SEKITAR HUTAN?
Pendahuluan
Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik
dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan kehidupan, tidak
saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan di alam ini. Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki hutan terluas. Artinya, bahwa
Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran
masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan, apabila mampu dikelola dengan
baik dan bijak.
Kondisi ini adalah akibat kesalahan pengelolaan hutan pada masa lalu di mana
kebijakan pengelolaan hutan lebih bertumpu pada paradigma timber based
management. Pengelolaan hutan cenderung berorientasi pada pengeksploitasian
hasil hutan berupa kayu yang berbasis pada upaya peningkatan atau pertumbuhan
ekonomi. Pengelolaan sumberdaya hutan sebagian diserahkan kepada swasta
(pemilik modal besar) dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui
mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada
tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan,
peran masyarakat sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan.
Kita tidak bisa menafikan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah belum.
Apa yang menjadi tujuan dari program-program tersebut belum tercapai bahkan di
beberapa tempat menunjukkan kegagalan. Muncul pertanyaan berikutnya, di mana
letak kesalahan program-program tersebut?
Salah satu jawaban termudah dapat ditelusuri dari struktur kegiatan yang
berkembang dalam pelaksanaan program pembangunan tersebut yang terkesan
telah melembaga. Pada tataran pelaksanaan di lapangan, semangat community
development belum dipahami dan belum menyentuh esensinya sehingga belum
menjadi ruh dari pelaksanaan program-program pembangunan kehutanan.
Community development masih diartikan sebagai kegiatan work for (bekerja untuk)
bukan work with (bekerja bersama) masyarakat, sehingga hasil akhir dari program
tersebut belum mampu memberdayakan dan memandirikan sekitar hutan.
Menurut Du Sautoy (1962), terdapat tiga hal penting sehingga suatu program dapat
dikatakan sebagai program yang berbasis community development. Apabila ketiga
hal tersebut diabaikan maka kegiatan yang dilaksanakan dianggap bukan kegiatan
yang membangun masyarakat (community development) melainkan pembangunan
yang diperuntukan bagi masyarakat (work for). Ketiga elemen tersebut adalah: (1)
pelaksanaan program harus dapat menciptakan self help masyarakat, (2)
program harus sesuai dan mengedepankan kebutuhan masyarakat, dan (3)
pelaksanaan program harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan mengaitkan
berbagai dimensi dan sektor.
pada pihak lain. Hal ini berarti, program pembangunan kehutanan berbasis
masyarakat harus berangkat dari upaya memberdayakan masyarakat, bukan upaya
atau kegiatan yang bersifat karikatif. Memberdayakan masyarakat sekitar hutan
merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat sekitar
hutan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Intervensi pemberdayaan dilakukan dengan cara mengelola potensi yang ada pada
masyarakat tetapi belum diberdayakan untuk menjadi suatu kekuatan sehingga
dapat tercapai dampak/hasil yang lebih besar dari suatu kegiatan bersama. Dalam
konteks pembangunan, artinya masyarakat diizinkan menggunakan pengalaman
dan pengetahuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
program pembangunan, tetapi pada saat yang bersamaan mereka harus secara
penuh bertanggung jawab atas hasil yang dicapai (entah baik atau buruk). Artinya
bahwa pembangunan masyarakat menekankan pada upaya meningkatkan dan
mengembangkan kapasitas, di mana masyarakat tidak sekadar dilibatkan sebagai
partisan biasa, tetapi menjadikan mereka sebagai pelaku utama dari program
tersebut.
Masih terasa adanya nuansa top down dalam pelaksanaan program pembangunan
kehutanan. Penyusunan program pembangunan masih didasarkan atas pemikiran
para birokrat atau pertimbangan di belakang meja, yang menganggap bahwa apa
yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan dan demi kepentingan masyarakat.
Mekanisme ini disebut sebagai work for bukan work with karena secara konseptual
bertujuan untuk membantu masyarakat. Namun dalam pelaksanannya, program
yang disusun belum sesuai dan belum mempertimbangkan kebutuhan atau
kepentingan masyarakat dan kekhasan setempat. Banyak program disusun tanpa
melakukan identifikasi kebutuhan atau konsultasi publik, sehingga hasil akhir yang
dicapai setelah program dijalankan adalah tidak optimal, kalau tidak mau dikatakan
gagal. Kegagalan program kehutanan, sebagai misal penanaman pohon, disebabkan
karena terjadi proses penyeragaman komoditas yang ditanam tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan komoditas lokal yang menjadi kebutuhan
masyarakat, sehingga yang terjadi adalah ketidakberlanjutan kegiatan/program,
karena masyarakat tidak merasa butuh atau tidak merasa penting terhadap
komoditas yang ditawarkan. Akibatnya tidak ada upaya pemeliharaan sehingga
persentase kematian bibit yang ditanam sangat tinggi. Keikutsertaan masyarakat
dalam pelaksanaan program lebih sebagai tenaga kerja yang orientasinya untuk
mendapatkan upah kerja, setelah upah didapat pekerjaan berhenti.
Agar keenam dimensi dapat berjalan maka diperlukan kerjasama bahkan kolaborasi
dengan sektor lain, baik intrasektor maupun intersektor. Sering terjadi satu sektor
bekerja sendirian tanpa memperhatikan bahwa diperlukan bantuan atau kerjasama
dengan sektor lain agar tercapai tujuan pembangunan yang komprehensif. Hal ini
terjadi, disebabkan oleh karena adanya ego sektoral. Setiap pihak merasa paling
mampu dalam melaksanakan kegiatan. Masing-masing pihak tidak mau melibatkan
pihak lain yang mungkin memiliki kapabilitas atau tupoksi di bidang tertentu,
sehingga sering terjadi tumpang tindih kegiatan atau terjadi kegiatan dikerjakan
oleh pihak lain yang tidak memiliki tupoksi pada kegiatan tersebut. Mereka lupa
bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah bukan untuk kepentingan sektoral
semata melainkan untuk kepentingan rakyat yaitu agar tercapainya masyarakat
mandiri dan sejahtera. Pertanyaan yang timbul, apakah pelaksanaan program
pembangunan
kehutanan
telah
terintegrasi
baik
intrasektoral
maupun
intersektoral? Kaitannya dengan integrasi intrasektoral, apakah telah terjadi
kerjasama dan kolaborasi di antara unit-unit atau bidang-bidang di kementerian
kehutanan dalam melaksanakan tupoksinya? Apakah bidang-bidang tersebut telah
menjalankan peran sesuai dengan tupoksinya? Begitu pula dengan integrasi
intersektoral, apakah program pembangunan kehutanan telah teringrasi dengan
pembangunan di sektor atau kementerian lain?
kebijakan, alternatif keputusan yang diperoleh akan lebih baik, karena dengan
keterlibatan banyak pihak yang kompeten akan memungkinkan munculnya
beberapa pengalaman dan ide yang beraneka ragam, serta latar belakang
peninjauan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.
Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberi pengajaran, melainkan sekedar sharing
pengetahuan serta memberikan kontribusi pemikiran tentang konsep community
development agar program-program yang pembangunan kehutanan dapat berjalan
sesuai dengan harapan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi masyarakat sekitar hutan.