Perairan Indonesia
Bagi Masa Depan Dunia
Sekapur Sirih
Penulis
Pengantar
DAFTAR ISI
Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Anak Cucu Kita 10
Cobalah kita bertanya pada diri sendiri,
mengapa Tuhan memberi dua pertiga luas negara kita
adalah lautan.
Laksdya TNI (Purn) Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
16
36
52
72
92
9
Konservasi Kawasan
Perairan Indonesia
10
Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi melintasi wilayah perairan Indonesia, yang memiliki ekosistem terumbu
karang yang indah. Saat ini berbagai pihak telah menyuarakan semangat pelestarian untuk melindungi sumber
daya ikan yang kita miliki bagi anak cucu kita di masa mendatang.
pesawat jenis Neptune, dan Frely milik Belanda menyerang KRI Macan Tutul, KRI
Macan Kumbang, dan KRI Harimau milik Indonesia yang tengah berpatroli. Komodor
Yos Sudarso yang memimpin armada Indonesia, yang saat itu berada di KRI Macan
Tutul, berhasil melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian musuh. Pihak musuh
akhirnya hanya memusatkan penyerangan ke KRI Macan Tutul. Dua kapal lainnya selamat,
sementara KRI Macan Tutul tenggelam beserta awaknya. Yos Sudarso menyerukan
pesan terakhirnya yang terkenal, Kobarkan semangat pertempuran.
Bagi para peneliti kelautan negara kita merupakan tempat penelitian yang sangat
penting. Pasalnya, tiga lempengan kerak Bumi saling bertabrakan sehingga menjadikan
topografi dasar laut Indonesia bervariasi. Bentuknya mulai dari kawasan paparan laut
yang dangkal (< 200 meter) di Laut Jawa, hingga kawasan cekungan yang dalam di Laut
Banda dan deretan palung laut yang memanjang dan ultra dalam (> 7.000 meter) di
selatan Pulau Jawa. Kombinasi beragam kedalaman laut ini memberikan keuntungan
dikaitkan dengan sirkulasi air laut yang mendukung ekologi dan menjadi habitat berbagai
ikan bernilai ekonomis, beserta pasokan alami makanan ikan yang berkesinambungan.
Pada Oktober 2002, Tim Ekspedisi Laut Dalam Indonesia-Jepang berhasil menyelam
pada kedalaman lebih dari 2.000 meter di Palung Jawa. Menggunakan kapal selam
riset Jepang, Shinkai 6500, para ilmuwan itu mencari jawaban ilmiah terhadap Patahan
Sumatra, endapan gas metana di dasar laut, dan keberadaan biota laut dalam yang
hidup tanpa cahaya matahari.
Keindahan terumbu karang yang hidup di perairan dangkal negara kita berhasil
memikat hati setiap penyelam,entah yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara.
Di wilayah perairan terumbu karang yang jernih, hewan-hewan membekali diri mereka
11
Keindahan terumbu karang yang hidup di perairan dangkal negara kita berhasil memikat hati setiap penyelam,
seperti yang ditemukan di dekat sebuah dermaga (halaman sebelah). Menjadi salah satu ikon penting perairan
Indonesia, penyu adalah satwa laut yang membutuhkan perlindungan dari sejumlah ancaman masa kini (atas).
dengan warna-warna yang mencolok. Pada kawasan yang berlimpah cahaya matahari
ini perubahan warna yang terjadi pada seekor ikan, misalnya ikan kambing-kambing
(Pomacanthus imperator), juga berhasil memancing minat para peneliti dan olahragawan
selam.
Menghampar sepanjang kurang lebih 50.000 kilometer persegi, kawasan terumbu
karang membentengi pulau-pulau Indonesia.Wilayah terumbu karang itu juga termasuk
kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) yang merupakan pusat keanekaragaman
hayati laut dunia.Kawasan itu memiliki luas terumbu karang sekitar 75.000 km2 yang
mencakup Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan
Solomon. Lebih dari 120 juta orang hidupnya sangat bergantung dari terumbu karang
di kawasan tersebut. Hal ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk melakukan upaya
konservasi terumbu karang di kawasan tersebut.
Kawasan segitiga terumbu karang sendiri memiliki lebih dari 500 spesies karang.
Hingga saat ini, kepulauan Raja Ampat merupakan lokasi dengan keanekaragaman hayati
terumbu karang tertinggi di dunia dengan sekitar 537 jenis karang (CI, 2001). Jumlah
jenis karang tersebut merupakan 75% jenis karang yang ditemukan di dunia. Akibat
letaknya yang dekat dengan garis pantai dan mudah diakses masyarakat setempat,
ekosistem terumbu karang mengalami tekanan yang hebat. Praktik penangkapan ikan
menggunakan racun sianida dan bahan peledak merupakan contoh umum dalam
kegiatan perusakan. Untuk itu, sudah sepantasnya kita menyelamatkan laut negara kita
demi masa depan, bukan hanya untuk anak-cucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan
hidup ekosistem dunia. w
12
13
14
15
Menengok Kisah
Konservasi Kawasan
Perairan Indonesia
16
Pemanenan berlebihan serta caranya yang serampangan adalah ancaman lain yang bersifat langsung terhadap
sumber daya laut. Penangkapan tanpa bersandar pada daya pulih biota perairan akan berdampak buruk bagi
kelestarian hidupan laut. Cara lain yang memberikan dampak buruk adalah bahan peledak dan racun.
dimanfaatkan secara lestari di masa depan. Di sisi lain, seiring dengan melimpahnya
keanekaragaman hayati beserta fungsi ekologi yang diembannya, secara tidak langsung
mintakat perairan mengisyaratkan sebuah tantangan besar. Selain bermanfaat bagi
kehidupan bangsa selama ratusan tahun, laut juga sedang menghadapi tekanan hebat dari
dua sisi, dari kawasan daratanpolusi, limbah, dan sekaligus di perairanpemanenan
ilegal dan destruktif.
Aktivitas terestrial telah mengirim bahan-bahan buangan yang mengancam
kehidupan laut. Sumber pencemaran itu berasal dari kegiatan industri, pemukiman,
perkotaan, pertambangan, pelayaran, pertanian dan budidaya perikanan. Begitu
juga kegiatan manusia di tubir laut yang merombak kawasan pesisir, pantai, muara
dan mangrove. Umumnya ancaman di pesisir berupa perluasan pemukiman, akitivas
pariwisata bahari hingga konversi mangrove untuk keperluan lain.
Pemanenan berlebihan serta caranya yang serampangan adalah ancaman lain yang
bersifat langsung terhadap sumber daya laut. Penangkapan tanpa bersandar pada daya
pulih biota perairan akan berdampak buruk bagi kelestarian hidupan laut. Pun, teknik
tangkap dengan bahan beracun, bahan peledak dan pukat harimau menyebabkan efek
sampingan bagi organisme lain.
Tekanan-tekanan dari manusia itu, makin berdaya rusak tinggi jika dikaitkan
dengan gejala pemanasan global. Bumi yang makin menghangat menyebabkan iklim
tak lagi normal. Fenomena El Nino, misalnya, telah menyebabkan pemutihan karang
dalam skala luas. Dengan demikian, diperlukan upaya konservasi untuk melindungi,
melestarikan, dan memastikan pemanfaatan sumber daya ikan sejalan dengan kaidahkaidah pembangunan yang berkelanjutan.
17
Menjadi bagian dari segitiga terumbu karang dunia, periran di Raja Ampat menyajikan panoram yang indah
nan menawan (halaman sebelah). Upaya melestarikan kawasan perairan membutuhkan dukungan sejumlah
pihak, suatu kerja bersama yang berupaya menggalang semangat pengelolaan sumber daya ikan.
18
19
Kutai Kertanegara, di Provinsi Kalimatan Timur sekarang, bisa menjadi bukti bentuk
pemanfaatan perairan yang lestari. Selain mewariskan Cagar Alam Kerajaan Kutai
kini dikenal sebagai Taman Nasional Kutai, kerajaan ini juga memiliki Suaka Perikanan
Danau Loa Kang dan Batu Bumbun.
