Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIUM

PRODUKTIVITAS LAHAN BASAH DAN GAMBUT

OLEH :

ADE GUNAWAN ( C106117179)

INDRA WAHYUDI ( C1051171057)

GUSTI ANAN ( C1051171009)

GOPINDA ( C1051171003)

DAMIANUS AJAM ( C1051171065)

WELY DIKAPRIO SUHARIA;DO ( C1051171025)

JURUSAN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
sudah memberikan karuniaNya pada kelompok kami dalam melaksanakan tugas
praktikum “Produktivitas Lahan Basah dan Gambut” ini. Sehingga akhirnya
tersusunlah materi laporan praktikum yang sistematis. Hal ini kami lakukan untuk
memenuhi tugas praktikum ini. Walaupun waktunya cukup singkat, tapi kegiatan
ini menghasilkan sesuatu yang berharga dalam mengaplikasikan ilmu dari
perkuliahan yang sedang kami jalani melalui praktik dalam dunia kerja yang
nyata.
Dengan selesainya laporan praktikum ini secara resmi ini, maka tidak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada semua orang yang sudah membantu kelompok
kami. Kami mohonkan saran dan kritiknya apabila terdapat banyak kekurangan
pada hasil laporan praktikum ini yang sudah kami buat. Semoga laporan ini
memberi banyak kegunaan pada semua pihak termasuk kelompok kami. Terima
kasih.

Nanga Pinioh, 12 Juni 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................3
B. Tujuan..............................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................5
A. Proses Pembentukan Tanah Gambut...............................................................5
B. Klasifikasi Tanah Gambut...............................................................................7
C. Produktivitas Kelapa Sawit Dilahan Gambut..................................................8
BAB III..................................................................................................................10
PEMBAHASAN....................................................................................................10
A. Data Hasil Praktikum Lapangan Gambut Pada Kebun Sawit.......................10
B. Tingkat Kematangan Gambut........................................................................10
C. Pengelolaan Tata Air.....................................................................................12
D. Keadaan Lingkungan Lahan..........................................................................13
BAB IV..................................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahan gambut didefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk
dari endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan
masa lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm (Rancangan
Standar Nasional Indonesia-R-SNI, Badan Sertifikasi Nasional, 2013). Tanah
gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan
komposisi >65%. Timbunan ini terbentuk secara alami dari lapukan vegetasi yang
tumbuh di atasnya dalam jangka waktu ratusan tahun. Proses dekomposisi bahan
ini terhambat karena kondisi anaerob dan basah. Itulah sebabnya tanah gambut
dijumpai di rawa-rawa, baik rawa lebak maupun rawa pasang surut.
Kandungan C organik yang tinggi (≥ 18%) dan dominan berada dalam kondisi
tergenang (anaerob) menyebabkan karakteristik lahan gambut berbeda dengan
lahan mineral, baik sifat fisik maupun kimianya. Kandungan karbon yang relatif
tinggi berarti lahan gambut dapat berperan sebagai penyimpan karbon. Selain
mempunyai karakteristik yang berbeda dibanding lahan mineral, lahan gambut
khususnya gambut tropika mempunyai karakteristik yang sangat beragam, baik
secara spasial maupun vertikal (Subiksa et al., 2011). Karakteristik gambut sangat
ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum (lapisan tanah mineral di bawah
gambut), kematangan, dan tingkat pengayaan, baik dari luapan sungai di
sekitarnya maupun pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai
(keberadaan endapan marin). Lahan gambut tropika umumnya tergolong sesuai
marginal untuk pengembangan pertanian, dengan faktor pembatas utama kondisi
media tanam yang tidak kondusif untuk perkembangan akar, terutama kondisi
lahan yang jenuh air, bereaksi masam, dan mengandung asam-asam organik pada
level yang bisa meracuni tanaman, sehingga diperlukan beberapa tindakan
reklamasi agar kondisi lahan gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan
tanaman.
Perkebunan kelapa sawit saat ini banyak dikembangkan di tanah gambut.
Konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian dapat mengubah stabilitas tanah
gambut dan mempercepat dekomposisinya. Daerah Rasau Jaya termasuk dalam
kawasan pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang direncanakan untuk

3
menciptakan kawasan yang cepat tumbuh di kawasan lokasi eks transmigrasi
(Deptran, 2006).
Penggunaan lahan pada lokasi penelitian yaitu kebun kelapa sawit sebagai
tanaman utama dan tanaman nenas sebagai tanaman selingan. Kebun sawit yang
digunakan dalam penelitian ini adalah milik Bapak Abdul Wakid dengan luas total
perkebunan kelapa sawit ± 40 hektar, Pembukaam lahan milik bapak Abdul
Wakid dilakukan pada tahun 2007, pembukaan lahan dilakukan dengan proses
penebangan dan kemudian dibuat berupa tumpukan-tumpukan agar
mempermudah proses pembakaran dan mempermudah proses pengontrolan pada
saat pembakaran. Pada tahun 2019 ini umur tanaman kelapa sawit milik bapak
Abdul Wakid berkisar ratarata sekitar 7 tahun dengan jarak tanam 9 m dan sudah
berproduksi dengan jumlah pohon yang ada berkisar 5.000 batang dengan hasil
panen dalam 1 kali panen mencapai 10 ton. Sedangkan untuk pemupukannya
bapak Abdul Wakid harus menyiapkan sekitar 7 ton pupuk NPK Mutiara 16, 16,
16 dan pupuk phonska dalam sekali proses pemupukannya, dosis pemupukan
yang digunakan oleh bapak Abdul Wakid sebesar 1 kg/pohon. Pada lokasi plot
penelitian kebun sawitnya menghasilkan panen sebesar 1 ton dengan luasan lahan
± 1 ha, dan dilokasi kebun sawitnya terdapat beberapa saluran tersier dan kuarter
yang letak nya tidak terlalu jauh dari titik pengamatan. Berdasarkan hasil survei
pendahuluan saluran tersier cukup baik karena tidak terjadi genangan akan tetapi
banyak terdapat pelepah sawit di dalam saluran tersebut, sedangkan pada saluran
kuarter mengalami kekeringan, dan muka air tanah nya pada musim kemarau
mencapai 76 cm sedangkan pada musim penghujan berkisar ±20 cm.

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut

1. Mengetahui karakteristik tanah gambut Desa Kuala II, Kecamatan Rasau


Jaya.
2. Mengetahui produktivitas lahan gambut Desa Kuala II, Kecamatan Rasau
Jaya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Pembentukan Tanah Gambut


Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
Tanah gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan lapisan-
lapisan yang jelas. Hal ini berkaitan dengan faktor alam yang ada di sekelilingnya.
Lapisan-lapisan tersebut berupa perbedaan tingkat dekomposisi, jenis tanaman
yang diendapkan atau lapisan tanah mineral secara berselang-seling. Lapisan-
lapisan mineral tersebut menunjukkan gejala alam banjir dan sedimentasi dari
waktu ke waktu pada lahan rawa.
Kebakaran hutan yang kemudian diikuti oleh suksesi hutan menyebabkan
bahan yang diendapkan menjadi berbeda-beda yang akhirnya menyebabkan
terjadinya lapisan-lapisan bahan gambut dalam profil tanah. Proses pembentukan
tanah gambut secara umum memerlukan waktu yang sangat panjang, Menurut
Andriesse (1988) tanah gambut di Indonesia terbentuk antara 6.800-4.200 tahun
yang lalu. Sementara itu Siefermann et al. (1988, dalam Agus dan Subiksa, 2008)
melaporkan bahwa berdasarkan carbondating (penelusuran umur tanah gambut
menggunakan teknik radio isotop), umur tanah gambut di Kalimantan Tengah
lebih tua lagi, yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada
kedalaman 5 m. Proses pembentukan tanah gambut secara rinci dikemukakan oleh
Agus dan Subiksa (2008), dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang
mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan tanah gambut dengan substratum (lapisan di
bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang

5
lebih tengah dari danau dangkal ini dan membentuk lapisan tanah gambut
sehingga danau menjadi penuh.
Berdasarkan lingkungan pembentukannya tanah gambut, Tanah gambut
biasanya terbentuk di lingkungan yang basah. Proses pembentukan gambut
dimulai dari danau yang dangkal yang ditumbuhi tanaman air dan vegetasi lahan
basah lainnya. Tumbuhan air yang mati kemudian melapuk dan membentuk
lapisan organik di dasar danau.

Gambar 1. Proses Pembentukan Gambut di Indonesia (Noor, 2001)

Sebaran tanah gambut dipengaruhi oleh letak dan cara pembentukannya.


Pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim (basah), topografi (datar-
cekung), organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai
substratum), dan waktu pembentukannya. Tanah gambut terbentuk pada kondisi
anaerob sehingga air mutlak harus selalu ada. Di bawah kondisi iklim tropika
basah yang panas dan lembab namun dengan evaporasi yang cukup tinggi
dimungkinkan terbentuknya tanah gambut. Pada cekungan-cekungan kecil
maupun cekungan besar, tanah gambut dapat terbentuk diawali dengan tumpukan
bahan organik sedikit demi sedikit yang akhirnya menjadi tebal, sehingga
memenuhi syarat ketebalan sebagai tanah gambut. Cekungan-cekungan tersebut

6
terjadi di atas formasi batuan atau lapisan sedimen yang diendapkan pada berbagai
masa geologi yang lalu. Perubahan relief di atas lapisan sedimen ini sejalan
dengan masa regresi pemunduran (retreat) laut terhadap daratan atau naiknya
permukaan daratan dan turunnya permukaan laut (Ritung et al., 2013).

B. Klasifikasi Tanah Gambut


Klasifikasi tanah gambut secara umumnya  merupakan tanah organosol
atau histosol. Tanah ini adalah tanah yang memiliki lapisan bahan organi dengan
berat jenis dalam kedaan lembab <0,1 g/cm3  dengan tebal > 60 cm atau lapisan
organik dengan berat jenis >0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm.
Menurut Nursanti & Rohim (2009) dan Darmawijaya (1990), berdasarkan tingkat
kematangan tanah gambut terbagi menjadi 3 jenis yaitu:
 Fibrik, yaitu bahan organik tanah yang sedikit terdekomposisi yang
memiliki serat sebanyak 2/3 volume, porositas tinggi, daya memegang air
tinggi.
 Hemik, yaitu bahan organik yang memiliki tingkat kematangan antara
fibrik dan saprik dengan kandungan serat 1/3-2/3 volume.
 Saprik, yaitu sebagaian besar dengan organik telah mengalami
dekomposisi yang memiliki serat kurang dari 1/3 dengan bobot isi yang
lebih besar dari fibrik.

Menurut Najiyati et al. (1997) dan Muslihat (2003), berdasarkan tingkat


kedalaman tanah gambut terbagi menjadi 4 jenis yaitu:

 Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm.
 Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm.
 Lahan gambut dalam, yaitu dengan ketebalan gambut 200-300 cm.
 Lahan gambut sangat dalam, yaitu dengan ketebalan gambut lebih dari 300
cm.

Menurut Agus et al. (2008), berdasarkan tingkat kesuburan tanah gambut terbagi


menjadi 3jenis yaitu:

7
 Eutrofik, yaitu gambut yang subur akan bahan mineral dan basa-basa serta
unsur hara lainnya.
 Mesotrofik, yaitu gambut yang memiliki kandungan mineral dan basa-basa
yang sedang.
 Oligotrofik, yaitu gambut yang tidak subur karena kurang akan mineral
dan basa-basa, gambut hemik dan saprik tergolong kedalam oligotrofik.

Menurut Sani (2011), berdasarkan tingkat terbentuknya dan pengendapan tanah


gambut di Indonesia terbagi menjadi 2 jenis  yaitu:

 Gambut Ombrogen, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air


hujan. Gambut ini dibentuk dengan lingkungan pengendapan dimana
tumbuhan pembentuk hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya
adalah asli dari tumbuhan itu sendiri.
 Gambut Topogen, dimana kandungan airnya berasal dari oermukaan.
Gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan dari pengaruh elemen yang
dibawah oleh air permukaan tersebut.

C. Produktivitas Kelapa Sawit Dilahan Gambut


Pengembangan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit sudah
demikian pesatnya akibat terbatasnya lahan mineral yang tersedia dalam
hamparan yang luas. Tidak sedikit pemahaman akan karakteristik lahan gambut
untuk pengembangan kebun kelapa sawit juga sangat terbatas baik aspek ekologi
maupun agronomi dan tanah. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian
lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan banyak menjadi
lahan terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian lainnya dengan pengolahan
yang baik ternyata mampu berpruduksi dan telah berkontribusi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Wahyunto et al., 2013).
Upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit untuk mendukung
ketahanan pangan dapat dilakukan terhadap perbaikan kondisi lahan dengan
ameliorasi, pemupukan berimbang dan terpadu, penggunaan varietas unggul dan
perbaikan tata air. Alternatif teknologi ameliorasi dan pemupukan telah tersedia
namun perlu disesuaikan dengan kondisi lahan setempat mengingat adanya variasi

8
potensi kesesuaian lahan dari sifat fisiknya. Dalam mengaplikasikan teknologi
pengelolaan lahan gambut harus mempertimbangkan dan memperhatikan sifat
fisik sebelum lahan gambut dibuka untuk lahan pertanian. Sifat fisik antara lain
adalah ketebalan dan kematangan tanah gambut, berat jenis (bulk density),
subsidence (penurunan permukaan lapisan tanah gambut) dan sifat kering tak
balik (irreversible drying). Jika pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak
mengindahkan sifat fisik maka akan mengalami kegagalan. (Suswati, Hendro, dan
Indradewa 2011).
Tabel 1. Perkembangan Luas Kebun Kelapa Sawit di Tanah Mineral dan Lahan
Gambut Hingga Tahun 2011.

Dari data diatas dapat kita lihat dengan pengelolaan yang baik pada lahan
gambut produktivitas kelapa sawit di Kalimantan hasilnya lebih tinggi
dibandingkan tanah mineral. Kesuburan lahan dan sistem tata air yang sedikit
banyak telah bisa diatasi kendalanya, menjadikan lahan gambut sebagai alternatif
pengembangan ekstensifikasi pembangunan kebun sawit.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Data Hasil Praktikum Lapangan Gambut Pada Kebun Sawit


Hari/tgl/bln/thn : Sabtu 10 Juni 2020
no titik boring : U1.3
P. lahan/komoditas/luas : kebun sawit 20 Hektar
kondisi Drainase : Terhambat tidak mengalir
Kedalaman Muka Air Saluran : 22 cm (Depan)
18 cm ( Belakang)
Waktu Pengamatan : 09.30 WIB
Lokasi : Kab. Kubu Raya, Desa Kuala 2
kelompok :3A
Titik Koordinat : Y: 9979814, X: 321535
Jarak saluran ke titik : 100 M
D X L Saluran Depan : 54 cm x 486 cm
D X L Saluran Belakang : 86 cm x 380 cm

Tabel 2. Formulir Pengisian Data Boring Tanah Gambut


N tingkat tebal kedalaman Eh pH DHL Kadar Keterangan
o kematangan lapisan muka air (mV) Mmhos air
(cm) tanah (cm) /cm lapangan
1 Saprik 0-19 288 3.91 0
2 Hemik 19-35 15 278 4.04 0
3 Fibrik > 35 280 4.21 0

B. Tingkat Kematangan Gambut


Dari tabel di atas di peroleh data dari lapangan setiap lapisan gambut
(Saprik, Hemik, dan Fibrik) memiliki tingkat kemasaman yang berbeda. lapisan
saprik menunjukan pH 3.91 dan jika di sandingkan dengan kondisi tanah gambut
nilai pH tersebut digolong dalam kondisi normal hal ini di pengaruhi juga dengan
pengelolaan lahan yang terjadi di kawasan tersebut misalnya adanya pemupukan.
Penggunaan pupuk, misalnya pupuk nitrogen, akan menurunkan rasio C/N dan
mendorong terjadinya dekomposisi bahan organik oleh jasad renik. Berbagai jenis
pupuk dan amelioran yang meningkatkan pH gambut juga mempercepat
perombakan gambut oleh jasad renik pada lapisan saprik yang telah memiliki
tingkat kematangan yang cukup baik (Widyati 2011).
Tebal lapisan fibrik yaitu 0-19 cm yang berarti tingkat dekomposisi
lapisan ini tergolong baik faktor yang mempengaruhi hal ini adalah keberadaan

10
mikroba yang menjadi pengurai bahan organik pada lahan tersebut, karena pada
lapisan pertama tidak tergenang oleh air maka keberadaan mikroba dalam
mendekomposisi bahan-bahan organik tersebut tidak terhambat sehingga lapisan
ini memiliki tingkat kematangan yang baik.
lapisan hemik pada ketebalan 19-35 cm memiliki nilai pH yaitu 4,04 lebih
tinggi dari lapisan pertama (saprik) sehingga ada satu faktor yang mempengaruhi
mengapa lapisan hemik ini memiliki tingkat pH lebih tinggi di bandingkan dengan
lapisan saprik berdasrkan penelitian yang dilakukan oleh widyati 2011 pemberian
pupuk dan amelioran dapat meningkatakan pH pada tanah gambut hal ini ternyata
terbukti terjadi pada lapisan hemik atau pada lapisan kedua tidak terjadi pada
lapisan pertama (saprik) padahal proses pemupukan di lakukan pada lapisan
pertama (saprik) dan pada kenyataanya tidak berpengaruh sama sekali dalam
meningkatkan pH tanah proses ini dapat terjadi karena adanya pengaruh turun
naiknya muka air tanah atau proses pencucian yang terjadi pada lapisan pertama
yang menyebabkan penumpukan pupuk-pupuk maupun amelioran yang di berikan
pada lapisan pertama.
lapisan fibrik memiliki ketebalan > 35 cm dari atas permukaan lapisan ini
di kenal dengan lapisan mentah pada lapisan ini tingkat dekomposisinya sangat
rendah karena pada lapisan ini dingenangi oleh air yang menghambat aktivitas
dekomposisi mikroba dalam mengurai bahan-bahan organik yang ada pada lapisan
ini, selain itu pH pada lapisan ini tidak jauh berbeda dengan lapisan kedua
(hemix) tetapi sangat berbeda dengan lapisan pertama pH lapisan ini yaitu 4,21
proses ini juga dipengaruhi oleh pengelolaan yang di lakukan pada lapisan
pertama sehingga penumpukan pupuk dan amelioran juga terjadi pada lapisan ini
yang mengakibatkan pHnya jauh lebih tinggi di bandingkan dengan lapisan
pertama (saprik) dan lapisan kedua (hemik).

11
Gambar 1. Foto tanah gambut saprik ( berwarna gelap ), tanah gambut hemik (berwarna coklat ),
dan fibrik ( Berwarna cokelat dan bila diremas bahan seratnya > 75% ).

C. Pengelolaan Tata Air


Pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya air secara optimal sehingga didapatkan hasil/produktivitas lahan
yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya lahan
tersebut. Salah satu teknik pengelolaan air di lahan gambut dapat dilakukan
dengan membuat parit/saluran.
Berdasarkan data yang didapat kebun sawit di Desa Kuala 2 menggunakan
beberapa saluran tersier dan kuarter yang letaknya tidak terlalu jauh dari titik
pengamatan. Berdasarkan hasil survei pendahuluan saluran tersier cukup baik
karena tidak terjadi genangan akan tetapi banyak terdapat pelepah sawit di dalam
saluran tersebut, sedangkan pada saluran kuarter muka air tanah nya pada musim
kemarau mencapai 76 cm sedangkan pada musim penghujan berkisar ±20 cm.

Muka air saluran depan (22 cm) sangat lebar dibandingkan dibagian
belakang (18 cm), saluran airnya ditumbuhi tanaman pakis yang hampir menutupi
saluran tersebut sehingga saluran terhambat tidak mengalir, apabila dibiarkan
tanpa adanya perawatan lambat laun akan menutupi saluran tersebut, hal ini
bertentangan dengan tujuan pengelolaan tata air yaitu :

 Mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut sesuai dengan


kebutuhan tanaman yang akan dibudidayakan. Artinya: gambut tidak
menjadi kering di musim kemarau, tapi juga tidak tergenang di musim
hujan. Hal demikian dapat dicapai dengan membuat pintu air yang dapat

12
mengatur tinggi muka air tanah gambut sekaligus menahan air yang keluar
dari lahan.
 Mencuci asam-asam organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang
bersifat racun terhadap tanaman dan memasukan (suplai) air segar untuk
memberikan oksigen.

Gambar 3. Muka Air Saluran yang berisi air gambut

D. Keadaan Lingkungan Lahan


Kebun sawit yang digunakan dalam penelitian ini adalah milik Bapak
Abdul Wakid dengan luas total perkebunan kelapa sawit ± 40 hektar, Pembukaam
lahan milik bapak Abdul Wakid dilakukan pada tahun 2007, dilakukan dengan
proses penebangan dan kemudian dibuat berupa tumpukan-tumpukan agar
mempermudah proses pembakaran dan mempermudah proses pengontrolan pada
saat pembakaran. Jika ditinjau lebih lanjut, pembukaan lahan gambut dengan cara
bakar sangat tidak dianjurkan lahan gambut mempunyai fungsi ekologi yang
penting, yakni mengatur air di dalam dan di permukaan tanah. Untuk fungsi
lingkungannya, berkaitan erat dengan daur karbon, iklim global, hidrologi,
perlindungan lingkungan, dan penyangga lingkungan. bila kering, gambut akan
kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti sponge, kala hujan menyerap air  dan
saat panas mengeluarkan air, termasuk, kehilangan kemampuan untuk mengatur
keluar-masuknya air.
Berdasarkan kedalaman gambut 7,04 meter di kelompok kami (kelompok
3) seharusnya sudah tidak dapat dibuka untuk perkebunan, melainkan wilayah
konservasi, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 dan Undang-

