Anda di halaman 1dari 6

Nama : imam hanafi

NIM : 205040307111008
Kelas : B
Sistem Silvikultur yang ada di Indonesia
A. TEBANG PILIH INDONESIA (TPI)
Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang menerapkan teknik tebang
pilih (selective cutting), permudaan (regeneration) dan pemeliharaan (tending). Sistem TPI
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Kehutanan (Departemen
Pertanian) Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Pedoman ini berlaku dari
tanggal ditetapkan sampai berlakunya SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan (Departemen
Kehutanan) Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tanggal 30 Nopember 1989 tentang TPTI. TPI
menganut sistem silvikultur berdaur banyak (polycyclic management system) dengan
melakukan penebangan berdasarkan tebang pilih pada aeral yang telah ditetapkan sebagai
lokasi penebangan. Berikut merupakan dasar-dasar penentuan sistem Tebang Pilih Indonesia
adalah:
1. Batas diameter minimum yang boleh ditebang adalah adalah 50 Cm
2. Pohon muda berdiameter 20-50 cm berada pada tahap pertumbuhan yang besar.
Penebangan terhadap pohon- pohon tersebut tidak sepadan dengan kerugian dalam
pertumbuhannya.
3. Rotasi tebang 35 tahun didasarkan pada riap diameter pohon muda sebesar 1 cm per
tahun, maka setelah 35 tahun pohon inti telah mencapai diameter 55 cm (20+35) cm
sampai 85 cm (50+35) cm.
4. Etat tebang ditentukan 1/35 x 80% x volume standing stok jenis komersial
5. Tidak diperkenankan melakukan tebang ulang sebelum mencapai akhir siklus tebang
(35 tahun)
Beberapa Kkekurangan sistem TPI telah perbaiki, direvisi sampai akhirnya diganti dengan
sistem silvikultur baru berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang
sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, yang ditindak lanjuti dengan
SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang
Pilih Tanam Indonesia.
B. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA
Sistem TPTI memperbaiki kelemahan sistem TPI dengan menetapkan beberapa ketentuan
sebagai berikut :
1. Kegiatan pembinaan hutan mendapat perhatian yang lebih besar dengan membentuk
organisasi pembinaan hutan yang terpisah dengan organisasi kegiatan lainnya termasuk
organisasi kegiatan sebelum penebangan dan penebangan.
2. Menetapkan batas limit diameter pohon tebang sebesar 50 cm ke atas pada hutan
produksi dan 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas
3. Menetapkan siklus tebang 35 tahun dan jumlah pohon inti berdiameter 20-59 cm
sebanyak 25 pohon/ ha.
Pada tahun 1993 dikeluarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-
BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia edisi
revisi. Pada edisi ini sistem TPTI dilengkapi dengan sediaan anggaran kegiatan pembinaan
hutan serta menyediakan tenaga teknis yang memadai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-2/2009 tentang sistem
silvikultur pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan produksi,
sistem silvikultur yang ada di indonesi yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang
Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB).
Teknis tersebut diatur dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.9/VI/BPHA/2009. Dalam kentuannya tidak dicantumkan waktu kegiatan secara ketat dan
penghapusan beberapa tahapan kegiatan seperti perapihan, inventarisasi tegakan tinggal dan
penjarangan. Pada kawasan hutan produksi terbatas tidak dilakukan pula kegiatan pembebasan.
C. TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR(TPTJ)
Sistem silvikultur TPTJ dirancang untuk menjawab kekurangan sistem TPTI pada aspek
penanaman dan pengawasan. Hal tersebut dilakukan dengan menyiapkan tampat penanaman
yang lebih baik, khusnya pada penyinaran dan ruang tumbuh, dalam bentuk gap memanjang
(jalur). Sehingga pertumbuhan tanaman dapat berjalan lebih optimal dan pengawasan dapat
dilakukan lebih mudah.
Sistem TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997
dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem
Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam.
Sistem TPTJ meliputi cara tebang pilih dengan batas diamater minimal 40 cm diikuti dengan
permudaan buatan dalam jalur selebar 3 m. Jalur antara selebar 22 m (1998) atau 20 m (TPTII
dan TPTJ 2009). Adapun prinsip-prinsip sistem TPTJ yaitu :
1. Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur.
2. Teknik pemanenan dengan tebang pilih.
3. Meningkatkan riap.
4. Mempertahankan keanekaragaman hayati.
5. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman.
6. Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur.
Tujuan TPTJ adalah meningkatkan produktivitas tegakan hutan alam tidak semumur melalui
tebang pilih serta area tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap guna memperoleh panenan
yang lestari. Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK
atau KPHP.
D. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)
Sistem (TPTII) pada prinsipnya sama dengan (TPTJ) yang mana difokuskan untuk
menjawab kelemahan sistem (TPTI) berfokus pada proses penanaman dan pengawasan hasil
penanaman. Perbedaan hanya terletak pada pembuatan lebar jalur bersih selebar 3 meter dan
jalur antara 17 meter dan tidak ada alternatif lain sebagaimana sistem TPTJ sebelum tahun
2009. Sistem ini dijalankan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 13 Mei 2005 dan Nomor SK.226/VI-
BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif (TPTII). Sistem TPTII dinyatakan tidak berlaku semenjak dikeluarkannya Peraturan
Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Namun dasar dan landasan pemikiran sistem ini masih
perlu diabadikan untuk pembelajaran generasi mendatang.
Tujuan umum (TPTII) membangun hutan tropis lestari dinamis, dengan ciri peningkatan
potensi dan fungsi hutan baik dari segi kualitas dan kuantitas dari satu rotasi tebang ke rotasi
berikutnya. Adapun tujuan khusus silin (TPTII) membangun hutan sebagai transisi menuju
hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. Adapun tahapan
kegiatan silin (TPTII) antara lain :
1. Penataan areal
2. Risalah hutan
3. Pembukaan wilayah hutan
4. Pengadaan bibit
5. Penyiapan lahan (tebang penyiapan lahan dan pembuatan jalur tanam)
6. Penanaman
7. Pemeliharaan tanaman (penyiangan/pemulsaan I s/d X, penyulaman I dan II, pemupukan
awal dan lanjutan, pembebasan vertikal I dan II dan penjarangan I dan II)
8. Perlindungan tanaman
9. Penelitian dan pengembangan
10. Pemanenan kayu.
E. TEBANG RUMPANG (TP)
Sistem silvikultur tebang rumpang diperkenalkan di Indonesia pertama kali oleh APS
Sagala (1991) dari Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru. Sistem ini merupakan
sinergitas dari monocyclic dan polycyclic system. Penebangan dalam rumpang dilakukan
secara menyeluruh dengan sistem tebang habis mirip dengan monocyclic system. Tegakan utuh
atau kantong pelestarian yang ditinggalkan disamping rumpang yang dipergunakan untuk
lokasi penebangan pada siklus berikutnya mirip dengan polycyclic system. Berikut merupakan
prinsip-prinsip tebang rumpang.
1. Sistem silvikultur tebang rumpang dilakukan pada tegakan tidak seumur (unevenaged
stands)
2. Teknik pemanenan dengan tebang kelompok (rumpang) secara teratur dan tersusun
dalam satu jaringan jalan sarad (yang menuju ke satu TPn)
3. Unit manajemen terkecil adalah TPn
4. Rumpang sebagai unit perlakuan silvikultur
5. Mempertahankan keanekaragaman hayati
6. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi permudaan
Tujuan penebangan rumpang adalah peningkatan produktivitas tegakan tidak seumur
melalui tebang dalam kelompok dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam rumpang untuk
meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang lestari pada hutan alam produksi
bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP. Berdasarkan Peraturan Dirjen BPK No.
P.9/VI/BPHA/2009 tahapan tebang rumpang adalah
1. Penataan Areal Kerja (PAK)
2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
3. Risalah Rumpang
4. Pembuatan rumpang
5. Pembinaan rumpang
6. Pemanenan
7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
F. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN
Sistem silvikultur (THPB) mengandalkan pada hasil penanaman karena lebih mudah
pengelolaannya. Sistem ini menyederhanakan ekosistem hutan sehingga komponen yang
dikelola menjadi lebih sedikit dan kegiatan difokuskan pada pertumbuhan dan hasil tanaman.
Menurut SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Nomor: 139/Kpts-VI/1999 tentang Tebang
Habis dengan Permudaan Buatan, sistem THPB adalah sistem silvikultur yang meliputi cara
penebangan habis dengan permudaan buatan. Prinsip-prinsipTHPB menurut Peraturan Dirjen
BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah
1. Diterapkan pada areal bekas tebangan dan non hutan yang telah ditetapkan sebagai areal
THPB da lam RKUPHHK.
2. Sistem silvikultur untuk membangun tegakan seumur.
3. Teknik pemanenan dengan tebang habis.
4. Meningkatkan produktivitas lahan dengan permudaan buatan

