Anda di halaman 1dari 79

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN

NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN


PROVINSI SUMATERA SELATAN

THERESIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan ekosistem


mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016

Theresia
NIM C252130341
RINGKASAN

THERESIA. Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang


Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh
MENNOFATRIA BOER dan NIKEN T.M PRATIWI.

Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting


diwilayah pesisir. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-
II/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwa salah satu wilayah di Provinsi Sumatera
Selatan memiliki kawasan Mangrove yang berada di Taman Nasional Sembilang.
Luasan mangrove di Taman Nasional Sembilang tahun 2003 sebesar 91.679.45 ha
dan tahun 2009 berkurang menjadi 83.447.23 ha atau sekitar 9,80 %. Semua
permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik, penyebab utama
permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang.
Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamis tergantung dari
perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif
daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam
terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara
konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan
terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi,
sosial ekonomi dan kelembagaan. Salah satu alat yang digunakan untuk
mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan mangrove ini adalah metode RAPFISH
(Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah
satu alat untuk analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian
berbasis Multi Dimensional Scalling (MDS).
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis status keberlanjutan
pengelolaan ekosistem mangrove dan (2) merumuskan alternatif kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove agar dapat efektif dan berkelanjutan. Penelitian
ini dilaksanakan di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin
Sumatera Selatan selama dua bulan, yaitu pada bulan Maret-April 2015.
Kondisi tekini tahun 2015, mangrove di Taman Nasional Sembilang
dimana di dominansi oleh jenis mangrove Exoceria agallocha sebesar 99,94%,
nilai kerapatan relatif tertinggi 98,4%. Jenis mangrove Exoceria agallocha
memberikan pengaruh dan peranan yang besar dalam komunitas mangrove di
Taman Nasional Sembilang. Terjadi laju degradasi tutupan mangrove,
membandingkan dua tahun, yaitu tahun 2002 dan 2013. Berdasarkan interpretasi
visual terhadap data penginderaan jauh, didapatkan informasi bahwa luas tutupan
mangrove mengalami penurunan tiap tahun pengamatan, tahun yang diambil
didasarkan pada alasan membandingkan sebelum dan setelah ditetapkan sebagai
kawasan konservasi, dengan memanfaatkan citra Landsat-7 ETM dan Landsat-8,
luasan tutupan mangrove pada tahun 2002 sebesar 93808.73 ha dan menurun pada
tahun 2013 menjadi 78597.55 ha atau sekitar 115211.18 ha (16 %). Luasan
mangrove dari tahun ke tahun berkurang, hal ini mungkin disebabkan aktivitas
penduduk seperti penebangan hutan, pemanfaatan hutan mangrove untuk kegiatan
pertanian, pembukaan lahan tambak serta kawasan ini juga mengalami
pengurangan lahan akibat dibangunnya pelabuhan Tanjung Api-Api.
Nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp 14 milyar/tahun atau Rp
178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem mangrove di Taman Nasional
Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan serta luasan mangrove tidak
berkurang maka nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14 milyar. Status
keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan adalah “Kurang berkelanjutan”dengan nilai indeks
keberlanjutan multidimensi 49,81. Berdasarkan analisisi Leveragedalam metode
RAPFISH terdapat empat indikator yang dominan memberikan kontribusi
terhadap nilai indeks keberlanjutan, yaitu (1) Perubahan luasan, (2) Indeks nilai
penting mangrove, (3) Peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove,
(4) Mata pencaharian, (5) Nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat
setempat dan (6) Tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
mangrove. Dalam hal ini, alternatif kebijakan yang direkomendasikan ialah
pemberdayaan masyarakat yang bisa memiliki keterampilan dalam pemanfaatan
mangrove yang lestari.

Kata Kunci: Pengelolaan Mangrove, Taman Nasional Sembilang


SUMMARY

THERESIA. Mangrove Ecosystem Management in Sembilang National Park,


Banyuasin Regency, South Sumatra Province. Supervised by MENNOFATRIA
BOER and NIKEN T.M. PRATIWI.

Mangrove has been the important life supporting ecosystem in coastal


zone. According to Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 in 19
Maret 2003, one of areas in South Sumatera Province has mangrove zone located
in Sembilang National Park. However reduction of 9.8% mangrove area occurred,
that was from 91.679.45 ha in 2003 to 83.447.23 ha in 2009. Moreover, it was
found that all problems deal with antropogenic activity which becomes the main
cause for both problem and threat in area around Sembilang National Park.
Management of mangrove ecosystem is dynamic and depends on existing
policy development. Differences between regional, national, and international
perspective in natural resource management particularly in mangrove ecosystem
often causes conflict of interest between conservation and conversion. Therefore,
assessment of management of resources including mangrove ecosystem should be
continously evaluated in ecological, economic, social, and institutional aspect.
RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Evaluating Fisheries Sustainability) is
a tool to analyze conservation status of mangrove ecosystem through Multi
Dimensional Scalling (MDS) based modification.
Aims of this study were to (1) analyze continuity status of mangrove
ecosystem management and (2) formulate effective and sustainable alternative
policy of mangrove ecosystem management. The study was carried out in
Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South Sumatra Province on
March-April 2015.
Recent condition in 2015 showed that mangrove area in Sembilang
National Park was 99.94% dominated by Exoceria agallocha with highest relative
density reached to 98.4%. Thus, E. agallocha had both large effects and roles in
mangrove community in Sembilang National Park. Yet, degradation rate of
mangrove coverage occured in 2002 and 2013. Based on visual interpretation on
remote sensing data, mangrove coverage decreased in each observation year, that
was year before and after the area gained its status as conservation area. By using
Landsat-7 ETM and Landsat-8 images, mangrove coverage area was found to be
93.808.73 ha in 2002 and decreased about 16% or 115.211.18 ha, that was
78.597.55 ha in 2013. Decline in mangrove area over the years was probably due
to human activity such as deforestation, mangrove utilization for agricultural
activity, fishpond clearing and also construction of Tanjung Api-Api port.
Total economy value of mangrove ecosystem in Sembilang National Park,
Banyuasin Regency, South Sumatra was IDR 14.007.740.119.00 year-1 or IDR
178.221.00 ha-1 year-1. This value means that as much as IDR 14.007.740.119.00
continues to be maintained if mangrove ecosystem in Sembilang National Park is
sustainably managed and mangrove area does not decline. Sustainability status of
mangrove management in Sembilang National Park, Banyuasin Regency, South
Sumatra was categorized as “Less Sustainable” with multidimensional
sustainability index reached a value of 49.81. Based on Leverage analysis in
RAPFISH method there were six dominant indicators contributing to
sustainability index value, those were: (1) Changes in area, (2) Important value
index of mangrove, (3) Knowledge improvement on mangrove ecosystem, (4)
Livelihood (5) Economic value of mangrove ecosystem on local community and
(6) Synergy level between policy and institution for mangrove management. At
this point, alternative policy chose as recommendation is community
empowerment which later will create community equipped with skill to perform
sustainable utilization of mangrove.

Keywords: Mangrove Management, Sembilang National Park


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TAMAN
NASIONAL SEMBILANG KABUPATEN BANYUASIN
PROVINSI SUMATERA SELATAN

THERESIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Sumberdaya Pengelolaan Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis mengenai Pengelolaan ekosistem
mangrove di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
berhasil diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di
Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria
Boer,DEA dan Ibu Dr Ir Niken T.M Pratiwi, M.Si selaku pembimbing yang telah
banyak memberi saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu,
penulis juga berterima kasih kepada keluarga tercinta (Ayahanda Makmun
Harun,BA, Ibunda Fatimah,S.Pd, Bapak dan Ibu mertua Supriyono, M.Si dan
Dr.Hartati,M.Kes serta suami tercinta M.Gandri Haryono,S.Kel, M.P dan buah
hati saya Aqilah Salsabila Haryono, serta saudara Richardo,M.M, M.Si. Nike
marlini, Nia febrihatin,S.Pd dan semua keponakan tercinta) yang telah memberi
doa, kasih sayang dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Rekan-rekan kuliah SPL 2013 di IPB teman-teman (bang jhotam, bu ati, syarief,
sadam, nike, sigit, kak asri, caya, riqy, jhon, asni, ulin, bang tahmid, bunda yuyun)
yang telah menginspirasi dan telah menjadi teman diskusi serta sebagai sumber
inspirasi maupun penyemangat bagi penulis.
Tesis ini masih belum terlepas dari kesalahan dan kekeliruan dalam
penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran
demi penyempurnaan isi dan tulisan dalam tesis ini.

Bogor, Juni 2016

Theresia
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2 METODE PENELITIAN 5
Waktu dan Lokasi Penelitian 5
Teknik Pengumpulan Data 6
Pengambilan Responden 8
Teknik Pengolahan Data Kuisioner 8
Analisis Data 10
Analisis vegetasi mangrove 11
Analisis data citra satelit 11
Analis nilai manfaat mangrove 11
Analisis Keberlanjutan 13
3 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 16
Letak Geografis Taman Nasional Sembilang 16
Iklim dan Hidrologi 16
Tipe Habitat 18
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 19
Sejarah Kawasan 20
Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan 20
Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional 21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove 23
Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove 23
Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman
Nasional Sembilang 28
Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat 29
Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan
Taman Nasional Sembilang 31
Status keberlanjutan dimensi ekologi 32
Status keberlanjutan dimensi sosial 33
Status keberlanjutan dimensi ekonomi 34
Status keberlanjutan dimensi kelembagaan 36
5 SIMPULAN DAN SARAN 46
DAFTAR PUSTAKA 47
LAMPIRAN 51
RIWAYAT HIDUP 63
DAFTAR TABEL

1 Sumber data sekunder 9


2 Indeks keberlanjutan 14
3 Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output 15
4 Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Taman
Nasional Sembilang 28
5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 31
6 Nilai statistik hasil analisis RAPFISH 39

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin


Sumatera Selatan 2015) 2
2 Kerangka penelitian 5
3 Peta lokasi penelitian 7
4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan 8
5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012) 10
6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 17
7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang 18
8 Penataan zonasi kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010) 22
9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 24
10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 24
11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman
Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 27
12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab.
Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015) 30
13 Tingkat pendidikan responden di Taman Nasional Sembilang
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan 30
14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman
Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 32
15 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekologi di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 33
16 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi sosial di Taman
Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 33
17 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi sosial di Taman Nasional
Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 34
18 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekonomi di Taman
Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 35
19 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekonomi di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 35
20 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi kelembagaan di
Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 36
21 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi kelembagaan di Taman
Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 37
22 Ordinasi RAPFISH untuk status keberlanjutan multidimensi di Taman
Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 38
23 Diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi 38
24 Kestabilan nilai ordinasi multidimensi pengelolaan Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data ekologi mangrive di kawasan Taman Nasional Sembilang 52


2 Nilai manfaat kayu bakar 53
3 Nilai manfaat langsung daun Nypah 53
4 Nilai manfaat langsung Kayu Tinggi 53
5 Nilai manfaat hasil perikanan tangkap di Taman Nasional Sembilang 53
6 Nilai manfaat Kepiting di Taman Nasional Sembilang 54
7 Nilai manfaat Udang di Taman Nasional Sembilang 54
8 Nilai manfaat wisata alam di Taman Nasional Sembilang 54
9 Nilai manfaat langsung bibit Mangrove 54
10 Nilai manfaat tidak langsung Breakwater 54
11 Nilai manfaat keberadaan ekosistem Mangrove di Taman Nasional
Sembilang 55
12 Skoring atribut dimensi ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan pada
pengelolaan Mangrove Taman Nasional Sembilang 56
13 Rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang 60
14 Jenis-jenis manfaat langsung ekosistem Mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan 61
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove menjadi ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di


wilayah pesisir. Mangrove memberikan manfaat yang banyak bagi kehidupan
manusia, menurut Nabi dan Brahmajiraou (2012), mangrove merupakan rumah
bagi hewan laut dan darat serta menyediakan makanan untuk biota yang berada
disekitar ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove dengan substrat berlumpur
menjadi rumah bagi berbagai jenis kerang, kepiting dan ikan (Laoureen et al.
2015). Mangrove dapat tumbuh optimal di substrat tanah berlumpur dan di
pengaruhi pasang surut air laut.
Mangrove memberikan manfaat secara ekologis sebagai penyedia nutrien,
tempat memijah serta mencari makan, melindungi garis pantai dari erosi,
menyediakan area pembibitan dan makan bagi banyak spesies ikan dan krustasea,
intrusi air laut dan angin kencang, penahan tsunami. Mangrove juga memberikan
manfaat ekonomis antara lain sebagai penyedia berbagai hasil hutan kayu ,non
kayu dan jasa ekosistem serta menyedikan tempat area pembibitan mangrove
(Giri et al. 2010, Kuenzer et al. 2011, Sasidhar et al. 2013, Giri et al. 2014 dan
Masood et al. 2015).
Menurut Primack et al. (1998) in Kordi (2012), Indonesia memiliki
mangrove terluas di dunia mencapai 25% (sekitar 4.25 juta ha) atau sekitar 3.98 %
dari seluruh luas hutan Indonesia, namun luas ekosistem mangrove Indonesia
terus mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada wilayah pesisir adalah aktivitas pembangunan, seperti
pemukiman, konversi lahan mangrove menjadi tambak dan industri. Kondisi
tersebut membuat wilayah pesisir menjadi wilayah yang paling rentan terhadap
perubahan, baik secara alami maupun fisik sehingga menyebabkan pengurangan
luasan mangrove. Menurut Malik et al. (2015), pada tahun 1980-2003 setidaknya
1,1 juta ha mangrove hilang, 75% dari daerah daerah yang dikonversi ke budidaya
tambak. Pendapatan ekonomi yang tinggi dari ekspor udang menjadi pendorong
utama perluasan tambak.
Berdasarkan data terbaru tahun 2009 oleh BAKOSURTANAL (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) bahwa luas hutan mangrove di
Indonesia masih mencapai 3.2 juta ha (Saputra 2009). Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, bahwasalah
satu wilayah di provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan Mangrove yang
berada di Taman Nasional Sembilang (Rencana Pengelolaan Taman Nasional
Sembilang 2010).
Seiring pertambahan jumlah penduduk di kawasan Taman Nasional
Sembilang, maka semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove
sehingga semakin besar degradasi atau perubahan-perubahan yang akan terjadi
pada ekosistem mangrove pada kawasan konservasi. Kawasan yang kaya akan
keanekaragaman hayati ini mempunyai segudang harapan bagi masyarakat
dalam meningkatkan taraf hidup, sehingga hutan mangrove sering sekali manjadi
incaran para pemodal dan masyarakat untuk mengelola dan mengubah fungsi
hutan mangrove tersebut (Sobari et al. 2006). Menurut Indica et al. (2011),
menunjukkan bahwa luasan mangrove di Taman Nasional Sembilang tahun 2003
2

sebesar 91679 ha dan tahun 2009 berkurang menjadi 83447 ha atau sekitar 9,80
%.
Begitu juga dengan hasil produksi perikanan laut terlihat bahwa dari tahun
2003-2009, hasil produksi mengalami fluktuatif, dari tahun 2003-2007 mengalami
peningkatan hasil produksi perikanan laut dari 33510 – 41042 ton akan tetapi
pada tahun 2008-2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi
23603 ton, tahun 2014 terjadi penurunan produksi ikan dengan hasil produksi
21191 ton, hal ini dapat di lihat pada(Gambar 1).
45000
40000
Produksi Ikan Laut (ton)

35000
30000 Produksi Ikan
25000 (ton), 21191
20000
15000
10000
5000
0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Tahun

Gambar 1 Grafik hasil produksi perikanan Banyuasin II (sumber: DKP Banyuasin


Sumatera Selatan 2015)

Semua permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik,


penyebab utama permasalahan dan ancaman di sekitar kawasan Taman Nasional
Sembilang. Konflik antar Taman Nasional Sembilanh dan masyarakat setempat
mengenai strategi yang menyangkut mata pencharian dan penghidupan serta
konflik antara Taman Nasioanal Sembilang dan kegiatan-kegiatan bisnis ilegal
dalam skala besar. Masih lemahnya koordinasi antar stakeholder serta masih
adanya perspektif dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan Taman Nasional Sembilang.
Masyarakat setempat telah memanfaatkan mangrove dalam kurun waktu
yang lama, baik pemanfaatan secara langsung maupun tidak langsung, penilaian
nilai ekonomi mangrove sangatlah penting agar masyarakat tahu akan besarnya
nilai valuasi yang diberikan oleh mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pengelolaan ekosistem mangrove bersifat dinamika tergantung dari
perkembangan dari kebijakan-kebijakan yang ada. Adanya perbedaan perspektif
daerah dan nasional serta internasional dalam hal mengelola sumberdaya alam
terutama ekosistem mangrove, sering menimbulkan konflik kepentingan antara
konservasi dan konversi, sehingga diperlukan penilaian keberlanjutan pengelolaan
terhadap sumber daya termasuk ekosistem mangrove, baik dilihat dari ekologi,
sosial ekonomi dan kelembagaan.
Salah satu alat yang digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan
pengelolaan mangrove ini adalah dengan pendekatan RAPFISH (Rapid Appraisal
Technique for Evaluating Fisheries Sustainability), yang salah satu alat untuk
analisis status kelestarian ekosistem mangrove dengan penyesuaian berbasis Multi
3

Dimensional Scalling (MDS) dan bertujuan untuk mempresentasikan teknik


ordinasi secara efektif ke dalam ruang dua atau tiga dimensi agar dapat menilai
status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar menghasilkan suatu
rekomendasi pengelolaan dari setiap dimensi yang paling sensitif atau
berpengaruh terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

Perumusan Masalah

Ekosistem mangrove berperan begitu besar dalam menjaga keberlanjutan


dan keseimbangan ekosistem pantai dan pesisir, akan tetapi pentingnya
pengelolaan ekosistem mangrove dalam menunjang ekonomi masyarakat pesisir
dewasa ini menjadi sebuah perhatian yang khusus karena keberadaan ekosistem
mangrove di wilayah pesisir Taman Nasional Sembilang saat ini mengalami
penurunan seiring dengan berkembangnya pembangunan yang mengubah fungsi
kawasan dari fungsi lindung menjadi peruntukan lain seperti konvesi lahan
mangrove menjadi tambak budidaya dan pemukiman penduduk. Menurut Fauziah
et al. 2012, permasalahan sumberdaya lingkungan yang paling dicemaskan di
Taman Nasional Sembilang adalah kegiatan perikanan ilegal (penggunaan pukat
harimau/trawl) dan konversi lahan tambak.
Berdasarkan informasi dari pihak pengelola yaitu Balai Taman Nasional
Sembilang menunjukkan bahwa isu dan permasalahan yang mengancam upaya
konservasi di Taman Nasional Sembilang sangatlah kompleks. Konversi lahan
(untuk tambak, kebun dan ladang), pemanfaatan hutan ilegal, kegiatan perikanan
yang tidak lestari (penggunaan jaring pukat harimau, polusi kebakaran hutan serta
konflik sosial. Masalah kelembagaan yang kurang koordinasi, tapal batas taman
nasional yang belum jelas, dapat berpengaruh negatif pada pengelolaan ekosistem
mangrove di kawasan konservasi Taman Nasional Sembilang. Semua
permasalahan memiliki hubungan dengan aktivitas antropogenik.
Berdasarkan kondisi yang ada di kawasan Taman Nasional Sembilang
tersebut, kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi upaya
pengelolaan mangrove, mulai dari perencanaan dibentuknya Taman Nasional
Sembilang sebagai kawasan konservasi sampai langkah-langkah yang diambil.
Untuk mengakomodasikan dan mengontrol kebutuhan masyarakat yang tinggal
dan hidup di luar maupun di dalam kawasan Taman Nasional Sembilang.
Ada beberapa faktor penting yang memegang peranan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang. Faktor faktor tersebut seperti
ekologi, sosial ekonomi serta kelembagaannya. Salah satunya meningkatkan
persepsi masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove, masyarakat tidak
hanya memanfaatkan saja akan tetapi dapat meremajakan mangrove itu sendiri
dengan memahami apa fungsi dari ekosistem mangrove, serta mengerti ekosistem
servis dari ekosistem mangrove itu sendiri yang memberikan nilai manfaat bagi
masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang. Nilai ekonomi total dari
mangrove sangatlah penting untuk melihat seberapa besar manfaat keberadaan
ekosistem mangrove dan sebagai dasar bagi pemerintah untuk mengambil
kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
Keberlanjutan ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa indikator
dari dimensi ekologi, dimensi sosial ekonomi dan dimensi hukum/kelembagaan.
4

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui status keberlanjutan ekosistem


mangrove dengan analisis RAPFISH. Keterkaitan antara sub sistem ekologi, sub-
sistem sosial ekonomi dan kelembagaan perlu dilihat untuk mengetahui arahan
kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara optimum, dinamis dan
berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, sehingga ekosistem
mangrove dapat memberi manfaat baik dari sisi ekologi, sosial ekonomi dan
kelembagaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Strategi yang efektif dalam mengelola ekosistem mangrove sangat
diperlukan, karena ekosistem mangrove merupakan sebuah sistem yang tidak bisa
berdiri sendiri dan merupakan sistem yang saling terkait satu sama lain. Dalam hal
ini pengelolaan harus mempunyai pendekatan pengelolaan yang efektif agar
ekosistem mangrove tetap lestari.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah :


1. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
Nasional Sembilang
2. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove Taman
Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat
efektif dan berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Sebagai bahan masukan bagi para pihak (stakeholder) untuk mengelola


ekosistem mangroveTamanNasionalSembilang secara terpadu dan berkelanjutan.
5

Pengelolaan ekosistem mangrove di


Taman Nasional Sembilang

Fungsi ekologi Fungsi sosial Fungsi Ekonomi Fungsi Kelembagaan

Permasalahan :
 Perubahan luasan mangrove
 Konversi mangrove untuk pertambakan
 Konflik pemanfaatan

Kondisi terkini Laju degradasi Nilai ekonomi total Keberlanjutan


vegetasi mangrove ekosistem mangrove pengelolaan ekosistem
mangrove mangrove

Analisis vegetasi Analisis Analisis nilai Analisis


mangrove GIS manfaat keberlanjutan
mangrove (RAPFISH)

Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem


mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.
Banyuasin, Sumatera Selatan
Gambar 2 Kerangka penelitian

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Konservasi Taman Nasional


Sembilang, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan
di dua wilayah yaitu Sektor Pengelolaan Taman Nasional 1 (STPN 1) Sungsang
dan Sektor Pengelolaan Taman Nasional 2 (SPTN 2) Sembilang, Sektor
Pengelolaan Taman Nasional 3 (SPTN 3) Tanah Pilih tidak menjadi wilayah
penelitian dikarenakan kondisi jarak tempuh yang terlalu jauh dan rata-rata
penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Lokasi sampling di tiga desa lokasi
yaitu Desa Sungai Bungin, Desa Sungai Barong dan Desa Sembilang (Gambar 3).
Pemilihan lokasi sampling ini didasarkan pada tiga desa tersebut merupakan
masyarakat yang tinggal disekitaran mangrove dan penduduknya
6

bermatapencaharian yang memanfaatkan hutan mangrove. Penelitian ini


dilaksanakan pada kurun waktu dua bulan, pada bulan Maret-April 2015.
Taman Nasional Sembilang terletak di pesisir timur provinsi Sumatera
Selatan, yang secara geografis berada pada 104014’-104054’ Bujur Timur dan
1053’- 2027’ Lintang Selatan. Kawasan ini secara administratif pemerintahan
termasuk wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan.Sungai bungin terdapat 25 KK (Kepala Keluarga) untuk
sepanjang tahun, Sungai Barong terdapat 150 KK (Kepala Keluarga) untuk
musiman, jadi penduduk yang tinggal di Sungai Barong bersifat musiman atau
tidak menetap, sedangkan di Sungai Sembilang terdapat 281 KK (Kepala
Keluarga) (Balai TN Sembilang, 2012).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis,
perlengkapan untuk kegiatan wawancara, kamera, recorder, komputer, Global
Positioning System (GPS), kompas, meteran dan tali sheet. Sedangkan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain peta dasar peta topografi pesisir Timur
Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera, peta sebaran mangrove, data citra
Landsat, kuisioner, buku identifikasi mangrove.

Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan bersifat eksploratif


dengan tujuan untuk menggali fakta yang ada. Arah penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi fungsi dan manfaat, nilai manfaat, serta strategi pengelolaan
ekosistem mangrove untuk keberlanjutan sumberdaya pada ekosistem mangrove
di Taman Nasional Sembilang. Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini adalah data primer dan sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah metode
observasi dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan
kunci,pengumpulan data sekunder, pengambilan contoh tumbuhan bakau yang
kemudian diidentifikasi dengan dukungan buku-buku identifikasi.
Data primer untuk responden data sosial ekonomi menggunakan teknik
penarikan contoh sengaja (purpossive sampling method). Responden yang di
wawancarai terdiri dari Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan
Kelautan, Kepala Desa, Aparatur Pemerintah Desa, dan masyarakat di kawasan
ekosistem mangrove
Gambar 3 Peta lokasi penelitian

7
7
8

Responden masyarakat yang di wawancarai adalah responden yang menetap


di daerah tersebut, yang telah mengetahui keadaan dan kondisi dari ekosistem
mangrove di daerah tersebut.
Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode transek
garis dan petak contoh (line plots transect) (Bengen 2004) dan identifikasi
mengacu pada Noor et al. (1999). Untuk setiap stasiun hanya diambil satu transek
garis dari arah laut ke darat atau sebaliknya dengan tiga petak contoh. Petak
contoh ukuran 20 x 20 m2 untuk kategori pohon (diameter >10 cm) yang
ditentukan berdasarkan purposif sampling sedangkan petak contoh ukuran 5 x 5
m2 untuk kategori anakan (diameter 2 – 10 cm). Data vegetasi mangrove pada
tiap petak contoh pengamatan yang dicatat terdiri dari pohon, anakan dan jumlah
individu tiap jenis. Metode transek garis dan petak contoh dari arah laut ke darat
sebanyak 3 petak contoh dalam satu stasiun seperti skema pada Gambar 4.

L D
aut arat
Keteranga
n: Petak sampling Substrat (1 x 1 m)
Petak sampling anakan mangrove (5
x 5 m) Petak sampling pohon mangrove (20 x
20 m)

Gambar 4 Skema metode transek dan petak contoh pengumpulan data lapangan

Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai tulisan lainnya melalui studi


pustaka yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari
publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, berupa laporan-laporan
kajian yang berhubungan dengan kajian penelitian saat ini yang telah dilakukan
oleh berbagai instansi terkait. Data penunjang dan informasi yang diperoleh, data
penunjang dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengambilan Responden

Responden atau sampel dilihat dari jumlah populasi dan ditetapkan


menggunakan Nomogram Harry King dapat dilihat pada Gambar 5. Peneliti
menggunakan Nomogram Harry King dengan pertimbangan hal-hal berikut:
a) Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.
b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini
menyangkut/ banyak sedikitnya data.
c) Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti.

Teknik Pengolahan Data Kuisioner

Teknik kuisioner untuk mengetahui ekologi, sosial ekonomi dan


kelembagaan menggunakan metode skala likert berbasis ordinal (Adrianto
9

2013).Jenis skala yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian (fenomena


sosial spesifik), seperti sikap, pendapat, dan persepsi responden yang diperoleh
dari hasil wawancara melalui kuesioner. Menurut Nazir (2005) pengolahan data
bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dipahami. Data
primer yang diperoleh selanjutnyadilakukanpengolahan data untuk mendapatkan
gambaran dari informasi yang dibutuhkan, antara lain melalui proses :
1. Memeriksa Data (Editing)
Melakukan pengecekan pada pengisian kuisioner apakah: a) Semua
pertanyaan telah terjawab, b) Tulisan jawaban dapat dibaca, c) Jawaban
relevan dengan pertanyaan, d) Satuan yang digunakan seragam, e) Jawaban
antar pertanyaan konsisten.
2. Pemberian Kode (Coding)
Merupakan jawaban yang berupa karakter ke dalam bentuk angka atau
pengolahan data ke dalam bentuk angka untuk memudahkan pengolahan.
3. Pemasukan Data (Entry Data)
Seluruh data dimasukkan ke dalam komputer agar dapat mudah diolah.
4. Tabulasi
Pembuatan tabel-tabel untuk mempermudah pengolahan data.
5. Analisis
Pembuatan analisis untuk dasar penarikan kesimpulan.

Tabel 1 Sumber data sekunder


Sumber Data Jenis Data
Balai Taman Nasional Sembilang  Profil keadaan umum
 Jumlah Penduduk
 Peta kawasan Taman Nasional
Sembilang
 Data penduduk berdasarkan
pendidikan
 Data penduduk berdasarkan
pekerjaan
 Daftar nama Desa di Kawasan
Taman Nasional Sembilang
 Luas wilayah Desa di Kawasan
Taman Nasional Sembilang
 Rencana Program Pengelolaan
Taman Nasional Sembilang
Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Bayuasin II Data Perikanan Tangkap Tahun 2002-
2013
Data Budidaya Perikanan Tahun 2002-
2013
RTP 2002-2013
10

Gambar 5 Nomogram Harry King (Sugiyono 2012)

Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 456 populasi. Tingkat


kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10 %, maka jumlah sampel
atau responden yang diambil sebanyak 456 x 0,17 = 78 responden. Berdasarkan
hasil survey pada bulan Juni terdapat : jumlah responden di Sungai Bungin
sebanyak 25 KK x 0,17 = 5 responden, Sungai Barong150 KK x 0,17 = 26
responden, dan Sungai Sembilang 281 KK x 0,17 = 47 responden.

Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis
deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif adalah menggambarkan
tentang keadaan pesisir sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan
Taman Nasional Sembilang, menggambarkan pengelolaan nyata ekosistem
mangrove. Analisis Kuantitatif adalah mengetahui stuktur dan komposisi dari
ekosistem mangrove, nilai manfaat dari ekosistem mangrove di kawasan Taman
Nasional Sembiang, nilai keberlanjutan ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan
serta rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
Nasional Sembilang.
11

Analisis vegetasi mangrove


Komposisi jenis dan struktur vegetasi dilakukan dengan menganalisis
parameter yang mengacu pada Sofiyan (2012) yaitu:
a. Kerapatan Suatu Jenis (K), dihitung dengan rumus:

b. Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus:

c. Frekuensi (F),

d. Frekuensi Relatif, dihitung dengan rumus:

e. Dominansi, dihitung dengan rumus:

f. Dominasi Relatif (DR), dihitung dengan rumus:

g. Indeks Nilai Penting : INP = KR + FR + DR

Analisis data citra satelit


Analisis citra satelit dilakukan melalui proses-proses pemotongan, koreksi
radiometric, koreksi geometric, pemulihan citra, penajaman citra, klassifikasi
citra, pengeditan dan pengkelasan. Analisis spasial dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak system informasi geografis (SIG). SIG digunakan
untuk merubah seluruh data peta dan data citra satelit menjadi polygon, line, dan
point (data raster ke vector ) dan untuk mengklasifikasi data. Selanjutnya hasil
anaisis spasial kemudian dilakukan tumpang susun untuk melhat perubahan yang
terjadi dari waktu ke waktu. Analisis citra menggunakan software ER Mapper 7.0
dan Arc Gis 10.1 (Santos et al. 2014, Li et al. 2013, Nguyen et al. 2013)

Analis nilai manfaat mangrove


Adrianto (2006) dalam Nugroho TS (2009) menyatakan bahwa nilai
ekonomi total manfaat ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional
Sembilang adalah :
1. Manfaat Langsung
Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat diperoleh secara langsung
dari ekosistem hutan mangrove yang terdiri dari manfaat langsung hasil hutan
dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat tersebut dapat di jabarkan :
a. Manfaat Langsung Hasil Hutan (MLH)
MLH = ∑ i

i merupakan manfaat langsung hasil hutan ke i. Manfaat langsung


hasil hutan terdiri dari: Kayu bakar, Pembuat atap nypahdan kayu tingi
(Ceriops tagal) untuk tiang rumah.
12

b. Manfaat Langsung Hasil Perikanan (MLP)

MLP = ∑ i

i merupakan manfaat langsung hasil perikanan ke i. Manfaat langsung


hasil perikanan terdiri dari: Ikan, Kepiting bakau, Rajungan, Udang ebi,
Tambak tradisional dan Tambak silvofishery.

c. Manfaat langsung keseluruhan pemanfaatn hutan mangrove dapat di tuliskan


sebagai berikut :

ML = MLH + MLP + MJL


ML merupakan manfaat Langsung, MLH disebut sebagai manfaat
langsung hasil hutan sedangkan MLP singkatan dari manfaat langsung hasil
perikanan dan MJL merupakan manfaat jasa lingkungan.

2. Manfaat Tidak Langsung (MTL)


Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diperoleh secara tidak
langsung. Meliputi : Penahan abrasi pantai. Manfaat tersebut dapat dituliskan
MTLa yaitu manfaat tidak langsung penahan abrasi pantai

3. Manfaat Pilihan
Manfaat pilihan adalah Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati
(bideversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ 1500 /Km/Tahun
Ruitenbek (1994) dalam Nugroho TS (2009). Manfaat pilihan dapat dituliskan
sebagai berikut :

MP = MPbi (dimasukan dalam nilai rupiah)

MP merupakan manfaat pilihan (Rp/ha/tahun) dan MPbi merupakan


manfaat pilihan biodiversity (Rp/ha/tahun).

4. Manfaat Eksistensi (ME)


Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dari
keberadaan hutan mangrove dari manfaat lainnya/ Manfaat eksistensi dapat
dituliskan sebagai berikut :

ME = ∑

ME merupakan manfaat eksistensi sedangkan MEi merupakan manfaat


eksistensi dari responden ke-i dan n ialah jumlah responden.

