Anda di halaman 1dari 6

Tugas Mata Kuliah

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


“Pelestarian Kawasan Ekosistem di sekitar Wilayah Pertambangan”

Makalah ini disusun oleh:


Firdaus Ramadhika - 1506734456
Yosua Sigit Wicaksono - 1506729531
M. Ali Akbar - 1506741114

Program Studi S1 Geologi


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2018
Program Studi Geologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

Abstrak
Hingga saat ini, di Indonesia masih banyak terdapat kegiatan penambangan liar yang
umumnya dilakukan oleh masyarakat lokal. Sangat disayangkan karena sebenarnya sudah
terdapat peraturan yang dibuat oleh pemerintah terutama yang berasal dari daerah pertambangan
liar terkait. Hal tersebut menimbulkan satu dampak buruk, yaitu rusaknya ekosistem yang ada di
sekitar wilayah pertambangan tersebut. Rusaknya ekosistem menunjukkan bahwa peraturan
tentang pelestarian lingkungan hidup yang berlaku hingga saat ini masih belum bisa dijalankan
secara maksimal dikarenakan perlindungan terhadap peraturan tersebut belum bisa dijalankan
secara maksimal. Akibatnya, banyak penambang liar yang makin berani melanggar aturan
tersebut.
Kata Kunci: ekosistem, penambangan liar, peraturan

Pendahuluan
Kondisi ekosistem di sekitar lokasi pertambangan menjadi salah satu dari sekian banyak
hal yang kurang diperhatikan, terutama saat sedang dijalankannya kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi. Berbagai ekosistem, seperti kawasan karst, bisa rusak dengan mudah akibat
pertambangan yang terkesan dilakukan tanpa perhitungan mengenai lingkungan hidup yang
tepat. Kondisi ini bagaikan dua sisi mata uang, dimana di satu sisi kegiatan pengambilan sumber
daya yang ada akan menghasilkan keuntungan secara ekonomis, namun di sisi lain kegiatan
seperti ini akan berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem yang ada di sekitarnya.
Peraturan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah terkait pengelolaan lingkungan
hidup jelas memiliki peran penting dalam menangani kerusakan semacam ini. Namun, sejalan
dengan aturan yang ada, tindakan nyata pemerintah belum terlihat sehingga banyak ekosistem
yang terganggu akibat adanya kegiatan penambangan secara liar. Salah satu yang bisa diambil
contoh adalah Peraturan Perundang-Undangan no. 32 th. 2009 sebagai undang-undang yang
berperan untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan tersebut terdapat
enam poin penting yang menjadi ruang lingkup dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
Kriteria ekonomi dan sosial untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat secara
gamblang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 yang diterjemahkan lagi dalam UU No.11 tahun
1967 yang kini telah disempurnakan menjadi UU No. 4 tahun 2009 tentang ketentuan pokok-
pokok pertambangan yang berbunyi, “Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai Karunia Tuhan Yang
Maha Esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan dipergunakan oleh Negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Undang-undang tersebut telah mengakomodasi konsepsi
pertambangan “berkelanjutan” dan kriteria lingkungan, sebagai contoh dalam pasal 30
disebutkan, “Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan,
Program Studi Geologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian


rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya, penyakit, atau bahaya lainnya bagi masyarakat
sekitarnya” ( UU No. 11 tahun 1967 yang kini telah disempurnakan menjadi UU No.4 tahun
2009).

Metode Penelitian
Ada beberapa metode yang bisa dilakukan dalam penelitian mengenai pengelolaan
lingkungan hidup ini. Salah satunya adalah melakukan pendekatan sosio-legal, yaitu pendekatan
yang memadukan kajian normatif dan empirik, artinya dalam pengkajiannya, hukum
dikonsepkan sebagai norma sekaligus sebagai kenyataan/realitas. Selain konsep penelitian diatas,
ada metode lain yang digunakan, dimana metode ini bersifat kualitatif. Artinya, penelitian yang
dilakukan difokuskan kepada kedalaman dan detail data.
Penelitian kualitatif bertujuan sebagai metode pengumpul data, sedangkan untuk analisis
data dilakukan penelitian yang lebih bersifat preskripsit, yaitu penelitian untuk mendapat saran-
saran yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah yang terjadi. Dalam konteks kasus
pengelolaan lingkungan hidup ini, saran yang diinginkan haruslah terkait dan sesuai dengan
peraturan yang telah dibuat sebelumnya oleh pemerintah.

