Anda di halaman 1dari 95

draft

SILVIKA DAN SILVIKULTUR

Oleh:
Dr. Ir. Julius D. Nugroho, M.Sc
Ir. Bennie B. Rettob, M.Si
Aditya Rahmadani, S.Hut., M.Sc.
Alexander Rumatora, S. Hut., M.Sc.
Evelin Tanur, S.Hut., M.Si

LABORATORIUM SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2016

1
I. PENDAHULUAN

Definisi dan Hubungan antara Silvika dan Silvikultur

Silvika merupakan cabang ilmu ekologi yang mempelajari sejarah hidup pohon-
pohon di dalam hutan dan pengaruh lingkungan terhadapnya. Berdasarkan definisi
tersebut maka ilmu ini sangat dekat dengan ilmu ekologi hutan yang menerangkan
interaksi antara faktor hutan dan lingkungan fisiknya seperti iklim, tanah dan sebagainya,
namun demikian silvika lebih diarahkan kepada silvikultur dan secara spesifik lebih dekat
kepada autekologi (ekologi hutan dan fisiologi hutan).
Silvikultur berasal dari kata silvi yang berarti hutan dan culture (=tending) yang
berarti memelihara. Beberapa ahli memberikan definisi silvikultur sebagai berikut:
1. Cabang dari ilmu kehutanan yang bersangkut paut dengan pendirian, pengembangan,
pemeliharaan dan reproduksi tegakan hutan
2. Suatu seni dalam memproduksi dan memelihara hutan dengan cara menerapkan
pengetahuan silvika dalam setiap perlakuan yang diberikan terhadap hutan.
3. Suatu seni mengontrol perkembangan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi
hutan
Dewasa ini definisi tersebut berkembang bukan hanya menyangkut hutan sebagai
sumberdaya hutan kayu (produksi kayu) semata namun juga sebagai sumberdaya hutan
non kayu seperti rotan, bambu dan juga termasuk di dalamnya silvikultur yang
dikembangkan untuk tujuan khusus seperti agroforestri atau jasa (ekoturisme).
Silvika menganggap suatu hutan sebagai struktur yang kompleks yang terdiri dari
satuan-satuan vegetasi. Suatu pemahaman yang mendalam mengenai silvika akan
mengantarkan ahli kehutanan untuk dapat lebih memahami hubungan vegetasi hutan
dengan habitatnya dan sekaligus memungkinkan menginterprestasikan pengaruh vegetasi
hutan terhadap lingkungan. Kualitas suatu habitat akan tergantung dari faktor-faktor
lingkungan penyusunnya. Faktor-faktor lingkungan tersebut terdiri atas faktor klimatis,
edaphis, fisiografis dan biotis. Pemahaman demikian pada akhirnya akan mengantar kita
kepada pemahaman terhadap alasan penerapan suatu teknologi yang diterapkan dalam
silvikultur. Banyak hal yang dapat dipelajari dari alam dan sekaligus menirunya demikian

2
pula dalam silvikultur pada dasarnya praktek-praktek yang ada merupakan hasil
pemahaman fenomena hubungan timbal balik antara vegetasi hutan dan lingkungannya.
Ditinjau dari definisi, tujuan dan lingkup silvika maka jelas, untuk dapat
memahami dan mempelajarinya bukan saja diperlukan adanya landasan pengetahuan
ekologi melainkan juga perlu dilandasi dengan pengetahuan lainnya seperti pengaruh
hutan, ilmu tanah, klimatologi dan fisiologi tumbuhan.
Dari definisi silvika dan silvikultur tersebut, maka jelas keterkaitan antara
pengetahuan silvika dengan silvikultur. Silvika merupakan bekal utama kita untuk dapat
mempraktekkan ilmu silvikultur secara benar karena silvika merupakan dasar teori atau
ilmiah untuk dapat mempraktekkan silvikultur. Pemahaman tentang silvika sangat
diperlukan untuk mengantar mahasiswa dalam memahami silvikultur, oleh karena itu
dalam buku teks ini mahasiswa akan diajak untuk memahami silvika terlebih dahulu
sebelum memasuki pembahasan tentang silvikultur.

Paradigma Pengelolaan Hutan

1. Permasalahan Global Kehutanan

Menurut Maini dan Ullsten (1993) Terdapat lima kelompok permasalahan global
kehutanan yang menonjol di saat ini dan masa mendatang, yaitu: (1) ancaman terhadap
keberadaan dan kelestarian fungsi hutan dunia (aspek sejarah); (2) Fungsi lingkungan
hutan yang bersifat global (aspek ekologi); (3) Industri kehutanan dunia yang terus
meningkat (aspek ekonomi); (4) social, budaya dan kepentingan umum (aspek sosia-
budaya); (5) kepentingan ruang pembangunan dan politik (aspek geopolitik).
Perhatian masyarakat dunia atas hutan bagi kehidupan manusia sebenarnya telah
ada sejak dahulu seperti sembonyan yang dipopulerkan oleh Raja Inggris “No Wood No
Kingdom” yang memperlihatkan kekuatiran raja Inggris akan kelangkaan kayu bakar
pada masa itu karena berkurangnya hutan. Kepeduliaan permasalahan kehutanan pada
masa itu masih sempit terbatas pada kebutuhan kayu bakar dan itu pun hanya terbatas
pada suatu daerah atau Negara tertentu saja. Baru pada pertengahan periode 1900-an
perhatian khusus terhadap permasalahan dan kepengurusan hutan dunia secara bersama –
sama mulai tampak. Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perhatian masyarakat
dunia terhadap permasalahan global kehutanan adalah:

3
a. Kongres kehutanan se-Dunia ke 5 Tahun 1960 di Seatle, Amerika Serikat, dengan
tema Prinsip Manfaat Ganda Hutan (Multiple Use of Forest Prinsiples)
b. Deklarasi Stockholm tentang Lingkungan Hidup Manusia, menghasilkan
deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup (Declaration of the United Nations
Conference on the Human Enviroment)
c. Deklarasi Jakarta Tentang Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat pada konggres
Kehutanan Sedunia ke-8 (8th World Forestry Conggress) di Jakarta dengan tema
Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat (Forest for People)
d. Deklarasi Rio untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan pada Konferensi PBB
untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nation Conference on
Environment and Development). Hasilnya dikenal sebagai Deklarasi Rio untuk
Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and
Development). Deklarasi ini memuat 15 kesepakatan yang bersifat tidak mengikat
yaitu aturan mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi, serta aspek
pemanfaatan dan pengembangan. Prinsip ini yang dijadikan sebagai landasan
dalam merumuskan prinsip pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest
Management /SFM).

2. Peran Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

Hutan sebagai sumberdaya alam perlu dikelola dengan bijaksana. Sesuai dengan
kesepakatan yang termuat dalam Deklarasi Rio maka dlam pengelolaan sumberdaya alam
termasuk hutan harus dikelola secara lestari. Dalam pengelolaan hutan dengan prinsip
lestari kita memandang hutan bukan hanya dari fungsi produksinya (ekonomi) saja tetapi
juga fungsi ekologi (konservasi/lindung) dan fungsi social budaya. Suatu hutan dikatakan
lestari apabila ketida fungsi tersebut dapat berjalan berdampingan dan berkelanjutan.
Produksi dari suatu hutan (dalam bentuk produk hutan apapun) tidak akan mungkin
berjalan dengan baik, apabila fungsi ekologi dan social budaya tidak diperhatikan
sehingga keduanya dapat menjadi penghambat di dalam proses produksi suatu hutan.

4
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari tersebut tidak akan terlepas
dari peran silvikulturis dalam melakukan atau menerapkan suatu tindakan silvikultur
yang tepat untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan (Gambar 1).

Gambar 1. Peran Silvikultur dalam pencapaian tujuan pengelolaan hutan

Silvikultur memiliki peran sentral dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara


lestari. Silvikultur bertindak sebagai alat dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
oleh penentu kebijakan dalam pengelolaan hutan. Dalam Gambar 2. memperlihatkan
bahwa untuk tercapainya suatu siklus pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan dapat
dihadapkan pada dua situasi yaitu kondisi hutan setelah pemanenan yang menunjang
terjadinya pemulihan secara alami dan kondisi hutan yang tidak menunjang untuk
perjadinya pemulihan hutan secara alami agar dapat kembali seperti keadaan hutan yang
semula. Dalam kondisi yang tidak menunjang jelas peran silvikultur sangat dibutuhkan
untuk dapat merekayasa keadaan yang tidak menunjang menjadi menunjang agar
pemulihan dapat terjadi. Sebaliknya walaupun kondisi hutan menunjang untuk dapat
terjadinya pemulihan namun apabila dibiarkan terjadi secara alami maka waktu yang
menjadi factor pembatas. Dalam kondisi demikian peran silvikultur tetap diperlukan agar
factor pembatas waktu dapat dipersingkat sehingga siklus pemulihan hutan dapat terjadi
lebih cepat.

5
Gambar 2. Peran silvikultur dalam pembentukan hutan, bagaimana keberlanjutan
produksi hanya dapat terjadi bila pemulihan hutan setelah pemanenan
terjamin, baik saat kondisi tempat tumbuh setelah pemanenan menunjang atau
tidak menunjang. Perlakuan silvikultur yang tepat mampu memperpendek
waktu pemulihan hutan

Produktivitas Hutan dapat ditingkatkan melalui berbagai tindakan silvikultur


seperti: (1) kontrol terhadap pembentukan struktur tegakan, misalnya membuat klas umur
bervariasi, atau mengatur distribusi klas diameter tegakan; (2) kontrol terhadap
komposisi, misalnya hanya memilih satu atau beberapa jenis yang disukai secara
ekonomi; (3) kontrol terhadap kerapatan tegakan (penjarangan); dan lain sebagainya.

6
II. HUTAN DI DAERAH TROPIKA

A. Definisi Tropika

Secara geografis, daerah tropika meliputi seluruh daerah diantara Tropika


Cancer pada garis lintang 23o27’U dan Tropika Capricorn pada garis lintang 23o27’S.
Secara ecologi daerah tropika didefinisikan menurut kondisi iklim dan karakteristik
vegetasi yang sangat spesifik. Faktor klimatik sering dipergunakan untuk mendefinisikan
daerah tropika, yaitu daerah yang memiliki isoterm tahunan 20 oC yang berada pada
lintang 30oU dan 26oS. Berdasarkan definisi ini maka daerah tropika akan meliputi
luasan 47% dari permukaan bumi. Koppen (1932) membatasi daerah tropik hanya pada
isoterm bulanan terendah 18oC. Menurut definisi dari Koppen maka daerah tropika akan
mencakup luasan 30% dari permukaan bumi.
Saat ini daerah tropika lebih banyak didefinisikan berdasarkan periodisitas
klimatik, terutama berkaitan dengan: temperatur, cahaya, dan periodisitas hidrologi,
seperti berikut:
(1) Suhu harian berfluktuasi lebih tinggi dari pada suhu tahunan.
(2) Fluktuasi panjang hari (siang dan malam hari) relatif kecil. Pada ekuator (garis
equinoctial) panjang siang sama dengan panjang malam yaitu 12 jam. Pada sabuk
tropika Cancer dan Capricorn panjang siang terlama 13.5 jam dan terpendek 10.5
jam.
(3) Tidak terdapat periodisitas hidrologi yang unik di daerah tropika

B. Definisi Hutan, Tegakan Hutan dan Klasifikasi Hutan

Definisi Hutan dan Tegakan Hutan

Hutan didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutup
areal oleh sekumpulan komunitas biologi yang dikuasi oleh pohon (vegetasi berkayu)
(Robinson, 1971), yang bila cukup rapat dan cukup luas areal penutupannya akan
menimbulkan kondisi iklim dan ekologis yang berbeda dengan kondisi diluarnya. Oleh
karenanya terdapat perubahan yang nyata dalam suhu, kelembaban, cahaya, angin, flora
dan Fauna dan juga sifat tanah lapisan atas (Dengler 1944). Sedangkan tegakan hutan
didefinisikan oleh Baker et al. (1979) sebagai suatu unit pengelolaan hutan yang relatif

7
homogen dan dapat dibedakan secara jelas dengan tegakan di sekitarnya oleh umur,
komposisi jenis, struktur, tempat tumbuh dan keadaan geografinya. Hutan walaupun
merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable resources) namun sifatnya
dapat punah apabila dalam pemanfaatannya tidak dilakukan secara bijaksana.

Klasifikasi Hutan dan Tegakan

Hutan dapat digolongkan dengan banyak cara seperti berdasarkan ciri: (1) struktur
penampakan (physiognomy); (2) geografi dan klimatis misalnya dan (3) komposisi
floristik. Beberapa contoh klasifikasi hutan dikemukakan sebagai berikut:
1. Hutan berdasarkan asalnya
Klasifikasi hutan menurut asalnya yaitu (1) hutan tinggi (high forest) yaitu hutan
yang berasal dari biji (generatif) dan (2) hutan rendah (low forest) yaitu hutan yang
berasal dari terubusan (vegetatif).
2. Hutan berdasarkan komposisi jenis
Klasifikasi menurut komposisi jenis yaitu (1) hutan/tegakan murni (monokultur)
apabila hutan tersusun dari satu jenis pohon (90% terdiri dari satu jenis pohon), misalnya
seperti hutan rawa melaleuca, hutan Mangrove dan hutan araucaria. Hutan tanaman
merupakan hutan murni buatan; (2) Hutan/tegakan campuran apabila hutan tersusun dari
beberapa jenis pohon.
Tegakan murni dapat terjadi karena dorongan berbagai macam faktor yaitu (1)
iklim, (2) bencana alam, (3) rekayasa/buatan manusia yang dikenal sebagai hutan
tanaman sejenis (monokultur), (4) kondisi edafis, (5) perkembangan jenis invasif/agresif
yang sengaja atau tidak sengaja diintroduksi ke suatu kawasan hutan (Gambar..)

Gambar.. Faktor-faktor pembentuk hutan dengan tegakan murni

8
Kondisi iklim yang sangat berat menyebabkan hanya jenis pohon tertentu saja
yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah dengan kondisi iklim demikian.
Misalnya iklim yang sangat dingin dekat kutub atau daerah dengan ketinggian
(pegunungan tinggi) dan curah hujan yang rendah/kurang atau distribusi curah hujan yang
tidak seimbang, dapat membatasi jumlah jenis yang dapat bertahan hidup
Kondisi edafis (faktor tanah) mengontrol jenis-jenis pohon yg hidup di atasnya.
Pada daerah dengan tanah tergenang permanen dan berbahan organik tanah yang sangat
masam akan membatasi jenis tertentu saja hidup di atasnya yaitu jenis-jenis yang
beradaptasi dengan kondisi basah (tergenang) dan masam, misalnya Pinus ponderosa dan
Juniperus merupakan jenis yang mampu tumbuh pada tanah sangat masam; Intsia bijuga
relatif mampu bertahan pada tanah genangan). Demikian pula akumulasi mineral tanah
yang tinggi sering pula akan membatasi pertumbuhan pohon dan hanya jenis yang
mampu bertoleransi terhadapnya saja yang akan tumbuh (misalnya, kandungan
magnesium pada batu Serpentin yang terakumulasi dalam tanah akan mendukung
tumbuhnya Callocedrus decurrens).
Suatu areal yang terdampak bencana alam (api, angin, epidemic serangga dan
banjir) menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu yang dapat tumbuh. Jenis pionir mampu
hidup pada tempat tumbuh terbuka yang mendapat sinar matahari penuh, dengan kondisi
tanah yang terganggu akibat bencana alam Contohnya, jenis Melaleuca spp di daerah
savanna tahan terhadap kebakaran (api), jenis Casuarina equsetifolia akan mendominasi
pada tanah berbatu dan berpasir di daerah bekas terdampak banjir.
Jenis invasif bersifat agresif dalam pertumbuhan dan perkembangannya, mudah
beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang ada dan sangat toleran yang mungkin
dapat menaungi setiap pesaing, bahkan pada tempat tumbuh yang baik sekalipun. Salah
satu contoh jenis invasif yang awalnya diintroduksi kemudian menjadi permasalahan
dalam pengelolaannya yaitu jenis Acacia nilotica yang menginvasi TN Baluran sehingga
padang rumput sebagai habitat banteng sebagai satwa yang dikonservasi tertutup rapat
dengan tumbuhan ini yang menyulitkan banteng dalam mencari pakannya.

9
Gambar.... Invasi Acacia nilotica di savana TN Baluran sebagai habitat banteng, satwa
yang dilindungi

Rekayasa manusia untuk membangun hutan tanaman biasanya terdiri atas satu
jenis yang dipilih menjadi unggulan sesuai dengan tujuan pengusahaan hutan. Karena
hubungan antar jenis begitu kompleks dan bervariasi dari satu tempat tumbuh ke tempat
tumbuh yang lain, sehingga menanam dalam bentuk hutan campuran lebih sulit
Hutan murni (monokultur) secara alami cenderung mempunyai beberapa
kelemahan terhadap hama dan penyakit karena dengan penanaman secara demikian sama
saja dengan adanya akumulasi makanan bagi hama dan penyakit, terlebih bila dalam
penanamannya tidak memperhatikan keragaman genetik. Pemilihan suatu jenis yang
berakar dangkal dapat menyebabkan pula tanaman peka terhadap angin. Demikian pula
bila jenis yang terpilih untuk dikembangkan mempunyai kemampuan memproduksi
serasah dalam jumlah tinggi, namun lambat dalam proses dekomposisinya dapat
menyebabkan tegakan peka terhadap kebakaran, seperti pada Araucaria hunteinii dan
Pometia pinnata. (Nugroho 1994)
Pertimbangan pengelola untuk lebih memilih mengembangkan tegakan
monokultur dibandingkan hutan campuran lebih disebabkan pertimbangan beberapa
alasan manajemen dan ekonomi, yaitu (Baker et al. 1979): (1) Pengelolaan tegakan relatif
sederhana dan murah; (2) keseluruhan areal hutan dengan variasi kondisi tempat tumbuh
dapat diperuntukan bagi jenis yang paling sesuai dan paling prospektif menguntungkan
bagi pengusahaan hutan; (3) operasional pemanenan dan pemasaran relatif lebih mudah

10
dan murah; (4) teknik regenerasi lebih sederhana dan mudah demikian pula pemuliaan
pohon dapat dengan mudah diaplikasikan.
Kelemahan tegakan murni seperti demikian dapat dikurangi dengan memelihara
tegakan campuran satu atau lebih jenis yang sesuai atau setidak-tidaknya memperhatikan
adanya keragaman genetik. Keuntungan ekonomis tegakan campuran, bilamana biaya
social dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, adalah (1) lebih fleksibel dalam
memenuhi perubahan permintaan pasar; (2) memberikan variasi perlindungan bagi satwa
liar, membantu proteksi daerah aliran sungai, memelihara kemampuan peresapan
permukaan tanah, (3) lebih tahan terhadap hama penyakit, angin dan bahaya kebakaran;
(4) nilai estetika dan rekreasi lebih tinggi; (5) iklim mikro di dalam hutan lebih stabil
dengan fluktuasi yang kecil.

3. Hutan berdasarkan ciri penyusun utama


Hutan juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ciri punyusun utama hutan tersebut
seperti (1) Hutan daun lebar (Hardwood Forest) dan (2) Hutan daun jarum (Coniferous
Forest) atau berdasarkan formasi yang terbentuk (jenis dominan penyusun hutan) seperti
adanya hutan mangrove (formasi mangrove), hutan sagu (formasi sagu), hutan rawa
(formasi hutan rawa), dan lain sebagainya. Sedangkan klasifikasi hutan menurut tingkat
suksesi seperti, hutan sekunder, hutan primer klimaks

Hutan Tropika
Hutan tropika didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada wilayah dengan
iklim selalu basah yang terletak di antara Tropika Cancer pada garis lintang 23o27’U dan
Tropika Capricorn pada garis lintang 23o27’S.
Klasifikasi Hutan Tropika yang paling sederhana adalah sebagai berikut:
1. Hutan Rawa (Swamp Forest) terdiri atas Hutan Rawa Payau (Salt Water Swamp) dan
Hutan Rawa Air Tawar (Fresh Water Swamp)
2. Hutan Hujan (Rain Forest), dicirikan beriklim yang basah sepanjang tahun (tipe iklim
A dan B); daerah ini umumnya memilik yang beriklim basah dengan hutan
didominasi oleh pohon-pohon yang selalu hijau. Hutan hujan tropis juga dicirikan
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dengan keragaman stratifikasi tajuk.

11
terdiri atas Hutan Hujan Dataran Rendah (Low Land Rain Forest) sampai Hutan
Hujan Pegunungan (Montane Rain Forest) dan Hutan Berkabut (Cloud Forest).
3. Hutan Monsoon (Monsoon Forest) baik yang beriklim basah maupun kering
merupakan hutan campuran yang terdapat pada daerah beriklim monsoon (nyata
antara musim kemarau dan hujan) atau pada daerah beriklim tipe C dan D dengan
rata2 curah hujan 1000-2000 mm/tahun. Di Indonesia terdapat di daerah Jawa Timur
dan Nusa Tenggara
4. Hutan Kering (Dry Forest) dicirikan tidak memiliki periode musim basah yang nyata.
Hutan ini terdiri atas: Hutan Kering Tertutup (Closed Dry Forest) sampai Hutan
Savana (Savana Woodland).