13
undang No. 21 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Kawasan Bergambut
menetapkan kawasan gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang letaknya di
bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi
sebagai penambat air dan pencegah banjir,serta melindungi ekosistem yang khas
di kawasan tersebut. Lahan gambut yang memiliki ketebalan >3 meter termasuk
dalam kawasan konservasi. (BBP2SLP, 2008).

Tabel 3. Data Lokasi Pengamatan

Gambar 4. Skema lokasi pengamatan

Keterangan:
Titik pengamatan muka air saluran
Titik pengamatan muka air tanah

14
Dari skema lokasi, vegetasi ditumbuhi tanaman pakis, pohon sawit dan
nanas. Pada titik pengamatan muka air tanah kelompok tiga tidak dijumpai
tanaman nanas, vegetasi terdapat tanaman pakis, cengkodok dan kelapa sawit.
Tanaman nanas banyak ditemui di saluran depan dan belakang. Muka air tanah
disetiap kelompok berbeda, pada kelompok tiga muka air tanah sedalam 15 cm.
Perbedaan muka air tanah menandakan adanya bentuk topografi bergelombang
pada lahan gambut, hal ini berarti adanya pemadatan pada beberapa lokasi bisa
jadi akibat aktifitas pengelolaan tanaman sawit (saat penanaman, pemupukan dan
pemanenan) dan Lahan gambut yang tidak dikelola secara berhati-hati akan
mengakibatkan turunnya elevasi permukaan (subsidence) secara cepat.

15
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
Tebal lapisan fibrik yaitu 0-19 cm yang berarti tingkat dekomposisi
lapisan ini tergolong baik faktor yang mempengaruhi hal ini adalah keberadaan
mikroba yang menjadi pengurai bahan organik pada lahan tersebut, karena pada
lapisan pertama tidak tergenang oleh air maka keberadaan mikroba dalam
mendekomposisi bahan-bahan organik tersebut tidak terhambat sehingga lapisan
ini memiliki tingkat kematangan yang baik.
B. Saran
1. Lahan gambut harus selalu di jaga dengan memperhatikan sifat fisika dan
kimia yang tepat agar ekosistem gambut dapat selalu terjaga
kelestariannya.
2. Lahan gambut adalah ekosistem marginal dan fragile. Sehingga dalam
pemanfaatannya harus di dasarkan atas penelitian dan perencanaan yang
matang , baik dari segi teknis, sosial maupun analisis dampak
lingkungannya.

16
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan
gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31
Januari 2009, Malang.
Andriesse. J. P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils
Bulletin 59. Soil Resources Management and Conservation Service. FAO
Land Water Development Division, Rome. Widyati,E. 2011. Kajian
Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut Dan Isu Perubahan Iklim. Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu no. 5 Bogor. Vol.4
No.2,( 57 – 68)
Deptan, 2006. Budidaya Kacang Tanah Tanpa Olah Tanah,
availableat;http://www.deptan.go.id/teknologi/tp/tkcgtanah1.htm [21
agustus 2009]
Ditjen Perkebunan. (2011). Kebijakan Pengembangan Kelapa Sawit
Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Seminar Implementasi RSPO
di Indonesia. Jakarta.
Fisik Lahan Gambut Rasau Jaya III Kabupaten Kubu Raya untuk Pengembangan
Jagung.” Perkebunan dan Lahan Tropika 1 (2): 31–41.
Hardjowigeno, S. 1986. Genesis dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian IPB: Bogor
Noor, M., 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit
Kanisius.
Subiksa, IG.M., Wiwik Hartatik, dan Fahmuddin Agus. 2011. Pengelolaan Lahan
Gambut Secara Berkelanjutan. Dalam Neneng L. Nurida, Anny Mulyani,
dan Fahmuddin Agus (Eds). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Balai Penelitian Tanah. Hal. 73-88
Suswati, Denah, Bambang Hendro, dan Didik Indradewa. 2011. “Identifikasi Sifat
Wahyunto, Dariah, A., Pitono, D., Sarwani, M. (2013). Prospek
Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.
Perspektif, 12(1), 11-22.

17

Anda mungkin juga menyukai