Zaman Perjuangan Kemerdekaan
Era ini sangat dipengaruhi oleh geliat ilmu pengetahuan Barat yang menekankan
eksplorasi sejarah alam dengan mengumpulkan temuan-temuan baruhewan dan
tumbuhan. Dengan demikian untuk melihat perkembangan konservasi perairan tak bisa
dilepaskan dari gairah itu. Adalah G.E. Rumphius yang meretas jalan di bidang biologi,
baik terestrial maupun perairan, lewat dua karyanya: dAmboinsche Rareteitkamer, 1705,
dan Herbarium Amboinense, 1741-1750. Dua risalah Rumphius, yang bisa dipandang
sebagai bapak biologi laut Indonesia, itu memuat pertelaan flora-fauna Ambon dan
sekitarnya. Sekitar pertengahan abad ke-19, tercatat perkembangan penting dalam ilmu
soal ikan di Nusantara dengan Pieter Bleeker, seorang ahli ikan (ichthyologist), sebagai
tokoh utamanya. Di samping ratusan risalah ilmiah tentang ikan, dia juga menghasilkan
karya besar Atlas Ichthyologique.
Selain itu, selama babak ini tercatat pula sejumlah penjelajahan ilmiah dari berbagai
negara mengarungi ataupun melintasi perairan Indonesia. Seperti Ekspedisi Beagle
antara 1832-1836 dari negara penguasa laut dunia, Inggris. Dari ekspedisi ini, pakar
biologi Charles Darwin menciptakan teori evolusi bersama Alfred Russel Wallace.
Tokoh terakhir ini dengan jeli menangkap perubahan fauna dari wilayah barat ke timur
kepulauan Nusantara. Warisannya hingga kini dikenang sebagai Garis Wallace, sebuah
batas maya fauna antara Bali dengan Lombok dan memisahkan Kalimantan dengan
Sulawesi. Belanda, dengan Ekspedisi Sibolga pada 1899-1900, menelisik perairan timur
Indonesia dan menemukan spesies-spesies baru. Salah satu hasil penyusuran Sibolga
berupa peta dasar laut pertama bagi Indonesia.
Tabel 1. Beberapa armada riset yang berlabuh di perairan Nusantara:
Tahun
Ekspedisi
1817-1820 Physicienne
1822-1825 Coquille
1826-1829 Astrolabe
1832-1836 Beagle
1836-1837 Bonite
1872-1876 Challenger
1898-1899 Valdivia
1899-1900 Siboga
1906-1907 Planet
1929-1930 Snellius
Keterangan
Prancis
Prancis
Prancis
Inggris, dari hasil ekspedisi ini, Charles Darwin menciptakan teori evolusi.
Prancis
Inggris, mengitari Bumi yang meletakkan dasar-dasar bagi ilmu kelautan dunia.
Jerman
Belanda, menyusuri perairan timur Nusantara dan menemukan berbagai
spesies baru biota bahari.
Jerman
Belanda, mengarungi perairan timur dengan fokus riset geologi laut.
Langkah pertama pelestarian alam sebenarnya bisa dirunut sampai 1714 ketika
C. Chastelein menghibahkan 6 ha tanah di Banten untuk digunakan sebagai natuur
20
Kemitraan di wilayah regional untuk menyelamatkan kawasan periairan yang tak mengenal batas administrasi telah memberikan kepercayaan diri pada Indonesia untuk berbicara lebih banyak mengenai konservasi
perairan. Penyelamatan ini tentu akan mendukung keberlanjutan sumber daya ikan.
reservaat atau cagar alam. Baru seabad lebih kemudian, tepatnya 1889, Direktur Kebun
Raya Bogor mengikuti jejak Chastelein dengan mengesahkan cagar alam pertama
di Cibodas, Jawa Barat. Cagar ini untuk melindungi hutan pegunungan yang masih
perawan di daerah itu. Watak pelestarian masa ini memang berbentuk pencadangan
areal tertentu untuk memastikan hewan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya aman.
Tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonnantie tot Bescherming
van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels, Undang-undang Perlindungan Mamalia
dan Burung Liar, yang berlaku di seluruh wilayah Hindia Belanda. Ordonansi itu dipicu
oleh kekhawatiran hilangnya burung cendrawasih akibat perburuan untuk diekspor ke
daratan Eropa.
Sementara itu, momen bersejarah bagi dunia perikanan terjadi pada 1904 kala
Direktur Kebun Raya Bogor Dr. Koningsberger meresmikan Visscherij Station, Stasiun
Perikanan, di Jakarta. Pada masa jayanya, stasiun ini dilengkapi kapal penelitian Gier
untuk melakukan berbagai penelitian perikanan.
Gagasan melestarikan alam makin menguat dengan berdirinya Nederlandsch
Indische Vereeniging Tot Natuurbescherming, atau Perkumpulan Perlindungan Alam
Hindia Belanda pada 1912. Setahun kemudian, ketua pertama perkumpulan ini, Dr. S.H.
Koorders bersama koleganya, mengajukan sejumlah 12 kawasan perlindungan: Pulau
Krakatau, Gunung Papandayan, Ujung Kulon, Gunung Bromo, Nusa Barung, Alas Purwo,
beberapa situ di daerah Banten, Kawah Ijen beserta dataran tingginya. Sejak organisasi
ini berdiri, usaha pencagaran terus berlanjut.
Tak lama kemudian, 1916, pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih urusan
pelestarian alam dari perkumpulan tersebut. Dengan Staatsblad tahun 1916, No. 278
pemerintahan waktu itu berwenang menetapkan kawasan cagar. Pada tahun itu juga,
21
Menjadi salah satu tempat beraktivitas - ekonomi maupun sosial, pesisir memerlukan perhatian secara seksama. Kegiatan yang cenderung merusak dan tidak berkelanjutan dapat mengancam kelestarian kawasan
yang mendukung ekosistem sekitar di masa depan. Inilah yang memerlukan perhatian.
Hindia Belanda mengatur perikanan mutiara dan bunga karang melalui Parelvisscherij en
Sponsenvisscherijordonnantie (Staatsblad tahun 1916, No.157). Lantas, disusul Visscheri
Jordonnantie (Staatsblad tahun 1920, No. 396) untuk melindungi ikan yang mencakup
telur, benih ikan dan semua kerang-kerangan. Pasal 2 peraturan itu, misalnya, melarang
penangkapan ikan dengan bahan beracun, bius ataupun bahan peledak. Pada 1919,
Visscherij Station dikembangkan menjadi Laboratorium voor het Onderzoek der Zee,
atau Laboratorium Penelitian Laut, dengan fasilitas akuarium laut yang terkenal pada
zamannya.
Masa ini bisa dijumpai beberapa peraturan yang melindungi satwa, seperti Dierenbeschermingsverordening (Staatsblad tahun 1931, No. 134) yang berlaku secara nasional. Pada
saat hampir bersamaan, keluar Jachtordonantie 1931 (Staatsblad tahun 1931, No.133)
yang mengatur tentang perburuan dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Staatsblad
tahun 1940, No. 733) yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Selanjutnya, perlindungan alam diatur dengan Natuurbeschermingordonantie 1941 (Staatsblad tahun 1941,
No. 167) menggantikan Natuur Monumenten en Wildressrvaten Ordonantie 1932 (Staatsblad tahun 1932, No. 17) yang menata soal cagar alam dan suaka margasatwa.
Dalam pada itu, antara tahun 1942 hingga 1945-an, pendudukan Jepang di Indonesia
hampir tidak ada usaha pelestarian, kecuali masih adanya kelonggaran bagi beberapa
penelitian laut yang dilakukan oleh sarjana Belanda.
Zaman Kemerdekaan
- Masa Orde Lama
Hingga kurang lebih dua dasawarsa pertama setelah merdeka, Indonesia masih
mewarisi langkah-langkah konservasi dari Hindia Belanda. Lima tahun usai meraih
22
23
kemerdekaan, 1950, Laboratorium voor het Onderzoek der Zee diubah menjadi Lembaga
Penyelidikan Laut (LPL), yang pada 1952 memiliki kapal riset Samudera. Meski belum
ada sarjana Indonesia, Samudera meneliti perairan Indonesia secara teratur. Memasuki
dasawarsa 1960-an, jumlah kapal riset maritim terus bertambah. Jalanidhi, 1963, dan
Burudjulasad, 1966, adalah dua armada riset yang kian meneguhkan usaha penelitian
laut. Tak kurang ada tiga ekspedisi ilmiah selama 1960-1970: Operasi Baruna I, 1964;
Operasi Baruna II, 1966; dan Operasi Cendrawasih, 1967.
Lompatan besar era ini ditandai dengan adanya konsep Wawasan Nusantara melalui
Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, yang kemudian diperkuat dengan Undangundang (UU) No. 4 tahun 1960. Wawasan Nusantara menjamin bahwa mintakat laut
dan daratan merupakan satu-kesatuan wujud yang tak terpisahkan: Negara Kepulauan
Indonesia. Deklarasi itu juga memastikan seluruh sumber daya perairan, pesisir dan
pulau-pulau kecil yang masuk wilayah Indonesia dapat dikelola secara lestari.
Secara bersamaan, pada dekade 1960-an di Bogor, kota pusat penelitian dan
perlindungan alam selama masa Hindia Belanda, dibentuk Bagian Pengawetan
Alam yang bernaung di bawah Kebun Raya Bogor; sementara itu, lembaga Jawatan
Kehutanan memiliki Bagian Perlindungan Alam. Kedua lembaga itu kemudian digabung
menjadi Bagian Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) yang dikelola oleh Jawatan
Kehutanan. Dengan begitu, kewenangan Kebun Raya Bogor dalam bidang perlindungan
alam juga berakhir.
Salah satu kawasan konservasi perairan di wilayah Kalimantan, Berau merupakan salah satu kisah sukses
dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Kisah ini telah tercatat dalam sejarah konservasi perairan
Indonesia dan menjadi acuan bagi wilayah lain yang akan mengadaptasi pola yang sama.
24
25
28
Spesies yang unik, mirip dengan pohon cemara, menghiasi ekosistem terumbu karang yang indah hingga
menerbitkan keingintahuan para peneliti dan penyalam. Pemerintah pusat dan daerah, yang didukung oleh
masyarakat, berupaya menyelamatkan salah satu kekayaan hayati yang menyokong peradaban sekitar.
jenis dan genetik ikan. Di dalam undang-undang ini, terdapat empat jenis kawasan
konservasi: taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan
suaka perikanan. Dengan diterbitkan pula UU No. 27 tahun 2007 cakupan kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau kecil meliputi ekosistem daratan pesisir (hingga
batas administrasi wilayah kecamatan), dan ekosistem perairan laut sejauh 12 mil.
Selanjutnya, diturunkan dalam sebuah peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang
menambah deretan penamaan kawasan konservasi. Saat ini paling tidak terdapat enam
nomenklatur kawasan konservasi selain sempadan pantai yang notabenenya telah
diatur dengan undang-undang tersendiri. Nama-nama kawasan itu adalah suaka pesisir,
taman pesisir, suaka pulau kecil, taman pulau kecil, daerah perlindungan adat maritim,
dan daerah perlindungan situs budaya maritim.
Sejauh ini telah dideklarasikan kawasan konservasi perairan (KKP) oleh bupati/
wakil seluas lebih kurang 3,2 juta ha sehingga luas keseluruhan KKP Indonesia dengan
yang diinisiasi oleh Dephut (5,5 juta ha) mencapai sekitar 8,7 juta ha. Selain itu tengah
dilakukan proses kawasan perairan seluas 5.705.839,00 ha untuk KKP nasional di
Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, dan Laut Sulu, Nusa Tenggara Timur. Serempak
melalui program COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program),
Marine and Coastal Resources Management Program (MCRMP) dan Coastal Community
Development and Resources Management Project (COFISH), DKP juga memfasilitasi
pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) dan daerah perlindungan mangrove
(DPM) seluas 2.085,90 ha serta suaka perikanan (453,23 ha).
Secara kelembagaan, untuk memudahkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
tersebut, DKP membentuk Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut di
29
Terletak di antara dua samudra dan pertemuan dua arus, perairan Indonesia secara rutin menjadi perlintasan
mamalia laut dunia: paus (atas). Warna-warni ikan di ekosistem terumbu karang menjadi bagian penting untuk
menunjang keberlanjutan ekosistem yang ada didekatnya - rantai makanan alami di muka Bumi.
bawah Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaga ini untuk
mewujudkan peningkatan dan penguatan pengelolaan di dalam dan sekitar KKP baik di
tingkat nasional maupun lokal serta pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Untuk mewadahi peran pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola
sumber daya ikan, terutama setelah terbitnya UU No. 32 tahun 2004, pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007. Peraturan terakhir ini
memungkinkan pemerintah daerah, untuk mengembangkan KKP setingkat kabupaten
ataupun provinsi, yang disebut dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
Partisipasi pemerintah daerah dalam pelestarian bahari nampak dari banyaknya
KKLD yang dideklarasikan pada masa ini. Sedikitnya, sampai pertengahan tahun 2008,
terdapat 31 KKLD di Tanah Air yang mencakup luasan 3,9 juta ha; dan tak kurang 19
KKLD seluas 13,5 juta ha sedang menunggu untuk diresmikan.
Seiring dengan usaha itu, dilakukan pula harmonisasi dengan berbagai sektor, dan
pemangku kepentingan lainnya, antara lain dengan Departemen Kehutanan yang masih
mengemban mandat yang mencakup kawasan konservasi perairan dan biota laut sesuai
dengan UU No. 5 tahun 1990. Sejumlah lokasi TWAL, CAL dan SML direncanakan
pengelolaannya akan dialihkan ke DKP.
Untuk menunjukkan kiprah Indonesia di tingkat internasional dalam konservasi
perairan, pemerintah bertekad untuk membentuk KKP laut seluas 10 juta ha sampai
2010. Target ini kemudian ditegaskan kembali saat forum Konferensi Antarpihak
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/COP) di Brasil,
Maret 2006, yang akan memperluas KKL hingga 20 juta ha pada akhir 2020.
30
31
Upaya konservasi bukan hanya ditunjukkan pada tingkat negara, tetapi masyarakat pesisir yang peduli akan
lingkungan memberikan apresiasi yang sama - seperti membangun tempat penetasan telur penyu (atas). Di
ekosistem terumbu karang terdapat ghostpipe fish dan gorgonian yang cantik (halaman sebelah).
32
33
34
35
Memaknai Aturan
Konservasi
36
Semburat semangat menjelang pergantian hari menyajikan panorama unik khas kawasan pesisir topis.
Keunikan yang berbalut keindahan itu menjadi modal penting bagi pengembangan ekonomi di sektor pariwisata, yang memerlukan keterampilan pengemasan dan promosi poduk akhir.
37
Memberikan pemahaman mengenai proses penyelerasan pengelolaan kawasan perairan dan konservasi
jenis ikan, Depertemen Kelautan dan Perikanan telah mendorong terbentuknya aturan perudangan yang mendukung proses itu. Berbagai pihak pun menjadi mitra dalam pelaksanaan penyelarasan kelola perairan.
38
dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya, suaka perikanan, dan jenis ikan
yang dilindungi. Pada ayat (5) disebutkan bahwa Menteri menetapkan jenis-jenis ikan
dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut,
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Yang dimaksud dengan jenis ikan seperti disebutkan dalam ayat (5) tersebut adalah
pisces (ikan bersirip); krustasea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya); moluska
(kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); coelenterata (ubur-ubur dan
sebangsanya); echinodermata (teripang, bulu babi dan sebangsanya); amfibia (kodok dan
sebangsanya); buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya; mamalia (paus,
lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya); algae (rumput laut dan tumbuhan lain
yang hidupnya di dalam air); Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tersebut, semua termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.
Pasal lain yang memperkuat soal konservasi perairan adalah pasa 13 ayat (1) yang
menyatakan bahwa untuk mengelola sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi
ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Selanjutnya dalam pasal
14 ayat (1) disebutkan pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian
ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
Namun, bukan hanya pemerintah yang berkewajiban melakukan konservasi. Dalam
pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga secara
implisit menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan itu meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Yang juga termasuk dalam
kewenangan yang dimaksud pasal ini adalah pengaturan administratif, pengaturan tata
ruang, penegakan hukum terhadap aturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. Pemerintah daerah juga mesti ikut
serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan
di bidang konservasi memungkinkan daerah untuk mencadangkan kawasan konservasi
perairan dan mengelola sesuai dengan kewenangannya.
Aturan yang lebih spesifik tentang konservasi mungkin termaktub dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam. PP ini merupakan pelaksanaaan dari Undang-undang Nomor 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian
Kawasan Suaka Alam menurut peraturan ini adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Sedangkan yang dimaksud kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri
khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa.
Serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Lalu, di mana perbedaan antara kawasan suaka alam dengan kawasan pelestarian
alam? Jika melihat dua definisi tersebut terlihat bahwa di kawasan pelestarian alam,
daratan maupun perairan, dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan secara
lestari (berkelanjutan) dengan memerhatikan daya dukung ekosistemnnya. Selanjutnya,
kawasan suaka alam dibagi menjadi cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan
39
Perangkat perundang-undangan
yang khusus mengatur tentang kawasan
konservasi perairan bukannya tidak ada.
Undang-undang Nomor 31 tahun 2004
dan PP Nomor 60 tahun 2007, mengatur
penetapan status hukum kawasan
konservasi perairan
kawasan pelestarian alam dibedakan menjadi taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam.
Nomenklatur (penamaan) kawasan sebagaimana telah dijelaskan di atas secara
analogi dapat dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di
dalam Undang-undang 31 tahun 2004 tentang perikanan. Sepanjang menyangkut urusan
kelautan dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam rangka mendukung
kesiapan pengelolaan sumber daya ikan, menetapkan suaka perikanan - pasal 7 ayat (1)
dan huruf [q].
Aturan lainnya yang dijadikan pijakan untuk pengelolaan konservasi kawasan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. Dalam Pasal 1 butir 8, dituliskan bahwa pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggung jawab menteri yang bertanggung
jawab di bidang kehutanan. Khusus pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar diatur
kemudian dalam Peraturan Pemerintah tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, di mana pasal 1 butir 9 PP ini berbunyi pelaksanaan pengawetan dan
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggung jawab menteri yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Aturan domestik terbaru yang mengatur konservasi kawasan perairan, lebih khusus
konservasi sumber daya ikan adalah Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan. PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan pasal
13 UU No 31/2004 tentang Perikanan. PP ini juga memberikan kewenangan kepada
Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan kawasan konservasi perairan.
Di samping itu, PP ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan
Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1)
yang meliputi jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi.
Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang dilindungi jika memenuhi
beberapa kriteria, di antaranya: apabila mereka terancam punah, langka, daerah
penyebaranya terbatas dan tingkat kemampuan reproduksinya rendah. Hal utama dari
PP ini yang menjadi dasar terkuat dari proses penyelarasan urusan konservasi perairan
adalah ketentuan bahwa Departemen/Kementerian yang bertanggung jawab di bidang
perikanan ditetapkan sebagai otoritas pengelola konservasi sumber daya ikan. w
40
41
42
43
engingat wilayah perairan (laut) merupakan sistem yang tidak terpisah secara fisik dengan
negara-negara lain, kerja sama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama
untuk mencegah kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak
berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara
hukum di antaranya adalah Convention on International Trade of Endangered Species (CITES),
Ramsar, dan Convention on Biological Diversity (CBD).
Indonesia telah meratifikasi konvensi CITES yang ditandatangani di Washington, D.C. pada
1973 dan telah berlaku secara efektif sejak 1975. Konvensi tersebut telah menjadi hukum
nasional melalui ratifikasi Keputusan Presiden nomor 43 tahun 1978. Ketentuan CITES kemudian
menjadi tanggung jawab bersama dalam pelaksanaannya, namun harus didasari oleh peraturan
perundang-undangan nasional yang memadai. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa
setiap negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan perundangundangan) yang memadai untuk pelaksanaan CITES dengan efeftif, yang dapat memberikan
mandat kepada setiap negara anggota untuk menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola
(Management Authorities) yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama
Negara Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk memberikan
pendapat atau nasihat kepada otoritas pengelola.
Konvensi lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang Keanekaragaman
Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang mengatur tentang konservasi
keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan, serta pembagian yang adil terhadap
pemanfaatan genetik. Beberapa keputusan yang sangat terkait di antaranya adalah tentang
konservasi pesisir, pantai, dan laut. Sementara itu, Konvensi Ramsar memberikan pedoman
tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk jenisjenis yang ada di dalamnya.
Upaya membangun jejaring kerjasama dalam konservasi sumberdaya ikan secara regional
dan internasional telah dikembangkan di kawasan laut sulu Sulawesi, Bismarck Solomon
maupun pada wilayah segitiga karang (the coral triangle)
Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) merupakan suatu kawasan ekoregion laut dari
segitiga terumbu karang (coral triangle) yang terletak di laut Sulu dan laut Sulawesi yang secara
yurisdiksi masuk ke dalam wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Philipina. Ketiga
negara sepakat untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pengelolaan
Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 13 Februari 2004.
Penandatanganan MoU Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion telah memberikan jalan bagi
terbentuknya komite nasional tiga negara atau Tri-National Committee, suatu mekanisme yang
akan mengawasi pelaksanaan kegiatan dalam kerangka kerjasama konservasi di kawasan
ekoregional laut Sulu-Sulawesi.
Konservasi perairan di wilayah ekoregion Bismarck dan sekitarnya, dilakukan melalui
kerjasama antara tiga negara, yaitu Indonesia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon,
Salah satu fokus dalam kerjasama ini adalah konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys
44
Memberikan sambutan dalam pertemuan mengenai kemitraan dalam penyelamatan penyu, Menteri
Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi telah memaparkan komitmen Indonesia melindungi aset
bangsa yang amat berharga.
corlacea), yang merupakan penyu tertua dan endemik serta terancam punah. Kerjasama
ini menjamin Penyu Belimbing dengan sebaran geografis paling luas untuk jenis reptil,
untuk bebas bertelur, menetas, mencari makan dan bermigrasi di Ekoregion Laut Bismarck
Solomon. BSSE merupakan habitat Penyu Belimbing dengan luasnya sekitar 2 juta km2,
terbentang dari Semenanjung Vogelkop (Doberai) di Papua Nugini, Indonesia, melintasi
wilayah kenegaraan dan Kepulauan Bismarck di Papua Nugini, sampai Kepulauan Makira
di Kepulauan Solomon. Nota kesepahaman pembentukan jejaring BSSE dalam bidang
konservasi dan pengelolaan Penyu Belimbing di Pasifik Barat (The Tri-National Pastnership
for Western Pacific Leatherback Turtles) ditandatangani dan diresmikan di Bali pada tanggal
28 Agustus 2006.
Coral Triangle Initiative atau CTI merupakan jejaring yang melibatkan enam negara
yaitu Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.
Pada awal bulan September 2007, CTI telah mendapatkan perhatian dari negara-negara
yang hadir dalam APEC Summit di Sydney, Australia. Coral Triangle Initiative ini dimaksudkan
untuk: (1) penentuan bentang laut (seascapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan
pengelolaan yang baik dan berkelanjutan di setiap negara; (2) pengembangan jejaring
kawasan konservasi laut; (3) pengelolaan perikanan berbasis eksositem dan pariwisata
alam; dan (4) pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, pembangunan kapasitas dan
pelibatan sektor swasta.
Pengembangan kerjasama dan langkah strategis skala regional maupun internasional
tersebut terus ditindaklanjuti dengan peran aktif dan langkah nyata untuk mendukung
pelaksanaan konseravsi perairan di Indonesia serta berkontribusi positif terhadap
penyelesaian masalah lingkungan dunia.
45
46
Membahas kebijakan dan strategi konservasi sumberdaya ikan yang telah disusun pada
kesempatan, para pengambil keputusan menentukan pula program aksi beserta langkah kerja
pelaksanaannya. Hasil-hasil ini yang akan diimplementasikan di lapangan.
Beberapa kebijakan dan strategi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
yang mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) Ditjen KP3K tahun 2005-2009, di
antaranya adalah mengembangkan strategi utama konservasi keanerkaragaman
hayati laut, kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, jejaring kawasan
konservasi laut, serta berbagai panduan maupun pedoman sebagai pelaksanaan dari
kebijakan dan strategi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya pada Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut bertujuan untuk mewujudkan konservasi
sumber daya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik. Semuanya
dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumber
daya ikan untuk kesejahteraan masyarakat.
Target yang hendak disasar oleh kebijakan ini di antaranya adalah mewujudkan
pengembangan kawasan konservasi perairan seluas 3,5 juta ha (tahun 2009),
terlaksananya pengembangan konservasi jenis dan genetik di tiga wilayah biogeografi.
Selain itu, sasaran yang hendak dicapai adalah rehabilitasi ekosistem sumber daya
ikan dan lingkungannya di delapan provinsi, 15 kabupaten, dan 21 lokasi.
Dengan berbagai program dan kebijakan yang diusung Departemen Kelautan dan
Perikanan, serta dukungan aturan perundang-undangan, maka proses harmonisasi
urusan konservasi kawasan perairan telah memberikan jalan terang dan benang
merah, yakni bahwa pemisahan urusan konservasi terkait erat dengan kompetensi
dan cakupan kebijakan. Dengan adanya penyelarasan, maka upaya konservasi akan
berjalan efektif dan efisien, tanpa tumpang tindih kewenangan, apalagi konflik
kepentingan. Semua demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
47
48
49
50
51
Harmonisasi Pengelolaan
Konservasi Kawasan
Perairan dan Jenis Ikan
kosistem perairan, baik kawasan perairan air tawar, perairan payau, atau perairan
laut beserta seluruh komponen ekologi di dalamnya merupakan sebuah sistem
yang kompleks. Sebagai contoh, kawasan konservasi di wilayah perairan saja
mencakup kawasan pesisir dan lautan, termasuk tumbuhan dan hewan yang hidup dan
berkembang di dalamnya. Selain itu, kekayaan laut juga meliputi peninggalan sejarah dan
sosial budaya di bawahnya.
Di luar sistem fisiknya, kawasan ini juga memiliki nilai penting dilihat dari sisi
ekonomi, khususnya dalam pembangunan industri perikanan. Berbagai penelitian
yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa konservasi kawasan perairan
berfungsi untuk meningkatkan produksi telur di dalam kawasan konservasi perairan
hingga sepuluh kali lipat. Dengan konservasi, jumlah kelimpahan ikan bisa mencapai
dua hingga sembilan kali lipat, ukuran rata-rata ikan juga membesar 33-300 persen,
sedangkan keanekaragaman spesies di dalam kawasan konservasi laut lebih tinggi
30-50 persen dibandingkan bila tidak dilakukan langkah-langkah konservasi.
Bersandar pada nilai fisik dan nilai ekonomi tersebut, prinsip-prinsip yang
mesti diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan mesti mencakup
keterpaduan, partisipasi, serta mesti melibatkan banyak pemangku kepentingan, dengan
berfokus pada manajemen sumber daya perairan secara berkelanjutan.
Lalu, sejauh mana sebuah kawasan bisa ditetapkan sebagai kawasan konservasi
perairan? Tentunya kawasan tersebut harus mempunyai nilai dan kepentingan
konservasi, setidaknya area tersebut harus memiliki keterwakilan ekosistem, memiliki
kemampuan daya pulih, dan memiliki jenis ikan langka (endemik, dan/atau terancam
punah). Sebuah kawasan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi juga
bisa diajukan sebagai kawasan konservasi.
Hal lainnya yang patut menjadi bahan pertimbangan bagi sebuah kawasan untuk
ditetapkan sebagai kawasan konservasi adalah wilayah tersebut merupakan wilayah
ruaya bagi biota perairan, mengandung aspek sosial-ekonomi regional dan pragmatis
serta potensi biofisik lainnya. Yang tidak boleh dilupakan, kondisi biota dan fisik
lingkungan perairannya masih alami.
Masing-masing elemen tersebut membutuhkan strategi pengelolaan yang khas dan
sistemis. Dengan begitu, para pemangku kepentingan yang terlibat juga perlu duduk
bersama untuk merumuskan tugas dan tanggung jawab semua pihak. Dalam titik inilah
istilah penyelarasan mencuat. Penyelarasan atau harmonisasi urusan bidang konservasi
kawasan dan konservasi jenis ikan menjadi penting dilakukan untuk mewujudkan
efektivitas pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan (sustainable).
52
Di luar sistem fisiknya, kawasan konservasi perairan juga memiliki nilai penting dilihat dari sisi ekonomi, khususnya
dalam pembangunan perikanan. Aktivitas ekonomi inilah yang menjadi potensi besar negeri bahari untuk
memberikan kemakmuran pada rakyat. KM Biawak sebagai salah satu sarana pengamanan di KKLD Indramayu.
53
54
55
Evaluasi dan pemantauan, dilakukan secara terpadu melalui kunjungan lapang untuk melihat dari dekat
capaian program yang telah dilaksanakan. Kunjungan seperti ini sekaligus memberikan perhatian dan
dorongan kepada masyarakat yang tengah giat melakukan konservasi kawasan perairan.
56
Upaya konservasi perairan, termasuk kawasan perairan darat, tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat,
pengelola daerah mampu menunjukkan partisipasi aktif terhadap kearifan lokal yang mereka miliki. Pemerintah
Kabupaten Pesisir Selatan telah memberikan contoh terhadap kearifan seperti lubuk larangan.
Wahid pada 1999. DELP kemudian berganti nama menjadi DKP yang tugas pokoknya
mencakup bidang kelautan dan perikanan, termasuk pengelolaan dan konservasi sumber
daya ikan.
Konservasi Kawasan
Pengaturan konservasi kawasan mengacu pada tiga undang-undang, yaitu
Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi SUmber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya. UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 27
tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam kaitan dengan pendekatan tersebut, Departemen Kehutanan melalui Ditjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menyelenggarakan konservasi
melalui penetapan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA),
baik di daratan maupun di perairan. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan kawasan
konservasi didasarkan pada status hukum yang disesuaikan dengan peruntukannya,
yaitu: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata
alam, dan taman buru. Pengelolaan KSA dan KPA tersebut memasukkan wilayah
perairan karena UU tidak membatasi ekosistem hanya pada bagian daratan saja.
Selain itu, penetapan ekosistem perairan di dalam jaringan KPA dan KSA
merupakan kebutuhan logis yang didasarkan pada kaidah ilmiah bahwa ekosistem
perairan tersebut perlu diwakili dalam jaringan kawasan konservasi. UU No 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 28
telah mengamanatkan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
57
Beraktivitas di wilayah perairan dangkal, para nelayan memerlukan pengetahuan lebih jauh mengenai cara
tangkap yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (halaman sebelah). Peran pemerintah pusat dan daerah
mengembangkan sektor pendidikan bahari sangat dinantikan oleh sejumlah warga (atas).
58
59
Melestarikan kawasan perairan sekaligus menyelamatkan kehidupan di dalamnya. Satwa unik yang ditemukan dalam ekosistem terumbu karang dapat menjadi modal penting bagi pembangunan wisata bahari masa
mendatang. Akan tetapi, kegiatan penggerak ekonomi itu harus memerhatikan kelestarian ekosistem.
Konservasi Jenis
Dengan diberlakukannya UU 31/2004 yang mengamanatkan upaya konservasi
ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan, maka penyelenggaraan
konservasi sumber daya ikan (KSDI) di Indonesia merupakan bagian tidak
terpisahkan dari pengelolaan sumber daya ikan agar berkelanjutan.
Apabila UU ini dikaitkan dengan UU sebelumnya yakni UU No 5/1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan bahwa
ketentuan mengenai satwa yang dilindungi diatur dengan Peraturan Pemerintah,
juga dengan terbitnya PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, yang salah satunya menguraikan jenis satwa yang dilindungi, termasuk habitat
perairan, maka ada titik persinggungan. Objek pengaturan yang bersinggungan
khususnya menyangkut definisi ikan yang termasuk kategori mamalia perairan,
reptilia perairan, dan pisces.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka penyusunan dan penetapan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan jenis
ikan, termasuk jenis ikan yang dilindungi, perlu juga mengacu pada ketentuan UU
31 tahun 2004 agar tidak timbul dualisme pengaturan. Sedangkan untuk penetapan
status tumbuhan dan satwa yang dilindungi tetap mengacu pada Peraturan
Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Dalam pelaksanaannya dapat dipertimbangkan juga prinsip-prinsip hukum yang
berlaku.
Langkah ke depan untuk konservasi jenis adalah menelaah kembali ketentuan
hukum yang ada agar bisa diterima oleh CITES. DKP juga perlu membuat
Non Detrimen Findings bagi seluruh spesies yang diperdagangkan. Dan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, DKP perlu mengembangkan magang
bagi para personel DKP terkait pelaksanaan CITES.
60
Keterpaduan upaya konservasi perairan, tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat, pengelola daerah
mampu menunjukkan partisipasi aktif terhadap kearifan lokal yang mereka miliki. Harmonisasi urusan
konservasi antara DKP dan Dephut sebagai salah satu wujud nyata.
Budidaya perikanan memerlukan perhatian secara khusus, yang sekaligus mampu memicu aktivitas ekonomi
masyarakat setempat. Penyebaran pengetahuan budidaya yang ramah lingkungan akan menghindarkan daya
dukung ekosistem yang jenuh dan memastikan keberlanjutan sumber daya ikan.
61
Pembelajaran pengelolaan lingkungan yang baik pada suatu wilayah dapat dijadikan contoh untuk
implementasi di wilayah lainnya. Kisah sukses akan terus bergulir dan diadapatasi demi mendukung capaian
target luasan konservasi kawasan perairan di negara kita.
Meminimalkan risiko
Sebuah proses pengalihan tanggung yang begitu besar pasti tidaklah mudah, apalagi
menyangkut institusi/lembaga kenegaraan. Karena itu, proses pengalihan dilakukan
secara bertahap untuk meminimalkan risiko yang mungkin muncul. Yang pertama
dilakukan adalah membahas opsi-opsi penyelarasan urusan.
Agar proses pengalihan dan pembagian wewenang konservasi tidak cacat hukum
maka muncul opsi mengenai revisi peraturan perundang-undangan. Ini adalah pilihan
yang paling berat dan biasanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga
bisa menjadi beban bagi instansi yang berkepentingan. Kajian terhadap pilihan ini
memperoleh kesimpulan bahwa dalam jangka pendek, revisi peraturan perundangundangan bukan merupakan pilihan yang bijaksana, terutama karena dapat diperkirakan
akan memerlukan proses dan waktu serta biaya yang besar. Padahal negara sedang
berada di tengah-tengah kesulitan anggaran.
Namun, jika memang tidak dapat dihindari, singkronisasi peraturan perundangundangan dapat dilakukan melalui revisi terbatas terhadap pasal tertentu dari
perangkat undang-undang yang berkaitan dengan konservasi perairan dan konservasi
jenis. Pengaturan tentang jenis-jenis ikan yang dilindungi, termasuk jenis genetik ikan,
berdasarkan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan secara prinsip tidak
akan menimbulkan dualisme kewenangan.
Opsi kedua yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko adalah melakukan
inventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah melembaga. Opsi ini tampaknya lebih rasional
dan bisa segera dilaksanakan. Melalui inventarisasi kegiatan yang sudah melembaga
diharapkan dapat segera diketahui secara objektif kewenangan-kewenangan apa saja
yang telah dilaksanakan secara optimal dan telah dibentuk kelembagaannya. Sebaliknya
melalui proses inventarisasi bisa pula diidentifikasi kewenangan-kewenangan yang
dianggap belum optimal.
62
63
64
65
Sumber daya ikan menjadi nafas utama bagi masyarakat di kawasan pesisir, yang menyokong kehidupan
ekosistem sekitar. Untuk menjamin keberlanjutan daya dukung lingkungan, sejumlah pihak telah menawarkan
kemitraan dalam penyelamatan kawasan, yang berbasiskan masyarakat setempat.
66
67
Biota penghuni ekosistem terumbu karang, seperti crocodile fish, akan sangat menarik minat para peneliti
dan penyelam (atas). Kegiatan penelitian dan pengambilan dokumentasi mengenai kekayaan perairan laut
Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah pihak, termasuk LSM dan masyarakat (halaman sebelah).
Memberikan informasi kepada siapa saja yang mengunjungi kawasan konservasi, pemerintah daerah telah
menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pelestarian sumber daya ikan yang berada di wilayahnya.
Komitmen itu juga ditunjukkan oleh Kabupaten Sorong yang melindungi wilayah pesisir Abun.
68
69
70
71
Kawasan Konservasi
72
Menyapa siapa saja yang menengoknya, seekor penyu juga memberikan peran unik dalam ekosistem perairan dangkal, seperti dalam terumbu karang (atas). Berbagai pihak berupaya melestarikan penyu dengan
menawarkan sejumlah konsep dan program yang akan dijalankan dengan pola kemitraaan.
73
Menerobos perairan dangkal, cahaya mentari menjadi penyokong kehidupan pada ekosistem terumbu
karang (halaman sebelah). Pembangunan resor wisata perlu memerhatikan penataan ruang agar dapat memnimilkan keruskana eksositem terumbu karang, yang memberikan nilai jasa lingkungan tak terkira.
74
75
juta ha pada 2010, yang saat itu dirasakan sebagai janji yang ambisius. Namun,
perkembangannya sangat signifikan, sehingga pada bulan Maret 2006 di Brasil, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono melalui catatan sambutannya kembali mempertegas
komitmen Indonesia dengan mendeklarasikan di depan sidang Pertemuan Para
Pihak CBD bahwa Indonesia menargetkan kawasan konservasi laut seluas 10 juta ha
pada 2010 dan diharapkan meningkat dua kalinya sepuluh tahun kemudian. Dalam
berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi senantiasa
mempertegas komitmen tersebut dan sampai saat ini perkembagan capaian
pencadangan kawasan konservasi perairan (laut) tersebut cukup menggembirakan.
Hal ini merupakan tantangan bagi DKP dalam menangani KKL di Indonesia.
Namun, isu agar upaya konservasi tidak melulu berpatokan pada luasnya
kawasan mulai diembuskan kembali di tingkat global. Konservasi semestinya bukan
hanya diukur dari luasnya kawasan melainkan juga harus melalui pengelolaan
yang efektif dan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Di sisi
lain, Pemerintah Daerah juga mendesak untuk membentuk kawasan konservasi
laut daerah (KKLD) sebagai bentuk implementasi upaya konservasi laut yang
desentralistis.
Isu perubahan iklim akibat pemanasan global juga menjadi perhatian khusus
dalam pengembangan konservasi sumber daya ikan oleh pemerintah Indonesia.
Masyarakat dunia mulai bersuara bahwa laut berperan pula dalam perubahan iklim,
mengingat di laut ada terumbu karang dan padang lamun yang berpotensi dalam
penyerapan karbon. Di sisi lain keseimbangan kehidupan di laut juga berpengaruh
akibat perubahan iklim.
DKP juga tidak tinggal diam dalam menanggapi isu pemanasan global. Bersama
berbagai pihak baik swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat
sendiri, DKP mengembangkan berbagai inisiatif dan program nyata dari tingkat
lokal sampai regional. Sebut saja program Coral Reef Rehabilitation and Management
Program (COREMAP) yang bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pengelolaan
terumbu karang secara lestari, antara lain, melalui dorongan bagi daerah untuk
menyusun peraturan daerah maupun rencana strategis daerah tentang pengelolaan
terumbu karang.
Pemerintah daerah bersama masyarakat di wilayah COREMAP juga
mengembangkan kawasan konservasi perairan (laut) di tingkat kabupaten/kota.
Kawasan konservasi ini sebagai upaya rehabilitasi terhadap terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya serta untuk menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
Di wilayah desa, secara partisipatif masyarakat membentuk Daerah Perlindungan
Laut (DPL). Keberadaan DPL dalam sebuah KKL atau jejaring KKL adalah sebagai
zona inti dari KKL.Wilayah DPL ini dapat berfungsi sekaligus sebagai tabungan ikan
bagi masyarakat setempat
Jejaring Kawasan Konservasi Perairan
Selain mengupayakan sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan yang
bersifat desentralistis yang melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat,
konservasi kawasan perairan yang berkelanjutan juga mesti efektif dan efisien.
Karena itu, ide untuk mengembangkan jejaring (network) kawasan konservasi
dirasakan semakin mendesak untuk diimplementasikan. Jaringan kawasan konservasi
76
77
entuknya unik. Ukuran kepalanya jauh lebih kecil dibandingkan besaran badan
yang diselimuti cangkang, seperti layaknya jenis reptilia. Para peneliti menyebut
cangkang ini dengan dua jenis nama, tergantung pada bagian mana yang akan
kita lihat. Pada bagian perut, mereka mengucapkan nama plastron, sementara sisi
punggung dibilang karapas. Makhluk yang selalu berhasil membuat kita berpaling dan
mengamatinya dengan seksama ini memiliki kulit bersisik dan bernapas dengan paruparu, meskipun dia hampir sepanjang waktu dihabiskan di dalam perairan.
Dengan sejumlah ciri tadi, kami pikir Anda tak akan sulit menebak jenis makhluk
hidup yang akan kami paparkan secara ringkas. Inilah penyu yang merupakan bentuk
modern penghuni laut tertua yang berevolusi hingga berbentuk seperti yang sekarang
kita kenal. Penyu laut, kadangkala dibilang kura-kura oleh sejumlah awam, termasuk
satwa berdarah dingin, sebab suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan.
Menurut informasi yang termuat dalam Penyu Sang Duta Laut yang diterbitkan
oleh Conservation International Indonesia, penyu membutuhkan sekitar 25 tahun
untuk menjadi dewasa dan siap bertelur. Selain itu, penyu tidak setiap tahun
bertelur. Musim bertelur terjadi antara dua hingga lima tahun sekali. Dalam satu
musim bertelur, penyu betina akan berkali-kali mendarat di pantai untuk bertelur.