Klasifikasi Hutan Tropika Berdasarkan Tipe Vegetasi di Papua

Hutan hujan tropika dicirikan dengan tingkat keragaman jenis vegetasi yang
sangat tinggi. Dalam luasan plot 0.8 Ha dapat dijumpai sebanyak 120 jenis di PNG, dan
150 jenis per hektar di Malaya. Gambaran ini baru meliputi jenis tanaman berkayu belum
termasuk jenis tanaman lain seperti dari kelompok Palmaceae, epiphyt, liana maupun
herba. Hutan tropika basah di Papua sendiri dicirikan dengan tingkat keragaman jenis
yang tinggi namun dengan potensi jenis komersial yang rendah (bila dibandingkan
dengan hutan Dipterocarpaceae di Kalimantan atau di Malaya).
Ketinggian tempat (altitudinal) sangat mempengaruhi distrbusi dari tipe vegetasi.
Struktur dari hutan campuran tropika yang sudah mencapai klimaks, dengan
bertambahnya ketinggian akan menjadi lebih sederhana dan lebih terbuka (kerapatannya
rendah). Demikian pula tinggi pohon cenderung berkurang. Dengan demikian jelas
bahwa keragaman jenis akan menurun dengan meningkatnya ketinggian tempat.
Gambaran hutan berdasarkan tipe vegetasi di Papua (Gambar 3) diberikan oleh
Gibbs dan van Steenis (?) mengklasifikasikannya sebagai berikut:

12
1. Hutan dataran rendah (low land forest) pada ketinggian 0 – 300 m dpl. (Pometia,
Intsia, Terminalia, Zizygium dll)
2. Hutan lereng gunung (foot hill forest) pada ketinggian 300 – 1.650 m dpl (Vatica spp,
Alstonia, Ficus dll)
3. Hutan pegunungan (mid-mountain forest) pada ketinggian 1.650 –2.250 m dpl.
(Araucaria, Podocarpus, Phylocladus)*
4. Hutan lumut (mossy forest) pada ketinggian 2.250 – 3.000 m dpl. (Podocarpus)*
5. Hutan pegunungan tinggi (high mountain forest) pada ketinggian 3.000 – 3350 m dpl.
(Dacrydium, Phylocladus, Libocedrus dan Podocarpus)*
* ada juga yang menyebutnya sebagai Lower montane rain forest, Upper Montane Forest
dan Sub Alpine Vegetation

Gambar 3. Klasifikasi hutan di Papua New Guinea berdasarkan tipe vegetasi dari pantai
hingga pegunungan tinggi

13
Sumber:

Gambar Klasifikasi Hutan berdasarkan zona vegetasi di Papua

14
III. SOSIOLOGI TUMBUHAN

A. Distribusi, Komposisi, Struktur Hutan dan Analisis Vegetasi

Satuan masyarakat vegetasi hutan disebut sebagai tegakan. Adanya hubungan baik
antar jenis vegetasi maupun antar individu dalam jenis yang sama dalam masyarakat
hutan dan dengan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat vegetasi hutan dengan
lingkungannya menyebabkan terbentuknya sosiologi vegetasi hutan seperti terlihat
dengan adanya bentukan hidup tertentu (life form), komposisi jenis, banyaknya jenis dan
jumlah individu. Persaingan menyebabkan jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan)
dibandingkan jenis lainnya yang mencirikan pula masyarakat hutan pada lingkungan
tertentu. Demikian pula dapat terbentuk asosiasi antar jenis vegetasi seperti dicirikan
dengan hadirnya jenis vegetasi yang berbeda secara bersamaan pada habitat yang sama.
Pada hutan di daerah tropis struktur masyarakat vegetasinya tersebut sangat kompleks
seperti ditampakkan dengan jenis vegetasi yang begitu beragam yang membentuk
berbagai macam bentuk hubungan baik asosiasi maupun persaingan.
Susunan (komposisi), macam, jumlah dan banyaknya jenis dalam suatu tegakan
hutan sangat dipengaruhi oleh adanya persaingan antara satu jenis vegetasi dengan jenis
vegetasi lainnya dalam memperebutkan ruang tumbuh, air, unsur hara, mineral dan
cahaya. Sebagai akibat persaingan tersebut, maka akan terbentuklah suatu lapisan
(stratifikasi) tajuk di dalam hutan. Jenis-jenis tertentu di dalam masyarakat vegetasi
hutan lebih berkuasa dibandingkan jenis lainnya (dominan) seperti ditampakkan oleh
pohon-pohon yang tinggi dengan menempati lapisan tajuk atau stratum teratas.
Pada hutan hujan tropika umumnya dijumpai beberapa lapisan atau stratum tajuk
sebagai berikut:
Stratum A: Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi > 30 m, biasanya
tajuk diskotinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang yang tinggi.
Jenis-jenis penyusun stratum ini biasanya berupa jenis yang memerlukan naungan
sekedarnya pada saat tingkat semai hingga sapihan namun pada saat dewasa memerlukan
cahaya sepenuhnya (intoleran). Pohon yang menempati stratum ini disebut sebagai pohon
dominan.

15
Stratum B: Terdiri dari pohon dengan tinggi 20 – 30 m membentuk lapisan tajuk di
bawah stratum A, tajuknya kontinyu, batang banyak bercabang dengan batang bebas
cabang tidak begitu tinggi. Jenis-jenis ini bisayanya merupakan jenis yang lebih tahan
terhadap naungan (semi toleran sampai toleran). Pohon yang menempati stratum ini
disebut sebagai pohon co-dominan.
Stratum C: Tersusun atas pohon-pohon dengan tinggi 4 – 20 m, tajuk kontinyu, dengan
ukuran pohon kecil dan banyak bercabang. Jenis pohon penyusun stratum ini merupakan
jenis pohon toleran. Pohon yang menempati stratum tajuk ini disebut sebagai pohon
intermediate dan tertekan (suppressed trees)
Stratum D: Merupakan lapisan perdu dan semak dengan tinggi 1 – 4 m.
Stratum E: Merupakan tumbuhan penutup tanah (ground cover) dengan tinggi < 1 m.
Stratifikasi tajuk tersebut ada pula yang menyederhanakan menjadi tiga klas tajuk
saja yaitu upper storey (lapisan tajuk teratas), middle storey (lapisan tajuk tengah) dan
under storey (lapisan tajuk bawah).

B. Analisis Vegetasi

Dalam silvikultur pengetahuan sosiologi vegetasi hutan sangat diperlukan karena


pada dasarnya setiap tindakan silvikultur merupakan suatu usaha secara langsung
merubah struktur masyarakat vegetasi hutan maupun secara tidak langsung melalui
perlakuan merubah keadaan lingkungannya. Dengan menggunakan silvikultur struktur
dan komposisi jenis suatu hutan (sosiologi vegetasi) dapat diarahkan sesuai dengan tujuan
manajemen hutan.
Keadaan sosiologi vegetasi dapat diketahui dengan melakukan studi melalui
analisis vegetasi.
Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk
(struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam analisis vegetasi seorang
rimbawan dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip statistika dan
metode penarikan contoh.
Variabel-variabel yang umum digunakan untuk menggambarkan keadaan
masyarakat vegetasi hutan (sebagai informasi dasar yang sangat diperlukan untuk
penerapan silvikultur) adalah sebagai berikut:

16
a. Data mengenai jenis pohon:
- Jumlah Individual (Kerapatan/Abudansi)
- Distribusi horisontal (frekuensi)
- Dimensi pohon (dbh, tinggi bebas cabang, ataupun total)
b. Status sosial dari setiap individu pohon dan struktur vertikal tegakan
c. Kualitas batang dan tajuk pohon
d. Regenerasi
e. Formasi tajuk dan kondisi cahaya
f. Aspek fenologi pohon (musim berbuah, bunga dsbnya)
g. Vitalitas pohon
h. Ciri khusus

Beberapa perhitungan dari variabel yang umum diukur adalah sebagai berikut:

a. Kerapatan (Abudance) menggambarkan kerapatan atau banyaknya suatu jenis pada


suatu luasan hutan tertentu. Kerapatan absulut adalah jumlah individu suatu jenis
pohon pada suatu areal/petak pengamatan (per ha.) sedangkan Kerapatan relatif
adalah Nilai kerapatan suatu jenis terhadap nilai kerapatan seluruh jenis yang
dijumpai pada suatu areal/petak pengamatan dalam persen.
b. Frekuensi (Frequency) menggambarkan penyebaran suatu jenis pohon dalam suatu
kawasan hutan Frekuensi absulut adalah jumlah petak pengamatan ditemukannya
suatu jenis, sedangkan Frekuensi relatif adalah nilai frekuensi suatu jenis terhadap
jumlah nilai frekuensi keseluruhan jenis yang dijumpai dalam persen. Jadi apabila
dijumpai bahwa frekuensi absulut 100% berarti bahwa jenis tersebut dijumpai di
seluruh plot pengamatan atau dengan kata lain jenis pohon tersebut tersebar merata
dalam hutan yang diamati.
c. Dominansi (Dominance) menggambarkan “tingkat penguasaan atau derajat
penutupan suatu jenis pohon” terhadap ruang yang didudukinya (teritorial).
Dominansi absulut dapat diperoleh dari jumlah bidang dasar suatu jenis terhadap luas
petak contoh, sedangkan dominansi relatif adalah dominansi setiap jenis terhadap
dominansi seluruh jenis dalam persen.

17
Dari variabel-variabel tersebut dapat dilanjutkan untuk memperoleh suatu nilai
yang dikenal sebagai Nilai Penting yaitu merupakan hasil penjumlahan frekuensi relatif,
kerapatan relatif dan dominansi relatif. Nilai ini akan berguna untuk membandingkan
peran ekologis suatu jenis pohon dalam suatu tipe hutan. Analisis vegetasi apabila
memperlihatkan suatu jenis pohon memiliki nilai penting tinggi berarti bahwa pohon
tersebut secara ekologis memiliki peran penting dalam sosiologi hutan tersebut.
Selanjutnya apabila suatu hutan yang memiliki komposisi jenis mirip dan memiliki nilai
penting untuk jenis pohon penyusun populasinya juga mirip satu sama lainnya maka ini
mengindikasikan bahwa hutan tersebut memiliki struktur dan komposisi yang mirip. Nilai
lain yang juga kerap digunakan untuk membandingkan keadaan ekologis suatu hutan
seperti Koefisien Similaritas/Disimiliritas, Koefisien Keragaman, Koefisien Asosisasi,
Pola sebaran individu dalam populasi dan lain sebagainya. Diagram juga sering
digunakan untuk menggambarkan profil formasi hutan baik secara horisontal (profil
diagram horisontal) maupun secara vertikal (profil diagram vertikal).

C. Ekologi Populasi

Faktor biotis bersama dengan faktor lingkungan lainnya sangat mempengaruhi


dalam membentuk pohon-pohonan atau tegakan hutan, demikian pula masyarakat
organisme baik vegetasi maupun hewan sangat berperan dalam mengarahkan terjadinya
bentuk dan struktur maupun penyebaran vegetasi.
Hubungan yang kompleks dapat terjadi antara tumbuhan dan tumbuhan, maupun
tumbuhan dengan hewan dapat berupa hubungan yang konstruktif ataupun destruktif.
Hubungan tersebut dapat dibagi dalam: (1) Reaksi terhadap tempat tumbuh; (2) interelasi
di antara tumbuh-tumbuhan; (3) interelasi antara tumbuh-tumbuhan dengan hewan dan
(4) campur tangan manusia. Kondisi demikian yang kemudian akan menciptakan adanya
interaksi antara individu organism di dalam hutan.
Interaksi Interspesific & Intraspecific
Saat pohon-pohon dalam hutan bertumbuh dan menempati tempat tumbuh yang
bertambah semakin luas maka akan mulai tercipta persaingan antar satu dengan lainnya
untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya. Pohon-pohon tersebut dapat dipengaruhi
hidupnya oleh sesama jenisnya (intraspecific interaction) tetapi juga dapat dipengaruhi

18
oleh jenis pohon yang lainnya (interspecific interaction). Terdapat hubungan yang erat
antara kerapatan tumbuhan dalam hutan dengan tingkat persaingan. Secara teoritis
dengan kerapatan tumbuhan yang tinggi maka tingkat persaingan untuk mendapatkan
sumberdaya pun semakin tinggi. Oleh karena di dalam silvikultur kerapatan atau jarak
tanam sangat diperhatikan manakala memprediksi hasil yang akan diperoleh. Tabel
volume untuk memprediksi hasil seringkali dibangun berlandaskan pada hubungan antara
kerapatan, kualita tempat tumbuh dan produksi.
Semakin besar jumlah populasi pohon dalam satu satuan areal (kerapatannya
tinggi) dapat diduga akan semakin kecil riap diameter dan volume per pohon yang dapat
diperoleh. Pada kerapatan populasi yang semakin rendah, berarti pula biomassa per
pohon yang diperoleh akan semakin tinggi. Tingginya biomassa yang diperoleh pada
kerapatan rendah berhubungan pula dengan kejadian penguguran daun dan cabang/dahan
(self-thinning) yang rendah dibandingkan pada populasi pohon yang kerapatannya tinggi
(Silverstown & Charlesworth 2001).
Lebih lanjut Soegianto (?) menyatakan bahwa asosiasi interspesifik (antar dua
jenis dapat) terjadi karena (1) kedua species memilih atau menghindari habitat yang
sama; (2) keduanya mempunyai kebutuhan lingkungan biotik dan abiotik yang sama; (3)
satu atau keduanya mempunyai suatu daya gabung terhadap lainnya, sedangkan lainnya
mempunyai daya tarik atau penolakan. Reaksi penolakan satu terhadap yang lainnya
menimbulkan adanya persaingan sedangkan kemampuan daya gabung terhadap lainnya
menyebabkan adanya bentuk asosiasi yang mutualistik
Persaingan antar dua jenis organisme dalam Hutan
Persaingan dalam hutan berkaitan dengan relung ekologi (niche). Relung ekologi
menurut (Hutchinson 1965) diartikan bahwa setiap populasi hanya dapat bertahan hidup
dan berkembang biak di dalam suatu lingkungan dengan batas-batas tertentu atau sesuatu
populasi akan mentoleransi keadaan ekologi tertentu untuk dapat melangsungkan hidup
dan perkembangbiakannya, misalnya batas tolerasi/kisaran suhu, atau kelembaban untuk
proses hidup jenis suatu organisme, di luar batas tersebut organisme tersebut tidak
mungkin melangsungkan kehidupannya dan berkembang biak. Relung ekologi dapat
dibagi menjadi relung spatial (habitat), relung makanan (tropik), relung multi dimensi
(hypervolume).

19
Dua jenis organisme akan melakukan persaingan apabila keduanya memiliki
relung yang saling tumpang-tindis. Apabila tumpang tindis tersebut hanya sebagian maka
populasi kedua jenis organisme tersebut akan bersegregasi, terpisah satu sama lain.
Namun apabila tumpang tindis tersebut terjadi sepenuhnya maka salah satu akan
tersingkirkan (Deshmukh 1992).
Perubahan struktur dan komposisi hutan merupakan hasil dari kebutuhan yang
konstan dari setiap individu pohon untuk mendapatkan ruang yang lebih luas.
Pertambahan ukuran individu-individu pohon pada tingkatan tajuk utama menghasilkan
kompetisi terhadap kebutuhan ruang yang lebih luas bagi kehidupannya. Sebagian pohon
yang hidup berdampingan akan kalah dan stagnan pertumbuhannya (suppressed trees),
sebagian lagi akan mati. Persaingan antara pohon sesama jenis tidak akan mempengaruhi
komposisi dari suatu tipe hutan, namun sebaliknya persaingan antar dua atau lebih jenis
pohon menyebabkan terjadinya perubahan komposisi. Satu jenis akan hilang dan lain
jenis akan menguasai daerah tersebut seperti yang terlihat dalam proses suksesi hutan
(Spurr & Barnes 1980).
Pemangsaan

Pemangsaan merupakan istilah yang mencakup semua interaksi cara makan


antarpopulasi pada tingkat tropik yang berdampingan seperti tumbuhan dengan herbivora,
hewan dengan karnivora, inang dengan parasit, yang keseluruhannya mengambarkan
hubungan antara mangsa dengan pemangsa (predator). Kegiatan pemangsaan dapat
terlihat secara langsung dampaknya, misalnya akibat suatu hama yang menyerang suatu
populasi dari jenis pohon tertentu (Gambar..) yang dapat menyebabkan kematian masal
pada jenis pohon tersebut. Apabila ini terjadi, maka akan terjadi perubahan komposisi
hutan tersebut.

20
Gambar 2. Serangan hama Cossidae pada Tegakan Intsia bijuga. (A) Larva Cossidae
dalam lubang gerekannya yang dapat mencapai bagian pith; (B) pupa pada posisi
lubang ke luar; (C) Serangan Cossidae yang ditandai adanya cairan coklat tua ke
luar lubang gerekan pada batang (E dan D) pola gerekan melingkar dengan
pembengkakan batang (Sumber: Nugroho 2015)

Salah satu contoh fenomena pemangsaan yang dipergunakan di dalam silvikultur


adalah dalam usaha budidaya tanaman kayu cendana/sandal wood (Santalum album).
Kayu cendana saat fase anakan sangat bergantung hidupnya untuk memperoleh bahan
makanan dari tanaman inang di dekatnya, namun setelah bertumbuh dewasa akan
berubah menjadi mandiri dalam memperoleh makanannya (semi-parasit atau parasit saat
anakan). Oleh karena itu dalam menumbuhkan kayu cendana saat tingkat semai perlu
didampingkan dengan tanaman inang. Tanaman inang yang sering digunakan adalah cabe
(Gambar...)

21
Gambar. Fenomena semiparasitik tanaman cendana (Santalum album) saat muda dengan
tanaman cabe sebagai inangnya. Lingkaran merah akar parasit yang menempel pada akar
cabe, tampak pembengkakan pada akar cabe.

Simbiosis Mutualisme
Asosiasi yang bersifat mutualisme merupakan interaksi antarjenis yang
menguntungkan kedua belah pihak disebut sebagai simbiosis mutualisme. Secara
luas simbiosis mutualisme dapat terjadi antar hewan dengan hewan, hewan dengan
tumbuhan, ataupun tumbuhan dengan tumbuhan. Simbiosis mutualisme banyak
dipelajari di kehutanan karena dapat digunakan untuk merekayasa percepatan
pertumbuhan suatu jenis tanaman, seperti pemanfaatan asosiasi antara pohon jenis
legum dengan bakteri rhizobium dan pemanfaatan asosiasi pohon jenis-jenis
tertentu dengan cendawan mikoriza.
Jenis Pohon Bentuk Asosiasi Mikoriza Jenis Cendawan
Merbau (Intsia bijuga) Ektomikoriza Scleroderma sp.
Pinus merkusii Ektomikoriza Scleroderma spp dan
Melinjo (Gnetum gnemon) Ektomikoriza Scleroderma spp
Jati (Tectona grandis) Endomikoriza

22
Dinamika Populasi Tegakan Hutan

Tegakan hutan bukanlah sesuatu yang statis. Dari waktu ke waktu akan terjadi
perubahan, baik yang terjadi secara alami maupun terjadi akibat adanya gangguan yang
diakibatkan oleh organisme termasuk manusia, maupun bencana alam. Setiap individu
suatu organisme di dalam populasi akan bereproduksi dan tetap bersatu dengan
populasinya, atau menyebar membentuk populasi baru, atau kemudian akan mati
merupakan suatu kenampakan adanya dinamika populasi yang terjadi di dalam hutan.
Dinamika tegakan didefinisikan sebagai perubahan struktur dan komposisi
tegakan hutan dari waktu ke waktu termasuk di dalamnya, perubahan setelah terjadi
gangguan.
Pola ruang organism. Setiap individu anggota populasi suatu organisme
menyebar dalam beberapa pola spatial, yaitu dalam pola acak (random), pola
mengelompok/agregasi/rumpun (clumped) dan pola merata atau teratur (uniform).
Pola penyebaran demikian disebabkan oleh vektor penyebaran yang tersedia (angin, air,
atau satwa) pada daerah tersebut, pola angin, tipe, bentuk dan ukuran propagul, sumber
makanan (pada satwa) dan variasi lingkungan fisik, yang keseluruhannya merupakan
strategi suatu tumbuhan dalam mempertahankan kehidupannya. Secara teoritis pola
spatial penyebaran seperti demikian, namun melihat vektor penyebaran yang ada maka
suatu organisme jarang dijumpai menyebar secara acak.

Gambar Tipe pola pemencaran individu dalam populasi (a) Merata/teratur (uniform):
individu-individu penyusun populasi tersebar dengan pola jarak yang kurang lebih
sama dan teratur; (b) Mengelompok/Rumpun (Clump): Individu-individu
membuat kelompok; (c) Acak (random): pemencaran individu tidak beraturan
(acak) dalam populasi (Sumber: Desmuch 1992)

23
Faktor Penentu Ukuran Populasi. Jumlah individu organisme dalam suatu
populasi ditentukan oleh faktor-faktor: natalitas (natality), mortalitas (mortality), imigrasi
(immigration) dan emigrasi (emigration).

Gambar 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan populasi organisme

Proses menghasilkan individu baru baik melalui reproduksi secara seksual


ataupun aseksual disebut natalitas. Natalitas juga menggambarkan akan laju fertilitas atau
jumlah sebenarnya individu baru yang dihasilkan per female per unit waktu. Natalitas
sangat ditentukan oleh pola perkembang biakan (breeding) organisme yang sangat
bervariasi, ada yang setahun sekali, beberapa kali setahun dan ada pula yang sepanjang
waktu.
Dua populasi dengan natalitas yang sama namun memiliki mortalitas (tingkat
kematian) yang berbeda akan memiliki pola dinamika populasi yang berbeda pula.
Natalitas cenderung meningkatkan jumlah individu dalam populasi, sebaliknya mortalitas
menyebabkan berkurangnya ukuran populasi. Disamping kedua faktor tersebut terdapat
pula imigrasi atau masuknya individu dari populasi lain dan emigrasi atau keluarnya
individu dari populasi tersebut. Imigrasi dan emigrasi akan terjadi sangat tergantung dari
halangan yang ada antar populasi.
Struktur umur dari suatu populasi merupakan penciri penting untuk dapat menilai
dinamika populasi yang sedang terjadi. Dinamika populasi yang ideal seharusnya
memiliki struktur umur yang stationer (stationary age distribution) yaitu ratio antara
propagul reproduktif hingga mencapai individu dewasa selalu konstan dari waktu ke
waktu.

24
Secara garis besar suatu populasi dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) tipe struktur
umur:
(1) Struktur umur menurun, yaitu struktur umur yang memiliki populasi kecil pada
kelas umur sangat muda dan muda, paling besar pada kelas umur sedang dan
terkecil pada kelas umur tua, atau mortalitas lebih besar daripada natalitas . Jika
perkembangan populasi seperti ini berjalan terus mengikuti pola demikian dan
apabila kondisi lingkungan tidak berubah maka populasi dapat menuju ke arah
punah setelah beberapa waktu.
(2) Struktur stabil atau natalitas sama dengan mortalitas, artinya populasi tidak
berkembang
(3) Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus-menerus meningkat,
individu muda lebih kecil daripada individu yang tua

25
Dari struktur umur populasi yang pertama dan ketiga secara garis besar memiliki
kenampakan yaitu berupa piramida normal dan piramida terbalik yang masing-masing
memperlihatkan strategi yang berbeda dari suatu organisme untuk tetap dapat
mempertahankan populasinya. Struktur umur piramida normal memperlihatkan bahwa
organisme dengan struktur demikian menghasilkan regenerasi dalam jumlah yang sangat
banyak, namun dalam perjalanannya untuk mencapai dewasa, laju kematian sangat tinggi
sehingga kemungkinan untuk mencapai dewasa juga sangat kecil. Sebaliknya pada
organisme dengan struktur umur piramida terbalik, regenerasi terjadi dalam jumlah
sedikit namun tingkat kematian sangat kecil sehingga kemungkinan untuk mencapai
dewasa menjadi sangat besar.

