Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

“PRODUKTIVITAS LAHAN BASAH DAN GAMBUT


LAHAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KUALA DUA”

DISUSUN OLEH

FENI FEBRIANTI NIM.C1051161007


RAHMAT ARIYAN NIM.C1051161017
ISNEN AMRI NIM.C1051161025
PARWANTO NIM.C1051161037
RISKY ANANDA LESTARI NIM.C1051161039
RANTI PUSPITA NIM.C1051161089
TRI LAKSONO NIM.C1051171015
SELVI NIM.C1051171027

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga kami dapat
menyelesaikan Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut.
Adapun Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan laporan ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segalannya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki Laporan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih.

Pontianak, 25 Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 3

1.2. Keadaan Lokasi ........................................................................................ 4

1.3. Tujuan Praktikum ..................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6

2.1. Proses Pembentukan Tanah Gambut ............................................................ 6

2.2. Klasifikasi Tanah Gambut............................................................................ 7

2.3. Produktivitas Kelapa Sawit di Lahan Gambut ............................................. 9

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 12

3.1. Hasil dan Data ............................................................................................ 12

3.2. Pembahasan ................................................................................................ 13

BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 15

4.1. Kesimpulan ................................................................................................ 15

4.2. Saran ........................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

LAMPIRAN .......................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar
21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang
SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi
ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut
layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau
utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Sebagian besar
lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies
fauna dan tanaman langka. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah.

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian


meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible
drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD
menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah
(Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997).

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh


kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan
tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah

3
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena


kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang
sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat
kimia gambut. Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai
kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di
daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan
Suhardjo, 1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob
akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968).

Dalam Sistem saluran terbuka di lahan gambut akan bekerja dengan uratan
saluran tersier berfungsi sebagai pembawa air dari sekunder, dan pembuang air dari
petak lahan ke saluran sekunder. Sehingga saluran sekunder juga berfungsi sebagai
saluran pengumpul dari air buangan beberapa saluran tersier. Dari saluran sekunder
ini air akan dibawa menuju saluran primer atau utama. Saluran ini juga berfungsi
sebagai saluran navigasi, sehingga muka air harus selalu di jaga dengan ketinggian
tertentu. Selanjutnya dari saluran utama ini air dibuang ke sistem pembuangan utama
(water body), biasanya sungai terdekat. Penentuan dimensi saluran tersier sangat
tergantung kepada kecepatan aliran

1.2. Keadaan Lokasi

Lokasi praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut berada di Desa


Kuala Dua Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. Secara geografis
Kabupaten Kubu Raya berada disisi barat daya Provinsi Kalimantan Barat atau
berada pada posisi 00134’40,83” sampai dengan 1000’53,09” Lintang Selatan dan
109002’19,32” Bujur Timur sampai dengan 109058’32,16” Bujur Timur.

4
Di Kabupaten Kubu Raya dan umumnya di Indonesia, hanya dikenal dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi
pada bulan Juni sampai dengan bulan September. Sedangkan musim penghujan bisa
terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Keadaan ini berganti setiap
setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April –Mei dan Oktober
–November.

Dalam komposisi sistem lahan wilayah Kabupaten Kubu Raya mempunyai


beberapa jenis tanah yang sudah diketahui. Salah satunya adalah Tanah Organik atau
Tanah gambut. Tanah Gambut di Kabupaten Kubu Raya ini mempunyai kemiringan
rata-rata < 2 % dengan Kedalaman gambut > 200 cm. Berada pada ketinggian 1 – 30
m dengan batas ketinggian 0 – 10 m. Berlokasi pada rawa gambut dalam dengan
permukaan yang cembung atau berkubah dengan Jenis tanah Tropohemists dan
tropofibrist.

1.3.Tujuan Praktikum

Adapun tujuan praktikum Produktivitas Lahan Basah dan Gambut adalah sebagai
berikut :

- Mengetahui Kematangan Lahan Gambut


- Menilai produktivitas Tanah dan Air di Lahan Gambut

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Pembentukan Tanah Gambut

Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati,
baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan
tanah gambut merupakan proses geogenik, yaitu pembentukan tanah yang disebabkan
oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah
mineral yang umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).

Pembentukan gambut diduga terjadi pada peroide holosin antara 10.000-5.000


tahun silam karena pencairan es di kutub yang menaikan muka air laut hingga
tergenang pada bagian puncakanya akibat adanya pembentukan daratan pantai
(regresi) dan garis pantai mengalami pergeseran (transgresi) yang menjorok lebih ke
laut dimana dataran pantai yang berupa cekungan tersebut mengalami penimbunan
sisa-sisa seperti pakis, tanaman air dan bakau secara berlapis-lapis dalam keadaan
anaerob. Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut
memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-
3 mm/tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan
gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13
mm/tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar
0,22–0,48 mm per tahun (Noor, 2001).

Proses pembentukan tanah gambut secara umum memerlukan waktu yang


sangat panjang, Menurut Andriesse (1988) tanah gambut di Indonesia terbentuk
antara 6.8004.200 tahun yang lalu. Sementara itu Siefermann et al. (1988, dalam
Agus dan Subiksa, 2008) melaporkan bahwa berdasarkan carbondating (penelusuran
umur tanah gambut menggunakan teknik radio isotop), umur tanah gambut di

6
Kalimantan Tengah lebih tua lagi, yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai
8.260 tahun pada kedalaman 5 m .

Proses pembentukan tanah gambut secara rinci dikemukakan oleh Agus dan
Subiksa (2008), dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi
oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara
bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
tanah gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral.
Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini
dan membentuk lapisan tanah gambut sehingga danau menjadi penuh.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, tanah gambut dibedakan menjadi :


tanah gambut ombrogen, terbentuk pada lingkungan yang hanya bergantung pada air
hujan, tidak terkena pengaruh air pasang, membentuk suatu kubah (dome) dan
umumnya tebal, dan tanah gambut topogen, terbentuk pada bagian pedalaman dari
dataran pantai/sungai yang dipengaruhi oleh limpasan air pasang/banjir yang banyak
mengandung mineral, sehingga relatif lebih subur, dan tidak terlalu tebal. Tanah
gambut topogen dikenal sebagai gambut eutropik, sedangkan tanah gambut ombrogen
dikenal sebagai tanah gambut oligotrofik dan mesotrofik.

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dibagi


menjadi: tanah gambut pantai yang terbentuk dekat pantai dan mendapat pengkayaan
mineral dari air laut, tanah gambut pedalaman yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi dipengaruhi oleh air hujan, dan tanah
gambut transisi yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak
langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

2.2. Klasifikasi Tanah Gambut

Tanah Gambut atau Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah
yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik berasal dari
sisa-sisa tumbuhan dan jasad mikroorganisme dalam kurun waktu lama. Akumulasi

7
ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan
organik yang basah atau tergenang. Tanah gambut ini terbentuk juga karena kadar air
dan kadar keasaman yang cukup tinggi, sehingga terjadi terhambatnya proses
pembusukan. Sehingga menyebabkan penumpukan-penumpakan serpihan atau sisa-
sisa tumbuhan, dan terjadi penimbunan dalam waktu lama.

Klasifikasi tanah gambut secara umumnya merupakan tanah organosol atau


histosol. Tanah ini adalah tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat
jenis dalam keadaan lembab , 0,1 g/cm3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik
dengan berat jenis > 0,1 g/cm3 dengan tebal > 40 cm.

Menurut Nursanti & Rohim (2009) dan Darmawijaya (1990), berdasarkan


tingkat kematangan tanah gambut terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

- Fibrik, yaitu bahan organik tanah yang sedikit terdekomposisi yang memiliki
serat sebanyak 2/3 volume, porositas tinggi, daya memegang air tinggi.
- Hemik, yaitu bahan organik yang memiliki tingkat kematangan antara fibrik
dan saprik dengan kandungan serat 1/3-2/3 volume.
- Saprik, yaitu sebagaian besar dengan organik telah mengalami dekomposisi
yang memiliki serat kurang dari 1/3 dengan bobot isi yang lebih besar dari
fibrik.

Menurut Najiyati et al. (1997) dan Muslihat (2003), berdasarkan tingkat


kedalaman tanah gambut terbagi menjadi 4 jenis yaitu:

- Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm.
- Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm.
- Lahan gambut dalam, yaitu dengan ketebalan gambut 200-300 cm.
- Lahan gambut sangat dalam, yaitu dengan ketebalan gambut lebih dari 300
cm.

8
2.3. Produktivitas Kelapa Sawit di Lahan Gambut

Sebagai negara tropis, kondisi agroekologi lahan di Indonesia sangat cocok


untuk budidaya kelapa sawit. Indonesia merupakan penghasil sawit terbesar di dunia
dan menjadi penyumbang devisa perdagangan terbesar. Perkembangan luas areal
kelapa sawit di Indonesia pada kurun waktu 1980–2016 cenderung meningkat. Jika
pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit Indonesia sebesar 294,56 ribu hektar, maka
pada tahun 2015 telah mencapai 11,30 juta hektar dan diprediksi menjadi 11,67 juta
hektar pada tahun 2016. Pertumbuhan rata-rata selama periode tersebut sebesar
10,99% per tahun. Sedangkan dari sisi produksi Crude Palm Oil (CPO), pada tahun
1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton dan naik menjadi 33,50
juta ton pada tahun 2016 atau tumbuh rata-rata sebesar 11,50% per tahun. Jika pada
tahun 1981 volume ekspor kelapa sawit Indonesia hanya sebesar 201,25 ribu ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 108,85 juta, maka tahun 2015 meningkat menjadi
32,54 juta ton senilai US$ 17,36 milyar (Pusdatin PPID, 2016).

Kelapa sawit sangat cocok baik pada kondisi lahan kering maupun basah,
namun sebaran lokasi lahan perkebunan sawit ini sebagian besar berada di lahan
mineral. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan
lahan sawit yang terhampar luas hanya tersisa di lahan basah, khususnya lahan
gambut. Berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian (2011), luas
lahan gambut hingga tahun 2011 yang dimanfaatkan untuk pengembangan
perkebunan sawit adalah seluas 1.539.579 Ha. Meskipun Indonesia mempunyai luas
lahan gambut tropis terbesar di dunia, tapi tidak semua lahan gambut bisa
dimanfaatkan untuk budidaya pertanian ataupun perkebunan, hal ini disesuaikan
karakteristiknya dan ketebalan lahan gambut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan banyak
menjadi lahan terlantar tidak produktif, akan tetapi sebagian lainnya dengan
pengelolaan yang baik ternyata mampu berproduksi dan telah berkontribusi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Wahyunto et al., 2013).

9
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya tanaman perkebunan masih
terkendala oleh berbagai faktor seperti ketebalan gambut, kemasaman yang tinggi,
kesuburan yang rendah, adanya lapisan pirit, lapisan tanah dibawah gambut
(substratum) yang berupa pasir kuarsa dan sistem tata air. Meskipun terdapat berbagai
kendala, pembukaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan karena
berangsurangsur berbagai kendala sudah bisa diatasi atau dipahami oleh para praktisi
perkebunan kelapa sawit. Namun juga masih ada para praktisi perkebunan sawit yang
kurang memahami karakteristik lahan gambut, sehingga ancaman terhadap
produktivitas lahan yang rendah dan tidak berkelanjutan. Kurangnya pemahaman ini
masih menganggap pola pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan
kelapa sawit sama saja seperti di tanah mineral atau rawa pasang surut. Beberapa
perusahaan besar telah mengelola lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit,
namun ketebalan gambut yang terlalu dalam dan tingkat kematangan gambut berupa
gambut fibrik, maka produktivitasnya juga rendah seperti di daerah Pekan Tua,
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Produktivitas pada lahan gambut tebal dengan
pengelolaan standar hanya akan menghasilkan produksi kurang dari 3 ton Tandan
Buah Segar (TBS) per ha. Pola pengelolaan yang kurang baik selain menyangkut
kesesuaian agroinput (penyuburan lahan) adalah managemen tata air yang tidak
terkelola dengan baik seperti pengaturan tinggi muka air yang optimal. Namun
apabila lahan gambut dikelola secara baik dan disesuaikan dengan standar kondisi
kesuburan lahan gambut, maka produksinya masih tergolong tinggi. Pertanaman
kelapa sawit pada lahan gambut mampu menghasilkan TBS 20,25-23,74 ton/ha/tahun
(Barchia, 2006). Lebih spesifik lagi, menurut Wiratmoko et al. (2008), kelapa sawit
yang ditanam di lahan gambut topogen dapat menghasilkan TBS 19,64-25,53
ton/ha/tahun. Sebagai pembanding, menurut Lubis & Wahyono (2008), pengusahaan
kelapa sawit pada lahan mineral dapat menghasilkan TBS rata-rata 22,26 ton/ha/tahun
dengan puncak produksi sekitar 27,32 ton/ha/tahun.

10
Budidaya kelapa sawit di lahan gambut akan berhadapan dengan faktor
pembatas utama, yaitu masalah drainase. Pada kondisi alami, gambut mengandung air
yang berlebihan dengan kapasitas memegang air (water holding capactity) 20–30 kali
dari beratnya, sehingga menimbulkan kondisi aerasi yang buruk. Keberhasilan
penanaman kelapa sawit di lahan gambut dimulai dengan pembangunan sistem
pengelolaan air (water management) yang baik. Pengelolaan air yang efektif adalah
kunci untuk mendapatkan pertumbuhan dan produktivitas yang optimal sesuai potensi
tanaman. Dengan mempertahankan ketinggian air 40–60 cm dari permukaan tanah
diharapkan dapat memperbaiki zona perakaran sehingga penyerapan unsur hara
menjadi lebih optimal. Pengelolaan tata air dengan mengendalikan muka air saluran
yang optimal untuk pembasahan lahan dan untuk mencapai produktivitas tanaman
yang tinggi yaitu antara 40–60 cm.

11
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil dan Data

No. Titik Boring :4 Lokasi : Desa Kuala 2


Komoditas/ Luas : Kelapa Sawit/ 20 ha Kelompok : 4A
Jarak Saluran
Drainase : Terhambat : 400 m
Depan ke Titik
Muka Air Saluran Jarak Saluran
: 22 cm : 200 m
Tersier Depan Belakang ke Titik
Muka Air Saluran D x L Saluran : 54 cm x 486
: 9 cm
Tersier Belakang Depan cm
: 321451 E D x L Saluran
Titik Koordinat 86 cm x 380 cm
9979865 N Belakang

Tingkat Muka Air Tanah


Tebal Lapisan (cm) Eh (mV) pH
Kematangan (cm)
Saprik 0 – 21 271 4,06
Hemik 21 – 44 17 265 3,97
Fibrik 44 – 600 241 3,96

12
Gambar 1. Titik pengamatan muka air tanah dan muka air saluran.

3.2. Pembahasan

Menurut Melling dan Hatano (2010). Pengelolaan tata air (water


management) merupakan proses perencanaan yang sistematis dalam
mengorganisasikan dan mengatur pembuangan air melalui permukaan tanah seperti
saluran drainase, dan mempertahankan level air pada kisaran yang oimum bagi
pertumbuhan tanaman. Sistem pengelolaan tata air harus mampu membuang
kelebihan air permukaan maupun subpermukaan dengan cepat pada musim hujan dan
dapat menahan air selama mungkin pada musim kemarau.

Perkebunan kelapa sawit yang menjadi tempat praktikum merupakan


perkebunan kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut. Lahan gambut tersebut
memiliki muka air tanah 17 cm pada titik pengamatan U1.4, dengan tinggi muka air
saluran depan 22 cm dan tinggi muka air saluran belakang 9 cm. Oleh karena itu
sistem pengelolaan air (water management) sangat diperlukan. Air yang terlalu
sedikit atau terlalu banyak pada zona perakaran kelapa sawit akan berdampak kurang
baik terhadap penyerapan unsur hara dan hasil TBS.

Drainase harus dirancang dalam bentuk jaringan yang memanfaatkan


topografi dan mengalirkan kelebihan air berdasarkan gaya berat. Merancang sistem
drainase yang baik harus mengacu pada peta topografi dan bukan berdasarkan visual
saja (Pahan, 2012). Untuk saluran pada kebun kelapa sawit yang menjadi tempat
praktikum tidak dijumpai sekat kanal, dan memiliki drainase yang terhambat atau
buruk. Dampak dari saluran drainase yang buruk berdampak pada muka air tanah
pada kebun kelapa sawit, zona perakaran kelapa sawit yang seharusnya tidk boleh
jenuh air, menjadi jenuh air karena drainase yang buruk. Drainase yang buruk ini

13
berdampak pada produksi dari kebun kelapa sawit itu sendiri, yang memiliki rata-rata
nilai produksi yang rendah dengan luasan kebun 20 Ha.

Tingginya muka air tanah berdampak pada nilai Eh (redoks). Menurut Cyio,
(2008) nilai redoks tanah mengalami penurunan dengan bertambahnya tinggi muka
air tanah dan penurunannya semakin tajam dengan adanya bahan organic. Dimana
diketahui bahwa lahan yang digunakan adalah lahan gambut yang merupakan tanah
hasil pelapukan bahan organic. Rendahnya nilai Eh berdampak pada peneyerapan
unsur hara oleh tanaman budidaya, dan juga berdampak pada jumlah produksi kebun
kelapa sawit di lokasi praktikum ini.

Kedalaman dan lebar saluran tersier depan adalah 54 cm x 486 cm, sedangkan
saluran tersier belakang adalah 86 cm x 380 cm. Dimana muka air salurannya 22 cm
untuk bagian depan dan 9 cm bagian belakang. Dengan kondisi drainase nya yang
terhambat tentu hal ini menentukan muka air saluran dan muka air tanah di sana.
Sehingga muka air tanah mempengaruhi pH , Eh dan DHL pada tanah gambut.

Produktivitas tanaman di lahan gambut tidak semua dipengaruhi oleh


pengelolaan tanah dan air, selain itu penambahan berupa pupuk, amelioran dan
penutup tanah juga memengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut
ini. Tentu terlihat di lapangan tempat praktikum kami, dengan tanaman sawit yang
cukup baik. Ditambah dengan tanaman selingan yaitu nanas.

14
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari laporan praktikum kunjungan ke lahan gambut di


kebun sawit ialah sebagai berikut:

1. Dari hasil pengukuran sampel tanah didapatkan hasil ph tanah tergolong


sangat masam, eh(redoks) tanah tergolong rendah, dan tidak adanya Daya
hantar listrik lihan gambut tersebut.
2. Tinggi muka air tanah pada titik pengamata tergolong rendah.
3. Sistem pengelolaan tata air dengan adanya pembuatan saluran tersier dan
kuarter.
4. Dengan rendah nya muka air tanah berdampak pada pH, Eh, dan DHL
tanah, serta berpengaruh terhadap serapan unsur hara tanaman yang
membuat menurunnya hasil produksi dari kebun kelapa sawit di lahan
tersebut.

4.2. Saran

Saran dari praktikum yang telah dilakukan adalah agar menjaga atau
menormalisasi saluran suapaya saluran dapat berfungsi sebagai mana mestinya, dan
muka air tanah dapat di atur sesuai dengan kebutuhan. Selain di normalisasi saluran
harus dibuat pintu air dan di bikin sekat kanal untuk mengontrol air.

15
DAFTAR PUSTAKA

Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Soils
Bulletin 59. Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Rome. 165p.

Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor. 36 hal.

Barchia, M.F. (2006). Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. UGM


Press, Yogyakarta.

BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan


Pertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian dan
pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Ditjen Perkebunan. (2011). Kebijakan Pengembangan Kelapa Sawit


Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Seminar Implementasi RSPO di
Indonesia. Jakarta, 10 Februari 2011.

Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.

Driessen, P.M., dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian IPB. Hal 86-94.

Istomo. 2008. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Hutan Tanaman


Kayu: Riset yang perlu Dipersiapkan. Bahan Kuliah Umum Disampaikan di
Balai Penelitian Hutan Serat, Badan Litbang Kehutanan. Kuaok-Riau, 16
September 2008. Bagian Ekoligi, Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.

16
Lubis., Wahyono, T. (2008). Keragaan Konflik Pengusahaan Lahan pada
Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit
16(1), 47-59.

Mutalib, A.Aa, J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International
Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius.


Yogyakarta.

Nugroho, K., G. Gianinazzi and IPG. Widjaja-Adhi. 1997. Soil hidraulic


properties of Indonesian peat. In: Rieley and Page (Eds.). pp. 147-156 In
Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Samara
Publishing Ltd. Cardigan. UK.

Nurida, Neneng L., Anny Mulyani dan Fahmuddin Agus. 2011. Pengelolaan
Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 103 Halaman.

Pusdatin PPID. (2016). Outlook Kelapa Sawit. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian.

Wahyunto, Wahyu Supriatna, and Fahmuddin Agus. 2010. Landuse change and
Recommendation for Sustainable development of Peat for agriculture: Case
study at Kubu raya and pontianak Districts, West Kalimantan. Indonesian
Journal of Agricultiural Science. Vol.11, No.1, April 2010. Page. 32-40.

Wahyunto, Dariah, A., Pitono, D., Sarwani, M. (2013). Prospek Pemanfaatan


Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Perspektif,
12(1), 11-22.

Wiratmoko, D., Winarna, Rahutomo, S., Santoso, H. (2008). Karakteristik


Gambut Topogen Dan Ombrogen di Kabupaten Labuhan Batu Sumatera

17
Utara untuk Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit, 16(3), 119-126.

WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision
in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil
carbon loss over a quarter century and it’s plans for the future. WWF
Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.

18
LAMPIRAN
Gambar 1. Pengambilan sampel tanah per lapisan.

Gambar 2. Pengukuran muka air tanah

19
Gambar 3. Pengukuran luas dan kedalaman saluran drainase

Gambar 4. Pengukuran pH, Eh, dan DHL

20

Anda mungkin juga menyukai