Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia
setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan
keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas
geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan
dengan lanskap yang selalu hijau (evergreen), intensitas cahaya matahari merata
sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas
tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti hutan pantai
(coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), hutan gambut (peat forest), hutan
rawa (swam forest), hutan dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi
(high land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada mosaik hutan
daratan dengan formasi edafis yang khas (sand soil) sering dijumpai formasi hutan
kerangas (heath forest) dan pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim
(monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang menggugurkan daur daun
(deciduous forest).

Sistem silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih


Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal (SK
Dirjen) Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972. Pada
tahun 1989 sistem TPI diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI). Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) dalam skala uji coba dan pada tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir
sama yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Beberapa sistem
silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas dalam skala uji coba pada
beberapa izin konsesi hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia (1993),
Tebang Jalur Tanam Konservasi (1994), Hutan Tanaman Industri dengan Tebang
Tanam Jalur (1997), Tebang Rumpang dan Bina Pilih.

1.2.Rumusan Masalah

1
1. Apa itu sistem silvikultur?
2. Berdasarkan siklus, banyaknya klas umur tegakan, metode regenerasi, cara
pemanenan?
3. Pemilihan sistem sivikultur, pertimbangan dalam pemilihan, penetapan sistem
silvikultur berdasarkan kondisi asal penetapan (penhut No 11 tahun 2009), dan
teknik-teknik silvikultur?

1.3.Tujuan
1. Dapat memahami definisi dari sistem silvikultur.
2. Dapat mengetahui siklus, banyaknya klas umur tegakan, metode, cara pemanenan.
3. Dapat mengetahui pemilihan sistem silvikultur, pertimbangan dalam pemilihan,
penetapan sistem silvikultur berdasarkan kondisi asal penutupan (permenhut No
11 tahun 2009), dan teknik-teknik silvikultur.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Definisi Sistem Silvikultur


Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan
dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah
sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam,
memelihara tanaman dan memanen. Definisi serupa juga termuat dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999.
Menurut Ditjen PH (1993) tentang pedoman teknis TPTI, sistem silvikultur adalah
rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi
penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian
produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992)
dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan,
pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan

2
tegakan dengan bentuk yang berbeda. Berdasarkan keterangan di atas, tahapan
suatu sistem silvikultur dapat berbeda-beda. Pada sistem tebang habis (seperti
THPB), sistem silvikultur dimulai dari pembibitan atau regenerasi atau
peremajaan sampai penanaman (regeneration) kemudian pemeliharaan (tending)
dan pemanenan (harvesting), namun pada sistem tebang pilih (seperti TPTI)
dimulai dari pemanenan, regenerasi dan pemeliharaan. Dengan demikian tahapan
sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga
komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan
pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008). Sistem silvikultur dapat
dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan
umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk hutan seumur (even-aged forest)
yaitu hutan yang mempunyai tumbuhan dengan umur yang sama, biasanya terdiri
dari satu jenis pohon (monoculture), contoh sistem THPA dan THPB; sistem
silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged forest) yaitu hutan yang
mempunyai lebih dari satu umur tumbuhan namun tidak sampai membentuk strata
berlapis dan sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged forest) yaitu
hutan yang mempunyai semua umur tumbuhan, dimulai dari semai, pancang,
tiang dan pohon, yang ditandai oleh multi strata serta keanekaragaman jenis yang
tinggi, contoh pada sistem TPI dan TPTI. Berdasarkan sistem penebangan pohon
terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang
habis (clear cutting).

2.2.Berdasarkan Siklus

Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat


dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1. Sistem silvikultur siklus berganda (Polycyclic system), yaitu sistem yang


mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) lebih dari satu kali selama rotasi.
Sistem TPI dan TPTI termasuk dalam sistem ini karena menggunakan dua kali
siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun.