(1) Pertumbuhan dan Suksesi

Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran tumbuhan (pohon)


yang tidak dapat berbalik dan sering digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid. Laju
pertumbuhan pohon tidak seragam dari waktu ke waktu, bervariasi sesuai tingkatan siklus
atau fase pertumbuhannya.
Terdapat 4 (empat) fase perkembangan tegakan yaitu fase celah (gap),
pengembangan (building), dewasa (mature) dan kematian (senesen). Saat celah (gap)
dalam hutan terbentuk akan ruang dan terjadinya penetrasi cahaya ke lantai hutan yang
mendorong terjadinya regenerasi diawali dengan perkecambahan benih-benih yang
tersedia di lantai hutan. Kecambah yang terbentuk saat terciptanya gap terus akan
bertumbuh dan berkembang. Bersamaan itu akan terjadi persaingan antar sesama jenis
maupun lain jenis dan yang mampu bertahan akan terus berkembang untuk mencapai
tingkatan selanjutnya hingga dewasa. Waktu untuk mencapai tingkat dewasa (mature)
bervariasi antar jenis pohon. Jenis-jenis pohon penyusun hutan sekunder pada umumnya
merupakan jenis yang memiliki pertumbuhan cepat hingga mencapai kedewasaan
dibandingkan jenis-jenis penyusun hutan primer (Gambar 5).

26
Gambar 5. Pertumbuhan dan Perkembangan pohon dimulai dari terbentuknya celah
dalam hutan (gap) yang mendorong perkecambahan (germination) hingga
pohon dewasa (mature)

Hutan primer yang tidak terganggu akan membentuk komunitas dalam status
keseimbangan, yang berarti jumlah pohon penyusun komunitas dan total phytomassanya
akan konstan dalam periode waktu lebih panjang antara tingkat senescence dan kematian
dari pohon-pohon tua yang akan diseimbangkan oleh adanya perkecambahan permudaan.
Tegakan akan mencapai fase pengembangan (building phase) dalam kecepatan
yang maksimum seperti ditampakkan oleh kemiringan grafik pada phase tersebut.
Selanjutnya pohon akan mencapai pertumbuhan maksimal hingga akhirnya tidak ada lagi
pertumbuhan. Pada fase ini tanaman telah mencapai tingkat dewasa. Dalam fase ini lebih
menonjol dalam perkembangan fungsi generatifnya. Pada fase ini, kerapatan pohon
dalam tegakan juga akan mencapai tingkat maksimum (Gambar ).

27
Gambar 6. Pertumbuhan maksimal tercapai saat pohon telah matang (mature) dan pada
fase ini pertumbuhan vegetative menurun dan generative terdorong. Periode
waktu untuk mencapai senesence (kematian) cukup lama sehingga praktis
terjadi keseimbangan antara pertambahan dan kehilangan phytomassa.

Dengan bertambahnya ukuran pohon dalam tegakan maka kompetisi antar pohon
tersebut juga akan meningkat yang menyebabkan penurunan jumlah pohon dalam
populasi. Hilangnya sebagian individu akan digantikan oleh pertumbuhan baru
(regenerasi) berasal dari biji yang baru jatuh atau dari seed bank yang kemudian
berkecambah. Ke empat fase perkembangan tegakan tersebut dapat mengarahkan ke pada
hutan dengan struktur dan komposisi jenis yang mirip atau berbeda. Kejadian senesence
secara alami tidak mungkin terhindarkan oleh karena itu sebelum pohon mengalami
kematian dan membusuk di dalam hutan maka sebaiknya ditebang dan dimanfaatkan.
Dengan penebangan yang baik akan menimbulkan gab yang dapat mendorong terjadinya
regenerasi. Oleh karena itu penebangan juga dikatakan sebagai salah satu metode
regenerasi.

Strategi Regenerasi

1. Sumber regenerasi

Dalam komunitas hutan akan selalu menampakkan adanya ke empat fase


perkembangan tegakan tersebut. Fase gap dapat terjadi secara alami, karena proses
kematian pohon tua atau akibat adanya gangguan. Keberhasilan dalam melewati fase ini
sangat tergantung dari kemampuan tiap tanaman dalam beregenerasi. Setiap jenis
tanaman akan memiliki strategi dalam regenerasi yang berbeda-beda. Strategi regenerasi
sangat terkait dengan sumber regenerasi tersebut dapat terjadi, strategi dalam
penyerbukan, strategi dalam penyebaran biji, dormansi biji dan perkecambahan biji.
Terdapat beberapa sumber regenerasi yaitu:

1. seedling bank: regenerasi yang telah terjadi saat tegakan mencapai fase gap.
Regenerasi berupa anakan yang tertekan atau dorman akan bereaksi dengan cepat
pada saat faktor-faktor lingkungan seperti cahaya tersedia bagi pertumbuhannya

28
2. seed bank: biji yang dorman tersimpan di dalam tanah permukaan dan serasah
yang memang telah ada sebelum fase gap terjadi. Perubahan lingkungan seperti
kelembaban akan menyebabkan terjadinya perkecambahan pada tanaman tersebut
3. seed rain: biji yang jatuh dari pohon induknya dan terbawa hanyut oleh air ke
tempat terjadinya gap dan membentuk regenerasi
4. Anakan yang muncul dari tunas-tunas akar yang menyebar dari pohon di
sekitarnya.

1. Strategi Penyerbukan

Terdapat variasi yang besar dalam waktu, lama dan frekuensi berbunga pada
pohon-pohon di hutan tropika. Beberapa paling tidak akan berbunga beberapa kali dalam
satu dalam satu tahun, atau tahunan (anually) bahkan beberapa tahun sekali.
Terdapat dua tipe penyerbukan yaitu penyerbukan silang (cross pollination) dan
penyerbukan sendiri (self pollination). Pada umumnya setiap jenis pohon memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan kemampua dalam penyerbukan silang. Kondisi
demikian memiliki arti penting secara silvikultur, karena hilangnya satu atau beberapa
individu dalam suatu komunitas dari suatu jenis akan mempengaruhi dalam kemampuan
penyerbukan silang.
Rendahnya kecepatan angin dan terkumpulnya suatu individu dalam hutan
mengindikasikan hanya sedikit jenis yang mengembangkan penyerbukan dengan bantuan
angin (wind-pollinated). Sebagian besar pohon-pohon hutan tropika memanfaatkan satwa
sebagai polinator, menarik mereka dengan nektar dan serbuk sarinya ataupun karena
baunya.
Tidak semua bunga akan menghasilkan buah dan biji, kemungkinan karena tidak
sesuainya iklim pada saat itu untuk menunjang penyerbukan dan perkembangannya
menjadi buah hingga matang menghasilkan biji.

2. Penyebaran biji

Setiap jenis pohon memiliki kemampuan memproduksi biji dalam frekuensi dan
kualitas yang berbeda, demikian pula dalam menerapkan mekanisme penyebaran biji.

29
Ukuran biji sangat berpengaruh dalam penyebaran biji, demikian pula sayap ataupun
ornamen biji lainnya dapat membantu penyebaran biji ke areal yang lebih luas, misalnya
seperti pada Intsia spp dengan biji ukuran besar cenderung regenerasi terjadi di sekitar
pohon induk. Gambar ..... menunjukkan kerapatan pancang Intsia palembanica yang
semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya dengan pohon induk. Propagul
Swietenia mahagoni mempunyai sayap yang menyebabkan dapat tersebar tidak dekat
dengan pohon induknya. Demikian pula terdapat beberapa jenis pohon yang
mengembangkan propagulnya agar mampu mengapung di atas air, sehingga akan tersebar
jauh dari pohon induknya.

Gambar. Kerapatan pancang dengan meningkatnya jarak pancang terhadap pohon induk
(dewasa) Intsia palembanica (Sumber: Okuda, Kachi, Yap dan Manokaran. 1997)

Terdapat tumbuhan yang menghasilkan biji dalam jumlah yang banyak namun
sebagian besar biji yang jatuh ke lantai hutan akan rusak dimakan oleh hewan ataupun
terinfeksi oleh jamur sehingga regenerasi tidak terjadi di bawah pohon induk, misalnya
babi hutan sangat menyukai memakan biji Intsia spp sehingga sering sulit dijumpai
adanya regenerasi di bawah pohon induk. Sebaliknya beberapa jenis pohon, terutama
yang buahnya disukai oleh satwa seperti burung dan kalelawar dapat disebarkan dalam
jangkauan yang jauh dari pohon induknya, seperti jenis matoa (Pometia spp.).

30
Gambar. Permudaan merbau dalam jumlah banyak di bawah tegakan pohon

3. Dormansi biji dan perkecambahan biji

Dormansi biji yang panjang sangat jarang dijumpai pada jenis-jenis pohon
tropika, karena kebanyakan jenis pohon di daerah tropika menghasilkan biji termasuk
dalam golongan biji rekalsitran. Benih rekalsitran adalah benih yang tidak dapat
dikeringkan karena memiliki kadar air kritis dimana di bawah kadar air kritis tersebut
benih akan mati. Perkecambahan akan segera terjadi begitu biji rekalsitran jatuh dan
menyentuh lantai hutan akibat kelembaban yang cukup. Oleh karena itu jarang pula hutan
tropika basah membentuk seed bank. Dengan demikian, maka lebih banyak dijumpai
anakan yang tertekan sebagai seedling bank, karena persaingan yang ketat saat tingkat
semai. Benih dengan sifat seperti demikian tidak dapat disimpan dalam waktu lama,
contohnya seperti Pometia pinnata, Araucaria spp, Artocarpus spp, dan lainnya.
Sebaliknya Intsia spp, Acacia spp dan lainya merupakan salah satu contoh jenis
yang memiliki masa dormansi cukup lama. Benih ini dapat dikeringkan dan dapat
disimpan, disebut sebagai benih orthodoks. Pada umumnya jenis-jenis pohon penghasil
biji ortodoks menyumbangkan bijinya untuk seed bank di daerah tropis, dan sering
dijumpai sebagai jenis penyusun hutan sekunder atau jenis pionir misalnya seperti
Anthocephalus chinensis, yang memiliki masa dormansi beberapa tahun.

Suksesi Hutan

31
Suksesi hutan dapat didefinisikan sebagai pergantian komunitas pohon dari satu
komunitas ke bentuk komunitas lainnya. Pergantian ataupun perubahan komunitas
tersebut terjadi setelah adanya suatu gangguan baik yang bersifat alami maupun buatan.
Dengan demikian suksesi dapat pula dikatakan merupakan suatu proses perbaikan
(recovery) hutan setelah hutan tersebut mengalami gangguan. Kemampuan memperbaiki
dirinya kembali untuk mencapai kondisi hutan seperti semula akan sangat tergantung dari
intensitas dan lamanya gangguan, luasnya areal yang terganggu, dan ketersediaan
propagul untuk proses regenerasi dari waktu ke waktu.
Jika perkembangan dimulai dari suatu areal yang sebelumnya tidak ditempati oleh
suatu komunitas dan dimulai tanpa adanya gangguan karena bencana alam, maka suksesi
demikian disebut sebagai suksesi primer, sedangkan apabila perkembangan komunitas
terjadi dengan diawali dengan perubahan atau hilangnya komunitas awal seperti pada
kegiatan pembukaan dan pemanenan hutan maka suksesi demikian disebut sebagai
suksesi sekunder. Suksesi primer sering pula disebut sebagai autogenik yang
merefleksikan pergantian dari satu kelompok jenis dengan lainnya sebagai hasil dari
ekosistem itu sendiri, bersamaan dengan berkembangnya vegetasi, tanah dan iklim mikro.
Sebaliknya suksesi sekunder disebut sebagai allogenik, karena dihasilkan oleh adanya
kekuatan luar yang merubah ekosistem misalnya dengan adanya kerusakan hutan karena
kegiatan pemanenan) (Spurr & Barnes 1980).
Produk dari suksesi disebut sebagai sere. Tingkat perkembangan suksesi yang
terlihat dari berbagai komunitas yang secara bersama membentuk sere disebut sebagai
tingkat sere (seral stage). Dalam fase perkembangan (building phase) hutan dapat
dijumpai dua tingkat sere yaitu: tingkat sere awal (aerly seral stage) dan tingkat sere
akhir (late seral stage). Pada tingkat sere awal, komunitas dibentuk oleh tumbuhan hutan
sekunder jenis cepat tumbuh (jenis pionir). Umumnya pohon-pohon penyusun komunitas
ini berumur pendek sekitar 20-30 tahun, dan merupakan jenis intoleran. Melewati tingkat
sere awal ini komunitas akan tersusun lebih kompleks baik berupa komposisi maupun
struktur umurnya, demikian pula phytomass-nya meningkat. Sebagian jenis penyusun
komunitas pada tahap ini berupa jenis pohon pioner lambat tumbuh yang memiliki umur
lebih panjang dan sebagian lagi dari jenis pohon penyusun hutan primer.

32
Penyusun pada sere awal di hutan dataran rendah Papua pada umumnya terdiri
atas jenis Macaranga spp, Hibiscus spp dan Piper spp, sedangkan pada tingkat sere akhir
umumnya berupa pohon dengan ukuran jauh lebih besar seperti Pometia spp, Intsia spp,
Callophylum spp, Alstonia spp, Ficus spp, dan Paraserianthes falcataria dlsbnya.
Pada hutan klimaks perkembangan komunitas telah mencapai stabil (mature
phase) yang dicirikan: (1) penggunaan potensi tempat tumbuh secara maksimal; (2)
pertumbuhan meninggi pohon terhenti dan (3) riap total tegakan telah mencapai
maksimum (phytomasa telah maksimum).
Suksesi hutan merupakan suatu proses yang berlanjut dari satu kelompok vegetasi
ke kelompok vegetasi lainnya, namun tidak perlu harus berurutan persis karena sangat
bergantung dari kondisi ekosistem masing-masing. Perubahan-perubahan tersebut terjadi
secara bersamaan dan satu dan lainnya saling mempengaruhi. Oleh karena itu jalannya
suksesi juga menggambarkan perkembangan tanah, iklim mikro dan organisme di
dalamnya.
Dalam mengembangkan teknologi rehabilitasi tanah dan lahan hutan seringkali
dilakukan dengan meniru peristiwa suksesi. Penambangan terbuka sering meninggalkan
permasalahan serius yang berkaitan dengan degradasi sifat fisik, kimia maupun biologoi
tanahnya. Dalam kondisi seperti demikian sulit untuk diharapkan penanaman pohon
dengan menggunakan jenis-jenis pohon hutan klimaks, sebaliknya akan lebih baik apabila
dapat dipilih jenis-jenis vegetasi dan pohon pionir yang cocok dengan kondisi tanah dan
lahan yang telah terdegradasi tersebut. Penanaman jenis pohon klimaks hanya akan
dilakukan manakala kondisi tapak telah mendukung untuk pertumbuhan dan perkebangan
jenis-jenis pohon tersebut.
Secara tradisional dalam praktek perladangan berpindah masa bera sangat
ditentukan oleh proses suksesi yang terjadi. Besarnya bukaan hutan untuk perladangan
akan mempengaruhi lamanya pemulihan kesuburan tanah atau masa bera yang
dibutuhkan. Masyarakat seringkali mengunakan tumbuhan tertentu yang mengkolonisasi
bekas perladangan sebagai suatu indikator bagi pemulihan kesuburan tanah.

33
III. EKOFISIOLOGI

Fotosintesis

Fotosintesa merupakan suatu proses yang terjadi dalam tanaman berhijau daun
untuk membentuk karbohidrat dari bahan anorganik melalui transformasi energi surya
menjadi energi kimia. Karbohidrat dibentuk dari hasil fiksasi CO 2 dan dari H2O melalui
proses yang kompleks berupa rangkaian seri reaksi biokimia dan dalam proses ini akan
dilepaskan O2. Secara sederhana fotosintesa dapat digambarkan sebagai berikut:

Cahaya
6CO2 12 H 2     C 6 H 12O 6  6H 2O
 O  6O 2
khlorofil

Fotosintesis terdiri atas dua reaksi yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi
terang (cahaya) merupakan reaksi penangkapan energi cahaya surya untuk dirubah
menjadi energi kimia dalam bentuk ATP dan NADPH2. Pada reaksi ini dilepaskan O2.
Reaksi gelap merupakan reaksi kimia dan ezimatik perubahan karbondioksida menjadi
produk pertama dari fotosintesis dengan bantuan energi kimia yang dibentuk pada reaksi
terang yang selanjutnya merupakan rangkaian reaksi hingga terbentuk hasil akhir (C6).
Pada reaksi gelap ditinjau dari produk pertama fotosintesis maka tanaman dapat
dibagi menjadi tanaman C3 (produk pertama fotosintesis PGA) dan Tanaman C4
(produknya berupa Oxaloacetic acid). Jenis rumput-rumputan merupakan salah satu
contoh tanaman C4 sedangkan tanaman pohon kehutanan pada umumnya tergolong pada
tanaman C3.
Faktor-faktor yang membatasi proses fotosintesis antara lain (1) Pemanasan yang
berlebihan; (2) respirasi yang berlebihan; (3) defisit air; (4) akumulasi hasil fotosintesis di
daun; (5) kurangnya enzim dan pigmen yang berperan pada fotosintesis; (6) penutupan
stomata; dan (7) kurangnya CO2 di lingkungan sekitarnya
Dalam membicarakan fotosintesis pada pohon maka perhatian utama kita adalah
pada Laju Fotosintesis bersih (net Fotosintesis) yaitu perbedaan antara laju fotosintesis
kotor (gross fotosintesis) dan laju respirasi yang terjadi. Net fotosintesis terjadi pada saat
CO2 yang diambil dalam fotosintesis melebihi jumlah CO2 yang hilang melalui proses
respirasi.

34
Stomata

Stomata adalah pori kecil pada epidermis daun. Gas dan air dapat berdifusi ke
dalam daun melalui stomata. Oleh karena itu tidak mengherankan buka-tutupnya stomata
sangat mempengaruhi proses difusi CO2 yang dibutuhkan tanaman bagi jalannya
fotosintesis disamping pula sangat menentukan laju kehilangan air dari dalam tubuh
tanaman (transpirasi).
Stomata berjumlah sangat banyak dan biasanya lebih banyak dijumpai pada
bagian bawah permukaan daun, hanya sekitar 1% yang dijumpai di atas permukaan daun.
Sebaliknya pada daun jarum stomata menyebar pada keseluruhan permukaan daun.
Proses buka-tutup stomata belum dapat dipahami dengan baik namun terbuka atau
tertutupnya stomata terkait dengan proses ke luar-masuknya air ke dalam sel penjaga.
Tingkatan atau laju buka-tutup stomata merupakan ciri toleransi tanaman terhadap
kondisi penyinaran atau tingkatan tanaman terpapar terhadap sinar. Demikian pula jumlah
stomata sangat terkait dengan tingkat adaptasi tanaman terhadap paparan sinar.

Variasi Fotosintesis Dalam Satu Jenis Pohon dan Antar Jenis Pohon

Tajuk pohon membentuk suatu struktur yang kompleks terdiri atas susunan daun
dengan umur daun yang beragam dan tumbuh dalam berbagai posisi, bahkan walaupun
itu dalam satu pohon. Perbedaan posisi tersebut memberikan arti terhadap pengaruh
lingkungan yang berbeda terhadapnya sehingga menyebabkan terjadinya variasi kapasitas
fotosintesis yang besar di dalamnya. Demikian pula adanya variasi umur daun antara
bagian dalam tajuk dan bagian luar tajuk atau bagian bawah tajuk dan bagian permukaan
tajuk menyebabkan pula terjadinya perbedaan kapasitas fotosintensi di antara mereka.
Perbedaan dalam efisiensi fotosintesis juga terdapat antara pohon dominan,
kodominan dan tertekan. Perbedaan paling tampak dari kemampuan fotosintesis antar
pohon dominan, kodominan dan tertekan lebih banyak terletak pada luasan daun/tajuk
(leaf area index) yang dimiliki.
Variasi dalam efisiensi fotosintesis juga ditampakkan oleh vegetasi yang toleran
dan intoleran terhadap naungan. Variasi ini juga ditampakkan dengan adanya perbedaan
dalam morfologi daun antar ke duanya yang sebenarnya merupakan perwujudan adaptasi
terhadap lingkungannya.

35
Perbedaan dalam fotosintesis juga dapat ditampakkan akibat adanya perbedaan
sifat genetik yang dimiliki dari satu jenis pohon yang sama. Asumsi yang kerap diambil
yaitu adanya hubungan antara pertumbuhan dengan efisiensi dalam proses fotosintensis.
Sifat genetik ini belum tentu mempengaruhi langsung dari proses fotosintensi yang terjadi
dalam tubuh tanaman tersebut namun dapat melalui sifat-sifat yang diturunkan melalui
perbedaan dalam kenampakan morfologi dari tanaman yang bersangkutan seperti luasan
daun yang lebih tinggi sehingga lebih efisien dalam menangkap sinar matahari.
Respirasi

Respirasi merupakan proses penggunaan karbohidrat dan produk fotosintesis


lainnya untuk mempertahankan dan membangun jaringan tanaman, dan untuk
memperoleh energi bagi keperluan metabolisme dan pengambilan unsur hara. Pada
pohon respirasi yang terjadi adalah respirasi aerobik. Respirasi ini terjadi bukan saja
pada tingkat dewasa bahkan saat masih berupa biji pun tanaman terlah berespirasi. Dalam
kondisi demikian respirasi akan menghasilkan energi, karbondioksida dan air. Substrat
respirasi dapat berupa karbohidrat (gula dan pati), asam-asam lemak, asam-asam organik
dan protein.
Proses respirasi dapat digambarkan secara sederhana dengan rumus umum sebagai
berikut:

C H O  6O
6 12 6 2
 6CO2  6 H 2 O  ATP
Respirasi aerobik terbagi dalam dua proses yaitu proses glikolisis yaitu proses
degradasi glukose menjadi asam piruvat dan siklus krebs (TCA=Tricarbocyclis Acid)
yaitu proses degradasi asam piruvat untuk menghasilkan energi dengan mengeluarkan
karbondioksida dan air.
Pada umumnya respirasi terjadi pada saat tidak adanya cahaya (dark respiration)
namun demikian pelepasan karbondioksida pada tanaman tertentu dapat pula terjadi pada
suasana hadirnya cahaya sehingga proses ini disebut sebagai fotorespirasi. Respirasi
pada saat ada cahaya dapat terhambat dan akan digantikan dengan proses fotorespirasi.
Hadirnya fotorespirasi sangat terkait dengan produktivitas tanaman. Dikeluarkannya
karbondioksida pada saat fotorespirasi menyebabkan konsentrasi karbondioksida pada
chloroplast menjadi rendah sehingga laju fotosintesis menjadi menurun. Jenis rumput-

36
rumputan (tanaman C4) memiliki produktivitas tinggi.karena tidak memiliki
fotorespirasi.
Laju respirasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi respirasi adalah: cahaya, temperatur, kelembaban udara,
air tanah dan nutrisi tanaman. Di lain pihak pola respirasi pada tanaman menampakkan
adanya variasi musiman karena sangat berhubungan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Laju respirasi akan meningkat sejalan dengan peningkatan
aktivitas metabolik. Pada saat pembentukan tunas dan daun baru, masa pembungaan
maka respirasi pun akan meningkat. Oleh karena itu tidak mengherankan bagi tanaman
yang mempunyai kecepatan pertumbuhan tinggi (fast growing species) laju respirasinya
pun akan lebih tinggi dibandingkan tanaman slow growing species, karena untuk
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat diperlukan pula energi yang tinggi.

