Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SISTEM POLA TANAM (CROPPING SYSTEM) UNTUK PENGELOLAAN


OPT DAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengelolaan OPT Terpadu:


Ir. Saifuddin Hasjim, M.P

Disusun Oleh :
Anggi Arsy Purwandarini 171510701029

PROGRAM STUDI PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu pendekatan untuk mengurangi populasi hama melalui praktik
budidaya adalah dengan melakukan pengelolaan pola tanam. Pengaturan pola
tanam merupakan salah satu bagian dari strategi meminimalkan resiko kehilangan
hasil dan telah diterapkan oleh petani-petani tradisional. Dalam sistem pertanian
di mana pola tanam sangat diperhatikan, hama dan penyakit akan lebih mudah
dikendalikan di bawah tingkat ambang ekonomi melalui peningkatan mekanisme
pengaturan alami. Pola tanam juga berfungsi sebagai penghambat fisik yang
mampu membatasi pergerakan hama serangga dan patogen.
Vegetasi yang beragam dalam sistem tanam ganda akan menjadi sumber
bahan makanan bagi predator atau parasit, yang nantinya akan menjadi musuh
alami organisme pengganggu tanaman dan menjaga keseimbangan populasi hama
dan patogen. Diversifikasi tanaman serta sistem tanam ganda merupakan salah
satu contoh dari manajemen pola tanam yang berperan dalam perlindungan
tanaman. Sistem ini juga sangat menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman
sepanjang tahun. Beberapa jenis sistem penanaman lainnya yang bermanfaat
untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit antara lain
penanaman campuran, tumpangsari, tanam bergilir, serta rotasi tanaman.

1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengaruh pola tanam terhadap OPT dan perlindungan tanaman sebagimana yang
terdapat dalam konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).

1
II. PEMBAHASAN

Pola tanam mengacu pada urutan dan jenis tanaman yang ditanam serta
praktik yang digunakan dalam kegiatan budidayanya. Secara tradisional sistem
dalam pola tanam disusun dengan tujuan untuk memaksimalkan hasil panen.
Namun saat ini pola tanam tidak hanya dirancang untuk produktivitas saja, namun
juga mempertimbangkan masalah sosial, ekonomi, dan ekologi atau lingkungan.
Upaya pelestarian tanah, air, dan juga mempertahankan produktivitas tanah untuk
jangka panjang sangat bergantung pada pengelolaan pola tanam, sebab sistem
penanaman mempengaruhi besarnya erosi tanah dan dinamika bahan organik di
dalam tanah. Sistem penanaman yang baik dan dikelola dengan benar dapat
mempertahankan bahkan meningkatkan produktivitas tanah dan memulihkan
lahan yang terdegradasi dengan meningkatkan ketahanan tanah. Diversifikasi
tanaman merupakan aspek penting dalam sistem pertanian berkelanjutan (Blanco
and Lal, 2008).
Menurut Meynard et al. (2003), pola tanam atau sistem penanaman dapat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Variasi terhadap pola tanam
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
(1) Jenis tanah dan kondisi iklim. Petani beradaptasi dengan kondisi
lingkungannya dengan cara memilih jenis dan varietas tanaman sesuai dengan
kondisi tanah serta iklim di wilayah tersebut. Iklim dan tanah juga
berkontribusi terhadap keberadaaan patogen dan resiko infeksinya terhadap
tanaman.
(2) Permintaan pasar dan tuntutan kualitas produk pertanian oleh konsumen. Hal
ini membuat petani harus bisa memilih jenis pola tanam yang sesuai dan dapat
menghasilkan produktivitas tinggi.
(3) Perbedaan dalam peraturan. Hal ini berkaitan dengan zonasi agroekologi serta
dukungan terhadap praktik pertanian yang ada di sebuah daerah.
Manajemen sistem tanam artinya melakukan pengelolaan terhadap
berbagai aspek seperti persiapan lahan, pembersihan lahan dari sisa tanaman,
pemberian nutrisi, pengelolaan OPT, serta praktik konservasi tanah. Penggunaan

2
bahan kimia yang berlebihan, misalnya pupuk dan pestisida, telah menimbulkan
banyak kekhawatiran akan masalah lingkungan di berbagai negara di dunia.
Mengurangi penggunaan pupuk anorganik serta bahan-bahan agrokimia lainnya
melalui penerapan pertanian presisi dan pemilihan sistem tanam yang tepat
merupakan strategi yang berguna untuk meminimalkan pencemaran lingkungan
dari residu bahan-bahan kimia pertanian. Mengadopsi sistem pertanian organik,
pengelolaan residu yang tepat, dan rotasi tanaman adalah contoh alternatif sistem
manajemen dalam praktik pertanian konvensional. Penanaman secara monokultur
yang muncul akibat dari tuntutan manusia untuk memproduksi lebih banyak
makanan berdampak negatif pada kualitas tanah dan sumber daya air serta
menimbulkan berbagai macam kekhawatiran lainnya. Oleh sebab itu, sangat
penting merancang sistem penanaman yang baik untuk setiap ekosistem. Tentunya
sistem penanam yang dibuat tersebut harus diterima secara sosial, menguntungkan
secara ekonomi, serta kompatibel secara ekologis dan lingkungan. Tujuan
utamanya adalah untuk melestarikan tanah dan air serta mempertahankan produksi
tanaman.
Pola tanam monokultur dan pertanian-pertanian berbasis input bahan
kimia sintetik yang umum diterapkan dalam model pertanian konvensional
menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem karena rendahnya tingkat
keanekaragaman hayati. Berdasarkan hal tersebut, banyak ahli yang kemudian
mengusulkan kepada pendekatan budidaya berbasis keragaman hayati tinggi dan
penyediaan ekosistem yang ramah bagi musuh alami sehingga menyerupai kondisi
alaminya. Namun pengelolaan agroekosistem seperti ini tidak mudah untuk
dilakukan. Salah satu upaya dalam pengelolaan agroekosistem yakni dengan
menerapkan sistem budidaya polikultur. Penerapan sistem budidaya seperti ini
akan sangat membantu dalam menciptakan kondisi agroekosistem yang mirip
dengan kondisi alaminya sehingga menjadi lebih stabil (Kurniawati dan Edhi,
2015).
Kaitannya dengan perlindungan tanaman, manajemen pola tanam
termasuk ke dalam salah satu teknik pengendalian hama terpadu yakni
pengendalian kultur teknis, yang sifatnya sebagai tindakan pencegahan atau

3
preventif. Seperti dalam Inayati dan Marwoto (2015), kultur teknis merupakan
dasar pengendalian hama kutu kebul (Bemisia tabaci) pada tanaman kedelai.
Selain penanaman varietas tahan, pengelolaan sistem penanaman seperti waktu
tanam, pola tanam tumpangsari antara jagung dan kedelai, rotasi tanaman, dan
sanitasi lahan mampu menekan populasi hama dan melindungi tanaman kedelai
dari serangan kutu kebul.
Rotasi atau pergiliran tanaman dapat menekan populasi OPT di lapang
dengan cara memutus daur hidupnya. Rotasi dengan tanaman bukan inang akan
mencegah tersedianya sumber makanan dan tempat hidup sehingga OPT tidak
dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik di lahan tersebut (Hasyim, dkk.,
2015). Menambahkan keanekaragaman tanaman ke sistem produksi dalam ruang
dan waktu dapat membantu memutus siklus hama. Tanaman dalam keluarga yang
sama cenderung memiliki hama yang serupa. Rotasi tanaman, menanam
serangkaian tanaman dari kelompok tanaman berbeda di ruang yang sama pada
musim berurutan (multiple cropping), akan membantu mencegah penumpukan
hama yang dapat terjadi ketika satu spesies tanaman ditanam terus menerus.
Barbercheck (2015) menjelaskan rotasi tanaman adalah hal mendasar di dalam
manajemen pertanian organik sekaligus melayani beberapa fungsi lingkungan.
Selain memberikan manfaat berupa pengelolaan hama, rotasi tanaman juga
berfungsi memelihara dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah,
mengelola nutrisi tanaman, serta mengontrol erosi.
Meningkatkan keanekaragaman tanaman di lahan sejalan dengan upaya
perlindungan tanaman terhadap organisme pengganggu. Contoh lain penerapan
pola tanam sebagai perlindungan tanaman adalah dengan menanam tanaman
perangkap. Dalam penanaman tanaman perangkap, tanaman yang dilindungi
(tanaman utama) dikelilingi oleh satu atau dua baris tanaman perangkap. Tanaman
perangkap berfungsi sebagai pembatas (barrier) agar hama tidak sampai masuk
dan menyerang tanaman utama, tetapi lebih tertarik berada di sekitaran tanaman
perangkap. Dengan begitu hama akan lebih mudah dikendalikan atau
dimusnahkan. Selain sebagai barrier, tanaman perangkap juga dapat berfungsi
sebagai habitat bagi organisme bermanfaat, misalnya artropoda musuh alami.

4
Penerapan polikultur dengan menanam tanaman pelindung juga dapat mencegah
terjadinya epidemi penyakit tanaman. Penanaman tanaman pelindung yang dapat
mengalihkan vektor kutu daun sebagai vektor virus akan mengurangi insidensi
penyakit virus di lahan (Smith and Robert, 2000).
Sama halnya terhadap pengendalian hama, kaitannya pola tanam dengan
perlindungan tanaman terhadap penyakit akibat patogen juga memiliki konsep
yang serupa. Tidak seperti metode kimia yang hanya menargetkan pada
pemusnahan/mengganggu siklus hidup patogen ketika patogen tersebut telah
menginfeksi dan membahayakan tanaman, dalam pengelolaan penyakit tanaman
secara terpadu menargetkan untuk memutus siklus hidup patogen sejak awal,
salah satunya dengan pengelolaan sistem tanam (Meynard, et al., 2003).

5
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem penanaman sangat berperan penting dalam pengendalian serta
perlindungan tanaman terhadap OPT. Pengaturan pola tanam merupakan salah
satu strategi dalam PHT yakni pengendalian secara kultur teknis. Dengan
pengaturan pola tanam, kondisi lingkungan di sekitar pertanaman dapat
dimanipulasi sehingga tidak menguntungkan bagi OPT. Selain itu, pola tanam
juga dapat memutus siklus hidup OPT dan mengurangi populasinya di lahan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Barbercheck, M.E. 2015. Using Diversity as a Pest Management Tool.


https://eorganic.org/node/917 (Diakses pada Tanggal 6 Juni 2020).

Blanco, H. and Lal, R. 2008. Principles of Soil Conservation and Management.


Dordrecht: Springer.

Hasyim, A., Wiwin S., dan Liferdi L. 2015. Inovasi Teknologi Pengendalian
OPT Ramah Lingkungan pada Cabai: Upaya Alternatif Menuju
Ekosistem Harmonis. Pengembangan Inovasi Pertanian, 8(1): 1-10.

Inayati, A. dan Marwoto, M. 2015. Kultur Teknis sebagai Dasar Pengendalian


Hama Kutu Kebul Bemisia tabacii Genn. pada Tanaman Kedelai.
Buletin Palawija, 29: 14-25.

Kurniawati, N. dan Edhi M. 2015. Peran Tumbuhan Berbunga sebagai Media


Konservasi Artropoda Musuh Alami. Perlindungan Tanaman Indonesia,
19(2): 53-59.

Meynard, J.M., Thierry D., and Phillippe L. 2003. Agronomic Approach:


Cropping Systems and Plant Diseases. Comptes Rendus Biologies, 326:
37-46.

Smith, H.A. and Robert M. 2000. Intercropping and Pest Management: A Review
of Major Concepts. American Entomologist, 46(3): 154-161.

7
LAMPIRAN

Barbercheck, M.E. 2015. Using Diversity as a Pest Management Tool.


https://eorganic.org/node/917 (Diakses pada Tanggal 6 Juni 2020).

8
Blanco, H. and Lal, R. 2008. Principles of Soil Conservation and Management.
Dordrecht: Springer.

9
Hasyim, A., Wiwin S., dan Liferdi L. 2015. Inovasi Teknologi Pengendalian
OPT Ramah Lingkungan pada Cabai: Upaya Alternatif Menuju
Ekosistem Harmonis. Pengembangan Inovasi Pertanian, 8(1): 1-10.

10
Inayati, A. dan Marwoto, M. 2015. Kultur Teknis sebagai Dasar Pengendalian
Hama Kutu Kebul Bemisia tabacii Genn. pada Tanaman Kedelai.
Buletin Palawija, 29: 14-25.

11
Kurniawati, N. dan Edhi M. 2015. Peran Tumbuhan Berbunga sebagai Media
Konservasi Artropoda Musuh Alami. Perlindungan Tanaman Indonesia,
19(2): 53-59.

12
Meynard, J.M., Thierry D., and Phillippe L. 2003. Agronomic Approach:
Cropping Systems and Plant Diseases. Comptes Rendus Biologies, 326:
37-46.

13
Smith, H.A. and Robert M. 2000. Intercropping and Pest Management: A Review
of Major Concepts. American Entomologist, 46(3): 154-161.

14

Anda mungkin juga menyukai