Sistem ini banyak digunakan diberbagai negara yang mempunyai hutan alam
campuran semua umur (allaged-mixed forest). Namun demikian, sistem siklus
berganda mempunyai permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

3
a. Variasi genetik yang sangat tinggi. Pada allaged forest selalu mengandung
vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Kenyataan ini sering mengecoh
pola pemikiran linier, karena mereka beranggapan semua vegetasi dalam berbagai
tingkatan mempunyai dinamika pertumbuhan yang konstan.

b. Degradasi genetik pohon unggul atau ekonomis (the poor performance of


residual trees). Sistem tebang pilih hanya memanen pohon-pohon yang unggul
dengan diameter besar, sehingga yang tertinggal hanya pohon-pohon yang lebih
kecil dan cacat sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi genetik dalam ekosistem
hutan yang menyebabkan ketidakmampuan beradaptasi dengan peningkatan ruang
tumbuh dan intensitas cahaya yang ada.

c. Penyebaran diameter pohon dari spesies ekonomis yang tidak merata. Jenis
Dipterocarpaceae umumnya mengelompok sedangkan jenis lainnya menyebar
random. Pada sistem ini juga ditemukan kasus lack of pole-sized dan pada
penyaradan yang intensif menimbulkan kerusakan lahan dan mengganggu
regenerasi dan kualitas tegakan tinggal.

Beberapa contoh sistem siklus berganda yang digunakan di daerah tropis


antara lain Philippine selective logging system, Nqueensland selective logging
system, CELOS-system of Surinam, Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih
Tanam Indonesia. 2. Sistem silvikultur siklus tunggal (Monocyclic system), yaitu
sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali
selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB.

2. Sistem silvikultur dengan siklus tunggal (monocyclic system) menerapkan


sistem tebang habis dan penanaman dilakukan serentak sehingga vegetasi hutan
tumbuh bersama sampai mencapai daur dan siap tebang pada siklus berikutnya.
Pada hutan alam campuran sistem ini sangat jarang digunakan, karena merusak
keanekaragaman jenis yang tinggi serta penurunan kualitas tapak. Namun
demikian dengan berbagai pertimbangan ekonomi serta kemudahan dalam
pengelolaannya sistem ini masih sering diadopsi diberbagai tempat dan negara.
Beberapa sistem silvikultur siklus tunggal ini adalah Malayan Regeneration
Improvement System (MRIS), Malayan Uniform System (MUS), Tropical
Shelterwood System in West Africa, High Shade Shelterwood System (HSSS) of

4
Trinidad, Andaman Canopy Lifting System, THPA, THPB (untuk Hutan
Tanaman Industri) dan lain-lain.

2.3.Banyaknya Klas Umur Tegakan

Sistem silvikultur yang menerapkan tebang pilih membentuk pola tegakan


tinggal semua umur (all-aged forest). Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis
pohon, genetik, perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun
abiotik, serta interaksi diantara komponen komponen tersebut (Suhendang 1998).
Dimensi tegakan yang sering dijadikan parameter adalah diameter, tinggi, luas
bidang dasar, diameter tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain-lain. Dalam rangka
menyusun model dinamika pertumbuhan hutan campuran semua umur untuk
memprediksi potensi hutan pada saat pemanenan, Wahyudi (2011) menggunakan
pendekatan diagram aliran stok yang dimulai dari tiang sampai tingkat pohon
dewasa, karena pada tingkat ini dimungkinkan mendapatkan data pertumbuhan
diameter, luas bidang dasar, kerapatan dan kubikasi. Model ini disusun
berdasarkan persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality pada kelompok pohon
meranti, dipterocarp non meranti, komersial ditebang dan komersial lain belum
ditebang serta dinamika perkembangan kerapatan tegakan hutan yang
digambarkan melalui dinamika jumlah pohon (N) per ha dan luas bidang dasar (B)
per ha.

2.4.Metode Regenerasi

Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika,


peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown (1992) menyatakan bahwa
dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan
sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat
perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam
menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri
tiga macam riap, yaitu :
a. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increament, CAI), yaitu riap yang
diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu tahun.
b. Riap Rata-Rata Tahunan (Meant Annual Increament, MAI), yaitu besarnya
rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu.

5
c. Riap Periodik Tahunan (Periodic Annual Increament, PAI), yaitu besarnya rata-
rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali
pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh
tahun.

2.5.Cara Pemanenan

a. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohonpohon dalam tegakan


yang berdiameter sama atau lebih besar dari limit diameter yang ditetapkan. Pada
hutan produksi (HP) limit diameter sebesar 50 Cm, pada hutan produksi terbatas
60 cm, pada hutan rawa 40 cm, trace jalan 30 cm dan pada hutan tanaman sesuai
peruntukkan/kelas perusahaan.

b. Tahapan kegiatan penebangan pohon adalah penentuan arah rebah, penebangan,


pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan pengangkutan (haulling).

c. Maksud kegiatan penebangan adalah memanfaatkan kayu secara optimal dari


blok tebangan yang telah disahkan atas pohon yang berdiameter sama tau lebih
besar dari limit diameter serta meminimalkan kerusakan tegakan tinggal. Tujuan
penebangan adalah mendapatkan keuntungan perusahaan berupa kayu dengan
jumlah yang cukup serta bermutu.

d. Pelaksanaan penebangan berdasarkan pada buku RKT yang telah disahkan


instansi berwenang, dengan peta kerja skala 1:10.000 yang memuat jaringan jalan
utama, cabang (dan sarad) serta peta penyebaran pohon skala 1:1000.

e. Penebangan dilakukan oleh regu tebang dengan memperhatikan kaidah takik


rebah dan takik balas. Arah rebah dipilih pada lokasi yang seminimal mungkin
merusak tegakan tingggal, tidak mengarah ke jurang atau tempat berbatu serta
searah dengan jalan sarad agar kegiatan penyaradan dapat berlangsung dengan
efisien dan menekan kerusakan tegakan. Tekik rebah dibuat serendah mungkin
untuk memperkecil limbah pembalakan. Banir yang besar dapat dipangkas dahulu
untuk mempermudah penebangan.

6
f. Regu tebang harus memperhatikan keselamatan. Menggunakan helm, masker,
sarung tangan dll. Sebelum pohon ditebang harus dihilangkan dahulu liana atau
vegetasi pengait pohon tebang. Membuat jalur lari pada saat pohon rebah dll.

g. Pohon yang telah ditebang dilakukan triming. Pada tunggak pohon diberi label
1, balok diberi label 2 dan label 3 disimpan untuk laporan administrasi TUK dan
pengupahan.

h. Penyaradan dilakukan dengan traktor melalui jalan sarad menuju TPn.


Penyaradan semaksimal mungkin menggunakan winch atau seminimal mungkin
menjelajahi hutan. Makin pendek jalan sarad makin baik untuk menekan
kerusakan lingkungan.

i. Kayu yang telah terkumpul di TPn dilakukan pengupasan kulit, dicatat dalam
buku ukur untuk pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP). Semua bontos kayu
tebang diberi palu Tok sesuai kode perusahaan.

j. Kayu bulat yang berada di TPn diangkut menuju TPK menggunakan logging
truck. Pada beberapa HPH, kayu di TPK selanjutnya dibawa ke logpond untuk
dimilirkan ke IPKH, baik dengan cara merakit dan atau menggunakan tongkang.
Setiap kayu yang diangkut harus disertai daftar mutasi kayu. Setiap kayu yang
dimilirkan harus disertai dokumen Daftar Hasil Hutan (DHH) dan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh instansi
kehutanan terkait

2.6.Pemilihan sistem silvikultur


Menurut Soerianegara (1970), pemilihan dan penggunaan sistem
silvikultur di daerah tropika ditentukan oleh:
a. Syarat penggunaan sistem masing-masing Setiap sistem silvikultur telah
didesain dalam kerangka kerja yang jelas dan terarah, sehingga sering kali
mencantumkan syarat-syarat teknis yang harus dijalani. Contoh persyaratan sistem
silvikultur tebang pilih adalah penerapan batas limit diameter dalam penebangan,
penetapan rotasi tebang, jumlah dan batas diameter pohon inti atau alokasi waktu
dalam setiap tahapan kegiatan.

7
b. Tipe hutan yang terdiri dari struktur dan komposisi hutan. Suatu sistem
silvikultur dirancang dengan memperhatikan stuktur hutan awal dan struktur
hutan yang akan terbentuk kemudian. Pada hutan hujan tropis memilki strata yang
berlapis. Untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan struktur hutan diterapkan
sistem tebang pilih (selective longging) dengan limit diameter. Komposisi hutan
adalah susunan vegetasi penyusun tegakan. Beberapa ahli menghawatirnya
kemunduran komposisi tegakan pada sistem tebang pilih, karena hanya beberapa
jenis komersial yang diambil.
c. Sifat silvikultur dan ekologi jenis pohon Setiap jenis pohon mempunyai sifat
dan karakteristik berbeda beda. Pembedaan sifat yang melekat pada suatu pohon
sering dilihat dari sudut toleran (perlu naungan) atau intoleran (perlu cahaya
penuh), jenis cepat tumbuh (fast growing species) atau lambat tumbuh (slow
growing species), komersial atau non komersial, jenis terapung atau tenggelam,
sifat fisik kayu, riap pohon, arsitek batang, asosiasi, kesesuaian dengan tempat
tumbuh, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan lain-lain.

2.7.Pertimbangan dalam pemilihan


Dalam menentukan sistem silvikultur harus diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Azas kelestarian hutan - Tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi
jenis komersial pada rotasi tebang berikutnya. - Konservasi tanah dan air -
Perlindungan hutan dari gangguan.
b. Teknik silvikultur. Teknik silvikultur yang digunakan harus sesuai dengan: -
Keadaan tempat tumbuh atau tapak (site) - Tipe hutan, baik komposisi maupun
struktur hutan - Karakteristik pertumbuhan tiap jenis pohon.
c. Pengusahaan hutan yang menguntungkan
d. Transparan, yaitu dapat diawasi secara efektif dan efisien
e. Pengusahaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat sekitar kawasan
hutan.

2.8.Penetapan sistem silvikultru berdasarkan kondisi asal penetapan (pemenhut No 11


tahun 2009)

8
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

Nomor : P. 11/Menhut-II/2009

TENTANG

SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA PEMANFAATAN


HASIL HUTAN

KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEHUTANAN,

2.9.Teknik-Teknik silvikultur
Teknik silvikultur merupakan kegiatan teknis yang menjadi bagian dari
sistem silvikultur, seperti teknik pembibitan yang berasal dari cabutan anakan
meranti atau kebun pangkas, teknik membasmi gulma pengganggu, teknik
penanaman, teknik pemupukan, teknik peneresan, teknik pembebasan, teknik
penjarangan, teknik rekayasa lingkungan, teknik pengendalian hama terpadu,
teknik pembalakan ramah lingkungan dan lain lain. Menurut Soekotjo (2009)
teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi
serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian
hama terpadu (integrated pest management).
2. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup
vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama,
penyakit dan kerusakan mekanis)
3. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan

BAB III
PENUTUP

9
3.1. Kesimpulan
Sistem silvikultur ialah rangkaian kegiatan berencana mengenani
pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan
hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Sistem silvikultur diperlukan dalam rangka pengelolaanhutan secara ekonomi
menguntungkan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (ekonomi dan
ekologi) serta dapat memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat, khusus
yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengelolaan tegakan sebagai subyek (seperti komposisi, struktur dan dinamika
tegakan, kualitas pohon, riap, regenerasi dll) dan tempat tumbuh atau tapak (site),
yaitu komponen lingkungan. faktor tapak terdiri dari suhu, curah hujan,
kelembaban, sinar, unsur hara (di tanah dan udara), angin (mechanical factors)
dan kombinasinya. Lebih jauh, sistem harus memperhatikan komponen site
relationship triangle yang terdiri dari faktor tanah (edapis), iklim (klimatis) dan
vegetasi.

Sistem silvikultur diciptakan agar hutan mampu menjalankan fungsi


dengan baik, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi.
Salah satu keunikan pengelolaan hutan dalam rangka memenuhi fungsi produksi
adalah tegakan hutan yang berperan sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil
dari produksi itu sendiri. Sementara itu, untuk menciptakan pengelolaan hutan
lestari,prinsip yang dipakai tidak sekedar menciptakan kelestraian hasil, namun
harus didasarkan pada pengelolaan ekosistem hutan agar fungsi hutan dapat
berjalan secara kontinyu. Pengelolaan hutan alam dilakukan dengan merekayasa
sebagian kecil dari ekosistem hutan untuk memenuhi fungsi produksi dan
sebagian besar masih dipertahankan.

Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh kondisi tempat


tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang membentuk kondisi
tempat tumbuh adalah kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian
hara (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan sehingga dapat
mengurangi ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Makin tinggi tingkat

10
kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran
permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah

DAFTAR PUSTAKA

1. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat


Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tentang Sistem
Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Departemen
Kehutanan RI, Jakarta.
2. Indrawan A. 2008. Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia.
Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan
Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka
Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama
Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor.
3. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada
University Press.

11
12

Anda mungkin juga menyukai