Penyerapan dan Translokasi

Akar mengabsorsi air terutama terjadi pada bagian apikal. Akar yang berbentuk
silinder yang filamentous merupakan permukaan penyerapan bagi ion dan air ke dalam
tanaman. Oleh karena itu luas permukaan penyerapan akan sangat menentukan
kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara dan air. Akar rambut tanaman akan
bersentuhan dengan koloid tanah dimana terdapat kation-kation tanah yang terjerap pada
permukaan jerapan koloid tanah, maupun kation-kation yang terlarut dalam larutan
tanah yang merupakan bentuk paling tersedia bagi tanaman.
Akar rambut akan mempertahankan kontak secara langsung dengan air tanah dan
secara alami akan bertindak sebagai organ penyerap air dan larutan. Air akan berdifusi ke
dalam akar rambut akibat adanya perbedaan tekanan difusi. Jalur penyerapan atau
masuknya ion dan air ke dalam xylem akar terjadi dengan dua cara utama yaitu: cara
pertama melalui sistem sitoplasmik bergerak dari sel ke sel hingga mencapai xilem
sedangkan cara kedua melalui dinding sel (apoplast) dari sel-sel epidermis dan kortika
hingga mencapai kasparian strip. Pergerakan ion dan larutan dari akar ke dalam xilem
akar tanaman juga sangat terbantu oleh kekuatan yang ditimbulkan proses transpirasi.
Mekanisme dalam transportasi ion dan air tersebut dapat melalui dua tipe
mekanisme yaitu secara pasif dan aktif. Transportasi secara pasif yaitu pengangkutan

37
yang ditimbulkan karena adaya kekuatan atau gaya fisik (tanpa energi) sedangkan
transport secara aktif yaitu pengangkutan yang terjadi akibat adanya penggunaan energi
biologis (ATP) yang disediakan oleh proses respirasi. Salah satu kekuatan yang
menggerakkan air dari larutan ke atas dapat terjadi karena adanya transpirasi.
Translokasi merupakan proses pergerakan atau transportasi berbagai material
(gas, air, mineral, karbohidrat, maupun hormon) dari suatu tempat ke tempat lainnya
dalam suatu sistem tanaman.
Pergerakan larutan dalam tanaman misalnya karbohidrat selalu bergerak dari satu
titik asal (source) ke titik penggunaan (sink). Titik asal dapat berupa daun dewasa,
sebagai tempat karbohidrat hasil fotosintesis dibentuk atau dapat pula berada pada batang
atau akar sebagai pusat penyimpanan karbohidrat sedangkan titik penggunaan dapat pada
bagian manapun dari tanaman yang sedang aktif bermetabolisme terutama pada daerah-
daerah pertumbuhan seperti kambium, titik tumbuh pada tunas, bunga dan buah.
Pergerakan larutan dari titik asal ke titik penggunaan disebabkan akibat adanya
perbedaan konsentrasi larutan pada ke dua titik tersebut yang menyebabkan perbedaan
tekanan osmotik ke duanya. Transportasi larutan ke bagian atas tanaman melalui jaringan
xylem sedangkan ke bagian bawah tanaman melalui tabung tapis dalam jaringan phloem.
Dalam silvikultur sering dilakukan praktek peneresan yaitu pemotongan jaringan
phloem yang bertujuan untuk memutus jalur transportasi hasil fotosintesis ke bagian
tanaman lainnya sehingga secara perlahan tanaman akan kehabisan bahan makanan dan
akan mati. Peneresan sering dilakukan untuk mematikan pohon-pohon saingan yang tidak
dikehendaki tanpa harus menebang pohon tersebut.
Demikian pula dalam praktek perbanyakan melalui pencangkokan pada
prinsipnya juga dengan cara memutus jalur transportasi phloem suatu cabang sehingga
makanan hasil fotosintesis akan menumpuk pada bekas luka pemotongan dan mendorong
untuk terjadinya kalus, akibat adanya pembungkus media tanah pencangkokan maka
kalus akan diarahkan untuk membentuk akar cangkokan.

Transpirasi

Transpirasi adalah peristiwa hilangnya air dari dalam tubuh tanaman dalam
bentuk uap air. Terdapat tiga tipe transpirasi yaitu: transpirasi lentikular, kutikular dan

38
stomata. Dari ketiga tipe transpirasi tersebut transpirasi melalui stomata adalah yang
terpenting dalam bertanggung jawab terhadap kehilangan air dari dalam tanaman.
Transpirasi berperan penting sebagai proses pendingin tubuh tanaman, sebagai
kekuatan bagi terjadinya proses absorbsi dan transportasi air dan unsur hara tanaman dan
berfungsi juga untuk membantu mengurangi turgiditas yang berlebihan selama musim
hujan yang berlebihan. Sebaliknya transpirasi juga dapat menyebabkan pengaruh yang
buruk bagi tanaman bila terjadi secara berlebihan yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kematian bagi tanaman.
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju transpirasi dapat disebabkan oleh faktor
tanaman maupun faktor lingkungan. Faktor tanaman meliputi: ukuran daun, jumlah,
ukuran dan letak stomata, umur daun, ukuran lentisel, adanya lapisan lilin, dan rambut;
sedangkan faktor lingkungan meliputi temperatur udara, dan kelembaban udara. Suatu
tumbuhan yang memiliki laju pertumbuhan tinggi pada umumnya juga mempunyai laju
respirasi tinggi yang diperlukan untuk proses pendinginan. Laju respirasi yang tinggi
otomatis pula memerlukan ketersediaan air tanah yang cukup melimpah.
Dalam pekerjaan persemaian dan penanaman faktor transpirasi menjadi perhatian
utama. Transpirasi yang berlebihan dapat menyebabkan kematian tanaman. Perlakuan
pengurangan luasan daun dengan cara memotongnya ditujukan untuk mengurangi luas
permukaan penguapan air atau mengurangi kehilangan air akibat transpirasi. Demikian
pula dalam praktek pemindahan tanaman ke lapangan seringkali didahului dengan
perlakuan penyapihan agar tanaman dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan
atau ada pula yang melakukan dengan memberikan naungan tanaman khususnya bagi
tanaman yang tidak tahan terhadap pencahayaan penuh (jenis intoleran). Perlakuan-
perlakuan ini sebenarnya bertujuan untuk mengatasi agar respirasi tanaman tersebut tidak
berlebihan yang dapat menyebabkan kematian tanaman di lapangan

39
FAKTOR KLIMATIS

Iklim merupakan faktor penentu utama dari distribusi vegetasi secara luas,
sedangkan iklim mikro merupakan penentu yang nyata bagi penyebaran jenis dan
komunitas secara lokal. Di daerah tropis musim dingin dan panas tidak dijumpai. Suhu
udara di daerah tropis khususnya isotherm tahunan sebesar 20oC kecuali daerah
pegunungan tinggi. Secara umum, suhu dan ketersediaan air bagi tumbuhan dan fluktuasi
harian maupun musiman dari keduanya diketahui merupakan faktor iklim utama bagi
penentu distribusi tumbuhan (Spurr & Barnes 1980).
Iklim mikro atau iklim yang terbentuk dan terlokalisasi di atas tajuk hutan mirip
dengan iklim pada areal terbuka. Tajuk pohon dominan akan menerima cahaya matahari
penuh sedangkan pohon kodominan akan menerima cahaya sebagian karena tertimpa
naungan dari tajuk pohon dominan maupun kodominan di sampingnya. Demikian pula
pengaruh angin terhadap pohon-pohon tersebut juga akan mempengaruhi kelembaban
udara di sekitarnya yang relatif mirip dengan tempat terbuka. Sebaliknya iklim mikro di
bawah tajuk hutan sangat berbeda dengan iklim makro yang terbentuk di luar hutan.
Tajuk-tajuk pohon akan membentuk isolasi yang bervariasi tingkatnya, menyebabkan
kecepatan angin dan temperatur relatif rendah sebaliknya kelembaban relatif tinggi,
namun keduanya relatif konstan dibandingkan daerah di atas tajuk (McKinty 1999).

Radiasi Matahari

Radiasi Matahari merupakan sumber energi utama bagi vegetasi yang memiliki
kemampuan menangkap secara langsung sebagai panas dan mengubahnya menjadi nergi
kimiawi. Kemampuan ini menyebabkan vegetasi merupakan produser dominan dalam
rantai makanan (trophic web) dalam suatu ekosistem.
Energi matahari mencapai permukaan bumi sebagai pancaran gelombang
elektromagnetis dengan panjang gelombang yang bervariasi dari yang sangat pendek
hingga panjang gelombang medium-panjang. Sebagian dari energi matahari yang
mencapai permukaan bumi dapat dilihat oleh manusia disebut sebagai cahaya (Visible
light) yaitu sinar yang mempunyai panjang gelombang 400 – 700 mu.

40
Energi matahari sangat berperan dalam menentukan temperatur bumi, iklim dan
pola cuaca. Variasi panjang gelombang cahaya juga memberikan keanekaragaman warna
baik kenampakan satwa (warna bulu) maupun flora (warna tajuk, bunga dsb).
Pada saat radiasi matahari melewati atmosfir akan mengalami beberapa perubahan
baik dalam kuantitas maupun komposisi spektralnya. Awan, uap air, debu atmosfir akan
memantulkan, mengabsorbsi atau menceraikan radiasi matahari. Ultraviolet dan infra
merah banyak berkurang dan hilang pada saat mencapai permukaan bumi karena adanya
proses absorbsi pada saat perjalanannya ke permukaan bumi. Ultraviolet diabsorbsi oleh
lapisan ozone sedangkan infra merah diabsorbsi oleh gas karbondioksida dan uap air.
Oleh karena itu kuantitas yang tinggi hanya pada cahaya (visible light) yang mencapai
permukaan bumi, sehingga tidak mengherankan apabila cahaya secara ekologis
mempunyai arti penting.
Warna hijau dari hutan disebabkan karena gelombang hijau dipantulkan oleh tajuk
tanaman. Demikian pula sinar inframerah yang dipantulkan bunga akan membantu
serangga-serangga penyerbuk untuk mendeteksi keberadaan bunga tersebut. Prinsip
pendeteksian sinar inframerah ini digunakan pula dalam analisis potret udara atau
penginderaan jarak jauh (remote sensing).

Variasi Energi Matahari

Variasi energi matahari yang mencapai permukaan bumi dapat terjadi akibat: (1)
Keadaan atmosfer, (2) letak geografi, (3) waktu, dan (4) keadaan vegetasi. Kondisi
atmosfer apakah saat tersebut mendung atau cerah akan menentukan penerimaan energi
matahari pada permukaan bumi. Demikian pula letak geografi suatu tempat akan
menentukan intensitas dan lamanya penerimaan energi matahari. Energi matahari yang
diterima bumi dalam sehari juga akan bervariasi dari waktu ke waktu, demikian pula
kondisi penutupan suatu tempat akan sangat berpengaruh terhadap jumlah energi
matahari yang diterima oleh bumi.

Variasi Kualitas spektrum Radiasi Matahari dalam Hutan

Cahaya melintasi tajuk vegetasi akan mengalami perubahan dalam komposisi


spektrum dan intensitas cahaya akibat adanya perbedaan pemantulan (reflectance),

41
penyerapan (absorbance) dan transmitance dari sinar dengan panjang gelombang yang
berbeda. Khlorofil yang bertanggung jawab terhadap penangkapan energi matahari dalam
proses fotosintesis akan mengabsorbsi cahaya violet-biru dan oranye-biru (PAR=
Photosynthetically Active Radiation). Perubahan spektrum sinar matahari oleh vegetasi
bervariasi antar jenis. Vegetasi berdaun lebar akan berbeda dengan vegetasi berdaun
jarum yang memiliki daun jarum dengan warna lebih gelap (opaque).
Tajuk hutan juga sangat berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dapat
mencapai lantai hutan (Gambar 7)

Gambar 7. Pengaruh penutupan Tajuk terhadap intensitas cahaya yang diterima lantai
hutan (Kimmin 1997)

Cahaya dan Pertumbuhan Pohon

Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas,


kualitas cahaya (panjang gelombang), lamanya penyinaran serta periodisitasnya.
Pentingnya peran cahaya bagi pertumbuhan pohon jelas terlihat akan ketergantungan
pohon terhadap cahaya bagi jalannya proses fotosintesis. Ketergantungan tersebut
menunjukkan adanya hubungan antara laju fotosintesis dengan intensitas cahaya
walaupun hubungan tersebut tidak sederhana. Gambar 8. menerangkan laju net
fotosintesis pada tanaman pada saat bertambahnya intensitas cahaya dari titik nol.

42
Gambar 8. Hubungan antara fotosintesis dengan peningkatan intensitas cahaya

Laju fotosintesis bertambah dengan tajam saat intensitas cahaya bertambah namun
pada awalnya tidak ada net fiksasi CO2 (pertambahan biomasa) akibat CO2 yang hilang
melalui respirasi melebihi laju fiksasi CO2. Saat intensitas cahaya terus bertambah maka
akan mencapai titik dengan net fiksasi CO2 pada proses fotosintesis sama dengan laju
kehilangan CO2 pada respirasi. Titik ini disebut sebagai titik kompensasi (Compensation
point=CP). Titik CP akan terlewati dengan bertambahnya intensitas cahaya, dan laju
fotosintesis terus meningkat hingga mencapai titik jenuh (saturation point=SP), saat
mana pertambahan intensitas cahaya tidak lagi meningkatkan laju fotosintesis bahkan
melewati titik SP ini akan terjadi penurunan drastis dari laju fotosintesis. CP dan SP
dapat berbeda sangat nyata antar jenis vegetasi yang berbeda, bahkan antar individu pada
jenis yang sama atau antar bagian pada individu yang sama.
Regenerasi tegakan hutan sangat tergantung dari adanya pembukaan tajuk untuk
menfasilitaskan masuknya sinar matahari ke lantai hutan, yang secara alami dapat terlihat
pada terjadinya celah (gab) dalam hutan. Namun demikian pembukaan tajuk hutan perlu
dilakukan secara bijaksana, pembukaan tajuk yang terlalu lebar dapat menyebabkan
pertumbuhan jenis-jenis pionir sulit dikendalikan dan akan menekan jenis-jenis komersial
yang akan dikembangkan, terlebih bagi jenis-jenis yang pada saat muda merupakan jenis
toleran dan semitoleran.

43
Toleransi (Terhadap Naungan).
Pohon-pohonan di dalam tegakan hutan selalu akan terjadi persaingan di dalam
memperoleh ruang tumbuh salah satunya bersaing untuk mendapatkan cahaya. Reaksi
atau kepekaan jenis-jenis pohon-pohonan terhadap cahaya berbeda-beda. Reaksi seperti
demikian disebut toleransi. Jenis yang tahan akan keteduhan disebut sebagai jenis
toleran (shade tolerance), sedangkan jenis yang tidak tahan akan keteduhan disebut
sebagai jenis intoleran (shade intolerance/light demanding).
Perbedaan antara jenis toleran dan intoleran dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai
berikut:

Toleran Intoleran
a. Biji berkecambah di bawah tajuk a. Biji berkecambah di tempat terbuka
b. Semai tahan lama di bawah tajuk jika b. Semai cepat mati, jika dibebaskan reaksi
ada kesempatan akan tumbuh cepat cepat
c. Mempunyai tajuk lebar dan lebat daun- c. Tajuk tipis dan jarang, daun-daunnya
daunnya kurang mendapat cahaya cukup mendapatkan cahaya
d. Pemangkasan alam lambat d. Pemangkasan alam cepat
e. Tumbuh lambat waktu muda e. Tumbuh cepat waktu muda

Reaksi tanaman terhadap kondisi naungan sebagian diatur oleh hubungan antara
intensitas dan laju fotosintesa dan sebagian diatur oleh faktor lingkungan lainnya.
Gambar 4 menunjukkan bahwa titik kompensasi (compensation point) dan titik jenuh
(saturation point) antara jenis intoleran dan tolerang berbeda. Jenis toleran ditandai
dengan titik kompensasi dan titik jenuh yang tercapai pada intensitas cahaya yang lebih
rendah daripada jenis intoleran (Gambar 9)

44
Gambar 9. Compensation point (CP) dan saturation point (SP) pada jenis toleran dan
intoleran

Pengetahuan mengenai toleransi dari berbagai jenis pohon atau tegakan hutan
sangat penting dalam praktek silvikultur ataupun agroforestri. Banyak peraturan sistem
silvikultur yang memasukkan pertimbangan akan toleransi relatif pohon atau tegakan
dalam pengaturan permudaannya. Dalam praktek pembenihan dan persemaian, jenis-jenis
tertentu menghendaki diberikan naungan agar pertumbuhan pada masa anakan dapat
berlangsung baik. Demikian pula dalam praktek agroforestri, pengaturan komposisi jenis
pada sistem multi strata ataupun pekarangan selalu memperhatikan campuran komposisi
jenis antara yang toleran dan intoleran.
Sangatlah penting bahwa jenis-jenis toleran dipelihara sedemikian rupa di dalam
tegakan campuran sehingga tidak mengalahkan tegakan jenis intoleran yang disukai,
kalau tidak jenis intoleran ini dapat lenyap. Demikian pula dalam pembukaan tajuk perlu
dipertimbangkan masak-masak akan penyerbuan jenis-jenis intoleran yang tumbuh secara
progresif hingga mengalahkan jenis-jenis toleran. Jenis-jenis toleran mempunyai
kemampuan hidup dan bertahan lama di bawah naungan tumbuhan bawah, sebaliknya
jenis intoleran harus dapat cepat melepaskan diri tetap berada di atas untuk mendapatkan
cahaya kalau tidak akan mati. Namun demikian terdapat pula jenis-jenis pohon yang
toleran saat tingkat semai namun menjadi intoleran saat meningkat menjadi dewasa.
Jenis-jenis pohon demikian biasanya yang mengisi seedling bank di bawah tajuk pohon

45
dominan, yang biasanya mempunyai pertumbuhan yang stagnan dan akan bereaksi
tumbuh dengan cepat saat terjadi gab yang menyediakan cahaya cukup untuk
pertumbuhan semai tersebut menuju ke tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi hingga
dapat mencapai tingkat pohon.

Temperatur

Temperatur merupakan ukuran dari intensitas atau konsentrasi energi panas dalam
suatu objek yang ditentukan oleh jumlah energi panas di dalamnya dan kapasitas panas
dari objek (bahang jenis=specific heat capacity). Dengan demikian pada saat dua benda
yang berbeda diberikan sejumlah energi panas yang sama akan memiliki temperatur yang
berbeda. Sepotong kayu kering akan memiliki temperatur lebih tinggi dari pada sepotong
besi yang berukuran sama saat keduanya memiliki energi panas yang sama.
Energi panas di bumi diperoleh dari energi radiasi matahari yang mencapai
permukaan bumi sebagai gelombang elektromagnetik. Energi panas dapat berpindah dari
satu tempat ke tempat lain melalui konduksi, konveksi dan radiasi. Temperatur suatu
benda di alam lebih banyak ditentukan oleh keseimbangan antara banyaknya radiasi yang
diterima dan banyaknya radiasi yang hilang walaupun perpindahan energi melalui
konduksi dan konveksi juga turut berperan dalam menentukan temperatur suatu benda.
Udara kontak langsung dengan badan air seperti laut, ataupun danau menyebabkan
perubahan temperatur permukaan air tersebut melalui konduksi yang selanjutnya
mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan temperatur atmosfer sehingga timbul arus
konveksi yang berperan dalam penyebaran efek pertukaran panas pada daerah yang luas.
Siklus hidrologi terjadi dimulai dengan peristiwa penguapan air karena adanya
energi panas, terjadinya angin disebabkan oleh perbedaan kerapatan udara yang
ditimbulkan oleh pemanasan permukaan bumi yang berbeda, bentuk kehidupan (life
form) di muka bumi juga diatur oleh energi panas.
Temperatur akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung dari letak
geografi maupun topografinya. Pada elevasi yang rendah akan mempunyai temperatur
udara lebih tinggi dibandingkan tempat dengan elevasi tinggi. Temperatur akan turun

46
0.4o C setiap elevasi bertambah 100 m. Perbedaan vegetasi secara altitudinal maupun
latitudinal terkait dengan temperatur dan kelembaban lingkungan yang berbeda.

Temperatur Kardinal

Suatu selang nilai temperatur yang menggambarkan temperatur persyaratan hidup


dan toleransi (dalam siklus hidup yang berbeda) dari suatu vegetasi (organisme) disebut
sebagai temperatur kardinal. Sering digunakan istilah temperatur optimum, maksimum
dan minimum. Namun penggunaan istilah tersebut harus tepat karena optimum untuk
hidup (survival), belum tentu optimum untuk reproduksi.
Temperatur dapat terlalu tinggi bagi suatu jenis vegetasi karena beberapa alasan.
Laju respirasi dan metabolisme akan semakin tinggi dengan meningkatnya temperatur.
Pada temperatur yang tinggi setiap jenis vegetasi dapat mengalami kehilangan energi
lebih besar daripada laju penggantian energi melalui fotosintesis ataupun melalui
mobilisasi cadangan makanan. Peristiwa ini akan menyebabkan kelaparan (starvation)
atau kelelahan (exhaustion) dan apabila hal ini berlanjutnya dapat menyebabkan
kematian.

Temperatur dan Pertumbuhan tanaman

Metabolisme dan pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada ketersediaan air


dalam bentuk cairan dan ini tidak akan terjadi apabila jaringan tanaman menjadi beku
karena temperatur yang rendah ataupun tanaman kekurangan air akibat transpirasi
berlebihan karena kepanasan. Hilangnya air dari tubuh tanaman merupakan suatu
mekanisme pendinginan dalam mengantisipasi lingkungan yang terlalu panas. Apabila
kehilangan air berlebihan menyebabkan tanaman mengalami dehidrasi.
Temperatur optimum bagi terjadinya fotosintesis bervariasi tergantung jenis
vegetasi dan ekotipe namun pada umumnya terletak pada selang temperatur antara 18 dan
25o C pada jenis-jenis pohon daerah temperate. Persyaratan temperatur optimal bagi
tanaman dari suatu jenis tanaman tergantung pula pada faktor-faktor lainnya seperti umur
daun, kesehatan daun dan ketersediaan air maupun cahaya.
Dengan bertambahnya temperatur fotosintesis akan meningkat secara
eksponensial hingga mencapai laju optimal. Sejalan dengan berlanjutnya peningkatan

47
temperatur, proses enzimatik meningkat pula secara drastis sehingga menyebabkan
turunnya laju fotosintesis akibat tanaman kekurangan air ataupun akibat terjadinya
koagulasi protein dalam protoplasma. Fotosintesis kemudian akan terhenti bersamaan
dengan kematian protoplasma (Gambar 10).

Gambar 10. Hubungan antara fotosintesis dan respirasi dengan bertambahnya temperatur

Temperatur ekstrem dan perubahan temperatur secara tiba-tiba akan menyebabkan


kerusakan pada pohon. Temperatur permukaan tanah sering menjadi sangat panas akibat
albedo dan konduktivitas tanah yang rendah menyebabkan pohon muda (anakan) yang
belum memiliki kulit kayu yang tebal menjadi terluka batangnya (stem girldling)
sehingga membunuh jaringan kambium yang berakibat terputusnya translokasi makanan.
Dengan adanya luka juga makin memudahnya tanaman terinfeksi oleh patogen tanaman.
Anakan di persemaian sebelum ditanam harus terlebih dahulu dipersiapkan untuk dapat
menghadapi temperatur yang lebih tinggi di lapangan melalui cara penyapihan
(hardening). Penyapihan dapat dilakukan dengan melepaskan naungan secara perlahan-
lahan hingga sampai anakan tersebut dapat mampu terpapar penuh terhadap cahaya
matahari.

48
Ekotipe atau asal daerah dengan ketinggian berbeda mempunyai selang
temperatur kardinal yang berbeda pula. Apabila ekotype asal daerah dataran tinggi
dipindahkan ke daerah dataran rendah akan tampak menderita. Untuk mengatasi hal
tersebut ecotype tersebut perlu mendapatkan aklimatisasi yaitu dengan memberikan
perubahan temperatur secara perlahan-lahan.
Temperatur juga turut berperan penting dalam distribusi jenis pohon secara alami
di muka bumi. Pola vegetasi yang terjadi dengan adanya perubahan garis lintang
(latitudinal) ataupun ketinggian tempat (altitudinal) berhubungan erat dengan perbedaan
temperatur antar lokasi.

Adaptasi Pohon Terhadap Temperatur Ekstrim

Pohon mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap temperatur lingkungan


dapat secara morfologis ataupun secara fisiologis.
Adaptasi Tanaman terhadap Temperatur lingkungan yang tinggi ditampakan
dengan ciri morfologi:
1. Daun panjang dan tipis dengan maksud untuk memaksimalkan efek saling menaungi
seperti pada Pinus atau ditujukan untuk meminimalkan intersepsi cahaya saat panas
pada tengah hari seperti pada Eucalyptus
2. Berkutikula tebal, berkulit mengelupas, atau berambut bertujuan untuk meningkatkan
albedo dan mengurangi transmitance.
3. Adanya pigmen pelindung sehingga mengurangi keseimbangan temperatur pada tajuk

Laju transpirasi yang tinggi dari tajuk merupakan proses mendinginkan tubuh
pada pohon, namun cara ini terlalu beresiko, sehingga dalam beradaptasi terhadap
lingkungan panas pohon tidak dapat semata-mata tergantung pada proses tersebut.
Adaptasi yang paling penting dilakukan tanaman melalui morfologi daunnya yang
ditujukan untuk mengurangi kehilangan air melalui transpirasi.
Demikian pula terdapat beberapa jenis pohon yang beradaptasi untuk tahan
terhadap kebakaran. Jenis eucalyptus dengan kulit batang yang mengelupas lebih tahan
terhadap kebakaran dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan biji pohon yang memiliki

49
kulit tebal secara morfologi beradaptasi terhadap temperatur yang tinggi saat terjadi
kebakaran sehingga tetap mampu berkecambah untuk menghasilkan keturunan.
Adaptasi terhadap lingkungan ekstrim sering ditampakkan secara fisiologis. Pada
temperatur yang sangat rendah tanaman tertentu akan menjadi dorman sehingga dalam
kondisi fisiologi demikian tanaman akan tahan terhadap kerusakan akibat temperatur
yang sangat dingin tersebut.

Perubahan Temperatur dalam Aktivitas Kehutanan

Tebang habis memberikan pengaruh paling besar terhadap temperatur hutan


melalui perubahan keseimbangan energi radiasi. Dengan hilangnya tegakan hutan
menyebabkan meningkatnya total energi yang diabsorbsi dibandingkan yang hilang.
Temperatur yang meningkat akan meningkatkan kegiatan mikroorganisme pelapuk
sehingga dengan sendirinya juga meningkatkan sumbangan karbondioksida ke atmosfer
yang akan menambah efek “rumah kaca”. Besarnya pengaruh tebang habis terhadap
temperatur tergantung dari tingkat pembukaan hutan yang dibuat (ukuran petak
tebangan).
Meningkatnya total energi yang diterima oleh lantai hutan baik temperatur akibat
makin banyaknya intensitas cahaya yang diterima maupun akibat energi yang dilepaskan
mikroorganisme tanah selama proses pelapukan akan mempengaruhi terhadap proses
perkecambahan jenis-jenis pohon tertentu yang pada awalnya dalam keadaan dorman.

Angin

Pemanasan permukaan bumi yang bervariasi menyebabkan temperatur dari satu


tempat ke tempat lainnya berbeda. Keadaan demikian menyebabkan kerapatan udara
antar tempat berbeda sehingga menimbulkan tekanan udara yang berbeda. Perbedaan
tersebut akan menggerakkan perpindahan massa udara yang dikenal sebagai angin. Dari
proses timbulnya angin maka jelas bahwa angin merupakan hasil konversi energi
matahari menjadi energi thermal (panas) yang akhirnya menjadi energi kinetik dari sistem
angin tersebut. Angin selalu berusaha mempertahankan kecepatannya terhadap rintangan
yang ditimbulkan akibat adanya gesekan dengan permukaan. Sebagai akibat usaha ini,

50
maka angin selalu mempunyai pola yang berubah-rubah sesuai dengan perpindahan
termal ekuator.
Angin memiliki peran penting secara ekologis. Siklus hidrologi diatur oleh adanya
angin, bahan-bahan polutan dapat diangkut dari satu tempat ke tempat lainnya di bagian
dunia ini oleh angin, angin pula yang menyebabkan adanya gerakan arus konveksi uap air
dan gesekan udara yang mengandung uap air (turbulensi udara) tersebut menimbulkan
listrik statik berupa kilat yang sangat berperan bagi sumbangan unsur nitrogen dalam
ekosistem, angin berperan pula dalam penyebaran panas (thermal).

Pengaruh angin terhadap morfologi tanaman

Angin menentukan penampakan morfologi tanaman. Pada daerah yang memiliki


angin cukup kencang maka akan terlihat adanya distribusi pertumbuhan yang tidak
merata. Misalnya dijumpai pada pohon-pohon yang tumbuh di tepi pantai, maka tajuk
pohon akan terbentuk condong searah tiupan angin laut. Pengaruh angin terhadap
pertumbuhan pohon juga sering ditimbulkan oleh material yang turut terbawa angin dapat
berupa garam, debu, ataupun pasir. Angin dari arah laut akan membawa material garam
yang dapat menyebabkan terjadinya desikasi pada daun atau keracunan akibat hadirnya
garam tersebut. Demikian pula bentuk-bentuk cacat kayu dapat disebabkan oleh pengaruh
angin kencang yang bertiup searah secara tetap.

Pengaruh angin terhadap proses fisiologi pohon

Bertiupnya angin di antara tajuk pohon akan memindahkan panas hasil sampingan
metabolisme tumbuhan. Kejadian ini sangat membantu tanaman dalam proses
pendinginan sehingga tanaman dapat terhindar dari stress akibat suhu yang tinggi pada
musim panas.
Disamping memindahkan panas, angin juga sangat berperan dalam mempengaruhi
laju transpirasi. Hilangnya uap air bersama angin dari permukaan daun akan
menyebabkan perbedaan gradien tekanan uap antara di luar dan di dalam stomata.
Perbedaan demikian menyebabkan terjadi pergerapkan uap air dari dalam stomata ke
atmosfer (transpirasi).

51
Pengaruh angin terhadap penyebaran propagul reproduksi

Banyak tanaman tergantung pada angin dalam penyebaran propagul reproduktif.


Penyebaran serbuk sari (polen) oleh angin (anemophily) banyak dijumpai pada tanaman
dalam kelompok taksonomi primitif seperti jenis-jenis daun jarum atau conifer. Bagi
tanaman yang polinasinya dibantu angin selalu mensyaratkan adanya produksi serbuk sari
(polen) dalam jumlah yang besar. Tanaman yang melakukan diseminasi propagul
reproduktif dengan bantuan angin (anemochory) mempunyai penyebaran lebih luas
dibandingkan tanaman anemophily dan biasanya melibatkan penyebaran biji atau spora.
Biji yang disebarkan oleh angin biasanya berukuran sangat kecil (misalnya
anggrek) sehingga dapat diangkat oleh angin mencapai ketinggian tertentu dan
ditransportasikan hingga jarak yang cukup jauh. Bagi biji-biji yang berukuran lebih besar
sering memiliki alat khusus seperti berambut panjang yang dapat berfungsi sebagai
parasut (jenis rumput-rumputan), ataupun bersayap (misalnya Switenia spp) sehingga
dapat diangkut dengan mudah oleh angin. Jarak diseminasi propagul tersebut sangat
tergantung pula dari tingginya pohon.

Kelembaban Udara dan Presipitasi

Banyaknya uap air yang terkandung di dalam udara dikenal sebagai kelembaban
udara. Keberadaan kelembaban udara memiliki arti penting secara ekologis karena: (1)
besarnya jumlah uap air dalam udara merupakan indikator kapasitas potensial atmosfir
untuk terjadinya presipitasi; (2) uap air mempunyai sifat dapat menyerap radiasi bumi
sehingga turut berperan dalam mengatur temperatur bumi. Jumlah maksimum uap air
yang dapat ditampung oleh udara sangat tergantung dari temperatur udara yang akan
mengatur terjadinya titik embun maupun kondensasi.
Kelembaban relatif dan kelembaban mutlak (absulut) merupakan ukuran paling
umum yang digunakan untuk menggambarkan kelembaban udara, walaupun kelembaban
relatif yang paling sering dipergunakan dalam meterologi. Kelembaban relatif adalah
perbandingan uap air yang ada di udara dengan jumlah maksimum uap air yang
dikandung pada suhu dan tekanan tertentu dalam satuan persentase, sedangkan
kelembaban mutlak adalah masa uap air yang berada dalam satu satuan udara, satuannya
gram per meter kubik. Apabila suhu udara bertambah, kapasitas udara untuk mengandung

52
uap air bertambah atau dengan kata lain kelembaban relatif akan naik. Sebaliknya bila
tidak ada lagi penambahan uap air, maka kelembaban relatif akan turun bila suhu
dinaikkan.
Presipitasi terjadi pada saat udara jenuh akan uap air yang selanjutnya melalui
proses kondensasi terbentuk awan. Pada keadaan kondisi tertentu awan akan membentuk
butiran yang terus membesar hingga akhirnya jatuh menjadi air hujan. Terdapat empat
tipe presipitasi yaitu: (1) Hujan konveksi (convectional rainfall) yaitu hujan yang
dihasilkan oleh adanya perbedaan pemanasan pada lapisan muka bumi sehingga terjadi
pergerakan masa udara dari lapisan bawah ke atas secara konveksi dan terbentuklah awan
konveksi. Hujan konveksi biasanya merupakan hujan lokal dengan intensitas rendah. (2)
Hujan orografi (orographic presipitation) yaitu hujan yang diakibatkan udara lembab
didorong naik ke atas bukit atau pegunungan melalu pererakan normal udara. (3) Hujan
frontal atau siklon (frontal or cyclonic presipitation) terjadi akibat udara lembab yang
hangat dipaksa bergerak melewati lapisan udara dingin. Hujan ini biasanya merupakan
hujan yang melingkupi daerah yang luas dan merupakan hujan yang panjang/lama.
Pola pertumbuhan kayu pada umumnya dipengaruhi oleh ketersediaan air yang di
daerah tropis berkaitan dengan musim penghujan dan musim kemarau. Saat musim hujan
laju pertumbuhan kayu cenderung lebih tinggi dicirikan dengan pembentukan sel-sel
kayu yang berukuran besar dan berdinding sel tipis sebaliknya pada saat musim kemarau
sel-sel kayu yang dihasilkan cenderung berukuran kecil dengan dinding sel yang tebal.
Penelitian dari Marosoem (2013) terdapat kecenderungan umum pertumbuhan jati yang
relatif kecil saat bulan-bulan dengan curan hujan dan hari hujan rendah dibandingkan saat
bulan-bulan dengan curah hujan dan hari hujan tinggi walaupun faktor lingkungan lain
juga turut berperan dalam pertumbuhan jati tersebut.
Intensitas curah hujan sangat menentukan ketersediaan air tanah bagi tumbuhan
yang tumbuh di atasnya. Air hujan yang turun ke atas permukaan tanah akan menjadi
aliran permukaan (run off) atau akan berilfitrasi ke dalam tanah yang sebagian akan
tertahan di dalam tanah yang tergambarkan dari kedalaman permukaan air tanah dan
sebagian akan keluar sebagai mata air dan masuk ke aliran sungai. Bagi pohon-pohon
yang tidak tahan terhadap permukaan air tanah yang rendah akan menyebabkan

53
perakarannya hanya berkembang sebatas di atas permukaan air tanah yang seringkali pula
mengganggu dalam proses pohon tersebut beregenerasi karena kelebihan air dalam tanah.

54
Faktor Edaphis

Arti Penting Tanah

Tanah terbentuk oleh proses yang kompleks yang berjalan dalam rentang waktu
yang sangat lama. Tumbuhan bersama dengan faktor lain seperti iklim, organisme hidup
lainnya, bahan induk, topografi dan lamanya bahan induk mengalami pembentukan tanah
sangat menentukan jenis tanah yang berkembang dan terbentuk (Brady 1990). Oleh
karena itu terdapat kaitan yang sangat erat antara tanah dan vegetasi di atasnya. Vegetasi
akan mengarahkan dalam pembentukkan tanah sebaliknya tanah akan menentukan pula
vegetasi apa yang cocok tumbuh di atasnya. Dalam perkembangan vegetasi pada
peristiwa suksesi hutan, ketersediaan unsur hara dalam tanah selalu diikuti pula dengan
perkembangan vegetasi di atasnya. Peningkatan suplai unsur hara dalam tanah secara
langsung akan mendukung proses berjalannya suksesi ke tingkat sere berikutnya dan ini
merupakan suatu fakta bahwa pertumbuhan suatu vegetasi akan memodifikasi sifat fisik
dan kimia tanah dan sebaliknya kondisi tanah yang ada akan mendukung vegetasi seperti
apa yang akan tumbuh diatasnya (Daniel et al 1979). Keadaan demikian menyebabkan
orang sering menggunakan vegetasi sebagai salah satu indikator untuk menduga keadaan
tanah dimana vegetasi tersebut tumbuh.
Arti Penting tanah bagi tumbuhan dapat dipilah menjadi: (1) Sebagai tempat
tanaman menancapkan akarnya hingga tanaman dapat berdiri tegak; (2) Sebagai penyedia
air bagi tanaman; (3) Sebagai penyedia unsur hara yang diperlukan tanaman
Tanaman yang tumbuh pada tanah-tanah berbatuan karang, dengan kekuatan
akarnya mampu memecahkan memecahkan susunan batuan tersebut dan menembusnya
hingga mencapai lapisan batuan induk yang tak terpecahkan atau kira-kira hingga ke
dalaman 20 m. Penggunaan tanah oleh akar tanaman sangat tergantung pada keadaan
fisik dan kimia tanah tersebut. Pada tanah-tanah kering dengan batuan keras yang tak
terpecahkan tanpa tersedianya mineral tanah, sering terlihat daerah demikian tetap tak
berhutan. Kalaupun terdapat vegetasi, maka biasanya vegetasi tersebut sangat bergantung
pada akumulasi bahan organik sehingga perakarannya bukan perakaran dalam namun
lebih banyak berkembang perakaran horisontal dan ini mengakibatkan tanaman akan
mudah roboh.

55
Di dalam hutan seringkali kandungan unsur hara walaupun merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan, namun bukanlah merupakan satu-satunya faktor
penentu dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman kehutanan. Dalam kasus Pinus
merkusii Jungh et de Vries memperlihatkan bahwa faktor kedalaman tanah merupakan
faktor penentu bagi produktivitas getah (Supriyo & Prehaten 2013). Kasus yang sama
juga dijumpai pada pertumbuhan Agathis labiladiere (Tokede 19...). Dengan kedalaman
solum tanah yang memadai memungkinkan pohon untuk mengembangkan perakarannya
dengan baik dalam menjelajahi tanah secara vertikal maupun horizontal untuk mencari
unsur hara untuk mendukung pertumbuhan yang lebih baik.
Siklus Unsur Hara dalam Hutan dan Pemupukan
Pohon-pohonan di dalam hutan diketahui sangat menggantungkan kebutuhan
unsur hara pada siklus unsur hara. Siklus unsur hara merupakan istilah untuk
menggantikan istilah siklus mineral karena mineral tidak senyatanya membuat siklus di
alam. Mineral akan terdekomosisi misalnya menghasilkan elemen kalsium dan fosfor dan
elemen inilah yang membentuk suatu siklus dalam suatu ekosistem. Siklus
biogeochemical istilah lain yang menggambarkan suatu pertukaran unsur hara di dalam
suatu ekosistem yang melibatkan pertukaran antara organisme dengan lingkungan fisik
dari suatu ekosistem (Jordan 1985) dan dalam ekositem hutan sering disebut sebagai
siklus tertutup dengan penampung (pool) utama berada pada biomasa dan tanah. Dalam
siklus hara tertutup, siklus akan berkelanjutan apabila antara output unsur hara seimbang
dengan input unsur hara. Kontribusi unsur hara utama bagi penampung (pool) tanah
selain pelapukan bahan mineral tanah terutama berada pada lantai hutan melalui proses
produksi dan dekomposisi serasah. Hasil dekomposisi serasah sebagian akan diambil oleh
tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan biomasa dan sebagian akan
dikembalikan ke dalam tanah. Sedangkan output unsur hara terutama berkaitan dengan
pencucian unsur hara dan pemanenan biomasa tumbuhan hutan yang memindahkan unsur
hara dari dalam ekosistem ke luar ekosistem hutan yang bersangkutan. Setiap jenis
tumbuhan pohon memiliki karakteristik tersendiri dalam penyerapan unsur hara,
penyimpanan unsur hara dalam biomassa, pola produksi serasah dan kecepatan
dekomposisi serasah (Gambar ).

56
Gambar. Dinamika unsur hara pada tiga jenis tanaman pohon dengan unsur hara yang
dipindahkan melalui jatuhan serasah, yang disimpan dalam serasah tersedia di lantai
hutan (standing litterfall) dan dalam tanah. Unsur hara dalam serasah baik yang
diproduksi maupun yang berada di lantai hutan dan unsur hara dalam tanah disajikan
dalam satuan kg/ha/tahun (Nugroho 1994)

Gambar ... memperlihatkan bahwa tegakan Intsia bijuga memperoduksi serasah


sekitar 8,1 ton/Ha dengan kandungan unsur hara yang relatif tinggi dibandingkan jenis
Pometia pinnata ataupun Vatica papuana. Unsur hara yang terkandung dalam serasah
tersebut dengan cepat dilepaskan kembali ke dalam tanah melalui proses dekomposisi.
Cepatnya proses dekomposisi tidak mempengaruhi jumlahnya unsur hara dalam tanah
kecuali kalsium yang relatif tinggi bila dibandingkan tegakan lainnya yang mempunyai
kondisi tanah mirip satu sama lain, ini memperlihatkan bahwa siklus yang cepat antara
pelepasan unsur hara dengan pengambilan unsur hara dalam tegakan I. bijuga (Nugroho
2010).

57
Dekomposisi dan pola pengambilan unsur hara merupakan fenomena penting
untuk dipelajari agar dalam pengelolaan tanah dapat dilakukan secara tepat sehingga
tingkat kesuburan tanah dapat dipertahankan Dekomposisi dan pengambilan unsur hara
dan karakter ini sangat penting untuk dipelajari agar dalam pengelolaan tanah dapat
dilakukan secara tepat sehingga tingkat kesuburan tanah dapat dipertahankan untuk
kepentingan pertumbuhan tanaman pada siklus berikutnya.
Siklus unsur hara dalam ekosistem hutan ini akan menjadi terbuka dengan adanya
kegiatan pemanenan. Pemanenan pada dasarnya adalah membawa unsur hara yang
terkandung di dalam biomassa pohon ke luar hutan dan hilangnya unsur hara tersebut
akan lebih nyata bila dalam pemanenan menerapkan seluruh bagian pohon dimanfaatkan
(whole tree harvesting) dan dibawa ke luar ekosistem. Gonçalves, Gava & Wichert
(2004) memperlihatkan bahwa perbedaan dalam penyiapan lahan dan managemen
serasah menghasilkan pertumbuhan tanaman Eucalypthus grandis yang sangat berbeda.
Penyiapan lahan dengan membersihkan seluruh serasah bekas tebangan dari lahan
menghasilkan pertumbuhan E. Grandis terendah dibandingkan bila serasah bekas tebagan
tidak dihilangkan.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan dari suatu tegakan hutan pada siklus tebangan berikutnya sangat pula
bergantung pada bagaimana kita mengelola lantai hutan. Manakala banyak biomasa yang
hilang selama pemanenan dan sangat sedikit yang dikembalikan ke dalam tanah sebagai
serasah maka konsekuensinya harus dapat digantikan melalui pemupukan.
Penggunaan pupuk pada tanaman kehutanan masih sangat terbatas terutama baru
pada kegiatan persemaian untuk menghasilkan bibit tanaman yang baik dan tahan di
lapangan. Banyaknya pupuk yang diperlukan sangat ditentukan oleh kebutuhan tanaman
yang berbeda satu dengan lainnya, proses fisiologis yang sedang berlangsung pada
tanaman tersebut dan kondisi dari tanah tempat tumbuh tanaman tersebut. Analisis tanah
merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan kebutuhan pupuk.
Pemberian pupuk yang tidak tepat justru dapat menghasilkan tanaman dengan
pertumbuhan yang kurang baik atau bahkan tanaman tersebut dapat mati. Anakan
tanaman yang diberikan pupuk N berlebihan akan menghasilkan pertumbuhan tajuk yang
berlebihan sehingga menyebabkan rasio R/S rendah. Prinsip yang harus dipegang dalam

58
pemupukan adalah bahwa pemberian pupuk akan memperoleh hasil optimal apabila tidak
ada faktor-faktor lainnya yang kekurangan atau dengan kata lain perlu memperhatikan
keseimbangan antar unsur hara.
Air Tanah

Air dari dalam tanah dapat hilang melalui drainase menjadi air tanah, evaporasi
kembali ke atmosfir dan dimanfaatkan oleh tanaman yang sebagian akan hilang melalui
transpirasi. Air dalam tanah dapat dapat bergerak, disimpan ataupun diserap oleh tanaman
sangat ditentukan oleh tiga jenis energi (potensial air) yaitu potensial osmotik, potensial
gravitasi dan potensial matrik. Potensial osmostik ditimbulkan akibat adanya perbedaan
konsentrasi larutan (bahan kimia terlarut). Potensial osmostik sangat berperan pada tanah-
tanah salin. Potensial gravitasi ditimbulkan oleh adanya gaya berat bumi (gravitasi)
akibat adanya perbedaan letak elevasi air tersebut. Potensial matrik berhubungan dengan
kekuatan kapilaritas dan adsorpsi. Potensial ini merupakan potensial negatif berlawanan
gayanya dengan potensial osmostik dan gravitasi.
Potensial matrik merupakan kekuatan yang menahan air pada matrik tanah,
sedangkan potensial osmotik dan gravitasi merupakan kekuatan yang menggerakkan air.
Air selalu akan bergerak dari tanah yang memiliki potensial matrik rendah ke potensial
matrik tinggi.
Terjadinya curah hujan tahunan yang tinggi tidak menjamin tersedianya air bagi
tanaman. Tersedianya air tanah salah satunya dipengaruhi oleh terjadinya penerimaan
curah hujan oleh tanah yang dapat masuk ke dalam tanah (infiltrasi) dan tidak hilang
melalui aliran permukaan (surface run off). Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap penerimaan curah hujan adalah struktur dan penutupan permukaan tanah.
Kemampuan tanah dalam menyimpan air disebut sebagai water holding capacity.
Tidak semua kandungan air tanah tersedia bagi tanaman. Pada saat potensial
matrik tanah sedemikian kuat mengalahkan kemampuan potensial akar tanaman untuk
dapat menarik air maka dalam keadaan demikian air tidak akan tersedia bagi tanaman.
Air tersedia biasanya berkisar antara kapasitas lapang dan titik layu permanen.
Kapasitas lapang adalah jumlah air yang ditahan tanah sesudah air gravitasi
hilang. Kapasitas lapang bersifat tidak tetap sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan
organik, struktur dan tekstur tanah. Titik layu permanen adalah keadaan kandungan air

59
tanah saat tanaman menunjukkan kelayuan yang biasanya terjadi pada tegangan 15 atm
(walaupun bervariasi tergantung tekstur tanah).
Tanaman-tanaman tertentu biasanya memperbesar kemampuan menarik air dari
dalam tanah dengan cara memperluas bidang penyerapan akarnya. Praktek demikian
sering dilakukan pula dalam praktek-praktek silvikultur yaitu menyiapkan anakan yang
tahan akan kekeringan di lapangan dengan cara memperkecil tajuknya (yang
bertanggungjawab terhadap transpirasi) dan memperbesar pertumbuhan akar rambutnya
(bidang penyerapan air). Ukuran yang sering digunakan dalam mengevaluasi
pertumbuhan yang ideal antara tajuk dan akar adalah perbandingan R/S (root/shoot).

Adaptasi tanaman terhadap habitat yang kelebihan dan defisit air

Air diperlukan tanaman untuk pertumbuhannya sepanjang siklus hidupnya mulai


saat berkecambah hingga tumbuh dewasa. Pada saat kering, kandungan air tanah
mendekati tekanan air pada tanaman menyebabkan pengambilan air akan menurun
dengan tajam, tanaman akan layu, stomata tertutup dan transpirasi berhenti (keadaan
disebut sebagai titik layu sementara). Pada saat ini demikian pemulihan turgiditas
tanaman masih dapat dipulihkan apabila tanaman segera mendapatkan air. Apabila
keadaan air tanah seperti demikian terus menurun dan keadaan turgiditas tanaman tidak
dapat dipulihkan kembali walaupun telah diairi maka keadaan demikian disebut sebagai
titik layu permanen. Walaupun secara teori titik layu permanen merupakan parameter
tanah bukan tanaman namun variasi oleh tanaman walau hanya 0.5% namun memiliki arti
yang sangat besar.
Klasifikasi Tanaman yang beradaptasi terhadap water stress:
1. Hydrophyt adalah tumbuhan yang beradaptasi dengan sebagian atau seluruh bagian
tubuhnya terendam dalam air. Tanaman demikian tidak dapat tumbuh pada tekanan
air >500 – 1000 K.Pa.
2. Mesophyt adalah tanaman terestrial yang beradaptasi terhadap suplai air yang
moderat. Tanaman dapat tumbuh pada keadaan air tanah melebihi 2000 Kpa.
Tanaman tidak memiliki kekhususan bentuk seperti yang diitunjukkan tanaman
hydrophyt maupun xerophyt.

60
3. Xerophyt adalah tumbuhan yang beradaptasi terhadap lingkungan yang kering di
bawah tekanan air tanah 4000 K.Pa.
Ciri-ciri tanaman hydrophyt seperti pada tanaman akuatik yaitu: (1) dicerminkan
hadirnya jaringan spongy dan cavity internal yang menfasilitaskan pengambilan oksigen
dari daun dan batang ke akar contohnya pada tanaman padi; (2) adanya akar khusus yang
muncul di atas permukaan air yang disebut sebagai akar napas (pneumatophores) yang
dilengkapi dengan stomata dan sistem saluran udara interselular yang berkembang
dengan baik dan memiliki kemampuan berespirasi anaerobik dalam waktu terbatas
contoh vegetasi mangrove.
Tumbuhan xerophytes dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan. (1) bukan
xerophyte sebenarnya (drought escaper) yaitu tumbuhan yang mampu menghindari
pengaruh buruk kekeringan dengan cara menunda proses metabolisme dan
menghilangkan kandungan air dari dalam tubuhnya, yaitu dengan cara memasuki masa
pembentukan generatif berupa biji atau spora. Ciri utama tanaman demikian biasanya
berukuran kecil, rasio R/S tinggi, dan siklus hidupnya sangat pendek (berkecambah,
tumbuh, berbunga, menghasilkan buah dalam waktu pendek). (2) Tumbuhan tahan kering
(drought resister) yang berdasarkan strateginya terbagi atas: (a). tumbuhan yang
memiliki kemampuan untuk menghindari stres terhadap kekeringan (avoidance of
drought stress) yaitu dengan cara memelihara potensial air tetap tinggi saat tanaman
terpapar terhadap stress air eksternal; (b). tumbuhan yang mampu berdaptasi dengan
keadaan kekeringan yang dapat dilakukan melalui dua cara adaptasi yaitu water
conservation (water saver) dan water utilization (water splender). Ciri tumbuhan dengan
strategi water conservation umumnya berupa tumbuhan sukulen dan beberapa tanaman
sclerophyt. Tumbuhan ini dapat memperkecil laju transpirasinya sebelum kelayuan
terjadi dan mampu mengambil air dalam jumlah banyak dan menyimpannya dalam
jaringan parenchyma dan vakuola, akarnya supervisial sehingga sangat efisien dalam
pengambilan air tanah walau jumlah air tanah sangat sedikit demikian pula waktu terbuka
stomata sangat pendek. Sebaliknya pada tanaman dengan strategi water utilization, air
dari akar di bawa ke atas untuk dipergunakan bagi metabolisme yang berjalan sangat
cepat dibarengi dengan tingginya laju respirasi untuk mengurangi stres akibat panas yang
tinggi. Tanaman memiliki R/S tinggi dengan perakaran dalam sehingga mampu

61
mengambil air tanah dalam dan mampu pula menurunkan titik layu permanen. (c)
tumbuhan yang toleran terhadap kekeringan (Tolerance of drought stress), termasuk di
dalamnya tanaman yang toleran terhadap dehidrasi atau mampu menghindari terjadinya
dehidrasi melalui berbagai mekanisme.
Ciri morfologi tanaman xerophytes adalah sebagai berikut: (1) perbandingan R/S
tinggi, (2) ukuran daun kecil, (3) daun tebal, (4) sel daun kecil, (5) dinding sel tebal, (6)
ukuran stomata kecil, mengumpul rapat, (7) terdapat rambut pada daun (pubescent), (7)
kutikula tebal dengan kandungan lemak tinggi, (8) jaringan mesophyl palisade
berkembang lebih baik, (9) jaringan mesophyl spongy kurang berkembang baik, (10)
ruang antar sel (interselular space) kecil, (11) sel-sel xylem kecil, (12) jaringan berlignin
tinggi lebih banyak, (13) tipe stomata tenggelam
Ciri fisiologi tanaman xeropyte adalah sebagai berikut: (1) adanya akumulasi gula,
(2) konsentrasi sap (cairan) sel tinggi, (3) potensial osmostik kecil, (4) kandungan air sel
rendah, (5) laju transpirasi per unit area daun tinggi, (6) laju fotosintesa per unit area daun
tinggi, (7) ratio pati/gula rendah, (8) viskositas protoplasma rendah, (9) resistensi
terhadap kelayuan tinggi, (10) cepat berbunga dan berbuah

62
Faktor Fisiografi

Faktor fisiografis termasuk di dalamnya semua keadaan yang menentukan bentuk


dan struktur dari permukaan tanah/bumi seperti konfigurasi bumi, ketinggian tempat,
lereng dan aspek. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keadaan vegetasi hutan melalui
pengaruh tidak langsungnya.
Konfigurasi bumi atau relief topografi dari permukaan tanah, arah dari rangkaian
pegunungan dan dekatnya terhadap lautan mempunyai arti klimatis yang besar.
Keseluruhan faktor fisiografis tersebut terkait dengan dari mana arah angin bertiup,
kelembaban udara, temperatur dan banyaknya presipitasi yang terjadi atau dengan kata
lain akan menyebabkan adanya perbedaan klimatis antar tempat sesuai ciri fisiografis
yang dimiliki. Perbedaan klimatis tersebut pada akhirnya akan pula mempengaruhi
pembentukan tanah. Pencucian ke bawah yang terjadi secara terus menerus akan
membentuk tanah endapan pada cekungan-cekungan yang biasanya relatif lebih subur
dibandingkan tanah di atasnya.
Ketinggian tempat tumbuh akan sangat mempengaruhi temperatur, kecepatan
angin dan penerimaan sinar matahari. Daerah dengan elevasi tinggi kerap kali tertutup
kabut hanya pada waktu-waktu tertentu saja tampak cerah sehingga sinar matahari
terhalang untuk dapat secara penuh diterima permukaan bumi. Sebaliknya pada cuaca
yang cerah di daerah dengan elevasi tinggi terasa lebih terik di bandingkan pada dataran
rendah.
Pengaruh langsung dari pertambahan elevasi terhadap pertumbuhan pohon adalah
sebagai berikut: (1) Pertumbuhan tinggi menurun secara teratur; (2) riap total lambat-laun
menurun; (3) perkembangan pohon untuk mencapai dewasa semakin lama; (4)
perkembangan tajuk tidak sempurna, lebih rendah mendekati tanah; (5) porsi cabang dan
ranting semakin meningkat.
Secara umum pada tempat dengan elevasi tinggi memiliki temperatur yang lebih
rendah di bandingkan tempat dengan elevasi rendah disebabkan pada elevasi rendah
kerapatan udara tinggi sehingga absorbsi energi radiasi jauh lebih tinggi. Pertambahan
ketinggian tempat sebesar 100 m akan menurunkan temperatur sebesar 0.4o C.

63
Lereng adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan tanah dengan bidang
horizontal yang dapat dinyatakan dalam derajat atau persen. Lereng dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: (a) lereng kecil/datar 5 – 10 o, (b) lereng sedang/landai
11-20, lereng curam 21-30, lereng amat curam 31-45, jurang >45o.
Pengaruh penting kelerengan berhubungan dengan pengaliran air permukaan
tanah (surface run off) dan air drainase. Air akan selalu bergerak ke bawah mengikuti
gaya berat bumi, oleh karena itu tanah pada bagian bawah (cekungan) cenderung lebih
lembab dibandingkan tanah di bagian atasnya. Bersama pergerakan air ke bagian bawah
akan terbawa bersamanya material tanah, sehingga pada bagian cekungan bawah akan
terjadi penumpukan endapan tanah. Kecepatan pergerakan air permukaan ke bawah akan
sangat dipengaruhi oleh besarnya dan panjangnya lereng. Semakin besar lereng dan
semakin panjang lereng makan air akan bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga
pengaruh pengikisan terhadap permukaan tanah juga semakin tinggi. Demikian pula
Semakin tinggi kelerengannya maka kecenderungan kehilangan tanah pada bagian atas
akan semakin besar yang menyebabkan pula kepekaan tanah untuk dapat bergerak secara
masif ke bawah (tanah longsor) semakin tinggi.
Besarnya penerimaan energi surya oleh permukaan tanah juga dipengaruhi oleh
aspek kelerengan. Perubahan sudut datang sinar matahari dan arah menghadap lereng
(aspek) yang memungkinkan suatu lereng menerima sinar matahari sangat berpengaruh
terhadap besarnya intensitas dan lamanya cahaya yang diterima permukaan tanah, yang
selanjutnya juga akan mempengaruhi proses pengeringan (evaporasi) air tanah dan ini
akan mempengaruhi pembentukan hutan yang mungkin berbeda dari satu tempat ke
tempat lainnya.

64
Lingkup dan Modal Awal Silvikultur

Silvikultur merupakan suatu alat untuk mencapai suatu keadaan hutan yang
diinginkan sesuai dengan tujuan pengusahaan hutan. Pada hutan alam, silvikultur
dimaksudkan untuk mengarahkan proses alamiah perkembangan hutan untuk
memperoleh atau memproduksi hutan yang lebih bermanfaat sesuai dengan tujuan
pengusahaan hutan tersebut.
Berdasarkan definisi silvikultur, maka jelas bahwa silvikultur mencakup semua
tindakan silvikultur terhadap vegetasi hutan, meliputi (1) metode reproduksi yang dapat
dipilah menjadi periode pendirian (establishment period) yaitu tindakan pemanenan
pohon-pohon masak tebang di hutan alam yang sekaligus bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang sesuai untuk permudaan. Tindakan seperti ini pada siklus berikutnya
sama dengan tindakan pemanenan biasa yang disusul dengan periode regenerasi baik
secara buatan maupun alami; (2) perlakuan pembinaan hutan (intermediate treatment),
dan (3) proteksi hutan. Periode pendirian di hutan alam dimulai dengan melakukan
pemanenan yang sekaligus bertujuan untuk mendorong terjadinya regenerasi. Semua
tindakan silvikultur untuk menjamin terjadinya regenerasi disebut sebagai metode
reproduksi dan masa dilakukan tindakan silvikultur ini disebut periode regenerasi. Saat
regenerasi telah terjadi dengan baik maka perlu dilakukan pembinaan hutan
(pemeliharaan) untuk mendorong hasil regenerasi agar dapat bertumbuh dan berkembang
menjadi pohon dewasa yang siap panen. Proteksi dilakukan bersamaan dengan
pembinaan hutan untuk menjamin keamanan proses pertumbuhan dan perkembangan
pohon (Gambar 11).
Modal awal silvikultur bergantung kepada keadaan hutan yang akan dikelola
apakah berupa hutan primer, sekunder atau berupa tegakan tinggal.

1. Hutan Primer

Sering pula disebut sebagai hutan utuh (virgin forest) atau hutan klimaks yang
umumnya sangat kecil dipengaruhi oleh campurtangan manusia. Ciri-ciri umum hutan
utuh tropika basah adalah sebagai berikut:

65
Gambar11. Lingkup pekerjaan dalam silvikultur dimulai dari periode pendirian
(establishment) pada rotasi pertama hingga pemanenan pada rotasi
berikutnya

a. Karena adanya perbedaan tapak yang besar maka akan dijumpai struktur dan tipe
hutan yang berbeda
b. Jenis pohon sangat banyak (40 – 80 jenis/ha) dengan jumlah batang per jenis sangat
sedikit dan individual antar jenis bercampur
c. Variasi struktur dan komposisi tegakan dapat terjadi dalam satu tapak
d. Frekuensi (ukuran kemerataan) dalam suatu areal dari suatu jenis umumnya rendah,
namun dapat dijumpai jenis yang mempunyai pola penyebaran vertikal dan
horizontalnya dicirikan oleh dominansi dan banyaknya individu (abundance) yang
tinggi.
e. Umumnya bentuk frekuensi diameter “J” terbalik, namun dapat pula berbentuk tidak
teratur.
f. Umumnya hanya sedikit pohon yang mulus (marketable). Pohon-pohon besar
seringkali kualitasnya kurang baik karena gerowong
g. Riapnya kecil, dalam skala luas besar riap dianggap nol
h. Walaupun terdapat permudaan, namun jumlahnya yang dipandang sebagai jenis
niagawi sangat kecil.

66
2. Hutan Sekunder

Hutan sekunder meliputi semua tingkatan suksesi baik yang terjadi secara alami
ataupun terbukanya hutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan
terjadinya perubahan struktur dan komposisi tidak sama lagi dengan keadaan hutan pada
awalnya. Ciri-ciri hutan sekunder adalah sebagai berikut:
a. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung dari tapak namun juga tergantung
kepada umur. Perubahan terjadi sejalan dengan tingkatan suksesi.
b. Tegakan muda berkomposisi dan berstruktur lebih seragam dibandingkan hutan
asal/aslinya. Jenis penyusun di dalamnya hanya sedikit.
c. Tak berisi jenis niagawi (hanya jenis kayu lunak, ringan dan tidak awet)
d. Persaingan ruang dan sinar yang intensif menghasilkan batang cacat, bengkok
(kualitas rendah). Jenis-jenis yang tumbuh merupakan jenis cepat gerowong.
e. Riap awal besar, lambat-laun mengecil
f. Struktur, komposisi dan riap yang tidak pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran
hasil

3. Tegakan Tinggal

Tegakan tinggal adalah tegakan yang ditinggalkan di alam setelah kegiatan


pemanenan dilakukan. Keadaan hutan tergantung dari kekerasan pemanenan yang
dilakukan. Pemanenan yang tidak keras dan dilakukan hati-hati dapat mengarahkan
tegakan hutan untuk tumbuh kembali menjadi hutan klimaks, namun pada pemanenan
yang keras lebih cenderung akan menghasilkan hutan sekunder.

67
Tindakan Silvikultur

Setelah dilakukan pemanenan hutan, tegakan yang ditinggalkan perlu dilakukan


pemeliharaan yang diarahkan agar dapat menggantikan pohon-pohon yang telah dipanen
pada siklus tebangan berikutnya. Kegiatan ini sering disebut sebagai pembinaan hutan
yang dapat meliputi berbagai tindakan silvikultur, yang sering pula disebut sebagai teknik
silvikultur, seperti: penyiangan dan pendangiran (weeding), pemupukan, pemangkasan
(pruning dan sigling), tebang penerangan, dan penjarangan.
Berdasarkan tujuannya (Soekotjo 2009) tindakan silvikultur dapat digolongkan ke
dalam (1) Program pengendalian yang mencakup pengendalian struktur, komposisi,
kerapatan, pertumbuhan dan rotasi; (2) Program proteksi meliputi proteksi tanah dan
lahan dan proteksi terhadap kerusakan mekanis, hama dan penyakit pohon; dan (3)
Program pelayanan mencakup pemanenan, pengelolaan dan pemanfaatannya.
Berikut akan dibahas beberapa tindakan silvikultur yang penting untuk dilakukan
di hutan alam produksi.
Penyiangan dan Pendangiran (weeding)
Pembukaan areal hutan akibat penebangan yang dilanjutkan dengan kegiatan
penanaman kembali areal kosong bekas tebangan seringkali tidak diikuti dengan kegiatan
pemeliharaan, padahal dengan terbukanya suatu areal maka serbuan tumbuhan gulma dan
pioneer terjadi sangat intensif. Apabila tanaman pengayaan yang baru saja ditanam
dibiarkan tumbuh sendiri maka ini artinya membiarkan tanaman tersebut untuk bersaing
dengan gulma dan tumbuhan pionir. Tumbuhan gulma dan pionir yang memiliki laju
pertumbuhan lebih cepat akan menutupi tanaman pengayaan dan menekan
pertumbuhannya yang dapat menyebabkan kegagalan penanaman.
Penyiangan dan pendangiran pada tanaman muda perlu dilakukan bukan saja
untuk meniadakan persaingan tanaman pengayaan dengan lainnya, tetapi juga untuk
mencegah datangnya hama dan penyakit yang mungkin berkaitan dengan inangnya yang
kebetulan merupakan gulma yang tumbuh di areal penanaman tersebut. Pada prakteknya,
di hutan alam penyiangan dan pendangiran kurang dilakukan secara efektif. Penyiangan
dan pendangiran sering dilakukan dengan membersihkan tumbuhan lainnya di sekitar
tanaman muda dengan bentuk piringan dengan diameter 1 m - 3 m atau mengikuti jalur
tanaman. Penyiangan dan pendangiran dapat pula dilakukan secara kimiawi yaitu dengan

68
melakukan penyemprotan fungisida seperti Roundup yang mengandung bahan aktif
isopropilamina glifosat 486 g/l yang bersifat sistemik. Frekuensi penyiangan sangat
tergantung dari kecepatan regenerasi tumbuhan gulma, biasanya dapat dilakukan 3-4
bulan sekali dalam setahun untuk tanaman muda (umur <1 tahun).
Tindakan penyiangan dan pendangiran dapat dikurangi frekuensinya manakala
tanaman sudah terbebas dari vegetasi di sekitarnya yang ditandai dengan tajuk tanaman
binaan telah menaungi vegetasi pesaing di sekitarnya.

Pemangkasan (Pruning dan Singling)


Pemangkasan (Pruning) adalah suatu tindakan silvikultur yang biasanya
dilakukan pada tanaman muda untuk mengurangi sebagian cabangnya. Pemangkasan
bertujuan untuk memperbaiki tajuk agar hanya cabang yang memiliki kontribusi terhadap
proses fotosintesis yang akan tetap dipertahankan, sekaligus ditujukan untuk
mengarahkan pertumbuhan pohon agar mendapatkan pertumbuhan yang paling ideal
sesuai dengan keinginan kita maupun untuk mendapatkan kualitas batang yang baik
seperti meminimalkan adanya luka bekas cabang (knot) dan mendapatkan batang yang
lurus.
Pemangkasan dapat digolongkan menjadi dua bagian sesuai dengan cara
melakukannya, yaitu: (1) pemangkasan dari bagian bawah tajuk ke arah ujung tajuk (lift
pruning); (2) pemangkasan dilakukan dari bagian ujung tajuk ke arah bawah tajuk (top
pruning); dan (3) pemangkasan untuk perbaikan bentuk tajuk (form pruning). Cara mana
yang akan digunakan tergantung dari kondisi masing-masing tanaman muda yang telah
waktunya mendapat perlakuan pemangkasan. Oleh karena itu pengenalan bentuk tajuk
dan percabangnnya maupun dampak fisiologis yang akan ditimbulkan saat dilakukan
pemangkasan perlu dilakukan.
Pemangkasan biasanya dilakukan 1/3 – 2/3 bagian bawah tajuk tanaman
(bergantung jenis pohon) dengan menggunakan gunting pangkas untuk percabangan yang
masih kecil atau gergaji pangkas untuk percabangan yang cukup besar diameternya. Pada
prinsipnya pemangkasan harus dilakukan serapi mungkin dengan meninggalkan bidang
terbuka (luka) sekecil mungkin.

69
Singling mirip dengan pemangkasan namun ditujukan untuk mengurangi jumlah
batang pokok tanaman muda yang lebih dari satu. Tindakan ini diperlukan agar
pertumbuhan dapat dikosentrasikan hanya pada satu batang pokok yang terpilih sehingga
akan diperoleh mutu batang yang lebih baik.

Peneresan dan Peracunan Pohon


Peneresan adalah suatu perlakuan memutuskan jalur translokasi bahan makanan
pada pohon yang bertujuan untuk mematikan pohon tersebut. Pemutusan jalur makanan
tersebut dilakukan dengan memotong batang secara melingkar sehingga jaringan floem
terputus. Dengan putusnya jalur makanan tersebut makan fotosintat yang dihasilkan di
daun tidak dapat disalurkan lagi ke akar sehingga lama kelamaan akan tanaman akan mati
apabila jaringan floem tadi tidak tersambungkan lagi.
Seringkali untuk mempercepat kematian pohon setelah dilakukan peneresan
dilanjutkan dengan pemberian racun pohon pada luka bekas teresan tersebut. Efektivitas
peneresan dan peracunan sangat bervariasi bergantung dari jenis pohon dan racun pohon
yang dipergunakan. Terdapat pohon yang lebih tahan terhadap peneresan dan peracunan
karena jenis tersebut mudah sekali memulihkan jaringan floemnya dan dengan
menggunakan racun pohon yang bersifat sistemik diharapkan dapat mematikan perakaran
maupun tajuk pohon yang diberi racun pohon.
Peneresan seringkali diterapkan pada praktek penebangan, tebang penerangan
maupun penjarangan. Peneresan pada praktek penebangan lebih ditujukan untuk
kemudahan operasi penebangan dan ringannya saat kayu diangkut. Praktek peneresan
sebelum penebangan dilakukan banyak diterapkan di hutan jati di P. Jawa. Sedangkan
peneresan pada praktek tebang penerangan maupun penjarangan bertujuan untuk
mematikan pohon yang tidak dikehendaki tanpa harus menebangnya sehingga kerusakan
yang diakibatkan oleh rebahnya pohon yang dijarangi terhindarkan

Penjarangan (Thinning)
Kerapatan tegakan hutan harus diusahakan pada tingkat yang optimum sehingga
pohon-pohon di dalamnya mendapatkan sumberdaya nutrisi, dan cahaya untuk
pertumbuhannya dalam tingkat yang optimal. Tegakan yang terlalu jarang akan

70
menyebabkan pertumbuhan percabangan lebih tinggi demikian pula permasalahan gulma
akan menjadi semakin nyata, sebaliknya bila terlalu rapat maka akan menghasilkan
persaingan sesama pohon dalam tegakan hutan semakin keras yang mengakibatkan
pertumbuhan tidak terjadi secara optimal. Oleh karena itu pengaturan kerapatan di dalam
pengelolaan hutan melalui pengaturan jarak tanam awal dan tindakan penjarangan
sangatlah penting untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal.
Penjarangan adalah suatu perlakuan silvikultur pada kegiatan pembinaan hutan
untuk mengurangi kerapatan tegakan hutan dengan menebang pohon yang tidak ingin
dipertahankan atau menambah ruang bagi pertumbuhan pohon-pohon yang akan
dipertahankan. Dengan bertambahnya jarak tanam otomatis pula persaingan antar
individu dalam tegakan tersebut semakin berkurang sehingga akan memberikan
kesempatan bagi pohon terpilih (yang dipertahankan) untuk tumbuh dan berkembang
lebih baik. Dengan terbukanya ruang, maka pohon akan mendapat kesempatan untuk
mendorong pertumbuhan diameter dan tajuknya ke samping. Dengan semakin
berkembangnya tajuk juga akan menciptakan peningkatan proses fotosintesis yang lebih
baik.
1. Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
Dalam menentukan kerapatan tegakan menurut Daniel, Helms & Baker (1979)
dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu (1) Metode Okuler, (2) Metode Tabel
Hasil Normal, (3) Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke, (4) metode Tabel Hasil
Bruce,dan (5) Metode Persaingan Tajuk.
Metode Okuler. Kerapatan maksimal yang sejalan dengan pertumbuhan
maksimal suatu tegakan pohon dipertahankan dengan menaksir penutupan tajuk dan
perkembangan tajuk melalui pengamatan langsung (okuler).
Metode Tabel Hasil Normal. Metode ini didasarkan pada hubungan antara luas
bidang dasar, jumlah pohon atau volumen tegakan dengan nilai hasil normal suatu
tegakan yang seumur pada indeks tempat tumbuh (kualitas tempat tumbuh, bonita) yang
sama. Kriteria yang paling banyak digunakan adalah luas bidang dasar karena kemudahan
dalam pengukurannya.

71
Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke. Indeks kerapatan tegakan
Reineke didefinisikan sebagai indeks yang menyatakan jumlah pohon pada rata-rata
diameter tegakan

2. Metode Penentuan Pohon Yang dihilangkan dalam Penjarangan


Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan pohon mana
yang diinginkan untuk dihilangkan dalam kegiatan penjarangan, yaitu: (1) Penjarangan
rendah; (2) penjarangan tajuk (low thinning); (3) penjarangan seleksi (selection thinning);
(4) penjarangan geometrik atau mekanis (geometric or mechanical thinning), dan (5)
penjarangan bebas (free thinning). Pemilihan pohon yang akan ditebang pada metode
penjarangan rendah, penjarangan tajuk dan penjarangan seleksi didasarkan pada status
perkembangan pohon dan posisinya pada struktur tajuk tegakan; Metode penjarangan
geometrik atau mekanis terutama didasarkan pada jarak tanam atau letak pohon terhadap
pohon lainnya di dalam tegakan. Sedangkan metode penjarangan bebas merupakan
kombinasi dari ke empat metode tersebut dalam satu operasi penjarangan, yang biasanya
dilakukan pada tegakan yang memiliki struktur tajuk tak beraturan (Smith et al 1979).
Penjarangan rendah seringkali disebut sebagai penjarangan dari bawah karena
penjarangan dilakukan dengan menebang pohon dari klas tajuk yang paling rendah.
Metode ini sebenarnya meniru dengan mempercepat kematian pohon-pohon tertekan
yang berada pada klas tajuk paling bawah seperti yang biasa terjadi di alam.
Penjarangan tajuk dilakukan dengan menghilangkan pohon-pohon yang berada
di klas tajuk bagian tengah dan atas sehingga akan memperoleh klas diameter yang lebih
besar daripada yang ada di penjarangan rendah. Oleh karena itu penjarangan tajuk juga
sering disebut sebagai penjarangan dari atas (thinning from above, high thinning dan
thinning in the dominant). Penjarangan ini dapat diterapkan seragam terhadap seluruh
tegakan atau terkonsentrasi terbatas pada sejumlah pohon yang dipilih untuk dibebaskan.
Penggunaan secara seragam lebih disukai bila berkeinginan untuk menebang pohon-
pohon bervolume besar dalam satu kali kegiatan penebangan penjarangan, cara ini
seringkali disebut pula sebagai pengelolaan tanaman pohon (crop tree managemen).
Penjarangan seleksi dilakukan dengan memilih pohon-pohon yang paling ingin
dihilangkan atau tidak ingin dipertahankan dengan tujuan untuk menstimulasi

72
pertumbuhan pohon-pohon lainnya (pohon binaan). Pohon yang ingin dihilangkan berasal
dari pohon dominan atau dari pohon asal klas tajuk terendah. Praktek yang paling umum
dilakukan adalah dengan menghilangkan pohon-pohon dominan dan kodominan dengan
bentuk yang jelek atau terlalu cepat tumbuh sehingga menekan pertumbuhan pohon-
pohon komersial yang diusahakan. Dengan menghilangkan pohon-pohon dominan dan
kodominan ini akan memberikan kesempatan bagi pohon-pohon yang ingin
dipertahankan (binaan) untuk bertumbuh dan berkembang lebih cepat.
Penjarangan geometrik/mekanik dilakukan dengan menetapkan pohon yang
akan ditebang ataupun dipertahankan berdasarkan jarak antar individu pohon atau pola
geometrik dengan atau tanpa memperhatikan posisi masing-masing tajuk pohon. Dua
pola penjarangan mekanik yaitu (1) Penjarangan berjarak (spacing thinning), pohon
pada jarak interval tertentu dipilih untuk dipertahankan dan di luar itu semuanya
ditebang. Cara demikian umumnya dilakukan pada tegakan yang sangat rapat umumnya
merupakan hasil permudaaan alami atau permudaan buatan dengan cara tebar benih; (2)
Penjarangan jalur (row thinning), pohon-pohon dalam jalur ditebang dengan interval
jalur tertentu dan dilakukan pada keseluruhan tegakan.

73
Metode Reproduksi

Pengertian Metode Reproduksi


Penggunaan istilah metode reproduksi dan sistem silvikutur kerap salah kaprah.
Sering metode reproduksi dianggap sinonim dengan sitem silvikultur. Metode reproduksi
(Reproduction Method) adalah merupakan suatu prosedur tegakan hutan diperbaharui. Di
dalamnya menggambarkan cara suatu hutan ditebang untuk menjamin terjadinya suatu
regenerasi, baik secara alami maupun secara buatan (artificial regeneration).

Klasifikasi Metode Reproduksi

Metode reproduksi diklasifikasikan berdasarkan tipe hutan tinggi dan hutan


rendah yang seumur maupun tak seumur sebagai berikut:
I. Metode Hutan Tinggi (High Forest Method): tegakan hutan berasal dari biji
a. Tegakan Seumur (Even Aged Stand)
1. Metode Tebang Habis (Clear Cutting Method)
2. Metode Pohon Induk (Seed Tree Method)
3. Metode Shelterwood (Shelterwood Method)
b. Tegakan Tak Seumur (Uneven Aged Stand) yaitu Metode Seleksi (Selection Method)
II. Metode Hutan Rendah (Low Forest Method/Coppice Forest Method): tegakan hutan
berasal dari perbanyakan generative terdiri atas (a) Simple Coppice Method (b)
Coppice With Standards

Metode Tebang Habis (Clear cutting method)

Metode reproduksi tebang habis dilakukan dengan cara pemanenan seluruh


tegakan dalam satu kali operasi penebangan. . Reproduksi (permudaan) dapat dilakukan
secara artifisial ataupun alami. Tujuan utama penerapan metode tebang habis adalah
untuk memperoleh regenerasi tegakan yang seumur.
Metode reproduksi ini dapat diterapkan apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Tegakan tinggal merupakan tegakan yang tidak berharga untuk dipertahankan
2. Dalam tegakan sebagian besar atau seluruhnya telah mencapai atau melebihi masak
tebang

74
3. Hanya sedikit jenis yang tahan terhadap keadaan terbuka setelah operasi penebangan
Tebang habis dengan permudaan alami dapat dimungkinkan dalam kondisi
tertentu yang biasanya berhubungan dengan pembukaan areal yang minimal.
Keberhasilan permudaan juga sangat tergantung pada sumber dan cara penyebaran benih
jenis-jenis kayu berharga yang berkaitan dengan jarak benih dapat disebarkan dari pohon
induknya. Sumber benih dapat berasal dari lantai hutan, pohon atau tegakan pohon yang
berdekatan dengan areal tersebut, dan dari pohon yang dipanen apabila penebangan
pohon dilakukan bertepatan dengan saat berbuah pohon tersebut. Oleh karena itu luas
areal yang ditebang habis harus dipertimbangkan dengan baik untuk memungkinkannya
terjadinya persediaan penuh (full stocking).
Tebang habis dengan permudaan buatan pada dasarnya mengarah kepada
silvikultur hutan tanaman. Perencanaan dalam penanaman perlu dilakukan secara matang
karena penanaman adalah salah satu investasi yang paling krusial untuk keberlanjutan
keseluruhan rotasi pengelolaan hutan (Smith et al 1997). Penanaman dapat dilakukan
melalu metode penanaman langsung menggunakan biji (direct seeding) ataupun dengan
melalui pekerjaan persemaian untuk mendapatkan stok anakan tanaman (planting stock)
baik berupa anakan akar telanjang (bare-rooted seedlings) maupun anakan dalam
kontainer. (containerized seedlings).
Terdapat pada beberapa variasi tebang habis:

1. Tebang habis dalam bentuk strip (Strip Cutting: Simple, Alternate dan Progresive
Strip Cutting)

Gambar 12. Variasi metode tebang habis. (a) Simple Strip Cutting, (b) alternate strip
cutting dan (c) progresive strip cutting. Asumsi bahwa lebar setiap strip optimum
bagi terjadinya permudaan alami.

75
2. Tebang Habis dalam bentuk bidang-bidang kecil (Rumpang)

Metode ini biasa dilakukan pada lahan yang kasar, tidak datar. Penebangan dapat
dilakukan dengan cara rumpang diperbesar atau dengan cara membuat rumpang baru

Gambar 14. Metode tebang habis dalam bentuk rumpang. (a) rumpang yang diperluas dan
(b) rumpang yang diperbanyak

Metode Pohon Induk/Benih (Seed Tree Method)

Metode reproduksi pohon induk dapat menghasilkan permudaan yang baik bila
pohon-pohon induk yang ditunjuk mampu menyebarkan benih secara baik ke areal yang
telah ditebang. Pada awalnya lebih banyak ditujukan bagi pohon yang mempunyai sitem
penyebaran propagul benih dengan bantuan angin seperti Douglas-fir, beberapa jenis
eucalyptus (Smith et al. 1996). Metode reproduksi ini dilakukan dengan menebang
pohon-pohon masak tebang yang ada dan meninggalkan beberapa pohon induk secara
individual ataupun kelompok yang ditujukan untuk menyediakan benih bagi permudaan
alami di areal tersebut (restock).
Untuk menjamin terjadinya permudaan yang merata di seluruh areal maka harus
dipilih pohon induk yang bagus dalam memproduksi benih dan dipilih yang tersebar
merata di seluruh areal. Biasanya setelah permudaan berhasil, pohon induk kemudian
dapat ditebang dengan memperhatikan agar tidak menyebabkan kerusakan yang
berlebihan terhadap permudaan di sekitarnya.
Jumlah pohon induk yang disyaratkan sangat tergantung pada:
1. Jumlah produksi benih per pohon
2. Jarak penyebaran benih/biji, ini bergantung pada ukuran benih dan vektornya
3. Lama periode hidup (viabilitas) benih
4. Ratio benih/anakan (permudaan), terkait dengan % perkecambahan & mortalitas

76
5. Frekuensi produksi benih (berbuah)
6. Jumlah permudaan yang dikehendaki (kerapatan permudaan)

Shelterwood Method

Metode shelterwood merupakan simulasi dari mati dan tumbangnya pohon besar
karena angin ataupun sebab faktor lainnya yang mengakibatkan terbebasnya pohon-
pohon kecil dari jenis tertentu yang mampu beradaptasi dan bereaksi untuk memulai
bertumbuh dan berkembang (Smith et al. 1996). Dalam metode reproduksi shelterwood
penebangan tegakan hutan dilakukan dalam suatu seri penebangan yang dapat diperluas
menjadi beberapa fraksi dari satu rotasi tanaman.
Tujuan utama metode ini adalah untuk menyediakan permudaan di bawah
naungan dan perlindungan pohon-pohon akhir yang akan ditebang (tegakan tua). Metode
ini mirip dengan penjarangan pohon-pohon dominan. Dengan demikian metode
shelterwood bukan saja hanya menyediakan perlindungan bagi tanaman muda dari agen-
agen perusak namun juga sekaligus menggunakan secara efisien kapasitas produksi dari
stok permudaan (Smith et al. 1996).
Metode reproduksi ini dicirikan dengan adanya permudaan alami di bawah
perlindungan/naungan tegakan tua, terdapat naungan dan gab dalam ruang dan waktu
yang bervariasi, benih berasal dari tegakan tua dan kemungkinan peningkatan potensi
produksi tapak melalui pertumbuhan berikutnya.
Urutan operasi dalam metode reproduksi (terdapat beberapa penebangan hingga
akhir rotasi):
1. Tebang Persiapan/Penjarangan (Preparatory cut): Penjarangan ringan untuk merubah
kondisi yang kurang menguntungkan bagi produksi benih, sekaligus untuk
meningkatkan kekuatan pohon terhadap pengaruh tiupan angin, dan memperbaiki
hamparan tanah di lantai hutan yang terlalu banyak akumulasi serasah. Tebang
persiapan dapat dilakukan beberapa kali (2-3 kali)
2. Tebang biji (Seed Cutting): Tajuk dibuka untuk tujuan mendapatkan ruang tempat
tumbuh yang cukup luas bagi terjadinya permudaan. Penebangan dilakukan dalam
satu kali operasi dan dilakukan pada masa pohon menhasilkan benih. Pohon yang

77
ditebang dipilih yang paling tidak dikehendaki karena hanya bertujuan untuk
membuka tajuk tegakan.
3. Tebang Akhir (Removal Cutting/Final Cutting): Dilakukan satu kali atau lebih
penebangan setelah Seed Cutting yang bertujuan untuk menyediakan cukup
permudaan dan mengijinkannya untuk tumbuh meninggi. Pembukaan tajuk
(overstory) dilakukan secara bertahap untuk memberikan cahaya bagi tanaman hasil
permudaan. Banyaknya tebangan akhir tergantung dari sensitivitas permudaaan
terhadap pembukaan tajuk.
Terdapat beberapa variasi shelterwood method (Gambar:
1. Uniform Shelterwood Method: setiap penebangan dilakukan terhadap seluruh tegakan
hutan. Cara ini lebih menjamin terbentuknya hutan seumur.
Sc. 1970 Sc. 1975 Sc. 1980
Seed Cut 1985
1st R 1st R 1st R
Removal Cut I 1975 1980 1985
1990
Fc 1980 Fc 1985 Fc 1990
Final Cut 1995
(a) (b)

Gambar 15. (a) Uniform shelterwood method dan (b) Strip shelterwood method

2. Strip Shelterwood Method: Tegakan dibagi dalam jalur-jalur (strip). Setiap


penebangan dilakukan dalam setiap jalur.

Metode Seleksi (Selection Method)

Metode seleksi dipergunakan pada tegakan hutan yang tidak seumur dengan
alasan hutan-hutan tropis umumnya sangat tinggi diversitasnya: hanya sedikit jenis
komersialnya sedangkan sebagian besar tegakan merupakan jenis non komersial. Melalui
metode seleksi maka dalam pemanenan dapat dipilih hanya jenis-jenis yang bernilai dan
berukuran besar (masak tebang).
Dengan menggunakan metode seleksi berarti juga tetap mempertahankan keadaan
tegakan untuk tetap sebagai tegakan tidak seumur. Kalaupun terjadi suatu tegakan yang
seumur biasanya hanya berupa agregat-agregat kecil. Permudaan baru akan segera terjadi

78
pada tempat dimana pohon yang terpilih dikeluarkan dari hutan akibat adanya pembukaan
tajuk, yang merupakan jenis-jenis yang toleran.
Terdapat beberapa variasi metode reproduksi seleksi: (1) Seleksi tunggal (single
selection method): penebangan secara selektif dalam basis individual; (2) Seleksi dalam
kelompok (group selection method): penebangan secara selektif dalam basis kelompok

79
Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur (silviculture system) adalah suatu program terencana dari


perlakuan-perlakuan silvikultur sepanjang siklus hidup tegakan hutan. Jadi di dalamnya
meliputi kegiatan pemeliharaan, tebangan dan kegiatan perbaharuan tegakan (regenerasi).
Menurut Smith et al. (1997) sistem silvikultur dirancang untuk mengatasi keseluruhan
konsiderasi lingkungan biologi, fisik dan ekonomi yang komplek termasuk di dalamnya
masalah-masalah pembalakan, administrasi, manipulasi penyediaan anakan tanaman,
proteksi tegakan, tanah dan daerah tangkapan air. Sistem silvikultur juga merupakan
suatu program untuk menginisiasi jenis tegakan yang paling diharapkan akan
mendapatkan keuntungan saat diproduksi dan untuk mengarahkan proses perkembangan
tegakan melalui satu atau lebih rotasi.
Dari definisi tersebut jelas adanya perbedaan antara metode reproduksi dan sistem
silvikultur. Sering untuk kemudahan suatu sistem silvikultur diberi nama setelah metode
reproduksi atau dengan kata lain metode reproduksi adalah bagian dari sistem silvikultur.
Formulasi sistem silvikultur harus dimulai dengan analisis keadaan ekosistem setempat
dan faktor-faktor sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang dikelola tersebut,
karena suatu sistem silvikultur harus cocok dengan kondisi spesifik lingkungan dimana
sistem tersebut akan diterapkan (Smith et al. 1997). Lebih lanjut ditekankan bahwa
sistem silvikultur seharusnya dibangun sesuai dengan tempat dimana digunakan, tidak
dibuat dan dipikirkan dari pengalaman yang diperoleh dari tipe hutan lainnya.

Pertimbangan Umum Pemilihan Sistem Silvikultur

Sistem silvikultur apa yang diputuskan akan digunakan pada dasarnya ditentukan
oleh:
(1) Keadaan Hutan Alam (merupakan hutan primer, sekunder, atau bekas
tebangan/tegakan tinggal)
(2) Tujuan Pengusahaan Hutan (kayu vinir, kayu perkakas, kayu bakar, hutan rekreasi,
hutan konservasi dlsbnya.)
Hutan alam pada umumnya dipanen untuk tujuan menghasilkan kayu perkakas
namun dengan tetap berupaya untuk mempertahankan keasliannya dengan meminimalkan

80
tingkat kerusakan ekologisnya. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pemanfaatan
tersebut, pertimbangan penetapan tindakan silvikultur apa saja yang cocok sangat
tergantung dari keadaan awal tegakan hutan tersebut, yang hanya dapat diketahui melalui
studi (Gambar 15).

Gambar 15. Pertimbangan penentuan tindakan silvikultur apa saja yang perlu dilakukan
perlu adanya studi awal untuk mengetahui keadaan hutan yang dimiliki

Apabila hutan berisi cukup pohon siap panen yang terpencar maka dapat
diusahakan dengan sistem silvikultur tebang pilih, tebang jalur atau tebang rumpang.
Ketiga macam jenis silvikultur ini merupakan metode pemanenan sekaligus metode
reproduksi atau peremajaan. Apabila hutan berisi terlalu sedikit pohon siap panen dan
demikian pula permudaan sangat sedikit, maka tindakan perbaikan tegakan sangat
diperlukan. Perbaikan tegakan dapat melalui kegiatan Pengayaan dengan penanaman dan
atau pembebasan atau dapat pula dilakukan konversi (Gambar 15).

81
Sistem Silvikultur Hutan Alam Produksi Di Indonesia

Sejarah Silvikultur di Indonesia

Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan


Surat Keputusan Menteri Pertanian No.76/Kpts/Ekku/3/1969 sebagai Pedoman Umum
Eksploitasi Hutan yang menerapkan Sistem Silvikultur Hutan Alam ‘Tebang Pilih’,
‘Tebang Habis dengan Penanaman’ dan ‘Tebang Habis dengan Permudaan Alam’.
Sehubungan dengan ditetapkan sistem silvikultur tersebut maka melalui SK Dirjen
Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 dikeluarkan Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI),
Tebang Habis dengan Penanaman (THP) dan Tebang Habis Permudaan Alam (THPA).
Sistem silvikultur ini berlaku hingga tahun 1989 hingga dikeluarkannya SK Menteri
Kehutanan No.485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam
Produksi di Indonesia.
Berdasarkan SK Menteri No.485/Kpts-II/1989 tersebut diputuskan berlakunya 3
(tiga) sistem silvikultur hutan alam di Indonesia yaitu: (1) Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI); (2) Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan (3) Tebang Habis
dengan Permudaan Alam (THPA). Selanjutnya pada tahun 1993, dikeluarkan SK Dirjen
Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia. Ini merupakan surat keputusan yang dimaksudkan untuk memperbaharui TPTI
pada SK Menteri Kehutanan No.485/Kpts-II/1989.
Sistem silvikultur yang diperuntukkan bagi pengelolaan hutan dengan sifat khusus
seperti hutan mangrove diatur secara tersendiri. SK Menteri No.60/Kpts/Dj/I/1978
menetapkan penggunaan metoda regenerasi pohon induk (seed tree method) pada
pengelolaan hutan mangrove.

Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI)


Pada dasarnya secara prinsipil TPTI tidak jauh berbeda dengan TPI, sistem
silvikultur yang diberlakukan hingga tahun 1989, walaupun terdapat beberapa perubahan
mendasar terutama pada kewajiban menanam bagi areal yang terdapat kurang
permudaannya.
Sistem silvikultur ini digunakan hanya untuk hutan alam daratan. TPTI
menetapkan masa rotasi penebangan selama 35 tahun dengan batas diameter pohon yang

82
diperbolehkan ditebang 50 cm untuk hutan produksi tetap dan 60 cm untuk hutan
produksi terbatas. Jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan dan dirawat minimal 25
pohon per hektar yang harus tersebar merata dan berdiameter 20 – 49 cm.
Pohon inti yang ditunjuk diutamakan terdiri dari pohon komersil yang sama
dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya masih kurang dari 25 pohon per
hektar maka dapat ditambah dengan jenis komersil lainnya. Pohon inti ditujukan untuk
pembentukan tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi tebang berikutnya, sekaligus
ditujukan untuk sumber benih bagi terjadinya permudaan. Etat tebangan pada TPI
ditentukan berdasarkan rumus 1/35 x 80% x volume standing stock jenis-jenis kayu
berharga. Nilai 35 merupakan panjang rotasi yang ditetapkan pada sistem silvikultur ini
yaitu 35 tahun, sedangkan nilai 80% merupakan nilai pengaman sehingga tidak diambil
keseluruhan dari standing stock. Tata waktu penyelenggaraan TPTI tercantum pada Tabel
1 sebagai berikut
Tabel 1. Penjadwalan kegiatan penyelenggaraan TPTI

No. Tahap kegiatan Waktu


1. Penataan Areal Kerja (PAK) Et – 3
2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) Et – 2
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et – 1
4. Penebangan Et
5. Perapihan Et + 1
6. Iventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Et + 1
7. Pembebasan Tahap I Et + 2
8. Pengadaan Bibit Et + 2
9. Pengayaan/rehabilitasi Et + 3
10. Pemeliharaan Tanaman Pengayaan/rehabilitasi Et + 3, 4, 5
11. Pembebasan Tahap kedua dan ketiga Et + 4, 6
12. Penjarangan Tegakan Tinggal Et + 10, 15, 20
Keterangan: Et = Tahun Tebang Pilih

Kegiatan PAK dan PWH tidak dapat dipisahkan dari kegiatan Silvikultur,
walaupun kedudukan kedua kegiatan tersebut termasuk ke dalam perencanaan.
Sedangkan kegiatan Perlindungan Hutan dan Penelitian yang pada peraturan sebelumnya
(1983) termasuk dalam rangkaian kegiatan silvikultur maka pada peraturan ini tidak
dimasukkan. Kedua kegiatan tersebut diatur dalam ketentuan tersendiri.
Penataan Areal Kerja (PAK) bertujuan untuk mengatur blok kerja tahunan dan
petak kerja guna perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan Unit

83
Pengelolaan Hutan. Blok kerja tahunan adalah blok yang dibuat pada areal hutan di
dalam Unit Pengelolaan Hutan yang akan ditebang pilih atau kegiatan pembinaan hutan
dalam waktu satu tahun, yang luasnya sama, ditentukan dengan pertimbangan rotasi
tebang, keadaan Hutan dan lapangan. Petak kerja merupakan bagian dari blok kerja
dengan luas areal  100 hektar, berbentuk bujur sangkar dan berfungsi sebagai satuan
pengelolaan terkecil. Kegiatan PAK dilakukan sebelum dilakukan ITSP dan setelah ITT.
PAK setelah ITT ditujukan untuk penataan ulang atau memperbaiki tanda-tanda batas
yang hilang.
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) merupakan kegiatan
menghimpun data keadaan tegakan sebelum dilakukan penebangan meliputi data pohon
inti, pohon yang dilindungi, pohon yang akan dipanen dan data medan kerja, yang
ditujukan untuk penyusunan Rencana Karya Tahunan. Hasil dari pekerjaan ITSP juga
meliputi beberapa peta yang terpenting adalah peta penyebaran pohon yang
menggambarkan sebaran pohon pada petak tebangan dengan keadaan medan yang jelas.
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) merupakan kegiatan yang dimaksudkan
untuk menyediakan prasarana wilayah bagi seluruh kegiatan di wilayah tersebut
(produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan, inpeksi kerja, transportasi sarana kerja
dan komunikasi antar pusat kegiatan). Hasil dari PWH berupa jaringan jalan hutan (jalan
induk, cabang, sarad, jembatan dan gorong-gorong), barak kerja, TPK, TPn dan lain-lain.
Perapihan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk merapikan areal bekas
tebangan sehingga akan memudahkan dalam kegiatan berikutnya yaitu inventarisasi
tegakan tinggal (ITT), pembebasan dan penentuan pohon binaan. Kegiatan perapihan
sangat terkait dengan kegiatan PAK.
Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) adalah kegiatan pendataan areal bekas
tebangan untuk mengetahui keadaan tegakan tinggal meliputi komposisi jenis,
penyebaran dan kerapatan pohon, permudaan serta keadaan pohon inti. Hasil dari ITT
sangat penting untuk melaksanakan kegiatan atau perlakukan silvikultur lebih lanjut
apakah perlu dilakukan pengayaan, berapa luas areal yang akan direhabilitasi, apa
pembinaan hutan yang akan dilakukan.
Apabila hutan alam produksi yang dipunyai memiliki komposisi jenis dan struktur
tegakan yang khusus maka pemberlakuan TPTI perlu dilakukan penyesuaian:

84
1. Hutan rawa dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersil seperti ramin, perupuk
dan jenis lainnya dan pemegang HPH sulit melaksanakan pengayaan, maka hanya
diijinkan menebang pohon sebanyak-banyaknya 2/3 dari jumlah pohon yang dapat
ditebang sesuai dengan komposisi jenisnya.
2. Apabila pada hutan rawa tidak/sulit ditemukan pohon berdiameter 50 cm ke atas
dalam jumlah yang cukup maka dapat dilakukan penurunan limit diameter pohon
yang boleh ditebang menjadi 35 cm ke atas dengan jumlah pohon inti 25 pohon per
hektar dengan diameter 15 cm ke atas.
3. Apabila hutan dengan keadaan jumlah pohon berdiameter 20 – 49 cm yang dapat
ditunjuk sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon per hektar maka pohon inti dapat
ditambah dengan pohon dari yang berdiameter 50 cm ke atas dari jenis yang sama
atau jenis komersil lainnya.
4. Pada hutan dengan komposisi jenis dari pohon lambat tumbuh (seperti eboni)
sehingga sulit menemukan pohon berdiameter 50 cm ke atas, maka ketentuan limit
diameter dapat diturunkan menjadi 35 cm ke atas dengan jumlah pohon inti 25 pohon
per hektar dengan diameter 15 cm ke atas dan rotasi tebang ditentukan 45 tahun.

Sistem Silvikultur Hutan Mangrove


Berdasarkan SK Menteri No.60/KPTS/Dj/I/1978, pengelolaan hutan mangrove
dilakukan dengan metode regenerasi pohon benih (seed tree) dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Rotasi tebangan 30 tahun dengan penjarangan dilakukan pada tahun ke-15
2. pohon yang diperbolehkan ditebang berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan
jarak pohon paling sedikit 17 m satu sama lainnya
3. 40 pohon benih per hektar harus ditinggalkan untuk jaminan produksi benih dan
permudaan. Sebagai pohon benih hanya dipilih dari jenis Rhizophora, Bruguiera
dan Ceriops
4. Angkutan log harus dilakukan dengan menggunakan rakit atau kapal tunda
melalui sungai atau kanal buatan. Jarak antara kanal buatan paling sedikit 200 m

85
5. terdapat kawasan penyangga (buffer zone) selebar 50 m sepanjang pantai dan
selebar 10 m sepanjang sungai (Lebar kawasan penyangga diperbesar menjadi 20
m di sepanjang sungai melalui peraturan yang di keluarkan pada tahun 1990)
6. Jika permudaan jenis komersial dijumpai kurang akibat gangguan pelaksanaan
eksploitasi maka penanaman Rhizophoraceae wajib dilakukan

Sistem Tebang Jalur dan Tanam (TJTI)

Sistem Tebang Jalur dan Tanam (TJTI) merupakan salah satu sistem alternatif
yang ditawarkan untuk digunakan pada hutan alam produksi di Indonesia. Saat ini sistem
ini masih dalam taraf percobaan yang dilakukan di beberapa tempat terutama di
Kalimantan. Pedoman pelaksanaan uji coba TJTI didasarkan pada SK. Direktur Jenderal
Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IV-BPHH/1993.

86
Sistem Silvikultur Hutan Alam di Negara Lain

Sistem Silvikultur di Filipina: Philippines Selection Logging System (PSL)

Penggunaan PSL dilandasi oleh alasan bahwa (1) Perbandingan antara jenis
dipterokarpa dan non dipterokarpa. Non-Dipterocarpa (non komersial) >Dipterokarpa;
(2) Cukup banyak klas diameter besar pada jenis dipterokarpa

Prosedur pokok yang dilakukan di PSL meliputi:

1. Pembuatan Tata Batas


Pembuatan tata batas dimaksudkan untuk memudahkan kegiatan pembalakan di
lapangan dan sekaligus juga berfungsi sebagai unit menajemen terkecil untuk pencatatan
dan pengadministrasian dan sebagai dasar pemeriksaan serta pengendalian. Perkiraan
sementara tata batas dilakukan di atas peta dan kemudian diterapkan di lapangan dengan
mengikuti keadaan topografi lapang. Jarak penyaradan maksimum tidak melebihi 250 m
untuk ‘high lead yarding’ dan maksimum 90 m untuk ‘truck yarding’.

2. Pencuplikan dan Perhitungan

Pencuplikan (pengambilan contoh) dan perhitungannya bertujuan untuk: (1)


memberikan gambaran tentang keadaan hutan (struktur, jenis dan distribusi diameter); (2)
menghitung jumlah pohon yang harus ditinggalkan. Pencuplikan dilakukan dengan
intensitas 5% dengan petak contoh berbentuk lingkaran seluas 0,1 Ha untuk setiap 2 Ha
hutan. Petak contoh diletakkan pada interval 50 m, sepanjang garis khayal yang
memotong tegakan hutan yang akan ditebang. Pada peraturan baru terdapat perubahan
dalam teknik pengambilan contoh yang dilakukan dengan menggunakan petak contoh
berbentuk jalur selebar 20 m memanjang ke arah 4 titik kordinat yang telah ditentukan.
Jumlah pohon yang ditinggalkan harus 70% dari pohon-pohon dengan diameter
20-60 cm sedangkan untuk pohon-pohon berdiameter 70 cm harus ditinggalkan sebanyak
40% yang dapat digambarkan dalam rumus ‘marking goal’:

Marking Goal = 70% (20-60 cm dbh) + 40% (70 cm)

87
Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh pohon yang ditebang dan ditinggalkan
(Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah pohon yang ditebang dan ditinggalkan sesuai dengan perhitungan rumus
‘marking goal’

Klas Diameter Pohon Ditinggalkan Pohon Ditebang


< 20 cm 100 0
20-60 cm 70 30
70 cm 40 60
>70 cm 0 100

3. Penandaan Pohon

Pohon yang telah ditentukan berdasarkan marking goal selanjutnya ditandai (tree
marking). Penandaan pohon dilakukan oleh tree marker di bawah supervisi dari Timber
Manager Officer (TMO). Penandaan dilakukan dengan memberikan tanda pada pohon-
pohon yang ditinggalkan dengan tanda lingkaran putih atau kuning beserta nomor
urutnya. Pohon-pohon yang akan ditinggalkan tersebut harus menyebar merata pada areal
penebangan.

4. Inventarisasi Tegakan Tinggal

Setelah pembalakan, inventarisasi tegakan tinggal harus dilaksanakan oleh cruiser


dari perusahaan dan petugas TMO yang telah mendapat lisensi. Inventarisasi tegakan
tinggal dilakukan bertujuan untuk (1) mengetahui seberapa besar dan sebab-sebab
kerusakan pada operasi pembalakan untuk menentukan koreksi yang diperlukan; (b)
menaksir masa tegakan tinggal untuk memproyeksikan hasil dan etat tebangan; (c)
sebagai dasar perhitungan denda atas kerusakan pohon inti (tegakan tinggal)
Batas kerusakan yang dibolehkan didasarkan atas kriteria tentang kesehatan
tegakan tinggal (pohon inti), yaitu:
a. pohon inti yang ditinggalkan disebut sehat apabila memiliki penampakan kekar,
batangnya lurus dan silindris, tanpa atau sedikit sekali terluka akibat kegiatan
penebangan
b. pohon inti yang ditinggal diperbolehkan memiliki tajuk rusak tidak melebihi dari 1/6
bagian dari tajuknya

88
c. setiap luka yang ditinggalkan pada kayu gubal pohon inti tidak lebih besar lebarnya
dari 5 cm dan panjang 50 cm
d. pohon inti yang ditinggalkan diperbolehkan memiliki luka torehan tidak lebih dari ½
keliling batang yang tertoreh oleh kabel akibat kegiatan penyaradan.
e. tidak ada kerusakan akar yang serius

89
The Malayan Shelterwood System (MSS)

Sistem Malayan Shelterwood dimulai pada tahun akhir 1920-an yang selanjutnya
mengalami beberapa penyempurnaan. Sistem silvikultur ini resmi digunakan pada tahun
1950 di Malaysia. Penggunaan system silvikultur ini mensyaratkan (1) harus ada pasar
bagi tiang dan pohon jenis-jenis II hasil tebang penjarangan; (2) permudaan harus sudah
ada sejak awal atau dapat terbentuk di antara kedua penebangan pembenihan(3) wilayah
hutan harus memiliki jaringan jalan yang cukup untuk penyelenggaraan dan pemeriksaan
berbagai kegiatan.
The Malayan shelterwood system mempunyai tahapan kegiatan seperti pada Tabel
3.
Tabel 3. Tahapan Kegiatan pada Malayan Shelterwood System

Tahapan/Waktu Kegiatan
n-x P: tebang pole (P), jenis-jenis II (bukan komersial) dbh <20 cm
n S1: Tebang pembijian pertama, jenis-jenis II
n+1 C1: Pemotongan pemanjat pertama, dan peneresan
n+3 S2: Tebang pembijian kedua, jenis-jenis II
n+4 C2: Pemotongan pemanjat kedua, dan peneresan
n+5 F: tebang akhir (final), jenis-jenis I (komersial)
n+6/+7 C3: Pembersian setelah penebangan
n+10 Penjarangan pertama atau TSI (Timber Stand Improvement =
Perbaikan tegakan hutan)

Penebangan Tiang/Pole (P)


Penebangan tiang bertujuan untuk menyiapkan kondisi yang nyaman bagi
regenerasi meranti dengan membuka tajuk bawah. Penebangan tiang dilakukan bagi
jenis-jenis II (non komersial) yang berdiameter < 20 cm.
Waktunya tidak terikat tergantung keperluan. Pengawasan harus ketat agar jenis-
jenis I (komersial) tidak ikut ditebang. Namun nyatanya tiang calon lapisan tajuk atas
(dominan) dijumpai dalam jumlah tak banyak. Penebangan tiang dilarang dilakukan
apabila dijumpai hutan banyak semainya.

90
Tebang Pembenihan S1 dan S2 (Seeding Felling)
Tebang pembenihan bertujuan untuk membuka rumpang/celah secukupnya untuk
memberikan kesempatan kepada tegakan yang ada untuk menghasilkan benih dan semai
demikian pula semai-semai yang telah ada diberikan kesempatan untuk berkembang.
Rumpang-rumpang yang dibuat dianjurkan agar menyebar dengan garis tengah
rumpang 7-12 m yang akan menghasilkan penyinaran yang terbaik. Pohon-pohon (jenis
II) yang harus ditebang ditandai yang dilaksanakan oleh kontraktor. Pada penebangan ini
jenis yang ditebang memiliki kualitas rendah tidak laku dijual sehingga tujuan utama
penebangan semata-mata untuk tujuan silvikultur. Pada penebangan S2 dilakukan setelah
penebangan S1 diharapkan telah menghasilkan biji/semai. Pohon yang ditebang
merupakan jenis-jenis yang agak berharga. Apabila penebangan S1 ternyata telah
menghasilkan semai banyak maka penebangan S2 tidak perlu dilakukan.

Kegiatan pembersihan/Cleaning Operation (C1 dan C2)


Kegiatan pembersihan bertujuan untuk membebaskan pohon utama dari
persaingan. Kegiatan pembersihan meliputi
(1) pemotongan semua pemanjat (liana), pencekik, tumbuhan bawah (gulma dan perdu
seperti jahe-jahean, pisang liar dan lain-lain
(2) bila semai dijumpai dalam jumlah banyak, semua pancang dari jenis-jenis II yang
berdiameter 5 cm dipotong. Bilai semai kurang maka jenis-jenis II dibiarkan hidup
dengan jarak minimal 3 m dari semai jenis-jenis I.
(3) tiang-tiang jenis II berdiameter  30 cm diracun, kecuali tiang-tiang yang diperlukan
karena pertimbangan silvikultur.
(4) peracunan dilakukan pada semua pohon yang semestinya ditebang pada S1 tetapi
belum dilaksanakan karena tidak laku dijual.

Penebangan Akhir/Final Feeling (F)

Dua tahun atau tiga tahun setelah penebangan pembenihan, apabila jumlah semai
dianggap cukup memadai maka sisa pohon-pohon boleh ditebang keseluruhannya.

91
Pembersihan/Cleaning (C3)

Tiga sampai empat tahun setelah penebangan akhir (F), maka kegiatan
pembersihan harus dilakukan. Kegiatan pemberisihan dapat berupa (1)peracunan semua
pohon yang tidak diharapkan; (2) pemotongan pemanjat; (3) penjarangan semai bila
terlampau rapat.
Setelah semua tahapan selesai diharapkan hutan pada akhirnya hanya dijumpai
pancang-pancang dari jenis komersial yang harus dipertahankan hingga akhir masa daur
tanpa adanya gangguan.

92
Wanatani (Agroforestry)

Wanatani (Agroforestry) merupakan suatu sistem pengelolaan lahan dengan


menanam tanaman pohon dengan tanaman pangan. Istilah ini dapat lebih diperluas bila
kombinasinya bukan hanya tanaman pertanian (pangan) juga meliputi usaha peternakan
(agrosilvopastory). Praktek agroforestri merupakan praktek pengelolaan lahan tradisional
yang dapat dijumpai di seluruh dunia. Sistem agroforestry dibentuk sesuai dengan kondisi
spesifik lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari si pemilik lahan (Gold & Mason
2015).
Perladangan Berpindah
Perladangan berpindah adalah suatu sistem agroforestry yang banyak dilakukan
oleh masyarakat tradisional di daerah tropis. Pada sistem ini

93
Daftar Pustaka

Baker FS, Daniel TW, dan Helms JA. Principle of Silviculture. McGraw-Hill Inc. Book
Co., New York.

Gold M & Mason A. 2015. Defining Agroforestry in Training Manual for applied
agroforestry Practices. Center of Agroforestry, University of Missouri, Columbia.

Gonçalves JLM, Gava JL & Wichert MCP. 2004. Sustainable of Wood Production in
Eucalypt plantations of Brazil dalam Site management and Productivity in Tropical
Plantation Forests. Proceedings of Workshops in Congo July 2001 and China
February 2013, Diedit oleh E.K.S. Nambiar, J. Ranger, A. Tiarks dan T.Toma.
CIFOR, Bogor Indonesia.

Jordan CF. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystems. John Wiley & Sons,

Kartikasari NS, Marshall AJ, & Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi
Indonesia, Jilid VI. Conservation Internasional New York, 190 hal.

Kimmin, JP. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publishing Company, New York.

Lamprecht, H. 1986. Silviculture in the tropics. GTZ, Eschborn.

Marsoem SN. 2013. Studi Mutu Kayu Jati di Hutan Rakyat Gunung Kidul. I. Pengukuran
Laju Pertumbuhan. Jurnal Ilmu Kehutanan Vol VII No.2: 108-122

McKinty, M.H. 1999. Silviculture of Tropical Mixed Forests of Melanesia (Papua New
Guinea-Salomon Islands-Vanutua). The Papua New Guinea University of
Technology, Dept. of Forestry.

Nugroho JD. 1994. Litterfal and Soil Characteristics under plantation of five tree species
in Irian Jaya Indonesia. UPLB, Los Banos (Thesis). 143 hal.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Third Ed. W.B. Saunders Company.

Spurr, S.H. dan B.V. Barnes. Forest Ekology. 3rd Ed. John Willey & Sons, New York.
687 hal.

Smith, D.M., B.C. Larson, M.J. Kelty dan P. M.S. Asthon. 1977. The practice of
silviculture: applied forest ecology. Ninth ed. John Wiley and Sons, Inc, New York.

Soegianto A. ?. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Penerbit


Usaha Nasional, Surabaya

Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. 455 hal.

94
Supriyo H & Prehaten D. 2013. Kandungan Unsur Hara Daun Pinus merkusii Jungh, et
de Vriese dan Sifat-Sifat Tanah di Tegakan dengan Produksi Getah yang bervariasi.
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol VII No.2:71-79

Tarumingkeng, R.C. 1994.Dinamika Populasi: Kajian ekologi kuantitatif. Pustaka Sinar


Harapan, Jakarta.

Wisnubroto, Sukardi., Siti Lela Aminah S., dan Mulyono Nitisapto. 1983. Asas-Asas
Meteorologi Pertanian. Ghalia Indonesia, Jakarta. 175 hal.

…………… ?. Klimatologi Dasar. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan


Tinggi. IPB, Bogor.

95

Anda mungkin juga menyukai