Anda di halaman 1dari 3

Areal Tanaman Kehidupan Dalam Bingkai Kebijakan

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan HTI salah satunya ditentukan oleh faktor stabilitas dan keamanan areal
dari konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut terbukti dari kegagalan pengelolaan hutan
konvensional dimana keberadaan perusahaan memicu terjadinya perlawanan dari masyarakat sekitar
hutan yang merasa dirugikan karena HTI menutup atau setidaknya mengurangi akses mereka
terhadap sumberdaya. Sering kali dijumpai didalam areal konsesi HTI terdapat kebun-kebun
masyarakat yang menantang klaim legalitas konsesi dengan klaim-klaim tradisional/adat. Konflik yang
terus-menerus akan menyebabkan kerugian dikedua belah pihak, yaitu pihak pemegang HTI tidak
dapat melakukan kegiatan pengusahaan dengan baik, sementara itu masyarakat juga tidak bisa
melakukan kegiatan ekonomi produktif secara tenang karena dihantui stigma sebagai perambah
illegal yang sewaktu-waktu bisa menyeret mereka dalam kasus hukum.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sekaligus untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan adalah melalui skema kebijakan Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Collaborative
Forest Management/CFM) baik di hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan produksi. Pada
kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin, kegiatan CFM dilakukan melalui kemitraan antara
pemegang izin dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Salah satu bentuk kemitraan di hutan
tanaman industri (HTI) adalah kemitraan pengelolaan areal tanaman kehidupan oleh masyarakat di
sekitar areal kerja HTI. Areal tanaman kehidupan wajib dialokasikan oleh pemegang HTI pada areal
kerjanya.

Tanaman Kehidupan

Tanaman kehidupan adalah tanaman untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat
berupa tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu dan atau tanaman yang menghasilkan
hasil hutan bukan kayu, dan atau tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat (food security) yang
dikelola melalui pola kemitraan antara masyarakat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHKHTI) yang bersangkutan (Kemenhut 2015).

Pengelolaan tanaman kehidupan merupakan kegiatan yang ditujukan meningkatkan fungsi hutan
secara maksimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang mencakup aspek sosial
ekonomi dan budaya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan harapan agar masyarakat
menjadi partner dalam pembangunan hutan, serta memperbaiki lingkungan biofisik lingkungan sekitar
hutan sehingga tercapai kesinambungan yang harmonis antara masyarakat dengan hutan. Pencapaian
tujuan pengelolaan tanaman kehidupan antara lain ditentukan oleh komitmen yang positif dari
pemegang izin HTI dan masyarakat sebagai mitranya, serta peran serta dari berbagai pihak terkait.
Komitmen positif dari pemegang izin HTI diantaranya dengan membangun saling kepercayaan dan
komitmen, dukungan teknologi, sarpras dan modal. Adapun komitmen masyarakat lebih tercermin
pada partisipasi yang positif untuk mendukung program tanaman kehidupan

Transformasi Kebijakan Tentang Areal Tanaman Kehidupan

Kewajiban penyediaan areal tanaman kehidupan tersebut diatur melaui beberapa kebijakan yang
diawali dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995 jis Nomor 246/Kpts˗II/1996
dan P.21/Menhut˗II/2006 tentang Tata Ruang HTI. Kewajiban tersebut dikuatkan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor
P.62/Menhut˗II/2008 yang beberapa kali diubah, dengan Nomor P.19/Menhut˗II/2012 tentang
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan
Tanaman Rakyat, dan P. 12/Menlhk-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri yang
dirubah menjadi P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri LHK
no P. 12/Menlhk-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995 jis Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
246/Kpts˗II/1996

Kewajiban penyediaan areal tanaman kehidupan pertamakali diatur melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995. Pada aturan ini didefinisikan “Tanaman kehidupan adalah
tanaman tahunan/pohon yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu yang bermanfaat bagi
masyarakat” dimana luasan yang ditetapkan untuk areal tanaman kehidupan adalah sebesar ± 5% dari
suatu unit areal HTI. Areal tanaman kehidupan diletakkan pada batas luar areal HTI yang berbatasan
dengan pemukiman penduduk (sebagai buffer zone), berfungsi sebagai pengamanan melalui fungsi
sosial ekonomi.

Perubahan pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts˗II/1996 tidak merubah aturan
tentang tanaman kehidupan baik secara definisi maupun ketentuan luas areal.

P.21/Menhut˗II/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 246/Kpts-II/1996


tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 70/KPTSII/1995 Tentang Pengaturan Tata
Ruang Hutan Tanaman Industri

Peraturan ini merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya dimana terdapat perubahan definisi
tentang Tanaman Kehidupan. Pada peraturan ini tanaman kehidupan didefinisikan sebagai berikut :”
Tanaman Kehidupan adalah tanaman untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
dapat berupa tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu atau tanaman tahunan/pohon
yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu, atau gabungan dari keduanya dan dikelola dalam skala
usaha yang ekonomis oleh masyarakat melalui pola kemitraan dengan perusahaan pemegang ijin
IUPHHK-HT yang bersangkutan”.

Definisi diatas memperlihatkan adanya perluasan konsep tanaman kehidupan dimana jika pada
peraturan sebelumnya tanaman kehidupan hanya dibatasi pada HHBK maka pada peraturan ini sudah
mengakomodir jenis tanaman pokok yang menghasilkan kayu atau kombinasi antara HHBK dan
produk kayu. Disini juga sudah disinggung tentang skala usaha dan pola usaha. Peraturan ini tidak
merubah aturan terkait luasan areal tanaman kehidupan.

P. 12/Menlhk-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Pada peraturan ini terdapat perubahan definisi dimana Tanaman Kehidupan yaitu : “Tanaman
Kehidupan adalah tanaman untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat berupa
tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu dan/atau tanaman yang menghasilkan hasil
hutan bukan kayu, dan/atau tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat (food security) yang dikelola
melalui pola kemitraan antara masyarakat dengan pemegang IUPHHK-HTI yang bersangkutan”.

Pada definisi terbaru ini dapat dilihat ada pengakuan terhadap pentingnya menjaga keamanan pangan
(food security) masyarakat sehingga diakomodir sebagai salah satu jenis yang bisa ditanam pada areal
Tanaman Kehidupan. Peraturan ini merubah ketentuan luasan areal tanaman kehidupan secara cukup
signifikan dimana pada peraturan sebelumnya luasan areal Tanaman Kehidupan adalah seluas 5% dari
total areal HTI, pada peraturan ini ditentukan menjadi 20% dari areal kerja. Untuk lokasi areal tanaman
kehidupan diarahkan pada areal rawan konflik dan/atau berdekatan dengan pemukiman masyarakat
dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat melalui pola kemitraan.

P.17/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri LHK no P.


12/Menlhk-II/2015 Tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Pada peraturan terbaru ini, areal tanaman kehidupan tidak ditentukan luasan peruntukannya. Hal
tersebut dikarenakan perubahan peraturan yang ada lebih terkait dengan pengaturan ulang IUPHHK-
HTI yang memiliki areal gambut didalamnya melalui revisi RKUPHHK-HTI. Perubahan tata ruang hutan
tanaman yang didalamnya terdapat kawasan gambut berkonsekuensi pada perubahan peruntukannya
dimana ada kemungkinan areal tanaman kehidupan beralih peruntukan menjadi fungsi lindung
ekosistem gambut atau menjadi fungsi budidaya Ekosistem Gambut sehingga penetapan luasan pada
areal tanaman kehidupan tidak lagi memungkinkan.

Untuk areal tanaman kehidupan yang berubah fungsi menjadi fungsi lindung dan sudah ada
tanamannya maka berdasarkan peraturan ini pemanfaatannya akan diatur sebagai berikut:

a. tanaman hasil hutan kayu dapat dipanen 1 (satu) daur untuk kemudian diganti dengan jenis
tanaman asli;

b. tanaman hasil hutan non kayu, dapat dimanfaatkan hasil hutan non kayunya;

c. wajib dilakukan pemulihan; dan

d. dialokasikan sebagai Kawasan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dalam tata ruang IUPHHKHTI.

Pada konteks perubahan areal tanaman kehidupan menjadi fungsi budidaya maka kegiatan
pengelolaan areal tanaman kehidupan dapat dilanjutkan dengan tetap mempertahankan fungsi
hidrologis gambut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada kasus jika Pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya diatas atau sama dengan 40% (empat
puluh perseratus) ditetapkan menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dapat mengajukan
areal lahan usaha pengganti (land swap) dimana pada areal tersebut diwajibkan alokasi seluas 40%
untuk usaha kelola masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai