DISUSUN OLEH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga kami dapat
menyelesaikan Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut.
Adapun Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan laporan ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segalannya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
LAMPIRAN .......................................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar
21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang
SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi
ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut
layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau
utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Sebagian besar
lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies
fauna dan tanaman langka. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah.
3
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya.
Dalam Sistem saluran terbuka di lahan gambut akan bekerja dengan uratan
saluran tersier berfungsi sebagai pembawa air dari sekunder, dan pembuang air dari
petak lahan ke saluran sekunder. Sehingga saluran sekunder juga berfungsi sebagai
saluran pengumpul dari air buangan beberapa saluran tersier. Dari saluran sekunder
ini air akan dibawa menuju saluran primer atau utama. Saluran ini juga berfungsi
sebagai saluran navigasi, sehingga muka air harus selalu di jaga dengan ketinggian
tertentu. Selanjutnya dari saluran utama ini air dibuang ke sistem pembuangan utama
(water body), biasanya sungai terdekat. Penentuan dimensi saluran tersier sangat
tergantung kepada kecepatan aliran
4
Di Kabupaten Kubu Raya dan umumnya di Indonesia, hanya dikenal dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi
pada bulan Juni sampai dengan bulan September. Sedangkan musim penghujan bisa
terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Keadaan ini berganti setiap
setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April –Mei dan Oktober
–November.
1.3.Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut adalah sebagai
berikut :
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan
tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan
oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
6
Kalimantan Tengah lebih tua lagi, yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai
8.260 tahun pada kedalaman 5 m .
Proses pembentukan tanah gambut secara rinci dikemukakan oleh Agus dan
Subiksa (2008), dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi
oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara
bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
tanah gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral.
Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini
dan membentuk lapisan tanah gambut sehingga danau menjadi penuh.
Tanah Gambut atau Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah
yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik berasal dari
sisa-sisa tumbuhan dan jasad mikroorganisme dalam kurun waktu lama. Akumulasi
7
ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan
organik yang basah atau tergenang. Tanah gambut ini terbentuk juga karena kadar air
dan kadar keasaman yang cukup tinggi, sehingga terjadi terhambatnya proses
pembusukan. Sehingga menyebabkan penumpukan-penumpakan serpihan atau sisa-
sisa tumbuhan, dan terjadi penimbunan dalam waktu lama.
- Fibrik, yaitu bahan organik tanah yang sedikit terdekomposisi yang memiliki
serat sebanyak 2/3 volume, porositas tinggi, daya memegang air tinggi.
- Hemik, yaitu bahan organik yang memiliki tingkat kematangan antara fibrik
dan saprik dengan kandungan serat 1/3-2/3 volume.
- Saprik, yaitu sebagaian besar dengan organik telah mengalami dekomposisi
yang memiliki serat kurang dari 1/3 dengan bobot isi yang lebih besar dari
fibrik.
- Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm.
- Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm.
- Lahan gambut dalam, yaitu dengan ketebalan gambut 200-300 cm.
- Lahan gambut sangat dalam, yaitu dengan ketebalan gambut lebih dari 300
cm.
8
2.3. Produktivitas Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Kelapa sawit sangat cocok baik pada kondisi lahan kering maupun basah,
namun sebaran lokasi lahan perkebunan sawit ini sebagian besar berada di lahan
mineral. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan
lahan sawit yang terhampar luas hanya tersisa di lahan basah, khususnya lahan
gambut. Berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian (2011), luas
lahan gambut hingga tahun 2011 yang dimanfaatkan untuk pengembangan
perkebunan sawit adalah seluas 1.539.579 Ha. Meskipun Indonesia mempunyai luas
lahan gambut tropis terbesar di dunia, tapi tidak semua lahan gambut bisa
dimanfaatkan untuk budidaya pertanian ataupun perkebunan, hal ini disesuaikan
karakteristiknya dan ketebalan lahan gambut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan banyak
menjadi lahan terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian lainnya dengan
pengelolaan yang baik ternyata mampu berproduksi dan telah berkontribusi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Wahyunto et al., 2013).
9
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman perkebunan masih
terkendala oleh berbagai faktor seperti ketebalan gambut, kemasaman yang tinggi,
kesuburan yang rendah, adanya lapisan pirit, lapisan tanah dibawah gambut
(substratum) yang berupa pasir kuarsa dan sistem tata air. Meskipun terdapat berbagai
kendala, pembukaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena
berangsurangsur berbagai kendala sudah bisa diatasi atau dipahami oleh para praktisi
perkebunan kelapa sawit. Namun juga masih ada para praktisi perkebunan sawit yang
kurang memahami karakteristik lahan gambut, sehingga ancaman terhadap
produktivitas lahan yang rendah dan tidak berkelanjutan. Kurangnya pemahaman ini
masih menganggap pola pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan
kelapa sawit sama saja seperti di tanah mineral atau rawa pasang surut. Beberapa
perusahaan besar telah mengelola lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit,
namun ketebalan gambut yang terlalu dalam dan tingkat kematangan gambut berupa
gambut fibrik, maka produktivitasnya juga rendah seperti di daerah Pekan Tua,
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Produktivitas pada lahan gambut tebal dengan
pengelolaan standar hanya akan menghasilkan produksi kurang dari 3 ton Tandan
Buah Segar (TBS) per ha. Pola pengelolaan yang kurang baik selain menyangkut
kesesuaian agroinput (penyuburan lahan) adalah managemen tata air yang tidak
terkelola dengan baik seperti pengaturan tinggi muka air yang optimal. Namun
apabila lahan gambut dikelola secara baik dan disesuaikan dengan standar kondisi
kesuburan lahan gambut, maka produksinya masih tergolong tinggi. Pertanaman
kelapa sawit pada lahan gambut mampu menghasilkan TBS 20,25-23,74 ton/ha/tahun
(Barchia, 2006). Lebih spesifik lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa sawit
yang ditanam di lahan gambut topogen dapat menghasilkan TBS 19,64-25,53
ton/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis & Wahyono (2008), pengusahaan
kelapa sawit pada lahan mineral dapat menghasilkan TBS rata-rata 22,26 ton/ha/tahun
dengan puncak produksi sekitar 27,32 ton/ha/tahun.
10
Budidaya kelapa sawit di lahan gambut akan berhadapan dengan faktor
pembatas utama, yaitu masalah drainase. Pada kondisi alami, gambut mengandung air
yang berlebihan dengan kapasitas memegang air (water holding capactity) 20–30 kali
dari beratnya, sehingga menimbulkan kondisi aerasi yang buruk. Keberhasilan
penanaman kelapa sawit di lahan gambut dimulai dengan pembangunan sistem
pengelolaan air (water management) yang baik. Pengelolaan air yang efektif adalah
kunci untuk mendapatkan pertumbuhan dan produktivitas yang optimal sesuai potensi
tanaman. Dengan mempertahankan ketinggian air 40–60 cm dari permukaan tanah
diharapkan dapat memperbaiki zona perakaran sehingga penyerapan unsur hara
menjadi lebih optimal. Pengelolaan tata air dengan mengendalikan muka air saluran
yang optimal untuk pembasahan lahan dan untuk mencapai produktivitas tanaman
yang tinggi yaitu antara 40–60 cm.
11
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Gambar 1. Titik pengamatan muka air tanah dan muka air saluran.
3.2. Pembahasan
13
berdampak pada produksi dari kebun kelapa sawit itu sendiri, yang memiliki rata-rata
nilai produksi yang rendah dengan luasan kebun 20 Ha.
Tingginya muka air tanah berdampak pada nilai Eh (redoks). Menurut Cyio,
(2008) nilai redoks tanah mengalami penurunan dengan bertambahnya tinggi muka
air tanah dan penurunannya semakin tajam dengan adanya bahan organic. Dimana
diketahui bahwa lahan yang digunakan adalah lahan gambut yang merupakan tanah
hasil pelapukan bahan organic. Rendahnya nilai Eh berdampak pada peneyerapan
unsur hara oleh tanaman budidaya, dan juga berdampak pada jumlah produksi kebun
kelapa sawit di lokasi praktikum ini.
Kedalaman dan lebar saluran tersier depan adalah 54 cm x 486 cm, sedangkan
saluran tersier belakang adalah 86 cm x 380 cm. Dimana muka air salurannya 22 cm
untuk bagian depan dan 9 cm bagian belakang. Dengan kondisi drainase nya yang
terhambat tentu hal ini menentukan muka air saluran dan muka air tanah di sana.
Sehingga muka air tanah mempengaruhi pH , Eh dan DHL pada tanah gambut.
14
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
Saran dari praktikum yang telah dilakukan adalah agar menjaga atau
menormalisasi saluran suapaya saluran dapat berfungsi sebagai mana mestinya, dan
muka air tanah dapat di atur sesuai dengan kebutuhan. Selain di normalisasi saluran
harus dibuat pintu air dan di bikin sekat kanal untuk mengontrol air.
15
DAFTAR PUSTAKA
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils
Bulletin 59. Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Rome. 165p.
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor. 36 hal.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.
Driessen, P.M., dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian IPB. Hal 86-94.
16
Lubis., Wahyono, T. (2008). Keragaan Konflik Pengusahaan Lahan pada
Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit
16(1), 47-59.
Mutalib, A.Aa, J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International
Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.
Nurida, Neneng L., Anny Mulyani dan Fahmuddin Agus. 2011. Pengelolaan
Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 103 Halaman.
Pusdatin PPID. (2016). Outlook Kelapa Sawit. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian.
Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and
Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case
study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian
Journal of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40.
17
Utara untuk Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit, 16(3), 119-126.
WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision
in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil
carbon loss over a quarter century and it’s plans for the future. WWF
Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.
18
LAMPIRAN
Gambar 1. Pengambilan sampel tanah per lapisan.
19
Gambar 3. Pengukuran luas dan kedalaman saluran drainase
20