Tujuan THPB adalah memaksimalkan produktivitas lahan serta kualitas lingkungan hidup
berdasarkan daya dukung lingkungan setempat dengan sasaran hutan alam produksi bekas
tebangan di areal hutan produksi atau hutan produksi konversi. Tahapan kegiatan Tebang Habis
dengan Penanaman Buatan (THPB) menurut Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009
adalah Penataan Areal Kerja (PAK), Risalah Hutan, Pembukaan Wilayah Hutan (PWH),
Pengadaan Bibit, Penyiapan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan, Pemanenan serta Perlindungan
dan Pengamanan Hutan
G. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM (THPA)
THPA adalah sistem penebangan pohon berharga yang dilakukan sekaligus dalam waktu
yang singkat (1-2 tahun) apabila dalam hutan itu telah terdapat cukup banyak permudaan
tingkat semai jenis berharga. Ketentuan ini di atur dalam SK Dirjen Kehutanan Nomor
35/Kpts/DD/I/1972. Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-
II/1999, sistem Tebang Habis dengan Permudaan Alam adalah sistem silvikultur yang meliputi
cara penebangan habis dengan permudaan alam.
Sistem THPA mengandalkan pada struktur dan komposisi jenis komersial yang mengisi
tegakan, sehingga bila terjadi kekurangan jenis tersebut akan terjadi kegagalan regenerasi
potensi (Synnott dan R.H.Kemp, 2006). Meskipun sudah terdapat pedoman pelaksanaan sistem
THPA, namun sistem ini hampir belum pernah dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian,
dalam pelaksanaan di lapangan sistem ini sebenarnya sering terjadi baik di sengaja maupun
tidak. Sejak tahun 2009 sistem THPA sudah tidak diakui sebagai bagian dari sistem silvikultur
di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009. Sebaliknya
dalam Peraturan tersebut pemerintah hanya mengakui sistem silvikultur TPTI, TPTJ, Tebang
Rumpang dan THPB.
H. AGROFORESTRY
agroforestry adalah metode penggunaan lahan secara optimal dengan mengkombinasikan sistem-
sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (kombinasi produk kehutanan dan
produksi pertanian) melalui cara berdasarkan azas kelestarian yang dilakukan secara bersamaan atau
berurutan dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
rakyat. Tujuan pengembangan agroforestry antara lain :

1. Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan untuk menghasilkan hasil hutan berupa
kayu dan non kayu secara bersamaan atau berurutan.
2. Meningkatkan produktifitas lahan dan menjaga biodiversitas
3. Pembangunan hutan secara multi fungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara
aktif.
4. Meningkatkan pendapatan penduduk setempat dengan memanfaatkan sumber daya yang
tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan
ketahan pangan masyarakat. Program ini juga sangat membantu petani yang hanya
mempunyai lahan terbatas.
5. Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas.
6. Mendukung ketahanan pangan (food security) dan energi melalui peningkatan produksi
tanaman pertanian, buah, minyak nabati (lemak) dan lain-lain
7. Menekan kerusakan hutan akibat perambahan hutan, perladangan dan lain-lain yang
dilakukan masyarakat sekitar hutan
8. Meningkatkan budidaya tanaman obat alami
9. Membantu penyerapan karbon
10. Menciptakan agropolitan
I. MULTISISTEM SILVIKULTUR

Dalam Upaya untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian hutan yang telah terfragmentasi
dapat ditempuh melalui penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural system) yaitu
penerapan beberapa sistem silvikultur dalam satu unit manajemen sesuai dengan struktur, komposisi
dan kondisi penutupan lahannya agar diperoleh manfaat yang optimal. Menurut Indrawan (2008)
multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih a
b c c c a a b sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha
dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.

Multisistem silvikultur dapat menggunakan dua atau lebih sistem silvikultur dalam satu unit
manajemen. Kombinasi sistem silvikultur dapat dilakukan menggunakan sistem TPTI, TPTJ, THPB,
Tebang Rumpang, Program Reboisasi dan Penghijauan serta Agroforestry. Variasi kombinasinya
antara lain:

1. Sistem TPTI dan sistem TPTJ


2. Sistem TPTI dan sistem THPB
3. Sistem TPTJ dan sistem THPB
4. Sistem TPTI, sistem TPTJ dan sistem THPB
5. Sistem TPTI dan sistem Agroforestry
6. Kombinasi lain

Anda mungkin juga menyukai