Ia akan menyimpan lebih dari 100 butir telur di dalam lubang pasir yang digalinya
dan ditutup kembali dengan pasir itu dalam sekali pendaratan. Tujuan penimbunan
telur-telur itu dengan pasir supaya terjadi masa inkubasi, yang membutuhkan waktu
antara 45 hingga 60 hari, tergantung dengan jenis penyu. Setelah masa inkubasi,
telur menetas menjadi tukik.
Ketika menetas, tukik-tukik itu berlarian menuju perairan dari pasir putih
yang lembut. Meskipun jumlahnya sangat banyak, para peneliti dan ahli penyu
memperkirakan bahwa mungkin hanya satu dari seribu butir telur penyu yang mampu
tumbuh menjadi penyu dewasa. Apa pasal? Telur penyu dan tukik saat ini mendapat
tekanan yang luar biasa dari pemangsa alami dan aktivitas manusia. Yang terakhir
ini mendapatkan sorotan tajam dari para peneliti dan ahli penyu. Karena itu untuk
menjaga kestabilan tingkat populasi, penyu dapat hidup hingga lebih dari 100 tahun
dengan masa reproduksi yang cukup panjang.
Penyu yang hidup di perairan sub-tropis Australia dan perairan tropis, seperti di
negara kita, mampu berenang hingga ribuan kilometer antara lokasi bertelur dan
tempat mencari makan. Dalam hal ini, penyu juga memiliki keunikan lain: sejauhjauhnya melaut ke belahan samudera nan luas, seekor penyu betina akan selalu
kembali dan bertelur di pantai yang sama tempat ia ditetaskan. Di negara kita terdapat
sejumlah tempat bertelur penyu, seperti Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur;
Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri, Jawa Timur; Pantai Perancah di Bali;
Jamursbamedi, Pulau Sayang, dan Piai, Papua.
Dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, enam di antaranya bertelur dan
78
79
Lika-liku Pembentukan
Kawasan Konservasi Laut di Daerah
ebagai wujud konsistensi terhadap semangat otonomi daerah, DKP mendorong berkembangnya
kawasan konservasi perairan (laut). Sejak 2002 hingga pertengahan tahun 2008 telah
dicadangkan 31 KKLD yang tersebar di seluruh Tanah Air (lihat Tabel 1), meski hanya beberapa
yang sudah diformalkan. Ada pun penamaan kawasan KKLD beragam, dan ada kecenderungan
masyarakat menghindari istilah seperti perlindungan semata, untuk kawasan konservasi yang
konotasinya laut harus ditutup sehingga dapat menimbulkan konflik dengan nelayan.
Upaya pengembangan KKLD juga mendapat dukungan dari lembaga donor maupun LSM,
seperti: Asian Development Bank, World Bank, The Nature Conservancy, Conservation International,
WWF Indonesia, Yayasan Kehati, Yayasan Terangi, dan lainnya yang telah memintal kerjasama
dengan DKP.
Meski DKP mempromosikan desentralisasi, namun masih ada persoalan. Saat ini desentralisasi
hanya dipahami sebagai desentralisasi pada tingkat pemerintah daerah dan belum sampai pada
tingkat masyarakat.
Ketidakjelasan peran masyarakat dikhawatirkan akan menyebabkan meningkatnya konflik
dengan nelayan sebagaimana marak terjadi pada kebanyakan KKP yang telah berdiri. Di
sinilah dimensi perjuangan baru mesti dilakukan; perjuangan terhadap hak-hak nelayan yang
dulunya mereka miliki namun hilang karena intervensi pihak luar atas nama konservasi. Proses
desentralisasi juga efektif terhadap pengelolaan karena adanya rasa memiliki masyarakat
terhadap hak-hak mereka: laut tempat mereka hidup.
80
81
abupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumber daya pesisir
dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah laut kabupaten ini terdapat
terumbu karang yang luas dengan kondisi yang cukup baik. Keragaman terumbu karang
Berau diperkirakan tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat dan ketiga di dunia.
Hutan mangrove ditemukan di Delta Berau dan di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah
pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies
yang dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumba-lumba, duyung, dan beberapa
spesies lainnya. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau
terbesar di Indonesia. Selain itu, potensi perikanan dan pariwisatanya masih baik.
Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Berau terdapat berbagai permasalahan
seperti perusakan terumbu karang, penurunan populasi penyu, praktik penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya.
Dengan potensi sumber daya pesisir dan laut yang besar beserta permasalahannya,
wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau perlu dikelola dengan baik dan tepat. Hal ini
guna menjaga kelestarian dan berjalannya fungsi dari sumber daya tersebut sehingga
dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Sesuai dengan program pemerintah (DKP) yang tengah menggalakkan pembentukan
KKL di berbagai daerah, Kab Berau menyambut baik upaya ini melalui pembentukan
Kawasan Konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau). KKL Berau ditetapkan melalui
Peraturan Bupati Berau tahun 2005. Hal ini sejalan dengan kewenangan Pemerintah Kab
Berau melalui Peraturan Daerah No 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kab Berau. Batas KKL ke arah darat ditetapkan sesuai dengan batas kawasan lindung
hutan mangrove berdasarkan Perda No 3 tahun 2004. Luas KKL Berau sendiri sebesar
1.222.988 ha. Secara umum, tujuan pembentukan KKL Berau adalah untuk melindungi
keanekaragaman laut, serta menjamin pemanfaatan sumber daya perikanan dan pariwisata
bahari berkelanjutan di Kab Berau.
Secara administratif Kab Berau merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota di
Kalimantan Timur. Luas wilayahnya 3.426.070 ha dengan luas laut sekitar 1.222.988
ha. Kabupaten ini berbatasan dengan Kab Bulungan di sebelah barat dan utara, Selat
Makassar di sebelah timur, dan Kab Kutai Timur di sebelah selatan.
KKL Berau terletak Antara Pulau Panjang, Tanjung karangtigau dengan karang
Baliktaba di utara, menghadap ke Selat Makassar ke arah timur dan Semenanjung
Mangkalihat di sebelah selatan. Luas wilayah KKL meliputi seluruh wilayah pesisir dan laut
termasuk kawasan mangrove, yaitu 1.222.988 ha, meliputi 7 kecamatan pesisir di atas,
kecuali Kec Sambaliung.
Untuk memudahkan pengelolaan, KKL Berau diusulkan menjadi 3 kawasan
pengelolaan, yakni bagian utara, tengah, dan selatan. Kawasan bagian utara meliputi
82
Satwa yang berhasil melewati masa jurasik, penyu kerapkali menjadi target aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Reptil laut yang tak mengenal batas wilayah suatu negara ini telah memiliki jalur migrasi
dan jelajah yang rutin untuk melanjutkan kehidupannya. Inilah yang perlu diperhatikan oleh kita.
wilayah laut, pulau-pulau kecil, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di
Kec Pulau Derawan dan Maratua. Bagian tengah meliputi wilayah laut dan hutan mangrove
Kec Tabalr, Balatan Lempake, dan Talisayan. Sedangkan bagian selatan mencakup laut,
pulau-pulau kecil, terumbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kec Batu Putih dan
Biduk-biduk.
Zonasi pada KKL Berau mencakup kawasan yang dilindungi penuh (no take zones),
terutama kawasan yang sangat penting untuk peningkatan stok ikan, seperti kawasan
pemijahan dan proses-proses ekologis yang lain. Zonasi KKL juga mencakup kawasan
pemanfaatan ekstraktif dan kawasan pemanfaatan terbatas. Zonasi itu ditujukan untuk
perlindungan keanekaragaman hayati dengan menjamin pemanfaatan sumber daya laut
secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pengguna lokal.
Bekerja secara kolaborasi sebagai satu tim dalam pengembangan dan pengelolaan KKL
Berau merupakan hal yang paling tepat dibandingkan bekerja sendiri-sendiri. Hal ini karena
keterbatasan sumber daya masing-masing lembaga dalam mengelola wilayah yang demikian
luas. Di Berau dibentuk suatu forum yang disebut Sekretariat Bersama Kelautan (Sekber)
Berau. Forum ini berfungsi sebagai pusat koordinasi antar Lembaga Non-Pemerintah dan
Pemerintah Kab Berau. Saat ini anggota Sekber Berau dari non-Pemerintah ada 6 (enam),
yaitu Bestari, Kalbu, TNC, Mitra Pesisir, WWF, dan Kehati.
Meski bukan tanpa masalah, kesuksesan model zonasi dan sistem kerja koalisi dan
kolaboratif di KKL Berau merupakan langkah yang patut dicontoh oleh pengembanganpengembangan KKL di daerah lain.
83
Kawasan konservasi perairan tak hanya melestarikan kehidupan bawah laut tetapi sekaligus
menyokong pembangunan perikanan laut yang berkelanjutan. Sumber daya ikan merupakan faktor
utama bagi kaum nelayan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di wilayah mereka.
84
85
ndonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas laut lebih besar daripada luas daratan.
Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki kekayaan
dan keanekaragaman sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat pulih seperti
perikanan, hutan mangrove, terumbu karang, dan lainnya, maupun yang tidak dapat pulih
seperti minyak, gas, dan bahan tambang. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan
yang mengundang daya tarik berbagai pihak untuk memanfaatkannya.
Sumber daya kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi pemanfaatannya sampai saat ini kurang
memerhatikan kelestariannya. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi, kualitas serta
keanekaragaman hayati yang ada. Sebagai contoh adalah degradasi ekosistem terumbu
karang yang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an. Hasil penelitian Pusat Penelitian
Oceanografi LIPI tahun 2006 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang yang sangat
baik hanya tinggal 5,23 %, baik 24,26 %, cukup 37,34 % dan yang kurang baik atau
rusak sebesar 33,17 %. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan data
pada tahun sebelumnya dimana yang sangat baik masih tercatat sebesar 5,8 %, baik
25,7 %, cukup 37,34 % dan kurang baik atau rusak sebesar 31,9 %.
Data tersebut menunjukkan sebagian besar terumbu karang di Indonesia dalam
keadaan rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan
destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan karang,
pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi. Pelaku perusakan tidak hanya dilakukan
oleh nelayan-nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan
asing.
Dalam rangka mengatasi dergradasi sumber daya kelautan di Indonesia, diperlukan
suatu desain pengelolaan yang komprehensif. Desain pengelolaan ini diharapkan dapat
menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan
masyarakat. Desain pengelolaan tersebut adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki
potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan, serta
ekosistemnya menjadi kawasan konservasi laut (KKL). Desain pengelolaan ini telah
diterapkan di banyak negara.
Di beberapa tempat, KKL telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam melindungi
keanekaragaman hayati pesisir dan laut, serta pengelolaan pemanfaatan sumber daya
secara berkelanjutan, seperti perikanan tangkap dan pariwisata.
Banyak contoh tentang dampak dari dibentuknya kawasan konservasi laut, Terdapat
dua bukti dampak kawasan konservasi laut dalam mendukung perikanan berkelanjutan.
Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah no-take-zone memiliki persediaan
ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih
86
beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan
wilayah penangkapan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit
untuk dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah
dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi lapangan
untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa
perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut,
dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan dapat
dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi dari kegiatan
penangkapan (Roberts & Hawkins 2000).
Selain itu, Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan
nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan
(fishing the line) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan
komersial. Selanjutnya, McClanahan 1994 dalam Robert&Hawkins (2000) juga
menjelaskan bahwa dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang
yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan.
Beberapa cuplikan tentang dampak kawasan konservasi laut di wilayah Indo-Pasifik
berdasarkan negara. Antara lain: Indonesia--Biomassa dan rata-rata ukuran spesies
ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan
kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006); Papua New
Guinea--Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada
di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional
(Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006); Philipina--Biomassa predator ukuran besar
meningkat 8 kali di wilayah perlindungan. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan
dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in
Roberts & Hawkins 2000); Hawaii--Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam
wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya-Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat
10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine
87
88
89
90
91
92
93
94
95
Perairan nasional di masa datang akan lebih berperan nyata melalui kerjasama
antarnegara, antar instansi pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM), baik nasional maupun internasional. Dalam pengelolaan kawasan konservasi
laut, pemerintah telah bekerjasama dengan sejumlah lembaga non pemerintah,
seperti World Wide Fund for Nature (WWF), The Nature Conservancy (TNC),
Conservation International (CI) Indonesia, Marine Aquarium Council (MAC), Yayasan
Kehati, Yayasan Terangi serta berbagai organisasi non pemerintah lainnya. Untuk
memadukan langkah-langkah pelestarian, juga dilakukan koordinasi bersama Komisi
Nasional Konservasi Laut (Komnaskolaut) dan Komisi Nasional Lahan Basah.
Kelompok-kelompok komunitas juga dibangun dalam berbagai bentuk mailing list
maupun kelompok formal seperti Indonesian Coral Reef Society (INCRES). Kerjasamakerjasama lain di tingkat regional juga terus dilakukan, seperti yang telah dilakukan
bersama beberapa negara: Malaysia, Filipina, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan
Papua Nugini.
Upaya konservasi perairan Indonesia juga ditunjukkan dengan melaksanakan
dan/atau meratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan
konservasi jenis ikan. Indonesia tetap memiliki komitmen untuk terus meningkatkan
pelaksanaannya di dalam negeri. Untuk memenuhi kewajiban Konvensi
Keanekaragaman Hayati, misalnya, DKP telah mengeluarkan sejumlah kebijakan
yang berkaitan dengan konservasi pesisir dan laut, serta konservasi jenis ikan yang
terancam punah dan atau dilindungi.
Dengan beragam upaya dalam mengembangkan pelestarian tersebut di
muka, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar pelestarian
laut menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan
dan kelestarian wilayah perairan Nusantara. w
Mengail ikan air tawar, para pemancing begitu menikmati aktivitas yang dikembangkan di perairan sungai
(kiri). Apabila dikemas dengan baik kegiatan pemanfaatan lubuk larangan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitar. Kita dapat melihat contoh tersebut di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
96
Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi melintasi wilayah perairan Indonesia, yang memiliki ekosistem terumbu
karang yang indah. Saat ini berbagai pihak telah menyuarakan semangat pelestarian untuk melindungi sumber
daya ikan yang kita miliki bagi anak cucu kita di masa mendatang.
Bahan Bacaan
Anonim. 2006. Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2007. Membangun Konservasi Perairan untuk Perikanan Berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency. Jakarta.
Balmford A., P. Gravestock, N. Hockley, C.J. McClean & C. M. Roberts 2004. The worldwide costs of marine protected areas. PNAS
101: 9694-9697
CCIF 2006. Seven year financial model PT Putri Naga Komodo, Sanur, Bali, Indonesia.
CI. 2001. Raja Ampat Marine Rapid Assesment Program Report. Woshington DC USA.
Conservation International IndonesiaI. 2004. Penyu Sang Duta Laut. Jakarta, Indonesia.
Direktorat jenderal Kelautan, Peisisr dan Pulau-pulau Kecil, 2006. Rencana Strategik Pembangunan Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
tahun 2005 2009. Direktorat jenderal Kelautan, Peisisr dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta,
DPI 2002. Fish Habitat Areas: Sustaining Queenslands Fisheries. Brochure from the State of Queensland, Dept of Primary
Industries. 6 p.
Erdmann M.V., P.R. Merrill, M. Mongdong, I. Arsyad, Z. Harahap, R. Pangalila, R. Elverawati & P. Baworo 2004. Building Effective
Co-Management Systems for Decentralized Protected Areas Management in Indonesia: Bunaken National Park Case Study. Natural
Resources Management Program, Jakarta, Indonesia. 150 p.
McClanahan T.R., M.J. Marnane, J.E. Cinner, & W.E. Kiene 2006. A Comparison of Marine Protected Areas and Alternative Approaches
to Coral-Reef Management. Current Biology 16: 14081413
Mackinnon, K. 1992. Nature Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas, Part II. Periplus Edition.
Pacific Consultants International 2001. Study on Fisheries Development Policy Formulation. Volume I. White Paper. Report by Pacific Consultants
International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403). 234 p. + Annexes
Pet-Soede C., H.S.J. Cesar & J.S. Pet 1999. An economic analysis of blast fishing on Indonesian coral reefs. Environmental Conservation
26: 83-93
PISCO (2002) The science of marine reserves. http://www.piscoweb.org. 22 p
Roberts CM, Hawkins JP. 2000. Fully Protected Marine Reserver: A Guide , WWF in Woshington DC USA. University of York, York. UK.
Sumardja E. 2002. Kawasan Konservasi Laut (KKL): Kini Bukan Untuk Konservasi Saja. Bahan Presentasi pada WCPA Workshop di
Bangkok Thailand.
Sembiring, S.N. dan F. Husbani. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia : Menuju Pengembangan
Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia /ICEL.
Ward T, Eddie Hegeri, 2003. Wilayah Suaka Laut dalam Manajemen Perikanan Berbasis Ekosistem. Departemen Lingkungan Hidup dan
Kelestarian Alam. Jakarta
97
98
99
100