Anda di halaman 1dari 123

0

Judul Buku:
Sistem Silvikultur di Indonesia
Teori dan Implementasi
SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA
TEORI DAN IMPLEMENTASI
Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Tahun 2013
Diterbitkan Oleh:

Dr. Wahyudi Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian


Universitas Palangka Raya

Jl. Yos Sudarso, 73111, Palangka Raya, Indonesia


Telepon: +62 81521560387, +62 85347153484
Email: isanautama@yahoo.com

ISBN 978-602-98568-0-4

Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan


Pidana Pasal 72 (ayat 2):

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau


menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penulis juga menyadari bahwa buku ini masih banyak
KATA PENGANTAR
kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk
perbaikan pada edisi mendatang. Akhirnya dengan segala
keterbatasan yang ada, penulis berharap, semoga buku ini bermanfaat
Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia
bagi kita. Terima kasih.
sudah selayaknya memiliki sistem silvikultur untuk mengelola hutan
produksi secara lestari. Sistem silvikultur Tebang Habis dengan
Permudaan Buatan telah diterapkan di Pulau Jawa sejak jaman
Penulis,
kolonial Belanda dan masih dipakai hingga saat ini untuk mengelola
hutan tanaman sedangkan sistem silvikultur Tebang Pilih untuk
mengelola hutan alam baru dimulai tahun 1972 dan senantiasa
Dr. Wahyudi
mengalami perubahan seiring perkembangan kehutanan dan
kebijakan pemerintah.
Buku “Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan
Implementasi“ ini disusun berdasarkan teori dan praktek silvikultur
yang didapatkan dari penerapan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI),
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif (TPTII), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ),
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), sistem
Agroforestry, Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) serta plot
penelitian Tebang Rumpang yang menghasilkan draft system
silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Tahapan
kegiatan dalam setiap sistem silvikultur dalam buku ini diuraikan
secara lengkap menggunakan petunjuk teknis sesuai dengan sistem
masing-masing dengan tujuan memberi pengetahuan dan bekal bagi
para pembaca tentang praktek beberapa sistem silvikultur yang
pernah dan sedang diimplementasikan di lapangan. Meskipun
beberapa tahapan kegiatan tersebut sudah tidak dianjurkan dengan
alasan efisiensi dan efektifitas, namun relevansi dan urgensi tahapan
tersebut masih sangat terasa dan masih penting untuk diketahui,
khususnya bagi para praktisi dan rimbawan dalam melakukan
pengelolaan hutan secara bijaksana sesuai sifat dan kondisi
ekosistemnya.
SAMBUTAN

Saya sangat mengapresiasi buku berjudul “Sistem Silvikultur di SAMBUTAN


Indonesia, Teori dan Implementasi” yang ditulis oleh Dr. Wahyudi.
Tulisan ini merupakan salah satu dari 100 karya tulis yang lulus dan Buku ini berusaha menghimpun sistem-sistem silvikultur yang
mendapat pembiayaan dari Dirjen Dikti tahun 2014 melalui Program pernah dan sedang diterapkan pada hutan Indonesia, mulai dari
Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi. Sebagai reviewer, sistem Tebang Pilih Indonesia tahun 1972 sampai sistem Tebang
saya mendapat kesempatan untuk membaca dan terlibat dalam Jalur Tanam Indonesia yang disusun tahun 2014. Pada beberapa
pembahasan buku ini. bagian, penulis juga menyertakan perhitungan untuk memprediksi
Buku ini sangat baik dibaca oleh para pihak yang ingin sediaan hutan pada siklus tebang berikutnya berdasarkan model
menambah ilmu pengetahuan dan teknologi serta praktek silvikultur dinamis yang berkembang dalam ekosistem hutan. Suatu usaha yang
di hutan produksi Indonesia. baik. Buku ini dapat menjadi bagian dari referensi buku kehutanan
kita.

Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc F.Trop


Ketua Program Studi Silvikultur, IPB Prof. Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, MSc
Guru besar silvikultur, Universitas Hasanuddin
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................. iii
SAMBUTAN SAMBUTAN .......................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................... viii
Paradikma baru pengelolaan hutan adalah kembali pada alam DAFTAR TABEL ................................................... x
(back to nature). Prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield DAFTAR GAMBAR .............................................. xi
principles) yang diterapkan tahun 80-an sudah tidak sejalan lagi I. PENDAHULUAN................................................... 1
dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan kehutanan saat ini. II. KEBIJAKAN DAN SISTEM
Pengelolaan hutan harus bertumpu pada kelestarian ekosistem hutan SILVIKULTUR....................................................... 8
A. Sejarah dan Kebijakan ...................................... 8
(sustained forest ecosystem) karena pohon merupakan bagian dari
B. Pengertian Sistem Silvikultur ............................ 17
ekosistem itu sendiri. C. Landasan Sistem Silvikultur .............................. 23
Buku ini menjelaskan tentang praktek silvikultur di Indonesia D. Beberapa Sistem Silvikultur .............................. 38
yang disertai dengan pengenalan dasar-dasar dan teori tentang III. PERTUMBUHAN DAN HASIL ............................ 43
silvikultur menggunakan paradikma baru dalam pengelolaan hutan, A. Pertumbuhan Pohon........................................... 44
sehingga pembaca dapat mengetahui secara baik tentang pelaksanaan B. Perhitungan Hasil............................................... 50
sistem silvikultur di hutan Indonesia. Saya mengucapkan selamat C. Pemodelan Dinamika Hutan .............................. 54
kepada penulis yang telah menghimpun pengetahuan silvikultur D. Analisis Finansial Proyek Kehutanan ................ 71
dalam buku ini. IV. TEBANG PILIH INDONESIA ............................... 76
A. Pengertian dan Dasar TPI .................................. 76
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI ........................... 77
C. Evaluasi Sistem TPI........................................... 81
V. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA ............... 85
Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS A. Pengertian dan Dasar TPTI................................ 85
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI ......................... 87
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI C. Evaluasi Sistem TPTI ........................................ 115
VI. TEBANG PILIH TANAM JALUR......................... 123
A. Pengertian dan Dasar TPTJ ............................... 123
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTJ......................... 125
C. Evaluasi Sistem TPTJ ........................................ 129
VII. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA
INTENSIP ............................................................... 140
A. Pengertian dan Dasar TPTII .............................. 140
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII........................ 141
C. Evaluasi Sistem TPTII ....................................... 148
VIII. TEBANG RUMPANG............................................ 154 DAFTAR TABEL
A. Pengertian dan Dasar TR ................................... 154
B. Tahapan Kegiatan Sistem TR ............................ 157 Nomor Halaman
C. Evaluasi Sistem TR............................................ 162 Teks
IX. TEBANG HABIS DENGAN
PERMUDAAN BUATAN ...................................... 163 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang
A. Pengertian dan Dasar THPB.............................. 163 dan pohon pada hutan bekas tebangan ........................ 13
B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB ....................... 164 2. Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah
C. Evaluasi Sistem THPB....................................... 174 dan diameter pohon inti sistem TPI ........................... 78
X. TEBANG HABIS DENGAN 3. Syarat pelaksanaan sistem TPI dan pedo-
PERMUDAAN ALAM ........................................... 176 Man TPI hasil revisi tahun 1980 ................................. 82
A. Pengertian dan Dasar THPA.............................. 176 4. Perbedaan tahapan sistem TPTI tahun
B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA ....................... 177 1989 dan 1993............................................................. 86
C. Evaluasi Sistem THPA ...................................... 179 5. Thally sheet kegiatan PAK ......................................... 90
XI. AGROFORESTRY ................................................. 181 6. Thally sheet kegiatan ITSP ......................................... 93
A. Pengertian dan Dasar Agroforestry ................... 181 7. Thally sheet kegiatan Penebangan .............................. 99
B. Hubungan Agroforestry dengan 8. Perbandingan sistem RIL dan konvensional
Bidang Lain ....................................................... 187 pada kegiatan eksploitasi hutan................................... 100
C. Desain Agroforestry........................................... 190 9. Thally sheet kegiatan perapihan.................................. 102
XII. MULTISISTEM SILVIKULTUR........................... 196 10. Thally sheet kegiatan ITT ........................................... 105
A. Pengertian dan Dasar Multisistem 11. Thally sheet kegiatan tempat kosong dan
Silvikultur......................................................... 196 kurang permudaan....................................................... 106
B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur.................. 198 12. Thally sheet kegiatan pembebasan I ........................... 107
DAFTAR PUSTAKA.............................................. 209 13. Thally sheet kegiatan pengadaan bibit ........................ 109
LAMPIRAN. ........................................................... 222 14. Thally sheet kegiatan pengayaan/rehabilitasi.............. 111
DAFTAR ISTILAH ................................................ 225 15. Thally sheet kegiatan pemeliharaan ............................ 112
16. Thally sheet kegiatan pembebasan II dan III .............. 113
17. Thally sheet kegiatan penjarangan I, II, III ................. 115
18. Tahapan kegiatan TPTJ............................................... 125
19. Dampak pemanenan pada jalur antara
sistem TPTJ................................................................. 130
20. Beberapa jenis pohon yang muncul pada
daerah terbuka bekas penebangan ............................... 139
27. Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka ............... 168
DAFTAR GAMBAR 28. Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman ................... 169
29. Pengolahan lahan secara mekanis ............................... 170
Nomor Halaman 30. Penyiapan lahan secara kimia ..................................... 171
Teks 31. Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB
(a) tanaman sungkai (b) tanaman ampupu ................. 172
1. State of the art sistem silvikultur................................. 6 32. Pemanenan Acacia mangium secara manual .............. 173
2. Sebaran kawasan hutan alam yang pernah 33. Sistem mekanis penuh dalam pemanenan
dan sedang dibebani konsesi ....................................... 11 hasil hutan kayu .......................................................... 174
3. Tegakan Eucalyptus pellita di Kalsel.......................... 43 34. Agroforestry: tanaman pokok (jati) dengan
4. Areal bekas tebangan sistem TPTI.............................. 44 tanaman semusim (jagung) ......................................... 183
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbu- 35. Sistem agroforestry: tanaman keras melin-
han pohon.................................................................... 46 dungi tanaman semusim dari angin/ badai .................. 184
6. Kurva pertumbuhan pohon, CAI dan MAI ................. 49 36. Rehabilitasi lahan dengan agroforestry ....................... 187
7. Contoh penataan areal kerja hutan tanaman................ 53 37. Sistem agroforestry mengoptimalkan peng-
8. Model pertumbuhan tanaman meranti ........................ 58 gunaan lahan ............................................................... 192
9. Struktur diameter tanaman meranti ............................. 59 38. Menugal. menyemai benih padi gogo
10. Model perkembangan semai pada hutan diantara tanaman sengon ............................................. 193
alam setelah penebangan............................................. 65 39. Tanaman padi gogo berdampingan dengan
11. Diagram alir stok pohon berdasarkan tanaman sengon........................................................... 194
fungsi kerapatan tegakan............................................. 70 40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi ................. 197
12. Contoh penataan seluruh areal kerja pada 41. Respon perkembangan kerapatan pohon
sistem TPTI................................................................. 89 masak tebang terhadap pemanenan sistem
13. Contoh label pohon tebang, pohon inti dan TPTI di PT GM........................................................... 199
pohon dilindungi ......................................................... 92 42. Respon perkembangan kerapatan pohon
14. Penandaan dan penempelan label pohon..................... 92 masak tebang terhadap pemanenan sistem
15. Pengangkutan kayu bulat ............................................ 95 TPTJ di PT GM........................................................... 201
16. Pengukuran jaringan jalan menggunakan 43. Tanaman sengon dibangun pada lahan
theodolit ...................................................................... 96 kosong dalam kawasan hutan produksi.................. 202
17. Tempat pengumpulan kayu ......................................... 98 44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan
18. Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuh padi gogo..................................................................... 204
annya pada kegiatan ITT............................................. 104
19. Kegiatan ITT............................................................... 105 45. Lereng Gunung Tambora di Sumbawa
20. Persemaian tempat memproduksi bibit ....................... 109 merupakan hutan alam monokultur yang
21. Hasil kegiatan penanaman Shorea spp........................ 110 dikelola menggunakan sistem TJTI ............................ 205
22. Posisi jalur bersih dan jalur antara pada 46. Tanaman meranti merah umur 20 tahun pada
sistem TPTJ................................................................. 128 sistem TPTR ............................................................... 207
23. Tingkat penutupan tajuk pada sistem TPTJ ................ 131
24. Kurva sigmoid, CAI dan MAI pada meranti............... 133
25. Respon pertumbuhan volume pada Shorea
leprosula terhadap pemanenan .................................... 135
26. Kuvio dengan bestek yang jelas pada
sistem Tebang Rumpang............................................. 161
I. PENDAHULUAN Alam (IUPHHK-HA) (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan –
HPH) dilakukan sejak awal tahun 70-an dengan berlandaskan
pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 tentang
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP
terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di ini lahir sebagai penjabaran dari UU Nomor 1 tahun 1967 , UU
Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati Nomor 5 tahun 1967 dan UU Nomor 6 tahun 1968. Sistem
(biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih
geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Direktur
LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau Jenderal (SK Dirjen) Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972
(evergreen), intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun tanggal 13 Maret 1972. Pada tahun 1989 sistem TPI diganti
serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada
tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
hutan pantai (coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba dan pada tahun 2005
hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swam forest), hutan dikeluarkan sistem yang hampir sama yaitu Tebang Pilih
dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi (high Tanam Indonesia Intensif (TPTII).
land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan
mosaik hutan daratan dengan formasi edafis yang khas (sand secara terbatas dalam skala uji coba pada beberapa izin konsesi
soil) sering dijumpai formasi hutan kerangas (heath forest) dan hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia (1993),
pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim Tebang Jalur Tanam Konservasi (1994), Hutan Tanaman
(monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang Industri dengan Tebang Tanam Jalur (1997), Tebang Rumpang
menggugurkan daur daun (deciduous forest). dan Bina Pilih. Sistem silvikultur agroforestry banyak
Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009, luas kawasan hutan di diterapkan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan
Indonesia dilaporkan 120,35 juta ha yang menempati lebih dari melibatkan masyarakat setempat sedangkan sistem silvikultur
60 % luas daratan Indonesia (Balitbanghut 2008). Namun yang bersifat perlindungan dan konservasi alam diterapkan
berdasarkan hasil penataan kawasan hutan tahun 2010 tercatat dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
luas kawasan hutan sebesar 137,6 juta ha (Ditjen BUK 2011). Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan
Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, rawang dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman
kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi tiga berdasarkan menggunakan sistem silvikultur tebang habis perbuatan buatan
fungsinya, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan (THPB) sedangkan pada padang alang-alang dan tanah kosong
fungsi produksi. Kawasan hutan produksi, baik hutan produksi dapat dilakukan reboisasi.
tetap maupun hutan produksi terbatas, dikelola melalui sistem Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan yang terencana
konsesi hutan berdasarkan azas kelestarian ekosistem hutan dan sistematis mengenai kegiatan pengelolaan hutan yang
(sustainable forest management) dan azas manfaat yang terdiri dari beberapa kegiatan teknis seperti pembibitan,
meliputi aspek produksi, ekologi dan sosial. penanaman, perawatan dan pemanenan. Kegiatan ini semakin
Pengelolaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi berkembang dengan adanya pengendalian hama terpadu,
dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan pemuliaan pohon, rekayasa tapak, pengelolaan struktur dan
komposisi tegakan dan lain-lain. Sistem silvikultur juga pernah lemahnya kelembagaan, koordinasi dan konsolidasi, lemahnya
mengakomodasi kepentingan pemanfaatan hasil hutan, pengawasan dan evaluasi, lemahnya penegakan hukum (low
terutama kayu bulat, secara berlebihan sehingga enforcement), ketimpangan antara kemampuan suplai kayu
mengedepankan prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield bulat dengan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu,
principle). Prinsip ini terbukti kurang sesuai sehingga perlu penebangan lebih besar dari riap hutan, konsesi hutan, lesunya
diganti dengan prinsip kelestarian hutan (sustained forest pembangunan hutan tanaman, pungutan liar dan lain-lain.
management) yang mengedepankan aspek ekosistem setempat. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem dan
Pada dua dasawarsa pertama semenjak sistem konsesi hutan teknik silvikultur yang digunakan dalam mengelola hutan.
alam dibuka, kepentingan pemanfaatan hasil hutan kayu telah Para ahli kehutanan menilai sistem silvikultur yang pakai
memenuhi sasarannya sampai mengantarkan Indonesia sebagai untuk mengelola hutan di Indonesiadi sudah cukup baik, namun
penghasil kayu bulat terbesar di dunia, menjadi pemasok 79 dalam tahap pelaksanaan di lapangan terdapat pergeseran atau
persen kebutuhan tropical hardwood dunia dan eksportir penyimpangan dari ketentuan yang termuat dalam sistem itu
plywood terbesar di dunia. Pada akhir tahun 80-an sektor sendiri. Banyak pula yang berpendapat masih terdapat
kehutanan menyumbang devisa terbesar setelah migas. Pada kelemahan dalam sistem silvikultur kita. Sistem TPI dirasakan
masa itu produksi kayu bulat Indonesia pernah mencapai 25-27 masih terlalu sulit dalam aplikasinya karena menggunakan
juta meter kubik per tahun. beberapa pilihan teknis limit diameter berdasarkan kondisi
Keberhasilan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam hutan yang tidak mudah dipraktekan di lapangan serta aspek
rupanya tidak diikuti dengan keberhasilan regenerasi hutan. pembinaan hutan yang masih belum memadai dibanding
Laju kerusakan hutan (forest degradation) dan perubahan hutan kegiatan pemungutan hasil hutan kayu. Kelemahan sistem
(deforestation) di Indonesia terus meningkat dan mencapai TPTI terletak pada aspek pengawasan (controlling) dan
puncaknya pada masa reformasi digulirkan sebagai imbas dari indikator keberhasilan regenerasi hutan, baik dari tegakan
eforia masyarakat. Hutan tropis Indonesia mengalami tinggal (residual trees) maupun hasil penanaman perkayaan
deforestasi sebesar 1,8 juta ha/tahun (1995-1997) sampai 2,8 (enrichment planting). Melimpahnya permudaan alam sering
juta ha/tahun (1997-2000). Indonesia pernah tercacat sebagai dijadikan alasan untuk mengabaikan kegiatan penanaman
negara dengan laju kerusakan hutan tercepat didunia (Global pengayaan di lapangan. Sistem kubikasi yang diterapkan dalam
Forest Resources Assessment (GFRA 2005) dan menyandang kegiatan eksploitasi hutan membawa dampak yang kurang baik
predikat sebagai negara penghasil gas rumah kaca (CO2) pada tegakan tinggal. Para penebang sering memilih pohon-
terbesar ke-3 di dunia. pohon yang besar dan bernilai tinggi dengan meninggalkan
Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan banyak faktor yang jenis yang kurang dikenal (lesser know species) serta pohon-
saling berkaitan, diantaranya konversi hutan untuk berbagai pohon cacat, seperti growong, terpuntir, luka dan sebagainya.
kepentingan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, Akhirnya komposisi tegakan tinggal akan lebih banyak terisi
pertambangan, areal pemukiman, pertanian dan lain-lain. oleh pohon-pohon berkualitas lebih rendah dan cacat.
Faktor lainnya adalah kebakaran hutan (forest fire) dan lahan, Dikhawatirkan, regenerasi hutan berikutnya didominasi bibit-
penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, bibit yang berasal dari tegakan yang berkualitas rendah tersebut
perladangan berpindah (shifting cultivation), kondisi sosial sehingga teknik ini dapat menyebabkan degradasi genetik
ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang masih “miskin”, tegakan.
Untuk meningkatkan transparansi kegiatan regenerasi hutan disebabkan adanya penurunan pH tanah C organik, N, Ca dan
serta meningkatkan pertumbuhan tanaman, diperkenalkan Mg.
sistem TPTJ. Namun sistem ini dinilai beberapa pihak masih Pemanfaatan dana reboisasi dinilai belum efektif untuk
mengandung kerawanan karena adanya variasi lebar jalur menunjang kegiatan reboisasi itu sendiri, terutama dalam
tanam, yang menerapkan tebang habis, sehingga dikhawatirkan mengatasi peningkatan jumlah kawasan hutan yang tidak
mengurangi keanekaragaman jenis di areal tersebut serta dapat produktif dan lahan kosong. Dalam banyak kasus pemanfaatan
disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. dana yang berasal dari kayu bulat hutan alam ini sering
Sistem TPTII hanya menerapkan satu cara saja dalam menyimpang dari tujuan semula, bahkan pernah dipergunakan
pembuatan jalur tanam dengan lebar 3 meter serta jalur antara untuk hal-hal diluar sektor kehutanan seperti pembangunan
17 meter. pabrik pesawat terbang di Bandung dan pembukaan lahan
Adanya titik-titik kelemahan semacam ini dijadikan alasan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.
untuk mengganti sistem silvikultur yang satu dengan lainnya,
meskipun sistem silvikultur lama belum pernah tuntas sampai Tropical Forest Landscape
satu siklus tebang atau akhir daur. Namun demikian ada
baiknya apabila kita tetap mengkaji kembali semua sistem Wet Land Dry Land
silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di hutan
Indonesia untuk mendapatkan akumulasi historis ilmu Mangrove Peat Swamp Low Land High Land Mountain Heath Monsoon
Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest
pengetahuan dan teknologi kehutanan yang bermanfaat dalam
melangkah ke depan serta mengambil pelajaran berharga dari
pengalaman masa lalu. Protection Production Conservation
Pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan pada Forest Forest Forest
kawasan hutan tidak produktif, yaitu semak belukar, padang
alang-alang dan lahan kosong. Namun banyak kasus di Berhutan Tidak
lapangan menyalahi ketentuan tersebut. Pembangunan hutan produktif
Kawasan Kawasan Kawasan Semak be
tanaman yang memerlukan dana besar sering dijadikan alasan
lindung produksi non produksi lukar,alang-
untuk mengambil hasil hutan kayu melalui tebang penyiapan alang, lahan
lahan sebelum penanaman itu dilakukan. Mereka lupa bahwa Sistem Lestari Degradasi kosong
kondisi tanah di hutan tropis yang marginal rentan terhadap Silvikultur
pencucian hara dan erosi, sehingga sangat cepat mengalami TPI, TPTI, Hutan
degradasi kesuburan. Tanaman biasanya tumbuh subur pada 3 TPTJ,TPTII tanaman
sampai 5 tahun pertama, setelah itu mengalami staknasi
disebabkan minimnya unsur hara tanah yang tersisa. Gambar 1. State of the art penerapan sistem silvikultur pada
Menurut Wasis (2006), telah terjadi penurunan kualitas tempat hutan produksi
tumbuh sebesar 26,6% di hutan tanaman yang berdampak pada
penurunan pertumbuhan diameter sebesar 19,8%; biomassa Target pembangunan hutan tanaman industri sebesar 6 juta
sebesar 16,8% dan volume batang sebesar 19,0%. Hal ini ha pada tahun 1990 hanya terealisasi 2-3 juta ha (berdasarkan
laporan). Pengucuran dana reboisasi untuk kegiatan Gerakan
Nasional-Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) juga masih II. KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR
belum menampakkan hasil. Pada tahun 2007 Departemen
Kehutanan meluncurkan program Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) dengan target 9 juta ha sampai tahun 2014. A. Sejarah dan Kebijakan
Pengelolaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman di
daerah tropis dapat memberi prospek yang sangat baik karena Sejarah pengelolaan hutan alam di luar Jawa pada jaman
wilayah ini kaya akan sinar matahari dan curah hujan, sebagai Belanda belum banyak dilaporkan kecuali dalam skala kecil di
modal utama bagi pertumbuhan pohon. Sebagai contoh, untuk Kalimantan Timur, demikian pula pada jaman Jepang. Pada
mendapatkan potensi kayu bulat sebesar 60 m3/ha, Indonesia jaman orde lama pengelolaan hutan alam telah dilakukan di
hanya memerlukan waktu 6 tahun sementara Korea Selatan di Kalimantan Timur dalam skala terbatas. Pada jaman ini
daerah temperate memerlukan waktu hingga 60 tahun. Namun, pemerintah menyadarai adanya keterbatasan sumber daya
apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan hutan dan manusia dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dengan
penerapan sistem silvikultur di daerah tropis, degradasi hutan mengacu pada UUD 1945 pasal 33, pemerintah mulai menata
akan lebih mudah terjadi dan memerlukan waktu yang lama pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan
untuk pemulihannya (recovery), karena dengan curah hujan dan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan
suhu yang tinggi, proses penguraian dan pelapukan bahan induk berdaulat penuh. Pada tahun 1957 dikeluarnya Peraturan
juga berjalan lebih cepat yang diikuti oleh laju pencucian hara Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun
dan erosi yang tinggi. 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan
Kedepan, pembangunan kehutanan akan semakin mendapat kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
perhatian dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan hasil Pada jaman orde baru pemerintah mulai menggalakkan
hutan kayu (timber forest product) dan hasil hutan non kayu pembangunan di segala bidang, tidak terkecuali bidang
(non timber forest product), terlebih lagi adanya kecenderungan kehutanan. Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 1 tahun 1967
back to nature, perhatian pada keanekaragaman jenis tentang Penanaman Modal Asing (PMA), UU Nomor 5 tahun
(biodiversity) dan isu perubahan iklim serta pemanasan global 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (direvisi dengan UU
(global warming and climate change issues). Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan), UU Nomor 6 tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 junto PP No.
18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).
Sejak saat itu banyak investor asing maupun domistik yang
menanamkan modalnya di bidang Kehutanan. Hutan alam
yang masih perawan terbentang dari Sabang sampai Merauke
laksana emas hijau mulai dibagi-bagi dalam bentuk areal
konsesi pengusahaan hutan. Sistem silvikultur yang
dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPI) berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Nomor Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998. PT Sari Bumi Kusuma
35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Tebang menggunakan sistem TPTJ berdasarkan SK Menhut Nomor
Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang 201/Kpts-II/1998. Pada tahun 2002 sistem TPTJ dicabut
Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman berdasarkan Kepmenhut Nomor 10172 tahun 2002 namun
Pengawasannya. masih diterapkan PT Sari Bumi Kusuma berdasarkan SK
Kelemahan sistem TPI terletak pada dominasi kegiatan Menhut Nomor 201/Kpts-II/1998 dan PT Erna Djuliawati
penebangan dibanding kegiatan pembinaan hutan. Sistem ini berdasarkan SK Menhut Nomor 15/Kpts-II/1999. Tahun 2005
juga mengandung ketidakpastian limit diameter pohon tebang dikeluarkan sistem yang hampir sama dengan nama Tebang
serta jumlah pohon inti yang harus tersedia. Perbedaan ini Pilih Tanam Indonesia Intensif berdasarkan SK Dirjen Bina
menyebabkan para praktisi kesulitan dalam menentukan Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei
pilihan. Evaluasi sistem ini dilakukan pertama kali tahun 1974 2005 dan Nomor 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September
oleh konseptor TPI Sugiarto Warsopranoto dan Ishemat 2005 tentang Pedoman TPTII. IUPHHK-HA yang menerapkan
Soerianegara yang menghasilkan beberapa kewaspadaan sistem TPTII pertama kali adalah PT. Sari Bumi Kusuma, PT.
penerapan sistem. Evaluasi berikutnya dilakukan Direktorat Erna Djuliawati, PT. Suka Jaya Makmur, PT Balikpapan Forest
Reboisasi tahun 1980 dengan merevisi beberapa ketentuan limit Industry, PT. ITCI dan PT. Sarpatim. Sistem TPTII dapat
diameter pohon tebang dan jumlah pohon inti berdasarkan tipe diterapkan pada sebagian areal konsesi berdampingan dengan
hutan dan pada tahun 1987 Badan Litbang Kehutanan, IPB dan sistem lama (TPTI) pada 25 IUPHHK berdasarkan SK Dirjen
UGM melakukan pengkajian sistem TPI. Sistem ini berjalan Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.41/VI-BPHA/2007
hampir dua dasawarsa sebelum diganti dengan sistem Tebang tanggal 10 April 2007. Pada tahun 2010 bertambah lagi
Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada tahun 1989. menjadi 29 IUPHHK-HA yang menerapkan sistem TPTII.
Sistem TPTI mulai digunakan sejak dikeluarkan SK Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara
Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem terbatas adalah Tebang Rumpang dan Bina Pilih.
Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam di Indonesia serta Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan
pedoman pelaksanaannya berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan rawang (low potential forest) dan semak belukar dapat
Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tanggal 10 April 1989. dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur
Setelah empat tahun digunakan, sistem TPTI direvisi dengan tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) sedangkan
SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV- pada padang alang-alang dan lahan kosong dapat dihutankan
BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993. Tidak banyak yang kembali (reboization.) Beberapa landasan hukum yang
berubah dalam revisi tersebut kecuali beberapa tahapan mengatur pembangunan hutan tanaman adalah PP Nomor 7
pembinaan hutan yang dibuat lebih jelas pada sasarannya. tahun 1990 tanggal 16 Maret 1990 tentang Hak Pengusahaan
Pada tahun 1993 diujicobakan sistem silvikultur Tebang Hutan Tanaman Industri, Kepmenhut Nomor 200/Kpts-II/1994
Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang berubah nama menjadi tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang Tidak Produktif
Tebang Jalur Tanam Konservasi tahun 1994. Pada tahun 1997 (pasal 2), Kepmenhut Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6
dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Nopember 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha
dalam skala uji coba berdasarkan SK Menteri Kehutanan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (pasal 3), PP
Nomor 435/Kpts-II/1997 dan SK Menteri Kehutanan dan Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (pasal 30) dan PP (PU) per ha sesuai tingkat pertumbuhan dikalikan dengan
Nomor 6 tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang Tata Hutan 100%, 75%, 60% dan 40% masing-masing untuk tingkat
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan pohon, tiang, pancang dan semai, sebagai berikut:
(pasal 38, masih menggunakan kriteria hutan tidak produktif 1) Tingkat pohon = (10.000 m2/400 m2) x 100% =
sesuai Kepmenhut No.200/Kpts-II/1994). 25 (batang/ha)
2) Tingkat tiang = (10.000 m2/100 m2) x 75% =
75 (batang/ha)
3) Tingkat pancang = (10.000 m2/ 25 m2) x 60% =
240 (batang/ha)
4) Tingkat semai = (10.000 m2/ 4 m2) x 40% =
1.000 (batang/ha)
Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor
151/Kpts/IV-BPHH/1993 bahwa areal bekas tebangan pada
IUPHHK tidak perlu diperkaya (enrichment planting) apabila
memenuhi persyarakatan sebagai berikut:
1) Mempunyai pohon inti minimal 1 batang/PU (1x25 PU= 25
btg/ha) atau
2) Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batang/PU (2x100
PU=200 btg/ha) atau
= Areal yang pernah dan sedang dibebani konsesi 3) Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batang/PU
(4x400 PU)=1600 btg/ha
Gambar 2. Sebaran kawasan hutan alam produksi di Indonesia 4) Mempunyai permudaan semai minimal 8 batang/PU
yang pernah dan sedang di bebani konsesi (8x2500 PU)=20.000 btg/ha
(IUPHHK) dengan sistem silvikultur tebang pilih. Sebagai contoh, hasil analisis vegetasi di areal kerja PT GM
(Wahyudi 2011), PT RTC (Indrawan, 2000) dan PT SBK
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor (Pamoengkas 2006) menunjukan bahwa kerapatan pohon pada
200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang ketiga areal tersebut tergolong baik, karena lebih dari yang
tidak produktif adalah: dipersyaratkan kedua ketentuan di atas (Tabel 1)
1) Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari Pada tanggal 4 Pebruari 2008 dikeluarkan PP Nomor 3
25 pohon/ha tahun 2008 tentang Perubahan PP Nomor 6 tahun 2007. Pada
2) Pohon induk kurang dari 10 pohon/ha PP ini kriteria hutan tidak produktif menjadi kabur kembali dan
3) Permudaan alam kurang, yaitu: kewenangan ada pada Menteri Kehutanan.
a) Permudaan tingkat semai kurang dari 1.000 batang/ha Mengingat kondisi hutan di Indonesia semakin menurun
b) Permudaan tingkat pancang kurang 240 batang/ha kuantitas maupun kualitasnya, seyogyanya pembangunan hutan
c) Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batang/ha. tanaman tetap berada pada kawasan hutan yang sudah tidak
produktif dan lahan kosong dengan memanfaatkan dana 3. Luas kawasan yang harus dipertahankan dalam suatu das
reboisasi yang memang sejak awal diperuntukkan untuk itu. atau pulau minimal sebesar 30% yang tersebar secara
proporsional.
Tabel 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon 4. Ijin pemanfaatan hasil hutan dapat diberikan kepada
pada hutan bekas tebangan (Et+0) di areal PT GM, perorangan, koperasi, badan usaha swasta Indonesia dan
PT RTC dan PT SBK badan usaha negara atau daerah.
5. Perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk
Tingkat Kelompok Jenis PT Gunung Meranti (Btg/ha) PT RTC PT SBK Kepmenhut Dirjen PH menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar
Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btg/ha* Btg/ha** No.200 (Btg/ha) No.151 (Btg/ha)
fungsi lindung, konservasi dan produksi dapat tercapai
Meranti 8.214 9.875
secara optimal dan lestari.
Semai Dipt.non meranti 1.071 250 24.369 23.966 19.312 1000 20.000
6. Larangan-larangan:
Komersial lain 10.952 18.375
- Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan
Meranti 1.714 620
Pancang Dipt.non meranti 457 560 5.808 3.546 2.260 240 1.600
- Mengerjakan/menggunakan/menduduki kawasan hutan
Komersial lain 2.724 5.540
secar tidak sah
Meranti 116 82 - Merambah kawasan hutan
Tiang Dipt.non meranti 50 16 200 193 377 75 200 - Menebang pohon dalam radius 500 m dari tepi
Komersial lain 88 48 waduk/danau, 200 m dari mata air dan sempadan sungai
Meranti 101 93 di rawa, 100 m kiri kanan sungai dan 50 m kiri kanan
Pohon Dipt.non meranti 25 16 183 126 188 25 25 anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang,
Komersial lain 79 53 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah di pantai
Keterangan * ) Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan 2000) - Membakar hutan
**) Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial (Pamoengkas 2006)
PT RTC : PT Ratah Timber Co; PT SBK: PT Sari Bumi Kusuma
- Menebang tanpa hak dan tanpa ijin dari pejabat
berwenang
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, sebagai - Menerima, membeli, menjual, menyimpan hasil hutan
pengganti UU Nomor 5/1967, keberadaan hutan dapat dilihat yang berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara
dari status maupun peranannya, yaitu sebagai hutan lindung, tidak sah.
hutan konservasi dan hutan produksi. Beberapa aspek penting - Eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang dalam
yang termuat dalam UU ini antara lain: kawasan hutan tanpa ijin Menteri
1. Berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara - Mengangkut, menguasai hasil hutan tanpa dokumen
(termasuk hutan adat) dan hutan hak. yang sah (SKSHH)
2. Berdasarkan fungsinya, hutan dibagi menjadi 3 yaitu: - Penggembalaan liar
a. Hutan konservasi, yang terdiri dari hutan suaka alam, - Membawa alat berat dan alat penebang/pemotong kayu
hutan pelestarian alam dan taman buru tanpa ijin pejabat berwenang
b. Hutan lindung - Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
c. Hutan produksi kebakaran dan kerusakan
- Mengeluarkan tumbuhan dan hewan tanpa ijin pejabat Penjabaran UU No. 41/1999 dilakukan melalui Peraturan
berwenang. Pemerintah No. 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34
7. Tugas perlindungan hutan ada pada kepolisian khusus tahun 2002 tentang pengaturan hutan dan kehutanan, termasuk
(polsus) sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan
8. Litbang kehutanan bertujuan meningkatkan kemampuan ekosistemnya. Urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang
pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan dianggap terlalu sentralistis di zaman orde baru ditindaklanjuti
secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan. dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tentang
9. Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan
membentuk sumber daya manusia yang menguasai dan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan
mampu memanfaatkan/mengembangkan ilmu pengetahuan penafsiran di lapangan.
dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan Kebijakan selanjutnya sebagai implementasi UU No.
lestari didasari iman dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa 41/1999 adalah Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tanggal 27
10. Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan Januari 1999 dengan beberapa poin penting antara lain:
pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan 1. Pemberian HPH dengan luas lebih dari 50.000 hektar
perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung dilakukan melalui pelelangan.
pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada 2. Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber suatu perusahaan
daya hutan bagi kehidupan manusia. 3. Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang
11. Kewajiban pengawasan ada pada pemerintah dan pemda. mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku
Masyarakat dan perorangan dapat berperan serta melakukan 4. Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20 tahun
pengawasan (Bab VII). ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi
12. Untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam HPH tanaman diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah
rangka otonomi daerah, maka pemerintah menyerahkan daur tanaman pokok.
sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (Bab 5. HPH bisa dipindahtangankan
VIII) 6. Koperasi dapat memperoleh HPH
13. Masyarakat hukum adat yang masih ada dan diakui 7. Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP).
keberadaannya berhak untuk: Adanya ketentuan bahwa HPH dapat digunakan sebagai
- Memungut hasil hutan untuk keperluan hidup sehari- jaminan kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan
hari produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah No.34/ 2002
- Mengelola hutan berdasarkan hukum adat tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
- Mendapatkan pemberdayaan Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
14. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat dilakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi dan
pengadilan atau diluar pengadilan. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan
15. Sanksi pidana dapat diberikan kepada pihak yang Hutan.
melanggar ketentuan dalam UU No.41/1999 ini berupa Dalam Peraturan Pemerintah No. 34/2002 terdapat beberapa
denda uang dan pidana penjara. poin penting, antara lain:
1. Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan diameter, kelas umur, riap, kegiatan pembibitan (nursery),
2. Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah menjadi penanaman pengayaan (enrichment planting), pemangkasan
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, daur,
ada bentuk kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain penebangan (harvesting) serta informasi silvikultur jenis
seperti KPHL untuk Hutan Lindung dan KPHK untuk (Pasaribu 2008).
Hutan Konservasi Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan
3. Hak pengusahaan hutan (HPH) diganti menjadi ijin usaha memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) memperoleh manfaat optimal. Menurut Peraturan Pemerintah
4. Wewenang pemberian ijin kepada pemerintah propinsi dan Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
kabupaten/kota. Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem
Meskipun menggunakan nama Ijin Usaha Pemanfaatan silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) namun pemegang ijin masih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman
dibebani berbagai pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai dan memanen. Definisi serupa juga termuat dalam Surat
pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
membayar dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara 309/Kpts-II/1999.
bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih Menurut Ditjen PH (1993) tentang pedoman teknis TPTI,
diwajibkan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan. Apakah sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana
tidak sebaiknya nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diganti mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan,
dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) saja? peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin
Peraturan Pemerintah No. 34/2002 direvisi oleh Peraturan kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan
Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan
berisi antara lain: penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan
1. Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk tegakan dengan bentuk yang berbeda.
memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan Berdasarkan keterangan di atas, tahapan suatu sistem
serta pembentukan lembaga keuangannya silvikultur dapat berbeda-beda. Pada sistem tebang habis
2. Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang (seperti THPB), sistem silvikultur dimulai dari pembibitan atau
regenerasi atau peremajaan sampai penanaman (regeneration)
kemudian pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting),
B. Pengertian Sistem Silvikultur namun pada sistem tebang pilih (seperti TPTI) dimulai dari
pemanenan, regenerasi dan pemeliharaan. Dengan demikian
Silvikultur berasal dari kata sylva yang berarti hutan dan tahapan sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun
culture yang berarti budidaya atau pengelolaan sehingga sistem semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan
silvikultur dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan terencana (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan
yang berhubungan dengan budidaya dan pengelolaan hutan. (harvesting/removing) (Mansur 2008).
Dalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas
Sistem silvikultur dapat dibedakan berdasarkan umur Pada allaged forest selalu mengandung vegetasi tingkat
tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur semai, pancang, tiang dan pohon. Kenyataan ini sering
tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk hutan seumur mengecoh pola pemikiran linier, karena mereka
(even-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai tumbuhan beranggapan semua vegetasi dalam berbagai tingkatan
dengan umur yang sama, biasanya terdiri dari satu jenis pohon mempunyai dinamika pertumbuhan yang konstan.
(monoculture), contoh sistem THPA dan THPB; sistem Kenyataannya tidak selalu demikian sebab tidak adanya
silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged forest) hubungan antara diameter dengan umur dalam beradaptasi
yaitu hutan yang mempunyai lebih dari satu umur tumbuhan terhadap peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya
namun tidak sampai membentuk strata berlapis dan sistem di hutan yang sangat rapat. Banyak pohon berdiameter
silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged forest) yaitu kecil atau menengah yang telah mencapai daur teknis
hutan yang mempunyai semua umur tumbuhan, dimulai dari sehingga sangat sedikit atau sudah tidak mampu bertambah
semai, pancang, tiang dan pohon, yang ditandai oleh multi besar lagi, bahkan beberapa jenis komersial yang secara
strata serta keanekaragaman jenis yang tinggi, contoh pada umum mampu mencapai diameter besar ternyata hanya
sistem TPI dan TPTI. Berdasarkan sistem penebangan pohon menampilkan fenotip berukuran sedang meskipun telah
terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) berusia ratusan tahun karena tertekan di bawah kanopi jenis
dan sistem tebang habis (clear cutting). dominan atau faktor genetik. Di sisi lain, pohon-pohon
Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem yang berada dalam lingkungan yang lebih baik dan atau
silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: mempunyai kombinasi genetik yang lebih unggul dapat
1. Sistem silvikultur siklus berganda (Polycyclic system), yaitu tumbuh sangat cepat dan mampu membentuk diameter
sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) besar.
lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI b. Degradasi genetik pohon unggul atau ekonomis (the poor
termasuk dalam sistem ini karena menggunakan dua kali performance of residual trees). Sistem tebang pilih hanya
siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun memanen pohon-pohon yang unggul dengan diameter
2. Sistem silvikultur siklus tunggal (Monocyclic system), yaitu besar, sehingga yang tertinggal hanya pohon-pohon yang
sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) lebih kecil dan cacat sehingga dikhawatirkan terjadi
yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem THPA dan degradasi genetik dalam ekosistem hutan yang
THPB. menyebabkan ketidakmampuan beradaptasi dengan
Sistem silvikultur siklus berganda (polycyclic system) peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya yang ada.
hingga kini masih dipercaya paling aman karena berdampak c. Penyebaran diameter pohon dari spesies ekonomis yang
minimal terhadap tapak hutan. Sistem ini banyak digunakan tidak merata. Jenis Dipterocarpaceae umumnya
diberbagai negara yang mempunyai hutan alam campuran mengelompok sedangkan jenis lainnya menyebar random.
semua umur (allaged-mixed forest). Namun demikian, sistem Pada sistem ini juga ditemukan kasus lack of pole-sized dan
siklus berganda mempunyai permasalahan yang perlu mendapat pada penyaradan yang intensif menimbulkan kerusakan
perhatian, yaitu: lahan dan mengganggu regenerasi dan kualitas tegakan
a. Variasi genetik yang sangat tinggi. tinggal.
Beberapa contoh sistem siklus berganda yang digunakan di Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam
daerah tropis antara lain Philippine selective logging system, N- produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008).
queensland selective logging system, CELOS-system of Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu
Surinam, Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan
Indonesia. sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan
Sistem silvikultur dengan siklus tunggal (monocyclic bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah
system) menerapkan sistem tebang habis dan penanaman kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem
dilakukan serentak sehingga vegetasi hutan tumbuh bersama silvikultur (multiple silvicultural system) menjadi keniscayaan
sampai mencapai daur dan siap tebang pada siklus berikutnya. agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur
Pada hutan alam campuran sistem ini sangat jarang digunakan, yang sesuai dengan kondisi hutannya.
karena merusak keanekaragaman jenis yang tinggi serta Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah
penurunan kualitas tapak. Namun demikian dengan berbagai sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau
pertimbangan ekonomi serta kemudahan dalam pengelolaannya lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit
sistem ini masih sering diadopsi diberbagai tempat dan negara. manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan
Beberapa sistem silvikultur siklus tunggal ini adalah Malayan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil
Regeneration Improvement System (MRIS), Malayan Uniform hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan
System (MUS), Tropical Shelterwood System in West Africa, hutan produksi.
High Shade Shelterwood System (HSSS) of Trinidad, Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur
Andaman Canopy Lifting System, THPA, THPB (untuk Hutan menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah
Tanaman Industri) dan lain-lain. rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan
Berdasarkan pemilihan jenis, sistem silvikultur dibedakan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan.
menjadi dua, yaitu sistem silvikultur untuk jenis toleran/ semi Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu
toleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan naungan penuh atau sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan
sebagian untuk pertumbuhannya dan sistem silvikultur untuk sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system).
jenis intoleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan cahaya Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut
penuh agar pertumbuhan berjalan optimal. Yang termasuk ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan
jenis toleran adalah meranti dan jenis-jenis dari yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber
Dipterocarpaceae dan jenis intoleran seperti sengon daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan
(Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocephalus cadamba) akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan
dan lain-lain. Sesuai dengan sifatnya, jenis intoleran mampu (Soekotjo 2009). Teknik silvikultur merupakan kegiatan teknis
memanfaatkan sinar matahari secara maksimal, sehingga yang menjadi bagian dari sistem silvikultur, seperti teknik
pertumbuhannya dapat berlangsung lebih cepat, namun tidak pembibitan yang berasal dari cabutan anakan meranti atau
semua jenis intoleran masuk dalam kelompok jenis cepat kebun pangkas, teknik membasmi gulma pengganggu, teknik
tumbuh (fast growing species) seperti jati (Tectona grandis), penanaman, teknik pemupukan, teknik peneresan, teknik
sungkai (Peronema canescens) dan lain-lain. pembebasan, teknik penjarangan, teknik rekayasa lingkungan,
teknik pengendalian hama terpadu, teknik pembalakan ramah
lingkungan dan lain-lain. Menurut Soekotjo (2009) teknik a. Syarat penggunaan sistem masing-masing
silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: Setiap sistem silvikultur telah didesain dalam kerangka
1. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, kerja yang jelas dan terarah, sehingga sering kali
pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies mencantumkan syarat-syarat teknis yang harus dijalani.
(genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian hama Contoh persyaratan sistem silvikultur tebang pilih adalah
terpadu (integrated pest management). penerapan batas limit diameter dalam penebangan,
2. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah penetapan rotasi tebang, jumlah dan batas diameter pohon
selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga inti atau alokasi waktu dalam setiap tahapan kegiatan.
kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan b. Tipe hutan yang terdiri dari struktur dan komposisi hutan.
kerusakan mekanis) Suatu sistem silvikultur dirancang dengan memperhatikan
3. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan stuktur hutan awal dan struktur hutan yang akan terbentuk
pemanfaatan. kemudian. Pada hutan hujan tropis memilki strata yang
berlapis. Untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan
struktur hutan diterapkan sistem tebang pilih (selective
C. Landasan Sistem Silvikultur longging) dengan limit diameter. Komposisi hutan adalah
susunan vegetasi penyusun tegakan. Beberapa ahli
1. Prinsip sistem silvikultur menghawatirnya kemunduran komposisi tegakan pada
sistem tebang pilih, karena hanya beberapa jenis komersial
Dalam menentukan sistem silvikultur harus diperhatikan
yang diambil.
hal-hal sebagai berikut:
c. Sifat silvikultur dan ekologi jenis pohon
a. Azas kelestarian hutan
Setiap jenis pohon mempunyai sifat dan karakteristik
- Tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi jenis
berbeda-beda. Pembedaan sifat yang melekat pada suatu
komersial pada rotasi tebang berikutnya.
pohon sering dilihat dari sudut toleran (perlu naungan) atau
- Konservasi tanah dan air
intoleran (perlu cahaya penuh), jenis cepat tumbuh (fast
- Perlindungan hutan dari gangguan.
growing species) atau lambat tumbuh (slow growing
b. Teknik silvikultur.
species), komersial atau non komersial, jenis terapung atau
Teknik silvikultur yang digunakan harus sesuai dengan:
tenggelam, sifat fisik kayu, riap pohon, arsitek batang,
- Keadaan tempat tumbuh atau tapak (site)
asosiasi, kesesuaian dengan tempat tumbuh, ketahanan
- Tipe hutan, baik komposisi maupun struktur hutan
terhadap hama dan penyakit dan lain-lain.
- Karakteristik pertumbuhan tiap jenis pohon.
d. Produktifitas dan nilai ekonomi jenis pohon
c. Pengusahaan hutan yang menguntungkan
Produktifitas sering dijadikan alasan untuk menguatkan
d. Transparan, yaitu dapat diawasi secara efektif dan efisien
pilihan pada sistem tebang habis dengan penanaman
e. Pengusahaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat
(THPB). Untuk mengejar produktifitas sering kali pilihan
sekitar kawasan hutan.
diarahkan pada pembuatan hutan tanaman yang
Menurut Soerianegara (1970), pemilihan dan penggunaan
monokultur, dengan alasan:
sistem silvikultur di daerah tropika ditentukan oleh:
a) Pemilihan jenis yang paling unggul dalam pertumbuhan 2. Pengelolaan tapak hutan
dan harga
b) Lebih mudah memanipulasi lingkungan Sistem silvikultur diperlukan dalam rangka pengelolaan
c) Menggunakan bibit unggul hutan secara ekonomi menguntungkan dengan tetap menjaga
d) Hasil lebih besar kelestarian lingkungan (ekonomi dan ekologi) serta dapat
e) Pemanfaatan lahan lebih optimal memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat, khusus yang
f) Memungkinkan mekanisasi tinggal di sekitar kawasan hutan. Untuk mencapai tujuan
g) Biaya operasinal dapat diturunkan tersebut diperlukan pengelolaan tegakan sebagai subyek
h) Cepat regenerasi (seperti komposisi, struktur dan dinamika tegakan, kualitas
i) Ukuran pohon lebih seragam pohon, riap, regenerasi dll) dan tempat tumbuh atau tapak
j) Perbaikan kualitas kayu (site), yaitu komponen lingkungan. Menurut Lamprecht (1990)
k) Sistem silvikultur lebih sederhana dan mudah dipahami faktor tapak terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban, sinar,
unsur hara (di tanah dan udara), angin (mechanical factors) dan
e. Teknik penebangan yang dipakai
kombinasinya. Lebih jauh, sistem harus memperhatikan
Pilihan pada teknik penebangan dapat mempengaruhi
komponen site relationship triangle yang terdiri dari faktor
teknik silvikultur yang dipakai. Dalam sistem tebang pilih,
tanah (edapis), iklim (klimatis) dan vegetasi. Menurut Pancel
teknik penebangan diarahkan pada jenis komersial terpilih
(1993) variasi dari komponen-komponen tersebut akan
dan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
menentukan sistem silvikultur yang dipakai serta hasil yang
Penebangan pada jalur bersih sering diarahkan pada
akan diperoleh.
pembersihan lahan untuk tujuan penanaman dari awal.
Sistem silvikultur diciptakan agar hutan mampu
Pada daerah yang mempunyai topografi curam penebangan
menjalankan fungsi dengan baik, yaitu fungsi perlindungan,
dan penyaradan menggunakan sistem kabel. Sistem tebang
fungsi konservasi dan fungsi produksi. Salah satu keunikan
habis diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan
pengelolaan hutan dalam rangka memenuhi fungsi produksi
efektifitas pekerjaan melalui penyederhanaan ekosistem.
adalah tegakan hutan yang berperan sebagai alat produksi
Pekerjaan pemanenan, peremajaan dan pemeliharaan
sekaligus sebagai hasil dari produksi itu sendiri. Sementara itu,
dilakukan serentak dalam areal yang cukup luas dengan
untuk menciptakan pengelolaan hutan lestari, prinsip yang
teknik yang lebih sederhana sehingga dapat meminimalisir
dipakai tidak sekedar menciptakan kelestraian hasil, namun
biaya.
harus didasarkan pada pengelolaan ekosistem hutan agar fungsi
f. Pendanaan
hutan dapat berjalan secara kontinyu. Pengelolaan hutan alam
Setiap kegiatan akan berhasil baik apabila ditunjang
dilakukan dengan merekayasa sebagian kecil dari ekosistem
dengan pendanaan kegiatan yang cukup, misalnya untuk
hutan untuk memenuhi fungsi produksi dan sebagian besar
pemenuhan sarana dan prasarana, adminsitrasi, upah
masih dipertahankan.
tenaga kerja dan biaya produksi, peremajaan, pemeliharaan
Menurut Mitlöhner (2009), kecenderungan teknik
dan lain-lain.
pengelolaan hutan dunia saat ini adalah kembali ke alam (back
to nature). Pada awalnya hutan berada dalam kondisi klimak
yang telah mencapai keseimbangan ekosistem. Salah satu
keseimbangan ekosistem dalam hutan adalah kematian pohon disarankan terutama untuk pemeliharaan pohon inti dan
secara alami yang disebabkan telah tercapainya daur biologis permudaan termasuk kegiatan rehabilitasi lahan yang kurang
pohon tersebut. Pohon yang mati akan menciptakan ruang dan tidak produktif agar menjadi tegakan hutan sekunder yang
tumbuh bagi permudaan sebagai bagian dari suksesi hutan. baik sehingga mampu menciptakan kelestarian hasil.
Kematian sekelompok pohon juga dapat terjadi disebabkan oleh Pada hutan sekunder dengan keadaan tapak yang lebih
bencana alam. Makin besar bencana yang terjadi makin lambat terbuka dan kondisi tegakan tidak selebat pada hutan primer
suksesi mencapai klimaknya seperti semula. Sistem tebang dapat disarankan menggunakan sistem tebang pilih dan tanam
pilih individu atau tebang pilih dalam kelompok pohon dapat jalur atau rumpang. Sistem ini yang mengkombinasi polycyclic
menyerupai fenoma alam ini. Dengan demikian, pengelolaan system pada jalur antara atau areal konservasi dan monocyclic
hutan tidak lagi menggunakan prinsip kelestarian hasil namun system pada jalur bersih (jalur tanam) atau rumpang. Pada jalur
berubah menjadi prinsip pengelolaan hutan lestari yang antara ekosistem relatif tidak mengalami perubahan yang
mengedepankan pengelolaan ekosistem hutan. menyolok dan dapat berfungsi sebagai konservasi hutan dan
Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari tiga dasawarsa, menjaga keanekaragaman jenis, menjaga kondisi tapak serta
kondisi ekologis kawasan hutan tropis di Indonesia sangat menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi tanaman yang
bervariasi, mulai dari yang masih asli sebagai hutan primer berada dalam jalur tanam seperti berbagai jenis Shorea spp
maupun yang telah berubah menjadi hutan bekas tebangan atau yang berifat toleran dan semi toleran. Jalur tanam ditujukan
hutan sekunder, hutan rawang, semak dan belukar, padang untuk penanaman dan pengayaan jenis terpilih yang bernilai
herba (alang-alang, paku-pakuan) sampai pada lahan kosong. komersil tinggi dan cepat tumbuh seperti Shorea leprosula, s.
Hutan primer masih mempunyai kondisi ekologis yang baik parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis,
dan sering dijadikan rujukan untuk menilai perubahan dan s. platyclados, s. selanica, dan lain-lain.
tingkat degradasi hutan dalam berbagai penelitian. Struktur dan Pada hutan rawang (low potential forest), hutan
komposisi tegakan sangat beragam dan komplek. Puluhan ribu terdegradasi (degraded forest), semak belukar (shrub and
jenis vegetasi dalam berbagai tingkatan umur terdapat di sana bushes) dan padang alang-alang (grass land) serta lahan kosong
menyebar secara randon dan contigious dalam strata yang dapat diterapkan pembinaan hutan yang lebih intensif atau
berlapis-lapis. Hutan tropis tumbuh lebat dan selalu hijau menggunakan sistem tebang habis dan penanaman buatan.
padahal hanya tumbuh pada kondisi tanah marginal. Dalam Secara umum areal ini mempunyai tapak yang kurang
kondisi itu, ekosistem hutan membentuk siklus hara tertutup. mendukung terjadinya suksesi komersial secara alami. Daerah
Menurut McKinnon (2000) mekanisme siklus hara tertutup ini mempunyai intensitas sinar yang berlebih sehingga tidak
pada hutan hujan tropis mampu mempertahankan kesuburan sesuai untuk suksesi jenis Dipterocarpaceae secara langsung
lapisan atas tanah dan proses kehilangan unsur hara masih disamping rawan pencucian unsur hara, erosi dan terbakar
dapat diabaikan karena diimbangi oleh proses pembentukan yang berdampak pada semakin menurunnya kesuburan tanah.
kembali, kecuali dalam beberapa kasus, unsur Kalium sering Kondisi tegakan biasanya didominasi jenis pionir seperti alaban
tercuci lebih besar. Sistem silvikultur tebang pilih telah (vitex pubescens), mahang (Macaranga spp), jabon
dipercaya para ahli selama puluhan tahun sebagai sistem yang (Anthocephallus cadamba) dan lain-lain. Pada daerah kritis
mempunyai serangkaian teknik berdampak minimal terhadap biasanya muncul jenis karamunting (Melastoma affine),
ekosistem hutan. Pembinaan hutan setelah pemanenan kirinnyu sampai alang-alang (Imperata cylindrica).
Sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu kawasan harus semi toleran yang memerlukan naungan pada awal
sesuai dengan kondisi tapak setempat. Di daerah tropis kondisi pertumbuhannya.
tapak dicirikan dengan intensitas sinar, suhu, kelembaban dan e. Mempertahankan lapisan serasah dan humus di
curah hujan yang tinggi dan merata. Keadaan ini menyebabkan permukaan tanah sebagai sumber nutrisi utama bagi
pelapukan (oleh alam) dan penguraian (oleh mikroba) berjalan pertumbuhan vegetasi.
lebih cepat. Pada kondisi yang terbuka faktor pelapukan lebih f. Penebangan harus meminimalkan pembukaan areal dan
dominan. Struktur dan agregat tanah akan mengalami kerusakan tegakan tinggal
kerusakan oleh tumbukan air hujan sehingga sangat rawan erosi g. Secara ekonomi masih menguntungkan.
dan pencucian. h. Bermanfaat bagi masyarakat
Keadaan tanah umumnya marginal (kurang dan tidak subur) Sistem silvikultur harus sesuai dengan kondisi tegakan
dengan kesuburan dan pH yang rendah. Kandungan biomass hutan. Hutan alam tropis mempunyai komposisi, struktur,
pada hutan tropis sebagian besar (hampir 75 %) berada dalam dinamika, karakteristik dan nilai ekonomi yang spesifik.
vegetasi. Kegiatan penebangan dan pemanfaatan pohon dalam a. Komposisi vegetasi dalam hutan alam tropis sangat banyak
jumlah besar dari hutan berarti pengurangan sejumlah besar dan beragam yang menyebabkan jumlah jenis per satuan
biomassa dari daerah tersebut yang dapat berakibat penurunan luas lahan menurun. Menurut Whitmore (1975) dan Mc
potensi biomassa dan mengganggu neraca hara. Selama Kinnon, K. (2000) variasi vegetasi dalam hutan tropis
ekosistem hutan masih terjada, kelangsungan pertumbuhan Kalimantan berkisar 25.000 sampai 30.000 jenis dan sekitar
hutan ditopang oleh siklus hara tertutup. Sistem silvikultur 4000 diantaranya tumbuhan berkayu. Jenis komersial
yang dipakai harus dapat melindungi ekosistem hutan dan diperkirakan hanya 450 jenis yang didominasi famili
menjamin kelestarian berbagai fungsi yang telah berjalan Dipterocarpaceae, seperti marga Shorea (sekitar 200 jenis),
dengan baik. Dipterocarpus, Dryobalanops, Hovea, Vatica, Anisoptera
Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada dan Parashorea. Jenis komersial lainnya seperti Scapium
hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan seperti: podocarpum, ulin (Eusyderoxilon zwageri), Aghatis
a. Tidak menimbulkan pembukaan lahan secara besar- bornensis, marijang (Sindora sp), kempas (Koompassia
besaran karena dapat memperbesar erosi dan pencucian malaccensis), nyatoh (Palaquium sp) dan lain-lain.
hara. Dominasi famili Dipterocarpaceae pada pohon-pohon
b. Tidak mengambil biomassa (tegakan) dalam jumlah yang dalam hutan tropis, khususnya di wilayah Indonesia bagian
melebihi daya dukung hutan. Penebangan hendaknya Barat yang mencapai 70-80%, menyebabkan hutan ini
sama atau lebih kecil dari riap hutan. sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae (Mc Kinnon
c. Mempertahankan siklus hara tertutup untuk menjaga et al. 2000).
kesuburan tanah dan kondisi tapak secara keseluruhan b. Struktur vertikal hutan hujan tropis mempunyai beberapa
serta menjamin kontinyuitas pertumbuhan tegakan strata yang berguna untuk regenerasi dan perlindungan
d. Mempertahankan strata dalam hutan untuk menjamin tanah
kelangsungan regenerasi dan perlindungan tanah. c. Struktur horisontal hujan alam tropis mempunyai nilai
Banyak jenis-jenis dalam hutan yang bersifat toleran dan distribusi > 1 yang menunjukkan pola contigious
(mengelompok) khususnya pada jenis Dipterocarpaceae dan
nilai distribusi = 1 yang menunjukkan pola random g. Mempertahankan keberadaan dan fungsi pengurai
(menyebar) pada beberapa jenis lainnya. (cendawan-mikoriza, bakteri, serangga dan lain-lain)
d. Pada hutan primer umumnya telah mencapai klimak. sebagai bagian penting dalam ekosistem hutan.
Suksesi alami terjadi ketika terjadi celah (gap), misalnya h. Melakukan kegiatan penanaman dan pengayaan jenis
pada saat pohon tua mati atau karena bencana alam dan (enrichment planting)
pengaruh manusia. i. Melakukan kegiatan perawatan tanaman untuk menekan
e. Jenis komersial seperti famili Dipterocarpaceae umumnya gulma dan menciptakan ruang tumbuh tanaman yang
bersifat toleran (perlu naungan) dan semi toleran pada awal optimal
pertumbuhannya, kemudian berubah pada saat dewasa. j. Melakukan pembebasan dan penjarangan untuk
f. Semua tumbuhan di hutan tropis melakukan simbiosis menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon
dengan cendawan (mikoriza). Perlakuan yang diberikan binaan.
pada tumbuhan harus memperhatikan keberadaan dan Dengan demikian faktor tapak dan kondisi vegetasi sangat
karakteristik kehidupan mikorisa pula. diperlukan dalam menentukan suatu sistem silvikultur yang
Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada terkait dengan karakteristik pertumbuhan jenis-jenis yang
hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: dipilih. Perlakuan sistem silvikultur dengan memodifikasi
a. Menjaga komposisi dan keanekaragaman jenis dalam hutan tapak hutan untuk mendapatkan intensitas sinar yang cukup
tropis bagi pertumbuhan permudaan hutan dengan meminimalkan
b. Mempertahankan struktur hutan dengan 5 strata secara perubahan ekosistem hutan menjadi pilihan dalam pengelolaan
vertikal hutan alam produksi lestari. Beberapa teknik silvikultur
c. Distribusi contigious dan random dapat dirubah menjadi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini, seperti:
reguler (merata) dengan melakukan enrichment planting. a. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 50 atau
d. Teknik penebangan meniru pola regenerasi hutan alami 60 cm ke atas) dapat meningkatkan intensitas sinar di lantai
melalui sistem tebang pilih individu (seperti TPI dan TPTI) hutan, khususnya pada lokasi pohon ditebang. Pola ini
atau sistem tebang pilih kelompok, baik kelompok meniru perilaku hutan dalam kasus terciptanya celah pada
melingkar (rumpang) atau memanjang (TPTJ dan TPTII). saat pohon tua tumbang.
e. Penanaman dan pemeliharaan permudaan alam b. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 40 cm
memperhatikan karakteristik jenis, misalnya memberi ke atas) dalam jalur antara atau areal konservasi
naungan ringan pada tingkat anakan jenis Dipterocarpaceae c. Menebang habis pada kelompok pohon dalam rangka
dengan cara ditanam dalam celah. Apabila tidak tersedia membuat rumpang dengan jari-jari setinggi pohon besar
celah dengan intensitas cahaya yang cukup maka yang rebah dapat menciptakan ruang terbuka dengan
permudaan yang melimpah di lantai hutan akan mengalami intensitas sinar yang optimum untuk memacu pertumbuhan
staknasi pertumbuhan. permudaan alam atau tanaman jenis meranti
f. Tetap menjaga kondisi tanah melalui mekanisme siklus d. Menebang habis pada kelompok pohon dalam rangka
hara tertutup membuat jalur tanam secara memanjang dengan lebar 3, 4
atau 5 meter dapat menciptakan ruang terbuka dengan
intensitas sinar optimum untuk memacu pertumbuhan diproduksi masih mempunyai variasi genetik yang tinggi
tanaman meranti atau permudaan lainnya. atau cenderung berkualitas rendah, maka penerapan jarak
e. Pada metode line enrichment dengan lebar jalur bersih 2 tanam dalam jalur tanam sebaiknya lebih pendek.
meter dan pada batas kiri dan kanan jalur masing-masing
Teknik rekayasan tapak hutan (lingkungan) dilakukan
selebar 4 m, seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang,
melalui faktor-faktor yang masih memungkinkan dengan biaya
juga dapat menciptakan ruang tumbuh dengan intensitas
yang rasional. Sifat fisik tanah seperti lereng, aspek, kondisi
sinar yang baik untuk memacu anakan alam serta tanaman
struktur dan tekstur tanah umumnya sulit untuk dimanipulasi
meranti.
sedangkan sifat kimia tanah pada hutan tanaman masih
f. Pada line enrichment yang dimodifikasi Catinot, lebar jalur
memungkinkan, misalnya melalui pengapuran dan pemupukan,
5 m dan semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter <
namun pada hutan alam hampir tidak rasional. Rekayasa tapak
15 cm ditebang serta pohon berdiameter > 15 cm diteres.
hutan yang paling efektif dilakukan pada pengelolaan hutan
g. Variasi jarak tanam dalam jalur tanam sebesar 2,5 m pada
alam adalah pembuatan celah (jalur atau rumpang) untuk
sistem TPTII atau 3 m pada line enrichment Catinot atau 5
meningkatkan intensitas sinar yang sampai ke lantai hutan
m dalam TPTJ atau pada kegiatan penanaman yang lain
dalam rangka perbaikan mekanisme regenerasi, yaitu
tidak memberi pengaruh berarti pada saat tanaman berumur
mempercepat pertumbuhan anakan Dipterocarpaceae serta
kurang dari 5 tahun. Namun demikian jarak tanam yang
permudaan lainnya.
lebih rapat dapat meningkatkan kerapatan tanaman (N/ha)
Beberapa faktor yang berkaitan dengan tapak hutan adalah:
sehingga prosen jadi tanaman serta jumlah tanaman di akhir
a. Intensitas sinar
daur dapat lebih banyak sehingga dapat meningkatkan
Intensitas sinar berkaitan dengan perolehan energi untuk
potensi dan produktifitas hutan. Tanaman yang ditanam
proses fotosintesis yang dilakukan pada organ-organ tanaman
dalam jalur tanam mempunyai variasi genetik yang tinggi
yang mengandung zat hijau daun (klorofil) dengan
sehingga seleksi tanaman yang mempunyai kualitas baik
menggunakan karbondioksida (CO2) dari udara dan air (H2O).
akan lebih menguntungkan bila dilakukan pada kasus
Proses endoterm ini menghasilkan karbohidrat (C6H12O6) dan
dengan kerapatan yang lebih tinggi.
gas oksigen (O2) dari proses fotofosforilasi yang dilepas ke
Sebagai contoh, dengan menggunakan lebar jalur tanam 3
udara. Persamaan reaksi fotosintesis adalah adalah:
meter, maka pada jarak tanam 2,5 m x 17 m (pada sistem
sinar
TPTII) dan 5 m x 25 m (pada sistem TPTJ) masing-masing
6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2
akan mempunyai kerapatan 200 tanaman/ha dan 80
klorofil
tanaman/ha. Dengan asumsi faktor areal efektif 76%,
prosen hidup tanaman unggul di akhir daur 61% serta faktor
Karbohidrat (C6H12O6) sebagai energi potensial disimpan
eksploitasi 70%, maka jumlah pohon yang dapat diambil
dalam tubuh tanaman dan dapat dipergunakan untuk
pada saat pemanenan masing-masing sebesar 93 pohon/ha
menjalankan proses metabolisme. Pemecahan karbohidrat
dan 37 pohon/ha dengan kubikasi masing-masing (93 x
untuk mendapatkan energi dilakukan melalui proses pernapasan
V/phn x 0,7) m3/ha dan (37 x V/phn x 0,7) m3/ha.
(respiration). Menurut Sutejo dan Kartasapoetra (1991), satu
Dengan demikian sepanjang kegiatan pemuliaan pohon
molekul karbohidrat (C6H12O6) dioksidasi dengan 6 molekul
belum mendapatkan hasil yang baik dan bibit yang
oksigen (O2) menghasilkan 6 molekul karbondioksida, 6 berada di Lintang Selatan (bulan Oktober-Maret) sehingga
molekul air dan energi sebesar 674 kalori. Kalori inilah yang terjadi pergerakan angin dari arah Timur Laut (samudera
dipergunakan untuk menjalankan metabolisme tumbuhan. pasifik) menuju wilayah Indonesia yang membawa banyak uap
Persamaan reaksi eksoterm dalam proses respirasi (kebalikan air. Sebaliknya, musim kemarau terjadi pada saat posisi
dari reaksi endoterm dalam proses fotosintesis) adalah proses matahari di Lintang Utara (bulan April-September) sehingga
oksidasi sebagai berikut: pergerakan angin yang menuju wilayah Indonesia berasal dari
C6H12O6 + 6O2 → 6CO2 + 6H2O + 674 kalori Tenggara (benua Australia) yang relatif kering. Hasil
penelitian terakhir menunjukkan bahwa hutan dapat memompa
b. Suhu
udara dari lautan menuju daratan sehingga dapat meningkatkan
Suhu (temperature) merupakan salah satu faktor pembatas
curah hujan. Disamping berasal dari lautan, uap air juga
dalam pertumbuhan tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai
berasal dari proses evapotranspirasi.
relung suhu tertentu untuk menjalankan proses metabolisme.
Curah hujan merupakan komponen iklim yang paling
Suhu yang terlalu rendah atau tinggi dapat mengganggu
penting di daerah tropis. Schmidt and Ferguson menciptakan
kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Menurut Ormorod
klasifikasi iklim berdasarkan jumlah dan karakteristik curah
(1961), semakin tinggi suhu maka semakin banyak cahaya yang
hujan. Perbandingan antara bulan kering (<100 mm/bln) dan
diperlukan agar tanaman dapat berfotosintesis secara normal.
bulan basah membentuk iklim A (basah), B (cukup basah), C
Suhu mempengaruhi kegiatan fotosintesa, respirasi, serapan
(kering) dan seterusnya. Pada umumnya wilyah Indonesia
air dan hara, aktifitas enzym, koagulasi protein dan
membentuk iklim A dan B dan sedikit iklim C seperti di
permeabilitas dinding sel (bila suhu rendah maka translokasi
beberapa tempat di wilayah Nusa Tenggara Timur. Tingginya
berjalan lambat karena dinding sel kurang melewatkan cairan
curah hujan di hutan tropis menyebabkan hutan ini sering
sebaliknya bila suhu tinggi terjadi denaturasi protein).
disebut sebagai hutan hujan tropis (tropical rain forest)
Sebagai contoh, tanaman jenis akasia mangium dan jabon
(Whitmore, 1975).
memerlukan kisaran suhu antara 18-34oC (Deptan, 1980a),
tanaman sungkai hidup baik pada suhu 21-34oC (Hatta, 1999), d. Kelembaban
tanaman sengon mampu tumbuh pada suhu 18-31oC (Dephut, Curah hujan yang tinggi dan merata menyebabkan tingkat
1998) dan tanaman meranti memerlukan suhu yang lebih kelembapan udara (humidity) dalam hutan tropis juga tinggi.
rendah pada awal pertumbuhannya kemudian mampu hidup Kelembaban yang tinggi sangat diperlukan dalam proses
pada suhu yang lebih tinggi di daerah tropis (Mc Kinnon et al, perkecambahan biji di lantai hutan serta munculnya tunas-tunas
2000). Iklim mikro dalam hutan mempunyai kisaran suhu yang baru sebagai komponen penting dalam regenerasi hutan.
lebih rendah dibanding suhu di luar hutan. Kelembaban juga dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme
dan menopang proses penguraian bahan organik. Terbentuknya
c. Curah hujan
iklim mikro yang selalu lembab dalam hutan menyebabkan
Besarnya curah hujan (precipitation) yang terjadi di suatu
hutan ini sering disebut sebagai hutan tropika basah (tropical
wilayah terutama dipengaruhi oleh letak geografisnya. Angin
moist forest).
muson dan angin pasat yang berasal dari lautan membawa uap
air sebaliknya yang berasal dari daratan biasanya kering.
Musim hujan di Indonesia terjadi pada saat posisi matahari
e. Unsur hara D. Beberapa Sistem Silvikultur
Unsur hara (soil nutrient) yang larut dalam air tanah berupa
ion (misalnya K+, Ca2+, Mg2+, Na+, NO-3, SO4-2) atau molekul Beberapa negara yang mempunyai hutan tropis melakukan
tertentu diserap bulu-bulu akar melalui mekanisme osmosis, pengelolaan dan pemanfaatan hutannya dengan sistem
difusi dan daya tarik menarik (adhesi dan kohesi) kimia serta silvikultur yang berbeda-beda. Meskipun banyak praktek yang
perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar tubuh tanaman mengacu pada sistem silvikultur siklus tunggal karena
untuk keperluan kegiatan fisiologis tanaman. Unsur hara yang pengelolaan dan perhitungannya lebih sederhana, lebih praktis
diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dibagi menjadi dua dan menguntungkan secara finansial, namun banyak yang
kelompok, yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur hara percaya bahwa sistem silvikultur berdaur banyak lebih sedikit
makro diperlukan dalam jumlah banyak, seperti Karbon (C), menimbulkan dampak ekologis. Kawasan tropika cenderung
Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), Pospor (P), Belerang memiliki curah hujan yang tinggi dan radiasi yang merata
(Sulfur/S), Kalium (K), Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). sepanjang tahun. Keadaan ini menyebabkan aktifitas
Sedangkan unsur mikro diperlukan dalam jumlah sedikit mikroorganisme berjalan lebih cepat sehingga meningkatkan
namun bila kekurangan dapat mengganggu pertumbuhan laju penguraian bahan organik (decomposition) dan proses
tanaman. Pada umumnya unsur hara mikro merupakan zat pelapukan bahan induk (corrosion). Aliran permukaan (run off)
katalisator yang dapat membantu proses persenyawaan kimia yang besar menyebabkan rawan terhadap pencucian lapisan
tanaman. Unsur hara mikro terdiri dari Besi (Ferum/Fe), hara (leaching) dan erosi.
Mangan (Mn), Seng (Zn), Tembaga (Cuprum/Cu), Borium Sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di
(Bo), Clorida (Cl), Silisium (Si), Natrium (Na), Kobalt (Co), beberapa negara tropika antara lain:
Molybden (Mo) dan lain-lain.
1. Philippine Selective Logging System.
Kondisi tanah di hutan tropis umumnya marginal dengan
Pada prinsipnya sistem silvikultur Philippine Selective
kesuburan dan pH yang rendah, sehingga sebagian unsur hara,
Logging System memuat dasar-dasar pengelolaan hutan
terutama Posfor (P) terikat dan menjadi tidak tersedia bagi
yang mengikuti pola siklus berganda atau tebang pilih
tanaman. Serasah dan humus di permukaan tanah merupakan
(selective logging). Sistem ini menerapkan siklus tebang
penyuplai utama unsur hara tumbuhan dalam hutan. Kandungan
(cutting cycle) bervariasi sesuai kondisi hutan yaitu 30, 35
biomass pada hutan tropis sebagian besar berada dalam
atau 40 tahun. Kegiatan penataan areal kerja dilakukan
vegetasi, dengan demikian kegiatan pemanenan pohon dalam
dengan memberi tanda batas blok dan petak kerja agar
jumlah besar merupakan pengurangan sebagian besar biomassa
mudah dalam pelaksanaan eksploitasi serta pengontrolan.
dari ekosistem hutan. Keadaan yang lebih parah terjadi pada
Pembuatan sampling area untuk menghitung jumlah
saat terjadi kebakaran atau konversi hutan. Kelangsungan
tegakan tinggal dengan intensitas sampling 5%. Pohon
pertumbuhan hutan ditopang oleh siklus hara tertutup yang
yang ditinggalkan 70% dari kelas diameter 20-60 cm.
terjadi di dalamnya. Sistem silvikultur yang dipakai harus
Dipilih sekitar 70 jenis pohon Dipterocarpaceae yang ada.
dapat melindungi dan mempertahankan kondisi ekosistem ini.
Penebangan dilakukan terhadap semua pohon berdiameter
75 cm ke atas dan 60% tegakan berdiameter 65-75 cm.
Setelah penebangan, dilakukan inventarisasi semua tegakan
tinggal (residual trees) yang bernilai ekonomis berdiameter pembinaan tegakan hutan tetap dilakukan setelah
15 cm ke atas. Melakukan kegiatan pembinaan tegakan penebangan.
tinggal (timber stand improvement) pada 6 sampai 10 tahun
5. Malayan Uniform System (MUS)
setelah penebangan dengan membuang liana dan tumbuhan
MUS mengacu pada sistem silvikultur siklus tunggal dan
pengganggu tanaman pokok untuk mendapatkan
berusaha membentuk tegakan hutan yang lebih homogen
pertumbuhan pohon yang tinggi.
namun mempunyai produktifitas yang tinggi. Sebelum
2. Sistem silvikultur di North Queensland kegiatan penebangan dilakukan telah dipastikan adanya
Sistem silvikultur yang diterapkan di negara bagian persediaan permudaan alam dalam jumlah yang cukup
Queensland Utara, Australia, secara garis besar mengacu (natural regeneration in waiting position), terutama jenis
pada sistem siklus berganda, karena penebangan hanya Dipterocarpaceae. Penebangan dilakukan terhadap semua
dilakukan terhadap pohon-pohon berdiameter 58 cm ke jenis pohon (clear cutting) termasuk pohon-pohon cacat
atas. Pada 3 atau 4 tahun setelah penebangan, dilakukan (gerowong, cacat, bengkok dll). Penggunakan racun
pembebasan terhadap tanaman pokok (liberation). Siklus (poison girdted) dibenarkan dalam rangka membersihkan
tebang ditetapkan selama 15 sampai 20 tahun. areal dari pohon-pohon yang jelek. Siklus tebang
ditentukan 70 tahun, karena regenerasi dimulai dari tingkat
3. Celos – System of Surinam
semai.
Prinsip dasarnya sistem silvikultur Celos yang diterapkan di
hutan tropis Suriname (Amerika Selatan) mengacu pada 6. Tropical Shelterwood System.
sistem siklus berganda. Sistem ini pada dasarnya tidak Tropical Shelterwood System dikembangkan di Nigeria,
membatasi limit diameter dan jenis pohon yang ditebang. Afrika Barat. Pada sistem ini dikenal pula tahapan kegiatan
Semua ukuran dan jenis pohon dapat ditebang sesuai yang dimulai dari survei dan pembinaan permudaan alam
kebutuhan dengan batasan kubikasi maksimal 20 m3 / ha sebelum kegiatan penebangan dilakukan. Pada tahun
setiap 20 tahun dengan kondisi pertumbuhan tegakan yang pertama, areal kerja ditata setiap 250 ha. Segala jenis liana
ekonomis sekitar 40 m3/ ha. dan tumbuhan pengganggu yang tidak komersial ditebang
agar permudaan alam dan jenis yang komersial lainnya
4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS)
dapat tumbuh lebih baik. Pada tahun kedua tetap
Sistem silvikultur ini memberikan porsi regenerasi hutan
melanjutkan pembebasan dan dapat mengunakan racun
secara lebih banyak. Sebelum kegiatan penebangan, dibuat
untuk membunuh pohon penggangu. Survei permudaan
rumpang (gap) untuk memacu keberadaan dan
alam yang terpilih dilakukan dengan sistem sampling dan
pertumbuhan permudaan alam secara bertahap. Pembuatan
jumlah permudaan alam minimum 100 batang per ha. Pada
rumpang dilakukan dengan penebangan/ pembersihan
tahun ke tiga tetap melakukan pembinaan terhadap
semua vegetasi tingkat semai sampai pada tingkat tiang.
permudaan alam. Tahun ke empat melakukan survei
Setelah 4 sampai 5 tahun baru diadakan kegiatan
permudaan alam. Pada tahun ke enam dapat dilakukan
pemanenan hutan. Dengan demikian pada saat penebangan,
penebangan pohon yang komersial jika permudaan alam
jaminan regenerasi hutan telah nampak. Kegiatan
telah memenuhi batas minimum. Pada tahun ke tujuh
dilakukan perapihan terhadap permudaan alam. Pada tahun
ke-16 dilakukan penjarangan pertama untuk memberi ruang dan jalur antara 17 m sehingga membentuk jarak tanam
tumbuh yang lebih baik pada tegakan muda dan pada tahun 2,5 m x 20 m.
ke-21 dilakukan penjarangan ke-2. i. Tebang rumpang, berlaku dalam skala penelitian sejak
tahun 1990 kemudian diadopsi tahun 2010.
7. Sistem Silvikultur di Indonesia j. Bina pilih. Sistem ini dapat dianggap sebagai
Beberapa sistem silvikultur yang pernah dan sedang pelengkap sistem TPTI yang bertujuan memusatkan
diterapkan dalam kawasan hutan di Indonesia adalah: kegiatan pemeliharaan pada pohon inti yang terpilih
a. Tebang Pilih Indonesia (TPI) berlaku sejak 1972 sampai k. Sistem Agroforestry atau tumpang sari. Sistem ini
1989 di hutan alam produksi sangat dianjurkan untuk dikembangkan pada hutan
b. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) berlaku rakyat atau pengelolaan hutan yang melibatkan secara
sejak1989 sampai sekarang di hutan alam produksi aktif peran serta masyarakat. Sistem ini dapat
(sebagai pengganti sistem TPI) meningkatkan jaringan pengaman unsur hara (Nutrient
c. Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) berlaku sejak Safety Network) dan proses biogeokimia sehingga
1972 sampai sekarang. Sistem ini tidak pernah secara mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh dan unsur
resmi diaplikasikan di lapangan. hara yang terdapat di tanah.
d. Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) berlaku sejak l. Multi sistem silvikultur. Sistem ini sangat sesuai
1972 sampai sekarang. Sistem ini (seyogyanya) banyak diterapkan pada kawasan hutan yang sudah
diterapkan pada hutan rawang dan semak belukar terfragmentasi dan berbentuk mosaik. Saat ini, sebagian
menggunakan teknik tebang habis untuk membangun besar kawasan hutan terdiri dari bermacam-macam tipe
hutan tanaman. penutupan lahan, mulai dari hutan primer, hutan
e. Reboisasi dan rehabilitasi lahan. Kegiatan ini banyak sekunder, hutan rawang, semak belukar, padang alang-
dilakukan pada kawasan hutan yang berbentuk padang alang dan tanah kosong. Sistem silvikultur yang baik
alang-alang, tanah kosong dan lahan kritis. adalah sesuai dengan kondisi hutannya, oleh karena itu
f. Sistem Tebang Jalur, terdiri dari Tebang Jalur Tanam multi sistem silvikultur merupakan jawaban terhadap
Indonesia (TJTI) yang berlaku dalam skala uji coba perkembangan kondisi hutan saat ini dan dimasa datang.
tahun 1993 sampai 1994, Tebang Jalur Tanam Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah
Konservasi (TJTK) berlaku tahun 1994 sampai 1997, sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri
Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada
(HTI-TTJ) berlaku tahun 1997. suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha
g. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berlaku sejak tahun dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan
1998 sampai 2002 dan dilanjutkan tahun 2009 sampai produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat
sekarang. Lebar jalur tanam 3 m dan jalur antara 22 m mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. Menurut Suhendang (2008), skema penerapan sistem
h. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif berlaku sejak silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur
tahun 2005 sampai sekarang. Lebar jalur tanam 3 m tunggal (single silvicultural system) dan sistem
silvikultur jamak (multiple silvicultural system).
III. PERTUMBUHAN DAN HASIL Rekayasa tapak dilakuan untuk memberikan ruang tumbuh
yang lebih baik pada tanaman sehingga pertumbuhannya dapat
optimal dan diperoleh hasil akhir yang lebih tinggi dengan
Pertumbuhan dan hasil (growth and yield) merupakan tujuan pengorbanan lingkungan yang minimal. Rekayasa tapak
akhir dari sistem silvikultur. Hutan produksi dikelola untuk diwujudkan melalui kegiatan teknis yang sejalan dengan
mendapatkan hasil hutan secara lestari melalui rekayasa prinsip-prinsip silvikultur dan tujuan pengelolaan hutan.
sebagian atau seluruh ekosistem hutan. Rekayasa sebagian
ekosistem hutan dengan mempertimbangkan kemampuan
pemulihan kembali (recovery) dilakukan pada pengelolaan
hutan alam melalui sistem tebang pilih, sedangkan rekayasa
seluruh ekosistem dengan tetap mempertimbangkan daya
dukung tapak hutan dilakukan pada semak belukar, padang
alang-alang dan tanah kosong melalui sistem tebang habis.

Gambar 4. Areal bekas tebangan (loged over forest) sistem


silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
di Kapuas, Kalimantan Tengah

A. Pertumbuhan Pohon

Gambar 3. Tegakan Eucalyptus pellita di Tanah Laut Penetapan sistem silvikultur hendaknya sejalan dengan
Kalimantan Selatan, dibangun menggunakan mekanisme pertumbuhan, perkembangan dan rencana
sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan pencapaian hasil hutan yang diinginkan. Penyusunan sistem
Buatan (THPB). silvikultur harus mengakomodir segala aspek teknis yang
diperlukan dalam rangka terbentuknya proses pertumbuhan
pohon yang optimal untuk tujuan budidaya dengan
pengorbanan ekosistem yang minimal serta pembiayaan yang pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida & Dephut
rasional. Oleh karena itu diperlukan keahlian memilah faktor- 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan
faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon, untuk erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat
keperluan rekayasa dan pengelolaan tegakan. pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowski &
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Pallardy 1994; Landsberg 1986). Upaya untuk meningkatkan
pohon adalah genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar & kualitas genetik benih dan bibit tanaman, khususnya pada
Matthias 2004), lingkungan atau tempat tumbuh atau tapak pengelolaan hutan alam, masih mengandalkan pada tegakan
(site) (Fisher & Binkley 2000; Kozlowski & Pallardy 1997; benih dan kebun benih.
Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur (Coates & Philip 1997;
Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008). Bagan Sistem silvikultur Iklim A
Silvikultur Teknik silvikultur Presipitasi Iklim B
alir faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon Pengendalian Iklim C
terlihat pada Gambar 5. hama terpadu
Cahaya Fotosintesis
Sistem silvikultur mengandung beberapa teknik silvikultur
Iklim Suhu udara Metabolisme
serta serangkaian tahapan teknis yang harus diberikan pada
Kelembaban
tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat mengembangkan dan Udara
Angin
merekayasa teknik silvikultur dalam ruang lingkungan sistem Arsitek pohon
Letak
yang masih diperkenankan. Dengan demikian masih terbuka geografi
Lingkungan Cahaya
peluang inovasi dan kreatifitas para praktisi dan rimbawan Suhu
untuk menemukan teknis yang lebih baik dan sesuai dengan Pertumbuhan Arah lereng
dan Hasil Ketinggian Pencucian
lokasi kerjanya. Tanah Erosi
Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan Kelerengan Unsur hara
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur. Arsitek akar
Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu
Kerapatan
(integrated pest management) yang menekankan pada teknik Sifat fisik Tekstur tanah
pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan Struktur tanah
predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) Anakan alam KTK
Sifat kimia Keasaman tanah
pohon (biocontrol). Genetik
Tegakan benih Mineral tanah
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Iklim mikro
Biologi tanah
pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentukan Kebun benih Mikroorganisme
oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, Mikoriza
a bit of blood Rhizobium
kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah Tree superior Biomassa
banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah Serapan hara
serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan Pemuliaan pohon Air tanah
Katalisator
atau genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam
mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pohon
untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai
P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas
teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat
yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi
diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap
terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan
yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa
cacat dan percabangan ringan. Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibanding
Tegakan benih (seed stand) adalah areal tegakan yang Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Dan
dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap
melalui pohon-pohon induk yang terdapat di dalamnya. yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalsel.
Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi
berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit tentang pertumbuhan pohon harus dilengkapi dengan data
bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap
dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak
Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada
5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara tempat yang berbeda.
keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan
(PT GM 2008a). tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume,
Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta jumlah daun, berat bersih dan lain-lain dalam satuan waktu
mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996)
dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan
seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-
meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan
menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI
Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu,
kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur.
diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam
tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman
dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan
(Hani’in 1999; Soekotjo 2009). CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman
Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva
pertumbuhan tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 6.
dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur Menurut Ditjen BPK (2005) MAI diameter tanaman
yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat meranti (Shorea leprosula, S.johorensis, S.platyclados,
S.macrophylla, S.parfivolia, S.selanica dan S.smithiana) pada dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik
jalur bersih sistem TPTII sebesar 1,67 cm/ th atau 13,33 m3 dibanding di Kalbar.
/ha/th. Sementara itu, data lain menunjukkan bahwa MAI Data pertumbuhan tanaman meranti sangat bervariasi.
diameter Shorea platyclados di Sumatera Utara sebesar 1,32 cm Penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang
/th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, S. ovalis serta S. mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman perlu dilakukan
parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam agar data riap tegakan dan prediksi hasil yang diperoleh lebih
Manan 1995). akurat, spesifik dan komprehensip dalam setiap kondisi tempat
tumbuh dan teknik silvikultur. Dengan demikian riap tanaman
meranti dalam jalur bersih sistem TPTII dipengaruhi oleh jenis
Akumulasi pertumbuhan pohon, genetik, sistem dan teknik silvikultur, rekayasa
lingkungan dan pengendalian hama terpadu.
Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh
kondisi tempat tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah
CAI
satu faktor yang membentuk kondisi tempat tumbuh adalah
Pertumbuhan kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian hara
MAI (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan
sehingga dapat mengurangi ketersediaan unsur hara bagi
tanaman (Fisher & Dan-Binkley 2000; Siswomartono 1989;
Soemarwoto 1991). Makin tinggi tingkat kelerengan makin
Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran
Waktu permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air
tanah (Lee 1990). Kerapatan, arsitek akar dan ketahanan fisik
Gambar 6. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI) tanaman juga dapat dipengaruhi oleh kelerengan. Diperkirakan
faktor kelerengan dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan
Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman tanaman dan turut menentukan hasil yang akan diperoleh pada
Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan akhir rotasi.
bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan
jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan
kisaran riap diameter 0,49 - 1,24 cm /th. Shorea splendica B. Perhitungan Hasil
umur 35 tahun yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m
mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter Hasil hutan berupa kayu bulat baru dapat di hitung dengan
0,53 - 1,39 cm /th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang mudah dan tepat setelah pemanenan. Namun permasalahan
ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap akan muncul ketika menentukan potensi kayu yang masih
diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Meskipun tidak menyebutkan data berdiri (standing stock) terlebih lagi memprediksi potensi kayu
kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan pada beberapa tahun yang akan datang. Kemampuan membuat
Shorea macrophylla di Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel perhitungan dalam rangka memprediksi potensi hutan pada
akhir daur atau pada akhir siklus tebang menjadi sangat penting pembangunan hutan tanaman, areal tidak efektif adalah
untuk memberi kepastian sistem dan menumbuhkan iklim sejumlah areal di dalam wilayah pengusahaan hutan yang tidak
usaha yang mantap. dapat dipergunakan sebagai areal penanaman, seperti sarana
Salah satu sifat pengusahaan hutan adalah berjangka waktu dan prasarana (perkantoran, camp, jalan angkutan), daerah
panjang, oleh karena itu maka sistem silvikultur selayaknya tergenang permanen atau periodik, daerah konflik atau enclave,
disusun secara holistik termasuk mengedepankan aspek daerah berbukit atau jurang sangat terjal, daerah kerangas dan
perencanaan dan perhitungan pertumbuhan dan hasil hutan lain-lain, sedangkan daerah perlindungan adalah bagian areal
yang baik. Dalam kegiatan perencanaan harus dibuat penataan kerja yang diperuntukan untuk penelitian, areal konservasi dan
areal yang meliputi seluruh areal kerja, inventarisasi kondisi perlindungan alam, sempadan sungai, sempadan danau atau
tempat tumbuh, persiapan sarana dan prasarana termasuk waduk, buffer zone hutan lindung atau hutan konservasi,
jaringan jalan dan lain-lain. kelerengan sangat curam, sumber benih dan lain-lain.
Pada sistem TPI dan TPTI ditetapkan siklus tebang selama Blok kerja tahunan serta perkiraan produksi kayu bulat
35 tahun dan pada sistem TPTJ dan TPTII beberapa sumber setiap tahun dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini:
menyebutkan selama 25, 30 sampai 35 tahun. Bahkan dengan Luas blok kerja tahunan (Bt) (ha/th):
asumsi riap diameter 1 cm/th pada jenis-jenis kayu keras (slow
growing species), maka pada kelas perusahaan pertukangan Lt – (Ate + Ap)
_______________________
konvensional, anakan baru siap panen pada umur umur 50 Bt =
tahun. Belakangan muncul kelas perusahaan pulp, papan Dt
partikel atau kelas perusahaan pertukangan yang telah
mengadopsi teknologi pengolahan kayu modern yang dapat Perkiraan produksi kayu bulat (P) (m3/th):
mengolah kayu berdiameter kecil dari jenis cepat tumbuh (fast P = Bt x V/ha x FE
growing species) sehingga tanaman hanya memerlukan daur
selama 5 sampai 10 tahun. dimana
Berdasarkan data pendahuluan yang ada, perusahaan harus Lt = luas areal kerja keseluruhan (ha)
melakukan kegiatan penataan yang meliputi seluruh areal kerja. Ate = luas areal tidak efektif (ha)
Ap = luas areal perlindungan (ha)
Kegiatan ini bertujuan untuk membuat dan atau menata ulang
Dt = daur tanaman (th)
batas areal kerja serta menentukan jumlah dan luas masing- V = volume standing stock
masing blok kerja tahunan dan petak kerja. Blok kerja tahunan FE = faktor eksploitasi.
adalah sejumlah areal yang diperuntukkan untuk kegiatan
pembangunan hutan tanaman dalam jangka waktu satu tahun. Beasaran faktor eksploitasi bermacam-macam. Menurut
Dalam blok kerja tahunan dibagi menjadi petak-petak kerja. Soekotjo (2009) faktor eksploitasi tanaman dalam jalur tanam
Berdasarkan hasil penataan inilah maka akan diketahui sisten silin sebesar 0,7. Pada hutan alam produksi, perhitungan
perkiraan jumlah produksi kayu bulat setiap tahunnya. untuk memprediksi hasil akhir harus dikalikan 0,64 (0,8 x 0,8)
Areal kerja pengusahaan hutan dibagi menjadi tiga, yaitu atau 0,56 (0,8 x 0,7). Menurut Wahyudi (2011) besaran faktor
areal efektif, areal tidak efektif dan areal perlindungan. Areal eksploitasi dan faktor pengaman pada hutan produksi terbatas
efektif adalah areal kerja yang memenuhi syarat sebagai tempat sebesar 0,5655.
Pada Gambar 7 terlihat contoh penataan areal kerja Contoh 1:
menggunakan daur tanaman 7 tahun, sehingga seluruh areal IUPHHK-HT PT Pupl Hutan Lestari mendapatkan areal
kerja ditata menjadi 7 blok tanaman tahunan (I s/d VII). Batas konsesi seluas 50.000 ha untuk membangun hutan tanaman
blok menggunakan bentang alam, seperti sungai atau puncak Acacia mangium. Daur tanaman ditetapkan selama 7 tahun.
tebing atau batas yang permanen lainnya, seperti jalan Sebagai langkah awal, perusahaan itu berencana membangun
angkutan. Apabila tidak terdapat batas alam dapat dibuat batas komplek perkantoran, perumahan, bengkel, persemaian,
buatan menggunakan patok setinggi 1,5 m yang dipasang setiap jaringan jalan, lapangan olah raga dan lain-lain seluas 200 ha.
50 m. Pada blok kerja tahunan V terlihat contoh pembuatan Setelah dilakukan penataan areal, terdapat areal yang tergenang
petak kerja berbentuk papan catur menggunakan batas buatan. seluas 5.000 ha, daerah konflik yang telah di enclave seluas 500
Pembuatan batas buatan diusahakan tertib dan menggunakan ha, sempadan sungai 50 ha, petak ukur permanen 350 ha,
koordinat bulat dengan arah Utara-Selatan dan Timur-Barat. sumber benih 100 ha dan konservasi hutan 3000 ha.
1. Berapa luas blok penanaman tahunan perusahan?
2. Apabila potensi standing stock rata-rata 450 m3/ha, berapa
perkiraan produksi tahunan perusahaan?
3. Berapa produktifitas hutan tanamam Acacia mangium di
perusahaan tersebut?
Jawab:
1. Luas blok penanaman tahunan (Bt):
50.000 ha – (5.700 ha + 3.500 ha)
Bt = __________________________________________ = 5.828,6 ha/th
7 tahun
2. Produksi tahunan = 5.828,6 ha/th x 450 m3/ha x 0,7
= 1.836.000 m3/th
3. Produktifitas hutan tanaman (P):
1.836.000 m3/th
____________________________
P = = 5,25 m3/ha/th
50.000 ha x 7 tahun

C. Pemodelan Dinamika Hutan

Pengusahaan hutan menggunakan alat produksi sebagai hasil


produksi itu sendiri setelah melalui serangkaian proses
Gambar 7. Contoh penataan areal kerja menggunakan daur pertumbuhan pohon dan interaksi dalam lingkungannya dalam
tanaman 7 tahun jangka waktu yang lama. Dimensi tegakan bersifat dinamis
dari tahun ke tahun dengan komponen produk yang bervariasi
kondisinya. Prediksi hasil pada tegakan berdiri melalui hutan hanya dapat digambarkan melalui beberapa variasi dan
pengukuran tidak langsung sering menimbulkan bias level tegakan yang terbatas serta hanya menggunakan unsur
disebabkab areal yang sangat luas sehingga sering pendekatan.
menggunakan sampling, jumlah pohon yang banyak, kesulitan Model pertumbuhan dan hasil dapat diprediksi melalui luas
dalam mengukur tinggi pohon, bentuk batang tidak persis sama bidang dasar atau diameter pohon. Hutan tropika yang
dan faktor kesalahan dalam pengukuran. merupakan ekosistem sangat komplek menawarkan tantangan
Untuk keperluan perhitungan hutan, selain menggunakan tersendiri bagi para pembuat model. Dalam satu hektar hutan
persamaan matematis biasa, beberapa sumber menggunakan dapat mengandung ratusan atau ribuan spesies dan ratusan jenis
pemodelan dengan memanfaatkan beberapa variabel yang komersial. Pada hutan alam yang rapat, terdapat variasi yang
terukur. Perhitungan ini dapat membantu dalam memprediksi besar pada jenis dan ukuran batang pohon dan nampak bahwa
pertumbuhan dan hasil (growth and yield) tegakan yang sesuai umur kurang berkorelasi dengan ukuran batangnya. Nilai suatu
dengan karakteristik jenis serta kondisi tapak setempat, model terletak pada kemudahan untuk digunakan, mudah
sehingga perkiraan produksi pada saat pemanenan dapat dibuat disimpan dan digunakan kembali (Vanclay 1995).
sedini mungkin serta dapat mengantisipasi segala kemungkinan Model juga dapat digunakan untuk menggambarkan
yang bakal terjadi selama proses sedang berjalan. Kegiatan ini dinamika hutan, perlakuan silvikultur, menentukan teknik
dapat meningkatkan kepastian usaha di bidang kehutanan pengelolaan, mengetahui kondisi tegakan dan memprediksi
sehingga para investor lebih tertarik menggeluti usaha di tebangan pada akhir daur atau siklus berikutnya. Model
bidang kehutanan. tegakan hutan dapat digambarkan melalui stok pohon (jumlah
Model adalah suatu bentuk virtual yang dibuat untuk pohon), luas bidang dasar atau volume tegakan per ha untuk
menirukan suatu proses yang terjadi pada dunia nyata memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan. Model suksesi
(Muhammadi et al. 2001, Purnomo 2005). Kenyataan yang untuk memprediksi pertumbuhan pernah dilakukan
terjadi pada dunia nyata (real world) biasanya sangat komplek menggunakan input cahaya, suhu, kesuburan tanah, fotosintesis
namun masih dapat dipelajari dan disederhanakan, terutama dan alokasi fotosintesis untuk akar, batang dan daun
yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (causal loop). (Landsberg 1986; Sievanen & Burk 1988; McMurtrie et al.
Pemindahan kondisi dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya 1990). Bossel and Krieger (1991) mencari pendekatan untuk
yang dilengkapi dengan sistem dan simulasinya dapat membangun model lapisan kanopi tajuk di hutan Malaysia,
membantu kita dalam memahami suatu ekosistem secara lebih namun menemukan hambatan dalam pemodelan hutan tropis
mudah. Model adalah gambaran kondisi alam yang yang komprehensif karena keterbatasan data pendukung yang
menunjukkan proporsi dan susunan komponen penyusun serta menyangkut aspek fisiologi, ekologi, tapak dan kondisi tegakan
ekspresi nyata dari suatu teori (Ford 1977). Model sering hutan.
menggunakan persamaan matematika, angka, logika yang tepat Table pertumbuhan dan hasil hutan tidak seumur
dan kode-kode komputer. Hutan tropika mengandung banyak dipublikasikan pertama kali di Jerman pada tahun 1787
species, variasi umur, riap dan ukuran vegetasi, sehingga (Vanclay 2001). Saat ini, tabel hasil meliputi tabel tinggi,
memerlukan model yang sangat komplek untuk diameter, kerapatan, luas bidang dasar, riap rata-rata tahunan
menggambarkannya. Suatu model hampir mustahil mampu dan tabel volume. Pemodelan meliputi seni dan ilmu untuk
menggambarkan kondisi hutan secara keseluruhan. Dinamika menggambarkan kondisi alam yang sebenarnya. Banyak model
dibuat dengan pendekatan empiris, kalibrasi data dan ditentukan berdasarkan jumlah kelompok yang diinginkan,
mendasarkan pada teori-teori biologi yang berkembang dan sebagai berikut:
semuanya dikumpulkan untuk menyusun model hutan alam Ir = (rb – rk) / 5
yang komplek. Tidak ada pendekatan tunggal yang optimal dimanaIr : interval berdasarkan riap
dalam pemodelan hutan tropika. Semua metode yang akan rb : riap terbesar
digunakan harus diperhitungkan kelebihan dan kekurangannya. rk : riap terkecil
Model persamaan polinomial menggunakan kelompok tanaman
1. Model pertumbuhan tanaman dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sistem silvikultur yang menerapkan tebang habis dengan
yi = ci1 + ci2x + ci3x2
permudaan buatan membentuk pola tegakan seumur (even-aged
dimanayi : diameter akhir rata-rata kelompok ke-i
forest). Model pertumbuhan tanaman pada pola ini dapat
x : waktu (tahun)
digambarkan dengan grafik sigmoid growth melalui persamaan
ci1,ci2,ci3 : konstanta.
eksponensial seperti diungkapkan oleh Brown (1997), Grant et
al. (1997), Radonsa et al. (2003), yaitu:
y= c1.e c2X dimana x : diameter awal
y : diameter akhir
c1,c2 : konstanta

Brown (1997) dan Burkhart (2003) menggunakan persamaan


polinomial rata-rata dalam menggambarkan pertumbuhan
tanaman, yaitu:
y = c1 + c2x + c3x2
dimana: y : diameter akhir rata-rata
x : waktu dalam tahun
c1,c2,c3 : konstanta.
Wahyudi (2010) menuliskan model dinamika pertumbuhan
tanaman meranti di Kapuas, Kalimantan Tengah, menggunakan
persamaan polinomial rata-rata, yaitu: Gambar 8. Model pertumbuhan diameter tanaman meranti
y = 0,0297x2 + 0,8208x+0,3728; dengan R2= 86,89% menggunakan model persamaan polinomial
seperti terlihat pada Gambar 12.
Dalam rangka mendapatkan informasi pertumbuhan yang
Penyebaran diameter pada hutan tanaman (even-aged forest)
lebih detail, Wahyudi (2011) memisahkan data pertumbuhan
selalu tidak merata sehingga ditemukan pola grafik berbentuk
tanaman dalam 5 kelompok tanaman berdasarkan kecepatan
lonceng dalam menggambarkan penyebaran diameter ini
pertumbuhannya, yaitu kelompok pertumbuhan sangat lambat,
(Hauhs et al. 2003, Wahyudi, 2010). Hal ini menandakan
lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Interval riap
bahwa kelompok pertumbuhan menengah selalu mempunyai Gadow dan Hui (1999) memperkenalkan tiga model
jumlah tertinggi dalam tegakan dan sebaliknya kelompok pertumbuhan untuk menentukan tinggi tegakan, yaitu model
pertumbuhan terkecil dan terbesar mempunyai jumlah terendah. Bertalanffy, model Biging and Wensel (1985) dan model
Pada penelitian tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam Schumacher, sebagai berikut :
-bx c
sistem TPTII, Wahyudi (2010) menemukan distribusi diameter a. Model Bertalanffy…………………. H = a(1-e )
tanaman membentuk garfik seperti lonceng. Grafik tersebut
semakin bergeser ke arah kanan sejalan dengan bertambahnya b. Model Biging and Wensel (1985)…. H= a.Sb.(1-e-ct)d
umur, yang menandakan semakin banyak pohon yang berada
pada kelompok diameter yang lebih besar, namun semuanya c. Model Schumacher………………… H= a.e-b1/t
masih mempunyai pola yang sama yaitu berbentuk lonceng.
Selanjutnya, Wahyudi (2011) menemukan jumlah kelompok dimana H: tinggi (m), S: kelas tapak (baik:1, buruk:0),
tanaman yang terdapat dalam setiap kelompok pertumbuhan e: eksponensial dan t: waktu.
sangat lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat masing-
Gadow dan Hui (1999) mengembangkan persamaan untuk
masing sebesar 17,36%; 25,62%; 27,27%; 25,62% dan 4,13%.
mengetahui luas bidang dasar tegakan Cunninghamia
Untuk mempermudah pemodelan serta mendapatkan
lanceolata di China, yaitu:
pemahaman yang lebih lengkap tentang pertumbuhan tanaman
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dibuat analisis 0,601 0,601
umpan balik. Pemodelan dapat menggunakan berbagai G2 = G1N21-0,142H2 N10,142H1 -1
(H2/H1)4,292
perangkat lunak seperti stella, powersim, symfor dan lain-lain.
Dimana: G1 : luas bidang dasar pada t1 (m2/ha)
G2 : luas bidang dasar pada t2 (m2/ha)
N1 : kerapatan pada t1 (phn/ha)
N2 : kerapatan pada t2 (phn/ha)
H1 : tinggi tegakan dominan pada t1
H2 : tinggi tegakan dominan pada t2
Untuk tegakan seumur digunakan persamaan berdasarkan
pertumbuhan luas bidang dasar, dengan asumsi riap luas bidang
dasar per ha adalah fungsi dari umur tegakan (t) dan luas
bidang dasar awal. Contoh kasus diambil dari tanaman Pinus
pinaster di Spanyol yang melahirkan persamaan:

∆G = 27,78.G0,3367. t -1,3407.
dimana: G: luas bidang dasar (m2/ha)
Gambar 9. Dinamika struktur tanaman meranti membentuk t : umur tegakan
grafik lonceng
Pienaar et al. (1990) membuat model untuk tanaman Pinus Kerapatan tegakan dapat dipergunakan sebagai input dalam
elliothi di Georgia melalui persamaan: memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan sebagai reaksi dari
perlakuan silvikultur.
lnG = α0 + α1(1/t) + α2.ln(H)+ α3(N), dimana Rodriguez and Soalleiro (1995) menemukan konstanta yang
∆G : Pertumbuhan luas bidang dasar tahunan (m2/ha/th) menghubungkan volume dengan luas bidang dasar, yaitu
G : Luas bidang dasar (m2/ha) V= 0,4215 G.H
N : Jumlah pohon per ha (N/ha) dimana: V : volume (m3/ha)
H : Tinggi tegakan dominan (m) G : luas bidang dasar (m2/ha)
t : Umur tegakan H : tinggi (m).
Jansen et al. (1996) memasukkan unsur waktu dalam
Dari persamaan di atas, Forss et al. (1996) mengaplikasikan persamaan di atas sehingga persamaan tersebut menjadi:
persamaan di Pienaar et al. (1990) dan mendapatkan konstanta V = G.H 1,073-0,00133t e-1,144+0,00432t.
untuk tegakan Acacia mangium di Kalsel (Indonesia), yaitu: Pada tegakan Cunninghamia lanceolata di China berlaku
α0= -4,147; α1= -2,074; α2= 0,9958 dan α3= 0,6239. Gadow persamaan:
and Hui (1999) mengembangkan persamaan Pienaar et al. V= 0,000058777 d 1,9699 h 0,8965
(1990) untuk meningkatkan akurasi hasil pengukuran melalui
persamaan:
2. Model pertumbuhan tegakan tinggal
ln(G 2)2)== ln(G
ln(G ln(G1)1)+α+α 1(1/t
1(1/t 1/t-11/t
2 -2 ) + 1α)2 + α2 2[ln(H
[ln(H 2)1)]+
) - ln(H - ln(H 1)]+
α3[ln(N 2)-ln(N1)]
Sistem silvikultur yang menerapkan tebang pilih
α3[ln(N2)-ln(N1)]
membentuk pola tegakan tinggal semua umur (all-aged forest).
Munculnya pohon tertekan yang berdampak pada kematian Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik,
(mortality) merupakan fungsi dari kerapatan tegakan yang perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun
dirumuskan oleh Reineke (1933) dalam Gadow dan Hui abiotik, serta interaksi diantara komponen-komponen tersebut
melalui persamaan: (Suhendang 1998). Dimensi tegakan yang sering dijadikan
Nmax= α0 Dg α1. parameter adalah diameter, tinggi, luas bidang dasar, diameter
tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain-lain. Menurut Bella
Selanjutnya Gadow dan Hui (1999) menemukan persamaan (1971) data berupa luas bidang dasar memberi nilai R2 yang
untuk Pinus radiata di Afrika Selatan sebagai berikut: lebih baik dibanding data diameter, namun menurut West
Nmax= 729416 Dg -1,91 (1980) dan Shifley (1987) tidak ada bedanya menggunakan
dimana: Nmax : jumlah pohon hidup maksimum per ha data luas bidang dasar atau diameter. Pembuatan model
Dg : kwadratik diameter rata-rata berdasarkan riap tinggi pohon tidak efektif dilakukan di hutan
α0, α1 : konstanta tropis karena pengukurannya sulit dan hasilnya tidak akurat.
Sebagai gantinya dapat ditempuh menggunakan tabel volume
Kerapatan pohon (N) dan luas bidang dasar (B) adalah
lokal.
parameter dasar dari stok yang saling berhubungan serta dapat
Kurva sebaran pohon dibuat untuk mengetahui kenormalan
dipergunakan untuk memprediksi karakteristik tegakan.
sebaran tegakan hutan semua umur (Appanah & Weinland
1993; Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Nyland 1996; (Oliver & Larson 1990) sehingga memerlukan minimal dua kali
Suhendang 1998) dengan persamaan: pengukuran untuk mendapatkan dinamikanya (Davis &
N=No e-kD , dimana Johnson 1987; Buongiorno & Gilles 1987). Data yang
N : kerapatan (phn/ha) terkumpul dapat diolah menurut persamaan biometrika hutan
No,k : konstanta untuk menjalankan suatu model. Komponen utama dalam
E : eksponensial pemodelan hutan adalah laju pertumbuhan, sebaran diameter,
D : kelas diameter. komposisi jenis dan penjadwalan (Leuschner 1990). Pemodelan
dapat dipergunakan untuk mengetahui ketersediaan tegakan
Mengingat pengukuran tinggi pohon khususnya dalam
(pohon/ha), luas bidang dasar (m2/ha) dan volumenya (m3/ha)
tegakan hutan campuran yang rapat sulit dilakukan dan
(Vanclay 1995) melalui aliran stok pohon (N, kubikasi) dalam
menimbulkan masalah keakuratan, maka disusunlah tabel
setiap kelas diameter dan kelompok jenis (Labetubun 2004;
volume untuk mengkonversi diameter pohon menjadi
Suhendang 1998; Vanclay 1995, 2001).
volumenya. Balitbanghut (2008) telah menyusun tabel volume
Komponen yang bekerja dalam aliran stok pohon (N) adalah
untuk berbagai wilayah di Indonesia melalui pendekatan
ingrowth, upgrowth dan mortality yang merupakan fungsi dari
kelompok pohon. Persamaan tabel volume hutan alam di
kerapatan tegakan (N), diameter (D) dan luas bidang dasar
Kalimantan Tengah selain telah disusun oleh Balitbanghut
(m2/ha) (Buongiorno & Michie 1980; Solomon et al. 1986;
(2008), juga telah dibuat oleh Rombe et al. (1982). Wahyudi
Mengel & Roise 1990). Penentuan komponen yang akan
dan Matthews (1996) menyusun persamaan tabel volume lokal
digunakan tergantung pada nilai koefisien determinasinya yang
di areal PT GM (wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah)
sering berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
dalam proyek percontohan pembentukan KPHP di Kalimantan.
Komponen kelas tapak sering menjadi masalah dalam
Perbandingan ke-3 tabel volume di wilayah Kalimantan tengah
menetapkan model hutan alam karena keterbatasan data, namun
tersebut adalah:
beberapa peneliti sering menetapkan kisaran angka antara 1
- Balitbanghut (2008)
(baik) sampai 0 (buruk).
Kel. meranti V= 0,000101 D2,5844
Ingrowth adalah pertambahan permudaan dalam kelas
Kel. diptero non meranti V= 0,000133 D2,5035
pertumbuhan tertentu menurut fungsi waktu. Ingrowth dapat
Ramin V= 0,000124 D2,5379
dimulai dari tingkat semai yang merupakan fungsi dari jumlah
- Rombe et al. (1982)
pohon fertil (Nguyen & Sist 1998), kelembaban, prosen
Kel. meranti V= 0,000321 D2,3218
perkecambahan alami dan prosen kematian anakan yang terjadi
Kel. diptero non meranti V= 0,000226 D2,4310
dalam waktu satu tahun. Proses perkecambahan akan berjalan
Kel. lain-lain V= 0,000267 D2,3591
normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai
- Wahyudi dan Matthews (1996)
yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai
Kel. meranti V= 0,000118 D2,5617
ke tingkat pancang (upgrowth) dan karena kematian, baik
Kel. diptero non meranti V= 0,000178 D2,4131
kematian alami maupun akibat pemanenan kayu (Indrawan
Kel. komersial lain V= 0,000089 D2,6388
2003a).
Struktur tegakan dalam hutan semua umur senantiasa Upgrowth adalah peluang pohon yang hidup dalam kelas
berubah menurut fungsi waktu dan bentuk perlakuan yang ada diameter tertentu yang pindah ke dalam kelas diameter di
atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi mortality dapat dilakukan dalam beberapa kelompok pohon,
dari nilai tengah diameter (D) dan luas bidang dasar (B) namun dalam perhitungan interaksi dalam ekosistem hutan
(Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon & Kim semua kelompok tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak
1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995). terpisahkan dan saling berhubungan satu dengan lainnya.
Mortality adalah jumlah pohon yang mati dalam kelompok Sebagai contoh, pertumbuhan jenis pohon tertentu dalam hutan
jenis dan kelas diameter tertentu selama satu tahun. Kematian alam campuran yang rapat terutama dipengaruhi oleh kerapatan
pohon dalam hutan yang dikelola dapat disebabkan faktor alam tegakan secara keseluruhan, bukan saja kerapatan kelompok
dan faktor disturbance, seperti efek penebangan, sehingga sulit pohon tersebut. Kerapatan tegakan terutama berhubungan
mengaitkan kematian pohon dalam hutan seperti ini hanya dengan intensitas cahaya serta persaingan tempat tumbuh untuk
sekedar dari faktor alam saja. Berdasarkan hasil penelitian Elias mendapatkan unsur hara, sehingga semakin tinggi kerapatan
(1997) dan Sist and Bertault (1998) bahwa tingkat kerusakan tegakan maka semakin rendah pertumbuhan pohon-pohon
tegakan tinggal, yang dapat bermuara pada kematian, sangat penyusun tegakan hutan.
berkaitan dengan intensitas penebangan yang dilakukan. Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality diolah melalui
Kematian catastropic (pencurian kayu, kebakaran dll) tidak data hasil pengukuran minimal sebanyak empat kali dalam
diperhitungan dalam persamaan yang akan dibuat. kurun waktu masing-masing minimal satu tahun sehingga
diperoleh data pertumbuhan tegakan minimal tiga kali. Makin
banyak data yang diolah makin akurat persamaan yang
dihasilkan.
Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth
merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan (B) dan
kerapatan (N) (Buongiorno & Michie 1980; Coates 2002 dalam
Fyllas 2010; Vancly 2001). Menurut Vanclay (2001)
persamaan ingrowth merupakan fungsi dari jumlah pohon
(kerapatan) dan luas bidang dasar per ha melalui persamaan:
Nr = a + bN - cB
dimana: Nr : ingrowth (phn/ha/th)
N : total stok (phn/ha)
B : luas bidang dasar (m2/ha)
a,b,c : konstanta.
Gambar 10. Model perkembangan tingkat semai pada hutan Buongiorno dan Michie (1980) juga memprediksi ingrowth
alam setelah penebangan (Indrawan 2003a) berdasarkan N dan B. Bosch (1971) memprediksi regenerasi
berdasarkan jumlah pohon mati saja. Vanclay (1989) dalam
Ingrowth dan upgrowth pada dasarnya merupakan gambaran Vanclay (2001) memprediksi ingrowth berdasarkan luas bidang
dari pertumbuhan tegakan hutan sebagai fungsi dari faktor dasar (B) dan kualitas tapak (S) melalui persamaan:
klimatis (iklim mikro), edapis dan jenis atau kelompok jenis. Nr = a+bB+cS.
Pemodelan menggunakan mekanisme ingrowth, upgrowth dan
Buongiorno et al. (1995) membuat persamaan ingrowth, c. Persamaan mortality dibuat konstan.
upgrowth dan mortality untuk mengetahui dinamika hutan tidak dimana:
seumur di Perancis melalui tiga pengelompokkan jenis pohon Igd : ingrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th)
(Fir, Spruce dan Beach) sebagai berikut: Ignd : ingrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th)
m n n Ugd : upgrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th)
2
Ikt = ∑ Nik ∑ B (yijt – hijk) + ek ∑ (ykjt-hkjt) + ck…..(R = 0,37-0,47) Ugnd : upgrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th)
i=1 j=1 j=1 B : total luas bidang dasar tegakan waktu ke-t (m2/ha)
m n D : rata-rata diameter
Uij = pi + qi ∑ ∑ B (yijt – hijt) + sjDj……………...(R2= 0,013-0,4)
Favrichon (1998) membuat persamaan ingrowth, upgrowth
i=1 j=1
dan mortality di hutan tropis Guyana melalui lima
pengelompokkan jenis pohon yaitu (1) sangat toleran naungan,
m n (2) toleran naungan, (3) toleran darurat, (4) intoleran naungan
2
Mij = ui + vi ∑ ∑ B (yijt – hijt) + wjDj ……………(R = 0,07) dan (5) pionir sebagai berikut:
i=1 j=1 a. Persamaan ingrowth:
dimana:
I1 = 15,306 – 13,173 (Yt/Yo) .........................(R2= 0,15)
Ikt : ingrowth jenis ke-k (phn/ha/th)
I2 = 14,562 – 12,358 (Yt/Yo) .........................(R2= 0,15)
Uij : upgrowth jenis ke-i kelas diameter ke-j (phn/ha/th)
I3 = 5,193 – 4,258 (Yt/Yo) .........................(R2= 0,09)
B : total luas bidang dasar semua jenis pohon ke-i, kelas
I4 = 11,320 – 10,670 (Bt/Bo) .........................(R2= 0,20)
diameter ke-j (m2/ha)
I5 = 681,89 e -13,173 (Bt/B0)
Dj : rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm)
b. Persamaan upgrowth:
Mij : mortality jenis ke-i kelas diemeter ke-j (phn/ha/th)
U1= 0,0595-0,0067D+0,00034D2-0,000005D3+0,0521-
d,e,c,p,q,s,u,v,w : konstanta.
0,0424(Bt/Bo)...................(R2= 0,09)
Favrichon dan Kim (1998) membuat model dinamika hutan U2= -0,0438+0,0095D-0,00028D2+0,000003D3+0,1177-
tropis di Kalimantan Timur dengan membuat dua kelompok 0,1213(Bt/Bo)...................(R2=0,22)
pohon, yaitu kelompok dipterocarp dan non dipterocarp, U3= -0,1048+0,0188D-0,00052D2+0,000004D3+0,1642-
melalui persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality sebagai 0,1526(Bt/Bo).................. (R2=0,12)
berikut: U4= -0,1463+0,0269D+0,0009 D2+0,000009D3+0,2313-
a. Persamaan ingrowth : 0,2309(Bt/Bo) ..................(R2=0,17)
Igd = 4,22 – 0,06989 Bt .............. (R2= 0,04) U5= 0,5677-0,0873D+0,00498 D2-0,0000883D3+0,3520-
Ignd = 14,73 – 0,27603 Bt ........... (R2= 0,1) 0,219(Bt/Bo).....................(R2= 0,05)
b. Persamaan upgrowth : c. Persamaan mortality:
Ugd = 0,04764+0,0028D–0,00004772D2+0,000000259D3- M1= 0,0062+0,014 D-0,000018D2 ........(R2= 0,11)
0,00235Bt (R2=0,57) M2= -0,0166+0,002 D-0,00002D 2
........(R2= 0,23)
Ugnd= 0,02204+0,0025D-0,00005429D2+0,00000036D3- M3= 0,0088+0,0004 D-0,000006D 2
........(R2= 0,04)
0,00143Bt (R2=0,71) M4= -0,0056+0,097 D-0,0001D2 ……(R2= 0,63)
M5= -0,148 +0,0236 D-0,0006D2 ……(R2= 0,09)
dimana:
I, U, M : ingrowth, upgrowth dan mortality
Yt dan Yo : pohon pada tahun ke-t dan 0 (phn/ha)
Bt dan Bo : luas bidang dasar pada tahun ke-t dan 0 (m2/ha)
D : rataan diameter pohon.
Dalam rangka menyusun model dinamika pertumbuhan
hutan campuran semua umur untuk memprediksi potensi hutan
pada saat pemanenan, Wahyudi (2011) menggunakan
pendekatan diagram aliran stok yang dimulai dari tiang sampai
tingkat pohon dewasa, karena pada tingkat ini dimungkinkan
mendapatkan data pertumbuhan diameter, luas bidang dasar,
kerapatan dan kubikasi. Model ini disusun berdasarkan
persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality pada kelompok
pohon meranti, dipterocarp non meranti, komersial ditebang
dan komersial lain belum ditebang serta dinamika
perkembangan kerapatan tegakan hutan yang digambarkan
melalui dinamika jumlah pohon (N) per ha dan luas bidang
dasar (B) per ha. Model diagram alir (time lags) tersebut apat
dilihat pada Gambar 11.
Mendoza dan Gumpal (1987) memprediksi pertumbuhan
dan hasil untuk jenis dipterocarp di Pilipina melalui persamaan
yang mengakomodir fungsi luas bidang dasar tegakan tinggal
dan tinggi rata-rata pohon berdiameter 50-80 cm, sebagai Ket: St: stock (N/ha) tiap kelas diameter
berikut: B : luas bidang dasar (m2/ha)
Log(YT) = 1,34 +0,394 Log(B0) +0,346 Log(T) +0.00275 S/T N : kerapatan (N/ha)
dimana: CE : cutting effect (efek tebangan)
YT : hasil produksi (yield) (m3/ha) pada tahun ke-T Tab : tabel volume pohon berdiri
Vol : volume pohon
BO : luas bidang dasar tegakan tinggal (m2/ha) Ingrowth,upgrowth,mortality: Sudah jelas
S : rataan tinggi (m) pada jenis dipterocarp berdiameter
50-80 cm Gambar 11. Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi
T : waktu (tahun) kerapatan tegakan

Dari semua pembahasan tentang pemodelan dinamika hutan


tropis, Vanclay (1995, 2001) menyimpulkan bahwa kualitas
model pertumbuhan dan hasil dipengaruhi banyak faktor, tanaman dimulai dari awal (semai). Paradikma ini dapat
namun yang paling penting adalah kualitas data. Untuk berbeda pada hutan tanaman yang menggunakan jenis-jenis
mendapatkan data yang berkualitas sebaiknya data diambil dari cepat tumbuh (fast growing species) seperti sengon
Petak Ukur Permanen. Sebagian besar model cukup baik (Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocephalus
digunakan pada hutan tanaman namun sangat sedikit untuk cadamba), Akasia (Acacia spp), Ampupu (Eucalyptus spp),
hutan hujan tropis karena kondisinya sangat komplek dan Gmelina arborea, Balsa (Ochroma bicolor), Mahang
jumlah jenis yang sangat banyak dengan berbagai ukuran (Macaranga spp) dan lain-lain. Dengan pemuliaan pohon
sehingga sangat sulit bila didekati dengan hanya beberapa slow growing species dapat menjadi fast growing species,
variable. Pendekatan dengan pengelompokan kelas tegakan seperti jati super.
dapat direkomendasikan karena lebih sederhana dan dapat 3. Mengandalkan sifat alami. Pohon sebagai alat produksi
menyediakan informasi yang lebih mewakili kondisinya. sekaligus sebagai hasil produksi sangat tergantung pada
kondisi alam. Faktor alam yang sangat menentukan
keberhasilan usaha ini adalah faktor iklim (curah hujan,
D. Analisis Finansial intensitas cahaya, suhu, kelembaban, angin dll) dan faktor
tanah (fisik tanah: jenis tanah, tebal tanah, tekstur dan
Usaha di bidang kehutanan mempunyai ciri-ciri khusus yang struktur tanah; kimia tanah: pH, bahan organik, unsur hara,
tidak selalu sama dengan usaha di bidang lainnya. Oleh karena KTK, air tanah; biologi tanah: mikroorganisme, pengurai).
itu perhitungan ekonomi dan analisis finansial harus Pada hutan alam (production natural forest) faktor alam
memperhatikan fenomena ini secara cermat. Ciri-ciri usaha di lebih dominan dibanding hutan tanaman (plantation forest)
bidang kehutanan antara lain: yang dikelola secara intensif.
1. Mempunyai sifat mendua, yaitu pohon atau tegakan hutan 4. Dapat bersifat lestari. Pengelolaan hutan, baik pada hutan
berperan sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil alam maupun hutan tanaman dapat bersifat lestari
produksi itu sendiri. Namun paradikma ini dapat (renewable resources), bahkan siklus tebang dapat tidak
dipatahkan apabila pemanfaatan hutan dapat diperluas, terhingga apabila ekosistem hutan dikelola secara baik dan
seperti untuk ekowisata (ecotourism), cadangan karbon benar.
(carbon stock), kawasan perlindungan dan konservasi serta 5. Berdasarkan daya dukung ekologis. Pembangunan
pemanfaatan hasil hutan non kayu. Pada kenyataannya, kehutanan tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekologis dan
hutan alam tropis mengandung beragam hasil hutan seperti lingkungan setempat.
rotan, getah, gaharu, obat-obatan, sarang walet dan lain-lain 6. Mempunyai manfaat langsung (seperti hasil hutan kayu dan
2. Jangka waktu yang panjang. Sistem TPTI menerapkan non kayu) dan tidak langsung (seperti manfaat lingkungan)
siklus tebang antara 30 sampai 35 tahun dan sistem TPTJ 7. Pada pengelolaan hutan yang berdaur panjang sering
antara 25 sampai 40 tahun. Pada sistem THPB yang mempunyai produktifitas yang rendah (0,5-10 m3/ha/tahun),
menggunakan slow growing species seperti jati (Tectona namun kekurangan itu dapat ditutupi oleh manfaat ganda
grandis), mahoni (Swietenia spp), sungkai (Peronema dari hutan.
canescens), pinus (Pinus merkusii), meranti (Shorea spp) Adakalanya suatu proyek penanaman tidak memberi
dan lain-lain diperlukan daur yang lebih panjang lagi karena keuntungan secara finansial namun tetap dikerjakan karena
untuk perbaikan lingkungan, seperti penghijauan, reboisasi dinyatakan dengan uang, tanpa memandang aspek ekonomi dan
hutan lindung dan kawasan konservasi. manfaat secara keseluruhan, misalnya aspek dan manfaat
Menurut Handadari (2005) jangka waktu yang relatif lingkungan. Analisis finansial dilihat dari sudut usaha atau
panjang pada usaha di bidang kehutanan dapat menimbulkan proyek penanaman modal (investasi) yang menyandarkan pada
resiko usaha yang relatif besar. Biasanya resiko tersebut harga pasar dan biasanya dinyatakan dalam nilai sekarang
muncul dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah, (present value). Perhatian utama dalam analisis finansial
perubahan iklim usaha dan investasi, krisis moneter, bencana adalah hasil atas modal yang ditanamkan dalam suatu proyek.
alam, kebakaran dan lain-lain. Untuk menambah minat Termasuk analisis ini adalah besaran upah dan insentif
investor dalam melakukan kegiatan di bidang pengelolaan karyawan serta semua komponen masukan (input) dan keluaran
hutan, maka dapat dibuat perhitungan dan analisis biaya yang (output) yang terlibat dalam proyek.
diperlukan dalam menjalankan kegiatan tersebut. Perhitungan nilai tegakan hutan yang bersandar pada
Suatu sistem silvikultur akan mempunyai bobot tersendiri manfaat langsung dapat menggunakan pendekatan compound
apabila disertai perhitungan untuk memprediksi pertumbuhan atau discount yang dikumpulkan dalam tahun yang sama.
dan hasil yang akan diperoleh pada akhir daur. Untuk Pendekatan untuk menentukan nilai pada tahun ke-n (Vn) dan
melengkapi perhitungan hasil, maka diperlukan pula nilai sekarang (Vo) menurut Gray et al. (1999) dan Nair (1993)
perhitungan dan analisis finansial agar diperoleh informasi adalah:
menyeluruh tentang sistem silvikultur yang akan digunakan. Vn = Vo (1+i)n dan Vo = Vn / (1+i)n
Dengan demikian serangkaian kegiatan teknis yang dijalankan dimana: i : Suku bunga
dalam sistem silvikultur tertentu dapat bersinergi dengan n : Tahun (tahun ke-n)
kondisi finansial sehingga kinerja perusahaan dapat positif dan
sehat. Sistem silvikultur yang terlalu “teoritis” adakalanya sulit Menurut Djamin (1993), FAO (1979), Gray et al. (1999)
diaplikasikan di lapangan dan memerlukan biaya yang tinggi dan Nair (1993) untuk menilai kelayakan usaha dapat dilakukan
untuk menjalankan. dengan analisis Net Present Value (NPV), Internal Rate of
Menurut Gregory dan Robinson (1972) nilai tegakan Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). NPV adalah
(stumpage value) masih bersifat potensial dan baru bernilai selisih penerimaan (benefit) dengan pengeluaran (cost) yang
apabila dapat dijual dan menguntungkan. Menurut Stenzel et dinyatakan dalam nilai sekarang (present value). IRR adalah
al. (1985) tegakan hutan dapat dianggap sebagai bahan baku nilai discount rate ke-i yang menghasilkan nilai NPV proyek
berbentuk hasil hutan (kayu atau non kayu) yang nilainya sama dengan nol. Sedangkan BCR adalah perbandingan nilai
dipengaruhi oleh jenis, ukuran, kualitas tegakan, potensi penerimaan dengan nilai pengeluaran suatu proyek.
(volume per ha), aksesibiltas dan topografi, pasar dan tipe Agar suatu proyek dapat dikatakan layak, maka nilai NPV ≥
penjualan. Besaran nilai tegakan dapat dinyatakan dengan nilai 0, nilai IRR > suku bunga (social discount rate) dan nilai BCR
moneter kayu berdiri yang merupakan selisih antara nilai jual ≥ 1. NPV yang lebih besar dari nol menjadi indikator adanya
kayu bulat dengan biaya produksi, margin keuntungan dan keuntungan usaha. Apabila waktu efektif dilewati maka NPV
resiko (Nugroho 2002). menurun sampai berada pada titik nol atau negatif. Kondisi ini
Analisis finansial dapat menggambarkan posisi pendapatan disebut batas keuntungan kedaluwarsa (financial maturity
(benefit) dan pengeluaran (cost) suatu kegiatan yang dapat date), yaitu suatu umur yang apabila dilampaui tidak akan
memberikan keuntungan lagi. Berikut ini rumus umum untuk
menghitung NPV, IRR dan BCR : V. TEBANG PILIH INDONESIA
r Bi r Ci
_______ ________
NPV = ∑ - ∑ A. Pengertian dan Dasar Sistem Tebang Pilih Indonesia
t=0 (1+i)t t=0 (1+i)t
NPV1 Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang
IRR = i1 + _____________________ X (i2 –i1) menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting), permudaan
│NPV1 – NPV2│ (regeneration) dan pemeliharaan (tending). Sistem TPI
r Bi r Ci mengkombinasikan beberapa prinsip silvikultur, antara lain:
_______ _______
BCR = ∑ : ∑ a. Penebangan dengan limit diameter dari Indonesia, yaitu
t=0 (1+i)t t=0 (1+i)t Sistem Tebang Pilih dengan Limit Diameter.
b. Tebang Pilih Pilipina (Philippine Selective Logging)
c. Penyempurnaan hutan dengan penanaman sulaman
(enrichment planting)
dimana:
d. Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan
Bt : penerimaan (benefit) tahun ke-t
pengganggu (refining).
Ct : pengeluaran (cost) tahun ke-t
Pedoman Tebang Pilih Indonesia ditetapkan berdasarkan
NPV1 : nilai NPV positif terdekat dengan nol
Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Kehutanan
NPV2 : nilai NPV negatif terdekat dengan nol
(Departemen Pertanian) Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13
r : siklus tebang atau daur tanaman
Maret 1972. Pedoman ini berlaku dari tanggal ditetapkan
t : waktu (tahun)
sampai berlakunya SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan
i : suku bunga
(Departemen Kehutanan) Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989
tanggal 30 Nopember 1989 tentang TPTI.
Tebang Pilih Indonesia menganut sistem silvikultur berdaur
banyak (polycyclic management system) dengan melakukan
tebang pilih pada areal yang telah ditetapkan sebagai lokasi
penebangan. Dasar-dasar penentuan sistem Tebang Pilih
Indonesia adalah:
1. Batas diameter minimum yang boleh ditebang adalah
adalah 50 Cm
2. Pohon muda berdiameter 20-50 cm berada pada tahap
pertumbuhan yang besar. Penebangan terhadap pohon-
pohon tersebut tidak sepadan dengan kerugian dalam
pertumbuhannya.
3. Rotasi tebang 35 tahun didasarkan pada riap diameter inti) dan 2 tanda silang pada pangkal dan setinggi dada
pohon muda sebesar 1 cm per tahun, maka setelah 35 tahun serta arah rebah dengan cat warna kuning.
pohon inti telah mencapai diameter 55 cm (20+35) cm d. Apabila keadaan hutan berpotensi lebih rendah dan
sampai 85 cm (50+35) cm. kurang mempunyai pohon berdiameter 50 cm ke atas,
4. Etat tebang ditentukan 1/35 x 80% x volume standing stok maka dapat diadakan penurunan batas diameter
jenis komersial dengan ketentuan seperti tertera dalam tabel 1 berikut
5. Tidak diperkenankan melakukan tebang ulang sebelum ini:
mencapai akhir siklus tebang (35 tahun)
Sebagai sistem silvikultur yang diciptakan dengan Tabel 2. Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah dan
pengalaman yang cukup lama, sistem TPI dirancang dengan
diameter pohon inti pada sistem silvikultur TPI
menggunakan azas sebagai berikut:
1. Kelestarian hutan
2. Menggunakan teknik silvikultur tebang pilih dengan limit Batas Siklus Jumlah Diameter
diameter diameter tebang Pohon Inti Pohon Inti
3. Pengusahaan hutan yang menguntungkan (cm) (th) (Phn) (cm)
4. Pengawasan 50 35 25 35
40 45 25 35
30 55 40 20
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI
Etat tebang disesuaikan dengan rotasi tebang dan volume
1. Inventarisasi tegakan (Et – x) standing stock pohon komersial.
a. Inventarisasi tegakan dan permudaan untuk
mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan 2. Persemaian (ET-x)
ini dilakukan berdasar Rencana Tebangan dan Sebelum dilakukan kegiatan penebangan harus dibuat
Rencana Tahunan Pengusahaan Hutan serta dilakukan terlebih dahulu persemaian untuk pengadaan bibit dari
sebelum diadakan penebangan. jenis-jenis komersial yang sesuai dengan tempat tumbuh.
b. Penunjukkan dan penandaan pohon inti, yaitu pohon Bibit dapat berasal dari biji atau cabutan anakan alam.
yang akan membentuk tegakan utama pada rotasi Luas persemaian harus sebanding dengan luas kesatuan
tebang berikutnya. Pohon inti berukuran 35-50 Cm, operasional. Penyediaan bibit dilakukan dengan
diberi nomor urut dan tanda cat berwarna kuning perhitungan jumlah penyulaman sebanyak 20%.
melingkar batang. Pohon inti menggunakan jenis B = T + (Tx20%)
komersial dengan jumlah 25 pohon per Ha. dimana B: jumlah bibit yang dibuat
c. Penunjukkan dan penandaan pohon tebang, yaitu T: perhitungan jumlah penanaman
pohon yang berdiameter 50 cm ke atas. Pohon tebang 3. Penebangan dan penyaradan
diberi nomor urut (bergabung dengan nomor pohon a. Penebangan dilakukan pada pohon-pohon yang telah
diberi tanda silang
b. Luas tempat pengumpulan kayu (TPn) disesuaikan dapat sembuh dan tidak mengganggu
dengan luas penebangan. kwalitas dan kwantitas pohon di
- Luas penebangan < 10 Ha, maka luas TPn 0,22- kemudian hari
0,3 Ha - Rusak : tidak dapat baik kembali dan pertum-
- Luas penebangan 10-15 Ha, maka luas TPn 0,3- buhan menurun.
0,35 Ha
5. Pembebasan (Et+x)
- Luas penebangan > 15 Ha, maka luas TPn 0,5
a. Pembebasan dilakukan untuk membebaskan
Ha.
permudaan jenis perdagangan dari tumbuhan
c. Penebangan dan penyaradan kayu diusahakan
pengganggu.
meminimalkan kerusakan tegakan tinggal, pohon inti
b. Tujuan pembebasan adalah untuk membantu
dan permudaan lainnya. Jalan sarad harus dibuat
pertumbuhan pohon muda dan permudaan terutama
sebelum penyaradan. Arah tebangan searah dengan
jenis kayu perdagangan dengan membebaskan dari
jalan sarad. Pada waktu hujan tidak dianjurkan untuk
saingan akar, ruang tumbuh dan cahaya. Jenis-jenis
menyarad kayu, karena akan memperbesar kerusakan
liana kecuali rotan dipotong pada pangkal batang.
tanah dan erosi.
Jenis pohon pengganggu (wood species) perlu
d. Pada penyaradan sistem High Lead Yarding, harus
ditebang, diteras dan di racun. Pohon-pohon yang
menempatkan spar tree yang tepat sehingga
tidak mengganggu pohon inti tidak perlu dibunuh
memungkinkan penyaradan log ke atas dan memakai
karena dapat melindungi tanah dan cadangan kayu.
parit dan jurang sebagai jalan kabel utama (main
cable ways). Jarak penyaradan tak boleh lebih dari 6. Penanaman sulaman (Et+1)
250-300 m. Bila log tersangkut pada pohon, tidak a. Untuk menjamin azas kelestarian maka perlu
diperbolehkan dipaksakan ditarik. Jumlah cable dilakukan kegiatan penanaman sulaman pada bekas
ways yang keluar dari TPn tidak boleh lebih dari 12 tebangan 1 tahun yang lalu.
dan dapat digunakan pohon penahan (rub trees) b. Pada tanah terbuka seperti bekas TPn, jalan traktor,
untuk melindungi pohon inti dan permudaan. jalan kabel, jalan lori dan lain-lain perlu dilakukan
4. Inventarisasi tegakan sisa (ITS) (Et+x) penanaman sulaman dengan bibit yang berasal dari
a. Kegiatan Inventarisasi Tegakan Sisa (ITS) dilakukan persemaian.
setelah penebangan (Et+x). Pohon yang perlu di c. Pada blok tebangan (kesatuan operasional) yang
inventarisasi adalah pohon komersial atau jenis kayu tidak atau kurang mengandung permudaan tingkat
perdagangan berdiameter dibawah 50 Cm khususnya semai dan pancang dari jenis komersial juga
pohon inti. Pohon inti diinventarisasi 100% dilakukan penanaman sulaman.
sedangkan pohon lainnya dengan sampling.
7. Pencegahan erosi parit (gully erosion)
b. Kerusakan pohon dapat dibedakan sebagai berikut:
Bekas jalan traktor atau kabel pada tanah yang miring
- Sehat : tidak rusak atau kerusakannya sedikit
yang dapat menimbulakn bahaya erosi parit harus dibuat
sekali
galangan atau parit horisontal.
- Luka : ada kerusakan pada tajuk atau akar tapi
2. Menurut Soerianegara, pada hutan yang kaya jenis
perdagangan dengan potensi 100 m3/ha, penebangan dan
8. Pengamanan hutan penarikan kayu akan banyak menimbulkan kerusakan
a. Pemangku hutan (HPH) bekerja sama dengan hutan, terutama pada pohon-pohon muda dan permudaan
instansi pemerintah harus mencegah terjadinya alam, sehingga sistem TPI sukar dilaksanakan.
perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan Sistem TPI telah mengalami revisi pada tahun 1980 melalui
liar pada bekas tebangan dengan mengerjakan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Arah revisi
penjaga hutan (forest guard). terutama pada penurunan diameter minimal pohon inti dari 35
b. Jumlah penjaga hutan disesuaikan dengan luas cm menjadi 20 cm dan jumlahnya dari 40 batang/ha menjadi 25
areal pengelolaaan. Luas 1.000-5.000 Ha batang/ha. Syarat pelaksanaan TPI dalam revisi ini disajikan
ditempatkan 1 penjaga hutan, 6.000-10.000 Ha dalam tabel berikut ini.
ditempatkan 2 penjaga hutan dan setiap luas
10.000 Ha ditempatkan 2 penjaga hutan. Tabel 3. Syarat pelaksanaan sistem TPI dalam pedoman TPI
hasil revisi Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi
9. Pemeliharaan permudaan (Et+5)
Lahan tahun 1980.
a. Pemeliharaan permudaan dilakukan 5 tahun
setelah penebangan
Pohon Diameter Siklus Jatah tebang
b. Kegiatan berupa pembebasan pohon muda dan No Tipe inti phn inti tebang tahunan
permudaan jenis niagawi hutan minimal minimun (tahun) (etat volume)
c. Diadakan ulangan penanaman sulaman (phn) (cm)
d. Bila perlu dengan penjarangan Hutan 1/35x80%xmassa
1. alam 25 20 35 tegakan
campuran
C. Evaluasi Sistem TPI Hutan 1/35x80%xmassa
2. eboni 16* 20 45 tegakan
Evaluasi sistem TPI dilakukan pada seminar Reforestation campuran
dan Afforestion di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta Hutan 1/35x80%xmassa
tanggal 23-24 Agustus 1974. Pada seminar ini konseptor TPI, 3. ramin 15** 20 35 tegakan
campuran
Ir. Sugiarto Warsopranoto, menyatakan bahwa:
Keterangan: *) Kekurangan dipenuhi dengan jenis lain
1. Pada hutan dengan potensi jenis kayu perdagangan yang
rendah, 10-30 m3/ha, penebangan hutan dengan sistem TPI Pada hutan eboni campuran, jumlah pohon inti jenis eboni
tidak banyak menimbulkan kerusakan hutan, karena pohon sebesar 16 batang per hektar dan sisanya 9 batang per hektar
yang ditebang per hektar tidak banyak. Namun dapat berasal dari jenis perdagangan lainnya. Pada hutan ramin
dikhawatirkan adanya over cutting jenis-jenis tertentu dan campuran, jumlah pohon inti jenis ramin sebesar 15 batang per
penebangan pohon-pohon dengan diameter kurang dari 50 hektar dan sisanya 10 batang per hektar dapat berasal dari jenis
cm. perdagangan lainnya.
Pada tahun 1987 dibentuk tim materi, Panitia Pengarah dan atau Lophopetalum multinervium di Kaltim yang sulit
Panitia Penyelenggara Diskusi Penyempurnaan Pedoman menerapkan konsep tebang pilih.
Tebang Pilih Indonesia berdasarkan SK Kepala Badan Litbang 7. Pelaksana TPI harus mempunyai dasar yang kuat tentang
Kehutanan Nomor 02/1987 tanggal 6 Januari 1987 dengan tipe dan kondisi hutan, baik struktur maupun
anggota dari staf Badan Litbang, Fahutan IPB dan Fahutan komposisinya.
UGM. Data diambil dari pelaksanaan TPI pada beberapa HPH 8. Belum adanya pengaturan anggaran kegiatan perencanaan
seperti PT Silvasaki, PT Hatma Santi (Riau), PT Kayu Lapis dan pembinaan hutan.
Indonesia (Kalbar), PT Inhutani II, PT Hutan Kintap (Kalsel) 9. Belum ada pemisahan organisasi yang menangani kegiatan
dan PT Inhutani I, PT ITCI, PT BFI (Kaltim). Hasil kajian sebelum penebangan (perencanaan), pemanenan dan
menunjukkan bahwa pada tegakan sisa sistem TPI masih kegiatan setelah penebangan (pembinaan hutan).
mengandung jumlah pohon inti berdiameter 20 cm yang cukup
dan munculnya permudaan alam yang melimpah pada rumpang
bekas tebangan. Hasil kerja tim dan panitia tidak dipergunakan
untuk penyempurnaan sistem TPI.
Dalam pelaksanaan di lapangan belum semua praktisi
melaksanakan TPI secara baik dan benar. Beberapa tahapan
silvikultur yang sering ditinggalkan adalah inventarisasi
sebelum eksploitasi, menyisihkan pohon inti dalam jumlah
cukup, inventarisasi tegakan bekas penebangan, penanaman
perkayaan, penanaman tanah terbuka dan pemeliharaan tegakan
bekas penebangan. Penyimpangan yang sering muncul pada
pelaksanaan TPI juga tidak terlepas dari masih adanya beberapa
kelemahan sistem ini, seperti:
1. Belum ada kepastian dan kejelasan hasil pembinaan hutan
karena indikator keberhasilan sulit diukur dan memerlukan
waktu yang lama.
2. Biaya operasional dalam skala yang luas sangat tinggi
3. Kekurangan tenaga ahli dan staf teknis kehutanan
4. Kurang seimbang antara kegiatan pemungutan hasil
dengan pembinaan hutan. Intensitas pemungutan hasil
lebih besar dibanding pembinaannya.
5. Lebih sulit dilaksanakan dibanding sistem tebang pilih
biasa karena adanya variasi limit diameter
6. Tidak tahu menggunakan sistem TPI pada kondisi tertentu,
misalnya pada hutan alam Duabanga moluccana di NTB
Pada edisi ini sistem TPTI dilengkapi dengan ketentuan
menyediakan anggaran untuk kegiatan pembinaan hutan serta
V. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA menyediakan tenaga teknis yang memadai. Beberapa tahapan
kegiatan teknis dirubah meskipun tidak terlalu signifikans
pengaruhnya, seperti terlihat pada Tabel 4.
A. Pengertian dan Dasar Sistem TPTI
Tabel 4. Perbedaan tahapan kegiatan teknis pada sistem TPTI
Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tahun 1989 dan 1993
adalah rangkaian kegiatan terencana tentang pengelolaan hutan.
Rangkaian kegiatan teknis yang terdapat dalam sistem ini N Kegiatan Tahapan Kegiatan
adalah kegiatan perencanaan sebelum penebangan, teknik o TPTI
penebangan dan kegiatan pembinaan hutan setelah penebangan, 1989 1993
yang kesemuanya ditujukan untuk menjamin kelestarian hutan 1. Penataan Areal Kerja (PAK) Et-3 Et-3
termasuk kelestaian hasil hutan baik kayu maupun non kayu. 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Et-2 Et-2
Secara prinsipil sistem TPTI tidak berbeda jauh dengan Penebangan
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et-1 Et-1
sistem TPI. Beberapa kelemahan sistem TPI telah dikoreksi,
4. Penebangan Et Et
direvisi sampai akhirnya diganti dengan sistem silvikultur baru 5. Perapihan - Et+1
berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 6. Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Et+1 Et+2
tentang sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di 7. Pembebasan I Et+1 Et+2
Indonesia, yang ditindak lanjuti dengan SK Dirjen Pengusahaan 8. Pengadaan Bibit Et+2 Et+2
Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman 9. Penanaman (Rehabilitasi)/ Pengayaan Et+2 Et+3
Tebang Pilih Tanam Indonesia. Sistem TPTI memperbaiki 10 Pemeliharaan Tanaman Et+3 Et+3,4,5
kekurangan sistem TPI dengan menetapkan ketentuan sebagai 11 Pembebasan II dan III Et+4 Et+4,6
berikut: 12 Penjarangan Tegakan Tinggal I, II, III Et+9, Et+10,
1. Kegiatan pembinaan hutan mendapat perhatian yang lebih 14,19 15,20
besar dengan membentuk organisasi pembinaan hutan yang 13 Penelitian Terus -
14 Perlindungan Terus -
terpisah dengan organisasi kegiatan lainnya termasuk Sumber: SK Dirjen PH No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 dan
organisasi kegiatan sebelum penebangan dan penebangan. SK Dirjen PH No.151/Kpts/IV-BPHH/1993
2. Menetapkan batas limit diameter pohon tebang sebesar 50
cm ke atas pada hutan produksi dan 60 cm ke atas pada Dalam sistem silvikultur TPTI edisi 1993 tidak dimasukkan
hutan produksi terbatas Penelitian dan Perlindungan hutan. Pelaksanaan kedua
3. Menetapkan siklus tebang 35 tahun dan jumlah pohon inti kegiatan tersebut diatur dalam ketentuan tersendiri. Sistem ini
berdiameter 20-59 cm sebanyak 25 pohon/ ha. juga mempunyai daya elastisitas yang membedakan praktek
Pada tahun 1993 dikeluarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan pengelolaan pada hutan produksi tetap dan hutan produksi
Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993 terbatas. Kelenturan ini sering diterjemahkan oleh masing-
tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia edisi revisi. masing daerah dengan membuat ketentuan yang lebih sesuai
dengan kondisi hutan di daerahnya. Sebagai contoh, 1. Penataan Areal Kerja
berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 2144/Kwl- 3. Pembukaan Wilayah Hutan
3/IX/1996 tanggal 11 September 1996 ditetapkan bahwa pada 4. Pemanenan
wilayah kerja provinsi Kalimantan Tengah kegiatan Perapihan 5. Penanaman dan pemeliharaan
serta Pembebasan I, II dan III tidak dilaksanakan pada Hutan 6. Pembebasan pohon binaan
Produksi Terbatas (HPT) untuk kepentingan konservasi tanah 7. Perlindungan dan pengamanan hutan
dan air serta perlindungan biodiversity. Bentuk, tahapan dan tata waktu kegiatan sistem TPTI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor selengkapnya (berdasarkan juknis TPTI tahun 1993) sebagai
P.11/Menhut-2/2009 tentang sistem silvikultur pada areal izin berikut:
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan
produksi, sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia adalah 1. Penataan Areal Kerja (PAK) ET-3
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam
a. Penataan Areal Kerja (PAK) adalah kegiatan untuk
Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan Tebang Habis Permudaan
mengatur dan membuat batas blok kerja tahunan serta petak
Buatan (THPB). Petunjuk teknis keempat sistem tersebut
kerja bagi kepentingan perencanaan, pelaksanaan,
dituangkan dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan
pemantauan dan pengawasan unit pengelolaan hutan. Batas
Nomor P.9/VI/BPHA/2009. Dalam ketentuan tersebut tidak
blok dan petak kerja dilapangan berupa rintisan dan patok
dicantumkan tata waktu pelaksanaan kegiatan secara ketat dan
batas, selanjutnya digambar dalam peta kerja.
penghapusan beberapa tahapan kegiatan seperti perapihan,
b. Blok kerja tahunan adalah blok yang dibuat untuk
inventarisasi tegakan tinggal dan penjarangan. Pada kawasan
pengelolaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Batas blok
hutan produksi terbatas tidak dilakukan pula kegiatan
kerja tahunan dapat dibuat menggunakan batas alam atau
pembebasan.
buatan. Petak kerja adalah bagian dari blok kerja tahunan
yang luasnya 100 Ha berbentuk bujur sangkar yang dibuat
dengan batas buatan.
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI
Penataan untuk seluruh areal pengelolaan dilakukan dengan
membagi luas total dengan siklus tebangnya, yaitu 35
Tahapan pelaksanaan kegiatan sistem TPTI yang lebih
tahun. Dengan cara ini maka realisasi luas penebangan
lengkap mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal
tidak akan mencapai 100% dari rencana karena di dalamnya
Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal
selalu ditemukan areal tidak efektif (seperti sarana
19 Oktober 1993. Pada Peraturan Dirjen BPK
prasarana dan lain-lain) serta kawasan perlindungan (PUP,
No.P.9/VI/BPHA/2009, tahapan dan petunjuk kegiatan TPTI
tegakan benih, plasma nutfah, sempadan sungai dan lain-
dibuat lebih umum sehingga memberi ruang yang lebih banyak
lain).
bagi para praktisi untuk mengembangkan teknik
pelaksanaannya. Tahapan kegiatan yang masih diberlakukan
pada sistem TPTI tahun 2009, tanpa menyertakan tata
waktunya, adalah:
Urutan blok kerja tahunan dalam RKL serta angka periode
RKL. Pada bagian atas ditandai menjadi 4 bagian masing-
1980/81 1981/82 82/83 86/87 87/88 masing menunjuk nomor petak kerja.
(1) (2) (3) (7) (8)
f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
(36) (37) (dst)
89/90
obat-obatan. Peralatan terdiri GPS, Theodolit/BTM/T-nol,
83/84 84/85 85/86 88/89
(4) (5) (6) (9) (10) Kompas, Peta kerja, Thally sheet, Tali 25 m, alat tulis
menulis, penanda (cat).
1998/1999 95/96 94/95 92/93 90/91 g. Regu kerja PAK terdiri 10 orang, terdiri 1 ketua regu
(19) (16) (15) (13) (11) (pemegang GPS dll), 1 pencatat, 2 pemegang tali dan
rambu, 2 perintis jalan, 2 pemasang tanda batas, 1
1999/2000 97/98 96/97 93/94 91/92
(20) (18) (17) (14) (12) pembantu umum, 1 pembawa alat ukur. Pimpinan regu dari
tenaga berpengalaman seperti dari SKMA, Sarjana muda,
2000 2002 2008 2009 2010 Sarjana kehutanan.
(21) (23) (29) (30) (31) h. Pelaksanaan kegiatan PAK adalah menelaah peta kerja
skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok
2001 2003 2007 2014 2011
(22) (24) (28) (35) (32) permanen), menentukan titik ikatan, membuat batas blok
dan petak kerja serta membuat peta hasil kerja skala
2004 2005 2006 2013 2012 1:10.000.
(25) (26) (27) (34) (33)
Tabel 5. Contoh thally sheet kegiatan penataan areal kerja

Gambar 12. Contoh penataa blok kerja tahunan dalam unit Tahun kegiatan : Luas :
manajemen sistem TPTI. Anak panah Lokasi kegiatan :
menunjukkan contoh pergiliran pengelolaan blok Titik Ikat : Azimut:
kerja tahunan. Rencana blok tahun :

Waktu No. Panjang alur Jumlah pal batas Jumla Jumlah


c. Maksud PAK adalah membuat batas blok dan petak kerja Ptk batas h biaya
untuk memudahkan pengelolaan unit pengelolaan hutan, Blok Petak Blok Petak Bh HOK
dengan tujuan untuk mengatur areal kerja sehingga (Hm) Hm (B)
pengelolaan hutan dapat tertib dan efisien.
d. Penetapan blok kerja tahunan berdasarkan daur yang
diperkirakan mempunyai produktifitas hampir sama serta
Total
mempertimbangkan bentang alam, seperti punggung,
lereng, lembah dan sungai.
e. Pal batas blok kerja tahunan dibuat dengan kayu keras
berukuran 10x10x180 Cm bertuliskan angka tahun RKT,
2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (Koompassia exelsa) dll. Pohon dilindungi diberi label
(ITSP) ET-2 kuning bertuliskan identitas pohon.
a. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) adalah PT.
kegiatan pengukuran, pencatatan dan penandaan pohon RKT
dalam blok kerja tahunan untuk mengetahui jumlah, jenis, No. Petak PT.
No. Pohon RKT
diameter dan tinggi pohon tebang, pohon inti dan pohon Jenis No.Petak
dilindungi serta data bentang alam seperti sungai, bukit, Diameter No.Phn
jurang, kawasan dilindungi. Label 1 Jenis
No. Petak Diameter
b. Maksud kegitan ITSP adalah mengetahui penyebaran pohon No.Pohon
dalam tegakan meliputi jumlah dan komposisi jenis serta Jenis
volume pohon tebang, mengetahui jumlah jenis pohon inti Label 2
dan lindung yang dipelihara sampai rotasi berikutnya. No. Petak
No.Pohon
Tujuan ITSP adalah mengetahui data penyebaran pohon Jenis
tebang terdiri dari komposisi jenis, jumlah dan volume Label 3
pohon yang digunakan untuk menetapkan target produksi 8 Cm
tahunan pada blok bersangkutan, mengetahui arah trace Label pohon tebang Label pohon inti dan lindung
jalan dan perencanaan penggunaan peralatan eksploitasi
serta tenaga kerja. Gambar 13. Contoh label pohon tebang, pohon inti dan pohon
c. ITSP dilakukan dalam petak ukur (PU) berukuran 20x20m. dilindungi
PU terletak dalam jalur sepanjang 1000m. Dalam setiap
petak mengandung 50 Jalur. ITSP dilakukan dengan IS
100% terhadap semua pohon berdiameter 20 Cm ke atas.
d. Pohon tebang adalah pohon berdiameter 50 cm ke atas (60
cm ke atas untuk HPT) yang diberi label 3 bagian berwarna
merah berukuran 12x6 Cm. Tiap label bertuliskan identitas
pohon meliputi RKT, Petak, Nomor, Jenis, Diameter dan
Tinggi pohon.
e. Pohon inti adalah pohon komersial berdiameter 20-59 Cm
(20-59 Cm untuk HPT) diberi label warna kuning
bertuliskan identitas pohon.
f. Pohon dilindungi adalah jenis pohon penghasil buah dan
hasil hutan non kayu lainnya yang dimanfaatkan
masyarakat setempat, seperti Tengkawang (Shorea spp),
Gaharu (Aquilaria sp dll), Jelutung (Dyera spp), Daha
Gambar 14. Penandaan dan penempelan label pohon inti pada
kegiatan ITSP
–10 s/d 10 serta sumbu y dengan nilai 0 s/d 20. Dari
Tabel 6. Contoh thally sheet kegiatan ITSP koordinat pohon dibuat peta pohon dengan skala 1:1.000.
k. Pelaksanaan kegiatan ITSP adalah menelaah peta kerja
Nama HPH : Luas :
skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok
Lokasi kegiatan : Nomor petak :
permanen) dan menentukan titik ikatan, menentukan petak
Rencana blok RKT : Nomor jalur :
yang akan dikerjakan, membuat jalur utara selatan dari
Waktu kegiatan :
nomor 1 s/d 50. Inventarisasi dalam jalur dilakukan setiap
No. No. Jenis Φ T Koordinat Pohon Kelerengan
Petak Ukur.
PU Phn Pohon X Y (+/-) l. Dalam satu petak kerja nomor urut pohon, baik pohon
1 2 3 4 5 6 7 8 tebang, pohon inti maupun pohon dilindungi, diurut dari
PU 1 Jalur 1 s/d PU 50 Jalur 50. Koordinat pohon dibuat
berdasarkan sumbu x yang merupakan as jalur dengan nilai
–10 s/d 10 serta sumbu y dengan nilai 0 s/d 20. Dari
koordinat pohon dibuat peta pohon dengan skala 1:1.000.
g. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et-1
1:10.000, pengukur tinggi, pita diameter, klinometer, alat a. Pembukaan Wilayah Hutan adalah kegiatan penyediaan
rintis, tabel volumeThally sheet, Tali 25 m, alat tulis prasarana (jalan) wilayah bagi kegiatan produksi kayu,
menulis, penanda (cat), plat plastik merah dan kuning, pembinaan hutan, perlindungan, inspeksi, transportasi dan
paku. komunikasi antar pusat kegiatan. Hasil kegiatan PWH
h. Regu kerja PAK terdiri 10 orang, terdiri 1 pemegang berupa jaringan jalan utama, cabang dan sarat, TPn, TPK,
kompas, 2 pemegang tali batas, 2 orang rintis batas jalur, 2 Camp dll.
pengenal dan pengukur pohon, 2 penanda pohon, 1 b. Sebelum pembuatan jalan dilakukan, didahului dengan
pencatat. Pimpinan regu dari tenaga berpengalaman seperti pembuatan trace jalan, yang merupakan rintisan tempat
dari SKMA, Sarjana muda, Sarjana kehutanan. badan jalan akan dibuat. Tim trace jalan terdiri dari 5-7
i. Pelaksanaan kegiatan ITSP adalah menelaah peta kerja orang yang dipimpin tenaga yang mengerti karakteristik
skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok bentang alam dan konstruksi jalan. Pembuatan trace jalan
permanen) dan menentukan titik ikatan, menentukan petak memperhatikan topografi, sungai, kondisi tanah, arah
yang akan dikerjakan, membuat jalur utara selatan dari perbukitan dan lembah.
nomor 1 s/d 50. Inventarisasi dalam jalur dilakukan setiap c. Jalan utama mempunyai spesifikasi: umur permanen, sifat
Petak Ukur. tahan cuaca, lebar permukaan jalan 6-8 m, lebar bahu jalan
j. Dalam satu petak kerja nomor urut pohon, baik pohon 2-3 m, tebal perkerasan 20-50 cm, tanjakan menguntungkan
tebang, pohon inti maupun pohon dilindungi, diurut dari 10% dan kapasitas 60 ton. Jalan cabang dengan perkerasan
PU 1 Jalur 1 s/d PU 50 Jalur 50. Koordinat pohon dibuat mempunyai spesifikasi umur 5 tahun, sifat tahan cuaca,
berdasarkan sumbu x yang merupakan as jalur dengan nilai
lebar jalan diperkeras 4 m, tebal perkerasan 10-20 cm, peta ber skala 1:10.000. Biasanya dapat terjadi pergeseran
tanjakan 12%, kapasistas 60 ton. atau perbedaan antara trace jalan dengan badan jalan jadi.
d. Pembuatan jalan diluar areal uni manajemen disebut jalan Hal ini disebabkan adanya faktor alam dan data bentang
koridor. Setiap kegiatan pembuatan jalan harus mendapat alam yang sulit dideteksi sebelum kegiatan operasional di
ijin dari instansi berwenang. jalankan.
e. Teknis pembuatan jalan harus menghindari tanjakan berat,
teknis punggung penyu dan membuat saluran drainase di
kiri kanan jalan. Pembuatan jembatan, gorong-gorong dan
knepel dapat dilakukan bila diperlukan.

Gambar 15. Jaringan jalan untuk pengangkutan kayu bulat dari Gambar 16. Pengukuran jaringan jalan menggunakan theodolit
blok tebangan menuju TPK atau logpond atau
IPHHK (Foto: Wahyudi) h. Semua pohon yang berada dalam jalur jalan dapat ditebang.
Pohon yang bernilai dapat diregister, dicacat dalam buku
f. Peralatan untuk membuat badan jalan antara lain chain ukur dan dapat di LHP kan sebagai target tebangan trace
saw, traktor (buldozer), motor grader, dump truck dan lain- jalan.
lain.
g. Setelah badan jalan dibuat, dilakukan pengukuran secara
cermat menggunakan theodolit serta pemasangan pal Km
dan rambu lalu lintas. Hasil pengukuran dituangkan dalam
4. Penebangan ( Et ) vegetasi pengait pohon tebang. Membuat jalur lari pada
saat pohon rebah dll.
a. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-
g. Pohon yang telah ditebang dilakukan triming. Pada
pohon dalam tegakan yang berdiameter sama atau lebih
tunggak pohon diberi label 1, balok diberi label 2 dan label
besar dari limit diameter yang ditetapkan. Pada hutan
3 disimpan untuk laporan administrasi TUK dan
produksi (HP) limit diameter sebesar 50 Cm, pada hutan
pengupahan.
produksi terbatas 60 cm, pada hutan rawa 40 cm, trace jalan
h. Penyaradan dilakukan dengan traktor melalui jalan sarad
30 cm dan pada hutan tanaman sesuai peruntukkan/kelas
menuju TPn. Penyaradan semaksimal mungkin
perusahaan.
menggunakan winch atau seminimal mungkin menjelajahi
b. Tahapan kegiatan penebangan pohon adalah penentuan arah
hutan. Makin pendek jalan sarad makin baik untuk
rebah, penebangan, pembagian batang, penyaradan,
menekan kerusakan lingkungan.
pengupasan dan pengangkutan (haulling).
i. Kayu yang telah terkumpul di TPn dilakukan pengupasan
c. Maksud kegiatan penebangan adalah memanfaatkan kayu
kulit, dicatat dalam buku ukur untuk pembuatan Laporan
secara optimal dari blok tebangan yang telah disahkan atas
Hasil Produksi (LHP). Semua bontos kayu tebang diberi
pohon yang berdiameter sama tau lebih besar dari limit
palu Tok sesuai kode perusahaan.
diameter serta meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
Tujuan penebangan adalah mendapatkan keuntungan
perusahaan berupa kayu dengan jumlah yang cukup serta
bermutu.
d. Pelaksanaan penebangan berdasarkan pada buku RKT yang
telah disahkan instansi berwenang, dengan peta kerja skala
1:10.000 yang memuat jaringan jalan utama, cabang (dan
sarad) serta peta penyebaran pohon skala 1:1000.
e. Penebangan dilakukan oleh regu tebang dengan
memperhatikan kaidah takik rebah dan takik balas. Arah
rebah dipilih pada lokasi yang seminimal mungkin merusak
tegakan tingggal, tidak mengarah ke jurang atau tempat
berbatu serta searah dengan jalan sarad agar kegiatan
penyaradan dapat berlangsung dengan efisien dan menekan
kerusakan tegakan. Tekik rebah dibuat serendah mungkin
untuk memperkecil limbah pembalakan. Banir yang besar
Gambar 17. Tempat pengumpulan kayu
dapat dipangkas dahulu untuk mempermudah penebangan.
f. Regu tebang harus memperhatikan keselamatan.
j. Kayu bulat yang berada di TPn diangkut menuju TPK
Menggunakan helm, masker, sarung tangan dll. Sebelum
menggunakan logging truck. Pada beberapa HPH, kayu di
pohon ditebang harus dihilangkan dahulu liana atau
TPK selanjutnya dibawa ke logpond untuk dimilirkan ke
IPKH, baik dengan cara merakit dan atau menggunakan
tongkang. Setiap kayu yang diangkut harus disertai daftar diharapkan volume jalan sarad dan jalan cabang dapat ditekan
mutasi kayu. Setiap kayu yang dimilirkan harus disertai sehingga mengurangi kerusakan tegakan tinggal, tanah dan air.
dokumen Daftar Hasil Hutan (DHH) dan Surat Keterangan Dengan semakin pendeknya jaringan jalan, maka produktifitas
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh pembalakan juga semakin tinggi karena daya jelajah dan
instansi kehutanan terkait. penggunaan BBM dapat ditekan.
Menururt Wahyudi dan Panjaitan (2008) Sistem Reduced
Tabel 7. Thally sheet kegiatan penebangan Impact Logging (RIL) dapat meningkatkan daya jelajah traktor
sarad dibanding sistem konvensional dengan perbandingan
Perusahaan : Target luas : 1,22 km per jam dan 0,863 km per jam atau meningkat sebesar
Lokasi kegiatan : Target Volume: 141,4%. Sistem RIL dapat meningkatkan kemampuan
RKL/Tahun ke : penyaradan kayu bulat dibanding sistem konvensional dengan
perbandingan 61,39 m3 per jam dan 23,58 m3 per jam atau
Bulan No. Luas Luas Jumlah Volume Ket meningkat 286,2%. Dengan menggunakan BBM solar yang
Petak (Ha) (Ha) Pohon (m3) relatif sama, sistem RIL dapat meningkatkan daya jelajah
Januari
traktor dan hasil penyaradan kayu bulat, dibanding sistem
Pebruari
Maretl konvensional. Sistem RIL dapat meningkatkan produktifitas
………. kerja, menghemat biaya operasional, efisien dan meminimalkan
Jumlah kerusakan tegakan tinggal, tanah dan air.

Tabel 8. Perbandingan sistem RIL dan konvensional pada


Reduced Impact Logging jelajah traktor, produksi kayu dan konsumsi BBM
Reduced Impact Logging (RIL) atau pembalakan ramah
lingkungan mulai diperkenalkan sejak awal tahun 90-an. Hari Ulangan Jelajah Traktor (Km) Volume Kayu (m3) BBM Solar (Liter)
Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif pada Kerja Ke (n) RIL Konvens. RIL Konvens RIL Konvens
vegetasi atau tegakan tinggal dan tapak (tanah dan air) akibat 1 (7jam) 1 7,411 4,542 413,78 101,56 166 166
kegiatan eksploitasi hutan serta meningkatkan efisiensi,
2 (7jam) 2 8,831 6,855 445,75 179,21 175 175
efektifitas dan produktifitas kerja.
Kegiatan RIL dimulai dari tahapan ITSP, PWH dan 3 (7jam) 3 8,722 5,983 459,02 165,44 150 175
penebangan. Pada kegiatan ITSP didata pula kondisi bentang 4 (7jam) 4 9,211 6,784 400,45 154,25 173 167
alam, azimut dan kelerengan sehingga dapat dibuat peta kontur. Jumlah 34,175 24,164 1.719 600,46 664 683
Peta ini kemudian dipadukan dengan peta penyebaran pohon
sehingga dapat dirancang jaringan jalan sarad yang mengarah
pada sebaran pohon tebang serta kondisi kelerengan yang Elias (1999) mengatakan bahwa pemanenan kayu cara
konvensional dalam sistem TPTI mengakibatkan kerusakan
relatif datar. Jaringan jalan lebih utama menyusuri punggung
bukit dibanding pada lembah. Dengan rancangan ini lebih berat dan lebih besar pada tanah dan tegakan tinggal
dibanding dengan sistem yang berwawasan lingkungan.
Pemanenan kayu yang berwawasan lingkungan dapat serta menebas belukar yang rapat sehingga dapat
mengurani sampai 50% kerusakan dibanding dengan cara menghalangi jatunya biji ke lantai hutan.
konvensional. Sementara menurut Sukanda (1999), berdasarkan e. Regu perapihan terdiri 6 orang yang tugas utamanya adalah
hasil penelitian di Wanariset Sangai, kerusakan tegakan tinggal menebas. Bahan yang diperlukan adalah camping unit,
yang diakibatkan pemanenan dengan penerapan RIL dapat logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta
dikurangi sampai 40%. kerja skala 1:10.000, parang, thally sheet dll.
Dengan perencanaan jalan sarad yang tepat, tidak akan
ditemukan tanjakan atau turunan yang tajam pada penyaradan, Tabel 9. Thally sheet perapihan
hal ini membuat aktifitas traktor sarad berjalan dengan lancar,
mudah dan efisien serta memperpanjang masa pakainya. Perusahaan : Blok RKT tahun:
Pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dengan hasil yang Lokasi kegiatan : Luas :
maksimal.
Bulan No. Petak Penataan Ulang Luas Jumlah
Blok (Hm) Perapihan Biaya
Januari
5. Perapihan Et+1 Pebruari
a. Perapihan adalah kegiatan pada areal bekas tebangan dengan Maret
………
memperbaiki batas blok dan petak kerja agar tegakan tinggal
Jumlah
mudah diinventarisasi, diperbaiki serta ditingkatkan
produktifitasnya.
b. Perapihan dilakukan dengan penebasan semak belukar yang
6. Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Et+2
dimaksudkan untuk membuang jenis tumbuhan yang tak
berharga yang menyaingi permudaan serta mengganggu a. Inventarisasi tegakan tinggal adalah kegiatan pengukuran
jatuhnya biji ke lantai hutan dan tempat kosong. pohon dan permudaan serta pencatatannya pada areal
c. Maksud kegiatan perapihan adalah untuk memudahkan tegakan tinggal untuk mengetahui komposisi jenis,
kegiatan silvikultur seperti inventarisasi, pembebasan, penyebaran dan kerapatan pohon dan permudaan serta
penentuan pohon binaan serta mempertahankan permudaan jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti.
dalam jumlah cukup, menyiapkan kehadiran permudaan b. ITT dilakukan pada setiap petak kerja sesuai hasil ITSP,
baru. Tujuannya adalah meningkatkan mutu tegakan untuk yang terdiri dari jalur (ada 50) dan setiap jalur terdiri dari
dipersiapkan menjadi tegakan yang memiliki produktifitas Petak Ukur (PU) sesuai tingkat pertumbuhan pohon.
tinggi serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan c. Beberapa istilah yang perllu diketahui dalam kegiatan ITT
bekerja. adalah
d. Perapihan dilakukan dengan menebas semak belukar yang - Pohon inti adalah pohon jenis komersial (niagawi)
mengganggu permudaan sampai setinggi 7 cm, menebas berdiameter 20-49 cm (20-59 cm untuk HPT) yang akan
perambat (liana) kecuali rotan dan jensi berharga lainnya membentuk tegakan utama dan pohon tebang pada
rotasi berikutnya. Jumlah pohon inti minimal 25
pohon/Ha, bila kurang dapat ditunjuk pohon lainnya.
PU pengamatan berukuran 20x20 m. Inventarisasi As Jalur
dilakukan pada jenis, diameter, tinggi dan
kerusakannya.
- Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda
berdiameter 10-20 cm. PU berukuran 10x10 m.
Inventarisasi dilakukan pada jenis dan jumlahnya
(diameter)
- Permudaan tingkat pancang adalah permudaan yang
lebih tinggi dari 1,5 m dengan diameter kurang dari 10 20x20 m
Cm. PU berukuran 5x5 m. Inventarisasi dilakukan pada
jenis dan jumlahnya.
- Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang PU
tingginya 0,3-1,5 m. PU berukuran 2x2 m. 10x10

Inventarisasi dilakukan pada jenis dan jumlahnya. PU


5x5 m
- Pohon dikatakan rusak bila tajuknya rusak lebih dari PU 2mx2m
30% atau cabang besar patah atau terdapat luka lebih 20 m
dari ¼ keliling dengan panjang lebih dari 1,5 m.
d. Maksud kegiatan ITT adalah mengetahui jumlah, jenis dan Gambar 18. Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuhan
mutu pohon inti dan permudaan dan mengetahui jenis dan vegetasi dalam kegiatan ITT
jumlah pohon inti yang rusak serta tingkat kerusakannya
pada masing-masing petak kerja. data ITT juga f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
dipergunakan untuk mengetahui letak dan luas penanaman obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala
dan perkayaan. Tujuan ITT adalah untuk menentukan 1:10.000, parang, pengukur tinggi, pita diameter,
perlakuan silvikultur pada petak kerja tahunan serta letak klinometer, alat rintis, tabel volumeThally sheet, Tali 25 m,
dan luas lokasi penanaman dan perkayaan. alat tulis menulis, penanda (cat), kwas, plat/label plastik
e. Suatu areal tidak perlu dilakukan perkayaan bila pada PU kuning, paku, spidol permanen, helm dll.
20x20 m ditemukan minimal 1 pohon inti, bila tak ada g. Tim ITT terdiri dari 7 orang dengan pembagian tugas 1
turun pada PU 10x10 m minimal ada 2 tiang, bila tak ada orang ketua regu (pencatat), 1 kompasmen, 2 perintis batas
turun pada PU 5x5 m minimal ada 4 pancang, bila tak ada jalur, 2 pemberi tanda dan 1 pemegang tali. dapat ditambah
turun pada PU 2x2 m minimal ada 8 semai (kaidah 1-2-4- dengan 1 orang pembantu umum sehingga jumlah 8 orang.
8). Bila batas minimal pada PU 2x2 m juga tidak dipenuhi
maka lokasi tersebut diberi patok bercat kuning yang
artinya perlu diperkaya bila jumlah tersebut mengelompok
lebih dari 1 Ha (25 PU).
Tabel 11. Thally sheet tempat kosong dan kurang permudaan
hasil ITT

RKL/RKT : Petak :
Nomor Nomor PU Kosong Nomor PU Kurang
Jalur Permudaan
1
2

7. Pembebasan Pertama (Et+2)


a. Pembebasan pertama adalah kegiatan pemeliharaan tegakan
tinggal berupa pembebasan tajuk dari 200 pohon dan
permudaan komersial (pohon binaan) per Ha (jarak antar
Gambar 19. Kegiatan ITT (Foto: Wahyudi)
pohon 5-9 m) dari persaingan dengan vegetasi lain.
b. Kegiatan pembebasan dapat berupa penebangan pohon
Tabel 10. Thally sheet inventarisasi tegakan tinggal
penyaing, peneresan yang dapat membunuh pohon tersebut
dan peracunan dengan arborisida (garam organik isopropil-
Perusahaan : Nomor Petak :
amin-glyfosat)
RKL/RKT : Waktu kegiatan :
c. Maksud pembebasan I adalah mengadakan ruang tumbuh
HO Rp
yang optimal bagi pohon binaan. Tujuannya adalah
PU Pohon inti Tiang Pancang Semai
Jenis Φ Jenis Jumlah Jenis Jumlah Jenis Jumlah K meningkatkan riap pohon binaan untuk memperbesar
produktifitas tegakan tinggal sehingga nilai komersialnya
1 tinggi.
2
…. d. Kriteria pohon binaan adalah jarak rata-rata 5-9 m, jenis
50 komersial, ukuran terbesar disekitarnya, batang sehat, lurus,
Jlh bundar/silindris, tajuk besar dan rimbun, semua jenis pohon
termasuk yang dilindungi.
e. Dilarang membunuh pohon yang dilindungi, semua pohon
yang tidak mengganggu pohon binaan, pohon yang berada
dalam sempadan sungai atau danau dan pohon besar
(berdiameter 50 Cm up).
f. Label yang sudah ada pada saat kegiatan ITSP dan ITT dengan baik untuk tujuan budidaya. Benih dikatakan baik
tetap dilanjutkan dan diperbaiki. apabila mempunyai kemurnian dan daya kecambah tinggi
g. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan (>80%). Biji adalah bakal bibit yang belum mendapat
obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala perlakuan. Biji dapat dipergunaan untuk makanan,
1:10.000, parang, pengukur tinggi, pita diameter, budidaya atau lain keperluan.
klinometer, thally sheet, Tali 25 m, alat tulis menulis, c. Bedeng tabur adalah bedengan yang berisi media/tanah
penanda (cat), kwas, plat/label plastik kuning, paku, spidol untuk membiakkan benih. Benih yang berukuran kecil
permanen, helm dll. seperti Jelutung, Jabon, Sengon dll dapat dibiakkan melalui
h. Regu Pembebasan ada 8 orang terdiri 1 orang ketua regu, 2 bedeng tabur, sedangkan biji berukuran besar seperti
orang pengenal pohon, 2 orang menebas dan meneres, 2 Meranti, Jati, Ulin, Mahoni dll dapat langsung disemai
orang membawa kapak dan racun arborisida dan ikut dalam polly bag. Biji yang berukuran sangat kecil dapat
meneres dan 1 orang membawa arborisida cadangan. melalui bedeng sapih.
d. Persemaian adalah areal pembuatan dan pemeliharaan bibit
Tabel 12. Thally sheet pembebasan tahap pertama yang lokasinya tetap dan dibangun dengan penataan yang
sesuai serta berhubungan dengan penghutanan kembali
Perusahaan : Waktu : areal kosong dan hutan rusak. Persemaian ada 3 tipe, yaitu
Lokasi : persemaian sederhana, semi permanen dan permanen.
e. Maksud pengadaan bibit adalah untuk memperoleh bibit
PU Phn Inti Tiang Pancang Semai Phn di H R yang bermutu tinggi dalam jumlah yang memadai dan tata
Jns ∑ Jns ∑ Jns ∑ Jns ∑ bunuh O p
K
waktu yang tepat. Tujuannya adalah meningkatkan
1 produktifitas hutan berupa kayu dengan menggunakan bibit
2 berkualitas.

50
f. Pada prinsipnya pengadaan bibit dapat berasal dari benih,
cabutan dan stek (vegetatif). Pengadakan bibit yang berasal
dari benih dapat dilakukan untuk jenis Dipterocarp
8. Pengadaan Bibit (Et+2) (Meranti, Keruing dll), Sengon, Jati, Ulin, Mahoni, Karet,
buah-buahan dan lain-lain. Pengadakan bibit dari stek
a. Pembibitan adalah kegiatan dimana biji atau bibit yang dapat dilakukan untuk jenis Sungkai, Dipterocarp (Meranti,
berasal dari hutan / kebun bibit/ kebun pangkas Kapur dll) dan lain-lain sedangkan dari cabutan anakan
dikumpulkan dan dipelihara pada suatu lokasi yang tertata alam dapat dilakukan untuk jenis Dipterocarp.
dengan baik. Pengadakan bibit adalah kegiatan yang g. Pengadakan bibit dari biji dan stek sungkai dapat berumur
meliputi penyiapan tempat pembibitan, pengadaan sarana 3-5 bulan, dari cabutan anakan alam berumur 5-8 bulan dan
dan prasarana serta kegiatan lain yang berhubungan dengan dari stek pucuk Dipterocarp dapat berumur sekitar 1 tahun.
pengadaan bibit. h. Perawatan bibit dapat dilakukan dengan penyiraman,
b. Bibit adalah anakan yang akan dibudidayakan. Benih pemupukan, penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama
adalah adalah biji yang telah diseleksi dan diperlakukan dan penyakit serta perenggangan. Sebelum bibit diangkut
dan ditanam di lapangan, terlebih dahulu harus
diadaptasikan dengan cara mengeluarkan dari bedengan 9. Pengayaan dan rehabilitasi (Et+3)
untuk disusun dalam kotak bibit.
a. Pengayaan adalah kegiatan penanaman pada areal bekas
i. Bibit dikatakan baik mempunyai ciri-ciri sehat, segar, daun
tebangan yang kurang cukup mengandung permudaan jenis
lebat, tinggi sekitar 25-40 Cm, kokoh/ tidak ceking,
niagawi dengan tujuan untuk memperbaiki komposisi jenis,
perakaran kompak, lurus, tidak patah.
penyebaran pohon dan nilai tegakan. Jarak tanam
pengayaan adalah 5x5 m
b. Rehabilitasi adalah kegiatan penanaman pada bidang
kosong di dalam kawasan hutan agar setiap bidang hutan
memiliki produktifitas dan nilai maksimum. Jarak tanam
kegiatan rehabilitasi adalah 3x3 m.
c. Areal yang perlu dikayakan adalah areal yang kurang
permudaan yang luasnya lebih dari 1 Ha atau kumpulan dari
25 PU hasil ITT yang kurang permudaan secara
mengelompok.

Gambar 20. Persemain untuk memproduksi bibit berkualitas

Tabel 13. Thally sheet pengadaan bibit


Perusahaan : Luas persemaian :
Lokasi persemaian : Waktu (bln) :
Jenis Bibit Jumlah Bibit Jumlah Tanam
Biji Cabut Stek Jumlah Biaya Pada Blok
I. Stok Awal
II. Penambahan
III. Pengurangan Gambar 21. Hasil kegiatan penanaman Shorea spp
IV...Stok Akhir

Jumlah Akhir d. Kegiatan penanaman harus didahului dengan persiapan


lapangan, pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam.
Polly bag bibit harus ditancapkan diatas ajir untuk
memastikan bahwa polly bag telah dilepas. Penimbunan
kembali lubang yang telah berisi bibit sebaiknya 10. Pemeliharaan (Et+3,4,5)
menggunakan top soil dari lantai hutan. Penanaman
a. Pemeliharaan adalah kegiatan perawatan tanaman, baik
dilakukan pada waktu musim hujan. Bila dilakukan pada
tanaman hasil pengayaan maupun rehabilitasi, dengan cara
musim kemarau harus dipersiapkan sarana penyiraman.
membersihkan jalur penanaman (penyiangan), membunuh
e. Maksud kegiatan rehabilitasi/pengayaan adalah menambah
gulma dan pohon penyaing, memperbaiki sifat fisik tanah
jumlah anakan semai dengan cara menanam pada areal
dan tempat penanaman (pendangiran dll) serta penyulaman.
bekas tebangan yang tidak atau kurang memiliki permudaan
b. Maksud kegiatan pemeliharaan adalah membebaskan
jenis niagawi serta menanam pada areal terbuka seperti
tanaman baru hasil pengayaan rehabilitasi dari berbagai
bekas Tpn dan TPK, bekas jalan sarad serta area terbuka
bentuk gangguan tumbuhan pengganggu serta menyulam
lainnya. Tujuannya adalah memperbaiki komposisi jenis
tanaman mati dengan bibit sehat. Tujuannya adalah
dan penyebaran permudaan jenis niagawi serta
mempertahankan jumlah tanaman pohon niagawi dan
meningkatkan nilai dan produktifitas tegakan tinggal.
memacu pertumbuhan dan produktifitasnya.
f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
c. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala
obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala
1:10.000, parang, cangkul, alat rintis, thally sheet, Tali
1:10.000, parang, alat tebas/rintis, cangkul, Thally sheet,
dengan simpul 3 dan 5 meter, alat tulis menulis, helm dll.
Tali bersimpul 3 dan 5 m, alat tulis menulis, helm dll.
g. Regu pengayaan/rehabilitasi terdiri 12 orang terdiri 1 orang
d. Regu pemeliharaan berjumlah 6 orang terdiri 1 orang ketua
ketua regu, 1 orang kompasmen, 2 orang membuat jalur
regu/pencatat data, 4 orang membersihkan jalur tanam dan
penanaman, 2 orang mencari ajir ITT dan memasang ajir
1 orang pembantu umum.
penanaman, 2 orang membuat lubang tanam, 2 orang
membawa bibit dan 2 orang menanam.
Tabel 15. Thally sheet pemeliharaan tanaman pengayaan dan
rehabilitasi
Tabel 14. Thally sheet pengayaan dan rehabilitasi
Perusahaan : Luas RKT :
Perusahaan : Nomor petak :
Lokasi : Waktu pelaksanaan :
Lokasi : Waktu kegiatan :
No. Nomor PU Nomor PU Jenis Jumlah Biaya
Nomor Nomor PU Nomor PU Jenis Jumlah Jumlah Biaya Jalur Pengayaan Pekerjaan HOK (Rp)
Rehabilitasi
Jalur Pengayaan Rehabilitasi Bibit Bibit HOK (Rp)
1
1
2
2
3

4
50

Jumlah
50
Jumlah
1:10.000, parang, kapak, botol racun, jerigen racun, alat
11. Pembebasan Kedua (Et+4) dan Ketiga (Et+6) rintis, Thally sheet, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas,
helm dll.
a. Pembebasan Kedua dan Ketiga adalah pengulangan
f. Regu pembebasan II dan III masing-masing ada 8 orang
seperlunya pembebasan pertama agar tajuk pohon binaan
dengan pembagian tugas 1 orang ketua regu/pencatat data, 4
selalu menerima cahaya matahari langsung dari atas atau
orang penebas, 2 orang peracun dan 1 orang pembantu
samping serta memiliki ruang rumbuh tajuk yang baik.
umum.
b. Pohon binaan yang dibebaskan ini adalah 200 pohon
niagawi terpilih per Ha, termasuk 25 pohon inti. Kriteria
12. Penjarangan I, II dan III (Et+10, +15 dan +20)
pohon binaan adalah jarak 5-9 m, jenis niagawi, ukuran
terbesar dalam kelompoknya, tajuk dan batang sehat, semua a. Penjarangan adalah kegiatan penyingkiran penyaing pohon
pohon berdiameter di atas 40 cm yang sehat dan baik serta binaan bilamana pohon binaan telah berupa tiang dan
pohon dilindungi. pohon. Penjarangan sebaiknya difokuskan pada
c. Maksud kegiatan ini adalah memelihara kebebasan sinar penjarangan tajuk, yaitu penjarangan untuk membuang
dan ruang dari tajuk pohon binaan agar riap pohon binaan penaung dan pendesak tajuk pohon binaan. Pohon binaan
maksimal. Tujuannya memusatkan riap tegakan kepada adalah 200 pohon binaan per Ha termasuk pohon inti (sama
pohon binaan yang merupakan pohon niagawi terbaik dengan pembebasan II dan III).
dalam tegakan tinggal dan letaknya tersebar merata. b. Maksud kegiatan penjarangan adalah untuk
d. Yang perlu dibunuh dalam kegiatan pembebasan ini adalah mempertahankan riap pohon binaan yang tinggi.
semua liana kecuali rotan dan jenis niagawi serta pohon Tujuannya adalah untuk memusatkan riap tegakan tinggal
yang mengganggu pohon binaan. kepada pohon-pohon binaan yang merupakan pohon terbaik
dalam tegakan tinggal.
Tabel 16. Thally sheet pembebasan kedua dan ketiga c. Penjarangan I (Et+10) dibebaskan minimal 200 tajuk pohon
binaan. Penjarangan II (Et+15) dibebaskan minimal 150
Perusahaan : Waktu : tajuk pohon binaan. Penjarangan I (Et+20) dibebaskan
Lokasi : minimal 100 tajuk pohon binaan.
d. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan
PU Phn Inti Tiang Pancang Semai Phn di H R obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala
Jns ∑ Jns ∑ Jns ∑ Jns ∑ bunuh O p
K
1:10.000, parang, kapak, botol racun, jerigen racun, alat
1 rintis, Thally sheet, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas,
2 helm dll.
3

e. Regu penjarangan I, II dan III masing-masing ada 6 orang
50 dengan pembagian tugas 1 orang ketua regu/pencatat data, 2
orang penebas, 2 orang peracun dan 1 orang pembantu
e. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan umum.
obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala
f. Pelaksanaan kegiatan penjarangan adalah: Kepala regu yang menyerupai kondisi alam ketika pohon tua mati dan
berjalan ditengah jalur menunjuk pohon binaan yang harus tumbang. Pada celah bekas tebangan ini banyak dijumpai
dirawat dan pohon penyaing yang harus dibunuh sambil permudaan alam yang tumbuh relatif baik dibanding daerah
mencatat jumlah dan jenisnya perpetak ukur 20x20m. sekitarnya yang masih tertutup oleh tegakan. Faktor yang
Penebas mendatangi pohon binaan untuk membersihkan paling menentukan adalah meningkatnya intensitas sinar yang
lahan di sekitar pohon binaan. Juru racun mendatangi merangsang pertumbuhan anakan.
pohon penyaing untuk membunuh penyaing pohon binaan. Sistem TPTI diharapkan dapat mengadakan perbaikan
Pembantu umum berjalan paling belakang untuk komposisi jenis dengan melakukan kegiatan penanaman/
mengoreksi. Pembantu umum berjalan paling belakang perkayaan (enrichment planting) pada areal hutan yang kurang
untuk mengoreksi pekerjaan penebas. Tidak diperbolehkan permudaan dan pada areal yang kosong seperti bekas jalan
membunuh pohon yang bukan penyaing walaupun dari sarad, bekas TPn dan TPK serta tempat kosong lainnya.
jenis tidak komersial atau pohon cacat. Pemilihan jenis untuk penanaman/pengayaan disesuaikan
dengan keadaan ekologis setempat khususnya keadaan tanah
Tabe 17. Thally sheet penjarangan I, II dan III dan cahaya.
Penanaman dapat menggunakan jenis pionir domestic
Perusahaan : Nomor petak :
(seperti jabon, sungkai) atau exotic (seperti sengon, akasia,
Lokasi : Nomor jalur :
ampupu) yang ditanam pada tempat terbuka. Sedangkan
Luas : Waktu kegiatan :
pengayaan menggunakan jenis toleran yang masih memerlukan
Nomor Pohon Binaan Pohon Di Bunuh Jumlah Jumlah
naungan tegakan seperti jenis Dipterocarpaceae.
PU Jenis Jumlah Jumlah jenis HOK Biaya (Rp) Kelebihan TPTI dibanding sistem sebelumnya (TPI) adalah
1 pemisahan dan memberikan porsi kegiatan pembinaan hutan
2
3
sejajar dengan kegiatan pemanenan, dengan membuat
4 organisasi pembinaan hutan dan penyediaan anggaran yang
5 lebih memadai. Namun kelemahan TPTI yang juga terdapat
..
50
pada TPI adalah lemah dan sulitnya pengawasan kegiatan,
terutama kegiatan pembinaan hutan serta belum ada kriteria dan
Jumlah indikator yang jelas tentang keberhasilan kegiatan pembinaan
hutan seperti penanaman, pembebasan dan penjarangan.
Sistem TPTI dengan penebangan menggunakan limit
C. Evaluasi Sistem TPTI diameter 50 cm menimbulkan kerusakan 25-40 % (Inhutani II,
1992) atau 15-25 % bila menerapkan RIL (Sukanda, 1998).
Sistem TPTI telah mengikuti kaidah alami dengan Menurut Triyono (1995) kerusakan tegakan akibat pemanenan
menerapkan sistem tebang pilih, menebang jenis-jenis pohon sebesar 36,1% yang terdiri dari kerusakan akibat penebangan
komersial dengan limit diameter 50 cm ke atas pada hutan sebesar 5,25% dan kerusakan akibat penyaradan sebesar
produksi tetap dan 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas. 30,98%.
Bekas tebangan pohon pada sistem TPTI membentuk celah
Beberapa catatan lain pada pelaksanaan sistem TPTI adalah secara langsung berhubungan dengan pembengkakan biaya.
sering terjadi kelebihan bibit di persemaian karena kemampuan Pos-pos pembiayaan tersebut antara lain gaji tenaga survei,
regenerasi alami hutan alam yang sangat tinggi secara premi, keperluan logistik, akomodasi dan biaya administrasi.
kuantitas. Perusahaan sering kesulitan menemukan lokasi Efektifitas sering dikaitkan dengan tingkat pencapaian sasaran
penanaman karena areal yang semula dinyatakan kosong dari suatu kegiatan. Sasaran kegiatan pembinaan hutan dalam
(ketentuan 1, 2, 4, 8 dalm ITT) ternyata telah tertutup kembali sistem TPTI adalah meningkatkan riap tanaman dan tegakan
dengan anakan alam pada saat penanaman hendak tinggal. Namun pada kenyataannya, keberadaan tanaman selalu
dilaksanakan. tidak muncul seperti yang diharapkan karena kemampuan
Kondisi hutan bekas penebangan dengan sistem TPTI selalu regenerasi hutan alam yang sangat tinggi. Tegakan tinggal
terlihat masih lebat, namun ternyata banyak mengandung yang sangat rapat dengan komposisi yang sangat banyak
pohon-pohon cacat, baik cacat dari awal (alami) maupun cacat menimbulkan keraguan untuk melakukan pembebasan dan
akibat kegiatan eksploitasi hutan serta terjadi perubahan penjarangan dengan alasan biodiversitas, tingkat manfaat dan
komposisi jenis karena sebagian besar jenis komersial telah efektifitas pekerjaan tersebut.
ditebang. Dengan menggunakan peralatan GPS maka kegiatan PAK
Masih terdapat kesulitan dalam penerapkan tata waktu konvensional sering kurang efisien, karena penataan secara
kegiatan ITT dan pembibitan pada sistem TPTI tahun 1993 juga keseluruhan terhadap areal kerja sebenarnya telah dilakukan
menambah kebingungan para praktisi lapangan. Perusahaan diluar kegiatan TPTI. Kegiatan ITSP pada hutan tropis dengan
tidak dapat menentukan jumlah bibit yang harus dibuat pada komposisi floristik yang sangat tinggi, rapat, lebat dan komplek
tahun berjalan karena informasi areal kosong dan kurang yang dilakukan dengan intensitas 100% terhadap setiap
permudaan masih didatakan pada kegiatan ITT. Pemerintah individu pohon (diameter dan tinggi pohon) menimbulkan
sempat mengeluarkan kebijakan pembuatan bibit 1:20, artinya beban kerja tersendiri. Akibat beratnya beban kerja ini banyak
1 pohon di tebang harus membuat 20 bibit. Permasalahan sejak praktisi yang mengambil jalan pintas. Bukti-bukti pekerjaan
awal bukan pada keengganan perusahaan membuat bibit atau disiapkan hanya untuk memenuhi peraturan bukan tuntutan
menanam, namun pada masalah ketidaktersediaan lokasi pekerjaan.
penanaman. Akhirnya over supply bibit terus terjadi. Memang Kegiatan pembukaan wilayah hutan dan eksploitasi hutan
agak aneh, disatu sisi terjadi over supply bibit dan sisi lain banyak menggunakan keahlian teknik sipil. Pekerjaan ini telah
realisasi penanaman tidak terpenuhi dan diduga terjadi memasuki ranah road construction dan sarat dengan
penurunan kualitas komposisi hutan yang mengancam penggunaan alat-alat berat. Banyak perusahaan yang
kelestarian hasil (sustained yield) sebagai bagian dari menyerahkan pekerjaan ini kepada kontaktor atau membentuk
kelestarian hutan (sustained forest). divisi khusus yang agak jauh dari „profesi rimbawan“. Dari
Para praktisi di lapangan sering memandang tahapan sistem beberapa hasil penelitian, jumlah anggaran pada pekerjaan ini
TPTI terlalu banyak dan panjang sehingga kurang efisien dan selalu di atas 60% dari total cast flow yang ada, seakan-akan
tidak efektif dilaksanakan. Efisiensi selalu dikaitkan dengan kegiatan pengusahaan hutan alam hanyalah kegiatan eksploitasi
jumlah anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan hutan.
serta manfaat yang didapatkan dari kegiatan tersebut. Sistem Kegiatan penanaman sering tidak efektif karena dominasi
TPTI memerlukan tenaga survei yang sangat banyak yang permudaan alam yang melimpah di areal bekas tebangan.
Kegiatan perawatan tanaman menjadi tidak efektif pula karena Sistem ini diterapkan pada hutan alam produksi di areal
keberadaan tanaman yang selalu tereduksi oleh permudaan IUPHHK atau KPHP dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
alam serta tingkat revegetasi yang sangat tinggi di areal hutan. 1. Penataan Areal Kerja (PAK)
Pembebasan dan penjarangan ditujukan untuk memberi 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP)
ruang tumbuh yang optimal pada pohon binaan agar mencapai 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
riap maksimal. Kegiatan ini seharusnya dilakukan dengan 4. Pemanenan
mematikan pohon-pohon yang menjadi pesaing, bukan hanya 5. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan
mematikan liana dan vegetasi kecil (karena mudah dilakukan) 6. Pembebasan Pohon Binaan (hanya pada hutan produksi tetap
serta hanya mencatat dalam thally sheet saja. Mematikan dan tidak pada hutan produksi terbatas)
sejumlah pohon pesaing menimbulkan kontroversi dari aspek 7 Perlindungan dan Pengamanan Hutan.
biodiversitas serta efektifitas pekerjaan. Dengan hanya Secara umum juknis sistem TPTI 2009 telah banyak
berbekal parang, tim pembinaan tidak akan mampu mematikan mengakomodir usul dan saran dari berbagai kalangan yang
sejumlah pohon pesaing karena jenis ini banyak terdiri dari menghendaki peraturan/juknis TPTI tidak memasuki hal-hal
pohon berkayu keras. Peracunan pohon dalam kegiatan teknis yang dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat
pembinaan hutan dalam skala besar dapat membawa lainnya serta memberi ruang gerak yang lebih luas bagi para
permasalahan tersendiri mengingat keberadaan zat kimia teknisi/ rimbawan di lapangan untuk mengembangkan
berbahaya dapat membahayakan kesehatan (manusia dan kreatifitas, ilmu pengetahuan dan idealismenya.
binatang) serta merusak lingkungan. Pohon-pohon yang Berdasarkan penelitian Balitbang Kehutanan, riap tegakan
diracuni akan mati secara perlahan sehingga tegakan hutan hutan alam bekas tebangan adalah 1,749 m3/ha/th *). Data ini
pasca dibina sangat berbahaya untuk dimasuki pada tahapan bersifat lokal pada kawasan hutan produksi yang efektif untuk
kegiatan berikutnya ataupun untuk keperluan lain karena produksi dan tidak memperhatikan kawasan hutan produksi
mengandung banyak pohon mati yang sewaktu-waktu dapat yang tidak efektif produksi seperti tegakan benih, plot
roboh. penelitian (PUP), sarana prasarana dan tanah kosong dalam
Dengan alasan efisiensi dan efektifitas inilah maka kegiatan kawasan hutan serta keberadaan kawasan lindung di sana
TPTI (1989 dan 1993) direvisi kembali dengan juknis TPTI seperti sempadan sungai, koridor satwa, buffer zone, kawasan
2009 seperti tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Dirjen BPK pelestarian plasma nutfah, hutan kerangas (heath forest), areal
No. P.9/VI/BPHA/2009. kelerengan curam >40% dan lain-lain. Menurut Suparna
Prinsip-prinsip sistem TPTI 2009 adalah: (2010), produktifitas kawasan hutan produksi (secara
1. Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur keseluruhan) di Indonesia hanya berkisar antara 0,07 m3/ha/th
2. Teknik pemanenan dengan tebang pilih sampai 0,67 m3/ha/th pada periode 1992 sampai 2008.
3. Meningkatkan riap sebagai aset Produksi kayu bulat nasional dari hutan alam produksi pada
4. Mempertahankan keanekaragaman hayati tahun 2008 sebesar 4,6 juta m3 yang bersal dari kawasan hutan
Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan produktivitas produksi (308 unit manajemen) seluas 25,9 juta ha atau 18,13
hutan alam tegakan tidak seumur (unevenaged stands) melalui juta ha yang aktif. Berdasarkan data tersebut, maka
tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka produktifitas hutan alam produksi hanya 0,18 m3/ha/th sampai
memperoleh panenan yang lestari. 0,25 m3/ha/th saja. Dengan demikian, apakah sistem
pengelolaan hutan alam produksi saat ini telah memenuhi model harus dapat ditunjukkan melalui validasi model,
prinsip kelestarian hasil (sustained yield) atau kelestarian hutan koefisien determinasi serta mean absolute percentage error
(sustained forest) ? (MAPE). Dengan model ini kita dapat menentukan siklus
Menurut Indrawan (2003a), sistem TPTI di Inhutani 1 tebang lestari berdasarkan target tebang yang diinginkan (Lihat
mempunyai siklus lestari untuk rotasi I dan II masing-masing Gambar 11).
pada 24 tahun dan 37 tahun sedangkan pada PT.Ratah Timber
(Kaltim) pada 30 tahun dan 43 tahun (Indrawan, 2003b).
Menurut Wahyudi (2011) sistem TPTI di PT GM (Kalteng)
mempunyai siklus lestari untuk rotasi I dan II masing-masing
pada 29 tahun dan 37 tahun. Dengan demikian penentuan
waktu siklus tebang tidaklah sama pada setiap kawasan hutan
produksi, melainkan tergantung pada komposisi floristik,
struktur dan komposisi, tegakan tinggal masing-masing.
Menurut Wahyudi (2011) pertumbuhan tegakan tinggal pada
hutan bekas tebangan dipengaruhi oleh:
1. Jenis pohon (dapat dikelompokkan)
2. Tingkat pertumbuhan dan kelas diameter pohon
3. Faktor bawaan (genetik) yang bisa diimprove melalui
pemuliaan pohon
4. Faktor iklim (curah hujan, suhu, intensitas cahaya, iklim
mikro)
5. Faktor tanah (kedalaman, jenis tanah, kelerengan, sifat fisik,
kimia dan biologi tanah)
6. Ingrowth, upgrowth dan mortality
7. Intensitas penebangan dan kelerengan lahan
8. Target tebangan
9. Sistem pembalakan
10. Kerapatan tegakan yang dicerminkan melalui kerapatan (N
per ha) dan luas bidang dasar (LBD) per ha.
11. Faktor lain seperti kelas tapak (site class), fotosintesis,
diameter tajuk, kesehatan pohon dan lain-lain.
Faktor-faktor di atas bekerja secara simultan dan saling
terkait. Adakalanya beberapa data masih sulit didapatkan,
seperti kemampuan fotosintesis, kelas tapak dan kesehatan
pohon, sehingga pemodelan dinamika tegakan tinggal hanya
menggunakan data yang tersedia. Untuk selanjutnya akurasi
ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl dan memiliki
kelerengan lapangan rata-rata maksimal 25%.
VI. TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR Pada tahun 2005 muncul petunjuk teknis yang mengatur
sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) namun
masih menggunakan nama sistem Tebang Pilih Tanam
A. Pengertian dan Dasar Sistem TPTJ Indonesia Intensif (TPTII), berdasarkan SK Direjen BPK
No.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. Sistem
Sistem silvikultur Tebang dan Tanam Jalur (TPTJ) TPTII ini menggunakan lebar jalur tanam 3 meter dengan jarak
dirancang untuk untuk menjawab kelemahan sistem TPTI pada tanaman 2,5 meter serta lebar jalur antara 17 meter.
aspek penanaman dan pengawasannya. Dengan menyiapkan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
tempat penanaman secara lebih baik, terutama dari segi P.11/Menhut-2/2009 tentang sistem silvikultur pada areal izin
penyinaran dan ruang tumbuh, dalam bentuk gap memanjang usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan
(jalur) maka pertumbuhan tanaman dapat berjalan lebih optimal produksi, sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia adalah
dan aspek pengawasan dapat dilakukan lebih mudah. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam
TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan Tebang Habis Permudaan
435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Buatan (THPB). Petunjuk teknis keempat sistem tersebut
Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem dituangkan dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan
Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Nomor P.9/VI/BPHA/2009 dan petunjuk teknis TPTJ terdapat
Pengelolaan Hutan Produksi Alam. pada Lampiran 2.
Sistem Tebang Pilih Tanam jalur (TPTJ) adalah sistem Prinsip-prinsip sistem TPTJ adalah
silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas 1. Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur.
diamater minimal 40 cm diikuti dengan permudaan buatan 2. Teknik pemanenan dengan tebang pilih.
dalam jalur selebar 3 m. Jalur antara selebar 22 m (1998) atau 3. Meningkatkan riap.
20 m (TPTII dan TPTJ 2009). 4. Mempertahankan keanekaragaman hayati.
Sistem TPTJ akan membawa dampak terhadap penutupan 5. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman.
lahan, cadangan unsur hara dan keragaman biotik. Dampak- 6. Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur.
dampak tersebut akan menciptakan kondisi tempat tumbuh Tujuan TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam
yang lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman, permudaan tegakan tidak seumur (unevenaged stands) melalui tebang pilih
alam dan tegakan tinggal menjadi meningkat dan kelestarian dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk
produksi dapat tercapai. meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang
Sistem silvikultur TPTJ dilaksanakan pada kawasan hutan lestari. Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas
alam produksi yang termasuk katagori hutan tanah kering tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.
dataran rendah (lowland forest) dan kawasan lain yang
memungkinkan sesuai ketetapan Menteri. Hutan tanah kering
dataran rendah adalah kawasan hutan pada lahan kering dengan
Secara umum tahapan sistem TPTJ 1998 dengan TPTJ 2009
B. Tahapan Kegiatan TPTJ adalah sama. Terdapat sedikit perbedaan hanya pada tata
waktu pelaksanaan kegiatan dan penamaan tahapan kegiatan.
Kegiatan Tebang Pilih dengan Tanam Jalur (TPTJ) pada TPTJ 2009 tidak menerapkan tata waktu yang ketat
prinsipnya sama dengan TPTI, perbedaan terletak pada batas sebagaimana TPTJ 1998 dan TPTII 2005.
diameter minimum yang ditebang yaitu 40 cm dan penanaman Tahapan kegiatan TPTJ adalah sebagai beikut:
menggunakan jalur tanam yang sengaja di buat. Tahapan 1. Penataan Areal Kerja (PAK)
kegiatan TPTJ diajikan dalam tabel berikut ini. PAK sama dengan TPTI, yang bertujuan untuk mengatur
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan
Tabel 18. Tahapan kegiatan Tebang Pilih dan Tanam Jalur kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja tahunan.
Maksud kegiatan PAK adalah mempersiapkan areal kerja
No Kegiatan Waktu yang meliputi pembuatan alur batas blok dan petak kerja,
1 Penataan Areal Kerja Et-2 penataan batas hutan, pemasangan pal batas blok dan petak
2 Perisalahan Hutan Et-2 serta pengukuran dan pemetaan. Batas blok dan petak kerja
3 Pembukaan Wilayah Hutan Et-1 memakai batas alam, yaitu sungai, jalan, bukit serta rintisan
4 Pengadaan Bibit Et-1 manual.
5 Penebangan Et 2. Perisalahan Hutan
6 Penyiapan Jalur Et Perisalahan hutan terdiri dari Inventarisasi Vegetasi dan
7 Penanaman Et Keadaan Lapangan. Inventarisasi vegetasi bertujuan
8 Pemeliharaan Tanaman Et+1 s/d Panen mengetahui penyebaran pohon berdiameter 20 cm ke atas
9 Perlindungan Tanaman Terus menerus yang meliputi jumlah, komposisi jenis serta volume pohon
yang akan di tebang, dipertahankan serta kondisi
Sumber: SK Menhutbun Nomor 625/Kpts-II/1998 permudaan. Hasil inventarisasi digambar pada peta
penyebaran pohon. Inventarisasi Keadaan Lapangan
Tahapan kegiatan sistem TPTJ 2009 berdasarkan Peraturan bertujuan untuk mengetahui topografi blok kerja untuk
Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah digunakan membuat peta kerja dengan menggambarkan
1. Penataan Areal Kerja (PAK) (tidak lebih dari Et-4) letak, luas, kondisi aliran sungai dan garis bentuk lapangan.
2. Inventarisasi Hutan 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) PWH sama dengan TPTI, yaitu meliputi pembangunan
4. Pengadaan Bibit jalan angkutan, menyediakan sarana dan prasarna base
5. Tebang Naungan camp, pondok kerja dll guna menunjang kegiatan produksi
6. Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam kayu, pembinaan, perlindungan, inspeksi kerja, transportasi
7. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur dan komunikasi.
8. Pembebasan dan Penjarangan 4. Pengadaan Bibit
9. Pemanenan Pengadaan bibit sama dengan kegiatan TPTI, yaitu dapat
10.Perlindungan dan Pengamanan berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam) serta
dari stek, baik stek pucuk jenis Dipterocarp maupun stek
sungkai.
5. Penebangan
Metode penebangan sama dengan TPTI. Beberapa tahapan
penebangan yang menggunakan kaidah RIL sebagai brikut:
a. Perencanaan jalan sarad dan TPn berdasarkan hasil
inventarisasi keadaan lapangan dengan memperhatikan
topografi, jenis tanah, bentang alam dll.
b. Penandaan trase jalan, arah rebah dan lokasi TPn
dilapangan.
c. Pembuatan jaringan jalan berdasarkan trase jalan
termasuk jalan sarad.
d. Penebangan jenis niagawi berdiameter 40 cm ke atas
dengan meminimalkan kerusakan tegakan sekelilingnya,
kerusakan batang dan searah dengan jalan sarad.
e. Setelah melakukan penyaradan, dibuat sodetan
melintang (cros drain) pada bekas jalan sarad untuk
menghambat aliran air sehingga erosi dapat ditekan.
6. Penyiapan Jalur Gambar 22. Posisi jalur bersih dan jalur antara dalam sistem
a. Penyiapan jalur adalah kegiatan penyiapan lahan tanam TPTJ (Sumber: Prijanto Pamoengkas, 2006)
sampai siap dilakukan penanaman. Pembuatan jalur
bersih lebar 3 meter, jarak antar jalur tanam (dari sumbu 8. Pemeliharaan
jalur) 25 m yang dikerjakan secara manual. Pada juknis a. Pemeliharaan awal
TPTJ 2009 jarak antar jalur tanam (dari sumbu jalur) 20 - Penyiangan (weeding) yaitu kegiatan membebaskan
m. tanaman pokok dari pengganggu atau gulma.
b. Jarak antar ajir dengan jarak 5 m atau 2,5 meter Kegiatan ini dilakukan Et+1, Et+2 dan Et+3.
c. Pembuatan lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm - Pendangiran yaitu menggemburkan tanah disekitar
serta diisi dengan top soil dari lantai hutanPembebasan tanaman, membentuk piringan selebar tajuk,
jalur dari naungan pohon. Bila diperlukan dapat dikerjakan Et+1
menggunakan chainsaw. - Penyulaman yaitu menanami kembali tempat-tempat
7. Penanaman yang kosong akibat kematian tanaman, dilakukan
Kegiatan penanaman dimulai dari order dan pengangkutan Et+1
bibit dari persemaian ke lokasi penanaman. Mengecer bibit - Pemupukan dan pemulsaan yaitu menambah zat hara
dalam jalur tanam dan menanam pada lubang tanam. pada tanaman untuk memacu pertumbuhannya.
- Pembebasan naungan yaitu membebaskan jalur
tanam dari naungan pohon, khususnya pohon non
komersial. Pada TPTJ 1998, lebar jalur pembebasan 1. Dampak TPTJ terhadap penutupan lahan
2 m pada Et+1, berikutnya 4 m pada ET+2 dan 8 m
pada Et+3. Pada TPTII 2005 dan TPTJ 2009 lebar a. Pada jalur antara
jalur pembebasan dimulai dari 3 m.
Sistem TPTJ membawa dampak pada berkurangnya
b. Pemeliharaan Lanjutan adalah kegiatan perawatan yang
penutupan lahan pada jalur antara yang disebabkan oleh:
dilakukan pada tanaman pokok yang lewat umur muda,
- Dampak pengambilan pohon berdiameter 40 cm ke atas
yaitu telah saling bersinggungan satu dengan lainnya
(sebanyak 7-15 pohon per hektar) berupa celah-celah (gaps)
baik tajuk maupun perakaran (Et+3 ke atas). Bentuk
yang mengarah pada jalan sarad
kegiatan meliputi pembesan vertikal dan horisontal,
- Dampak pembuatan jaringan jalan sarad, jalan cabang dan
pemangkasan cabang dan penjarangan seleksi.
jalan utama menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan
9. Perlindungan Hutan
tanah
Meliputi kegiatan pengendalian hama dan penyakit,
- Dampak penyaradan menimbulkan kerusakan tegakan
kebakaran dan lain-lain.
tinggal dan tanah
Sistem TPTJ dengan limit diameter 40 cm diperkirakan
menimbulkan kerusakan (pembukaan canopi) antara 25,44%
C. Evaluasi Sistem TPTJ
sampai 34,64% (Beni, 2006)
Sistem TPTJ yang diberlakukan sejak tahun 1997 dalam
Tabel 19. Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ
skala terbatas masih belum menunjukkan hasil akhir yang
nyata. Namun baru 5 tahun berjalan (tahun 2002), sistem ini
Kelerengan Tebang Terbuka Penyebab
dibekukan karena dengan penerapan variasi lebar jalur bersih 40 cm up
dianggap rawan penyalahgunaan dan membahayakan Tebang Penyarad
keberadaan biodiversity dan kelestarian hutan. Tiga tahun an an
kemudian (tahun 2005) dikeluarkan juknis sistem TPTI Intensif 0-15% 5 25,44% 80% 20%
15-25% 6,6 33,96% 72% 28%
yang sangat mirip dengan TPTJ, dengan tidak memberi variasi
25-40% 7 34,64% 88% 12%
lebar jalur bersih melainkan hanya satu teknik dengan lebar
jalur bersih (jalur tanam) sebesar 3 m dan jalur antara 17 m.
b. Pada jalur bersih
Pada sistem TPTII dan TPTJ 2009, jarak antar tanaman dalam
jalur tanam selebar 5 m (jarak tanam 5 m x 20 m) namun dalam Pada jalur bersih (lebar 3 meter) penutupan lahan hampir
perkembangan selanjutnya dan dengan menekankan pada aspek sudah tidak ada lagi. Namun demikian bahan organik bawah
silvikultur intensif, diterapkan jarak antar tanaman dalam jalur berupa sisa-sisa tunggak dan perakaran, serasah dan humus
tanam selebar 2,5 m (jarak tanam 2,5 m x 20 m). Perbedaan masih dipertahankan. Horison tanah berupa lapisan O (litter
jarak tanam ini berkaitan dengan kerapatan tanaman dan and duff - fermentation, humus), lapisan A, B, C sampai
prediksi hasil panen pada akhir daur. bedrock masih dipertahankan dengan baik. Jalur bersih
mempunyai intensitas sinar dan suhu yang lebih banyak serta
ruang tumbuh lebih besar.
Menurut Mori (2001) dan Romell (2007), pertumbuhan berupa parit, jalan angkutan, rawa, sungai, daerah berbatu dan
tanaman dalam jalur tanam lebih banyak disebab faktor cahaya kelerengan sangat curam yang tidak dapat dipergunakan
yang berasal dari pembukaan jalur, disamping faktor lain yang sebagai areal penanaman. Areal efektif tanaman di PT Sari
menyertai sebagai efek dari pembukaan jalur tersebut, seperti Bumi Kusuma sebesar 53%-79% (PT SBK 2010) dan PT
suhu dan kelembaban. Namun perlu diwaspadai efek kenaikan Sarmiento Parakantja Timber sebesar 71,7%-85,06% (PT
suhu terhadap akumulasi bahan organik dalam jalur tanam, Sarpatim 2010). Dengan demikian, jumlah tanaman efektif
karena menurut Kikuchi (1996), suhu udara yang meningkat pada sistem TPTJ (jarak tanam 2,5 m x 20 m) bukan lagi 200
akan mengurangi kandung bahan organik. Faktor lain yang batang per ha melainkan 106 batang sampai 170 batang per ha
mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah sifat fisik, kimia saja.
dan biologi tanah.
Menurut Wahyudi et al. (2010) tingkat penutupan tajuk pada 2. Implikasi pada kelestarian produksi
jalur tanam berkisar antara 25-65 densiometer scale (ds) atau
berada pada kelompok penutupan tajuk 1 (1-25 ds), 2 (26-50 a. Pada jalur antara
ds) dan 3 (51-75 ds) namun rata-rata berada dalam kelompok
Penebangan sistem TPTJ dengan limit diameter 40 cm
penutupan tajuk 3 dengan skor 53,5 ds. Gambaran tingkat
menyebabkan intensitas sinar dan suhu lebih banyak dan
penutupan tajuk pada kelompok 3 di jalur tanam terlihat pada
menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi tegakan
Gambar 23.
tinggal serta menyisakan pohon inti berdiameter 20-39 cm.
Dengan asumsi riap diameter sebesar 1 cm/th serta siklus
tebang 25 tahun maka pada daur ke-2, pohon inti telah berubah
menjadi pohon tebang dengan diameter 45-64 cm (Beberapa
penelitian menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar
0,5-0,9 cm/th namun hasil penelitian Indrawan (1992)
menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar 1,2 cm/th).
Riap diameter pohon pada sistem TPTJ diperkirakan akan
bertambah (dibanding TPTI) karena intensitas penutupan
canopi yang berkurang, sehingga meningkatkan intensitas sinar
dan suhu serta memberi ruang tumbuh yang lebih baik pada
pertumbuhan permudaan alam (natural regeneration) terutama
a b
pohon inti. Menurut Maman Sutisna (1996) pertumbuhan
Gambar 23. Gambaran tingkat penutupan tajuk kelompok 3
pohon, khususnya meranti, akan melambat setelah mencapai
berdasarkan skala densiometer (ds). Jalur tanam
diameter 40 cm. Oleh karena itu penebangan dengan limid
lebar 3 m (a) tampak horisontal (b) tampak
diameter 40 cm adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan
vertikal
produktifitas hutan.
Menurut Wahyudi (2011) jumlah areal efektif tanaman pada
jalur tanam sebesar 76,8% dan sisanya areal tidak efektif
Wahyudi (2011) menunjukkan kurva pertumbuhan sigmoid Kelemahan sistem ini terletak pada penurunan diameter kayu-
serta kurva MAI dan CAI pada pohon meranti di PUP hutan kayu yang diproduksi dibanding pada virgin forest.
bekas tebangan dengan persamaan sebagai berikut
a. Pertumbuhan meranti (sigmoid growth): b. Pada jalur bersih
G = -0,007 X2 + 1,9105X – 4,6489
Pada jalur bersih ditanam anakan dengan jenis terpilih, yang
b. Pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI):
mempunyai pertumbuhan lebih cepat dan kualitas batang yang
M = -0,0009X2 + 0,0578X + 0,6618
baik. Pertumbuhan anakan memerlukan intensitas sinar, suhu
c. Pertumbuhan tahunan berjalan (CAI):
dan ruang tumbuh yang cukup. Jalur bersih telah memberikan
C = -0,0026X2 + 0,1193X + 0,5465
tempat tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan anakan.
Gambar 24 menunjukkan bahwa daur ekonomis pohon
Menurut Soekotjo (2009), dengan menggunakan asumsi siklus
meranti tercapai pada tahun ke-35 yang ditandai dengan kurva
tebang 30 tahun maka diprediksi potensi produksi sebesar 400
sigmoid mulai mendatar dan terjadi perpotongan kurva MAI
m3/ha yang berasal dari 160 pohon masak tebang (80% dari
dan CAI. Sebelum tahun ke-35 pertumbuhan pohon meranti
stok) berdiameter rata-rata 50 cm.
masih menguntungkan secara signifikans dan setelah tahun ke-
Berdasarkan hasil pemodelan terhadap pertumbuhan
35 pertumbuhannya mengalami menurunan secara ekonomis.
tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTJ di PT
Pada tahun ke-35, diameter pohon meranti diprediksi telah
GM, diperoleh daur ke-1 selama 32 tahun dengan pencapaian
mencapai 55 cm.
kubikasi sebesar 136,72 m3/ha, yang terdiri dari 125,14 m3/ha
80 2,5
berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter 30-39
Pertumbuhan Sigmoid cm. Pencapaian kubikasi pada siklus ke-1 ini lebih besar
70
2 dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan
60
lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m3/ha (40 cm ke atas) atau
dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha (60 cm ke atas) sehingga
Diameter (Cm)

50
CAI dan MAI

1,5

40
MAI produktifitas hutan meningkat sebesar 458,41% dari
30
1 sebelumnya.
Pada sistem TPTJ diperkirakan perusahaan akan
20
0,5
CAI mendapatkan hasil hutan kayu yang lebih besar dibanding pada
10
periode sebelumnya meskipun hanya memanfaatkan hasil
0 0 tanaman dalam jalur tanam. Oleh karena itu pada siklus
0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 40 50
Tahun Tahun berikutnya sebaiknya tegakan tinggal pada jalur antara
dijadikan sebagai jalur konservasi.
Menurut Wasis (2006), pada daur ke-2 akan terjadi
Gambar 24. Kurva sigmoid, MAI dan CAI pohon meranti
penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6% di hutan
tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan
Melihat data-data tersebut, maka kelestarian produksi pada
diameter sebesar 19,8%; biomassa sebesar 16,8% dan volume
jalur antara masih dapat dipertahankan, apalagi bila disertai
batang sebesar 19,0%. Hal ini disebabkan adanya penurunan
pembinaan pohon inti (pohon binaan) secara lebih intensif.
pH tanah C organik, N, Ca dan Mg. Berdasarkan asumsi ini, sepenuhnya dapat diterapkan karena masih terdapat jalur antara
maka untuk menciptakan kelestarian produksi tanaman Shorea yang mampu menopang kondisi lingkungan di sekitarnya.
leprosula pada jalur tanam pada daur ke-2 diperlukan waktu Oleh karena itu penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat
yang lebih panjang, yaitu 39 tahun (Gambar 25). penurunan kualitas tempat tumbuh pada jalur tanam sistem
TPTJ perlu dilakukan.

3. Cadangan unsur hara


Cadangan unsur hara dalam jalur antara sistem TPTJ relatif
masih baik dan terlindungi. Dalam waktu 3-5 tahun celah-
celah yang terbuka akibat pembalakan telah tertutup kembali
secara baik. Ekosistem kembali stabil dan siklus hara tertutup
71
serta iklim mikro berfungsi seperti sedia kala. Dalam celah
(gaps) itulah pertumbuhan berjalan paling cepat karena
mendapat rangsangan sinar, sehingga kemampuan recovey
hutan berjalan lebih baik.
Cadangan unsur hara dalam jalur bersih terdapat dalam
lapisan tanah yang tidak terganggu serta bahan organik, seperti
32
sisa-sisa tunggak dan perakaran, serasah dan humus. Horison
tanah berupa lapisan O (litter and duff - fermentation, humus),
lapisan A, B, C sampai bedrock masih dipertahankan dengan
baik. Pertumbuhan tanaman juga mendapat pengaruh positif
Gambar 25. Respon pertumbuhan volume (m3/ha) tanaman
dari jalur antara di sampingnya, berupa ruang tumbuh yang
Shorea leprosula terhadap pemanenan dan
optimal, suplai bahan organik, mikorisa dan lain-lain.
asumsi penurunan kualitas tempat tumbuh pada
Tanah di hutan tropis adalah marginal dengan kesuburan
daur ke-2
tanah yang rendah, miskin unsur hara dan berifat masam,
sehingga banyak unsur hara yang tertahan (tidak tersedia untuk
Untuk memperpendek waktu daur ke-2 supaya mendekati
tanaman). Sebagain besar (sekitar 75%) biomassa hutan
waktu daur ke-1 (32 tahun) diperlukan teknik silvikultur
terletak pada vegetasi dan hanya sebagian kecil yang berada
intensif berupa perbaikan kualitas tempat tumbuh, baik melalui
dalam tanah. Ekosistem hutan telah membentuk iklim mikro
pembukaan jalur yang optimal maupun perbaikan sifat kimia
dan membangun mekanisme siklus hara tertutup. Interaksi
tanah dengan pemberian bahan organik (mulsa), pupuk dan
berbagai komponen dalam hutan menunjukkan adanya
kapur secara berimbang. Pemakaian bibit unggul hasil
hubungan saling ketergantungan yang tinggi dan semua
pemuliaan pohon serta pengendalian hama terpadu juga dapat
mekanisme fungsi dan sistem berlangsung sangat efisiensi.
mempersingkat daur tanaman.
Tegakan hutan telah membentuk safety nutrient network dan
Meskipun penanaman pada sistem TPTJ menerapkan sistem
kerja sama dengan berbagai mikroba tanah termasuk mikorisa.
tebang habis pada jalur tanam, namun asumsi di atas belum
Tegakan hutan adalah biomassa yang tersusun dari unsur untuk memberi ruang tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan
hara. Makin banyak biomassa yang diambil, misalnya dalam tanaman, sehingga dapat meningkatkan produktiftas hutan.
proses penebangan dan pemanfaatan kayu bulat, maka makin Namun demikian keragaman biotik hutan tropika masih
berkurang kandungan biomassa dan unsur hara dalam areal dipertahankan dalam jalaur antara yang menempati porsi 85%.
tersebut. Sistem TPTJ dengan limit dimeter 40 cm serta Keragaman biotik dalam jalur antara dapat berfungsi
pembuatan jalur bersih telah banyak mengeluarkan biomassa sebagai sumber plasma nutfah (genetic resource conservation
dan unsur hara dari hutan. Namun sistem ini dapat menjaga area) yang dapat memberi kontribusi nyata bagi peningkatan
kelestraian produksi bahkan meningkatkan produktifitas hutan. produktifitas dan kualitas produksi dari satu generasi ke
Pada hutan klimak (virgin forest atau LOA) pemanfaatan generasi berikutnya dan memberi peluang bagi kegiatan
sinar matahari untuk menghasilkan biomassa lanjutan relatif penelitian hasil hutan non kayu seperti biji tengkawang,
kecil. Sebagian besar sinar matahari hanya diterima oleh minyak, senyawa kimia, obat-obatan, penyerap karbon dan
pohon-pohon tua yang sudah tidak produktif yang lain-lain.
mendominasi lapisan tajuk paling atas (stara A). Pohon-pohon Keragaman biotik akan semakin meningkat dan potensi
muda, permudaan tingkat tiang, pancang dan semai sangat hutan akan semakin baik pada saat dilakukan penanaman dan
sedikit mendapatkan sinar, sehingga pertumbuhan dan pengayaan jenis-jenis unggul dalam jalur tanam (line
produktifitasnya sangat kecil, padahal kelompok ini adalah enrichment planting) (Coates dan Philip, 1997). Sepuluh jenis
bagian yang paling berpotensi untuk dapat tumbuh lebih besar yang direkomendasikan pakar TPTII dalam kegiatan line
lagi. Sinar adalah limiting factor bagi pertumbuhan permudaan enrichment planting adalah Shorea leprosula, s. parvifolia, s.
di dalam dan di lantai hutan. Ketersediaan unsur hara dalam smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s.
tanah menjadi tidak berarti bagi pertumbuhan permudaan platyclados, s. selanica, s. javanica, Dryobalanops spp.
apabila tidak ada sinar atau intensitasnya sangat kecil. Dengan Sementara itu menurut Dephut (2005), terdapat tujuh jenis yang
demikian, penerapan TPTJ akan menambah intensitas sinar paling baik, yaitu Shorea leprosula, s. johorensis, s.
dalam jalur antara dan terlebih lagi dalam jalur bersih, sehingga platyclados, s. macrophylla, s. parvifolia, s. selanica dan s.
pertumbuhan tegakan tinggal, permudaan dan tanaman menjadi smithiana.
lebih baik. Ketersediaan unsur hara dalam tanah harus Seringkali ditemukan jenis pionir yang berifat intoleran
ditunjang oleh intensitas sinar yang cukup (untuk mematahkan tumbuh pada jalur tanam yang lebih kaya sinar, dimana jenis-
faktor pembatas sinar) agar pertumbuhan terjadi secara optimal. jenis tersebut tidak ditemukan pada hutan klimak atau pada
jalur antara, seperti jabon, mahang, trema dan lain-lain. Berikut
4. Keragaman biotik ini disajikan daftar spesies yang sering muncul pada daerah
terbuka bekas tebangan.
Keragaman biotik dalam sistem TPTJ masih dipertahankan
dalam jalur antara. Dengan memperhatikan kurva spesies
area dalam hutan tropika basah, maka keberadaan jalur antara
dengan lebar 17 sampai 22 meter sudah dapat mewakili
keanekaragaman jenis (biodiversity), terutama flora, dalam
kawasan hutan tersebut. Jalur bersih dalam sistem TPTJ dibuat
Tabel 20. Beberapa jenis yang sering muncul pada daerah
terbuka bekas tebangan di hutan tropis VII. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF
No Jenis Tipe Suksesi (%)
Klimak 10 Tahun 5 Tahun
1 Hopea sangal + - 29,58 - A. Pengertian Dasar Sistem TPTII
2 Macaranga gigantea ++ - 23,07 39,57
3 Litsea costalis + - 15,04 - Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
4 Symplocos fasciculata + - 13,57 -
(TPTII) pada prinsipnya sama dengan sistem Tebang Pilih
5 Glochidion colmanianum ++ - 11,02 -
6 Elliphanthus beccarii + - 9,92 - Tanam Jalur (TPTJ), yang dapat menjawab kelemahan sistem
7 Nephelium eriopetalum + - 9,05 - sebelumnya (TPTI) terutama dalam penanaman dan aspek
8 Geunsia pentandra ++ - 7,65 14,53 pengawasan hasil penanaman. Perbedaan hanya terletak pada
9 Gironniera nervosa + - 7,01 -
pembuatan lebar jalur bersih selebar 3 meter dan jalur antara 17
10 Trema orientalis +++ - - 31,09
11 Mallotus paniculatus +++ - - 21,72 meter dan tidak ada alternatif lain sebagaimana sistem TPTJ
12 Macaranga hypoleuca +++ - - 17,19 sebelum tahun 2009. Sistem ini dijalankan dengan berpedoman
13 Dacryodes rostrata + - - 17,19 pada Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
14 Ficus virgata +++ - - 16,85
Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 13 Mei 2005 dan Nomor
15 Melastoma malabathricum +++ - - 9,5
16 Vernonia arborea ++ - - 9,08 SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang
17 Palaquium rostratum + - - 8,74 pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).
18 Vitex pubescens ++ - - 6,63 Sistem TPTII dinyatakan tidak berlaku semenjak
19 Piper aduncum +++ - - 6,19
dikeluarkannya Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009.
20 Cratoxylon clandestinum + - - 5,18
21 Anthocephallus cadamba ++ 1,23 2,11 Namun dasar dan landasan pemikiran sistem ini masih perlu
Keterangan: + jenis toleran diabadikan untuk pembelajaran generasi mendatang.
++ jenis pionir umur panjang
+++ jenis pionir umur pendek Tujuan umum sistem TPTII adalah membangun hutan tropis
lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya
potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya.
Sedangkan tujuan khusus silin TPTII adalah membangun hutan
sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk
menjamin fungsi hutan yang optimal.
Pengelolaan hutan pada hutan perawan (virgin forest)
maupun hutan bekas tebangan (log over area) secara Tebang
Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan jumlah bibit
200 batang per hektar seluas minimal 1.000 hektar per tahun
selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin
dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan
asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun 6. Penanaman
sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock 7. Pemeliharaan tanaman (penyiangan/pemulsaan I s/d X,
sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang penyulaman I dan II, pemupukan awal dan lanjutan,
masih dapat dimanfaatkan. pembebasan vertikal I dan II dan penjarangan I dan II)
Mengingat keseragaman individu penyusun tegakan pada 8. Perlindungan tanaman
akhir rotasi tebang diperkirakan memiliki keseragaman yang 9. Penelitian dan pengembangan
tinggi, maka model ini akan berfungsi sebagai transisi 10. Pemanenan kayu.
perubahan sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan Pada tahap awal, kegiatan TPTI Intensif (TPTII) hanya
buatan menjadi sistem silvikultur intensif. menempati areal pengelolaan hutan seluas 10% dari total luas
Dengan meningkatnya potensi hutan, maka luas areal hutan areal kerja (konsesi). Areal lainnya masih tetap menggunakan
alami fungsi produksi yang digunakan untuk menghasilkan sistem TPTI. Pengaturan luasan dilakukan sedemikian rupa
kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga alokasi areal sehingga luas areal pengelolaan hutan sistem TPTI dan TPTII
untuk konservasi genetik akan bertambah luas. Dengan sesuai dengan etat luas perusahaan. Pada perkembangan
demikian komponen keanekaragaman yang ada sebagai sumber selanjutnya luas areal yang dipergunakan untuk pengelolaan
plasma nutfah dan keanekaragaman jenis akan dapat hutan sistem TPTJ (sebagai pengganti dari TPTII) disesuaikan
dipertahankan. Areal konservasi yang terjaga dapat dengan kebutuhan perusahaan dengan tetap mengedepankan
dipergunakan untuk penelitian hasil hutan lainnya, misalnya aspek kelestarian hutan.
penghasil lemak, minyak, senyawa kimia dan bioaktif. Secara umum penataan areal kerja sistem TPTII adalah
Dengan meningkatnya produktifitas, maka lokasi tanaman sama dengan sistem TPTI. Setelah dikurangi kawasan
dapat lelbih leluasa diterapkan terutama dengan perlindungan dan areal tidak efektif untuk produksi, areal kerja
mempertimbangkan aspek asesibilitas, jarak angkut dan sarad yang efektif untuk produksi dibagi menjadi blok kerja tahunan
serta topografi yang mendukung. Akibatnya akan semakin dan blok kerja tahunan dibagi menjadi beberapa petak dengan
banyak areal hutan yang dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu ukuran sekitar 100 ha. Pembagian petak kerja menggunakan
sebagai kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber sistem papan catur dengan bagian luar tetap memakai batas
plasma nutfah, suaka alam, hutan lindung, taman wisata, alam. Batas petak lainnya memakai alur selebar 4 meter yang
pendidikan dan lain-lain. juga berfungsi untuk jalan pemeriksaan dan jalan angkutan.
Setiap 200 meter diberi patok kayu setinggi 0,5 m. Pada tiap
B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII sudut petak diberi patok kayu setinggi 1 m dengan nomor
petak. Anak petak diperlukan apabila terdapat sifat silvika
Tahapan kegiatan silin TPTII antara lain: yang berbeda dalam satu petak.
1. Penataan areal Resort hutan atau kemantren dibentuk sebagai unit
2. Risalah hutan pengelolaan gabungan yang merupakan kesatuan areal yang
3. Pembukaan wilayah hutan kompak dan tidak terfrakmentasi. Kepala resort membawahi
4. Pengadaan bibit mandor fungsional. Setiap 5 resort hutan bergabung menjadi
5. Penyiapan lahan (tebang penyiapan lahan dan pembuatan satu Asistenan dan setiap 5 Asistenan bergabung menjadi
jalur tanam) bagain hutan.
Penataan areal dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiapan lahan (40 cm up) dan tebang pembuatan jalur tanam
perisalahan hutan pada kawasan hutan unit kelola hutan. (20 cm up).
Kegiatan penataan areal kerja meliputi pembuatan alur batas Pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur intensif
petak, pemasangan pal-pal batas blok dan petak kerja serta Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) bertujuan
pemetaan areal kerja. Kegiatan perisalahan hutan dilakukan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan
melalui survei potensi tegakan dan topografi, menyusun risalah selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan baik dari segi
hutan untuk mengetahui potensi hutan dan situasi serta kondisi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi
lapangan sebagai dasar perencanaan jaringan jalan dan tebang berikutnya. Secara khusus, silin TPTI bertujuan untuk
pemungutan hasil hutan. membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman
Dalam melaksanakan penataan areal harus memperhatikan meranti dan menjamin fungsi hutan yang optimal.
hal-hal sebagai berikut: Pembuatan tanaman dilakukan dalam jalur tanam dengan
- Pembuatan blok dan petak kerja dilakukan sebelum lebar 3 meter memanjang ke arah Utara – Selatan. Menurut
penanaman beberapa pakar arah jalur juga dapat memanjang ke arah Timur
- Blok kerja tahunan adalah blok yang dibuat pada areal yang – Barat atau sesuai kontur di lapangan. Dengan demikian
akan ditanami dalam waktu satu tahun. kegiatan pembuatan jalur dapat dilakukan lebih fleksibel
- Pembagian areal yang akan ditanami ditata menjadi blok dengan menyesuaikan kondisi lapangan. Jarak tanaman dalam
kerja tahunan. Blok kerja tahunan dibagi menjadi petak- jalur adalah 2,5 m dan jarak antar sumbu as jalur adalah 20
petak kerja. Apabila diperlukan petak kerja dapat dibagi meter. Secara umum jarak tanam dilapangan adalah 2,5 m x 20
menjadi anak petak. m, sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman.
- Pembuatan batas blok kerja tahunan, petak dan anak petak Tahapan kegiatan pembinaan tanaman dalam sistem
menggunakan alat pemetaan dan penataan kawasan. silvikultur TPTI Intensif adalah:
Penebangan penyiapan lahan dilakukan terhadap semua
pohon komersial yang berdiameter 40 cm ke atas. Pada jalur 1. Pengadaan bibit
tanam selebar 3 meter penebangan dan pemanfaatan kayu
Pengadaan bibit dilakukan sebelum dan pada saat penyiapan
dilakukan terhadap pohon berdiameter 20 cm ke atas. Jalur
lahan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
tanam dibuat dengan interval 20 meter dari pusat jalur sehingga
pengadaan bibit adalah sumber bibit dan penyemaian. Sumber
jarak antar jalur adalah 17 meter. Perlakuan ini diharapkan
bibit dapat berasal dari benih, semai dari anakan alam (cabutan)
dapat menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi anakan,
dan stek pucuk. Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan
khususnya jenis meranti, serta tegakan di sekitarnya sehingga
dalam penyemaian adalah bahan semai benih, bahan semai
dapat memenuhi tujuan pembangunan sistem silvikultur TPTI
alami dan pembuatan stek.
Intensif.
Untuk jangka pendek benih didapatkan dari tegakan baik,
Pemanenan kayu sistem TPTII meliputi penebangan pohon,
tegakan benih dan pohon plus sedangkan untuk jangka panjang
pembagian batang, penyaradan, operasi TPn dan pengangkutan
diusahakan berasal dari kebun benih. Cabutan anakan alam
kayu. Pada tahap awal kegiatan penyiapan lahan sistem TPTII,
harus berasal dari tegakan yang baik sedangkan stek pucuk
dapat dimanfaatkan sejumlah kayu yang berasal dari tebang
dapat dibuat dari kebun pangkas, persemaian (pemangkasan selebar 3 meter dalam sistem TPTII periode 2007-2016
bergulir) dan semai alami. disajikan dalam tabel berikut ini.
Jumlah bibit yang disediakan didasarkan pada luas areal
pengelolaan tiap tahun. Keperluan bibit tiap hektar ditambah 3. Penanaman
keperluan penyulaman sebesar 10% adalah 200 x (10% x
Kegiatan penanaman dilakukan segera setelah penyiapan
200) = 220 batang per hektar. Data keperluan bibit
lahan dan pembuatan jalur tanam selesai, disusul pemasangan
selengkapnya disajikan dalam tabel berikut ini.
ajir dan pembuatan lubang tanam. Pemasangan ajir dengan
jarak 2,5 m sepanjang jalur tanam dan pembuatan lubang tanam
2. Penyiapan lahan
disamping ajir, sehingga dalam 1 hektar terdapat 200 lubang
Kegiatan penyiapan lahan meliputi pembuatan jalur tanam tanam.
selebar 3 meter dengan jarak antar poros jalur sejauh 20 meter Ajir dibuat dari kayu dengan panjang sekitar 1,25 m dan
atau jarak antar jalur selebar 17 meter. Kegiatan penyiapan pada bagian ujing dicat kuning/merah. Sedangkan lubang
lahan didahului oleh kegiatan tebang penyiapan lahan terhadap tanam dibuat berukuran 40 cm x 40 cm x 30 cm dengan
pada pohon-pohon berdiameter 40 cm ke atas, karena memberi humus atau kompos secukupnya. Jumlah pemasangan
pertumbuhan pohon muda berdiameter di bawah 40 cm adalah ajir dan pembuatan lubang tanamnya menjadi dasar dalam
lebih cepat dibanding di atas 40 cm. Pada daerah jalur tanam, kegiatan penanaman.
penebangan dan pemanfaatan dilakukan pada pohon Penanaman meliputi pengangkutan bibit, penampungan bibit
berdiameter 20 cm ke atas. dan penanaman bibit. Bibit dikatakan siap tanam bila telah
Penyiapan lahan pertanaman berupa jalur tanam selebar 3 mencapai tinggi sekitar 30 cm, daun berjumlah 10 helai atau
meter dibuat secara semi mekanis, yaitu menggunakan tenaga lebih, mempunyai pertumbuhan sehat, telah beradaptasi di
manusia serta peralatan mekanis seperti chainsaw dan traktor. ruang terbuka serta sehat.
Chainsaw diperlukan untuk menebang pohon-pohon yang Penanaman dilakukan pada musim hujan dengan melepas
berada dalam jalur tanam sedangkan traktor diperlukan untuk kantong plastik, menjaga akar tanaman tetap utuh, bibit
menerangi jalur. Traktor hanya melewati jalur tanam sebanyak ditanam tegak lurus dan diberi pupuk. Penanaman dilakukan
1-2 kali (pp) dengan posisi pisau terangkat (tidak mengupas disepanjang jalur dengan jarak 2,5 m sehingga dalam 1 hektar
lapisan serasah dan top soil). Peralatan ini sangat diperlukan terdapat sekitar 200 tanaman. Setelah penanaman bibit
untuk membuat jalur tanam yang bersih selebar 3 meter secara dilakukan pemulsaan dengan serasah serta pendangiran dengan
vertikal, sehingga tidak ada lagi tajuk pohon disekitar jalur radius 50 cm di sekeliling tanaman.
yang masih menaungi jalur tanam. Pembuatan jalur tanam
yang benar dan bersih secara vertikal disamping akan 4. Pemeliharaan tanaman
mempercepat pertumbuhan tanaman juga dapat meminimalisir
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pembersihan jalur
pekerjaan perawatan tanaman berikutnya, mengingat suksesi
tanaman, penyiangan, pemulsaan, pembebasan vertikal,
hutan alam berlangsung relatif cepat sehingga dapat menutup
penyulaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan
keberadaan jalur tanam yang telah dibuat hanya dalam waktu
pemantauan.
beberapa bulan. Rencana pembuatan trase dan jalur tanam
a. Penyiangan dan pemulsaan I s/d X (Et+1,2,3,4)
Kegiatan penyiangan bertujuan untuk membersihkan jalur C. Evaluasi Sistem TPTII
penanaman, menghilangkan pesaing tanaman pokok serta untuk
menggemburkan tanah sedangkan pemulsaan adalah kegiatan Prinsip dasar sistem Tebang Pilih Tanam Konservasi,
pemberian humus untuk menambah zat hara kepada tanaman. Tebang Pilih Tanam Jalur dan Tebang Pilih Tanam Indonesia
Kegiatan ini dilakukan 4 kali pada tahun pertama penanaman Intensif adalah pembuatan celah (gap) dalam bentuk jalur
(4x pada Et+1), 3 kali pada tahun ke dua (3 x pada Et+2), 2 memanjang. Gap yang dibuat melingkar pernah diperkenalkan
kali pada tahun ke tiga (2 x pada Et+3) dan 1 kali pada tahun ke oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru dan telah
empat (1 x pada Et+4). diakomodir dalam Peraturan Dirjen BPK No.
P.9/VI/BPHA/2009 dengan nama Tebang Rumpang. Pada
b. Penyulaman I dan II (Et+1,2)
awalnya sistem Tebang Rumpang kurang mendapat sambutan
Penyulaman I dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan
karena belum mencantumkan analisis ekonomi, kelayakan, arah
dan penyulaman II dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun.
pemanfaatan kayu berdiameter kecil serta kesulitan dalam
Kegiatan ini dapat dilakukan bersamaan dengan tahapan
operasional di lapangan karena gap yang disarankan terletak
kegiatan penyiangan dan pemulsaan.
secara acak berdasarkan potensi pohon, bukan secara sistematis
c. Pemupukan awal dan lanjutan sebagaimana sistem jalur.
Pemupukan awal dan pemupukan lanjutan dilakukan pada Sistem gap berbentuk jalur telah banyak diperkenalkan
tahun pertama dan tahun kedua penanaman. Kegiatan ini dapat diberbagai negara maju untuk mengurangi eksploitasi hutan
dilakukan bersamaan dengan tahapan kegiatan penyiangan dan alam yang dilakukan menggunakan THPB. Secara ekologi,
pemulsaan. sistem jalur dapat menjawab permasalahan yang ada
sebelumnya dan pemulihan keanekaragaman jenis juga dapat
d. Pembebasan vertikal I dan II (Et+ 2,4)
diandalkan (Coates dan Philip, 1997).
Kegiatan pembebasan vertikal bertujuan untuk menciptakan
Sistem silvikultur dengan teknik gap menyerupai suksesi
ruang tumbuh yang baik bagi tanaman, terutama dari segi
alam pada kejadian pohon mati dan roboh atau jatuhnya cabang
pencahayaan. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama dan
besar sehingga membentuk gap (celah) dan ruang terbuka
ketiga setelah penanaman.
sebagai tempat tumbuh yang baru. Sistem silvikultur dengan
e. Penjarangan (Et+5, 10) teknik gap dirancang dengan melakukan penebangan pohon
Kegiatan penjarangan dilakukan pada tahun ke-5 dan 10 atau kelompok pohon besar dengan ukuran, bentuk dan
yang bertujuan untuk memusatkan riap pohon binaan sebanyak distribusi tertentu.
150-200 pohon per hektar. Apabila tiap hektar diperoleh 160 Studi tentang dinamika gap, yang dianggap sebagai
pohon dengan diameter rata-rata 50 cm, maka pada akhir daur perubahan kecil pada ekosistem hutan, sangat penting
(setelah 30 tahun) diperkirakan akan dapat dipanen sekitar 400 diperhatikan karena dapat digunakan untuk memprediksi
m3 per hektar. respon pertumbuhan dan dinamika ekosistem pada gap (ruang
tumbuh). Banyak literatur tentang dinamika gap menekankan
pada ukuran gap atau posisi vegetasi dalam gap tersebut dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan dan menjamin dinamika spesies dengan gap dalam berbagai ukuran. Pendekatan gap
ekosistem hutan. pada sistem silvikultur dilakukan dengan memperhatikan
Fenomena dan pengelolaan dalam gap menurut Coates dan sistem penebangan secara parsial dengan menyisakan sebagian
Philip (1997) adalah: hutan, memperhatikan struktur biologi, organisme dan proses
- Gap diperlukan untuk merangsang regenerasi dan suksesi ekosistem melalui variasi ukuran gap dan pengembangan
alami. sistem silvikultur untuk memproduksi kayu secara lebih
- Gap menghasilkan keadaan tapak dan umur anakan yang bijaksana.
relatif seragam. Menurut Coates dan Philip (1997) variasi lebar jalur bersih
- Pengelolaan gap diarahkan pada kerapatan, ukuran (luas), masih diperlukan untuk merangsang kehadiran dan
bentuk, frekwensi, distribusi, dinamika komunitas, pertumbuhan anakan pada tipe tegakan tertentu. Sistem TPTJ
orientasi, umur, struktur lapisan bawah dan yang paling yang masih memberi peluang penggunaan beberapa variasi
penting adalah tingkat keterbukaan ruang tumbuh. lebar jalur kiranya masih baik digunakan, sehingga kita dapat
- Jenis yang dibina diutamakan jenis asli menemukan pola penentuan lebar jalur bersih yang lebih
- Di Selandia Baru ditemukan hubungan antara pola optimal sesuai dengan tipe hutannya.
regenerasi dan pertumbuhannya dengan ukuran gap. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan metode line
- Perlakuan silvikultur dapat membuat sistem gap dengan enrichment planting telah banyak diterapkan di Indonesia,
beberapa variasi. seperti sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang
Hubungan gap dengan spesies yang terdapat didalamnya Pilh Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem ini
(Lertzman, 1992): menggunakan kombinasi antara polycyclic system dengan
- Ukuran gap dapat menyebabkan perbedaan tingkat monocyclic system dengan rangkaian (tahapan) kegiatan
pertumbuhan dan dominasi spesies tertentu yang mengarah pada tercipta kondisi tapak dan iklim
- Gap sering dikuasai jenis-jenis dominan mikro yang optimal untuk mendukung keberhasilan
- Terdapat spesies yang sesuai di tengah gap atau di tepi gap. pengelolaan hutan lestari dan produktif. Salah satu kelebihan
Pengetahuan tentang teknik gap meliputi pola suksesi, metode ini (yang tidak dimiliki sistem TPTI) adalah relatih
dinamika populasi dan komunitas hutan. Teknik ini dapat mudah melakukan kegiatan perawatan serta pengawasan,
dipakai dalam sistem silvikultur. Pemodelan gap juga dapat monitoring dan evaluasi, khususnya terhadap tanaman dalam
dipergunakan untuk memprediksi dan menguji tingkat jalur, baik yang dilakukan instansi terkait, LSM maupun pihak
efektifitas sistem penebangan secara parsial. Intensitas cahaya, perusahaan sendiri. Pertumbuhan (riap) tanaman dalam jalur
keseimbangan air dan siklus hara berhubungan dengan ukuran lebih cepat karena ditunjang oleh intensitas sinar dan ruang
gap dan posisi dalam gap yang berpengaruh pada proses tumbuh yang lebih baik (mematahkan sinar sebagai limiting
perkecambahan, kematian, pertumbuhan dan perkembangan factor dalam pertumbuhan anakan di hutan tropis).
serta aktifitas biologi (Coates et al, 1997). Metode line enrichment planting mempunyai dua daerah
Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada konsentrasi pengelolaan yang saling berkaitan erat, yaitu pada
pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi jalur antara dan jalur bersih (jalur tanam). Pada jalur antara
sistem tebang habis. Kasus Date creek membuktikan adanya kualitas tapak relatif tidak mengalami perubahan yang
hubungan antara kehadiran, kelimpahan dan pertumbuhan menyolok dan berfungsi sebagai konservasi hutan dan
biodiversity, memberi kondisi tapak yang masih sesuai untuk Metode tersebut dimodifikasi oleh Catinot dengan
mempertahankan ekosistem serta menciptakan ruang tumbuh ketentuan:
yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur bersih a. Lebar jalur tanam 5 m
seperti berbagai jenis Shorea yang berifat toleran dan semi b. Jarak antar jalur tanam 10-20 m
toleran. Sementara itu pada jalur bersih yang mempunyai c. Semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm
ruang tumbuh lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih ditebang
tinggi, kegiatan diarahkan untuk penanaman dan pengayaan d. Pohon berdiameter > 15 cm diteres
(enrichment planting) jenis terpilih yang bernilai komersil e. Jarak tanam dalam jalur 3 m
tinggi dan cepat tumbuh (seperti 10 jenis unggulan yang Menurut Apanah (1994), jenis-jenis komersial mempunyai
diusulkan pakar TPTII, yaitu Shorea leprosula, s. parvifolia, s. kemudahan dalam regenerasi dan perlakuan silkultur sehingga
smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. memberi peluang yang baik dalam menciptakan pengelolaan
platyclados, s. selanica, s. javanica, Dryobalanops spp). hutan lestari.
Jalur antara tidak bergantung pada jalur bersih namun Keuntungan sistem line enrichment adalah:
tanaman dalam jalur bersih sangat bergantung pada jalur antara a. Meningkatkan produksi kayu
yang memberikan ruang tumbuh (tapak) dan iklim mikro yang b. Membuka lapangan pekerjaan
optimal, terutama intensitas cahaya dan suhu serta memberi c. Dapat membuat tanaman yang bersifat toleran dan semi
perlindungan terhadap kondisi tanah. Serasah dan humus dari toleran, seperti dari jenis Dipterocarpaceae
jalur antara dapat digunakan tanaman dalam jalur bersih, d. Menjamin dan menciptakan pengelolaan hutan lestari
demikian pula suplai air, mikroba (mikorisa, rhizobium, (natural forest management)
dekomposer dll) sampai pada penyerbukan. Jalur antara ibarat e. Kualitas tanah dan kondisi vegetasi tidak berubah nyata.
induk yang melindungi dan membesarkan anaknya, jalur bersih. Ekosistem relatif masih terjaga dibanding bila menerapkan
Sistem line enrichment planting juga mampu mengatasi clear cutting.
salah satu permasalahan yang muncul dari sistem TPTI, yaitu Kelemahan sistem ini antara lain:
kemudahan dalam perawatan dan pengawasan hasil a. Memerlukan biaya perawatan tinggi
penanaman/pengayaan yang terletak dalam jalur tanam. b. Memerlukan perawatan intensif
Metode line enrichment pada awalnya dikembangkan oleh c. Mengarah pada perampingan jenis (penyusutan
Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah, dengan keanekaragaman jenis)
ketentuan: Sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ)
a. Jarak antar jalur tanam, 10-25 m, arah Timur-Barat yang merupakan salah satu bentuk line enrichment planting,
b. Lebar jalur tanam 2 m, dibuka bersih pernah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
c. Dari batas kiri dan kanan jalur, masing-masing selebar 4 m, Nomor 435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan
seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem
d. Jarak tanam dalam jalur 5-10 m Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam
e. Lebar jalur antara/jalur tegakan tinggal 10 m Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Penerapan TPTJ lebih
f. Jarak antar jalur tanam 20 m (100 bibit/ha) sesuai pada
a. Log over forest dimana permudaan jenis komersial sedikit
b. Log over area tidak produktif
c. Areal bekas perladangan berpindah
c. Areal hutan dengan nilai ekonomi rendah (bushes and crub) VIII. TEBANG RUMPANG

A. Pengertian dan Dasar Sistem Tebang Rumpang

Sistem silvikultur tebang rumpang diperkenalkan di


Indonesia pertama kali oleh APS Sagala (1991) dari Balai
Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru. Sistem ini merupakan
perpaduan monocyclic dan polycyclic system. Penebangan
dalam rumpang dilakukan secara serentak dengan sistem tebang
habis mirip dengan monocyclic system. Tegakan utuh atau
kantong pelestarian yang ditinggalkan disamping rumpang
yang dipergunakan untuk lokasi penebangan pada siklus
berikutnya mirip dengan polycyclic system.
Rumpang adalah bentuk ruang terbuka hasil dari
penebangan kelompok vegetasi berbentuk melingkar dengan
ukuran 1 – 2 kali tinggi pohon tepinya. Pemanenan tebang
rumpang adalah tebangan berdasarkan kelompok pohon di
dalam bentuk rumpang. Perapihan rumpang adalah kegiatan
membuat rumpang setelah penebangan pohon-pohon besar
dengan menebang semua vegetasi di dalamnya kecuali
permudaan.
Menurut Sagala (1991), tebang rumpang dimaksudkan agar
unit pengelolaan mempunyai bestek yang jelas serta kuvio yang
dapat dikenali. Rumpang (gap) yang dibuat dapat berfungsi
sebagai iklim mikro rumpang jenis klimak, mencegah
terakumulasinya bahan bakar, penataan yang jelas dan
permanen berdasarkan kuvio masing-masing sehingga dapat
diketahui jenis dan jumlah pohon yang akan ditebang serta
menjaga ekosistem hutan.
Sistem tebang rumpang pertama kali diakui secara luas
tahun 2009 berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.11/Menhut-II/2009 dan Peraturan Dirjen BPK No.
P.9/VI/BPHA/2009.
anak petak bisa terdapat 10-40 tegakan rumpang. Jarak
Prinsip-prinsip Tebang Rumpang adalah: antar rumpang sekitar 100 meter.
1. Sistem silvikultur tebang rumpang dilakukan pada tegakan 5. Tegakan Rumpang adalah tegakan yang ditebang dalam
tidak seumur (unevenaged stands) rumpang
2. Teknik pemanenan dengan tebang kelompok (rumpang) 6. Tegakan Utuh (TU) adalah tegakan rumpang yang
secara teratur dan tersusun dalam satu jaringan jalan sarad ditinggalkan untuk ditebang 35 tahun yang akan datang.
(yang menuju ke satu TPn) Daerah ini disebut juga kantong pelestarian.
3. Unit manajemen terkecil adalah TPn 7. Pembagian luasan dalam blok:
4. Rumpang sebagai unit perlakuan silvikultur a. 40-60% merupakan kawasan produksi, yang terdiri:
5. Mempertahankan keanekaragaman hayati 40-50% tegakan rumpang dan 40-50% tegakan utuh
6. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi permudaan b. 20-50 % kawasan lindung yang tediri:
Tujuan tebang rumpang adalah peningkatan produktivitas  10-20% lembah/sungai dan rawang
tegakan hutan tidak seumur melalui tebang dalam kelompok  20-30% daerah berlereng curam (>40%)
dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam rumpang untuk 8. Pada tegakan hutan perawan (virgin forest) dijumpai semai
meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang dorman yang berumur 5-20 tahun. Tidak bisa berkembang.
lestari pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal Bila musim kemarau panjang akan mati. Tapi bila semai ini
IUPHHK atau KPHP. Tebang rumpang memiliki sifat : mendapat celah/gap, maka pertumbuhan semai tinggi sekali
1. Kompromi antara ekologi dan ekonomi (bagai melonjat)
2. Mudah dalam pengendalian pengawasannya 9. Pada virgin forest, tingkat pancang dan tiang sangat jarang
Beberapa istilah yang dipergunakan dalam sistem Tebang karena tertekan dan ternaung
Rumpang adalah: 10. Struktur tegakan dalam hutan alam mengelompok. Dalam
1. Blok tebangan adalah lokasi tebang tahunan yang satu kelompok bercampur antara pohon tebang dan pohon
merupakan 1/35 luas areal pengelolaan (unit manajemen) medium (diameter 20-49/59). Apabila pohon tebang
setelah dikurangi kawasan lindung dan tidak efektif sepetti: diambil (ditebang), roboh dipotong dan di sarat pada medan
non hutan, sempadan sungai, kelerengan >40%, PUP, perbukitan, maka pohon medium akan ikut rusak. Hnya
Plasma Nutfah, Areal Sumber Daya Genetik/Tegakan sedikit yang masih baik.
Benih/Kebun Bibit. 11. Material dasar rumpang berupa semai dorman.
2. Petak Permanen adalah bagian dari Blok tebangan yang 12. ACC berdasarkan luas areal, bukan berdasarkan riap
dibatasi oleh batas alam (sungai trase jalan, punggung tegakan.
bukit) dengan luas 100-1000 Ha. 13. Tidak menebang jenis pohon tertentu (dilindungi)
3. Anak petak adalah kesatuan lokasi tebangan yang 14. Yang dikelola adalah tegakan hutan, bukan kayu. Tegakan
ditentukan berdasarkan keberadaan jalan sarat dengan luas hutan meliputi vegetasi (pohon), tanah, bahan bakar dan
2-10 Ha. satwa. Semua dikelola secara serentak (holistik).
4. Rumpang adalah lokasi penebangan. Luas rumpang 1.000 - 15. Setiap petak permanen harus mempunyai alamat yang jelas,
2.500 m2 atau selebar 1-1,5 kali tinggi pohon tepi. Dalam yang dibuat dengan batas alam (jalan, sungai dll). Dalam
setiap petak mengandung beberapa rumpang.
16. Dalam pengelolaan hutan harus diketahui besteknya, yaitu 2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)
bestek tegakan. Bestek adalah desian yang digunakan untuk
PWH dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah
pekerjaan di lapangan. Bestek berfungsi untuk
lingkungan. Beberapa langkah yang ditembuh antara lain:
menjabarkan misi manajemen dalam bentuk konkrit dan
a. Buat standar operating procedure (SOP
terukur, menetapkan tujuan yang akan dicapai, sebagai
b. Buat rencana lokasi base camp, TPK, TPn, pondok kerja,
acuan kerja, tolak ukur keberhasilan, standar mutu produk
dan lain-lain.
yang dihasilkan dan menciptakan keseragaman pohon.
c. Buat rencana jaringan jalan sarad pada setiap TPn, rencana
Bestek tidak dapat dibuat pada tegakan/hutan yang
jalan utama dan jalan cabang.
heterogen (berbeda tanah, iklim mikro dan tumbuhannya)
d. Plotting semua calon rumpang untuk tahun berjalan (Ro)
Kuvio adalah satuan teknik, yang mempunyai kesamaan
dan calon rumpang untuk setengah umur daur berikutnya
tanah, iklim mikro dan tumbuhannya (TIT) dan merupakan unit
(Ro+½daur) pada jaringan jalan sarad.
pengelolaan hutan. Setiap kuvio mempunyai alamat jelas,
e. Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil
mempunyai data dasar dan mempunyai bestek yang jelas.
risalah.
Semua rumpang yang ditebang pada tahun yang sama (seumur)
dapat disebut satu kuvio
3. Risalah Hutan
Risalah hutan dilakukan di dalam calon-calon rumpang
B. Tahapan Kegiatan Tebang Rumpang tahun berjalan (Ro) pada setiap jaringan sarad. Kegiatan ini
dilakukan sebelum penyusunan URKTUPHHK. Beberapa
Tahapan Tebang Rumpang berdasarkan Peraturan Dirjen kegiatan yang dilakukan adalah:
BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah a. Pembautan SOP kegiatan risalah hutan
1. Penataan Areal Kerja (PAK) b. Pembuatan peta rencana TPn, jalan sarad dan plotting
2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) rumpang hasil kegiatan
3. Risalah Rumpang c. Pelaksanaan risalah hutan sesuai SOP
4. Pembuatan rumpang
5. Pembinaan rumpang 4. Pembuatan Rumpang
6. Pemanenan
Pembuatan rumpang dilakukan dengan memanen
7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
menggunakan sistem tebang habis pada setiap rumpang.
Permudaan alam dari jenis komersial tetap dilindungi.
1. Penataan Areal Kerja (PAK)
Pekerjaan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah
Kegiatan PAK dilakukan untuk menata areal ke dalam blok lingkungan.
dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK. Satu petak
kerja di dalam TR adalah satu TPn dengan jaringan jalan sarad
dan rumpang-rumpang yang didukungnya. Kegiatan ini
dilakukan tidak lebih dari 4 tahun sebelum pemanenan.
lereng curam (>40%) hanya perhitungan kasar, detail lokasinya
5. Pembinaan Rumpang ditentukan waktu kegiatan berjalan (kecuali sudah bisa dari
awal).
Kegiatan pembinaan rumpang ditujukan untuk memberikan
2. Et- 5.
ruang tumbuh optimal bagi individu-individu pohon terbaik
Pembuatan trase jalan (utama dan cabang). Membuat petak
serta menghilangkan individu pohon dan atau vegetasi lain
permanen seluas 100-1000 Ha dengan menggunakan batas alam
yang menaungi pohon terbaik. Kegiatan ini dilakukan dengan
(sungai trase jalan, punggung bukit)
cara:
a. Memilih dan menandai anakan-anakan pohon terbaik satu 3. Et- 3 Pembuatan Jalan (dengan intensitas 20-30 m/Ha)
tahun setelah pembuatan rumpang, jarak antar anakan 3-4 m
4. Et- 1
b. Plotting setiap anakan terpilih di dalam setiap rumpang
a. Menentukan lokasi TPn sepanjang jalan logging dengan
untuk pembinaan dalam periode 2 tahunan sampai
jarak 0,5-2 km
permudaan bebas dari naungan.
b. Membuat trase jalan sarat (bentuk tanduk rusa dengan jarak
100-700 meter dari TPK atau antar jalan sarat)
6. Pemanenan
c. Ploting rumpang (R), dengan ketentuan:
Pemanenan dilakukan di setiap rumpang menggunakan Luas R=1000-2000 m2, diameter 1-1,5 kali tinggi pohon
sistem tebang habis pada daur tebang yang telah ditentukan tepi. Jumlah pohon dipanen 3-8 pohon. Jarak antar R lebih
dengan tidak membuat TPn dan jalan sarad baru. TPn, jalan kurang 100 meter (celahnya merupakan TU)
sarad dan rumpang sebagai satu kesatuan yang permanen.
5. Et + 0 Penebangan/Pembalakan. Potensi dihasilkan 300-
600 m3/Ha semua jenis berdiameter 20 cm up (70-80%
7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
berdiameter 50 cm up)
Perlindungan dan pengamanan dari kebakaran, perambahan,
6. Et + 1 Perapihan Rumpang. Mematikan sisa-sisa pohon
dan pencurian hasil hutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
dalam rumpang. Biasanya pohon ini sudah cacat.
memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan
produksi. 7. Et +3. Pembebasan tajuk. Dipilih pohon kanopi atas/PCA
Menurut Sagala (1991) tahapan dan tata waktu Tebang (pohon binaan). Diberi tanda cat. Dibebaskan tajuk dengan
Rumpang sebagai berikut: jarak 5-7 m (dijarangi)
8. Et + 5 Kegiatan sama seperti Et+3
1. Et-N.
9. Et + 8 Pembebasan tajuk dengan jarak 15-20 m
Pada waktu menyusun RKUPHHK yang meliputi seluruh
10. Et + 15 Kegiatan sama dengan Et+8
jangka waktu pengusahaan hutan dilakukan penataan areal.
11. Et + 36. Penebangan Tegakan Utuh (disamping TR +36)
Menentukan kawasan lindung yang telah dapat diketahui atau
12. Et + 70 Penebangan rotasi 2 tegakan rumpang.
dihitung seperti: PUP, Plasma nutfah, Tegakan benih,
Sempadan sungai (hanya sungai besar: Kapuas, Mendaun,
Tabulus) kawasan konservasi (kalau ada). Penentuan daerah
II e. Penebangan. Semua pohon berdiameter 20 cm up
I, II, III, IV dst = Petak dimanfaatkan. Pembersihan rumpang dilakukan pada
Jalan Utama Sungai semua vegetasi kecuali tingkat semai
f. Pembinaan permudaan dan tegakan dalam rumpang.
III g. Siklus tebang pada areal (rumpang) yang sama selama
Jalan I 70 tahun. Siklus tebang pada petak yang sama selama
Cabang 35 tahun, yaitu pada tegakan utuh/ kantong pelestarian
Jalan Sarad disamping rumpang pertama.

Kuvio
C. Evaluasi Sistem Tebang Rumpang
Rumpang
Sistem Tebang Rumpang di Indonesia dipromosikan oleh Ir.
IV APS. Sagala dari Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru (BTR)
sejak tahun 90-an. Sistem ini banyak mengadopsi teknik
Batas alam berupa jalan utama, jalan cabang dan sungai silvikultur yang diterapkan di berbagai negara, namun yang
lebih penting, bahwa sistem ini merupakan replikasi gejala
Gambar 26. Kuvio dengan bestek yang jelas alam yang lebih dekat, yaitu regenerasi hutan yang berada
dalam rumpang (gap) yang melingkar yang terbentuk setelah
Prosedur kerja sistem Tebang Rumpang pada tingkat unit pohon besar mati dan roboh.
manajemen: Sistem TPTJ pada prinsipnya juga meniru gejala alam ini,
1. Membentuk unit pengelolaan pada tingkat pusat namun dengan modifikasi memanjang agar mudah dalam
2. Menentukan kawasan pengelolaan yang definitif dengan pelaksanaan kegiatan penyiapan lahan, penanaman, perawatan,
tata batas menyeluruh dan berkekuatan hukum (SK Unit penebangan dan pengawasan hasil penanaman. Dari segi teknis
Manajemen) silvikultur, sistem rumpang diakui sangat baik dalam
3. Pada tingkat unit manajemen, dilakukan: merangsang regenerasi hutan. Namun sistem ini lebih sulit
a. Membuat blok kerja tahunan, sebanyak 35 blok dikerjakan karena lokasi rumpang yang tersebar acak diantara
dengan batas alam mosaik hamparan hutan yang sangat luas. Biaya operasional
b. Dalam setiap blok kerja tahunan dibuat beberapa petak dan tingkat kerawanan over cutting mungkin lebih tinggi
dengan mengutamakan batas alam karena lebih sulit alam aspek pengawasan. Keberhasilan
c. Menentukan letak, jumlah dan luas rumpang yang sistem ini banyak ditentukan oleh kesadaran semua pihak pada
akan dibuat dalam setiap petak kerja karakteristik ekosistem hutan alam tropis dan prinsip
d. Menentukan jaringan jalan utama, jalan cabang dan kelestarian hutan. Sistem ini mungkin sangat baik diterapkan
jalan sarad serta ploting rencana rumpang. pada hutan milik, dimana rasa memiliki terhadap sumberdaya
hutan sangat dominan.
THPB dapat dilakukan pada hutan tanaman murni atau
campuran. Pada hutan tanaman luas maksimum tanaman
IX. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN perkebunan adalah 50% dan pada hutan alam 40%.
Pada setiap akir kegiatan dibuat register petak, yang
mencatat semua kegiatan yang dilakukan dan kejadian yang
A. Pengertian Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan mempengaruhi tanaman, seperti pendangiran, pemupukan,
prunning dan lain-lain. Register pada masing-masing petak
Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan meliputi luas tanaman, jenis tanaman, asal bibit, tahun tanam
(THPB) adalah sistem silvikultur yang mengandalkan pada dan kegiatan pemeliharaan dan pemanenan.
hasil penanaman karena lebih mudah pengelolaannya, lebih Organisasi pelaksana terdiri dari:
mudah diukur dan dihitung input yang diperlukan serta output a. Kepala Resor mengawasi mandor dalam luas areal 1.000-
yang akan dihasilkan. Sistem ini menyederhanakan ekosistem 2.500 Ha
hutan sehingga komponen yang dikelola menjadi lebih sedikit b. Asisten Administratur mengawasi Kepala Resor dalam luas
dan kegiatan difokuskan pada pertumbuhan dan hasil tanaman. areal 5.000-10.000 Ha
Menurut SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Nomor: c. Administratur mengawasi Asisten Adm. dalam luas areal
139/Kpts-VI/1999 tentang Tebang Habis dengan Permudaan 25.000-50.000 Ha.
Buatan, sistem THPB adalah sistem silvikultur yang meliputi
cara penebangan habis dengan permudaan buatan.
Pemanenan tebang habis adalah tebangan untuk B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB
membersihkan lahan secara keseluruhan tanpa memperhatikan
limit diameter. Permudaan buatan adalah kegiatan penanaman Tahapan kegiatan Tebang Habis dengan Penanaman Buatan
hutan menggunakan bibit yang telah diberi perlakuan terlebih (THPB) menurut Peraturan Dirjen BPK No.
dahulu. P.9/VI/BPHA/2009 adalah Penataan Areal Kerja (PAK),
Prinsip-prinsipTHPB menurut Peraturan Dirjen BPK No. Risalah Hutan, Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), Pengadaan
P.9/VI/BPHA/2009 adalah Bibit, Penyiapan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan,
1. Diterapkan pada areal bekas tebangan dan non hutan yang Pemanenan serta Perlindungan dan Pengamanan Hutan
telah ditetapkan sebagai areal THPB da lam RKUPHHK.
2. Sistem silvikultur untuk membangun tegakan seumur. 1. Penataan Areal Kerja (PAK)
3. Teknik pemanenan dengan tebang habis. Prinsip kegiatan ini adalah menata areal ke dalam blok dan
4. Meningkatkan produktivitas lahan dengan permudaan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK, yang dilakukan
buatan. tidak lebih dari 2 tahun sebelum penanaman. Kegiatan ini
Tujuan THPB adalah memaksimalkan produktivitas lahan dilakukan dengan membagi areal kerja ke dalam blok-blok
dan kualitas lingkungan hidup sesuai dengan daya dukung kerja tahunan dan petakpetak kerja. Sesuaikan jumlah blok dan
lingkungan setempat dengan sasaran hutan alam produksi bekas petak kerja dengan daur tanaman pokok yang ditetapkan.
tebangan di areal hutan produksi atau hutan produksi konversi Sesuaikan pula bentuk dan luas blok dan petak kerja dengan
kondisi lapangan.
Setiap blok kerja ditandai dengan angka romawi sesuai 5. Penyiapan Lahan
rencana tahun penebangan, sedangkan petak kerja diberi angka Penyiapan lahan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan
secara berurutan dari petak pertama sampai petak terakhir. ramah lingkungan serta tanpa bakar untuk kegiatan penanaman.
Buat rencana tata batas blok dan petak kerja dan buat peta Areal yang masih berpotensi, pemanfaatannya masuk ke dalam
rencana PAK dengan skala minimal 1 : 50.000. target RKT. Beberapa langkah yang dilkukan adalah membuat
rancangan penyiapan lahan untuk penanaman berdasarkan RKT
2. Risalah Hutan
yang disahkan, penyiapan lahan untuk tahun ke-2 dan
Prinsip kegiatan ini adalah inventarisasi hutan pada blok
berikutnya dengan mempertimbangkan realisasi tanaman tahun
RKT dengan intensitas 5 % untuk semua jenis pohon
berdiameter > 10 cm. 6. Penanaman
Langkah kerjanya antara lain membuat rancangan risalah Kegiatan penanaman segera dilakukan setelah penyiapan
hutan dengan metode jalur sistematis melalui penarikan contoh lahan dengan menggunakan bibit jenis ekonomis. Kegiatan ini
awal secara acak dengan intensitas 5 %. Menyiapkan daftar bertujuan untuk mningkatkan produktivitas lahan pada blok
ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil Risalah Hutan. RKT.
Pembuatan peta rencana Risalah Hutan skala minimal 1 : 7. Pemeliharaan
50.000. Kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan untuk
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) meningkatkan riap tanaman. Langkah-langkah yang ditempuh
Kegiatan ini harus dilakukan secara efisien, efektif, tertib, antara lain membuat rencana pemeliharaan seperti penyulaman,
dan ramah lingkungan. Beberapa pekerjaan yang harus penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan penjarangan.
disiapkan antara lain membuat rencana PWH berdasarkan peta
blok RKT, membuat rencana trace jalan angkutan dan jalan 8. Pemanenan
inspeksi serta rencana lokasi base camp, TPK, Tpn, pondok Pemanenan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan
kerja, dan lain-lain. ramah lingkungan dengan sistem tebang habis setelah mencapai
umur daur. Beberapa langkah yang disiapkan adalah menyusun
4. Pengadaan Bibit rencana pemanenan sesuai SOP yang ada. Penebangan
Bibit yang dibuat dari jenis ekonomis yangt berasal dari biji, dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah
atau cabutan atau stek atau kultur jaringan. Dalam hal disahkan.
pengadaan bibit untuk daur ke-2 dan berikutnya dapat 9. Perlindungan dan Pengamanan Hutan
menggunakan anakan yang berasal dari trubusan pohon-pohon Kegiatan ini dilakukan untuk pengendalian hama dan
yang telah ditebang. Tanaman dapat terdiri dari lebih dari satu penyakit, perlindungan hutan dari kebakaran hutan,
jenis. perambahan hutan, dan pencurian hasil hutan serta memberikan
Beberapa hal yang perlu disiapkan adalah pembuatan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi.
rencana persemaian, seperti lokasi, sumber bibit, bangunan,
SDM, peralatan serta rencana kebutuhan bibit.
Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi pembuatan sesuai pedoman pembuatan bibit yang
Nomor: 139/Kpts-VI/1999 tahapan THPB adalah sebagai berlaku.
berikut:
1. Penataan Areal Kerja (PAK) (Planting time -2)
a. Penataan Areal Kerja dilakukan 2 tahun sebelum
penanaman
b. Areal pengelolaan dibagi menjadi blok kerja tahunan
dan setiap blok dibagi menjadi petak-petak. Petak kerja
tanaman kehutanan dibatasi sampai 100 Ha dan untuk
petak tanaman perkebunan disesuaikan dengan jenis
tanamannya.
c. Kegiatan penataan areal kerja meliputi persiapan areal
kerja, pembukaan alur batas blok dan petak, penataan
batas hutan, pemasangan batas blok dan petak serta
pengukuran dan pemetaannya.
2. Pembukaan Wilatah Hutan (PWH) (Pt-1)
a. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) dilakukan 1 tahun
sebelum penanaman (Pt-1) Gambar 27. Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka
b. PWH meliputi pembangunan jalan angkutan, sarana dan
prasarana, base camp, pondok kerja dll dengan
4. Penyiapan Lahan Tanaman (Pt-1)
spesifikasi sesuai ketentuan.
a. Penyiapan lahan tanam dilakukan 1 tahun sebelum
c. Pembangunan jalan angkutan direncanakan dengan
penanaman.
mencari dan menetapkan titik ikat, titik awal dan titik
b. Pembersihan lahan secara manual dapat dilakukan pada
akhir rute jalan yang akan dimanfaatkan untuk jalan lalu
kondisi areal dengan kelerengan sampai 25% dengan
lintas pengangkutan bibit, pekerja, panenan serta
cara menebas, mencincang dan menumpuk serta
pengawasan.
memotong pohon-pohon berdiameter kecil, semak dan
d. Pembangunan sarana dan prasarana meliputi
belukar.
pembangunan kantor, perumahan karyawan serta
c. Pembersihan lahan secara mekanis dilakukan apabila
fasilitas lainnya.
kelerengan lapangan maksimal 15%.
3. Pengadaan Bibit (Pt-1)
d. Pembersihan lahan secara kimia dapat dilakukan pada
a. Pengadaan bibit dilakukan 1 tahun sebelum penanaman.
areal yang ditumbuhi alang-alang yang cukup luas dan
b. Sumber bibit berasal dari biji, cabutan anakan alam dan
tidak mungkin dilakukan secara mekanis.
stek pucuk.
e. Pada lahan tergenang perlu dibuat saluran drainase
c. Benih harus berasal dari sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan dan bersertifikat. Cara
Pada prinsipnya, kegiatan pembuatan hutan tanaman pada
kawasan tidak produktif, padang alang-alang dan tanah kosong
dapat ditempuh dengan langkah sebagai berikut:
1. Penyiapan lahan, dilakukan secara mekanis (land clearing
dan pembajakan lahan), kimia (chemist), sistem
cemplongan atau kombinasi.
Pembersihan lahan (land clearing) dapat dilakukan secara
mekanis menggunakan tractor. Kegiatan ini bertujuan untuk
membersihkan permukaan lahan dari semak, belukar, alang-
alang, gulma serta material lain seperti tunggak. Setelah
lahan bersih dan rata dilakukan kegiatan pembajakan I (disc
flow), II ((tonner) dan III (harrow). Bajak I bertujuan untuk
membalik tanah. Pada padang alang-alang kegiatan ini juga
bertujuan untuk memotong perakaran alang-alang yang
panjang dan memunculkannya di permukaan tanah
Gambar 28. Pengangkutan bibit siap tanam ke lokasi sehingga kering.
penanaman (Foto: Wahyudi)

5. Penanaman (P)
a. Kegiatan penanaman dilakukan pada musim hujan
(Oktober- Maret) setelah kegiatan penyiapan lahan
selesai
b. Jarak tanam sesuai dengan petunjuk teknis pembuatan
tanaman pada masing-masing jenis.
6. Pemelihraan Tanaman
Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai petunjuk teknis
kegiatan pemeliharaan tanaman pada masing-masing jenis.
7. Pemanenan
a. Pemanenan tanaman hutan dilakukan pada akhir daur
b. Setelah kegiatan pemanenan harus dilakukan
penanaman kembali Gambar 29. Pengolahan lahan secara mekanis
c. Terhadap tanaman perkebunan yang tidak produktif
dilakukan peremajaan. Bajak II dilakukan setelah 1-2 minggu (tergantung cuaca)
setelah akar alang-alang kering bertujuan untuk lebih
menggemburkan tanah dan bajak III dilakukan untuk
menghaluskan dan meratakan hasil pembajakan hingga
lahan siap untuk ditanami.

Gambar 30. Penyiapan lahan secara kimia menggunakan


herbisida

2. Persemaian (penyediaan bibit), termasuk pemuliaan


tanaman.
3. Penanaman
4. Perawatan, dengan melakukan manipulasi dan perbaikan
sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta mengoptimalkan
ruang tumbuh tanaman dan memperbaiki arsitek tanaman.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah:
- Pendangiran, penggulmaan Gambar 31. Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB
- Pemupukan (a) Tanaman sungkai Tabalong (b) Tanaman
- Pruning (pemangkasan cabang) ampupu di Tanah Laut, Kalsel
- Libering (pembebasan)
- Thinning (penjarangan) 5. Pemungutan hasil (harvesting).
- Pengaturan drainage dan irigation Pemungutan hasil atau pemanenan dapat dilakukan secara
- Pengendalian hama dan penyakit terpadu (Integratet manual, semi mekanis atau mekanis penuh tergantung
diseases and pest management). kebijakan perusahaan atau instruksi pemerintah, misalnya
program padat karya serta melibatkan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pengusahaan hutan. PT Perhutani di Jawa dan
PT Finantara Intiga di Kalbar adalah contoh perusahaan yang
masih mengedepankan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pengusahaan hutan. Penerapan sistem mekanis penuh dapat
ditemukan dalam kegiatan pengusahaan hutan di negara-negara
Barat.

Gambar 33. Sistem mekanis penuh dalam kegiatan pemanenan


hasil hutan kayu

C. Evaluasi Sistem THPB

Sistem THPB pada dasarnya dibuat untuk kegiatan reboisasi


Gambar 32. Pemanenan Acacia mangium umur 7 tahun secara dan peningkatan produktifitas kawasan tidak produktif, seperti
manual (Lokasi: PT Finantara Intiga, Kalbar) semak belukar, padang alang-alang dan kawasan kosong.
Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dengan sistem
THPB sebenarnya kurang bijaksana, meskipun sistem ini
banyak diterapkan di daerah temperate dengan tujuan untuk
meningkatkan produktifitas hutan.
Beberapa alasan yang sering dipergunakan untuk
membangun hutan tanaman adalah:
1. Permintaan kayu terus meningkat
2. Lebih mudah memanipulasi lingkungan
3. Lebih efektif dalam memasukkan bibit unggul
4. Produktifitas dan hasil finansial lebih besar
5. Pemanfaatan lahan lebih optimal
6. Memungkinkan mekanisasi (pembajakan lahan) dan
kimianisasi (penyemprotan gulma pada penyiapan lahan X. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM
tanam)
7. Biaya operasinal dapat diturunkan
8. Cepat regenerasi A. Pengertian dan Dasar Sistem THPA
9. Ukuran pohon lebih seragam
10. Perbaikan kualitas kayu Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah
11. Sistem silvikultur lebih jelas sistem penebangan pohon berharga yang dilakukan sekaligus
Pada akhir tahun 80-an, pemerintah melalui Departemen dalam waktu yang singkat (1-2 tahun) apabila dalam hutan itu
Kehutanan pernah mewajibkan setiap unit manajemen telah terdapat cukup banyak permudaan tingkat semai jenis
pemegang izin konsesi hutan yang mempunyai industri berharga. Ketentuan ini di atur dalam SK Dirjen Kehutanan
pengolahan kayu terkait saham untuk membangun hutan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972. Menurut SK Menteri Kehutanan
tanaman industri. Dari target 6 juta ha pembangunan HTI, dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999, sistem Tebang Habis
yang terealisasi hanya 2-3 juta ha (berdasarkan laporan). Pada dengan Permudaan Alam adalah sistem silvikultur yang
tahun 2007 Dephut kembali meluncurkan program hutan meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam.
tanaman dengan nama Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan THPA di Indonesia dikembangkan sejak tahun 70-an
target 9 juta ha sampai tahun 2014 dengan anggaran dana terinspirasi dari Sistem Tebang Habis Malaya (Malayan clear
reboisasi sebesar 3 trilyun rupiah. felling over natural regeneration) yang telah disesuaikan
Tantangan terbesar dalam membangun hutan tanaman dengan kondisi hutan Indonesia.
khususnya di luar Jawa adalah kesuburan tanah yang relatif Pertimbangan dan dasar penerapan THPA adalah:
rendah serta adanya tumpang tindih lahan. Tantangan lainnya 1. Komposisi, struktur dan keadaan ekologis hutan berbeda,
adalah membangun hutan tanaman untuk kelas perusahan kayu sehingga tidak semua sistem silvikultur cocok untuk semua
pertukangan dan plywood yang memerlukan diameter relatif tipe hutan
besar dan jenis kayu keras, yang biasanya berdaur lama (slow 2. Sistem THPA baru dilakukan apabila berdasarkan hasil
growing species). Hutan tanaman berdaur pendek (fast survei sudah terdapat semai dalam jumlah cukup. Bila
growing species) cukup mudah dibuat dan menunjukkan belum cukup, maka kegiatan penebangan harus
keberhasilan terutama untuk penghara industri pulp-kertas di ditangguhkan.
Sumatera. 3. Keuntungan sistem ini adalah dapat mengeksploitasi kayu
Pengalaman membangun hutan tanaman di era tahun 80-an hutan dalam jumlah banyak serta didapatkan potensi
dan 90-an sebaiknya didokumentasikan dan dibahas dengan tegakan hutan yang banyak mengandung jenis berharga
para pihak, terutama pihak perusahaan dan tenaga teknisnya, dengan umur yang relatif sama - pada siklus berikutnya
untuk menjadi pelajaran dalam melangkah ke depan. Jangan (even-aged stand).
mengulang kegagalan yang pernah dilakukan. Beranjak dari
kegagalan di masa lalu, mari bangkit membangun keberhasilan
hutan tanaman sekarang dan di masa depan.
parit dan jurang sebagai jalan kabel utama (main cable
B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA ways). Jarak penyaradan tak boleh lebih dari 250-300
m. Bila log tersangkut pada pohon, tidak diperbolehkan
Tahapan pelaksanaan kegiatan Tebang Habis dengan dipaksakan ditarik. Jumlah cable ways yang keluar dari
Permudaan Alam menurut SK Dirjen Kehutanan Nomor TPn tidak boleh lebih dari 12 dan dapat digunakan
35/Kpts/DD/I/1972 sebagai berikut: pohon penahan (rub trees) untuk melindungi pohon inti
dan permudaan.
1. Inventarisasi Pohon dan Permudaan Semai (Et – 6 s/d 18
d. Luas tempat pengumpulan kayu (TPn) disesuaikan
bulan)
dengan luas penebangan.
a. Inventarisasi pohon dan semai dimaksudkan untuk
- Luas penebangan 10 Ha, maka luas TPn 0,25 Ha
mengetahui jumlah dan volume pohon jenis komersial
- Luas penebangan 10-15 Ha, maka luas TPn 0,35 Ha
berdiameter 35 cm ke atas serta tingkat ketersediaan
- Luas penebangan > 15 Ha, maka luas TPn 0,5 Ha.
permudaan alam. Tujuannya adalah mengetahui kondisi
permudaan hutan secara alam. Inventarisasi ini 3. Persemaian (Et+2)
dilakukan pada blok dan petak yang telah ditentukan Pembuatan bibit dilakukan 2 tahun setelah penebangan.
dalam rencana tahunan. Bibit dapat berasal dari biji atau cabutan anakan alam dari
b. Pohon yang diinventarisasi dibedakan antara pohon hutan.
komersial, tidak komersial, pohon pengganggu dan
4. Inventarisasi Permudaan (Et+5)
seterusnya menurut keperluan.
Inventarisasi permudaan dilakukan 5 tahun setelah
c. Petak ukur untuk inventarisasi pohon berukuran
penebangan yang bertujuan untuk mengetahui berhasil atau
20x20m yang searah dengan perbedaan topografi dan
tidaknya permudaan alam dengan perbandingan dari hasil
vegetasi. Inventarisasi semai dipisahkan antara semai
inventarisasi semai sebelum penebangan. Permudaan yang
dengan tinggi 0-30 cm dan 30-150 cm dengan metode
diinventarisasi dikelompok: tinggi 1,5 – 3 m, tinggi 3 m s/d
LSM
diameter < 5 cm dan tiang berdiameter 5-10 cm. Apabila
d. Waktu berbunga dan berbuah jenis pohon komersial di
permudaan kurang cukup harus dilakukan tanaman
catat.
sulaman. Inventarisasi menggunakan sistem sampling LS
2. Penebangan (Et) ¼, dengan petak ukur 5 x 5 menempel secara kontinyu
a. Penebangan pohon diusahakan meminimalkan sepanjang rintisan.
kerusakan permudaan jenis komersial
5. Pemeliharaan Tegakan Hutan (Et+10, 15, 20)
b. Jalan sarad dibuat sebelum diadakan penyaradan dan
a. Pemeliharaan tegakan hutan dilakukan pada 10 tahun,
arah rebah pohon menuju jalan sarad. Pada penyaradan
15 tahun dan 20 tahun setelah penebangan, yang
kayu diusakan menggunakan winch dan tidak dilakukan
dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi dan
pada musim hujan untuk menekan kerusakan tanah.
struktur tegakan hutan yang baik.
c. Pada penyaradan sistem high lead yarding, harus
b. Pembebasan permudaan/pohon komersial dari
menempatkan spar tree yang tepat sehingga
pengganggu untuk mendapatkan ruang tumbuh dan
memungkinkan penyaradan log ke atas dan memakai
cahaya yang baik, dengan memotong atau membunuh sebagai bagian dari sistem silvikultur di Indonesia berdasarkan
liana, akar serta jenis pengganggu lainnya. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009.
c. Bila permudaan/pohon mengelompok dilakukan Sebaliknya dalam Peraturan tersebut pemerintah hanya
penjarangan mengakui sistem silvikultur TPTI, TPTJ, Tebang Rumpang dan
d. Pada tempat yang terbuka/kosong, seperti bekas TPn, THPB.
jalan sarad, jalan kabel dll dan pada tempat-tempat yang
tidak/kurang mengandung permudaan jenis komersial
dilakukan penanaman sulaman atau enrichment planting
menggunakan bibit dari persemaian.
6. Perlindungan Hutan
a. Pada bekas jalan sarad dan kabel dibuat galangan dan
parit melintang untuk mencegah/meminimalkan bahaya
erosi
b. Pemangku hutan (HPH) bekerja sama dengan instansi
pemerintah harus mencegah terjadinya perladangan liar,
kebakaran dan penggembalaan liar pada bekas tebangan
dengan mengerjakan penjaga hutan (forest guard).
c. Jumlah penjaga hutan disesuaikan dengan luas areal
pengelolaaan. Luas 1.000-5.000 Ha ditempatkan 1
penjaga hutan, 6.000-10.000 Ha ditempatkan 2 penjaga
hutan dan setiap penambahan luas 10.000 Ha
ditambahkan 1 penjaga hutan.

C. Evaluasi Sistem THPA

Sistem THPA mengandalkan pada struktur dan komposisi


jenis komersial yang mengisi tegakan, sehingga bila terjadi
kekurangan jenis tersebut akan terjadi kegagalan regenerasi
potensi (Synnott dan R.H.Kemp, 2006).
Meskipun sudah terdapat pedoman pelaksanaan sistem
THPA, namun sistem ini hampir belum pernah dipraktekkan di
Indonesia. Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapangan
sistem ini sebenarnya sering terjadi baik di sengaja maupun
tidak. Sejak tahun 2009 sistem THPA sudah tidak diakui
tahun 1920 Acacia vilosa dipakai oleh W. Versluys sebagai
XI. AGROFORESTRY tanaman sela untuk tanah yang kurang subur dan mendapat
tekanan penggembalaan liar.
Menurut International Council for Research in Agroforestry
A. Pengertian dan Dasar Sistem Agroforestry (ICRAF), agroforestry adalah sistem pengelolaan lahan dengan
berasaskan kelestarian dalam rangka meningkatkan hasil lahan
Konsep tumpang sari atau agroforestry yang dikemas secara secara keseluruhan dengan cara mengkombinasikan produksi
ilmiah dirintis oleh Canadian International Development tanamaan, baik tanaman keras maupun tanaman pertanian
Centre pada tahun 1970-an. Konsep ini dilatar-belakangi oleh dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit
kondisi hutan di negara berkembang yang belum cukup lahan yanag sama, serta menerapkan cara-cara pengelolaan
dimanfaatkan secara optimal. Penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut
yang dilakukan di bidang kehutanan sebagian besar hanya Satjapradja (1981), agroforestry adalah metode penggunaan
mengarah pada eksploitasi hutan secara selektif di hutan alam lahan secara optimal dengan mengkombinasikan sistem-sistem
dan pengembangan hutan tanaman. Muncul ide lanjutan untuk produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (kombinasi
meningkatkan dayaguna lahan yang tidak terbatas pada hasil produk kehutanan dan produksi pertanian) melalui cara
hutan kayu semata, namun perlu ada perhatian pula terhadap berdasarkan azas kelestarian yang dilakukan secara bersamaan
masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem atau berurutan dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan
pengelolaan dan produksi kayu bersamaan dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Nair (1989)
pengembangan komoditi pertanian, dan atau peternakan serta setuju dengan pendapat Lundgren dan Raintree bahwa
merehabilitasi lahan kritis. agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem-sistem
Di sisi lain, terdapat kegiatan yang dapat mengarah kepada penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu
pengrusakan lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb) ditanam
dikendalikan lagi. Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini bersamaan dengan tanaman pertaian dan/atau hewan, dengan
perlu dicegah dengan cara pengelolaan lahan yang dapat tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau
mengawetkan lingkungan fisik sekaligus dapat memenuhi urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi
kebutuhan pangan, papan, dan sandang khususnya bagi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang
masyarakat setempat. bersangkutan.
Praktek tumpang sari sebenarnya sudah diterapkan sejak Tujuan pengembangan agroforestry antara lain :
lama di Burma, Banglades, India, Indonesia dan lain-lain 1. Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan untuk
namun belum kemas secara ilmiah, terencana dan terintegrasi. menghasilkan hasil hutan berupa kayu dan non kayu secara
Di Burma istilah ini dikenal sebagai Taungya. Di Pulau Jawa bersamaan atau berurutan.
(Pemalang) praktek tumpang sari pertama kali dipopulerkan 2. Meningkatkan produktifitas lahan dan menjaga
oleh Buurman V. Vreeden pada tahun 1883 sebagai salah satu biodiversitas
sistem dalam pengelolaan hutan tanaman jati (Tectona 3. Pembangunan hutan secara multi fungsi dengan melibatkan
grandis). Pada tahun 1907 tanaman sela kemlandingan peran serta masyarakat secara aktif.
(Leucaena leucocephala) diperkenalkan oleh J. Jaski dan pada
4. Meningkatkan pendapatan penduduk setempat dengan 11. Menambah ruang terbuka hijau
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan 12. Sebagai tempat pemeliharaan ternak dan habitat
meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya 13. Mampu menekan pertumbuhan alang-alang (Imperata
peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di cylindrica) menggunakan tanaman sela kemlandingan dan
lingkungannya guna mendukung proses pemantapan perawaratn intensif oleh petani
ketahan pangan masyarakat. Program ini juga sangat 14. Biaya pengelolaan menjadi lebih rendah dibanding output
membantu petani yang hanya mempunyai lahan terbatas. yang dihasilkan.
5. Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi
kepentingan masyarakat luas.
6. Mendukung ketahanan pangan (food security) dan energi
melalui peningkatan produksi tanaman pertanian, buah,
minyak nabati (lemak) dan lain-lain
7. Menekan kerusakan hutan akibat perambahan hutan,
perladangan dan lain-lain yang dilakukan masyarakat
sekitar hutan
8. Meningkatkan budidaya tanaman obat alami
9. Membantu penyerapan karbon
10. Menciptakan agropolitan

Gambar 35. Sistem agroforestry: tanaman keras dapat


melindungi tanaman semusim dari pengaruh
angin/ badai

Gambar 34. Agroforestry: tanaman pokok (jati) dengan Tanaman pertanian yang dapat dipergunakan untuk kegiatan
tanaman semusim (jagung) agroforestry adalah padi gogo (varietas jatiluhur, dodokan dll),
kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang
tunggak, kacang panjang), jagung, ubi jalar, semangka, kentang Pada dasarnya sistem agroforestry mempunyai ciri-ciri
hitan/kumeli, nanas, berbagai jenis sayuran, wijen, bengkuang, sebagai berikut:
sorghum, waluh kuning, tanaman obat dan rempah 1. Dasar struktural yang menyangkut sistem silvikultur,
(pulepandak, panili, lada, kemukus, cabe jamu, gambir, empon- silvopastur, agrisilvopastur.
empon: jahe, kencur, lengkuas, kunyit, temulawak, a. Agrisilvopastur adalah penggunaan lahan secara sadar
lempunyang, kapulaga, nilam, mentha, kunyit, kumis kucing), dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi
rumput pakan ternak, tanaman pangan (ganyong, garut, iles- hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan atau
iles, gadung), lidah buaya dan lain-lain. berurutan.
Beberapa jenis tanaman yang kurang dianjurkan sebagai b. Sylvopastoral system adalah sistem pengelolaan lahan
tanaman tumpang sari karena banyak menyerap unsur hara hutan yang dikombinasikan dengan peternakan.
sehingga dapat mengurangi kesuburan tanah adalah ketela c. Agrosylvo-pastoral adalah sistem pengelolaan lahan
pohon, pisang buah, tebu, rumput gajah, sereh wangi dan lain- hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan
lain kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk
Persyaratan tanaman untuk agrofrestry: memelihara hewan ternak.
a. Tidak bersifat alelopati, tidak invasif, tidak bersifat d. Multipurpose forest adalah sistem pengelolaan dan
dominan atas yang lain, dapat berasosiasi positif atau penanaman hutan menggunakan berbagai jenis pohon
(setidaknya) tidak mengganggu untuk menghasilkan bermacam-macam hasil hutan kayu
b. Interaksi tidak bersifat parasitisme, setidaknya dan non kayu, seperti obat-obatan, getah, buah, madu,
komensalisme (epipit). Beberapa tanaman sejenis atau gaharu dan lain-lain serta manfaat tidak langsung seperti
berbeda jenis ada yang dapat melakukan konjugasi konservasi lingkungan, tanah dan air, ekowisata dan
(penyatuan) akar untuk memperluas bidang perakaran. lain-lain.
c. Secara sendiri atau bersama mampu membentuk Safety 2. Dasar fungsional yang menyangkut fungsi utama atau
Nutrient Network, sehingga dapat mengoptimalkan peranan dari sistem, terutama komponen kayu-kayuan.
penggunakan ruang perakaran (dibawah tanah). 3. Dasar sosial ekonomi yang menyangkut tingkat masukan
d. Kombinasi jenis tanaman yang mempunyai karakteristik dalam pengelolaan (masukan rendah, sedang dan tinggi)
ruang tumbuh masing-masing, sehingga menciptakan atau intensitas dan skala pengelolaan, atau tujuan-tujuan
dimensi waktu dan tata ruang, seperti tree crops yang usaha (subsistem, komersial, intermedier)
mengisi strata atas dan perakaran dalam dengan annual 4. Dasar ekologi yang menyangkut kondisi lingkungan dan
crops yang mengisi strata bawah dan perakaran dangkal. kecocokan ekologi dan sistem.
e. Mampu membentuk sinergi mutualisme dengan fungsi dan
peranan masing-masing dalam ekosistem agroforestry
(jawaban soal nomor 1)
d. Dapat hidup bersama berdasarkan dimensi waktu dan tata
ruang, sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan
penghasilan (output) serta berkelanjutan (sustainable
agroforestry management).
2. AF vs ilmu peternakan dan perikanan (agrosilvopastural)
Mutualisme antara tree crops, annual crops dan binatang
ternak melalui penyediaan habitat, pakan dan pupuk organik
serta meningkatkan sosek masyarakat

3. AF vs ilmu ekonomi
Menciptakan variasi produksi sesuai tata waktu dan runag
serta meningkatkan nilai tambah lahan serta kontinyuitas hasil
yang lebih resisten terhadap resiko akibat hama dan penyakit
serta fluktuasi harga komoditas tertentu.

4. AF vs ilmu ekologi
AF yang kaya tree crops dapat memperkecil surface run off,
meningkatkan kandungan serasah, bahan organik, kesuburan
tanah, kapasitas infiltrasi tanah dan siklus hidro-orologi,
melindungi sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta proses
biogeokimia, konservasi tanah dan air, meningkatkan
Gambar 36. Rehabilitasi lahan melalui sistem agroforestry biodiversity dan kualitas lingkungan.

5. AF vs ilmu sosial (social forestry)


B. Hubungan Agroforestry dengan Bidang Lain Melalui hutan kemasyarakatan (Community forest)
masyarakat dapat mengelola hutan dengan lebih leluasa dengan
1. Agroforestry vs ilmu pertanian + kehutanan berbagai variasi tanaman (tree crops dan annual crops).
Sistem agroforestry (AF) dapat mengoptimalkan Melalui hutan rakyat (Farm-forest) masyarakat dapat
penggunakan lahan berdasarkan dimensi waktu dan tata ruang mengelola lahan miliknya menggunakan tree crops dan annual
vertikal dan horisontal sehingga dapat meningkatkan crops secara lebih berkesinambungan, berwawasan lingkungan.
produktifitas lahan, ramah lingkungan dan meningkatkan Keduanya dapat memperluas lapangan pekerjaan,
penghasilan. Tanaman pertanian (annual crops), termasuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
tanaman perkebunan, dapat mengoptimalkan penggunaan ruang serta menyediakan jasa lingkungan yang berkualitas tinggi.
tumbuh; unsur hara dan cahaya sehingga dapat meningkatkan Orientasi ekonomi dalam skala subsisten, semi komersial dan
kuantitas, kualitas dan diversitas produksi serta membantu komersial.
sosek masyarakat (khususnya pada hutan tanaman). Sedangkan
tanaman kehutanan (tree crops) dapat berperan sebagai pagar, 6. Kontribusi Agroforestry system (AF) pada ketahanan pangan
melindungi dari angin, binatang ternak, estetika, suplai serasah, Diversitas tanaman pangan dalam AF dapat memberikan
jasa lingkungan serta konservasi tanah dan air. variasi hasil produksi pangan, seperti padi, jagung, ketela
pohon, ketela rambat, berbagai umbi-umbian, biji-bijian, sukun, yang berkelanjutan sehingga mempertinggi produksi per satuan
sagu, kerut dan lain-lain (tidak tergantung pada satu jenis waktu.
komoditi pangan saja= diversifikasi produk). Kawasan hutan
yang sangat luas (120,35 juta ha) mampu memberi kontribusi 10. Peranan Agroforestry (AF) pada perlindungan tanah
pada ketahanan pangan apabila (sebagian pengelolaannya) AF yang mempunyai beberapa strata tajuk mampu
menerapkan sistem agroforestri, yaitu melakukan percampuran melindungi tanah dari tumbukan air hujan dan sengatan sinar
tanaman kehutanan (tree crops) dengan tanaman pangan (food marahari secara langsung, sehingga struktur dan agregat (sifat
crops), misalnya tanaman jati dengan jagung, tanaman sengon fisik) tanah terjaga dan tidak mudah tererosi. Serasah yang
dengan padi gogo dll. dihasilkan cukup banyak, sehingga dapat menambah BO dan
unsur hara dalam tanah. Melalui proses perombakan
7. Kontribusi Agroforestry system (AF) pada energi: (desomposition) dan pelapukan oleh iklim (weathering) dapat
AF dapat memberikan energi hayati yang terbarukan melalui memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah. Tree crops
penggunakan kayu bakar, arang, biogas sampai pada mempunyai lapisan perakaran yang dalam. Semuanya dapat
penggunaan komoditi penghasil biofuel pengganti BBM seperti memperkecil surface run off, meningkatkan kapasitas infiltasi
jarak pagar, kelapa sawit, jagung dll. tanah dan kandungan air tanah serta memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah (biogeokimia).
8. Kontribusi Agroforestry (AF) pada pengurangan
pemanasan global
Penggunaan tanaman keras (tree crops) dapat menyerap gas C. Desain Agroforestry
rumah kaca (seperti CO2) sebagai penyebab utama pemanasan
global, karena tree crops banyak melakukan fotosintesis yang Dasar-dasar dalam mendesain agroforestry pada prinsipnya
menyerap CO2 dari udara (C-sink ) dan menimbun dalam dapat mendorong tercapainya/ peningkatan produktifitas lahan,
biomass sebagai (C-stock). keberlanjutan dan penyebarluasan sistem agroforestry ke
berbagai tempat dan dalam kondisi yang berbeda. Hal-hal yang
9. Peranan Agroforestry system (AF) pada produktifitas lahan perlu diperhatikan adalah:
AF dapat mengoptimalkan penggunaan lahan berdasarkan a. Memelihara dan meningkatkan keunggulan sistem AF,
dimensi waktu dan tata ruang (vertikal dan horisontal). AFS meminimalisir kelemahannya dan mewujudkan kelestarian
dapat memanfaatkan ruang tumbuh diatas tanah serta ruang SDA-lingkungan dan kesejahteraan petani.
perakaran secara lebih baik melalui kombinasi jenis tree crops b. Terdapat rumusan pengelolaan AF yang spesifik sesuai
dan annual crops yang sesuai. Tree crops yang mengisi strata kondisi lahan dan masyarakat setempat
atas dan mempunyai perakaran lebih dalam dikombinasikan c. Rumusan pengelolaan AF beragam sesuai kondisi lahan dan
dengan annual crops pada strata bawah dan areal perakaran keadaan masyarakat, namun semuanya mempunyai kriteria
yang dangkal. Kombinasi ini dapat menghasilkan variasi berupa: Merupakan campuran tree crops dan annual crops,
produk dan meningkatkan produktifitas lahan (hasil hutan-kayu mempunyai lebih dari satu strata tajuk, produktifitas cukup
dan hasil tanaman pertanian) serta menciptakan areal budidaya tinggi dan dapat meningkatkan pendapatan petani,
terjaganya fungsi ekosistem dan dapat diadopsi oleh petani.
d. Unit pengelolaan AF mulai dari skala rumah tangga sampai
unit usaha yang besar (perusahaan).
e. Pengembangan sistem AF melalui jaringan kerjasama
dalam wadah koperasi, paguyuban, kelompok tani dll untuk
menangani pengelolaan produksi, pemasaran, keuangan dan
lain-lain
f. Unit pengelolaan AF lebih besar dibanding unit pengelolaan
monokultur (7-8 kali) atau sekitar 2 ha/KK
g. Pengelolaan sistem AF mulai dari lahan milik masyarakat
(misalnya pengelolaan lahan pekarangan, farm-forest)
sampai pada kawasan hutan (misalnya community forest)
Di masa depan agroforestry lebih banyak diarahkan pada
hal-hal sebagai berikut
1. Optimalisasi penggunaan lahan dan peningkatan
produktifitas lahan menggunakan heterocultural system Gambar 37.
2. Sustainable agroforestry management Sistem agroforestry mengoptimal
3. Peningkatan kesejahteraan petani melalui optimalisasi kan penggunaan lahan. Tanaman
penggunakan lahan dan peningkatan produktifitas keras dengan zona perakaran
4. Usaha pertanian yang ramah lingkungan menggunaan tree dalam serasi dengan tanaman
crops semusim dengan perakaran
5. Pengelolaan sumber daya alam dengan kaidah konservasi dangkal.
tanah dan air
6. Reduksi gas rumah kaca untuk menekan pemanasan global
menggunakan tanaman keras 11. Peranan Agroforestry system (AFS) pada sustainable
7. Penerapan agroforestry pada tingkat bentang alam (lanskap) farming system (sistem pertanian berkelanjutan): Kombinasi
8. Pengembangan ilmu dan teknologi agroforestry sesuai tanaman pertanian (annual crops) dengan tanaman keras
kondisi lahan dan masyarakat setempat (adopsi iptek (tree crops) dapat menciptakan sistem pertanian
agroforestry) berkelanjutan. Kombinasi dapat berdasarkan dimensi
9. Evaluasi produktifitas, ekonomi, keberlanjutan, sosial, waktu (permanent combination dan temporary
distribusi, jasa lingkungan, perlindungan das, emisi gas combination) serta tata ruang (penyebaran vertikal dan
rumah kaca dan biodiversity. horisontal). Tree crops dapat menyuplai serasah (bahan
10. Perbaikan dan penyesuaian kelembagaan dan kebijakan organik) secara kontinyu pada lahan pertanaman sehingga
yang berkaitan dengan agroforestry serta pemberdayaan dapat menyediakan humus dan unsur hara. Pergiliran
masyarakat lokal (indigenous) tanaman dilakukan dengan sistem pergantian total atau
sebagian dan berseling. Pemanenan kayu pada AFS
menggunakan sistem tebang pilih dan kegiatan regenerasi
dilakukan pada areal tersebut dengan beragam komoditas
pilihan sehingga areal pertanaman senantiasan terisi (tidak
pernah kosong). Setiap muncul areal yang kosong selalu
ditanami dengan beragam jenis. Pelaksanaan kegiatan tumpangsari pada dasarnya
dilaksanakan oleh kelompok tani hutan yang berlaku sebagai
Desain agroforestry di areal pengusahaan hutan wadah para peserta tumpangsari. Disamping sebagai peserta
tumpangsari masyarakat setempat juga dapat dilibatkan sebagai
Pemegang konsesi, terutama IUPHHK-Hutan Tanaman
tenaga kerja dalam pembangunan hutan tanaman. Perusahaan
tanaman wajib memberdayakan masyarakat di sekitar dan di
dapat berperan sebagai pendamping masyarakat dalam
dalam kawasan hutan produksi dan atau di sekitar areal
pelaksanaan kegiatan tumpangsari, dalam hal:
kerjanya antara lain untuk melaksanakan kegiatan tumpangsari.
1. Penyandang/ penyedia dana kegiatan.
Kewajiban pelaksanaan tumangsari setiap tahunnya dapat
2. Pembimbing masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan.
mencapai 20% dari luas tanaman pokok yang direncanakan
3. Membantu pemasaran hasil produksi tumpangsari melalui
untuk ditanam (Kewajiban ini tidak berlaku bagi areal berawa
lembaga koperasi yang ada di lokasi setempat.
dan hutan tanaman sagu). Peserta tumpangsari wajib
melaksanakan kegiatan tumpangsari sesuai perjanjian yang
telah disepakati bersama dengan pihak perusahaan. Peserta
tumpang sari juga wajib memelihara tanaman pokok kehutanan.

Gambar 39. Tanaman padi gogo berdampingan dengan


tanaman pokok, sengon. Penggilingan padi
dilakukan di lapangan dengan memanfaatkan
Gambar 38. Menugal. Menyemai benih padi gogo di antara
mulsa sebagai bahan organik
tanaman pokok: sengon. Lokasi: HTI PT GM,
Kalsel
Pelaksanaan tumpangsari dilakukan dalam bentuk kontrak
atau penjanjian kerja antara peserta tumpangsari dalam wadah XII. MULTISISTEM SILVIKULTUR
kelompok tani hutan dengan pihak perusahaan. Pola dasar
kontrak atau perjanjian kerja tumpangsari berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak, baik dalam pelaksanaan A. Pengertian dan Dasar Multisistem Silvikultur
tumpangsari maupun dalam pembangunan hutan tanaman.
Peserta tumpangsari disamping memperoleh manfaat hasil Kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung
pertanian dalam pelaksanaan tumpangsari juga memperoleh mengalami penurunan, baik kuantitas (deforestation) maupun
upah sebagai tenaga kerja dalam pembangunan hutan tanaman kualitasnya (forest degradation), seiring dengan perubahan
dalam bentuk pemeliharaan/ pengaman tanaman pokok mereka. lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju
Untk kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan tumpangsari deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th (1985-1997) dan
pihak perusahaan wajib menyediakan bantuan berupa sarana meningkat menjadi 2,84 juta ha/th (1997-2000) (Balitbanghut
produksi dalam bentuk benih/ bibit tanaman, pupuk, pestisida, 2008).
peralatan pertanian dan lain-lain dalam anggaran tumpangsari. Tantangan terbesar dalam mengelola hutan alam lainnya
Penyaluran sarana produksi oleh pihak perusahaan dilakukan adalah rendahnya tingkat produktifitas hutan alam. Menurut
kelompok tahi hutan setelah kontrak/ perjanjian kerja Ditjen BPK (2010) produktifitas hutan alam produksi sampai
ditandatangani kedua belah pihak. tahun 2003 hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th, lalu turun menjadi
0,46 m3/ha/th pada tahun 2007. Pada tahun 2010 produktifitas
hutan alam semakin menurun, yaitu 0,25 m3/ha/th (Suparna
2010). Di IUPHHK PT Gunung Meranti, rata-rata
produktifitas hutan hanya 0,45 m3/ha/th (Wahyudi 2010a).
Produktifitas hutan yang rendah menyebabkan biaya
pembinaan hutan menjadi kurang tersedia sehingga hutan tidak
terawat. Pengelola hutan (pengusaha) cenderung mengalihkan
usahanya pada sektor lain yang lebih menguntungkan. Pemda
cenderung mengkonversi hutan menjadi areal perkebunan atau
pertambangan yang lebih produktif dan mendatangkan uang
dalam waktu singkat. Kebijakan Pemerintah (Dephut)
mencabut izin usaha HPH yang tidak baik kinerjanya justru
meningkatkan kehancuran hutan disebabkan semakin
maraknya illegal logging, illegal minning dan perambahan
hutan pada kawasan yang sudah “tidak bertuan” tersebut.
Pada saat ini kondisi kawasan hutan sudah terfragmentasi
(Wahyudi 2010) dan berbentuk mosaik (Suhendang 2008)
dengan produktifitas yang rendah. Mosaik kawasan hutan
terdiri dari hutan primer (virgin forest), hutan sekunder (loged sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen
over forest), hutan rawang (low potential forest), semak dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan
belukar, padang alang-alang dan tanah kritis. Bahkan tidak dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta
jarang ditemukan desa, perkampungan, kebun rakyat, ladang dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.
dan lain-lain di dalam kawasan hutan. Sektor kehutanan telah
memasuki titik paling lesu sejak tiga dasawarsa terakhir.
B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur

Multisistem silvikultur dapat menggunakan dua atau lebih


c b sistem silvikultur dalam satu unit manajemen. Kombinasi
b sistem silvikultur dapat dilakukan menggunakan sistem TPTI,
TPTJ, THPB, Tebang Rumpang, Program Reboisasi dan
a Penghijauan serta Agroforestry. Variasi kombinasinya antara
c lain:
a. Sistem TPTI dan sistem TPTJ
b. Sistem TPTI dan sistem THPB
c. Sistem TPTJ dan sistem THPB
c d. Sistem TPTI, sistem TPTJ dan sistem THPB
e. Sistem TPTI dan sistem Agroforestry
a d. Kombinasi lain

a 1. Sistem TPTI
Sistem TPTI termasuk Polycyclic system dengan
menerapkan tebang pilih individu dengan limit diameter
Gambar 40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi: (a)
(individual selective cutting). Secara umum sistem seperti ini
berhutan (b) semak belukar (c) lahan kosong.
tidak memberi produktifitas yang tinggi namun sangat
Multisistem silvikultur cocok diterapkan di sini.
bersahabat dengan lingkungan karena masih menyisakan
sebagian besar tegakan tinggal (Mitlöhner 2009, Wahyudi
Upaya untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian
2009). Sistem seperti ini akan selalu mempertahankan pola all-
hutan yang telah terfragmentasi ini dapat ditempuh melalui
aged forest, sebagai indikator awal kelestarian struktur dan
penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural
komposisi tegakan tinggal (Wahyudi 2010).
system) yaitu penerapan beberapa sistem silvikultur dalam satu
Syarat kelayakan pengelolaan hutan mengacu pada jumlah
unit manajemen sesuai dengan struktur, komposisi dan kondisi
pohon masak tebang minimal yang boleh ditebang per hektar
penutupan lahannya agar diperoleh manfaat yang optimal.
yang harus terdapat pada areal yang dikelola agar dapat
Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem
memberikan keuntungan secara finansial (Suhendang 1985).
pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih
Salah satu indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari Berdasarkan penemuan di atas, siklus tebang sistem TPTI
adalah terciptanya tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis tergantung pada struktur dan komposisi tegakan tinggal
hasil hutan kayu dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem (SK masing-masing serta target produksi yang diinginkan sehingga
Menhut Nomor 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan tidak bisa dibuat sama untuk semua kawasan hutan produksi.
Indikator Pengelolan Hutan Alam Produksi Lestari Lestari: Siklus tebang ke-2 selalu lebih panjang dibanding siklus
Kriteria 2, indikator 2.2.). sebelumnya yang mengindikasikan telah terjadi penurunan
Dalam kasus di PT Gunung Meranti, rata-rata produksi kualitas tempat tumbuh sebagai dampak dari penebangan.
sistem TPTI dari tahun 1990 sampai 2009 adalah 34,56 m3/ha
dengan jumlah pohon 5,1 pohon/ha (PT GM 2008). 2. Sistem TPTJ
Berdasarkan hasil pemodelan, untuk memulihkan kondisi
Sistem TPTJ menggabungan konsep tebang pilih individu
seperti semula diperlukan waktu pada siklus ke-1 dan ke-2
pada jalur antara dan tebang habis dengan penanaman butan
masing-masing selama 29 dan 37 tahun.
(THPB) pada jalur antara. Riap tahunan rata-rata (MAI)
diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula dalam jalur
tanam yang berumur 2 tahun masing-masing sebesar 1,06 cm/th
dan 145 cm/th, sedangkan MAI diameter tanaman meranti yang
telah berumur 11 dan 16 tahun masing-masing sebesar 1,22
cm/th dan 1,31 cm/th.
Tanaman meranti mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun
dengan potensi sebesar 136,72 m3/ha yang terdiri dari 125,14
m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter
30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada daur ke-1 ini
lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang
penyiapan lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m3/ha atau dari
sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha, sehingga sistem ini mampu
meningkatkan produktifitas hutan. Tidak semua tanaman
meranti telah mencapai diameter 50 cm pada umur 32 tahun.
Gambar 41. Respon perkembangan kerapatan pohon masak
Pencapaian tertinggi terjadi pada umur 39 tahun, namun
tebang terhadap pemanenan jenis komersial
demikian penetapan siklus tebang selama 35 tahun sudah dapat
ditebang sistem TPTI di IUPHHK PT Gunung
memberi keuntungan yang baik (Wahyudi 2010a).
Meranti, Kalimantan Tengah
Pada daur ke-2 diperkirakan terjadi penurunan kualitas
tempat tumbuh sehingga untuk mencapai tingkat produksi yang
Untuk mencapai siklus yang lestari pada PT Inhutani II di
sama diperlukan daur 39 tahun. Upaya untuk memperpendek
Pulau Laut (Kalsel) diperlukan siklus ke-1 dan ke-2 masing-
siklus tebang ke-2 dapat dilakukan dengan pemberian input
masing selama 24 dan 37 tahun (Indrawan 2003a) sedangkan
unsur hara dari luar, seperti pemupukan, pemulsaan dan lain-
pada PT Ratah Timber (Kaltim) diperlukan waktu masing-
lain.
masing selama 30 dan 43 tahun (Indrawan 2003b).
Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter tegakan tinggal 3. Program Reboisasi
tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21
Reboisasi adalah penanaman yang dilakukan pada kawasan
sampai 0,76 cm/th dengan tingkat pertumbuhan tertinggi berada
hutan yang telah terdegradasi, seperti areal semak belukar dan
pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok
lahan kosong. Lahan kritis dan terdegradasi di dalam kawasan
meranti dan dipterocarpa non meranti mempunyai pertumbuhan
hutan seluas 21,94 juta ha (Tarigan et al 2009) yang tersebar
yang lebih tinggi dibanding kelompok komersial lain.
secara sporadis. Upaya untuk meningkatkan produktifitas
Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTJ dapat
lahan seperti ini melalui THPB. Berdasarkan hasil penelitian,
tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 dan ke-2
penanaman tanaman jabon, sengon, sungkai dan akasia
masing-masing selama 26 tahun dan 40 tahun.
mangium pada lahan seperti ini masih mampu memberikan
keuntungan yang baik. Perhitungan dilakukan pada lahan
netto, artinya areal tidak efektif untuk produksi dianggap nol
atau semua lahan dianggap dapat ditanami.
Pada umur 5 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI)
dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan
sungkai masing-masing sebesar 6,79 m3/ha/th dan 840
pohon/ha; 15,96 m3/ha/th dan 751 pohon/ha; 24,32 m3/ha/th
dan 756 pohon/ha serta 1,85 m3/ha/th dan 1.045 pohon/ha
(Wahyudi 2006).

Gambar 42. Respon perkembangan kerapatan pohon masak


tebang terhadap pemanenan jenis komersial
ditebang sistem TPTJ di IUPHHK PT Gunung
Meranti, Kalimantan Tengah

Dengan demikian, siklus tebang ke-1 pada sistem TPTJ,


khususnya di PT Gunung Meranti, sebaiknya selama 35 tahun
dan jalur antara sebaiknya dijadikan jalur konservasi yang
dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya
genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan,
Gambar 43. Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong
gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan
dalam kawasan hutan produksi
bioaktif, karena peningkatan produktifitas hutan telah terjadi
hanya dengan mengandalkan hasil tanaman pada jalur antara.
sebesar 3,2 ton ha-1 pada tahun pertama dan sebesar 2,4 ton
Pada umur 10 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI) ha-1 pada tahun kedua (Wahyudi 2010b).
dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan
sungkai masing-masing sebesar 15,17 m3/ha/th dan 683
pohon/ha; 19,60 m3/ha/th dan 684 pohon/ha; 23,96 m3/ha/th
dan 510 pohon/ha serta 6,22 m3/ha/th dan 1.016 pohon/ha
(Wahyudi 2006).
Daur ekonomis tanaman akasia mangium adalah 8-20 tahun
dan daur terbaik pada umur 13 tahun dengan keuntungan Rp.
2,35 juta/ha. Daur ekonomis tanaman jabon adalah 5-20 tahun
dan terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 5,33
juta/ha. Daur ekonomis tanaman sengon adalah 5-15 tahun dan
daur terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 1,07
juta/ha. Daur ekonomis tanaman sungkai adalah 15-20 tahun
dan daur terbaik pada umur 17 tahun dengan keuntungan
Rp.5,97 juta/ha (Wahyudi 2006).
Gambar 44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi
4. Sistem Agroforestry gogo
Pada areal yang ditumbuhi alang-alang serta lahan kosong
Sistem agroforestry menjadi pilihan terbaik karena
dapat dikembangkan sistem agroforestry. Penelitian
disamping memberi hasil pertumbuhan tanaman sengon
agroforestry menggunakan contoh tanaman sengon yang
(Paraserianthes falcataria) yang baik (tidak berbeda nyata)
dikombinasikan dengan padi gunung. Untuk membuktikan
dengan pola monokultur intensif, sistem ini juga mampu
keunggulan sistem agroforestry dilakukan penanaman sengon
menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas, meningkatkan
menggunakan tiga pola penanaman, yaitu pola monokultur
pendapatkan masyarakat lokal, menumbuhkan rasa saling
konvensional, pola monokultur intensif dan pola agroforestry.
memiliki terhadap akses sumber daya alam, menciptakan
Hasil penelitian menunjukkan Mean Annual Increment
persepsi positif, menjaga keamanan hutan dan mengurangi laju
(MAI) tanaman sengon pada sistem agroforestry sebesar 2,88
degradasi hutan.
cm/th (diameter) dan 2,9 m/th (tinggi) yang sama baiknya
(tidak berbeda nyata) dengan pola monokultur intensif sebesar
3,02 cm/th (diameter) dan 3,2 m/th (tinggi), sedangkan pola
konvensional (kontrol) hanya memberikan MAI sebesar 1,43
cm/th (diameter) dan 1,39 m/th (tinggi) yang lebih rendah
(berbeda nyata) dibanding kedua perlakuan sebelumnya. Pada
sistem agroforestry juga didapatkan hasil panen padi rata-rata
dari perusahaan. Selanjutnya, sistem TJTI menjadi bagian dari
4. Sistem TJTI sistem-sistem silvikultur yang berlaku untuk mengelolan hutan
di Indonesia bersama-sama dengan sistem TPTI, TPTJ, Tebang
Sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) di
Rumpang, THPB dan THPA berdasarkan Peraturan Menteri
susun berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada
Kehutanan Nomor P.65/Menhut-II/2014 tanggal 12 September
hutan alam monokultur, seperti yang terdapat di lereng Gunung
2014.
Tambora, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sistem TJTI menghendaki penebangan tegakan hutan
Hutan alam di daerah ini didominasi jenis binuang (Duabanga
secara menyeluruh (clear cutting) pada jalur tebang selebar
moluccana) yang tumbuh secara alami sesudah meletusnya
maksimal 140 m dan menyisakan jalur tegakan hutan sebagai
Gunung Tambora tahun 1815. Secara umum, sistem TJTI
jalur antara selebar maksimal 35 m. Jalur tebang selanjutnya
dapat digunakan pada semua hutan klimak (atau hutan alam) di
ditanami menggunakan jenis asal, yaitu duabanga (Duabanga
seluruh kawasan hutan di Indonesia.
moluccana), sehingga areal ini disebut jalur tanam. Setelah
kegiatan penjarangan pertama (misalnya 5 tahun) selesai
dilakukan, maka jalur antara dilakukan penebangan secara
menyeluruh (clear cutting) pula. Dengan demikian, dalam
hamparan areal pengelolaan, terdapat 2 (dua) tegakan yang
dicirikan berdasarkan kelas umur dengan jenis yang sama.
Duabanga merupakan jenis intoleran, maka penerapan
daur teknis tanaman dapat ditetapkan selama 15 tahun atau 20
tahun atau 25 tahun, sesuai dengan kajian ekonomis
perusahaan. Mengingat silvikultur adalah seni dalam
membudidayakan hutan, maka penerapan teknik-teknik
silvikultur hendaknya lebih leluasa, fleksibel dan kreatif sesuai
DAFTAR PUSTAKA
kondisi pasar, social ekonomi masyarakat serta berwawasan
lingkungan.

5. Sistem TPTR
Gambar 45. Lereng Gunung Tambora di Sumbawa merupakan
hutan alam monokultur yang dikelola Sistem Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR) dengan
menggunakan sistem TJTI menggunakan tanaman unggulan setempat seperti jenis-jenis
dipterocarp, terutama meranti, merupakan ide penulis yang
Sistem TJTI dirumuskan oleh Direktorat Bina Usaha disampaikan kepada Direktorat Jenderal PHPL melalui laporan
Hutan Alam, Direktorat Bina Usaha Kehutanan, pada tahun tim pakar bulan September dan Oktober 2015 serta telah dibuka
2014, bersama-sama dengan tim pakar multi sistem silvikultur, pada pertemuan Tim Pakar Multi Sistem Silvikultur di Solo
para peneliti dari Badan Litbang Kehutanan serta hasil kajian
tanggal 18-20 November 2015. Sistem ini dibuat dengan vertikal yang terlalu sering dilaksanakan menyebabkan
pertimbangan sebagai berikut: teknik ini kurang efisien.
a. Sampai dengan tahun 2015, belum ada perusahaan e. Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu
(IUPHHK) yang menerapkan sistem Tebang Rumpang pelebaran jalur tanam pada kegiatan pembebasan dengan
b. Hasil-hasil penelitian Tebang Rumpang belum menebang pohon-pohon besar, disamping tidak efisien,
dimanfaatkan dalam skala operasional. juga dapat merusakan tanaman dalam jalur tanam
c. Hasil penelitian Tebang Rumpang yang dilakukan penulis f. Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu
sejak tahun 1994/1995 memberikan hasil yang mayoritas tanaman dalam jalur tanam hanya menunjukkan
memuaskan. Sampai dengan tahun 2015 (umur tanaman pertumbuhan diameter dibawah 1 cm per tahun.
20 tahun) beberapa pohon meranti merah telah mencapai
diameter 60 cm ke atas (Gambar 46). Sistem TPTR menghendaki dilakukan tebang pilih
(selective cutting) pada tahap awal kegiatan, yang dimaksudkan
untuk mengurangi kerapatan tegakan hutan dan memberikan
hasil hutan dengan cara yang baik dan benar. Kegiatan
penanaman menggunakan jenis unggulan setempat, terutama
meranti, dilakukan dalam rumpang-rumpang yang dibuat pada
areal datar sampai landai tersebar di kiri dan kanan jaringan
jalan yang sudah terbentuk dengan luas 0,5 ha sampai 2 ha.
Rumpang dapat berbentuk lingkaran, oval, persegi atau lainnya
yang menyesuaikan dengan kondisi lapangan yang datar-landai.
Jarak tanam 3 m x 3 m dan dapat dilakukan penjarangan pada
umur 7 tahun. Latar belakang, teknik silvikultur TPTR, serta
strategi meningkatkan produktivitas hutan produksi di
Indonesia dijelaskan dalam bentuk buku tersendiri.

Gambar 46. Tanaman meranti merah umur 20 tahun pada


sistem TPTR (Wahyudi, 2015)

d. Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu


tanaman dalam jalur tanam mengalami perlambatan
pertumbuhan disebabkan jalur tanam (selebar 3 meter)
terlalu cepat menutup kembali. Kegiatan pembebasan
Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for
DAFTAR PUSTAKA modelling forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors.
Modelling Forest System. CABI Publishing.
Appanah SG, Weinland, Bossel H, Krieger H. 1990. Area tropical rain Clutter JL, Fortson JC, Pienaar LV, Brister GH, Bailey RL. 1983. Timber
forests non-renewable? An enquiry through modelling. Journal of Management: A Quantitative Approach. Wiley, N.Y. 333p.
Tropical Forest Science 2(4) pp 331-348. Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of
Appanah S,Weinland G. 1993. Planting Quality Timber Trees in Peninsular silvicultural system to address ecosystem management objectives.
Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Journal Forest Ecology and Management 99 (1997) 337-35.
Forest Record No. 38. [Danida dan Dephut] Danish International Development Assistance dan
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1993. Departemen Kehutanan RI. 2001. Zona Benih Tanaman Hutan
Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No.38/Kpts/VIII- Kalimantan Indonesia. Indonesia Forest Seed Project. Kerjasama
HM.3/1993 tentang Pedoman Pembuatan dan Pengukuran Petak Departemen Kehutanan RI dengan Danish International
Ukur Permanen untuk memantau Pertumbuhan dan Riap Hutan Alam Development Assistance (Danida) Denmark, Jakarta.
Tanah Kering Bekas Tebangan. Balitbanghut, Departemen Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management, 3 rd ed. McGraw-Hill,
Kehutanan, Bogor. NY.790 p
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2008. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1989. Surat
Profil Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tentang Sistem
Alam. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
[Balitbanghutbun] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1994. Keputusan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kehutanan No. 200/Kpts-II/1994 tentang Kriteria Hutan
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Produksi Alam yang tidak Produktif. Departemen Kehutanan RI,
Bella LE. 1971. A new competition model for individual trees. Forest Jakarta.
Science 17:364-372 [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997a. Surat
Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest Management and Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/Kpts-II/1997 tentang Sistem
Planning. Academic Press – Elsevier. Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Departemen
Bosch CA. 1971. Redwoods: a population model. Science Journal 172: Kehutanan RI, Jakarta.
345-349. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997b. Surat
Bossel H, Krieger H. 1991. Simulation model of natural tropical forest Keputusan Menteri Kehutanan No. 707/Kpts-II/1997 tentang
dynamics. Ecology Modelling 59:37-71. Pembagian Kelompok Jenis Kayu Bulat sebagai Dasar Penentuan
Botkin DB, Janak JF, Wallis JR. 1972. Some ecological consequences of a Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
computer model of forest growth. Journal Ecology 60:849-872. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. 1999a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
FAO Forestry Paper No.134. FAO USA. No.858/Kpts-II/1999 tentang Tarif Provisi Sumber Daya Hutan
Buongiorno J, Gilles JK. 1987. Forest Management and Economics. Mc (PSDH) Hasil Hutan Kayu. Departemen Kehutanan dan Perkebunan
Millan Publishing Company, New York. RI, Jakarta.
Buongiorno J, Michie BR. 1980. A matrix model of uneven-aged forest [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.
management. Forest Science 26(4):609-625. 1999b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Buongiorno J, Peyron L, Houller F, Bruciamacchie M. 1995. Growth and No.941/Kpts-VI/1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan
management mixed species uneven-aged forest in the French Jura. PT Gunung Meranti. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI,
Forest Science 41(3). Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002. Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.4795/Kpts-II/2002 tentang
Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi pada Unit BPHH/2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen
Pengelolaan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Peraturan [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010a. Surat
Menteri Kehutanan No.P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.
Tanaman Hutan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. SK.31/VI-BPHA/2010 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur TPTJ dengan teknik Silin.
Menteri Kehutanan No.P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010b. Profil
Hutan Produksi. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Model: Konsep dan
[Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1980. Kriteria Implementasi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta
Penetapan Hutan Lindung. Departemen Pertanian RI, Jakarta. Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi Ketiga. Lembaga
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Direktur Jenderal Kehutanan No.35/Kpts/DD/1972 tentang Pedoman Elias, Manan S, Rosalina U. 1997. Studi hasil penerapan pedoman Tebang
Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia di areal HPH PT
Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Kiani Lestari dan PT Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Fakultas
Pengawasannya. Ditjen Kehutanan, Jakarta. Kehutanan IPB, Bogor.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan [FAO] Food and Agriculture Organization. 1979. Philippines Smallholder
Tanaman. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian, Tree. Farming Project. FAO Forestry Paper 17 Supplement, Manila.
Jakarta. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998a. Guidelines for the
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat Keputusan Management of Tropical Forest, The Production of Wood. FAO
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 Forestry Paper 135.
tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Ditjen [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998b. Topsoil characterization
Pengusahaan Hutan, Jakarta. for sustainable land management. Land and Water Development
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat Keputusan Division. Soil Resources, Management and Conservation Service,
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 FAO of UN, Rome.
tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Farima Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology.
Pengusahaan Hutan, Jakarta. Chapman and Hall, London-Weinheim-New York-Tokyo-
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Melbourne-Madras.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor Favrichon V. 1998. Modeling the dynamics and species composition of
SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam tropical mixed species uneven-aged natural forest. Forest Science 44
Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta. (1).
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Surat Favrichon V. Kim YC, 1998. Modelling the dynamics of a lowland mixed
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 41/VI- dipterocarp forest stand: application of a density-dependent matric
BPHA/2007 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan model. In Bertault JG, Kadir, editors. Silvicultural Research in A
Alam sebagai Pelaksana Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Lowland Mixed Dipterocap Forest of East Kalimantan. The
Intensif (TPTII). Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Contributions od STREK Project, CIRAD-Foret, FORDA and PT
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. Inhutani I. CIRAD-Foret Publication:229-245.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. Finkeldey R. 1989. An Introduction to Tropical Forest Genetic. Institute of
P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Goettingen, Germany.
dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Fisher RF, Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Third
Jakarta. Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. Ford RFC. 1977. Terminology of Forest Science Technology Practise and
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.11/VI- Product. Society of American Foresters, Washington DC. 370 p.
Ford A. 2009. Modeling for Environment. An Introduction to System Harrison I, Laverty M, Sterling E. 2004. Alpha, Beta, and Gamma
Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press, Diversity. Connexions module: m12147. 3 pp.
Washington D.C, Covelo, California. Hauhs M, Knauft FJ, Lange H. 2003. Algorithmic and interactive
Forman RTT, Gordon M. 1986. Landscape Ecology. John Willey & Sons, approaches to stand growth modelling. In Amaro A, Reed D, Soares
New York.619 pp. P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing.
Forss ED, Gadow KV, Saborowski J. 1996. Growth Models for Unthinned Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. John Wiley
Acacia mangium Plantations in South Kalimantan, Indonesia. & Sons, Inc. New Jersey.
Journal of Tropical Forest Science, 8(4):449-462. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah
Friend AD, Schugart HH, Running SW. 1993. A Physiology-Based Gap Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (Disertasi).
Model of Forest Dynamics. Ecology Vol.74 No.3 pp.792-797. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
Fyllas NM, Politi PI, Galanidis A, Dimitrakopoulo PG, Arianoutsou M. Indrawan A. 2003a. Model sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah
2010. Simulating regeneration and vegetation dynamics in penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).
Mediterranean Coniferous Forest. Ecology Modelling Journal. 34. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli-Desember 2003
Gadow KV, Hui G. 1999. Modelling Forest Development. Kluwer (www.andryindrawan.blogspot.com)
Academic Publishers. Indrawan A. 2003b. Verifikasi model sistem pengelolaan tegakan hutan
Gittinger JP. 1986. Economic Analysis of Agriculture Project. The Johns alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam
Hopkins University Press. Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2
Goldsmith FB, Harrison CM, Morton AJ. 1986. Description and analysis of Juli-Desember 2003. (www.andryindrawan.blogspot.com)
vegetation. Di Dalam: Moore PD, Chapman SB. Editor. Methods in Indrawan A. 2006. Keanekaragaman Genetis. Makalah disampaikan dalam
Plant Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. rangka fasilitasi penerapan Sistem Silvikultur Intensif di areal
Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource IUPHHK. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen
Management. Systems Analysis and Simulation. John Wiley & Kehutanan, Jakarta.
Sons, Inc. Indrawan A. 2008. Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Di
Gray C, Kadariah L, Karlina 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional
Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan
Jakarta. Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan
Gregory G, Robinson. 1971. Forest Resource Economic. John Willey & Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan
Sons. New York. USA. Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor.
Gunawan HR, Wartomo. 2002. A wood anatomical structure: A new Jennings SB, Brown ND, Sheil S. 1999. Assessing Forest Canopies and
approach to measure the trees growth. Book 3th. Competitive Understory Illumination: Canopy Closure, Canopy Cover and Other
Award Scheme-2. Berau Forest Management Profect, European Measures. Forestry, Vol.72 No.1.
Union and Ministry of Forestry RI. Kemenhut, 2014. Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.65/Menhut-
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest, II/2014 tentang Perubahan atas Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009
An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-Heidelberg-New tentang Sistem Silvikultur dalam Areal IUPHHK pada Hutan
York. Produksi.
Handadari T. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program Pascasarjana Kikuchi J. 1996. The growth and mycorhiza formation on naturally
Unlam, Banjarbaru. regeneration dipterocarps seedling in the logged over forest in Jambi,
Hani’in O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi tantangan Sumatra. In Sabarnurdin MS, Suhardi, Okimori Y, editors.
abad 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Prosiding Seminar Nasional Ecological Approach for Productifity and Sustainability of
Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan Menuju Dipterocarps Forest. Prosiding. Fakultas Kehutanan Universitas
Produktifitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Gadjah Mada dan Kansai Environment Engineering Center (KEEC)-
Wanagama I. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Kyoto. Pp:38-47.
Kimmins JP. 1997. Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Mendoza GA, Gumpal EC. 1987. Growth projection of a selectively cut-
Management. Prentice-Hall. New Jersey. over forest base on residual inventory. For.Ecol.Manage. 20:253-
Kohyama T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest. 263.
The Forest Architecture Hypothesis for the Stable Coexistance of Mengel DL, Roise JP. 1990. A diameter-class matric model for
Species. Journal of Ecology Vol 81 No.1. pp 131-143. southeastern U.S. coastal plain bottomland hardwood stand. South
Kollert W, Zuhaidi A, Weinland G. 1994. Sustainable management of J.Appli. 14: 189-195.
dipterocarps species: silviculture and economic. In Appanah S, Khoo Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest
KC, editors: Proceedings of The Fifth Round-Table Conference on Management. The Ronald Press Company, New York.
Dipterocarps. Chiang Mai. November 7-10, 1994. Pp: 344-379. Mitlöhner R. 2009. Natural Resources in the Tropics.: The Concepts of
Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Woody Plants. Academic Forestry. Burckhardt Institute. Department Tropical Silviculture and
Press. Forest Ecology, University of Göttinggen, Germany.
Kumar S, Matthias F. 2004. Molecular Genetic and Breeding of Forest Moore PD, Chapman SB. 1986. Methods in Plant Ecology. Oxford:
Trees. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. Blackweel Scientific Publications.
New York, London, Oxford. Mori T. 2001. Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai,
Labetubun MS. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur East Kalimantan-Indonesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T,
melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Tesis). Bogor: Program Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded
Pascasarjana IPB. Tropical Forest Ecosytems. CIFOR-Bogor. Pp. 17-26.
Lamprecht H. 1989. Silviculture in the Tropics. TZ-Verlagsgesellcshaft Muller-Dombois, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation
mbH, Postfach 1164, D-6101 RoBdorf, Federal Republic of Ecology. John Wiley and Sons, New York.
Germany. Muhammadi, Erman A, Budhi S. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ
Landsberg JJ. 1986. Physiological Ecology of Forest Production. Academic Press, Jakarta.
Press, London. Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi Ex-
Lee R. 1990. Forest Hydrology. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. situ Shorea leprosula. ITTO PD 106/01 Rev.1 (F) Fahutan UGM,
Leuschner WA. 1990. Forest Regulation, Harvest Scheduling and Planning Yogyakarta.
Techniques. Wiley, New York. 281 p. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. John Wiley & Sons, Publishers. ICRAF. Dordrecht-Boston-London. (22) 385-408.
New York. 337 pp. Nguyen N, Sist P. 1998. Phenology of Some Dipterocarp. Silviculture
MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi Kalimantan. Research in a Low Land Mixed Dipterocarp Forest of East
Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian International Kalimantan. CIRAD-FORET. FORDA.
Development Agency (CIDA), Prenhallindo, Jakarta. Numata S, Yasuda M, Okuda T, Kachi N. 2006. Canopy gap dynamics of
Manan S. 1995. Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. two different forest stand in a malaysian lowland rain forest. Journal
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. of Tropical Forest Science, 18(2) pp.109-116.
McMurtrie RE, Rook DA, Kelliher FM. 1990. Modelling the Yield of Pinus Nugroho B. 2002. Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan Penerbit
radiata on a Site Limited by Water and Nitrogen. Forest Ecology Fakultas Kehutanan IPB.
Management, 30: 381-413. Nyland RD. 1996. Silviculture. Concept and Applications. The McGraw-
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman Hill Companies, Inc. New York-Toronto.
and Hall. London. 179pp. Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc.,
Mansur I. 2008. Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam. Di dalam: New York.467p.
Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem
Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi Kasus di Areal PT Sari
Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah (Disertasi). Bogor: Program
Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Pascasarjana IPB.
Kehutanan, Bogor.
Pancel L. 1993. Tropical Forestry Handbook. Springer-Verlag Berlin [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008b. Rencana Karya Tahunan Usaha
Heidelberg. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2009. PT
Pasaribu HS. 2008. Kebijakan Penerapan Lebih dari Satu Sistem Silvikultur Gunung Meranti Banjarmasin.
pada Areal IUPHHK di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina [PT GM] PT Gunung Meranti. 2009. Rencana Karya Tahunan Usaha
Produksi Kehutanan. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2010. PT
Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Gunung Meranti Banjarmasin.
Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan [PT ITCI] PT International Timber Corporation Indonesia Kayan Hutani.
Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama 2010. Laporan Pelaksanaan TPTI Intensif. Makalah Rapat
Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Bogor: p.13- Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
24. [PT SBK] PT Sari Bumi Kusuma. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif
[PP] Peraturan Pemerintah. 1970. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Meranti. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK,
Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Jakarta.
Pemungutan Hasil Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PT Sarpatim] PT Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Pelaksanaan
[PP] Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Silvikultur Intensif Meranti di PT Sarpatim. Makalah Rapat
Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian Pelaksanaan
[PP] Peraturan Pemerintah. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Silvikultur Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin,
Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.6/2007 tentang Ditjen BPK, Jakarta.
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk
Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian
Pielou EC. 1984. The Interpretation of Ecological Data. John Wiley and Bogor, Bogor.
Sons. New York. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current
Pienaar L, Page H, Rheney JW. 1990. Yield Prediction for Mechanically annual height increment of young Douglas-fir stands at different site.
Site-Prepared Slash Pine Plantations. Southern Journal of Apllied In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System.
Forestry, 14(3):104-109. CABI Publishing.
Pollet A, Nasrullah. 1994. Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu Reed KL. 1980. An ecological approach to modelling the growth of forest
Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. tress. Forest Science. 26:33-50.
Porte A, Bartelink HH. 2001. Modelling mixed forest growth: a review of Rodriguez F, De La Rosa JA, Aunos A. 2003. Modelling the diameter at
models for forest management. Eco. Model. Journal. breast height growht of Populus euramericana plantation timber in
[PT BFI] PT Balikpapan Forest Industries. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Spain. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest
Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. System. CABI Publishing.
[PT ED] PT Erna Djuliawati. 2010. Riset Pengembangan Model Silvikultur Rombe YL, Rahardjo S, Soedarsono, Ambarita M. 1982. Tabel Volume
Intensif. Konsep dan Aplikasi. Makalah Rapat Koordinasi Pohon Berdiri untuk Provinsi Kalimantan Tengah. Direktorat Bina
Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Program Kehutanan, Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2007a. Rencana Karya Tahunan Usaha Pertanian RI, Bogor.
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2007. PT Sabogal C, Robert N. 2003. Restoring Overlogged Tropical Forest. Green
Gunung Meranti Banjarmasin. Earth Technical Notes. Un-published.
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2007b. Rencana Karya Tahunan Usaha Santoso B. 2008. Kebijakan penerapan multisistem silvikultur pada hutan
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2008. PT produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman,
Gunung Meranti Banjarmasin. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2008a. Rencana Karya Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) PT Gunung Meranti Periode 2007-
2016. PT Gunung Meranti Banjarmasin.
Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur dalam Solomon DS, Hosmer RA, Hayslett HT. 1986. A two stage matrix model for
Penerapan Multisistem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. predicting growth of forest stand in the Northeast. Canadian Journal
Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan of Forest Research. 16.
Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Stenzel G, Walbridge TA, Pearce JK. 1985. Logging and Pulpwood
Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Production. John Willey & Sons. New York, USA.
Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J. 2001. Forest Health
Kehutanan. Bogor. Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain
Sheil D, Ducey M. 2002. An extreme-value approach to detect clumping Forest. ITTO and Seameo Biotrop.
and application to tropical forest gap-mosaic dynamic. Jour. of Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika
Tropical Ecology. 18: pp.671-686. dataran rendah di Bengkunat Provinsi Daerah Tingkat I Lampung
Shifley SR. 1987. A Generalized System of Model Forecasting Central (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
States Growth. USDA Forest Service. Pap. NC-279. 10 p. Suhendang E. 1998. Pengukuran riap diameter pohon meranti (Shorea sp)
Sievanen R, Burk TE. 1988. Construction of a stand growth model utilizing pada hutan alam bekas tebangan. Makalah Diskusi: Pertumbuhan dan
photosynthesis and respiration relationships in individual trees. Hasil Tegakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Canada Journal Forestry Res. 18. Konservasi Alam, Bogor.
Singh P, Pathak PS, Roy MM. 1995. Agroforestry Sistem for Sustainable Suhendang E. 2008. Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu
Land Use. Science Publishers, Inc. Manajemen Hutan. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding
Sist P, Bertault JG. 1998. Reduced impact logging experiment: Impact at Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada
harvesting intensities and logging techniques at stand gamage. Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan
Silvicultural research in a low land mixed dipterocarp forest of east Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama
Kalimantan. The contribution of STREK Project CIRAD-Forest- Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor.
FORDA-PT Inhutani I Jakarta. Suparna N. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen
Sist P, Fimbel R, Sheil G, Robert N, Marie H. 2003. Towards sustainable BPK, Jakarta.
management of mixed dipterocarp forest of South East Asia: Moving Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian
Beyond Minimum Diameter Cutting Limits. Journal Environmental Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Conservation 30(4) pp.364-374. Sutedjo MM, Kartasapoetra AG. 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit
Siswomartono D. 1989. Ensiklopedi Konservasi Sumber Daya. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Erlangga, Jakarta. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang
Soderquist C, Peck C, Johnston D. 1996. Getting Started with the Stella Republik Indonesia No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Software. A Hand-On Experience. High Performance Systems, Inc, Asing.
Hanover NH 03755. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang
Soekotjo. 1995. Beberapa faktor yang mempengaruhi riap Hutan Tanaman Republik Indonesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Kehutanan.
Jakarta. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1968. Undang-Undang
Soekotjo, Subiakto A. 2005. Petunjuk Teknis Dipterocarpa. ITTO PD 41/00 Republik Indonesia No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Rev.3 (F.M) Fahutan UGM, Yogyakarta. Dalam Negeri.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang
University Press. Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meneg
Soemarwoto O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Sekretaris Negara RI, Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Vanclay, J.K., 1995. Growth models for tropical forest: A synthesis of
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Institut Pertanian models and methods. Royal Veterinary and Agricultural
Bogor, Bogor. University.Thorvaldsensvej 57. DK-1871 Frederiksberg, Denmark.
Vanclay JK. 2001. Modelling Forest Growth and Yield. Applications to Wasis B. 2006. Perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur pertama
Mixed Tropical Forest. CABI Publishing. dengan daur kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Wild.
Vanclay JK. 2002. Growth modeling and yield prediction for sustainable (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana IPB.
forest management. In Shaharuddin et al. editors. Proceedings of the West PW. 1980. Use of diameter and basal area increment in tree growth
Malaysian-ITTO International Workshop on Growth and Yield of studies. Canada Journal Forest 10: 71-77.
Managed Tropical Forest. Forestry Department Peninsular Malaysia, Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon Press,
Government of Malaysia and ITTO, Kuala Lumpur. Oxford.
Volin VC, Buongiorno J. 1996. Effect of alternative management regimes Wood GB, Wiant Jr HV. 1993. Modern Methods of Estimating Tree and
on forest stand structure, species composition and income: A model Log Volume. West Virginia University Publications Services.
for the Italian Dolomites. Forest Ecology and Management 87:107- Yasman I, Natadiwirya M. 2001. Dipterocarp plantation: The strategy and
125. the approaches of PT Inhutsni I. In Tielges B, Sastrapradja SD,
Voinov A. 2008. Systems Sceince and Modeling for Ecological Economics. Rimbawanto A, editors. In-situ and Ex-situ Conservation of
Academic Press – Elsevier. Commercial Tropical Trees. ITTO-UGM. Yogyakarta. Pp. 407-412.
Wahjono D, Anwar. 2008. Prospek penerapan multisistem silvikultur pada
unit pengelolaan hutan produksi. Puslitbang dan Konservasi Alam,
Departemen Kehutanan, Bogor.
Wahyudi. 2001. Forest biomass an unutilized potency. Di dalam:
Proceedings of seminar Environment conservation through efficiency
utilization of forest biomass. JIFPRO and Faculty of Forestry Gadjah
Mada University, 2001.
Wahyudi. 2008. Efisiensi reduced impact logging pada kegiatan eksploitasi
hutan. Journal Hutan Tropis II/2008. Faperta Jurusan Kehutanan,
Unpar, Palangkaraya.
Wahyudi. 2009a. Selective cutting and line enrichment planting
silvicultural system development on Indonesian tropical rain forest.
In: GAFORN-International Summer School, Georg-August
Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany.
Wahyudi. 2009b. Settled cultivation versus shifting cultivation to improve
social prosperity and environmental quality surrounding forest
region. In: GAFORN- International Summer School, Georg-August
Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany.
Wahyudi, 2015. Meningkatkan Produktivitas Hutan melalui Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Laporan Bulan
September 2015. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari, Kementerian LHK RI, Jakarta.
Wahyudi, 2015. Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Tanam Rumpang (TPTR). Draft. Laporan Bulan Oktober 2015.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari,
Kementerian LHK RI, Jakarta.
Wahyudi, Matthews P. 1996. Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung
Meranti. Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan Tengah.
Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan Overseas
Development Administration (ODA) Kerajaan Inggris.
Lampiran 1. Gambaran umum ciri-ciri sistem silvikultur

No Sistem Uraian Kriteria mikroklimat Pembukaan kanopi (ha)


1 Clear cut Tabang semua tegakan, atau se Terbuka > 0,5 - 1 ha
bagian dalam areal yang luas Efek cahaya dominan
2 Seedtree Menciptakn areal untuk produksi Terbuka > 0,5 - 1 ha
benih sebelum ditebang semua Efek cahaya dominan
3 Shelterwood Menunggu terbentuknya regene Perlindungan anakan alam > 0,5 - 1 ha
rasi alam sebelum penebangan sebelum penebangan
4 Uniform Tebang habis setelah terbentuk Perlindungan anakan alam <0,01 - 0,1 ha
permudaan alam dan tebang habis
LAMPIRAN-LAMPIRAN 5 Group Pembukaan kanopi dengan jalan Suksesi dalam gap selama <0,01 - 0,1 ha pada ta-
membuat gap, muncul permuda- 20-40 tahun hap awal, lalu diperluas
an alam lagi
6 Irregular Pembukaan kanopi bertahap, Regenerasi pada areal terbu- <0,01 - 0,1 ha pada ta-
permudaan alam terbentuk ka selama 50 th, masih ada hap awal, lalu diperluas
pohon besar lagi
7 Strip/wedge Pembukaan kanopi bentuk jalur Kanopi hutan masih melin Tergantung luas dan pan
regenerasi terjadi pada jalur dungi regenerasi, kemudian jang strip serta tinggi
hutan di tebang habis pohon,< 2x tinggi pohon
8 Seleksi Kanopi selalu melindungi areal Penutupan kanopi dominan -
dibanding celah terbuka
9 Single-tree Penebangan pohon satu persatu Kanopi hutan kontinyu ada <0,01 ha
10 Group Penebangan dalam kelompok Kanopi hutan kontinyu ada 0,01 - 0,1 ha
kecil pohon
11 Coppice Regenerasi secara vegetatif Pembukaan kanopi dominan
dibanding yang tertutup
Lampiran 2. Pengaruh gap pada ekosistem hutan Beberapa Istilah

Hutan (Forest) adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-


No Karakteristi Gap Ukuran Posisi Umur Lapisan Sumber
Ekosistem diperlukan gap dlm gap gap bawah gap pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan
1 Hutan tanaman umur hidup alam hayati beserta lingkungannya.
tua (>100 tahun) blm + blm + blm Runkle,1982
2 Hutan tropika basah blm + blm + + Putz, 1983 Kawasan Hutan (Forest Regions) adalah kawasan wilayah
Panama Brokaw, 87
tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan
3 Hutan hardwood NZ + blm blm blm blm Stewart, 86
4 Hutan mendung + blm blm + + Lawton dan
sebagai hutan tetap. Kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh
tropika Costa Rica Putz, 1988 menteri yang mengurusi bidang kehutanan dapat berupa areal
5 Hutan Amazon, Venez - - - blm blm Uhl et al, 88 yang berhutan, semak belukar, padang alang-alang dan lahan
6 Hutan Subtropis + + blm blm blm Barik etal,92 kosong (yang kelak dapat direboisasi).
daun lebar, India
7 Spesies semak blm + blm + blm Runkle,1982
8 Penutupan herba + blm blm + blm MooreVK,86
Hutan Produksi (Production Forest) adalah kawasan hutan
9 Kehadiran burung + + blm blm blm Noss, 1991 yang diperuntukkan untuk produksi hasil hutan dalam rangka
10 Serangga + + blm blm blm Harrison,87 memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk
Penyinaran langsung (irradiance) pembangunan, industri dan ekspor pada khususnya. Hutan
11 Hutan hardwood,AS blm + + blm blm Minckler,73
Produksi dibagi menjadi 3 berdasarkan kelas peruntukan lahan
12 Hutan tropis, C.Rica + blm + blm blm Denslow,90
13 Hutan mendung blm + blm blm blm Lawton dan
serta praktek pengelolaan yang dilakukan, yaitu hutan produksi
tropika Costa Rica Putz, 1988 tetap, hutan produksi terbatas dan hutan produksi konversi.
14 Hutan hujan tropis Mexico blm + blm + blm Dirzo etal,92
Lingkungan abiotik Hutan Tanaman (Plantation Forest / Timber Estate) adalah
15 Suhu udara + dan - + dan - + dan - blm blm Collin&Pk,88
hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan
16 Kelembaban + - blm blm blm Barik etal,92
17 Angin + + + blm blm Bunnell,85
kualitas hutan produksi dengan sistem silvikultur Tebang Habis
18 Kelembaban tanah + dan - + dan - + dan - blm blm Barik etal,92 Permudaan Buatan (Clear Cutting with Artificial Regeneration)
19 Suhu tanah - + dan - + dan - blm blm Collin&Pk,88 atau THPB. Sistem THPB menuntut diterapkannya sistem
20 Nutrisi tanah - - - blm blm Putz, 1988 silvikultur intensif.
21 Dekompisisi + + blm blm blm Barik etal,92
22 Keberadaan N + dan - + dan - + dan - blm blm Collin&Pk,88
23 Biomass akar + + + dan - blm blm Sanford, 90
Daur Tanaman adalah jangka waktu antara waktu penanaman
sampai tanaman hutan masak untuk dipanen pada hutan
tanaman atau siklus tebang yang diperlukan untuk pengusahaan
hutan alam secara lestari dimana pada suatu tempat yang sama
dilakukan penebangan kembali.
Umur Masak Tebang adalah jangka waktu perkembangan suatu teknik silvikultur dilakukan lebih sederhana, termasuk
tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dihapuskan teknik ITT.
dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir.
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan atau THPB ((Clear
Siklus Tebang adalah jangka waktu antara penebangan hutan Cutting with Artificial Regeneration) adalah sistem silvikultur
dengan penebangan berikutnya pada suatu areal tertentu pada yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan
areal hutan yang dikelola secara lestari. buatan. Sistem ini diterapkan pada kawasan hutan produksi
yang telah mengalami kerusakan hutan, seperti hutan rawang,
Daur hutan alam ditetapkan berdasarkan siklus tebang semak, belukar, lahan alang-alang dan tanah kosong lainnya.
sedangkan daur hutan tanaman ditetapkan berdasarkan umur
masak tebang tanaman pokok, yang ditetapkan berdasarkan Tebang Habis dengan Permudaan Alam atau THPA (Clear
kelas perusahaan atau jenis tanaman pokok dan tujuan akhir Cutting with Natural Regeneration) adalah sistem silvikultur
pengelolaan (kayu serat atau perkakas). Penetapan ini yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam.
didasarkan pada studi kelayakan berdasarkan pertimbangan Sistem ini diterapkan pada areal yang mengalami pasang surut,
daur ekonomi dan atau daur hasil optimal. seperti untuk mengelola hutan mangrove dengan catatan
kegiatan penanaman sulit dilakukan karena terkendala oleh
Kelas Perusahaan adalah kesatuan pengelolaan dalam genangan air. Pada pengelolaan hutan mangrove, diwajibkan
pengusahaan hutan untuk jenis tanaman pokok tertentu. menyisakan pohon induk secara merata sebagai sumber benih
yang akan tumbuh secara alami pada areal bekas tebangan.
Tanaman Pokok adalah jenis tanaman hutan yang memiliki luas
dan nilai ekonomi dominan. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur
yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal
Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang dan diikuti permudaan buatan dalam jalur selebar 3 meter
menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting) dengan dengan interval jalur 20 meter dan jarak tanaman dalam jalur
beberapa kriteria batas diameter tertentu dan kegiatan tanam adalah 5 meter. Namun terdapat variasi lainnya dalam
pembinaan hutan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal. menentukan lebar jalur tanam dan jalur antara, misalnya lebar
Sistem TPI diterapkan pada hutan alam produksi Indonesia jalur tanam 4 meter dan lebar jalur antara 25 meter, yang dibuat
sejak tahun 1973 sampai 1989. memanjang. Sistem ini pertama kali dipraktekan pada PT SBK
dan PT ED di Kalimantan Tengah sejak tahun 1998.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur
yang menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting) dengan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah sistem
batas diameter tertentu sesuai tipe hutan produksinya serta silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas
kegiatan pembinaan hutan untuk meningkatkan kualitas diameter minimal 40 cm dan diikuti permudaan buatan dalam
tegakan tinggal. Sistem TPTI diterapkan pada hutan alam jalur tanam selebar 3 meter. Lebar jalur antara 25 meter.
produksi Indonesia sejak tahun sejak tahun 1989 sampai Sistem ini diluncurkan tahun 2005 sebelum akhirnya diganti
sekarang. Pada sistem TPTI tahun 2009, tahapan kegiatan menjadi sistem TPTJ teknik Silin tahun 2009.
TPTJ teknik Silin adalah sistem silvikultur yang meliputi cara Tentang Penulis
tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm dan diikuti
permudaan buatan dalam jalur tanam selebar 3 meter dan lebar Dr. Wahyudi. Lahir di Jombang, Jawa
jalur antara adalah 17 meter, serta jarak tanaman dalam jalur Timur pada tanggal 13 Februari 1968. Lulus
tanam adalah 2,5 meter, yang dibuat memanjang. Teknik Silin program doktoral dari Institut Pertanian Bogor
pada sistem ini mengisyaratkan 3 (tiga) komponen, yaitu tahun 2011 pada bidang Silvikultur.
rekayasa lingkungan (dengan membuat jalur tanam selebar 3 Disamping sebagai dosen tetap pada Jurusan
meter), penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama Kehutanan, Faperta, Universitas Palangka
terpadu (integrated pest management). Raya, penulis juga mengajar pada Program
Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) adalah sistem silvikultur UPR dan aktif melakukan penelitian dan menulis pada berbagai
yang diterapkan pada hutan alam monokultur. Sistem ini buku, prosiding, jurnal nasional dan internasional.
menghendaki penebangan tegakan hutan secara menyeluruh Kedekatannya pada beberapa praktisi pengusahaan hutan
(clear cutting) pada jalur tebang selebar maksimal 140 m dan menyebabkan penulis banyak memperoleh pengalaman
menyisakan jalur tegakan hutan sebagai jalur antara selebar lapangan dan memiliki kesempatan yang luas untuk
maksimal 35 m. Tegakan hutan pada jalur antara ditebang mengimplementasikan ilmu kehutanan. Pada tahun 2009
setelah dilakukan penjarangan pertama pada tanaman pada jalur penulis menempuh summer school pada bidang kehutanan di
tebang. Goettingen dan Dresden, kemudian pada tahun 2010
menempuh international German alumni summer school pada
Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR) adalah sistem bidang biodiversity. Pengalaman lainnya adalah sebagai tenaga
silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas pengelolaan hutan produksi lestari pada perusahaan kehutanan,
diameter minimal dan diikuti permudaan buatan dalam pakar silvikultur intensif pada Kementerian Kehutanan dan
rumpang. Luas rumpang antara 0,5 ha sampai 2 ha berbentuk fasilitasi kegiatan multi sistem silvikultur pada beberapa
lingkaran atau persegi sesuai kondisi lapangan yang datar dan perusahaan kehutanan seperti PT Dasa Intiga, PT Austral Byna,
landai. PT Gunung Meranti (Kalteng), PT Tunas Timber Lestari
(Papua) dan lain-lain, konsultan pada kegiatan reklamasi areal
bekas tambang di PT Juloi Coal, PT Multi Tambang Utama, PT
Maruwai Coal, kegiatan pelepasan kawasan dan lain-lain.
Penulis mempunyai isteri dan dua orang anak, masing-masing
bernama dr. Hj. Widi Utami, MM; M. Isa Mahendra dan Hana
Maria S.
Catatan: Catatan:

...................................................................................................... ......................................................................................................

...................................................................................................... ......................................................................................................

...................................................................................................... ......................................................................................................

...................................................................................................... ......................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai