Anda di halaman 1dari 14

KARYA ILMIAH

MODEL AGROFORESTRY TUMPANGSARI TANAMAN KOPI DAN


LAMTORO UNTUK MENJAMIN SUSTAINABLE AGRICULTURE

Nama Kelompok 2 (Kelas A) :


1. Fajriyatul Anisa
2. Linniyatin Mursyidi
3. Anis Fitriyah
4. Rizqiyah
5. Nurul kamariyah
6. Tiara Lifta
7. Hofifatul jannah
8. Ula lutvia
9. Fadhilah q.
10. Saiful anwar
11. Dodik S.

(130311100014)
(130311100016)
(130311100017)
(130311100020)
(1303111000
(1303111000
(1303111000
(1303111000
(1303111000
(1303111000
(1303111000

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2016

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu komoditi tanaman yang
sangat lazim dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia dan termasuk
kedalam salah satu tanaman produksi yang sangat penting dalam wilayah
ekspor produksi tanaman agriculture ke luar negeri serta industri tanamn lokal
(Siswoputranto, 1992). Tanaman kopi bukan tanaman asli Indonesia,
melainkan jenis tanaman berasal dari benua afrika. Tanaman kopi dibawa ke
pulau jawa pada tahun 1969, tetapi pada waktu itu masih dalam taraf
percobaan (AAK,1988).
Lamtoro adalah salah satu jenis polong-polongan yang dianggap
serbaguna. Lamtoro telah sejak lama digunakan sebagai pohon penaung di
perkebunan kopi dan kakao serta sebagai rambatan hidup bagi tanamantanaman merambat seperti lada dan panili. Sebagai salah satu jenis polongpolongan, daun lamtoro mengandung nitrogen dengan kadar relatif tinggi
sehingga baik digunakan sebagai pupuk hijau. Lamtoro merupakan salah satu
jenis pohon penaung yang sering digunakan. Kendatipun menghasilkan biji
yang menyebar dan tumbuh menjadi gulma lamtoro tetap memenuhi
persyaratan pohon penaung yang baik bagi tanaman kopi. Apalagi saat ini
lamtoro yang tidak berbiji, sehingga salah satu sifat negative dari lamtoro
dapat diminimalisasi. Penaung tetap adalah pohon yang ditanam untuk
memberikan naungan pada tanaman kopi selama pertumbuhan hidupnya
(Anonimous, 2016).
Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan nasional yang
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia yang juga
menjadi bahan perdagangan di dunia yaitu sebagai penghasil devisa. Karena
kopi menjadi bahan perdagangan, dan menjadi sumber devisa Negara maka
dalam menyukseskannya perlu dilakukan kegiatan budidaya yang baik dan
tepat, dari kegiatan pembibitan hingga panen dan pasca panen. Tanaman kopi
sangat rentan terhadap sinar matahari yang berlebihan, untuk itu perlunya
penambahan naungan. Lamtoro biasa digunakan sebagai naungan. Pohon
penaung merupakan salah satu aspek dalam budidaya kopi yang memiliki

implikasi kuat dengan kegiatan fisiologi tanaman, khususnya fotosintesis.


Karena itu meskipun lamtoro sebagai penaung memberikan banyak manfaat,
akan tetapi penggunaanya perlu pengaturan yang benar dan terencana dengan
baik. Adapun pengaturan lamtoro sebagai pohon penaung bertujuan untuk
memberikan intensitas sinar matahari yang cukup untuk tanaman kopi,
memperlancar sirkulasi udara dan suhu udara, serta mengurangi kelembaban
udara selama musim hujan. (Aak, 2009)
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana aspek social tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi untuk
menjamin sustainable agriculture ?
b. Bagaimana aspek ekonomi tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi untuk
menjamin sustainable agriculture ?
c. Bagaimana aspek ekologi tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi untuk
menjamin sustainable agriculture ?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui aspek social tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi
untuk menjamin sustainable agriculture.
b. Untuk mengetahui aspek ekonomi tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi
untuk menjamin sustainable agriculture.
c. Untuk mengetahui aspek ekologi tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi
untuk menjamin sustainable agriculture.

II. KERANGKA PEMIKIRAN


Tanaman Lamtoro dan Kopi

Aspek Sosial

Aspek Ekonomi

Kulit biji
kopi
sebagai
pakan
ternak.

Kopi

Lamtoro

Kopi
Daun
yang
muda
dibuat
sayur.

Daun yang
tua
digunakan
untuk
pakan
ternak

Biji
kopi
dijual

Kulit biji
dijadikan
pupuk dan
dijual

Aspek Ekologi

Lamtoro

Biji dijual
dalam
bentuk
segar
maupun
kering

SUSTAINABLE AGRICULTURE

Kopi
Daun
digunak
an untuk
obat
luka

Sisa
pangkasan
dijadikan
mulsa dan
pupuk
organik

Lamtoro
Pohonnya
digunakan
sebagai
naungan
bagi
tanaman
kopi

Daun yang
sudah tua
dan gugur
dijadikan
pupuk
untuk
tanaman
kopi

III. ANALISA KESEIMBANGAN


3.1. Aspek Sosial
3.1.1. Tanaman Kopi
a. Kulit biji kopi dibuat sebagai pakan ternak
Limbah perkebunan kopi seperti kulit kopi yang dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Ternak yang dapat memanfaatkan kulit kopi masih
terbatas pada ternak ruminansia, khususnya sapi potong, sapi perah, dan
kambing. Limbah kulit kopi menurut laporan Zaenudin dan Murtisari (1995)
kandungan protein kasarnya 10,4%, kandungan ini hampir sama dengan
protein yang terdapat pada bekatul. Kandungan energi metabolisnya 3.356
kkal/kg. Selanjutnya dilaporkan bahwa kulit kopi dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak ayam.
Pemanfaatan limbah kulit kopi dipadukan dengan pengembangan
ternak dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan perkebunan, akan
berpengaruh

positif

terhadap

kelestarian

dan

keamanan

kawasan

perkebunan, sekaligus dapat memberdayakan masyarakat dalam rangka


meningkatkan pendapatannya (Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dan
BPTP Jawa Tengah, 2004).
3.1.2. Tanaman Lamtoro
a. Daun lamtoro sebagai pakan ternak
Lamtoro mengandung protein, kalsium dan energi. Menurut Jones
(1979) dan Haryanto (1993), daun lamtoro mengandung protein yang relatif
rendah tingkat pemecahannya di dalam rumen sehingga merupakan sumber
protein yang baik untuk ternak ruminansia. Kandungan proteinnya berkisar
antara 25 - 32% dari bahan kering, sedangkan kalsium dan fosfornya
berturut-turut antara 1,9 - 3,2% dan 0,15 - 0,35% dari bahan kering (Askar
dkk.,1997). Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan varietas, kesuburan
tanah, umur panen (daun muda akan mengandung protein yang lebih tinggi
daripada daun tua), iklim serta komposisi campuran daun dan tangkai daun .
Kandungan mineral lainnya seperti Fe, Co, dan Mn, menurut Mathius
(1993) masih berada diambang batas yang tidak membahayakan untuk

dijadikan pakan, sedangkan rendahnya kadar sodium dan iodium dapat


diatasi dengan pemberian mineral lengkap yang dicampur dengan garam
dapur (Jones, 1979) . Selanjutnya menurut Yates (1982) pemberian garam
dapur yang dicampur mineral suplemen (yang mengandung unsur-unsur
trace element seperti Cu, Fe, Mn, Zn, I, Co, Se, Mo, S, Ca, dan Na ) pada
hijauan lamtoro untuk domba dapat meningkatkan bobot badan harian
sebesar dua kali lipat.
Adanya zat anti nutrisi dalam hijauan Iamtoro tidak mengurangi nilai
manfaatnya sebagai pakan hijauan yang berkualitas. Pencampuran hijauan
ini ke dalam hijauan lainnya adalah salah satu cara mengurangi resiko
keracunan pada ternak ruminansia. Disamping itu proses pemanasan
(pengeringan atau pelayuan) dapat meningkatkan pemecahan mimosin
menjadi DHP yang kurang toksik (Tangendjaya dan Lowry, 1984). Menurut
Lowry (1982) pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu antara 55-700C,
bila lebih tinggi dari 70C menyebabkan terjadinya denaturasi enzim.
Perendaman lamtoro di dalam air panas pada suhu 60C selama 3 menit
dapat mengubah mimosin menjadi DHP hanya terjadi pada daun, sedangkan
pada tangkai daun tidak terjadi penurunan.
b. Daun lamtoro yang msih muda digunakan sebagai sayuran
Banyak masyarakat yang mengkonsumsi daun lamtoro yang masih
muda terutama bagian pucuknya. Daun lamtoro yang masih muda dapat
dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan botok. Selain daun lamtoro
ini mengandung banyak protein, juga memiliki rasa yang enak sehingga
banyak masyarakat mengkonsumsinya baik dalam bentuk sayur biasa
maupun sudah dijadikan botok.
3.2. Aspek Ekonomi
3.2.1. Tanaman Kopi
a. Kulit biji kopi dijadikan pupuk dan kemudian dijual
Salah satu upaya untuk mendukung pertanian berkelanjutan melalui
perbaikan tanah adalah pemanfaatan secara maksimal limbah proses
produksi kopi. Sampai saat ini, limbah organik dari perkebunan kopi belum
dimanfaatkan secara optimal. Pengolahan kopi secara basah akan

menghasilkan limbah padat berupa kulit buah pada proses pungupasan kulit
buah (pulping) dan kulit tanduk pada saat penggerbusan (hulling). Kulit
buah (pulp) kopi umumnya ditumpuk di sekitar lokasi pengolahan selama
beberapa bulan. Limbah kulit buah hasil pengolahan basah umumnya belum
dimanfaatkan secara optimal sehingga mencemari lingkungan karena
menurunkan kualitas air sungai, menimbulkan bau tidak sedap dan
mengganggu estetika. Sementara itu, limbah kulit buah kopi tersebut
memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk
memperbaiki tanah. Hasil penelitian Baon et al. (2005) menunjukkan bahwa
kadar C-organik kulit buah kopi adalah 45,3%, kadar nitrogen 2,98%, fosfor
0,18%, dan kalium 2,26%. Selain itu, kulit buah kopi juga mengandung
unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dengan prosessing tertentu, limbah kulit
buah kopi dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai amelioran tanah
utuk meningkatkan daya dukung tanah bagi pertumbuhan dan produksi
tanaman. Pemanfaatan limbah tersebut diharapkan dapat memperbaiki
kesuburan tanah, meningkatkan produksi, mengurangi pencemaran,
meningkatkan nilai tambah, mengurangi masukan (input) pupuk anorganik
dan menjamin keberlanjutan usaha perkebunan kopi. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui cara pemanfaatan limbah kulit buah kopi
yang optimal sebagai amelioran tanah di perkebunan kopi.
b. Biji kopi dijual
Dilihat dari segi ekonomi, biji kopi sangat memberi keuntungan bagi
para petani kopi dalam meningkatkan pendapatan mereka. Biji kopi bahkan
bisa dipanen saat hijau yang juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan
harganya tidak jauh berbeda dari harga kopi yang dipanen setelah merah.
Ismawan mengatakan dalam artikelnya bahwasanya petani dan pedagang
pengumpul kopi dari Bantaeng menuturkan bahwa kopi Robusta panen hijau
yang sudah dipecah kulitnya dihargai Rp. 4.000,00 per liter oleh pedagang
pengumpul desa, dan kopi Arabika dihargai Rp. 6.500,00 per liter.
Sementara, biji kopi dari panen merah dihargai Rp. 5.000,00 per liter untuk
jenis Robusta dan Rp. 6.500,00 per liter untuk Arabika.

Berbeda halnya dengan pedagang pengumpul di tingkat desa,


pedagang pengumpul biji kopi di kota besar seperti Makassar sudah
semakin selektif dalam menerima dan mengirim biji kopi. Mereka
memberikan harga yang berbeda antara kopi hasil panen hijau dan merah.
Menurut Ramli, selisih harga kopi Arabika yang dipanen merah dengan
yang dipanen hijau ketika dijual di Makassar mencapai Rp 7.000,00/kg.
Harga kopi beras hasil panen hijau Rp 18.000,00/kg, sedangkan hasil panen
merah Rp 25.000,00/kg. Perbedaan yang signifikan tersebut menjadi pemicu
para petani kopi di Pattaneteang yang menjual langsung biji kopinya ke
Makasar untuk memilih panen merah demi menjaga kualitas dan
memperoleh harga tinggi. Selain di Pattaneteang, keuntungan kopi hasil
panen merah juga telah dirasakan oleh petani di Kelurahan Campaga yang
telah menjadi pemasok kopi ke salah satu kafe di Jakarta.
3.2.2. Tanaman Lamtoro
a. Biji lamtoro dijual

Buah lamtoro gung yang muda dapat dijadikan sebagai lalapan dan
bahan makanan yang biasa disebut dengan botok. Kandungan gizi biji
lamtoro gung relatif lengkap dan tidak jauh berbeda dengan kandungan gizi
biji kedelai. Menurut Mahmud dkk. (2008) biji lamtoro gung tanpa kulit
mempunyai kandungan gizi yang terdiri dari kalori 367 kkal, karbohidrat
32,5 g, protein 46,4 g, lemak 5,4 g, kalsium 136 mg, fosfor 441 mg, zat besi
23,3 mg, vitamin A 18900 g, vitamin B1 0,06 mg, vitamin C 9,3 mg dan
air 10,2 g untuk setiap 100 g.
Penelitian mengenai pemanfaatan biji lamtoro gung telah dilakukan
oleh Komari (1999) yakni proses fermentasi biji lamtoro gung dengan
Rhizopus oryzae untuk dijadikan tempe. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi biji lamtoro gung
dengan Rhizopus oryzae meningkatkan kelarutan protein dan karbohidrat.
Dengan adanya berbagai penelitian mengenai kandungan gizi dari biji
lamtoro, banyak masyarakat yang mengkonsumsinya sebagai bahan baku
dalam pembuatan makanan, dan bahkan dapat dijadikan sebagai bahan baku
dalam pembuatan tempe, dengan begitu biji lamtoro ini layak untuk dijual,

dan masyarakat sudah mulai ada yang menjualnya walaupun masih dengan
harga yang murah.
b. Daun lamtoro digunakan untuk obat luka
Tanaman petai cina juga berkhasiat sebagai obat cacingan, luka baru
dan bengkak. Penggunaan daun petai cina di masyarakat untuk obat
bengkak biasanya digunakan daun petai cina yang masih segar dengan cara
dikunyah-kunyah atau ditumbuk halus dan ditempelkan pada bagian yang
luka atau bengkak (Thomas, 1992). Berdasarkan penelitian tersebut dapat
dikembangkan dengan menjadikannya obat herbal atau jamu sehingga dapat
dijual pada masyarakat.
3.3. Aspek Ekologi
3.3.1. Tanaman Kopi
a. Sisa pangkasan digunkan sebagai mulsa dan pupuk organik
Sisa pangkasan dari tanaman kopi ini diletakkan diatas permukaan
tanah dalam area tanaman kopi dan lamtoro. Sisa pangkasan dari tanaman
kopi dapat dijadikan sebagai mulsa sementara. Manfaat dari pemberian
mulsa dapat menjaga kelembaban tanah, sehingga tanah tidak menjadi
kering. Selain itu dengan adanya sisa pangkasan tanaman kopi ini dapat
menyerap

air ketika

terjadi hujan deras, sehingga

tidak terjadi

penggenangan air. Hal itu berlangsung sebelum sisa pangkasan tanaman


kopi tersebut terurai sempurna oleh mikroorganisme.
Sebagian besar unsur hara yang dikembalikan ke lantai hutan adalah
dalam bentuk serasah. Unsur hara ini tidak dapat langsung diserap oleh
tumbuhan, tetapi harus melalui proses dekomposisi terlebih dahulu. Cepat
lambatnya proses dekomposisi serasah juga merupakan salah satu indikator
cepat atau lambatnya humus terbentuk; humus sangat penting bagi
konservasi tanah dan air (Hadiwinoto dkk., 1994).
Menurut Mason (1977) terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah,
yaitu:
1. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan
yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.

2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktorfaktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.
3. Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh
makhluk hidup yang melakukan dekomposisi.
Tanaman kopi tumbuh dengan cepat sehingga pada umur tiga tahun
tajuknya sudah hampir menutupi seluruh permukaan tanah.Tetapi, pada fase
pertumbuhan cepat ini tidak banyak daun tua yang mati dan gugur menjadi
seresah yang bisa menambah bahan organik di lapisan tanah atas. Jumlah
seresah yang dihasilkan tanaman kopi muda masih sangat sedikit. Pada
tahun ke tujuh setelah penanaman kopi baru terlihat adanya peningkatan
kualitas sifat fisik tanah yakni laju infiltrasi, jumlah pori makro dan kadar
bahan organik yang nilainya bertambah besar dibandingkan dengan tahun
ketiga. Peningkatan sifat fisik tanah ini sebagian besar merupakan
kontribusi dari bahan organik yang berasal dari pelapukan seresah dedaunan
terutama daun kopi. Namun penanaman kopi monokultur belum bisa
mengembalikan fungsi hidrologis hutan secara penuh, limpasan permukaan
dan erosi pada lahan kopi jauh lebih besar dibandingkan yang terjadi pada
lahan hutan (Widianto dkk., 2011).
3.3.2. Tanaman Lamtoro
a. Tanaman lamtoro sebagai penaung tanaman kopi
konsep pola agroforestri pada dasarnya secara perlahan mampu
menekan emisi karbon dan efek rumah kaca karena kopi dan tanaman
penaung merupakan carbon sink yang baik. Kebijakan beberapa produsen
kopi di Amerika Tengah yang mengikuti kesepakatan Kyoto mengenai
carbon squestration, memperoleh bonus dari CO2 yang dapat diserapnya
setelah merubah pola tanam kopi monokultur menjadi pola agroforestri
(Vaast & Hermand, 2002).
Keberadaan tanaman penaung khususnya dari family leguminoseae,
meningkatkan kesuburan tanah (bahan organik dan siklus hara), dan lebih
menjamin keberlanjutan usaha tani kopi. Pada lingkungan yang kurang
optimum, tanaman penaung berfungsu menurunkan penyinaran matahari
yangberlebih dan menyangga suhu udara dan kelembaban relatif yang dapat

berpengaruh negatif terhadap fisiologis tanaman kopi. Tanaman penaung


memegang peranan penting bagi pekebun kopi di Amerika Tengah oleh
dampaknya

terhadap

sumber

daya

lingkungan

seperti

konservasi

biodiversitas, konservasi tanah, dan kualitas air serta sebagai preservasi


karbon (Vaast et al., 2008).
Sampai saat ini, lamtoro (Leucaena sp.) masih dipandang sebagai
pohon penaung paling ideal untuk tanaman kopi. Mengacu pada sifat-sifat
tanaman lamtoro, maka pemilihan pohon penaung produktif, selain
pertimbangan nilai ekonomi dan peluang pasar, hendaknya dipilih yang
memiliki struktur tajuk yang mudah diatur, dapat meneruskan cahaya difus,
berakar dalam dan tidak menjadi inang hama-penyakit tanaman utama.
Pemanfaatan pohon produktif yang tajuknya kurang ideal masih
dimungkinkan melalui penyesuaian jarak tanam dan tata tanam yang tepat
(Winaryo et al., 1991).
b. Daun lamtoro yang sudah tua digunakan sebagai pupuk pada tanaman
kopi
Lamtoro (Leucaena sp.) yang ditanam rapat dengan jarak antar baris
satu meter, mampu menghasilkan pupuk hijau sebanyak 120 ton/ha/tahun
sehingga dapat menyumbangkan 1.000 kg nitrogen, 200 kg asam fosfat dan
800 kg potasium, berturut-turut setara dengan 50 kg potasium muriate.
Fiksasi N atmosfer menambahkan kesuburan tanah, murah dan tidak
mengganggu lingkungan (Padmowijoto, 2004).
Berdasarkan penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwasanya daun
lamtoro yang sudah tua dan gugur dapat bermanfaat bagi tanaman kopi
karena kandungan unsur N dalam daun lamtoro ini cukup tinggi sehingga
kebutuhan unsur N pada tanaman kopi dapat terpenuhi dengan adanya
seresah daun lamtoro tersebut.

IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
a. Aspek sosial dari tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi yang dapat
menjamin sustainable agriculture diantaranya yaitu kulit biji kopi dan daun
lamtoro yang sudah tua digunakan sebagai pakan ternak, daun lamtoro
yang masih muda digunakan untuk sayur.
b. Aspek ekonomi dari tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi yang dapat
menjamin sustainable agriculture diantaranya yaitu biji kopi dan lamtoro
dijual, kulit biji kopi dijadikan pupuk kemudian dijual, serta daun lamtoro
dibuat obat luka yang kemudian dapat dijual.
c. Aspek ekologi dari tumpang sari tanaman lamtoro dan kopi yang dapat
menjamin sustainable agriculture diantaranya yaitu sisa pangkasan dari
tanaman kopi dapat dijadikan mulsa sementara dan pupuk organik, pohon
lamtoro digunakan sebagai penaung bagi tanaman kopi, daun yang sudah
tua dan gugur dijadikan pupuk untuk tanaman kopi.
4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2009. Budidaya Tanaman Kopi . Yogyakarata. Kanisius.


AAK. 1988. Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta: Kanisius.
Anonimous. 2009. Lamtoro Sebagai Naungan. (online) detiktani.blogspot.com di
akses 05 Juni 2016.
Askar, S. dan Nina Marlina. 1997. Komposisi Kimia Beberapa Hijauan Pakan.
Bulletin Teknik Pertanian. 2 (1) : 7 - 11.
Baon, J.B.; R. Sukasih & Nurkholis (2005). Laju Dekomposisi dan Kualitas
Kompos Limbah Padat Kopi: Pengaruh Aktivator dan Bahan Baku
Kompos. Pelita Perkebunan, 21, 31 42.
Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah dan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Tengah. 2004. Pengembangan Ayam Hibrida di Sekitar
Kawasan Perkebunan.
Hadiwinoto S, Supriyo H, Mangkuwibowo F. dan Sabarnurdin S. 1994. Pengaruh
Sifat Kimia terhadap Tingkat Dekomposisi Beberapa Jenis Daun
Tanaman Hutan. Manusia dan Lingkungan. Nomor 4 Tahun II. 25-36.
Haryanto, B. dan A. Djajanegara. 1993 . Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat Makanan
Ternak Ruminansia Kecil . Sebelas Maret University Press. Hal 192194.
Jones, R.J. 1979. The Value of Leucaena Leucocephala as a Feed for Ruminants
in Tropics . World Anim . Rev ., No . 31 . Hal 13-23.
Komari. 1999. Proses Fermentasi Biji Lamtoro Gung Dengan Rhizopus Oryzae.
Jurnal Mikrobiologi Indonesia, Vol 4(1): 19-21.
Lowry, J.B. 1982. Detoxification of Leucaena by Enzymatic or Microbial
Processes. in Proc. Leucaena Research in the Asian-Pacific Region.
IDRC, 211-e. Hal 49-54.
Mahmud M.K., Hermana, N.A. Zulfianto, R.R. Apriyantono, I. Ngadiarti, B.
Hartati, Bernadus, dan Tinexcelly. 2008. Tabel Komposisi Pangan
Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Mason, CF. 1977. Decomposition. The Institute of Biology.s Studies in Biology
No. 74. Edward Arnold. London.
Mathius, I.W. 1993. Tanaman Lamtoro Sebagai Bank Pakan Hijauan yang
Berkualitas Untuk Kambing - Domba. Wartazoa . 3(1) : 24-29.

Padmowijoto, S. 2004. Pengembangan Model Pertanian Terpadu. Workshop


Agroforestri 2004 fakultas kehutanan. Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada.
Siswoputranto, P.S. 1992. Kopi Internasional Dan Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Tangendjaja, B. and J.B. Lowry. 1984. Peranan Enzym di dalam Daun Lamtoro
pada Pemecahan Mimosin oleh Ternak Ruminansia. Proc. Pertemuan
Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbangnak . Bogor. Hal 12-15.
Thomas, A. N. S. 1992. Tanaman Obat Tradisional 2. Jakarta : Penebar Swadaya.
Vaast, P. dan J.M. Harmand. 2002. The Importance of Agroforestry Systems fo
Cofree Production in Central America and Mexico. Recherche et
Cafeiculture, CIRAD, 35-43.
Vasst, P.; R. van Kanten; P. iles; J. Aigrand dan A. Aquilar. 2008. Biophyaical
Interaction Between Timber Trees and Arabica Coffee in Suboptimal
Conditions of Central America. p 133-146. In : Toward agroforestry
Design. Springer, Netherlands.
Widianto, Hairiah K, Suhardjito D, Mustofa AS. 2011. Fungsi dan Peran
Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 3. World Agroforestry Centre
(ICRAF) Southeast Asia. Bogor.
Winaryo, A. M. Nur, dan Soenaryo. 1991. Pengaruh Kerapatan Pohon Penaung
terhadap Daya Hasil Kopi Robusta Berbatang Ganda. Pelita
Perkebunan 7 (3) : 68-73.
Yates, N .G. 1982. Mineral Supplements Double Growth Rate of Sheep Fed
Leucaena. Research report 1982. Balitnak, Ciawi . p . 43.
Zaenudin, D., dan T.Murtisari. 1995. Penggunaan Limbah Agro-Industri Buah
Kopi (Kulit Buah Kopi) dalam Ransum Ayam Pedaging (Broiler).
Prosiding Pertemuan Ilmiah Komunikasi dan Penyaluran Hasil
Penelitian. Ungaran : Sub Balai Penelitian Klepu.

Anda mungkin juga menyukai