PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia
setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan
keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas
geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan
dengan lanskap yang selalu hijau (evergreen), intensitas cahaya matahari merata
sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas
tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti hutan pantai
(coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), hutan gambut (peat forest), hutan
rawa (swam forest), hutan dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi
(high land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada mosaik hutan
daratan dengan formasi edafis yang khas (sand soil) sering dijumpai formasi hutan
kerangas (heath forest) dan pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim
(monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang menggugurkan daur daun
(deciduous forest).
1.2.Rumusan Masalah
1
1. Apa itu sistem silvikultur?
2. Berdasarkan siklus, banyaknya klas umur tegakan, metode regenerasi, cara
pemanenan?
3. Pemilihan sistem sivikultur, pertimbangan dalam pemilihan, penetapan sistem
silvikultur berdasarkan kondisi asal penetapan (penhut No 11 tahun 2009), dan
teknik-teknik silvikultur?
1.3.Tujuan
1. Dapat memahami definisi dari sistem silvikultur.
2. Dapat mengetahui siklus, banyaknya klas umur tegakan, metode, cara pemanenan.
3. Dapat mengetahui pemilihan sistem silvikultur, pertimbangan dalam pemilihan,
penetapan sistem silvikultur berdasarkan kondisi asal penutupan (permenhut No
11 tahun 2009), dan teknik-teknik silvikultur.
BAB II
PEMBAHASAN
2
tegakan dengan bentuk yang berbeda. Berdasarkan keterangan di atas, tahapan
suatu sistem silvikultur dapat berbeda-beda. Pada sistem tebang habis (seperti
THPB), sistem silvikultur dimulai dari pembibitan atau regenerasi atau
peremajaan sampai penanaman (regeneration) kemudian pemeliharaan (tending)
dan pemanenan (harvesting), namun pada sistem tebang pilih (seperti TPTI)
dimulai dari pemanenan, regenerasi dan pemeliharaan. Dengan demikian tahapan
sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga
komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan
pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008). Sistem silvikultur dapat
dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan
umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk hutan seumur (even-aged forest)
yaitu hutan yang mempunyai tumbuhan dengan umur yang sama, biasanya terdiri
dari satu jenis pohon (monoculture), contoh sistem THPA dan THPB; sistem
silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged forest) yaitu hutan yang
mempunyai lebih dari satu umur tumbuhan namun tidak sampai membentuk strata
berlapis dan sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged forest) yaitu
hutan yang mempunyai semua umur tumbuhan, dimulai dari semai, pancang,
tiang dan pohon, yang ditandai oleh multi strata serta keanekaragaman jenis yang
tinggi, contoh pada sistem TPI dan TPTI. Berdasarkan sistem penebangan pohon
terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang
habis (clear cutting).
2.2.Berdasarkan Siklus
Sistem ini banyak digunakan diberbagai negara yang mempunyai hutan alam
campuran semua umur (allaged-mixed forest). Namun demikian, sistem siklus
berganda mempunyai permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
3
a. Variasi genetik yang sangat tinggi. Pada allaged forest selalu mengandung
vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Kenyataan ini sering mengecoh
pola pemikiran linier, karena mereka beranggapan semua vegetasi dalam berbagai
tingkatan mempunyai dinamika pertumbuhan yang konstan.
c. Penyebaran diameter pohon dari spesies ekonomis yang tidak merata. Jenis
Dipterocarpaceae umumnya mengelompok sedangkan jenis lainnya menyebar
random. Pada sistem ini juga ditemukan kasus lack of pole-sized dan pada
penyaradan yang intensif menimbulkan kerusakan lahan dan mengganggu
regenerasi dan kualitas tegakan tinggal.
4
Trinidad, Andaman Canopy Lifting System, THPA, THPB (untuk Hutan
Tanaman Industri) dan lain-lain.
2.4.Metode Regenerasi
5
c. Riap Periodik Tahunan (Periodic Annual Increament, PAI), yaitu besarnya rata-
rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali
pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh
tahun.
2.5.Cara Pemanenan
6
f. Regu tebang harus memperhatikan keselamatan. Menggunakan helm, masker,
sarung tangan dll. Sebelum pohon ditebang harus dihilangkan dahulu liana atau
vegetasi pengait pohon tebang. Membuat jalur lari pada saat pohon rebah dll.
g. Pohon yang telah ditebang dilakukan triming. Pada tunggak pohon diberi label
1, balok diberi label 2 dan label 3 disimpan untuk laporan administrasi TUK dan
pengupahan.
i. Kayu yang telah terkumpul di TPn dilakukan pengupasan kulit, dicatat dalam
buku ukur untuk pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP). Semua bontos kayu
tebang diberi palu Tok sesuai kode perusahaan.
j. Kayu bulat yang berada di TPn diangkut menuju TPK menggunakan logging
truck. Pada beberapa HPH, kayu di TPK selanjutnya dibawa ke logpond untuk
dimilirkan ke IPKH, baik dengan cara merakit dan atau menggunakan tongkang.
Setiap kayu yang diangkut harus disertai daftar mutasi kayu. Setiap kayu yang
dimilirkan harus disertai dokumen Daftar Hasil Hutan (DHH) dan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh instansi
kehutanan terkait
7
b. Tipe hutan yang terdiri dari struktur dan komposisi hutan. Suatu sistem
silvikultur dirancang dengan memperhatikan stuktur hutan awal dan struktur
hutan yang akan terbentuk kemudian. Pada hutan hujan tropis memilki strata yang
berlapis. Untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan struktur hutan diterapkan
sistem tebang pilih (selective longging) dengan limit diameter. Komposisi hutan
adalah susunan vegetasi penyusun tegakan. Beberapa ahli menghawatirnya
kemunduran komposisi tegakan pada sistem tebang pilih, karena hanya beberapa
jenis komersial yang diambil.
c. Sifat silvikultur dan ekologi jenis pohon Setiap jenis pohon mempunyai sifat
dan karakteristik berbeda beda. Pembedaan sifat yang melekat pada suatu pohon
sering dilihat dari sudut toleran (perlu naungan) atau intoleran (perlu cahaya
penuh), jenis cepat tumbuh (fast growing species) atau lambat tumbuh (slow
growing species), komersial atau non komersial, jenis terapung atau tenggelam,
sifat fisik kayu, riap pohon, arsitek batang, asosiasi, kesesuaian dengan tempat
tumbuh, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan lain-lain.
8
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
Nomor : P. 11/Menhut-II/2009
TENTANG
MENTERI KEHUTANAN,
2.9.Teknik-Teknik silvikultur
Teknik silvikultur merupakan kegiatan teknis yang menjadi bagian dari
sistem silvikultur, seperti teknik pembibitan yang berasal dari cabutan anakan
meranti atau kebun pangkas, teknik membasmi gulma pengganggu, teknik
penanaman, teknik pemupukan, teknik peneresan, teknik pembebasan, teknik
penjarangan, teknik rekayasa lingkungan, teknik pengendalian hama terpadu,
teknik pembalakan ramah lingkungan dan lain lain. Menurut Soekotjo (2009)
teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi
serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian
hama terpadu (integrated pest management).
2. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup
vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama,
penyakit dan kerusakan mekanis)
3. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan
BAB III
PENUTUP
9
3.1. Kesimpulan
Sistem silvikultur ialah rangkaian kegiatan berencana mengenani
pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan
hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Sistem silvikultur diperlukan dalam rangka pengelolaanhutan secara ekonomi
menguntungkan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (ekonomi dan
ekologi) serta dapat memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat, khusus
yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pengelolaan tegakan sebagai subyek (seperti komposisi, struktur dan dinamika
tegakan, kualitas pohon, riap, regenerasi dll) dan tempat tumbuh atau tapak (site),
yaitu komponen lingkungan. faktor tapak terdiri dari suhu, curah hujan,
kelembaban, sinar, unsur hara (di tanah dan udara), angin (mechanical factors)
dan kombinasinya. Lebih jauh, sistem harus memperhatikan komponen site
relationship triangle yang terdiri dari faktor tanah (edapis), iklim (klimatis) dan
vegetasi.
10
kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran
permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah
DAFTAR PUSTAKA
11
12