasan serta erosi. Oleh sebab itu,
penanganan dalam bentuk modifikasi saluran drainase perlu dilakukan.
Tabel 17. Selisih potensi debit maksimum dengan kapasitas saluran drainase
Selain itu, pemberian pemahaman terhadap penataan ruang wilayah yang berkelanjutan
serta peninjauan kembali perizinan pendirian bangunan di wilayah ini juga perlu
dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari upaya Pemerintah untuk menciptakan penataan
ruang wilayah yang nyaman dan mampu memberikan daya dukung yang optimal
terhadap berbagai aktivitas di dalamnya. Selain itu, pada DAS Walang yang berposisi di
pesisir juga berpotensi terjadi genangan yang lebih parah bilamana terjadinya curah
hujan ekstrim di kemudian harinya bersamaan denga pasang air laut yang tinggi dan
berpotensi terjadi rob. Pada wilayah ini dapat diterapkan sistem polder dimana air
ditampung pada situ ataupun waduk dan dipompa ke laut karena daratan lebih rendah
dari pasang tertinggi. Selain itu sistem polder ini juga dapat diaplikasikan di wilayah
dengan karakteristik cekungan di Kabupaten Bintan.
Kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung Sei Tembesi dilaksanakan mulai Tahun
2022 dengan luas 300 ha. Secara administrasi wilayah, penanaman RHL ini berada di
Kelurahan Mangsang, Kecamatan Sei Beduk dan Kelurahan Tembesi, Kecamatan
Sagulung, Kota Batam. Secara ekosistem DAS, RHL di Kawasan Hutan Lindung Sei
Tembesi terdiri dari 7 (tujuh) Sub DAS, dimana 5 diantaranya masuk di DAS Tembesi,
sedangkan 2 lainnya masuk di DAS Duriangkang. Lima Sub DAS di DAS Tembesi
bermuara ke Waduk / DAM Tembesi, sedangkan 2 outlet di DAS Duriangkang 1 Sub DAS
bermuara ke Waduk Duriangkang dan 1 Sub DAS bermuara ke laut. Oleh sebab itu,
kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung Sei Tembesi diharapkan mampu mengurangi
erosi dan sedimentasi yang masuk ke dalam Waduk Tembesi dan Duriangkang. Adapun
gambaran lokasi pemasangan perangkap sedimen dan kondisi tutupan lahan serta
besaran nilai muatan sedimen di 7 Sub DAS di lokasi RHL Hutan Lindung Sei Tembesi
tersaji sebagaimana Gambar 28, Tabel 18 dan Tabel 19.
Tabel 18. Tutupan lahan Sub DAS di RHL Hutan Lindung Sei Tembesi
Tabel 19. Besaran konsentrasi sedimen Sub DAS di Lokasi RHLHL Sei Tembesi
Nomor Volume Berat Awal Berat Akhir Berat Sedimen
Nama Sampel
Sampel Sampel (ml) Wadah (gram) Wadah (gram) (gram)
1 300 ha out 1 100 1.4255 2.025 0.5995
2 300 ha out 2 100 1.4202 1.5608 0.1406
3 300 ha out 3 100 1.4268 1.6415 0.2147
4 300 ha out 4 100 1.4389 2.9387 1.4998
5 300 ha out 5 100 1.453 4.0142 2.5612
6 300 ha out 6 100 1.4618 7.6393 6.1775
7 300 ha out 7 100 1.4604 1.6557 0.1953
Konsetrasi sedimen merupakan banyaknya sedimen yang terlarut di dalam sampel air.
Sampel air yang dimaksud merupakan sedimen yang terlarut bersama aliran air atau
yang umumnya disebut muatan sedimen (transport sedimen). Berdasarkan Tabel 19,
muatan sedimen tertinggi berada di Sub DAS 6 dengan konsentrasi sedimen 6.1775
gram/100ml. Hal ini terjadi karena di Sub DAS ini didominasi tutupan lahan pertanian
sebesar 122,34 ha atau sekitar 99,8 % dari total luas Sub DAS. Pemanfaatan lahan
untuk kegiatan pertanian menyebabkan potensi terjadinya erosi meningkat, terlebih
apabila pengolahan tanahnya intensif dan mengabaikan kaidah konservasi. Muatan
sedimen terendah berada di Sub DAS 2 dengan konsentrasi sedimen sebesar 0,1406
gram/100ml. Tutupan lahan hutan sebesar 81,84 ha di Sub DAS 2 mampu mereduksi
potensi erosi.
Kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung Hulu Sei Gong dilaksanakan mulai Tahun
2022 dengan luas 30 ha. Secara administrasi wilayah, penanaman RHL ini berada di
Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang Baru, Kota Batam. Secara ekosistem DAS, RHL
di Kawasan Hutan Lindung Hulu Sei Gong terdiri dari 1 (satu) Sub DAS, yang bermuara
ke Waduk / DAM Sei gong. Oleh sebab itu, kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung
Hulu Sei Gong diharapkan mampu mengurangi erosi dan sedimentasi yang masuk ke
dalam Waduk Sei Gong. Adapun gambaran lokasi pemasangan perangkap sedimen dan
kondisi tutupan lahan serta besaran nilai muatan sedimen Sub DAS di lokasi RHL Hutan
Lindung Hulu Sei Gong tersaji sebagaimana Gambar 29, Tabel 20 dan Tabel 21.
Tabel 20. Tutupan lahan Sub DAS di RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
Tabel 21. Besaran konsentrasi sedimen Sub DAS di Lokasi RHL HL Hulu Sei Gong
Volume Berat
Nomor Nama Berat Awal Berat Akhir
Sampel Sedimen
Sampel Sampel Wadah (gram) Wadah (gram)
(ml) (gram)
1 30 ha out 1 100 1.4249 1.6746 0.2497
2 30 ha out 1a 100 1.4202 1.7105 0.2903
Gambar 29. Lokasi pemasangan perangkap sedimen di RHL HL Hulu Sei Gong
Pada dasarnya lokasi pemasangan perangkap sedimen 1 dan 1a berada dalam satu
aliran air. Namun titik 1 berada di wilayah hulu Subdas, sedangkan titik 1a berada
dibawahnya. Berdasarkan Tabel 21, muatan sedimen berada di titik 1a lebih besar
(dengan konsentrasi sedimen 0,2903) dibandingkan titik 1 (dengan konsentrasi sedimen
0,2497). Hal ini dapat terjadi karena pada Sub DAS ini semakin ke hilir lebih banyak
tutupan lahan tanah terbuka, sehingga konsentrasi sedimennya bertambah akibat
terjadinya erosi.
Kelurahan Sembulang, Kecamatan Rempang, Kota Batam. Secara ekosistem DAS, RHL di
Kawasan Taman Buru Sembulang terdiri dari 6 (enam) sub DAS dan masuk di DAS
Tiung. Namun demikian Kegiatan monitoring sedimen dilaksanakan di RHL Taman Buru
Sembulang karena lokasi ini merupakan show window RHL Tahun 2019. Adapun
gambaran lokasi pemasangan perangkap sedimen dan kondisi tutupan lahan serta
besaran nilai muatan sedimen Sub DAS di lokasi RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
tersaji sebagaimana Gambar 30, Tabel 22 dan Tabel 23.
Gambar 30. Lokasi pemasangan jebakan sedimen di RHL Taman Buru Sembulang
Tabel 22. Tutupan lahan Sub DAS di RHL Taman Buru Sembulang
Tabel 23. Besaran consentrasi sedimen Sub DAS di Lokasi RHL Taman Buru Sembulang
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
A. Monitoring Banjir
B. Monitoring Sedimen
4.2 Saran
a. Modifikasi saluran drainase terutama dalam bentuk pelebaran saluran perlu dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas tamping saluran drainase dengan mempertimbangkan
potensi debit maksimum ketika terjadi hujan ekstrim;
b. Sistem polder perlu diaplikasikan dalam penanganan banjir di wilayah pesisir dan
cekungan yang mempunyai elevasi lebih rendah dari pasang air laut;
c. Untuk menjaga daya dukung, adaya tampung serta umur waduk, perlu dilakukan
pengendalian terhadap erosi dan sedimentasi di catchment area – nya, salah satunya
melalui kegiatan penanaman RHL.
LAMPIRAN