Hasil dan Pembahasan

1. Kondisi Hutan di Indonesia


Setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah musnah. Dalam kurun waktu 12 tahun
(1985-1997), sekitar 30% dari lahan kehutanan yang ada di Sumatera telah hilang,
sedangkan di Kalimantan telah hilang 21%. Satu-satunya peruntukan hutan Indonesia
yang masih bisa diharapkan dalam kondisi baik adalah hutan lindung dan kawasan
konservasi. Luas kawasan lindung Indonesia sebesar 55,2 juta hektar yang terbagi atas
31,9 juta hektar berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya merupakan kawasan
konservasi.
Contoh kasus kerusakan hutan akibat aktifitas pertambangan :
a. PT. Kelian Equatorial Mining menutup tambangnya di Kelian, Kalimantan
Timur pada tahun 2003. Perusahaan ini membiarkan lubang tambangnya
seluas 1.766.250 m 2 sedalam 600 meter tanpa mampu dihutankan kembali
dengan alasan keterbatasan teknologi dan mahalnya biaya yang dibutuhkan.
b. PT. Freeport Indonesia membuang limbah tailing langsung ke sungai Ajkwa
telah mematikan ratusan hektar hutan di kawasan operasi tambangnya.
Program Studi Geologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

c. PT. Newmont Minahasa raya menutup tambangnya pada tahun 2003 dan
meninggalkan 6 lubang bekas tambang yang tidak dihutankan kembali.

2. Upaya Pemerintah Lokal dalam Melakukan Upaya Perlindungan Hukum Masih


Kurang

Kurangnya upaya pemerintah diketahui dari hasil penelitian kualitatif yang


dilakukan lewat wawancara kepada berbagai narasumber, terutama pihak pemerintah
daerah dan juga instansi yang bersangkutan dengan bidang terkait (pada kasus ini adalah
pertambangan). Hal tersebut ditengarai dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Yang pertama adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap izin yang


seharusnya lebih dulu dilakukan sebelum melakukan kegiatan penambangan. Faktor ini
dianggap menjadi faktor yang paling sulit diselesaikan karena menyangkut aspek
kesadaran tiap individu terkait. Kajian mengenai kesadaran seseorang harus dilakukan
dan dipertimbangkan dari berbagai aspek yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat,
seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Kesadaran inilah yang akan
menjadi penentu berhasil atau tidaknya hukum dalam masyarakat. Bisa jadi, masyarakat
yang melakukan penambangan tanpa izin melakukan hal tersebut dikarenakan faktor
ekonomi atau pendidikannya yang cenderung rendah sehingga pengetahui mengenai
perizinan dan dampak yang ditimbulkan masih sangat kurang.
Faktor kedua adalah para penambang illegal tersebut merupakan warga lokal
wilayah terkait sehingga mereka merasa bahwa lahan yang mereka tambang adalah lahan
mereka sendiri, sehingga dirasa izin tidak diperlukan dalam melakukan kegiatan
penambangan illegal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pola pikir warga lokal
tentang penambangan bisa menjadi kegitana mata pencaharian yang efektif untuk
mendapat keuntungan secara langsung dibanding bidang lain sudah semakin menjamur.

Faktor ketiga adalah kurangnya pemahaman masyarakat untuk menjaga dan


melestarikan ekosistem yang ada di sekitar wilayah pertambangan. Mereka lebih
mementingkan kesejahteraan secara ekonomi dibanding kelestarian lingkungan di
dalamnya serta berbagai objek yang ada baik hayati maupun non-hayati. Tindakan yang
dilakukan sejak dulu ini meliputi tiga yang utama, yaitu:
1. Konsumsi yang berlebihan hingga saat ini sehingga ketersediaan SDA akan
semakin sedikit di masa mendatang yang otomatis akan meningkatkan nilai
jual dan memperberat kondisi ekonomi generasi di masa mendatang.
2. Konsumsi yang habis-habisan hingga sekarang membuat minimnya
pilihan/opsi sumber daya alam di masa mendatang.
Faktor terakhir adalah sulitnya dmasyarakat dalam melakukan izin dikarenakan
adanya UU no. 23 th. 2014 tentang pemerintah daerah, yang mana mengalihkan
Program Studi Geologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

kewenangan izin pertambangan dari daerah ke tingkat provinsi sehingga mereka


merasakan ada banyak kendala ketka harus berizin ke provinsi.
Selain keempat faktor diatas yang kesemuanya berasal dari masyarakat, peran
pemerintah pun tidak kalah krusial dalam penegakkan hukum pertambangan ini.
Kurangnya tindakan tegas terhadap para penambang liar jelas semakin membuka jalan
kepada para penambang tersebut untuk semakin mengeksploitasi wilayah terkait sehingga
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan berpotensi semakin membesar. Berlakunya UU
no. 23 th. 2014 pun menimbulkan dilemma, dimana peran pemerintah daerah/lokal
menjadi berkurang dan terbatas hanya untuk membantu mengawasi saja. Pemda tidak
memiliki kewenangan untuk menindak para penambang liar tersebut.

3. Upaya perlindungan Hukum Pemerintah Daerah dalam rangka Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Upaya yang dilakukan diantaranya adalah menegakkan aturan mengenai kawasan


terkait yang umumnya merupakan peraturan daerah (Perda), baik tingkat provinsi
maupun tingkat daerah (dalam kasus ini adalah kabupaten), serta melibatkan juga kepmen
ESDM yang berhubungn dengan wilayah terkait. Meskipun begitu, pelanggaran masih
saja tetap terjadi, hingga akhirnya berdampak pada ekosistem sekitar, menurunnya
kualitas dan kuantitas SDA, serta terjadinya pencemaran akibat kegiatan pertambangan
tersebut.
Upaya-upaya terkait pengendalian dan pengelolaan oleh Pemda nyatanya juga
telah diberikan, diantaranya adalh bekerjasama dengan instansi-instansi pemerintahan
yang bertanggungjawab dengan bidang terkait serta sosialisasi terhadap masyarakat di
bidang pertambangan. Meskipun begitu, ternyata upaya-upaya diatas belum cukup untuk
mengendalikan penambangan illegal ini. Para penambang bahkan semakin intens
mengeksploitasi wilayahnya dan tidak segan menggunakan bahan-bahan/barang yang
bisa memperparah kawasan lindung tersebut.

Kesimpulan

1. Kinerja pemda yang kurang optimal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang didominasi
oleh kesadaran masyarakat terhadap berbagai hal dan aspek yang berperan baik langsung
maupun tidak langsung kesadaran tersebut contohnya adalah kesadaran mendapat izin,
lalu belum sadar bahwa kegiatan mereka merusak lingkungan, serta rasa memiliki
daerahnya sendiri sehingga mereka semena-mena dalam memanfaatkan SDA yang ada.
Faktor terbatasnya peran Pemda kabupaten dalam hal ini juga menjadi slaah satu
pembeda besar sehingga kegiatan penambangan liar terus mengalami peningkatan. Hal
tersebut juga mempersempit peran pemerintah lokal kegiatan pengelolaan kawasan
pertambangan.
Program Studi Geologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia

2. Sosialisasi dan aturan yang dibentuk belum efektif dalam menekan tingkat pertambangan
liar, sehingga dalam hal ini diperlukan penguatan kelembagaan yang tentunya sudha
merujuk kepada asas hukum yang berlaku dalam pasal 2 UU no. 32 th. 2009, sehingga
diharapkan akan lebih terwujud upaya perlindungan hukum, baik secara preventif
maupun represif.

3. Diperlukan adanya ketegasan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam
menegakkan aturan perundang-undangan mengenai usaha pertambangan yang ada di
Indonesia. Selain itu, perlu adanya tanggung jawab dan kesadaran dari perusahaan
pengelola pertambangan untuk melestarikan lingkungan disekitar wilayah praktek
mereka.

Referensi

1. Amalia, Samekto, dan Prihatin. 2016. Perlindungan Hukum Kawasan Karst terhadap
Kegiatan Pertambangan Kaitannya dengan Pengelolaan Lingkungan (Studi Kasus
Penambangan Batu Gamping di Kawasan Karst Gombong Selatan, Kebumen, Jawa
Tengah). Jurnal Law Reform Volume 12, Nomor 1.

2. Ardhana, I Putu Gede. 2010. The Conservation of Biodiversity for Mining Activities in
The Forest Areas. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Volume 15, Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai