Anda di halaman 1dari 2

PENGELOLAAN HUTAN CENDERUNG TIDAK LESTARI DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TPTI

Sistem silvikultur pengelolaan hutan di Indonesia pertama kali diatur pada tahun 1972 dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972 tanggal 13 Maret
1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang
Habis dengan Permudaan Alam (THPA), dan pedoman-pedoman pengawasannya.
Secara umum sistem TPI merupakan suatu sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dan
permudaan hutan yang memiliki azas: kelestarian hutan, teknik silvikultur, pengusahaan hutan yang
menguntungkan, dan pengawasan yang efektif dan efisien. Azas pengawasan yang efektif dan efisien
dimaksudkan agar azas kelestarian hutan terjamin atau dengan kata lain diperlukan pemantauan
(monitoring) secara periodik terhadap produktivitas dan kualitas produk, keanekaragaman hayati,
tanah, dan air.
Setelah sistem TPI berjalan selama dua dekade menurut penilaian Departemen Kehutanan (2005)
perusahaan HPH masih kurang memperhatikan pembinaan hutan dan terkesan bahwa sistem TPI
hanya menekankan tebangan dan kurang perhatiannya terhadap pembinaan hutan. Sebagai usaha
penyempurnaan sistem TPI khususnya dalam hal pembinaan hutan, Menteri Kehutanan
mengeluarkan Surat Keputusan No. 485/Kpts/II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan
Alam Produksi Indonesia dan SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang
Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No.
151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman dan Petunjuk Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Tujuan dari sistem TPTI adalah untuk mengatur pemanfatan hutan alam produksi, serta
meningkatkan nilai hutan baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan untuk rotasi
tebang. Prinsip dasar sistem TPTI adalah mengacu pada batas limit diameter dan jumlah pohon inti,
pelaksanaaannya sesuai dengan aturan tata waktu dan adanya sanksi apabila terjadi penyimpangan.
Perbedaan yang mencolok antara sistem TPTI dibanding dengan sistem TPI adalah secara politis
pemerintah menekankan perlunya pembinaan hutan, pemungutan dan pembinaan hutan harus
seimbang. Pemegang HPH diwajibkan untuk melengkapi unit organisasi pembinaan hutan, yang
terpisah dengan unit logging, tenaga teknis kehutanan menengah yang terampil dalam jumlah yang
cukup dan anggaran yang memadai untuk kegiatan pembinaan hutan.
Dasar-dasar konsepsi TPTI meliputi cara penebangan dengan limit diameter dan permudaan hutan
alam produksi serta meningkatkan nilai hutan, baik kualitas maupun kuantitas pada bekas areal
tebangan berikutnya agar terbentuk tegakan campuran yang diharapkan dapat menghasilkan kayu
untuk keperluan industri secara lestari. Tujuan tersebut dicapai dengan menerapkan tekni-teknik
silvikultur pada permudaan alam dengan memperhatikan :

- Pengaturan komposisi jenis pohon penyusun tegakan campur di dalam hutan yang lebih
menguntungkan dari segi ekologi dan ekonomi.
- Pengaturan struktur tegakan, kepadatan tegakan yang optimal yang diharapkan untuk
meningkatkan potensi yang ada.
- Tetap terjaminnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pengawetan tanah.
- Tetap terjaganya fungsi perlindungan hutan.
Namun demikian dasar asumsi TPTI adalah sama dengan TPI, yaitu bahwa tegakan tinggal (residual
stand) mempunyai cukup stok pohon jenis komersial yang berdiameter 20 cm ke atas yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh menjadi tegakan yang sehat yang dapat dipungut hasilnya
secara ekonomis dalam kurun waktu 35 tahun yang akan datang. Asumsi dasar inilah yang
sebenarnya perlu dipertimbangkan lagi, karena hampir pasti bahwa asumsi dasar ini tidak lagi valid.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa menggantungkan tegakan tinggal dalam sistem TPTI akan
sulit menghasilkan panenan yang memuaskan dalam waktu 35 tahun karena banyaknya kerusakan
pada tegakan tinggal yang disebabkan oleh banyaknya kerusakan tegakan tinggal yang disebabkan
oleh selain praktek penebangan hutan yang tidak memperhatikan tegakan dimaksud, dan kematian
pohon yang disebabkan oleh perubahan lingkungan.
Sebab lain pengelolaan hutan cenderung tidak lestari dengan penerapan sistem TPTI adalah karena
kewajiban para pengusaha hutan untuk melakukan pemeliharaan pada areal bekas tebangan sangat
sedikit ditaati. Ini disebabkan secara finansial, para pengusaha hutan tidak melihat keuntungannya
dengan melakukan penanaman kembali dan pemeliharaan tegakan tinggal. Dari sudut pandang
secara finansial, investasi untuk melakukan penanaman kembali dan pemeliharaan tidak akan
menghasilkan keuntungan pada pemegang IUPHHK dengan melihat kontrak yang hanya 20 tahun,
dan tidak ada jaminan pasti untuk rotasi berikutnya, areal yang diusahakannya akan diperpanjang
oleh Pemerintah.
Kesimpulannya adalah bahwa kinerja sistem TPTI yang diterapkan di Indonesia saat ini pada aspek
pelestarian hasil hutan belum nampak memuaskan. Dua masalah pokok yang nampak jelas pada
sistem ini yaitu :
1. Berkaitan dengan kondisi hutannya sendiri, yaitu disamping kualitas dan kuantitas minimum dari
tegakan tinggal selalu tidak mencukupi, juga kecepatan tumbuhnya tidak seperti yang diharapkan.
2. Berhubungan dengan aspek kelembagaannya, bobot kerja untuk melakukan pengawasan cukup
berat sehingga sulit untuk mengontrol kepatuhan para pemegang IUPHHK pada ketentuan TPTI itu
sendiri, terutama persyaratan untuk melakukan tanaman pengayaan dan penyulaman pada areal
IUPHHK. Akibat yang timbul adalah merosotnya kualitas tegakan hutan setelah siklus tebangan
pertama.

Anda mungkin juga menyukai