Anda di halaman 1dari 39

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman padi merupakan tanaman yang termasuk genus Oryza L. yang

meliputi kurang lebih 25 spesies dan tersebar di daerah tropis dan subtropis seperti

di Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Padi yang sekarang ini merupakan

persilangan antara Oryza officianalis dan Oryza sativa F Spontane. Di Indonesia

pada awalnya tanaman padi diusahakan di lahan kering dengan sistem lading

tanpa pengairan dan hal ini dilakukan juga di beberapa negara dan pada akhirnya

orang berusaha memantapkan hasil usahanya dengan mangandalkan pengairan di

daerah yang airnya kurang (Hasanah, 2007).

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman penghasil pangan utama di

Asia. Padi tergolong tanaman C3 dan toleran terhadap kondisi pengairan. Padi

bisa ditanam pada kondisi tanah darat (tegal) dan tanah tergenang (sawah). Pada

iklim tropis, tanaman padi tertentu ditanam pada musim hujan (tersedia cukup air)

( Hutomo, 2011).

Kepik adalah salah satu hama penting tanaman padi yang menyerang pada

fase generatif. Hama ini mulai menyerang ketika tanaman padi mulai berbunga

hingga matang susu. Kepik menyerang dengan menghisap cairan pada bulir padi

hingga menyebabkan bulir padi menjadi hampa. Serangan hama yang cukup

tinggi dapat menyebabkan tanaman padi gagal panen atau menurunkan kualitas

gabah serta kuantitas hasil produksi. Salah satu contoh kepik yang merusak

tanaman padi adalah kepik hitam Paraeuscosmetus pallicomis

(Anggraini et al., 2014).

Laba-laba terdapat melimpah dialam dan dapat beradaptasi diberbagai

habitat. Umumnya laba-laba tidak berbahaya bagi manusia, hanya beberapa jenis
2

saja yang dianggap merugikan karena racun yang dikeluarkannya. Laba-laba

termasuk binatang karnivora yang mempunyai sifat kanibal, yaitu sering

memangsa laba-laba yang lain yang lebih lemah. Disamping itu ternyata laba-laba

dapat bertindak sebagai predator hama yang cukup efektif , khususnya bagi hama

kepik hitam, hama padi dan tanaman pangan lainnya. Kehadiran laba-laba disuatu

ekosistem mempunyai hubungan yang erat dengan populasi hama dan keadaan

ekologi ekosistem tersebut (Laba, 2001).

B. bassiana (Bals.) Vuil. merupakan entomopatogen kosmopolitan,

tumbuh alami di tanah dan bersifat patogen pada spesies serangga tertentu dan

beberapa isolat dari B.bassiana telah dikomersialkan. B. bassiana menghasilkan

racun (toksin) yang dapat mengakibatkan paralisis secara agresif pada larva dan

imago serangga. Beberapa racun yang telah berhasil diisolasi dari B. bassiana

antara lain Beauvericine, Beauverolide, Isorolide, dan zat warna serta asam

oksalat (Dirjen Perkebunan, 2007).

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara

pengendalian hama kepik hitam (Paraeuscosmetus pallicomis ) pada tanaman

padi (Oryza sativa L.) dengan menggunakan predator laba-laba dan penggunaan

pestisida nabati ekstrak serai di lahan Fakultas Pertanian USU.

Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk dapat memenuhi komponen penilaian di Laboratoriun Pengendalian Hama

Terpadu Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara, Medan. Dan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi


Tanaman padi termasuk dalam keluarga rumput – rumputan dengan

species Oryza sativa L.. Adapun klasifikasi tanaman padi adalah sebagai

berikut : Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; Sub divisi : Angiospermae;

Kelas : Monotyledonae; Ordo : poales; Family : Gramineae (Poaceae);

Genus : Oryza; Spesies : Oryza sativa L. (Bambang et al., 2004)

Bagian tanaman padi dalam garis besarnya terdiri dari dua bagian besar,

yaitu bagian vegertatif yang meliputi akar, batang, dan daun serta bagian generatif

yang meliputi malai yang terdiri dari bulir-bulir daun bunga (Sanur, 2009)

Akar tanaman padi keluar kira-kira 5-6 hari setelah berkecambah, dari

batang yang masih pendek itu keluar akar-akar serabut yang pertama dan sejak itu

perkembangan akar-akar serabut tumbuh teratur. Pada saat tanaman berumur 15

hari akar serabut berkembang dengan pesat. Dengan semakin banyaknya akar-

akar serabut ini maka akar tunggang yang berasal dari akar kecambah tidak

kelihatan lagi. Letak susunan akar kira-kira pada kedalaman 20-30 cm, karena itu

akar banyak mengambil zat-zat makanan dari bagian tanah yang di atas. Akar

tunggang dan akar serabut mempunyai bagian akar lagi yang disebut akar

samping dan yang keluar dari akar serabut disebut akar rambut

(Bambang et al., 2004).

Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu

dengan yang lainnya dipisah oleh suatu buku. Ruas batang padi di dalamnya

berongga dan bentuknya bulat. Dari atas ke bawah, ruas batang itu makin pendek.

Ruas-ruas yang terpendek terdapat di bagian bawah dari batang dan ruas-ruas ini

praktis tidak dapat dibedakan sebagai ruas-ruas yang berdiri sendiri. Pada tiap-tiap
4

buku terdapat sehelai daun. Di dalam ketiak daun terdapat kuncup yang tumbuh

menjadi batang. Pada buku- buku yang terletak paling bawah mata-mata ketiak

yang terdapat antara ruas batang-batang dan upih daun tumbuh menjadi batang-

batang sekunder yang serupa dengan batang primer. Batang-batang sekunder ini

pada 8 gilirannya nanti menghasilkan batang-batang tersier dan seterusnya.

Peristiwa ini disebut pertunasan atau menganak (Siregar, 2001).

Daun padi terdiri dari helai daun yang berbentuk memanjang seperti pita

dan pelepah daun yang menyelubungi batang. Pada perbatasan antara helai duan

dan upih terdapat lidah daun. Panjang dan lebar dari helai daun tergantung kepada

varietas padi yang ditanam dan letaknya pada batang. Daun ketiga dari atas

biasanya merupakan daun terpanjang sedangkan daun bendera merupakan panjang

daun terpendek dan dengan lebar daun yang terbesar (Bambang et al., 2004).

Suatu malai terdiri dari sekumpulan bunga-bunga padi (spikelet) yang

timbul dari buku paling atas. Ruas buku terakhir dari batang merupakan sumbu

utama dari malai, sedangkan butir-butir nya terdapat pada cabang- cabang pertama

maupun cabang-cabang kedua. Pada waktu berbunga, malai berdiri tegak

kemudian terkulai bila butir telah terisi dan menjadi buah (Sanur, 2009).

Bunga padi adalah bunga telanjang artinya mempunyai perhiasan bunga.

Berkelamin dua dengan bakal buah yang di atas. Jumlah benang sari ada 6 buah,

tangkai sarinya pendek dan tipis, kepala sari besar serta mempunyai kandungan

serbuk. Putik mempunyai dua tangkai putik, dengan dua buah 9 kepala putik yang

berbentuk malai dengan warna pada umumnya putih atau ungu. Malai padi terdiri

dari tangkai bunga, dua sekam kelopak yang terletak pada dasar tangkai bunga

dan beberapa bunga. Masing-masing bunga mempunyai dua sekam mahkota, yang
5

terbawah disebut lemma sedang lainnya disebut palea, dua lodicula yang terletak

pada dasar bunga sebenarnya adalah dua daun mahkota yang sudah berubah

bentuknya (Syamsuddin, 2007).

Yang sehari-hari kita sebut biji padi atau butir/gabah, sebenarnya bukan

biji melainkan buah padi yang tertutup oleh lemma dan palea. Buah ini terjadi

setelah selesai penyerbukan dan pembuahan. Lemma dan palea serta bagian-

bagian lain membentuk sekam (kulit gabah). Dinding bakal buah terdiri dari tiga

bagian: bagian paling luar disebut epicarpium, bagian tengah disebut

mesocarpium dan bagian dalam disebut endocarpium. Biji sebagian besar

ditempati oleh endosperm yang mengandung zat tepung dan sebagian ditempati

oleh embryo (lembaga) yang terletak dibagian sentral yakni dibagian lemma. Pada

lembaga terdapat daun lembaga dan akar lembaga. Endosperm umumnya terdiri

dari zat tepung yang diliputi oleh selaput protein. Endosperm juga mengandung

zat gula, lemak, serta zat-zat anorganik (Rochman et al., 2005).

Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman padi dapat tumbuh baik di daerah yang mempunyai suhu panas

dan banyak mengandung uap air, yaitu daerah yang mempuyai iklim panas dan

lembab serta curah hujan 1.500 – 2.000 mm per tahun dengan suhu udara lebih

dari 230C . tanaman padi dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran

tinggi tempat 1.500 meter di atas permukaan laut (Suparyono, 2003)

Panjang hari dan temperatur yang tidak sesuai dapat menyebabkan

pembungaan yang terlalu cepat atau dapat tertundanya pembungaan yang

mengakibatkan tidak meratanya kemasakan bulir sehingga terjadi penurunan


6

hasil, selain itu tanaman padi menyukai lahan yang terbuka dengan intensitas

penyonaran 100 % (Sianturi, 2000).

Faktor iklim memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan

produksitanaman padi disuatu daerah melalui perbedaan curah hujan, suhu,

kelembaban udara,sinar matahari, kecepatan angin dan perbedaan gas dalam

atmosfer. Tanaman paditumbuh didaerah tropis / subtropis pada 450 LU sempai

dengan 450 LS dengan cuacapanas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan

empat bulan. Rata – rata curahhujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500 –

2000 mm/tahun (Siregar, 2001).

Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang berhawa panas

dengan temperatur melebihi 230C. Pengaruh temperatur terhadap tanaman padi

juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah bulir kosong dan penurunan kualitas

hasil (Rahayu, 2002)

Angin mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap tanaman padi.

Pengaruh positifnya terutama pada proses penyerbukan dan pembuahan. Tetapi

angin juga berpengaruh negatif, karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri

atau jamur dapat ditularkan oleh angin, dan apabila terjadi angin kencang pada

saat tanaman berbunga, buah dapat menjadi hampa dan tanaman roboh. Hal ini

akan lebih terasa lagi apabila penggunaan pupuk N berlebihan, sehingga tanaman

tumbuh terlalu tinggi (Pustaka Departemen Pertanian, 2009).

Tanah
Tanah Tanaman padi tidak terikat pada satu jenis tanah. Tanaman ini dapat

memberikan hasil yang memuaskan pada hampir tiap jenis tanah asal saja

persyaratan kesuburan yang dibutuhkan dapat terpenuhi (Sianturi, 2000).


7

Tanah yang cocok untuk bertanam padi adalah tanah gembur dan kaya

bahan organik. Tekstur tanah bisa lempung, lempung berdebu, atau lempung

berpasir. Derajat keasaman (pH) 11 normal antara 5,5 – 7,5 pada ketebalan lapisan

antara 18 – 22 cm. kemiringan tidak lebih dari 8 % (Suparyono, 2003)

Meskipun tanaman padi dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi untuk

padi yang ditanam dilahan persawahan memerlukan syarat - syarat tertentu,

karena tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Sistim tanah

sawah, lahan harus tetap tergenang air agar kebutuhan air tanaman padi tercukupi

sepanjang musim tanam, oleh karena itu jenis tanah yang sulit menahan air kurang

cocok dijadikan lahan persawahan. Sebaiknya tanah yang sulit dilewati air sangat

cocok dibuat lahan persawahan dengan ketebalan lapisan oleh tanah berkisar

antara 18-22 cm ( Sianturi, 2000).

Kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sangat

ditentukanoleh oleh beberapa faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan

kondisihidrologi, porositas tanah yang rendah dan tingkat keasaman tanah yang

netral,sumber air alam, serta kanopinas modifikasi system alam oleh kegiatan

manusia. Tanah yang baik untuk pertumbuhantanaman padi adalah tanah sawah

yang kandungan fraksi pasir, debu dan lempungdalam perbandingan tertentu

dengan diperlukan air dalam jumlah yang cukup. Padidapat tumbuh dengan baik

pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya 18-22 cmdengan pH 4,0-7,0

(Suparyono, 2003).

Keasaman tanah yang dikehendaki tanaman padi adalah antara pH

4,0–7, 0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanah menjadi

netral (7,0). Pada prinsipnya, tanah berkapur dengan pH 8,1–8, 2 tidak merusak
8

tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan

reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati

netral (Ariel, 2002).

Biologi Kepik Hitam (Paraeuscosmetus pallicomis)


Klasifikasi biologi hama kepik hitam adalah sebagai berikut: Kingdom :

Animalia; Filum : Arthropoda; Kelas : Insecta; Ordo : Hemiptera; Family :

Lygaeidae; Genus : Paraeuscosmetus; Spesies : Paraeuscosmetus pallicomis

(Anggraini et al., 2014).

Warna telur transparan dan ukuran panjang rata-rata 1 mm. Masa inkubasi

berkisar 6-9 hari. Total masa perkembangan dari telur hingga dewasa berkisar

antara 35 sampai 39 hari. Nimfa memiliki bentuk seperti semut dan berwarna

hitam. Tahap dewasa berlangsung lebih lama, sekitar dua kali lebih lama dari

tahapan individu pasca pembentukan embrio. Biologi dari Paraeucosmetus

pallicornis (Dallas) telah diteliti di bawah kondisi laboratorium pada kisaran suhu

sekitar 28oC - 30oC, dalam tabung reaksi (Estoy dan Tabudlong, 2013).

Telur diletakkan satu persatu secara acak atau berkelompok 2 - 5 yang

berdampingan. Telur berwarna putih susu dan berbentuk bulat panjang dan mudah

lepas atau jatuh bila disentuh. Menuju penetasan telur berubah menjadi merah

bata, rata-rata periode peletakan telur 2,50 hari, periode pemijahan rata-rata 19,40

hari, dan setelah betina dewasa bertelur, jantan hidup rata-rata dari 40,60 hari.

Jumlah telur betina 167,20 dan daya tetas telur butir mencapai 64,15%

(Rahayu et al., 2015).


9

Nimfa
Nimfa mempunyai 5 instar nimfa sebelum dewasa. Durasi dari instar 1

yaitu 3-9 hari, instar 2 selama 3-10, instar 3 selama 3-11 dan instar 4 yaitu 4-11.

Instar 1 berwarna merah dan kepala berwarna hitam. Nimfa instar 2-5 tubuh

berwarna coklat sedikit kecolatan. Tubuh nimfa yang baru menetas mencapai

ukuran 1,19 mm, dan nimfa terpanjang ditemukan di instar 5, mencapai 6,02 mm.

Lama stadia nimfa adalah 18,70 hari (Santosa dan Sulistyo, 2007).

Imago
Nimfa dan imago memiliki bentuk yang sama. Imago didominasi oleh

warna hitam dan sedikit emas serta imago aktif di pagi dan sore hari . Ukuran

betina cenderung lebih panjang dan lebih besar dari jantan. Betina memiliki

tonjolan perut di bagian abdomen ventral dan ada garis putih sedikit lebih terang

dari jantan. Antena terdiri dari empat bagian. Mata majemuk menonjol, tungkai

depan agak besar dibandingkan dengan dua pasang tungkai belakang. Secara

umum, bertelur di malam hari (Rahayu et al., 2015).

Gambar 1. Imago Kepik Hitam Paraecosmetus pallicornis


10

Gejala serangan Paraecosmetus pallicornis


Bahwa P. pallicornis merusak isi bulir tanaman padi sampai matang susu,

sehingga menyebabkan biji menjadi ramping. Hama ini mulai berada di

pertanaman saat padi berada dalam fase bunting sampai saat panen. P. pallicornis

dapat menyerang bulir tanaman padi mulai pengisian susu, matang susu sampai

padi mulai menguning. Jadi terlihat terjadi kompetisi dalam memperebutkan

makanan karena adanya keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup

(Salaki dan Senewe, 2012).

Kerusakan yang ditimbulkan oleh kepik hitam ini antara lain yaitu beras

menjadi coklat kehitaman, mudah hancur apabila digiling dan apabila dimasak

terasa pahit. Serangga cenderung mengisap bulir-bulir padi pada pagi hari,

sebagian didapatkan pada daun maupun batang. Serangga dapat ditemukan pada

tanaman muda sampai dengan tanaman menjelang panen. Pada sore hari serangga

sangat aktif bergerak di bagian tanaman dan di bagian tanah, sebagian lagi

cenderung bersembunyi di rekahan tanah (Lestari, 2014).

Jamur Aspergillus sp. berperan penting sehingga serangga P. pallicornis

membuat bekas tusukan pada padi sehingga beras menjadi pahit pada saat

dimasak. Jamur yang berasosiasi dengan P. palicornis menyebabkan gejala yang

jelas toksisitas pada biji-biji padi dan bibit padi dengan menunjukkan bahwa bibit

padi yang diinokulasi Aspergillus, gejala pertumbuhan terhambat, pengerdilan,

dan klorosis pada daun bibit padi yang terinfeksi dan kepahitan beras dan dedak.

Gejala-gejala ini mungkin karena aksi racun daripada enzim. Aspergillus spp.

mengeluarkan sejumlah zat beracun seperti aflatoksin, ochratoxin. Kerusakan

yang ditimbulkan P. palicornis tidak hanya disebabkan oleh cedera mekanik

melalui mengisap dan menusuk dari stylet serangga, tetapi juga oleh gangguan
11

metabolisme melalui intervensi Aspergillus baik di vegetatif dan fase generatif

pengembangan padi. Kerusakan pada fase vegetatif adalah sama pentingnya

dengan bahwa kerusakan butir padi dalam fase generatif (Rosmana et al., 2014).

Gambar 3. Gejala serangan pada beras dan bulir padi


(Amin et al., 2015 ; lestari, 2014).

Penyebaran Paraeuscosmetus pallicomis


Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa hasil monitoring terhadap hama

P. pallicornis menunjukkan bahwa hama ini telah ditemukan menyebar di

Kabupaten Minahasa Tenggara. Awalnya hama ini ditemukan pertama kali di

pertanaman padi sawah di Toraut Kecamatan Dumoga Kabupaten Bolaang

Mongondow pada tahun 1985. Kini hama P. pallicornis sudah menyebar pada

pertanaman padi sawah di Sulawesi Utara. Hasil pengamatan pada tahun 2011

keberadaan hama ini telah ditemukan di seluruh Kabupaten Minahasa Selatan.

Selanjutnya pengamatan tahun 2012 awal, hama ini telah menyebar di daerah

Minahasa Tenggara. Hasil survei secara umum menunjukkan keberadaan hama ini

telah ditemukan di semua wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara.

Peta sebaran serangan hama P. pallicornis di Kabupaten Minahasa Tenggara

(Kecamatan Ratatotok, Kecamatan Tombatu dan Kecamatan Ratahan). Data


12

survey ini menunjukkan penyebaran hama P. pallicornis di Sulawesi Utara telah

sangat luas (Salaki dan Senewe, 2012).

Ekologi Paraeuscosmetus pallicomis


P. pallicornis baik stadia nimfa dan imago aktif di permukaan tanaman

pada malai padi dan ujung-ujung daun. Aktifitas dari serangga ini pada pada pagi

dan sore, siang hari nimfa dan imago turun ke bagian bawah tanaman untuk

berlindung dan beristirahat di antara daun (Rosmana et al., 2014).

Serangga hama biasanya bersembunyi pada bagian tanaman. P.palicornis

berada pada semua ketinggian tempat dengan populasi yang beragam pada

berbagai tingkat umur tanaman padi, sedangkan rata-rata populasi P. pallicornis

berdasarkan tingkat umur tanaman tertinggi berturut-turut pada tanaman berumur

71 hari setelah tanam (hst), kemudian 61 hst, dan 51 hst (Kaparang et al., 2011).

Di Indonesia serangga Lygaedae banyak spesiesnya sebagai fitofag pada

bunga-bungaan, jeruk dan merupakan saprofag serta sebagian kecil hidup sebagai

hama gudang. Hama P. pallicornis selain hidup pada padi juga dijumpai pada

gulma seperti Paspalum conjugatum sebagai tanaman inang lain

(Salaki dan Senewe, 2012).

Pengendalian Paraeuscosmetus pallicomis


Dewi et al. (2013) menyatakan bahwa pada penelitian sebelumnya dengan

menggunakana teknologi yang berbasis bahan alami bioaktif dan strategi

pemanfaatannya di lapangan dihubungkan dengan teknologi lainnya berdasarkan

prinsip PHT sehingga didapatkan teknologi pengendalian kepik hitam yang ramah

lingkungan yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa esktrak tanaman yang berpotensi dikembangkan untuk mortalitas serangga

dewasa adalah Vitex trifolia dan nimbi. Setelah diisolasi juga ditemukan mikroba
13

yang berasal dari tubuh kepik hitam yaitu Aspergilus sp dan Gliogladium sp.

Aplikasi B. bassiana terhadap hama Paraeucosmetus sp. memperlihatkan

serangga uji agak lambat bergerak dan selanjutnya mengalami kematian

(Dewi et al., 2013).

Pengaruh suhu dan iklim terhadap perkembangan serangga


Suhu
Perkembangan serangga hama dipengaruhi oleh beberapa faktor biotik dan

abiotik. Contoh faktor biotik adalah keberadaan predator dan tingkat fekunditas

sedangkan faktor abiotik terdiri atas faktor lingkungan seperti temperatur,

kelembaban, pH, dan curah hujan. Menurut Petzoldt and Seaman (2010), sebagai

hewan yang berdarah dingin, serangga memiliki temperatur tubuh hampir sama

dengan temperatur lingkungan, sehingga temperature memiliki peranan penting

yang akan mempengaruhi tingkah laku, distribusi, pertumbuhan, kelangsungan

hidup, dan reproduksi. Suhu menjadi penting sebagai faktor pembatas yang

mempengaruhi segala aktivitas serangga dan memiliki daya adaptasi tertentu

dengan lingkungan (Petzoldt dan Seaman, 2010).

Kelembaban
Kelembaban udara bisa mempengaruhi aktivitas serangga. BBPPTP

Ambon (2013) menjelaskan bahwa kelembaban atau curah hujan merupakan

faktor penting yang mempengaruhi penyebaran, aktivitas, dan perkembangan

serangga. Serangga harus memperhatikan kandungan air dalam tubuhnya, karena

kandungan air yang turun melewati batas toleransi akan membuat serangga mati.

Berkurangnya kandungan air berakibat pada kerdilnya pertumbuhan dan

rendahnya laju metabolism dalam tubuh serangga. Kandungan Universitas

Sumatera Utara 10 air dalam tubuh serangga bervariasi, umumnya berkisar antara
14

50-90% dari berat tubuh. Serangga yang memiliki kulit tebal, kandungan airnya

lebih rendah. Serangga akan berusaha menyeimbangkan kandungan air dalam

tubuhnya untuk bertahan hidup. Kelembapan juga berpengaruh pada kemampuan

bertelur dan pertumbuhan serangga (Pribadi dan Anggraeni, 2010).

Sinar matahari / Cahaya


Intensitas dan lama penyinaran sinar matahari juga sangat berpengaruh

terhadap serangga. Beberaa seranga aktip hanya pada malam hari, sedangkan yang

lainnya aktif selama siang hari.Beberapa serangga menghindari cahaya terang,

Beberapa aktivitas serangga dipengarui oleh responya terhadap cahaya sehingga

timbul jenis serangga yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya

matahari dapat mempengarui aktifitas dan distribusi lokalnya (Jumar, 2000).

Biologi Predator Laba – Laba

Kingdom : animalia, Filum : arthropoda, Kelas : arachnida, Ordo : aranae,

famili : salticidae. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan ciri – ciri sebagai

berikut laba – laba ini memiliki ciri antara lain ; tubuh berwarna coklat berukuran

kecil sampai medium, tubuh gemuk dan bertungkai pendek, setiap kaki memiliki

bulu – bulu kecil, memiliki 4 pasang kaki yang masing – masing kakinya

bersegmen, Perut laba – laba ini berbentuk bulat dan penuh bulu. Dalam

ekosistem hewan ini bertindak sebagai pemangsa atau predator hewan yang lebih

kecil terutama pada siang hari (Borror, 1996).

Salticidae merupakan famili laba-laba yang memiliki anggota paling

banyak (5 jenis) didapatkan di Area Hutan Bukit Tanjung Datok. Banyaknya laba-

laba dari Famili Salticidae yang ditemukan pada kawasan itu disebabkan famili
15

tersebut paling mudah beradaptasi dan memiliki persebaran yang luas. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan (Peng et al., 2002).

Laba-laba dari famili ini tidak memiliki sarang untuk menjebak mangsa

karena laba-laba ini merupakan tipe pemburu yang akan mengikuti dan menerkam

mangsa dengan memanfaatkan indera penglihatan dan kemampuan laba-laba

tersebut untuk melompat jauh (Jakob et al., 2007).

Famili Salticidae mudah dikenali melalui pola mata yang memiliki 4

pasang mata dengan mata median anterior yang sangat besar. Mata laba-laba

tersebut tersusun atas 3 baris. Selain itu, Famili Salticidae memiliki. Ukuran

prosoma berkisar 3,1-3,8 mm dan ophistosoma berkisar 2-5 mm. Struktur

prosoma lebih tinggi letaknya dari ophistosoma. Struktur tubuh seperti ini

berfungsi untuk menempatkan mata yang berukuran besar dan memudahkan

labalaba untuk melompat jauh (Peng et al., 2002).

Mekanisme Kerja Predator

Kebanyakan laba-laba memang merupakan predator (pemangsa)

penyergap, yang menunggu mangsa lewat di dekatnya sambil bersembunyi di

balik daun, lapisan daun bunga, celah bebatuan, atau lubang di tanah yang

ditutupi kamu flase. Beberapa jenis memiliki pola warna yang menyamarkan

tubuhnya di atas tanah, batu atau pepagan pohon, sehingga tak perlu bersembunyi,

(Foelix, 1996).

Pada cephalothorax melekat empat pasang kaki, dan satu sampai empat

pasang mata. Selain sepasang rahang bertaring besar (disebut chelicera), terdapat

pula sepasang atau beberapa alat bantu mulut serupa tangan yang

disebut pedipalpus. Pada beberapa jenis laba - laba, pedipalpus pada hewan jantan
16

dewasa membesar dan berubah fungsi sebagai alat bantu dalam perkawinan. Laba-

laba tidak memiliki mulut atau gigi untuk mengunyah. Sebagai gantinya, mulut

laba-laba berupa alat pengisap untuk menyedot cairan tubuh mangsanya

(Sebastian et al., 2009).

Laba-laba terutama memakan serangga dan artropoda lainnya, seperti

Colembola, Diptera, Homoptera, Orthoptera, Coleoptera, Lepidoptera dan juga

laba-laba. Berbagai jenis laba – laba menerapkan strategi yang berbeda untuk

menangkap mangsanya (Foelix, 1996).

Laba-laba pembuat jarring berhubungan langsung dengan arsitetur

vegetasi karena merupakan prasyarat untuk dapat menempatkan jaringnya. Jumlah

secara dramatis meningkat ketika lapisan serasah semakin tebal dan lembab,

karena lebih banyak tersedia mangsa, tempat untuk bersembunyi dan terhindar

dari suhu ekstrim (Rysptra et al., 1999).

Pelestarian Predator

Ada dua langkah yang sangat penting untuk melestarikan musuhalami: 1)

Usahakan menggunakan pestisida kimiawi seminimal mungkin, karena musuh

alami mudah mati jika terkena pestisida kimiawi. 2) Tanam dan lestarikan

tanaman berbunga di dekat/dalam lahan pertanian. Sari madu dan serbuk sari dari

bunga membantu musuh alami berkembangbiak (Borror, 1996).

Laba-laba merupakan organisme yang dapat ditemukan hampir di seluruh

permukaan bumi dari daerah kutub hingga daerah padang pasir yang kering. Laba-

laba umumnya ditemukan berlimpah di tempat dengan vegetasi rapat karena

merupakan tempat ideal untuk bersarang dan lebih banyak terdapat sumber

makanan (Hawkeswood, 2003).


17

Kehadiran laba-laba pada suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh factor

lingkungan, seperti suhu, kelembaban, angin, dan intensitas cahaya. Faktor

biologis, seperti tipe vegetasi, ketersediaan makanan, pesaing, dan musuh-

musuhnya merupakan faktor-faktor yang membatasi kehadiran laba-laba pada

suatu ekosistem. Tingginya kelimpahan laba-laba pada perkebunan disebabkan

oleh melimpahnya serangga hama yang berada di daerah tersebut. Pada lahan

perkebunan selain ditanam tanaman budidaya di sekitarnya juga terdapat

tumbuhan lainnya dari famili Asteraceae dan Poaceae. Keberadaan vegetasi

bukan-tanaman di sekitar tanaman budidaya juga turut menambah kompleksitas

lanskap perkebunan. Kehadiran tanaman berbunga ini dapat menyebabkan banyak

serangga yang merupakan mangsa dari laba-laba dapat hidup pada vegetasi

tersebut (Suana dan Yaherwandi, 2009).

Struktur fisik habitat, seperti adanya daun, ranting, dan bagian tanaman

lainnya merupakan tempat laba-laba untuk melekatkan benang-benang

bingkainya. Pelekatan benang – benang bingkai ini merupakan tahap awal yang

dijalani laba-laba dalam pemilihan tempat membuat jaring. Habitat dengan

struktur yang kompleks akan memiliki kenaekaragaman laba-laba yang tinggi

(Uniyal dan Hore, 2008).

Analisis keanekaragaman jenis laba-laba sesuai dengan fase pertumbuhan

tanaman dengan menggunakan indeks Shannon Wiener. Metode ini sensitive

terhadap perubahan kelimpahan spesies yang jarang dalam suatu komonitas.

Untuk analisis statistic dilakukan secara deskriptif (Sudhikumar et al., 2005).


18

Pemanfaatan Predator Terhadap Pengendalian Hama

Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa atau serangga

lain. Didaerah kepulauan Maluku pada umumnya dan khususnya daerah

Kabupaten Halmahera Utara ada beberapa predator yang sangat efektif

mengendaalikan hama Sexava yaitu burung Taun-taun dan juga burung Pata

Bagai akan tetapi sekarang jarang untuk di temukan lagi. Predator merupakan

organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa,

serangga lain (Jumar, 2000).

Pengendalian secara alamiah atau biologi terhadap hama dan penyakit

tanaman merupakan salah satu cara untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan

dan kerusakan lingkungan. Laba-laba (Araneae) adalah salah satu agen biologi

yang sangat potensial dalam pengendalian hama serangga pada ekosistem

pertanian. Kepadatan populasi dan kelimpahan spesies komunitas laba-laba

(biodiversity) pada ekosistem alamiah dan termasuk pertanian adalah tinggi

(Platnick, 2009).

Laba-laba adalah predator generalis berperan penting dalam mereduksi,

dan mencegah terjadinya ledakan hama secara alami pada budidaya tanaman

pertanian serta berkontribusi pada keanekaragaman hayati (Oberg, 2007).

Laba-laba dapat dipertimbangkan membantu pengaturan (regulate)

kepadatan populasi serangga hama. Sebagai predator generalis, laba-laba

dianggap lebih efisien daripada predator spesialis untuk menekan hama pada

habitat yang sering mengalami gangguan seperti praktek budidaya tanaman

pertanian (Wissinger, 1997).


19

Pestisida Nabati Daun Serai

Minyak serai wangi mengandung senyawa aktif yang dapat digunakan

sebagai bahan baku pestisida nabati untuk mengendalikan hama dan penyakit

tanaman. Hal ini berkaitan dengan sifatnya yang mampu membunuh, mengusir,

dan menghambat makan hama, serta mengendalikan penyakit tanaman yang

bersifat antijamur, antibakteri, antivirus, dan antinematoda (Isman, 2000).

Komponen kimia dalam minyak serai wangi sangat komplek, namun

komponen yang terpenting adalah citronellal dan geraniol. Kedua komponen

tersebut menentukan intensitas bau, harum, serta nilai harga minyak serai wangi

(Grainge dan Ahmed, 1988).

Komposisi minyak serai wangi terdiri dari 30-40 komponen, yang

termasuk kelompok alkohol, hidrokarbon, ester, aldehid, keton, oxida, terpene dan

sebagainya. Menurut komponen utama penyusun minyak serai wangi adalah (1)

citronellal (C10H16O) atau rhodinal atau 3,7- dimethyloct-6-en-1-al (C10H18O)

adalah monoterpenoid, komponen utama dalam campuran senyawa kimia

terpenoid yang memberikan aroma lemon yang khas; (2) geraniol (C10H18O)

adalah monoterpenoid dan alkohol; dan (3) citronelol (C10H20O) atau

dihydrogeraniol, adalah monoterpenoid asiklik. Komposisi terbesar dalam minyak

serai wangi adalah citronellal, yaitu 32-45%, geraniol 12-18%, citronelol 11-15%,

geranil asetat 3- 8%, sitronelil asetat 2-4%. Terdapat 24 jenis komponen kimia

yang menyusun minyak serai wangi (Guenther, 2006).

Serai wangi mempunyai mekanisme pengendalian anti serangga,

insektisida, antifedan, repelen, antijamur, dan antibakteri. Daun dan batangnya

mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol, selain itu daunnya juga


20

mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri mengandung komponen sitronela,

sitral, geraniol, metilheptenon, eugenol-metilester, dipenten, eugenol, kadinen,

kadinol, dan limonen. Bagian tanaman yang berpotensi mengendalikan hama

adalah daun dan minyak atsirinya. Kandungan senyawa serai wangi antara lain

geraniol 55- 65%dan sitronela 7-15% (Grainge dan Ahmed, 1988).

Aktivitas dari minyak serai wangi terhadap serangga adalah sebagai

penolak (repelent), menarik (attractant), racun kontak, racun pernafasan,

mengurangi nafsu makan, menghambat peletakkan telur, menghambat

pertumbuhan, menurunkan fertilitas dan sebagai anti serangga vektor

(Isman, 2000).

Entomopatogen Beauveria bassiana


Proses penetrasi

Bagian cendawan yang berperan dalam proses penetrasi berupa spora atau

konidia. Penetrasi cendawan ke dalam tubuh serangga bisa melalui proses

mekanis yaitu melaui saluran pencernaan dan ruas-ruas tubuh serangga yang

lunak, dan proses kimia yaitu dengan menggunakan enzim protease, lipase,

kitinase, esterase, yang membantu menghancurkan kutikula atau kulit luar

serangga (Suwahyono, 2009).

Penempelan konidia terjadi secara pasif dengan bantuan angin atau air

sehingga terjadi kontak antara konidia dengan permukaan integumen serangga.

Selanjutnya konidia berkecambah dan menginfeksi. Perkecambahan konidia

dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi. Konidia yang telah

berkecambah membentuk tabung kecambah yang kemudian menembus integumen

serangga dan penetrasi ke dalam haemosel. Setelah masuk ke dalam haemosel,

cendawan membentuk tubuh hifa yang kemudian berkembang dalam haemolimfa


21

dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan

lemak, trakea, dan saluran pencernaan (Tantawizal et al., 2014)

Gejala awal yang terlihat pada serangga yang terinfeksi B. bassiana yaitu

serangga menjadi lemah, kepekaan dan aktivitas makan menjadi berkurang

sehingga pada akhirnya serangga akan mati. Serangga yang mati karena terinfeksi

menunjukkan gejala berupa terdapat bercak kehitaman atau bercak berwarna gelap

pada kulit yang disebabkan oleh penetrasi cendawan pada kutikula serangga

(Vega et al., 2007).

Bila kondisi lingkungan cukup lembab maka pada permukaan tubuh akan

ditumbuhi misselium cendawan yang berwarna putih sehingga menutupi tubuh

serangga. Sebelum cendawan membentuk hifa (proliferasi) dalam haemosel,

serangga mengembangkan sistem pertahanan diri. Setelah proliferasi terjadi

perubahan biokimia dalam haemolimfa terutama kandungan protein, defisiensi

nutrisi, serta toksin yang dikeluarkan oleh cendawan sehingga terjadi kerusakan

jaringan dalam tubuh serangga yang akan menyebabkan paralisis dan kematian

pada serangga. Selain itu, miselium cendawan akan mengeluarkan senyawa aktif

yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat proses

metabolisme di dalam tubuh serangga (Suwahyono, 2009).

Pada kelembaban yang cukup tinggi, konidia akan berkecambah dan

membentuk appresorium, kemudian appresorium melakukan penetrasi pada

kutikula dengan mengeluarkan enzim pendegradasi kutikula, seperti lipase,

protease, dan kitinase. Selanjutnya cendawan menyerang jaringan lunak dan

cairan tubuh serangga kemudian tumbuh untuk bersporulasi. Di dalam tubuh

serangga B. bassiana memperbanyak diri dan memproduksi toksin beauverisin


22

yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan sel-sel serangga

sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga

yang terinfeksi. Serangga yang terinfeksi B. bassiana mampu bertahan hidup

selama tiga sampai lima hari setelah penetrasi. Setelah serangga mati, hifa

cendawan menembus kutikula dari dalam dan berakhir pada pembentukan

konidiofor yang menghasilkan spora aseksual (konidia) yang berfungsi sebagai

unit dispersi dan infektif (Shahid et al., 2012).

Perusakan jaringan tubuh serangga


B. bassiana menghasilkan enzim protease yang dapat mempercepat

degradasi kutikula serangga inang, sehingga miselia B. bassiana lebih mudah

masuk ke rongga tubuh serangga, semakin tinggi enzim protease pada suatu isolat

cendawan maka akan lebih cepat mematikan. Proses infeksi cendawan

entomopatogen B. bassiana ke tubuh serangga (Vega et al., 2007).

Selain itu, B. bassiana menghasilkan enzim khitinase yang mampu

mendegradasi khitin serangga inang. Ketersediaan khitinase yang tinggi semakin

memudahkan cendawan menguraikan dan memanfaatkan khitin dari integumen

serangga inang. Khitin berguna untuk pertumbuhan hifa B. bassiana. Oleh karena

itu, semakin tinggi enzim khitinase suatu isolat semakin memudahkannya

memanfaatkan khitin dan selanjutnya meningkatkan viabilitas spora B. bassiana

sehingga proses infeksi akan semakin cepat (Herlinda et al., 2006).

Kematian serangga juga dapat disebabkan adanya tekanan masuknya hifa

pada jaringan serangga, dan peran mikotoksin beauvericin, bassionalide, dan

oosporein, yang dihasilkan oleh B. bassiana serta aksi kombinasi ketiganya akan

mempercepat matinya serangga. Mikotoksin yang dihasilkan B. bassiana juga

dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga,
23

sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga

yang terinfeksi. Selain itu, toksin tersebut dapat menghambat pembusukan yang

disebabkan bakteri pada tubuh serangga sehingga cendawan dapat melakukan

mumifikasi dengan baik pada tubuh serangga (Inglis et al., 2001).


24

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Praktikum

Adapun praktikum ini dilaksanakan di Laboatorium Pengendalian Hama

Terpadu Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara Pada Bulan September-November 2019 pada ketinggian ± 25 mdpl.

Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cangkul sebagai

alat untuk mengolah tanah, pacak sebagai penopang media tanaman padi, meteran

sebagai alat untuk mengukur luas lahan, gembor sebagai alat untuk menyiram atau

menambah volume air pada tanaman padi, buku data sebagai alat untuk tempat

data dituliskan, pena sebagai alat untuk menulis data, penggaris sebagai alat untuk

mengukur tinggi tanaman, dan jarum jahit untuk menjahit sungkup.

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah benih

Padi (Oryza sativa L.) sebagai objek yang diteliti, tanah sawah sebagai media

tanam , air sebagai media tanam tambahan agar selalu tergenang, Plang untuk

tanda per kelompok, tali plastik untuk mengikat spanduk pagar lahan, spanduk

sebagai pagar lahan, plastik untuk pengganti petakan sawah, sungkup sebagai

perangkap hama, dan benang jahit untuk menjait sungkup.

Prosedur Percobaan

1. Digemburkan tanah kemudian di ratakan, dan di buat plot per kelompok.

2. Direndam benih yang hendak ditanam di dalam air selama lebih kurang 15

menit.

3. Dibersihkan lahan dari gulma dan kotoran, lalu susun atur jarak per

plastik.
25

4. Ditanam benih yang sudah direndam pada media sebanyak 1

rumpun/lubang tanam.

5. Pemberian perlakuan pada setiap sungkup.

6. Amati mortalitas, intensitas dan gejala serangan hama pada tanaman

setiap minggu.

7. Hitung hasil pengamatan indroduksi hama pada tanaman.


26

PELAKSANAAN PERCOBAAN

Persiapan Lahan
Persiapan lahan dilakukan pada hari jum’at , 20 September 2019 yang

meliputi beberapa kegiatan diantaranya pembukaan lahan yang diawali dengan

pembersihan gulma pada lahan, pembersihan gulma yang dilakukan oleh 5 kelas

secara gotong royong, perataan tanah dilakukan agar mudah untuk meletakkan

atau menyusun polibag setiap kelompok, pembuatan parit (drainase) dilakukan

agar aliran air tidak tergenang dan sebagai pembatas antar kelas, pembuatan plot

setiap kelas dan pembuatan jalanan terrmasing-masing plot. Lahan diolah sedalam

30 cm sampai gembur. Persiapan lahan dimulai dari pembentukan plot dilakukan

dengan membuat parit, dan membentuk plot dengan ukuran 2 x 7 m.

Persiapan Media Tanam

Persiapan media tanam dengan tanah sawah, air. Setelah itu tanah sawah

yang sudah tersedia di masukkan kedalam plastik berukuran 5 kg sebanyak 5

plastik untuk masing-masing kelompok. Kemudian plastik di susun diatas dua

plot tiap kelompok dan diberi penyangga disekeliling media tanam agar plastik

yang berisi tanah sawah tidak tumbang.

Persiapan Bibit

Persiapan bibit yaitu dengan proses perendaman benih. Benih yang

digunakan adalah benih tanaman Padi (Oryza sativa L.) yang direndam di dalam

botol minuman mineral yang sudah di bersihkan selama 15 menit. Perendaman

bertujuan untuk mematahkan dormansi pada benih tersebut agar cepat mengalami

pertumbuhan.
27

Penyemaian

Penyemaian dilakukan dengan menyebarkan bibit padi ke atas nampan

plastik dengan dialasi kertas bekas, kemudian basahi kertas tersebut secukupnya,

kemudian dibiarkan bibit padi sampai keluar plumulanya.

Penanaman

Pada saat menanam, pertama yang dilakukan pada saat penanaman adalah

dengan membuat lubang tanam menggunakan sistem penugalan sebanyak 1

lubang pada setiap plastik. Pada satu lubang tanam, ditanam sebanyak 1 rumpun

Padi (Oryza sativa L.) yang telah disemai terlebih dahulu. Sehingga setiap plastik

memiliki 1 rumpun tanaman.

PemeliharaanTanaman

Penyiraman

Penyiraman dilakukan pada saat siap menanam dan setiap harinya sesuai

kondisi cuaca di lapangan. Penyiraman dilakukan pagi atau sore hari. Pada

percobaan ini diperlukan pengairan. Penyiraman bertujuan agar tanaman tetap

terpenuhi unsur hara dan kadar airnya saat pertumbuhan dan perkembangan.

Dimana apabila tanaman kekeringan maka akan mengganggu proses metabolisme

tumbuhan sehingga tanaman menjadi stress atau mencapai fase generatif lebih

cepat dari umumnya.

Penyiangan

Penyiangan bertujuan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman

pokok yang lebih baik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan presentase

hidup, untuk membersihkan lahan dari tanaman pengganggu (gulma). Penyiangan

dimulai 1 minggu setelah tanam, waktu interval penyiangan dilakukan 1 minggu


28

sekali.Cara penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma dan mencangkul.

Apabila tidak dibersihkan maka akan terjadi persaingan antara tanaman dan gulma

yang ada.

Pemasangan Sungkup

Pemasangan sungkup dilakukan pada hari jum’at, 08 November 2019. Di

pasang sungkup pada ke empat tanaman padi, dan pada setiap sungkup diberi

tanda agar dapat membedakan setiap perlakuan.

Pembuatan Pestisida Nabati

Pesitisida Nabati yang digunakan adalah ekstrak daun Serai yang

ditambahkan air dan sedikit detergen.

Introduksi Hama

Dicari hama untuk dimasukkan ke dalam sungkup pada empat perlakuan

yaitu kontrol, entomopatogen, predator, dan pestisida nabati. Hama yang

digunakan dalam percobaan ini adalah hama Kepik Hitam

(Paraeuscosmetus pallicomis) di introduksi sebanyak 6 ekor pada masing-masing

sungkup.

Introduksi Predator

Predator yang digunakan pada percobaan ini adalah laba - laba . Predator

di introduksikan sebanyak 2 ekor.

Persiapan Pestisida Nabati

Pestisida nabati yang diguanakan adalah dari bahan ekstrak daun serai

yang di haluskan dan dilarutkan didalam campuran air dan detergen. Pestisida

nabati ini digunakan sebagai bahan percobaan pengendali hama Kepik Hitam

(Paraeuscosmetus pallicomis).
29

Pengamatan Parameter
Mortalitas hama

Diamati hama yang mati disetiap perlakuan. Terdapat 6 ekor hama pada

setiap perlakuan

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝


Mortalitas hama = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑚𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑡𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑥 100

Intensitas Kerusakan

Diamati kerusakan tanaman akibat serangan hama, untuk tanaman padi,


dilihat kerusakan daun akibat serangan hama Paraeuscosmetus pallicomis disetiap
perlakuan
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘
Intensitas kerusakan = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑑𝑎𝑢𝑛 𝑥 100

Gejala serangan

Diamati gejala yang terdapat pada tanaman padi disetiap perlakuan akibat
serangan hama .
30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tanggal Perlakuan Mortalitas Hama Intensitas Serangan

Pengamatan Gejala Serangan


1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

22 November Predator 60 70 60 50 30 40 30 90 84 76 68 56 48 32 Hampir semua Daun


%
2019 s/d 28 % % % % % % % % % % % % % Berlubang, dan banyak

November daun melipat serta

2019 intensitas serangan cukup

tinggi

22 November Pestisida Nabati 50 60 60 40 50 50 30 92 86 76 70 56 42 28 Hampir semua daun

2019 s/d 28 % % % % % % % % % % % % % % berlubang kecil-kecil,

November

2019

22 November Kontrol 90 80 70 70 60 80 70 32 38 46 54 64 74 92 Daun yang berlubang dan

2019 s/d 28 % % % % % % % % % % % % % % melipat terlalu banyak,

November timbul bercak kuning

2019 keemasan seperti terbakar

pada daun dan intensitar

serangan hama tinggi

Entomopatogen

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tanaman padi

dengan perlakuan kontrol (Sungkup III) pada tanggal 22 November 2019 telah

terjadi kerusakan parah pada daun padi yaitu daun padi tersebut banyak melipat

terdapat banyak lubang dan warna menguning keemasan. Hal ini sesuai dengan

literatur (Reissig 1985) yaitu kerusakan yang disebabkan oleh hama putih palsu
31

ini adalah larva menggulung diri di dalam daun, larva memakan bagian daun yang

hijau sehingga 15 daun – daun menjadi bercak coklat atau putih pada serangan

berat, tanaman nampak seperti kena gejala terbakar dan berlubang. Hama ini

merupakan hama potensial karena sering ditemukan gejala serangan yang tinggi

yang menyebabkan kehilangan hasil yang nyata terutama di lahan yang dipupuk

tinggi dan ditanam pada musim hujan.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tanaman padi

dengan perlakuan investasi hama dan musuh alami (Sungkup ke I), pada tanggal

pengamatan 23 November 2019 didapat jumlah hama 6 ekor dan jumlah musuh 4

alami ekor dengan keadaan tanaman yaitu terdapat sobekan dan lipatan pada

bagian tepi daun (margi folii). Sobekan dan lipatan pada tepi daun diakibatkan

dari aktifitas hama putih palsu Cnaphalocrosis medinalis (Guen) dimana

kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut adalah rusaknya bagian tepi daun

dengan membuat menjadi terlipat sehingga mengurangi luas permukaan daun

hingga membuat daun seperti terbakar.Hal ini sesuai dengan

literatur(Matteson,2000) “ Hama ini dalam stadia larva menyerang tanaman padi

dan yang diserang adalah daunnya, bagian daun yang terserang berwarna putih

transparan memanjang sejajar tulang daun, karena yang dimakan pada bagian

klorofil dan yang tersisa kulit epidermis bagian atas, sehingga berpengaruh

terhadap fotosintesis. Daun akan digulung ke bagian atas dan tepi daun direkatkan

dengan benang-benang yang dihasilkan oleh larva. Larva akan tinggal dalam

gulungan daun dan memakan daun di dalamnya, serangan Cnaphallocrosis

medinalis akan berarti jika kerusakkan daun pada fase anakan maksimum dan fase

pematangan mencapai ≥ 50%”.


32

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tanaman padi

dengan perlakuan penggunaan pestisida nabati (Sungkup II) adalah hama mulai

mengalami kematian secara perlahan dikarenakan pestisida yang diberikan telah

bekerja aktif mengusir atau mengurangi nafsu makan pada hama. Pestisida nabati

seperti daun sirsak mampu megurangi populasi hama tersebut. Hal ini terlihat

pada pengamatan di hari pertama (22 november 2019) intensitas serangan hama

sebanyak 92% hingga terakhir (28 Nov 2019) menjadi 28 % . Hal ini sesuai

dengan literatur (Jannah, 2010). Kandungan daun sirsak berupa senyawa

acetoginin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Pada konsentrasi tinggi,

senyawa acetogeninmemiliki keistimewan sebagai anti feedent. Dalam hal ini,

serangga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang

disukainya. Sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut yang bisa

mengakibatkan serangga hama menemui ajalnya.

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan pada tanaman padi

dengan menggunakan bakteri Bt diketahui hasil kerusakan tanaman berkurang dan

hama mati seluruhnya dikarenakan tidak ada makanan yang tersedia diakibatkan

tanaman padi telah diberikan bakteri bt. Hal ini sesuai dengan literatur (Salaki

dan Langkah, 2009) “Di antara bakteri yang bersifat patogenik terhadap serangga,

strain anggota spesies Bacillus thuringiensis merupakan salah satu agensia hayati

yang paling menonjol dan potensial. B. Thuringiensis mempunyai kemampuan

membentuk badan inklusi parasporal sewaktu bersporulasi. Dalam badan inklusi

parasporal ini diakumulasikan δ-endotoksin. Bila termakan oleh larva serangga

yang peka, δ-endotoksin yang berupa protoksin ini dalam saluran pencernaan

insekta yang berlingkungan basa diubah menjadi toksin aktif. Saluran pencernaan
33

larva serangga juga mengandung protease yang berperan dalam pengubahan

toksin menjadi toksin aktif. Selain itu, protease mengubah daya ikat reseptor

dalam saluran pencernaan sehingga toksin dapat berikatan dengan reseptor untuk

memulai daya toksiknya”.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa

pengendalian hama terpadu dengan penggunaan musuh alami, pestisida nabati dan

bakteri Bt dapat mengurangi laju perkembangan hama salah salah satunya

Cnaphalocrosis medinalis (Guenne), selain itu dengan pengendalian hama terpadu

lingkungan dan ekosistem terjaga . Hal ini sesuai dengan literatur (Sunarno,

2006) “PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang

pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi

ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkugan

yang berkelanjutan”.
34

KESIMPULAN

1. Pada Perlakuan kontrol intensitas kerusakan yang dialami adalah paling berat

akibat serangan hama Cnaphalocrosis medinalis (Guenne).

2. Penggunaan musuh alami dapat meminimalkan kerusakan daun yang melipat

dan berlubang yang disebabkan hama Cnaphalocrosis medinalis (Guenne).

3. Penggunaan pestisida nabati ekstrak daun sirsak ternyata ampuh menurunkan

serangan hama Cnaphalocrosis medinalis (Guenne).

4. Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis dapat menurunkan serangan

populasi hama dengan cepat.

5. Penerapan pengendalian hama secara terpadu dengan memanfaatkan musuh

alami, pestisida nabati dan bakteri Bacillus thuringiensis dapat menurunkan

laju perkembangan populasi hama Cnaphalocrosis medinalis (Guenne).


35
36

DAFTAR PUSTAKA

Amin, N., L. Daha, N. Agus, A. Rosmana, dan M. Fadlan. 2015. Diversity of


some endophytic fungi associated with rice black bug Paraeucosmetus
pallicornis on rice plant. J. Chem. Pharm. Res. 7 (4):1246-1253.

Anggraini, S., S. Herlinda., C. Irsan. dan A. Umayah. 2014. Serangan hama


wereng dan kepik pada tanaman padi di sawah lebak sumatera selatan.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014. Palembang 26-27
September. pp 1-8.
Ariel, M. 2002. Budi DayaTanamanPadi. Kanisius. Yogyakarta.

Bambang,. Nugroho., dan Widjanarko. T. 2004. Kerusakan Yang Ditimbulkan


Oleh Penyakit Pada Tanaman Padi. Aceh :Universitas Serambi Mekkah

Borror, D.J., C.A, Triplehorn, N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran


Serangga. Edisi ke-6. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Dewi. V.S, S. Sjam, S.T. Untung dan R. Danial. 2013. Teknologi pengendalian
kepik hitam (paraeucosmetus pallicornis dallas) pada tanaman padi
berbasis bahan alami bioaktif tanaman. Artikel publikasi Universitas
Hasanuddin.

Dirjen Perkebunan, 2007. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal


Perkebunan Indonesia. Jakarta

Estoy, G. F. Jr., dan B. M. Tabudlong. 2013. Biology of the rice grain bug,
Paraeucosmetus pallicornis (Dallas) (Hemiptera: Lygaeidae), a new
emerging insect pest of rice. Philipp Ent. 27 (2):199-215.

Foelix RF. 1996. Biology of spider.Oxford University Press, Madison Avenue,


New York.

Grainge, M., dan Ahmed, S. 1988. Handbook of Plants with Pest Control
Properties.Wiley Interscience. New York.

Grainge, M., dan Ahmed, S. 1988. Handbook of Plants with Pest Control
Properties.Wiley Interscience. New York.

Hasanah. 2007. Ketahanan Dua puluh Satu Varietas Padi Terhadap Penyakit
Busuk Daun Bakteri. Jurnal HPT Tropika 9 (2): 168

Hawkeswood, JT, 2003, Spider of Australia: An Introduction to Their


Classification, Biology and Distribution, Pensoft, Moscow
Herlinda S., Hamadiyah, Adam T., & Thalib R. 2006. Toxicity of Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. Isolates Againts Nymphal Eurydema pulchrum
(Westw.) (Hemiptera: Pentatomidae). Agria 2(2): 34–37.
37

Hutomo. 2011. AnalisaSistemPemanenanPadi (Oryza sativa L.) yang Optimal.


Bogor : InstitutPertanian Bogor.

Inglis G. D., Goettel M. S., Butt T. M., Strasser H. 2001. Use of Hypomycetous
Fungi for Managing Insect Pests. in Butt TM, Jackson CW, Magan N,
(Eds). Fungi as Biocontrol Agent: Progress, Problems and
Potential.Wallingford: CABI. pp. 23–69.
Isman, M.B. (2000). Plant essential oil for pest and disease management. Crop
Protection, 19, 603-608.

Jakob, Elizabeth, M, Christa, D, S, Haberman, M, P, Plourde, A, 2007, "Jumping


Spider Associate Food with Colour in A T-maze" Journal of Arachnology,
vol. 35, hal. 487

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.

Kaparang, C. L., J. Pelealu, dan Ch. L. Salaki. 2011. Populasi dan intensitas
serangan Paraeucosmetus pallicornis (Hemiptera : Lygaeidae) pada
tanaman padi di kabupaten minahasa selatan. J. Eugenia. 17 (3):1-8.

Laba IW. 2001. Keaekaragaman Hayati Artropoda dan Peranan Musuh Alami
Hama Utama Padi pada Ekosistem Sawah. Makalah Falsafah Sains (PPs
702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Lestari, T. W. W. 2014. Ancaman kepik hitam Paraeucosmetus pallicornis


(Dallas) pada pertanaman padi. POPT Ahli Pertama pada Balai Karantina
Pertanian Kelas II Gorontalo.

Oberg ,S.2007.Spider in the agriculture landscape.Diversity, recolonitation, and


boddy condition. Dortoral Thesis. Swedish University of Agricultural
Sciences. Uppsala.

Peng, X, J, Tso, I, M & Li, S, Q, 2002, "Five New and Four Newly Recorded
Species of Jumping Spider from Taiwan (Araneae: Salticidae)", Zoological
Studies, vol. 41, hal. 3-4

Petzoldt, C. and A. Seaman. 2010. Climate change effect on insect and pathogens.

Platnick, Norman I (2009) The World spider catalog. Version 9.5. America
Museum of Natural History.

Pribadi, A dan Anggraeni, I. 2010. pengaruh temperatur dan kelembaban terhadap


tingkat kerusakan daun jabon (Anthocephalus cadamba) Oleh Arthrochista
hilaralis.J. Penelitian Hutan Tanaman. 8 (1) : 1-7.
Pustaka Departemen Pertanian. 2009. Kebijakan Teknis Ketanahan Pangan.
Jakarta : Departemen Pertanian
38

Rahayu M, M. Taufik, L. Karimuna dan A. Khaeruni. 2015. The biology of black


ladybug (Paraeucosmetus pallicornis dallas): a new pest on rice in
Southeast Sulawesi. Aust. J. Basic dan Appl. Sci., 9 (23):1-5.

Rahayu. 2002. Agronomi Tanaman Pangan Jilid 1 : Teori Pertumbuhan dan


Meningkatkan Hasil Padi. Lembaga Penelitian Pertanian. Padang.

Rochman, Sudarmadji, AW Anggara. 2005. Bioekologi hama tikus sawah.


Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Uji Multilokasi dan Lokakarya PTT
dan PHTT. Balitpa. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Rosmana, A., S. Sjam, D. E. Sari, U. Nurwahidah, A. A., Hakkar, A. Ala, dan N.


Gassing. 2014. Fungi associated with Paraeucosmetus pallicornis causing
apparent symptoms of toxicity in rice grains and riceseedlings. Int. J.
Curr. Microbiol. App. Sci. 3 (2):1-8.

Rysptra, Himawan Toto, Rachmawati Rina, 1999. Eksplorasi Cendawan


Entomopatogen Beauveria sp. Menggunakan Serangga Umpan Pada
Komoditas Jagung, Tomat dan Wortel Organik Di Batu, Malang. Jurnal
HPT Volume 1 Nomor 3. ISSN : 2338 – 4336.

Santosa J.S., Sulistyo, J. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Pada
Ekosistem Sawah. Jurnal Inovasi Pertanian. 6:1.

Sanur. 2009. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi Aksara, Jakarta.

Sebastian, A., Kalshoven, L.G.E. dan P.A. van der Laan. 1981. The pest
of crops in Indonesia.P.T. IchtiarBaru. Van Hoeve, Jakarta.

Shahid, A.A., A.Q. Rao, A. Bakhsh, and T. Husnain. 2012. Entomopathogenic


Fungi As Biological Controllers: New Insights Into Their Virulence and
Pathogenicity. Arch. Biol. Sci. Belgrade 64(1): 21–42.
Sianturi, L. 2000. Gema Penyuluh Pertanian Bercocok Tanam Padi. Dirjen
Tanaman Pangan. Jakarta.

Siregar, H. 2001. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.

Suana IW, Yaherwandi. 2009. Aplikasi system informasi geografi (SIG) untuk
mempelajari keragaman struktur habitat laba-laba pada lansekap pertanian
di daerah aliran sungai (DAS) Cianjur. Jurnal Ilmu Dasar 10:147–152.

Sudarmaji, H. 2005. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah


Mada University Press.

Sudhikumar., Makarim, A.K. dan I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan


Produktivitas Padi Sawah Irigasi melalui Pengembangan Model
39

Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Badan Litbang


Pertanian. Hal. 115-127.

Suparyono., E. Sulistyawati., dan R. Nugraha., 2003. BudidayaTanamanPadi di


Indonesia. Sastra Hudaya, Jakarta.

Suwahyono, U. 2009. Biopestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.


Syamsuddin. 2007. Tingkah laku tikus dan pengendaliannya. Prosiding Seminar
Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII; 2007. Sul-Sel (ID):
PEI dan PFI. hlm 179-185.

Tantawizal, Alfi Inayati, dan Yusmani Prayogo. 2014. Potensi Cendawan


Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Untuk
Mengendalikan Hama Boleng Cylas formicarius F. Pada Tanaman Ubi
Jalar. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang.
Uniyal VP, Hore U. 2008. Diversity and composition of spider assemblages in
five vegetation types of the Terai Conservation Area, India. The Journal of
Arachnology 36:251–258.

Vega, E.F, Posada, F, Aime, M.C, Ripoll, M.P, dan Infante F. 2008.
Entomopathogenic fungal endophytes. Biological control. 46: 72–82.
Wissinger SA (1997) Cyclic colonization in predictability ephemeral habitat: A
template for biological control in annual crop system. Biological Control
10:4-5

Anda mungkin juga menyukai