5. Nilai Ekonomi Total


Nilai ekonomi total adalah jumlah total dari nilai manfaat langsung, nilai
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat eksistensi. Nilai ekonomi
total manfaat mangrove adalah :
13

NET = ML + MLT + MP + ME
NET merupakan nilai ekonomi total dari penjumlahan ML (Manfaat
langsung), MTL(Manfaat tidak langsung), MP (Manfaat pilihan) dan ME
(Manfaat eksistensi).

Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
Nasional Sembilang dilakukan dengan memodifikasi pendekatan RAPFISH
(Rapid Asessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries
Center, Univercity Of British Colombia (Kavanagh 2001 ; Pitcher dan Preikshot
2001; Alder et al. 2002; Cisse et al. 2014). Dalam penelitian ini metode RAPFISH
untuk ekosistem mangrove dilakukan dengan menilai atribut/indikator yang
terdapat pada masing-masing dimensi pengelolaan mangrove di Taman Nasional
Sembilang yang meliputi dimensi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Secara ringkas prose algoritma metode RAPFISH melalui beberapa tahapan
berikut:
1. Penentuan indikator pengelolaan mangrove di Taman Nasional Sembilang
secara berkelanjutan untung masing-masing dimensi (ekologi, sosial, ekonomi
dan kelembagaan). Empat dimensi dan 23 atribut ini akan menggambarkan
status keberlanjutan dari ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional
Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan..
2. Penentuan nilai setiap indikator (skoring) dalam skala ordinal, berdasarkan
kriteria berkelanjutan untuk setiap faktor dan Scientific Judgement dari
pembuat skor. Penentuan kriteria nilai ini mencerminkan realitas kondisi lokasi
penelitian, yang secara rinci diuraikan pada Lampiran 12.
3. Analisis Nilai Stess dapat mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi
dengan nilai jarak multidimensi. Nilai stress yang dilambangkan dengan S dan
koefisien determinasi (R2) digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil
analisis yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah S < 0,25 dan
nilai R2 yang tinggi (Fauzi dan Anna 2002).
Untuk menentukan jarak antar masing – masing dimensi dalam kajian, dalam
aplikasi MDS digunakan kuadrat jarak Euclidean. Kuadrat jarak Euclidien
untuk kasus dua dimensi dapat digambarkan sebagai berikut : Teknik ordonansi
(penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam
ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut (Gramendia et al. 2010)
4. Penentuan status keberlanjutan, berdasarkan pada indeks keberlanjutan
perikanan. Indeks keberlanjutan pengelolaan mempunyai selang antara 0-100.
Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiapaspek yang dikaji
dalam bentuk skala 0 sampai 100. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai
indeks lebih dari 75 maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable)
dan sebaliknya jika kurang dari 75 maka sistem tersebut belum berkelanjutan
(unsustainable), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 (Santoso
2012).
14

Tabel 2 Indeks keberlanjutan


Nilai Indeks Kategori
0-25 Tidak berkelanjutan
26-50 Kurang berkelanjutan
51-75 Cukup berkelanjutan
76-100 Berkelanjutan
Sumber: Susilo (2003)
5. Melakukan analisis Leverage dan analisis Monte Carlo untuk
memperhitungkan aspek ketidakpastian (Fauzi dan Anna 2005). Nilai indeks
keberlanjutan dapat ditingkatkan di masa mendatang, dengan melakukan
analisis Leverage untuk menentukan nilai faktor yang berpengaruh terhadap
keberlanjutan tiap dimensi. Nilai faktor berada pada rentang 2-8 (Pitcher 1999).
Apabila terdapat indikator dengan nilai faktor < 2 merupakan faktor tak
berpengaruh, sedangkan nilai > 8 merupakan faktor dominan.
Keselurahan parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output
yang dihasilkan dari tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Parameter, jenis data, sumber data, analisis data dan output
No Tujuan Jenis Data Jenis Sumber Data Sumber Data Analisis Output
1 Menganalisis kondisi terkini Vegetasi Mangrove  Data Primer  Observasi  Analisis vegetasi  Kondisie ksistin Vegetasi
dari vegetasi mangrove di  Kerapatan (Kordi 2012) ekosistem mangrove
Taman Nasional Sembilang  Frekuensi
 Dominasi Tingkat dan trend laju kerusakan
 Indek nilai  Data Sekunder  Sistem Informasi mangrove tahun 2002 dan 2013
penting berupa citra ETM 7 Geografis,
 LajuKerusakan dan 8 Penginderaan jauh
tutupan mangrove (Santos et al. 2014; Li
tahun 2002 dan et al. 2013
2013
2 Mengestimasi besar nilai  Manfaat langsung  Data Primer Wawancara dan  Analisis nilai total Informasi nilai total manfaat
ekonomi total dari ekosistem  Manfaat tidak Quisioner mangrove (valuasi mangrove yang ada pada kawasan
mangrove di Taman Nasional langsung menggunakan ekonomi) Taman Nasional Sembilang dari
Sembilang  Manfaat pilihan Teknik purposive kegiatan masyarakat yang
 Manfaat total sample memnanfaatkan mangrove.
(Morissa,2012)

3 Menganalisis status Status ekologi,  Data Primer Untuk ekologi  Analisis Informasi tingkat keberlanjutan
keberlanjutan pengelolaan sosial ekonomi, observasi, sosial multidimensional apakah sudah optimal apa tidak
ekosistem mangrove di kelembagaan. ekonomi dan scaling (MDS) dan rekomnendasi strategi
Taman Nasional Sembilang kelembagaan menggunakan pengelolaan ekosistem mangrove
quisioner RAPFISH Taman Nasional Sembilang
4. Merumuskan alternatif Alternatif kebijakan  Data Primer Wawancara  Analisis Deskriptif Rekomendasi strategi pengelolaan
kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
ekosistem mangrove Taman Nasional Sembilang
Nasional Sembilang di
Kabupaten Banyuasin
Sumatera Selatan agar dapat
efektif dan berkelanjutan

15
15
16

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis Taman Nasional Sembilang

Lokasi Taman Nasional Sembilang terletak sekitar 10 53’ Lintang Selatan


dimana hal ini akan menentukan suhu konstan (26-280C) yang relatif tinggi
terhadap kawasan. Kedekatannya dengan garis equator akan sangat berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan mangrove maupun kandungan biomassa pada habitat
ini. Secara geografis, wilayah Taman Nasional Sembilang berada pada koordinat
1040 11’- 1040 94’ Bujur Timur dan 10 53’-2027’ Lintang Selatan. Secara
administratif berada pada wilayah Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten
Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Luas kawasan TNS mencakup 202.896,31
ha (berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 95/Kpts-II/2003, tanggal 19 Maret
2003) yang sebagian besar mencakup hutan mangrove di sekitar sungai-sungai
yang bermuara di teluk Sekanak dan teluk Benawang, Pulau Betet, Pulau
Alagantang, Semenanjung Banyuasin serta perairan di sekitarnya
Batas-batas kawasan Taman Nasional Sembiang sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Desa Tanah Pilih dan Sungai Benu
- Sebelah Timur : Selat Bangka, Sungai Banyuasin dan Pelabuhan Tanjung
Api-api.
- Sebelah Selatan : Sungai Banyuasin, Sungai Air Calik, Sungai Lalan, Desa
Tabala Jaya, Desa Majuria, Desa Jatisari, Desa Sungsang
IV, Perkebunan PT. Citra Indo Niaga dan PT. Raja Palma.
- Sebelah Barat : PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Hijau Permai,
kawasan transmigrasi Karang Agung

Iklim dan Hidrologi

Kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki iklim tropis dengan rata-


rata curah hujan tahunan 2.455 mm. Musim kemarau biasanya terjadi dari bulan
Mei hingga Oktober, musim hujan dengan angin barat laut yang keras dan
membawa butiran hujan dari November hingga April. Sebagian besar kawasan
Taman Nasional Sembilang terdiri dari habitat estuarin. Sejumlah sungai yang
relatif lebih pendek menyalurkan air dari rawa air tawar tadah hujan dan hutan
rawa gambut yang terletak jauh ke daratan dalam sebuah pola menyirip ke
wilayah pesisir taman nasional. Sungai terbesar adalah adalah Sungai Sembilang
yang diperkirakan berukuran panjang 70 Km. Sungai lainnya memberikan
kontribusi pada formasi habitat estuarin. Di kawasan Taman Nasional Sembilang
terdapat ± 70 sungai yang semuanya bermuara ke Laut Cina Selatan dan Selat
Bangka.
Gambar 6 Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010)

17

17
18

Tipe Habitat

Secara umum kawasan Taman Nasional Sembilang memiliki habitat-


habitat yang dipengaruhi oleh sistem muara sungai. Vegetasi hutan mangrove
tumbuh baik di kawasan ini, yang ke arah daratan terdapat rawa belakang
(backswamps) berupa hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut. Ke arah laut
di banyak tempat, terutama di Semenanjung Banyuasin terdapat dataran lumpur
yang luas. Skema gradien habitat di Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada
Gambar 7.
Hutan mangrove yang termasuk dalam Taman Nasional Sembilang
merupakan hamper seluruh hutan mangrove yang ada di pesisir timur Kabupaten
Banyuasin. Hutan mangrove di sepanjang Sungai Sembilang, Terusan Dalam, dan
hampir semua sungai yang bermuara di Terusan Sekanak/Teluk Benawang
mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata. Semakin
arah daratan atau ke arah hulu Rhizophora mucronata akan berasosiasi dengan
Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal.

Gambar 7 Skema gradient habitat di kawasan Taman Nasional Sembilang

Vegetasi Nipah (Nypa fruticans) dapat dijumpai di hulu-hulu sungai. Pada


pantai berlumpur vegetasi mangrove didominasi oleh genus Avicennia (Api-api).
Jenis ini menyebar dari belakang pantai berlumpur sampai ke daerah yang
digenangi oleh air laut pada saat pasang, dan berasosiasi dengan spesies lain
seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata atau Bruguiera
gymnorrhiza. Pada tingkat tumbuhan bawah daerah yang digenangi air pasang
dibelakang pantai berlumpur, umumnya merupakan spesies Acanthus illicifolius.
Tipe habitat dan vegetasi ini dijumpai di Semenanjung Banyuasin. Rawa belakang
umum terdapat di belakang habitat hutan mangrove atau daerah hulu sungai
dengan jenis yang dominan adalah spesies Xylocarpus granatum dan Nypa
fruticans. Pada tempat yang relatif kering, ditemukan juga jenis Cerbera manghas
dan Exoecaria agalocha.
Rawa-rawa air tawar, ditemukan spesies indikator untuk habitat tersebut
yaitu Oncosperma tigillarium (Nibung) dan Alstonia sp. (Pulai). Pada tingkat
tumbuhan bawah spesies yang dominan adalah Nephrolepis sp. dan Pluchea
indica, suatu spesies yang termasuk mangrove ikutan yang cenderung berada di
lokasi yang tawar. Rawa air tawar ini terdapat di hulu Sungai Deringgo Besar dan
19

yang lebih luas berada di Sungai Benu, yang berbatasan dengan kawasan Taman
Nasional Berbak. Rawa air tawar dan rawa bergambut di kawasan Taman
Nasional Sembilang ini sebagian besar terletak di luar kawasan Taman Nasional
Sembilang. Selain berupa hutan, kawasan Taman Nasional Sembilang juga
mempunyai habitat yang bervegetasi semak / belukar, dengan vegetasi dominan
Acrostichum sp. Tipe habitat ini terdapat di hulu anak Sungai Sembilang
(Simpang Satu) dan Pulau Alanggantang sebelah utara. Melimpahnya
Acrostichum erat kaitannya dengan anthropogenic disturbance (gangguan akibat
kegiatan manusia). Termasuk diantaranya kegiatan pembukaan lahan (termasuk
kebakaran hutan) yang akan memberikan peluang kepada jenis Acrostichum sp.
untuk berkembang secara ekstensif.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Pemukiman di dalam kawasan Sembilang meliputi Terusan Dalam,


Tanjung Birik, Simpang Ngirawan (Merawan), Dusun Sembilang, Sungai Bungin,
dan bagan bagan ikan di perairan pantai. Pemukiman juga terdapat di sekitar
kawasan, seperti di Tanah Pilih, Sungsang, dan Karang Agung. Karang Agung
merupakan daerah transmigrasi yang berada di selatan kawasan. Beberapa
pemukiman para petambak udang terdapat di Semenanjung Banyuasin (Solok
Buntu dan sekitarnya). Pemukiman Desa Tanah Pilih mayoritas masyarakatnya
berasal dari suku Bugis yang tiba di pesisir Sembilang sebelah utara (dekat Sungai
Benu) sekitar 30 tahun yang lalu, dan mulai membuka mangrove dan hutan rawa
untuk pertanian (padi dan kelapa) sebelum beralih ke kegiatan mencari ikan di
sungai di Terusan Dalam. Namun demikian, Dusun Sembilang tampaknya telah
ada jauh sebelum masyarakat Bugis datang. Di Desa Sembilang dan juga
Sungsang penduduknya juga terdiri dari suku Melayu. Tidak ada data mengenai
kapan Dusun Sembilang mulai ada, namun Desa Sungsang diperkirakan telah ada
sekitar 500 tahun yang lalu (RPTN 2010 ).
Kawasan pemukiman di dalam Taman Nasional Sembilang yang cukup
besar terletak di muara Sungai Sembilang yaitu Dusun Sembilang yang
merupakan bagian kawasan Desa Sungsang IV. Kegiatan perikanan di kawasan
perairan Sembilang sebagian besar terpusat di sini, selain di Sungsang, ibu kota
kecamatan Banyuasin II yang terletak di muara Sungai Musi (di luar kawasan
TN). Beberapa pemukiman juga tersebar di muara-muara sungai di kawasan
Taman Nasional Sembilang ini. Di bagian utara kawasan Taman Nasional
Sembilang, pemukiman yang cukup lama terletak di Terusan Dalam. Di samping
itu, sejumlah keluarga juga tinggal di atas baganbagan di laut yang dangkal.
Masyarakat pada umumnya tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi
sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Ketersediaan air
bersih/tawar merupakan masalah utama masyarakat yang tinggal di kawasan
Sembilang. Mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih/tawar.
Perikanan tangkap merupakan kegiatan sehari-hari bagi masyarakat di Sembilang.
Mereka umumnya menangkap ikan di perairan laut Sembilang dan juga di sungai-
sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional. Ikan (seperti kelompok
Ariidae, Carangidae, Leioghnathidae, Lutjanidae, Polynemidae, Sciaenidae,
Serranidae) dan udang biasanya ditangkap antara bulan Mei hingga November,
saat laut tenang.
20

Izin penangkapan setiap tahun dilelang (disebut sebagai lelang lebak-


lebung) yang dulunya berasal dari tingkat marga. Sistem lelang ini juga untuk
hak-hak distribusi akses ke sumber daya lain, seperti Nibung (Oncosperma
tigillarium, untuk tiang dan rakit), Nipah (Nypa fruticans, daunnya untuk atap),
rotan (Korthalsia spp.,Calamus spp.) dan Jelutung (Dyera costulata, getahnya
untuk permen karet). Setidaknya hingga tahun 1980an, pemanfaatan hasil hutan
ini (dengan perkecualian untuk Jelutung dan Nipah) terlihat cukup berjalan baik.
Disamping mencari ikan, masyarakat setempat juga memelihara kebun dan
pertanian skala kecil, yang dikerjakan pada musim hujan. Di bagian selatan
kawasan Taman Nasional, tepatnya di Semenanjung Banyuasin, terdapat kegiatan
budidaya tambak yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat pendatang yang
berasal dari Provinsi Lampung; beberapa masyarakat yang berasal dari Sungsang
juga telah memulai usaha ini dalam kelompok-kelompok yang lebih (Balai Taman
Nasional Sembilang 2012).

Sejarah Kawasan

Pada tanggal 28 Februari 1994 melalui Perda Dati I Sumatera Selatan


Nomor 5 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera
Selatan, Gubernur Provinsi Sumatera Selatan menunjuk seluruh kelompok hutan
(Suaka Margasatwa Terusan Dalam 25.750 ha, Hutan Produksi Terbatas Terusan
Dalam 49.000 ha, Hutan Lindung Sembilang 113.173 ha dan perairan 17.827 ha)
menjadi Hutan Suaka Alam (HSA) seluas 205.750 ha. Pada Tahun 1996 Ditjen
Bangda Depdagri bekerjasama dengan Ditjen PHPA Dephut melakukan
pengkajian potensi kawasan HSA Sembilang dan sekitarnya, dan hasil pengkajian
menyimpulkan bahwa kawasan tersebut memenuhi syarat/kriteria menjadi
Kawasan Pelestarian Alam dalam bentuk kawasan Taman Nasional.
Menindaklanjuti hasil kajian yang dilaksanakan oleh Ditjen Bangda
Depdagri dan Ditjen PHPA Dephut, tahun 1998 melalui surat Nomor
552/5459/BAP-IV/1998 Gubernur Sumatera Selatan menyetujui usulan perubahan
status HSA Sembilang menjadi calon taman nasional. Atas usulan tersebut tahun
2001 melalui SK Menhut Nomor 76/Kpts-II/2001 tentang penunjukan kawasan 28
hutan dan perairan di wilayah Provinsi Sumatera Selatan mencantumkan kawasan
TN Sembilang. Pada tahun 2003 melalui SK Menhut Nomor 95/Kpts-II/03
Tanggal 19 Maret 2003 ditetapkanlah Kawasan Taman Nasional Sembilang seluas
202.896,31 ha.

Visi, Misi dan Tujuan Pengelolaan

Visi
Menjadi unit pengelola unggulan dalam konservasi biodiversitas lahan
basah.

Misi
1. Memantapkan legitimasi kawasan secara legal dan aktual.
2. Memperkuat kapasitas kelembagaan konservasi biodiversitas lahan basah.
3. Mengoptimalkan segenap potensi kawasan dan keanekaragaman hayati di
dalamnya
21

Tujuan pengelolaan
Mengukuhkan Balai Taman Nasional sebagai model pengelolaan taman
nasional lahan basah, yang mampu menyelenggarakan tiga pilar konservasi
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1990, sedemikian
rupa sehingga berpengaruh nyata terhadap fungsi sistem penyangga kehidupan
dan penopang sistem sosial, ekonomi dan budaya pada tingkat komunitas dan
wilayah.

Kemajuan Pengukuhan dan Penataan Taman Nasional

Taman Nasional telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan


Nomor 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896,31 ha.
Panjang keseluruhan batas sesuai hasil tata batas Taman Nasional Sembilang
adalah 472,10 Km dengan rincian batas luar 357,10 Km dan batas fungsi 115,00
km, dengan jumlah pal batas keseluruhannya 1.936 buah pal batas. Batas-batas
tersebut masih parsial yakni menggunakan pal batas yang telah ada seperti HP,
HL, dan SM. Telah dilakukan kegiatan orientasi batas sebagai tahap awal kegiatan
rekonstruksi tata batas. Berdasarkan kajian koordinat tata batas dan peta digital
yang ada dengan menggunakan sarana GIS, nampak bahwa hasil pemetaan
kawasan belum mantap.
Penataan Kawasan telah sampai pada tahap penyusunan zonasi meliputi
Zona Inti; Zona Rimba; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain: Zona
Tradisional; Zona Rehabilitasi; dan Zona Khusus. Adapun tahapan yang telah
dilaksanakan sampai pada rekomendasi Bappeda Pemerintah Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan setelah dilakukan penyempurnaan hasil
konsultasi publik. Dokumen sebagaimana dimaksud dikirim oleh Kepala Balai
kepada Direktur Teknis untuk mendapatkan pencermatan dan diajukan kepada
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk mendapatkan
pengesahan.Penataan kawasan terhadap penyusunan zonasi Taman Nasional
Sembilang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.
Pengelolaan kawasan TN Sembilang merupakan satu kesatuan pengelolaan
dari tata ruang dan rencana pembangunan daerah. Secara umum tata guna lahan di
sekitar kawasan TN Sembilang meliputi : (1) Kawasan hutan produksi, baik yang
telah dibebani hak maupun yang belum dibebani hak, (2) Areal Penggunaan
ain(APL) berupa kawasan perkebunan, lahan transmigrasi dan lahan-lahan yang
belum dibebani hak, (3) kawasan pelestarian alam (TN Berbak di Provinsi Jambi),
dan (4) Kelompok Hutan Lindung Rimau dan Air Telang, serta (5) Pelabuhan
domestik maupun internasional Tanjung Api-Api.
22
22

Gambar 8 Penataan zonasi kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan (RPTN 2010)
23

Optimalisasi pemanfaatan areal penggunaan lahan mengalami


perkembangan yang cukup pesat. Sampai tahun 2013 sudah tercatat empat
perusahaan perkebunan yang beroperasi yaitu PT. Raja Palma, PT.Citra Indo
Niaga, PT. Sumber Hijau Permai dan APL Kab. Banyuasin, tidak menutup
kemungkinan penerbitan izin prinsip tersebut akan terus bertambah. Kawasan
transmigrasi Karang Agung (Karang Agung Tengah dan Karang Agung Ilir)
dengan 31 desa terletak di sebelah selatan TN Sembilang. Kawasan ini berdekatan
langsung dengan taman nasional. Kawasan transmigrasi ini dimulai pada tahun
1982 dan 1985. Dalam perkembangannya desa-desa tersebut ada yang telah
membuka tambak mendekati dan sebagian terindikasi berada dalam kawasan
taman nasional. Kawasan di antara ke dua taman nasional ini terdapat sebuah desa
definitif yakni Desa Tanah Pilih (di dalam kawasan TN Sembilang). Kondisinya
telah terbuka dan hanya terdapat sedikit hutan rawa yang tersisa yang
berhubungan langsung dengan ke dua kawasan taman nasional tersebut.
Kebijakan Pemerintah Daerah mengharapkan adanya batas desa yang jelas dan
dikeluarkan dari taman nasional.
Di sebelah barat kawasan juga merupakan wilayah konsesi minyak dan gas
bumi Merang (Joint Operating BodyPertamina-YPF Jambi Merang). Kegiatan
ekplorasi dan eksploitasi dilakukan di sekitar kawasan. Demikian juga halnya di
kawasan Semenanjung Banyuasin telah dibuka oleh masyarakat secara ilegal
untuk pengembangan usaha budidaya perikanan (tambak).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekosistem Hutan Mangrove

Kondisi ekologi ekosistem hutan Mangrove

Kondisi Vegetasi Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang


Luas ekosistem mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang sekitar
78597,55 ha. Ekosistem mangrove yang ada di lokasi penelitian terdapat 8 jenis
tumbuhan mangrove antara lain: Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata,
Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia officinalis, Brugueira
gymnorrhiza, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. Kerapatan jenis
mangrove secara total untuk kategori pohon adalah 100 ind/ha (Lampiran 1). Jenis
Excoecaria agallocha mendominasi areal hutan mangrove dengan tingkat
kerapatan tertinggi 47,56 ind/ha untuk kategori pohon. Jenis Xylocarpus
granatum dan Rhizophora mucronata mempunyai nilai kerapatan terendah yaitu
3,66 ind/ha. Kerapatan jenis mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang
dapat dilihat pada Gambar 9.
24

Xylocarpus granatum 0,61


Rhizophora mucronata 3,66
Rhizophora apiculata 28,66
Excoecaria agallocha 47,56
Brugueria gymnorrhiza 8,54
Avicennia offcinalis 4,27
Avicenia Alba 6,71
Kerapatan (ind/ha)

Gambar 9 Kerapatan jenis mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang


Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Peranan satu jenis mangrove terhadap jenis lainnya dapa dilihat dari
indeks nilai penting (INP). Jika suatu jenis menunjukkan INP tinggi maka peranan
jenis tersebut sangat besar terhadap jenis mangrove lainnyadalam ekosistem
tersebut. Berdasarkan hasil analisis Excoecaria agallocha menunjukkan INP
cukup tinggi sekitar 124 % untuk kategori pohon (Gambar 10). Hal ini
mengindikasi bahwa Excoecaria agallocha mempunyai peranan cukup besar
terhadap ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang.

Xylocarpus granatum 5
Rhizophora mucronata 9
Rhizophora apiculata 92
Excoecaria agallocha 124
Brugueria gymnorrhiza 27
Avicennia offcinalis 24
Avicenia Alba 19
0 50 100 150
Indek Nilai Penting (%)

Gambar 10 Indek nilai penting ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional


Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

Kondisi Satwa Mangrove di Kawasan Taman Nasional Sembilang


Satwa mangrove yang ditemui umumnya meliputi: aves, mamalia,
reptilian, ikan dan crustacea. Sebanyak 53 spesies mammalia terdapat di Taman
Nasional Sembilang (TNS 2009) diantaranya spesies Berang-Berang yang ada di
kawasan Indo-Malaya (Lutra lutra), spesies kucing besar diantaranya kucing
bakau (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), harimau sumatera
25

(Panthera tigris sumatrae), juga musang air (Cyanogale bennettii), babi (Sus
srofta). Setidaknya terdapat lima primata termasuk ungko (Hylobates agilis), kera
ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan lutung kelabu
(Presbytis cristata).
Data di Balai Taman Nasional Sembilang (2009) mencatat paling sedikit
213 spesies burung berada di kawasan ini, termasuk banyak dari spesies residen
yang berstatus genting. Spesies burung ini meliputi spesies penetap (resident)
yang terancam seperti pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), koloni terakhir
dari undan (Pelecanus philippensis) di region Indo-Malaya, bangau storm
(Ciconia stormi), lebih dari 1.000 ekor bangau bluwok (Mycteria cinerea), lebih
dari 300 ekor bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea
sumatrana), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong helm (Rhinoplax
virgil), rangkong hitam (Antrhacoceros malayanus), serta lebih dari 25 spesies
burung air migran, termasuk 10.000-13.000 trinil-lumpur asia (Limnodromus
semipalmatus), 28 ekor trinil nordmann (Tringa guttifer), lebih dari 2.600 gajah
timur (Numenius madagascariensis), dan beberapa ribu individu spesies dara laut
(Sternidae).
Data lainnya di Balai Taman Nasional Sembilang mencatat jumlah total
burung air pantai yang memanfaatkan dataran lumpur di kawasan ini sekitar 0.5-1
juta ekor dengan sekitar 80.000 ekor dapat dijumpai setiap harinya di Delta
Banyuasin. Dataran lumpur Banyuasin juga merupakan tempat mencari makan
bagi ratusan bangau bluwok (Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos
javanicus), dan ibis-cucuk besi (Threskiornis melanocephalus), dan juga lebih dari
2.000 spesies kuntul (Ardea alba) (Silvius 1986 in TNS 2009). Kajian Tim
Burung Migran Balai Taman Nasional Sembilang Tahun 2008 mencatat 18
spesies burung migran mengunjungi dataran lumpur Banyuasin dengan perkiraan
jumlah 27.410 ekor.
Sungai-sungai dan muara dalam kawasan Taman Nasional Sembilang,
buaya muara (Crocodylus porosus) dan spesies buaya sinyulong (Tomistoma
schlegelii) pernah tercatat ditemukan di rawa-rawa air tawar di belakang hutan
mangrove. Di samping buaya, kawasan ini juga merupakan habitat bagi berbagai
spesies ular seperti ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular sawah (Phyton sp.)
dan species kura-kura air tawar. Kawasan perairan Taman Nasional Sembilang
kaya akan keanekaragaman spesies ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau
maupun ikan laut. Sedikitnya terdapat 142 spesies ikan dari 43 familia, 38 spesies
kepiting dan sedikitnya 13 spesies udang dari 9 familia (Taman Nasional
Sembilang 2009).
Beberapa spesies ikan, udang dan kepiting yang bernilai ekonomi antara
lain sembilang (Plotosus canius), kakap (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus
tauvina), toman (Channa micropeltes), betutu (Ophiocara porocephala), bawal
putih (Pampus argenteus), tenggiri (Scomberomus sexfasciatus), belanak (Mugil
voigiensis), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), udang lobster (Panulirus
sp.), udang petak (Oratosquilla sp.), udang tiger (Penaeus semisulcatus), kepiting
bakau (Scylla serrata), kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan sebagainya.
26

Perubahan Penutupan Lahan (Land cover)


Perubahan lahan dapat dideteksi dengan melakukan pendekatan spasial
dengan menggunakan metoda perbandingan citra hasil klasifikasi antara dua citra
yang direkam dalam waktu yang berbeda.
Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat 7 ETM + liputan tanggal 20
Maret 2002 dan citra Landsat 8 liputan tanggal 19 Oktober 2013 diperoleh luasan
dari penutupan lahan mangrove serta perubahannya pada rentang waktu 10 tahun
di Kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Selatan. Analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan perbandingan citra
pada tahun sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi yaitu data citra
Landsat 7 ETM+ tahun 2002 dan citra landsat 8 tahun 2013 setelah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi menunjukkan perbedaan penutupan lahan pada tahun
2002 sebesar 93808,73 ha dan menurun pada tahun 2013 menjadi 78597,55 ha
atau sekitar 11521,18 ha (16 %). Perubahan penutupan lahan mangrove juga
terjadi pada zona-zona mangrove seperti perubahan tutupan mangrove pada zona
inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi, untuk lebih jelasnya
perubahan penutupan lahan mangrove dapa dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Perubahan tutupan mangrove tahun 2002 dan 2013 di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan

27
27
28

Kondisi ekonomi ekosistem Mangrove di kawasan Taman Nasional


Sembilang
Nilai ekonomi total yang dihitung adalah nilai ekonomi ekosistem
mangrove dari Direct use value (sektor perikanan dan manfaat kayu), inderct use
value (breakwater atau penahan gelombang), non use value ( keanekaragaman
hayati eksosistem mangrove) dan existence value. Nilai ekonomi total ekosistem
mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Rekapitulasi Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove di Taman


Nasional Sembilang
Klasifikasi Fungsi dan Nilai Ekonomi
No Tipologi Nilai
Manfaat Total (Rp)
1 Direct use Kayu Bakar 68.580.000,00
value
Daun Nypah 128.000.000,00
Kayu Tiang 262.270.000,00
Ikan 1.059.050.000,00
Kepiting 169.415.000,00
Udang 143.000.000,00
WisataAlam 5.355.000,00
Bibit Mangrove 213.300.000,00
2 Indirect use Break water 7.425.000,00
value
3 Option value Nilai keanekaragaman hayati
11.873.380.500,00
ekosistem mangrove
4 Existence value Nilai keberadaan mangrove 113.964.619,00
Nilai Ekonomi Total (Rp/tahun) 14.007.740.119,00
Nilai Ekonomi Total (Rp/ha/tahun) 178.221,08
Sumber : Hasil olah penelitian (2015)

Nilai manfaat langsung (direct use value) ini dibagi menjadi dua yaitu
manfaat langsung hasil hutan dan manfaat langsung hasil perikanan. Manfaat
langsung ekosistem mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat Taman
Nasional Sembilang adalah daun nipah, kayu bakar, tiang rumah, hasil ikan, hasil
kepiting, udang ebi, bibit mangrove dan wisata alam.
Manfaat tidak langsung diperoleh dari mangrove sebagai break water
penahan ombak yang terdapat pada desa Sungai Barong. Pembangunan
breakwater ini baru terlaksana 4 bulan yang lalu, dalam pembangunan breakwater
ini Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerja sama dengan Taman
Nasional Sembilang serta masyarakat sekitar untuk mengurangi kekuatan
gelombang yang langsung berhadapan pada ekosistem mangrove di Sungai
Barong.
Nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional
Sembilang (option value) mengacu pada nilai keanekaragaman hayati
(biodeversity) hutan mangrove di Indonesia, yaitu US $ 1500 /km/tahun atau US $
29

15 /ha/tahun Ruitenbek (1994) dalam Nugroho (2009). Existence value diperoleh


dari kesedian masyarakat membayar dengan adanya manfaat yang dirasakan oleh
ekosistem mangrove. Berdasarkan tabel nilai ekonomi total ekosistem mangrove
di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan adalah Rp
14.007.740.119,00/tahun atau Rp 178.221,00/ha/tahun, artinya apabila ekosistem
mangrove di Taman Nasional Sembilang tetap dikelola secara berkelanjutan maka
nilai yang tetap terpelihara sebesar Rp 14.007.740.119,00,. Nilai manfaat
mangrove, baik manfaat langsung, tidak langsung dan manfaat keberadaan dapat
dilihat pada Lampiran 2-11.

Kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat


Penduduk merupakan faktor penting dalam perkembangan suatu wilayah
dan merupakan pelaku kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut. Penduduk di Taman
Nasional Sembilang merupakan pencampuran antara penduduk lokal dan
pendatang salah satu pendatang yaitu dari Bugis yang telah menempati lokasi
Taman Nasioanal Sembilang sekitar puluhan tahun. Penduduk tersebar di wilayah
pesisir Sungsang diantaranya Sungai Bungin, Sungai Barong Kecil dan Sungai
Barong Besar, Sungai Sembilang, Tanjung Birik, Simpang Ngirawan, Sungai
Terusan Dalam, Sungai Benu dan daerah transmigrasi Karang Agung Ilir.
Masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Sembilang pada umumnya
tinggal di atas rumah-rumah panggung di tepi sungai di daerah pasang surut, dan
sedikit masuk ke arah darat. Secara geografis, luas wilayah administrasi
Kecamatan Banyuasin II adalah 2.681,35 Km2(sekitar 268.135 ha) dengan jumlah
penduduk 47.696 jiwa dan kepadatannya sekitar 17,79 jiwa/ Km2. Berdasarkan
data tata guna lahan, seluas 202.896 ha (2.028,96 Km2) dari luas kecamatan
merupakan kawasan Taman Nasional Sembilang, berarti luas wilayah Kecamatan
Banyuasin II di luar wilayah Taman Nasional Sembilang adalah 652,39 Km2.
Pekerjaan merupakan aspek yang sangat penting untuk memenuhi
perekonomian rumah tangga. Angka pengangguran di seluruh wilayah kecamatan
rata-rata relatif rendah yaitu sekitar 5,99% tahun 2007 dan pada tahun 2008
sekitar 2,34% dari seluruh populasi angkatan kerja aktif 138.094 jiwa. Sementara
itu total populasi penduduk angkatan kerja aktif di Kecamatan Banyuasin adalah
30.485 jiwa (BPS Banyuasin 2013).
Mayoritas mata pencaharian masyarakat di kawasan TNS adalah nelayan
dan petambak. Kawasan ini merupakan penghasil perikanan yang cukup tinggi,
selain itu pada kawasan ini masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pengambil daun nypah, pengambil kayu
bakar dan pengambil kayu tingi (Ceriops tagal). Berikut ini, dapat dilihat
persentasi pekerjaan penduduk di kawasan Taman Nasional Sembilang pada
Gambar 12.
30

1%
1%
Nelayan
6% 8%
Petambak
37%
17% Pemanfaat Kayu

Pembuatan atap
Nypah
30%
Perawat bibit
mangrove

Gambar 12 Jenis-jenis pekerjaan masyarakat Taman Nasional Sembilang Kab.


Banyuasin Sumatera Selatan ( Sumber: Hasil Survei Penelitian 2015)

Tingkat pendidikan adalah hal yang memiliki pengaruh sangat penting


dalam proses pembangunan khususnya di Taman Nasional Sembilang. Tingkat
pendidikan formal responden tergolong masih rendah. Sebagian besar tingkat
pendidikan masyarakat adalah tidak tamat SD dan tamat SD yaitu masing-masing
44% dan 41%. Responden yang berpendidikan rendah, motivasi mereka untuk
berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan
berupa upah dari kegiatan penanaman mangrove.
Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan
mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan masyarakat terhadap
hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan
(fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi pemukiman
(fungsi fisik dan ekologi). Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito (2012)
memperlihatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi
memiliki motivasi partisipasi lebih variatif. Selain motivasi karena kesadaran
mereka terhadap pentingnya ekosistem mangrove, mereka juga bisa mencari
keuntungan dengan mengikuti kegiatan seperti pelatihan-pelatihan, sehingga
mereka bisa menerapkan tambak ramah lingkungan berbasis penghijauan pesisir,
berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki dari pelatihan dan memiliki nilai
ekonomi bagi mereka. Tingkat pendidikan dilokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 13.

1%
6%
8% SD Tamat

41% SD Tidak Tamat


SMP
SMA
44%
Perguruan Tinggi

Gambar 13 Tingkat pendidikan responden di Taman Nasional Sembilang


Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan
31

Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di


Taman Nasional Sembilang dihitung dari hasil kuisioner dengan menggunakan
rating scale. Kategori tingkat nilai (N) terdiri dari sangat baik jika bernilai lebih
dari 75%, baik jika bernilai 25%-50% dan buruk jika bernilai 0% - 25 %. Persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan didapatkan dari perhitungan
kuisioner di lapangan yang diberikan kepada 78 responden. Dalam kuisioner yang
diberikan terdiri dari 6 kelompok pertanyaan yang terdiri dari pemahaman
masyarakat terhadap mangrove dan manfaatnya, partisipasi dalam pengelolaan
ekosistem mangrove, pandangan pihak pemerintah tentang mangrove, persepsi
tentang status mangrove saat ini, persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap
mangrove dan persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove.
Berdasarkan tabulasi data dan perhitungan persentase tentang persepsi
masyarakat di Taman Nasional Sembilang didapatkan nilai rata-rata 48,93%
dengan demikian maka persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem
mangrove adalah kurang baik. Nilai ini merupakan nilai yang memprihatinkan,
karena nilai rata-rata bernilai 25% - 50%, untuk lebih jelas dapat diihat pada Table
5. Dari hasil kuisioner terlihat bahwa pada umumnya masyarakat di Taman
Nasional Sembilang sudah memahami akan pentingnya manfaat dari hutan
mangrove. Namun yang menjadi kendala dan permasalahan sehingga terus
dilakukannya pemanfaatan secara langsung yaitu kurangnya lapangan pekerjaan
dan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat mangrove selain bisa
dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sehingga sebagian masyarakat masih menjual
kayu mangrove untuk keperluaan kayu bakar dan kebutuhan lainnya.
Ditambahkan oleh Nfotabong-Atheull et al. (2013), bahwa pengetahuan ekologi
dan pengalaman masyarakat lokal dapat digunakan untuk merekonstruksi
perubahan yang terjadi dilingkungan sekitar mereka.

Tabel 5 Persepsi masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove di Taman


Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan
Pandangan masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem Persentase
No
mangrove (%)
1 Pemahaman mangrove dan manfaatnya 60,15
2 Partisipasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove 55,15
3 Persepsi/ pandangan pihak pemerintah tentang mangrove 50,00
4 Persepsi tentang pandangan status mangrove saat ini 41,2
Persepsi tentang LSM yang perhatian terhadap ekosistem
5 mangrove 36,4
6 Persepsi tentang penebangan kayu di dalam mangrove 50,7
Rata rata 48,93

Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman


Nasional Sembilang

Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman


Nasional Sembilang Sumatera Selatan dinilai dengan teknik Multi Dimensional
Scaling (MDS) melalui modifikasi pendekatan RAPFISH (Rapid Asessment
32

Technique for Fisheries) untuk ekosistem mangrove. Status keberlanjutan dalam


penelitian ini menggunakan 4 dimensi yaitu, dimensi ekologi, dimensi sosial,
dimensi ekonomi dan kelembagaan. Tiga dimensi ini terdiri dari 23 atribut,
diantaranya enam atribut dimensi ekologi, 6 atribut dimensi sosial, 5 atribut
dimensi ekonomi dan 6 atribut dimensi kelembagaan. Empat dimensi dan 23
atribut ini akan menggambarkan status keberlanjutan dari pengelolaan ekosistem
mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera
Selatan. Adapun hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi pengelolaan adalah
sebagai berikut:

Status keberlanjutan dimensi ekologi


Hasil ordinasi RAPFISH terhadap ekologi, diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar 66,45 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk
dimensi ekologi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang
dihasilkan berada pada selang nilai 51-75 (Suliso 2003).
Indikator dimensi ekologi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang terdiri dari enam indikator, yaitu (1) Jumlah jenis
fauna mangrove, (2) Tutupan vegetasi mangrove, (3) Indeks nilai penting vegetasi
mangrove, (4) Dominansi jenis vegetasi mangrove, (5) Kerapatan vegetasi
mangrove dan (6) Jumlah jenis vegetasi mangrove. Hasil ordinasi keberlanjutan
dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 14.
60
UP
Other Distingishing Features

40
66,45
20

0 BAD GOOD
0 20 40 60 80 100
-20

-40
DOWN
-60
Mangroves Sustainability

Real Fisheries References Anchors

Gambar 14 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekologi di Taman


Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
Analisis sensitivitas dalam metode RAPFISH bertujuan untuk melihat
indikator-indikator yang sensitif serta memberi kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan ekologi. Penilaian analisis sensitivitas dinilai berdasarkan standar
error yaitu adanya perbedaan antar skor dengan indikator. Terdapat dua indikator
yang sangat sensitif (dominan) terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi, yaitu
(1) Perubahan luasan mangrove dan (2) Nilai penting mangrove, dapat dilihat
pada Gambar 15.
33

Jumlah Jenis Fauna 8,08


Tutupan vegetasi mangrove 13,85
Attribute
INP Vegetasi Mangrove 11,67
Dominansi Jenis Vegetasi… 9,45
Kerapatan Vegetasi Mangrove 0,77
Jumlah jenis vegetasi mangrove 8,92

0 5 10 15

Root Mean Square Change in Ordination when Selected


Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 15 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekologi di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan

Meskipun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove


memiliki kategori cukup berkelanjutan, namun masih terdapat indikator yang
dapat diperbaiki agar pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan menjadi lebih optimal.

Status keberlanjutan dimensi sosial


60
UP
Other Distingishing Features

40

20

0 21,53 GOOD
BAD
0 20 40 60 80 100
-20

-40
DOWN
-60
Mangrove Sustainability

Real Fisheries References Anchors

Gambar 16 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi sosial di Taman


Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan

Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi sosial, diperoleh nilai indeks


keberlanjutan sebesar 21,53 (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa status
keberlanjutan untuk dimensi sosial dikategorikan “tidak berkelanjutan” karena
nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 26-50.
34

Dimensi sosial untuk nilai indeks keberlanjutan yang terdapat pada sumbu
y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator yangdapat mempengaruhi nilai
indeks sehingga akan meningkatkan status nilai indeks tersebut. Tingkat
keberlanjutan dimensi sosial-ekonomi yang diperkirakan indikator-indikator yang
memberikan pengaruh terdiri dari enam indikator, yaitu (1)Tingkat pendidikan,
(2) mata pencaharian, (3) persepsi masyarakat tentang kondisi mangrove, (4)
partisipasi massyarakat terhadap pengelolaan mangrove, (5) peningkatan
pengetahuan masyarakat terhadap mangrove dan (6) Konflik pemanfaatan
mangrove. Hasil analisis sensitivitas dapat dilihat pada Gambar 17.

Konflik Pemanfaatan Mangrove 2,41


Peningkatan Pengetahuan
8,23
Masyarakat tentang mangrove
Partisipasi Masyarakat dalam
Attribute

4,34
Pengelolaan mangrove
Persepsi Masyarakat Tentang
4,51
Kondisi Mangrove
Mata Pencaharian 7,93

Tingkat Pendidikan 4,42

0 2 4 6 8 10

Root Mean Square Change in Ordination when


Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0
to 100)
Gambar 17 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi sosial di Taman Nasional
Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas (Gambar 17), terdapat satu indikator


yang sangat sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang mangrove. Indikator peningkatan
pengetahuan terhadap ekosistem mangrove memiliki kriteria skor (2) dalam hal
ini tidak ada peningkatan pengetahuan yang signifikan terhadap ekosistem
mangrove dengan kata lain sama saja.

Status keberlanjutan dimensi ekonomi


Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekonomi menunjukkan nilai
indeks keberlanjutan sebesar 55,35 (Gambar 18). Hal ini berarti bahwa status
keberlanjutan untuk dimensi ekonomi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena
nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75.
35

60
UP

Other Distingishing Features


40

20

0 BAD 55,35 GOOD


0 20 40 60 80 100
-20

-40
DOWN
-60
Mangrove Sustainability

Real Fisheries References Anchors

Gambar 18.Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi ekonomi di Taman


Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan

Adapun indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap


tingkat keberlanjutan untuk dimensi ekonomi terdiri dari lima indikator, yaitu (1)
persentasi nilai manfaat langsung terhadap nilai manfaat tidak langsung, (2) nilai
ekonomi eksosistem mangrove bagi masyarakat setempat, (3) pendapatan rata-rata
masyarakat sekitar kawasan, (4) jenis manfaat langsung hutan mangrove
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan (5) nilai ekonomi total manfaat hutan
mangrove. Hasil analisis sensitivitas dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar
19.

persentasi nilai manfaat langsung


0,49
terhadap nilai manfaat tidak langsung

Nilai ekonomi ekosistem mangrove


5,89
bagi masyarakat setempat
Attribute

Pendapatan rata-rata masyarakat


2,30
sekitar kawasan

Jenis manfaat langsung hutan


mangrove dimanfaatkan oleh 1,59
masyarakat sekitar

Nilai ekonomi total manfaat hutan


0,41
mangrove

0 1 2 3 4 5 6 7

Root Mean Square Change in Ordination when Selected


Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 19 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi ekonomi di Taman Nasional


Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
36

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap dimensi ekonomi seluruh


indikator (5 indikator) berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi. Dari kelima indikator sensitif tersebut terdapat satu indikator yang
sangat sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu nilai
ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat setempat,seberapa besar
ketergantungan masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem mangrove untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat setempat.

Status keberlanjutan dimensi kelembagaan


Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi kelembagaan menunjukkan
nilai indeks keberlanjutan sebesar 52,36. Hal ini menujukkan bahwa status
keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan dikategorikan “cukup berkelanjutan”
karena nilai indeks yang dihasilkan berada pada selang nilai 51-75. Hasil ordinasi
keberlanjutan dimensi kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 20.
60
UP
Other Distingishing Features

40

20

0 BAD 52,36 GOOD


0 20 40 60 80 100
-20

-40
DOWN
-60
Mangrove Sustainability

Real Fisheries References Anchors

Gambar 20 Ordinasi RAPFISH status keberlanjutan dimensi kelembagaan di


Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan

Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi kelembagaan terdapat pada


sumbu y, artinya perlu perbaikan indikator-indikator yang mempengaruhi nilai
indeks tersebut sehingga dapat meningkatkan status nilai indeks. Indikator yang
diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi
kelembagaan terdiri dari enam indikator, yaitu (1) kepatuhan terhadap aturan-
aturan pengelolaan, (2) kelengkapan aturan main pengelolaan mangrove, (3)
mekanisme pengambilan keputusan pengelolaan, (4) rencana pengelolaan, (5)
tingkat sinergitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan mangrove dan (6)
kapasitas pemangku kepentingan. Hasil analisis sensitivitas dimensi kelembagaan
dapat dilihat pada Gambar 21.
37

Tingkat sinergitas kebijakan dan


0,55
kelembaga pengelolaan mangrove
Attribute Kapasitas pemangku kepentingan 0,14

Rencana Pengelolaan mangrove 0,14


Menaknisme pengambilan
0,21
keputusan pengelolaan
Kelengkapan aturan main
0,14
pengelolaan mangrove
Kepatuhan terhadap aturan-aturan
0,54
pengelolaan
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected
Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 21 Hasil analisis sensitivitas untuk dimensi kelembagaan di Taman


Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan

Berdasarkan hasil sensitivitas (Gambar 21), terlihat bahwa nilai atribut


tidak ada yang melebihi depalan, maka disimpulkan atribut dimensi kelembagaan
tidak ada yang sensitif/dominan yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan
ekosistem mangrove.
Selain hasil ordinasi RAPFISH untuk setiap dimensi keberlanjutan
diperoleh juga hasil ordinasi RAPFISH untuk gabungan seluruh dimensi (empat
dimensi yang digunakan) atau disebut multidimensi. Nilai yang dihasilkan
merupakan nilai indeks yang mencerminkan keberlanjutan pengelolaan mangrove
di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan secara
menyeluruh. Adapun hasil ordinasi RAPFISH untuk gabungan seluruh dimensi
disajikan pada Gambar . Kondisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove
di Taman Nasional Sembilang antar dimensi juga disajikan dalam diagram
segiempat pada Gambar 22.
Diagram segiempat menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk
setiap dimensi berbeda-beda, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 23.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti bahwa semua nilai
indeks harus memiliki nilai yang sangat besar, tetapi kondisi daerah tentu
memiliki prioritas dimensi yang lebih dominan untuk menjadi perhatian.
38

60
UP
40

Other Distingishing Features


20

0 BAD 49,81 GOOD


0 20 40 60 80 100
-20

-40
DOWN
-60
Mangrove Sustainability

Real Fisheries References Anchors

Gambar 22 Ordinasi RAPFISH untuk status keberlanjutan multidimensi di


Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan

Dimensi
Ekologi
80 66,45
60
40
20
Dimensi
52.,36 0 21,53 Dimensi Sosial
Kelembagaan

55,35
Dimensi
Ekonomi

Nilai Indeks Keberlanjutan

Gambar 23 Diagram segiempat indeks keberlanjutan antar dimensi

Hasil analisis RAPFISH menunjukkan bahwa semua indikator yang dikaji


terhadap status pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang
Kab. Banyuasin Sumatera Selatan memberikan hasil analisis yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini terlihat dari nilai stress yang
diperoleh berkisar antara 0.13-0.17% dan nilai koefisien determinasi (R2) yang
berkisar antara 0,93-0,95.Kavanagh dan pitcher (2004) menyatakan bahwa hasil
39

analisis cukuo memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25%) dan nilai
R2 mendekati nilai 1.0.
Nilai stress dapat digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai jarak
dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi (Fauzi dan Anna 2005). Informasi
lain yang diperoleh dari analisis RAPFISH ini adalah jumlah iterasi. Jumlah
iterasi pada setiap dimensi maupun gabungan seluruh dimensi/multidimensi
adalah 2 sampai dengan 5 kali. Besarmya jumlah iterasi menyatakan pengulangan
perhitungan pada analisis RAPFISH yang berguna untuk mengetahui pengaruh
kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut,yang berpengaruh pada jarak
terhadap titik referensi. Hasil pengukuran nilai statistik dalam analisis RAPFISH
terhadap empat dimensi keberlanjutan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai statistik hasil analisis RAPFISH


Nilai statistik Ekologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Multidimensi
Stress 0,13 0,14 0,15 0,17 0,13
2
R 0,94 0,94 0,93 0,93 0,95
Jumlah iterasi 3 3 3 5 2

Nilai stress dan R2 menunjukkan bahwa seluruh indikator yang digunakan


dalam analisis keberlanjutan pengelolaan mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan relatif baik dalam menerangkan
keempat dimensi keberlanjutan yang dianalisis. Semakin kecil nilai stress yang
diperoleh berarti semakin baik kualitas analisis yang dilakukan. Berbeda dengan
nilai koefisien determinasi (R2), kualitas hasil analisis akan semakin baik jika nilai
koefisien determinasi (R2) semakin besar (mendekati nilai 1.0).
Metode RAPFISH memungkinkan untuk mengkaji aspek ketidakpastian
yang disimulasikan dengan menggunakan teknik Monte Carlo. Analisis Monte
Carlo dilakukan untuk menunjukkan kestabilan dari nilai indeks keberlanjutan
yang dihasilkan. Spence dan Young (1978) dalam Fitrianti (2014), menjelaskan
bahwa analisis Monte Carlo dilakukan untuk kestabilan hasil ordinasi yang
berguna untuk melihat tingkat gangguan terhadap nilai ordinasi. Hasil analisis
Monte Carlo untuk keseluruhan dimensi atau multidimensi keberlanjutan
pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.Banyuasin
Sumatera Selatan disajikan pada Gambar 24.
60
Other Distingishing Features

40

20

0
0 20 40 60 80 100
-20

-40

-60
Mangroves Sustainability

Gambar 24 Kestabilan nilai ordinasi multidimensi pengelolaan Taman Nasional Sembilang


Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan
40

Analisis Monte Carlo digunakan untuk menguji tingkat kepercayaan nilai


indeks total dari dimensi dan juga membantu melihat pengaruh kesalahan
pembuatan skor pada setiap indikator dari setiap dimensi yang disebabkan oleh
kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap indikator, variasi pemberian skor
karena perbedaan pendapat,stabilitas proses analisis MDS, kesalahan
memasukkan data atau data hilang dan nilai stress yang terlalu tinggi.
Hasil analisis Monte Carlo seperti yang tertera pada Gambar
menunjukkan adanya plot yang mengumpul, hal ini berarti hasil ordinasi untuk
menentukan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman
Nasional Sembilang Kab.Banyuasin Sumatera Selatan berada pada posisi yang
relatif stabil dan tidak mengalami gangguan pada keselurahan dimensi
keberlanjutan.

Pembahasan

Penilaian terhadap status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove


di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Selatan dengan menggunakan metode berbasis Multi Dimensional Scalling (MDS)
dengan prinsip aplikasi analisis berbasis indikator yang menggunakan pendekatan
RAPFISH. Analisis ini akan menghasilkan nilai indeks status keberlanjutan
pengelolaan ekosistem mangrove pada masing-masing ekologi,sosial,ekonomi dan
kelembagaan. Masing-masing dimensi memiliki indikator yang mencerminkan
status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai indeks yang dihasilkan
meliputi nilai indeks status keberlanjutan multidimensi dan masing-masing
dimensi yang merupakan gambaran tentang kondisi pengelolaan ekosistem
mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan.
Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekologi, diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar 66,45 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk
dimensi ekologi dikategorikan “cukup berkelanjutan” karena nilai indeks yang
dihasilkan pada selang nilai 51-75 (Susilo 2003). Meskipun nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan memiliki kategori
cukup berkelanjutan, namun masih terdapat indikator yang dapat diperbaiki agar
pengelolaan mangrove diTaman Nasional Sembilang kawasan Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ini menjadi lebih optimal. Hasil analisis
sensitivitas menunjukkan terdapat dua indikator yang sangat sensitive, yaitu
tutupan vegetasi mangrove
Perubahan tutupan vegetasi mangrove di kawasan Taman Nasional
Sembilang selama kurun waktu dari tahun 2002-2013 dilihat dari hasil citra
landsat 7 dan 8, mengalami penyusutan sebesar 16 %, dimana dari 93808 ha
berkurang hingga 78597 ha, serta pengurangan luasan tutupan mangrove tersebut
terletak pada zona-zona seperti zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan.
Luasan mangrove dari tahun ke tahun berkurang, hal ini disebabkan aktivitas
penduduk seperti penebangan hutan, pemanfaatan hutan mangrove untuk kegiatan
pertanian, pembukaan lahan tambak serta kawasan ini juga mengalami
pengurangan lahan akibat dibangunnya pelabuhan Tanjung Api-Api. Begitu juga
dengan hasil penelitian Nurul et al (2015), di negara Malaysia mereka
41

mengidentifikasi peningkatan pesat dalam budidaya udang dari tahun 1997 dan
seterusnya, dan penurunan kawasan hutan (terutama mangrove) dari 75%, dimana
60% adalah karena permintaan untuk lahan pertanian, dan 40% adalah karena
pengembangan tambak udang baru.
Kegiatan pembangunan tambak udang memicu terjadinya laju degradasi
hutan mangrove yang mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi hutan
mangrove (Duke et al. 2007; Giri et al. 2007; Guimaraes et al. 2010). Nfotabong-
Atheull et al. (2011), menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mangrove yang
tinggi di negara berkembang tidak hanya karena bencana alam, tetapi juga
konversi menjadi tambak udang dan pemanenan produk kayu. Menurut Schaduw
et al. (2011) pengurangan luasan dan menurunnya kualitas perairan ekosistem
mangrove adalah ancaman yang serius terhadap suatu kawasan yang penduduknya
sangat bergantung terhadap sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove. Hutan
yang telah ditebang habis akan sangat sulit untuk pulih kembali. Menurut Bahij
(2011), akibat rusak atau perubahan luasan tutupan mangrove akan
mengakibatkan kacaunya siklus rantai makanan bagi seluruh biota ekosistem
mangrove. Strategi yang direkomendasikan dilakukan pemeliharan pohon-pohon
mangrove yang masih kecil agar tetap terjaga sampai tumbuh besar dan
melakukan rehabilitasi terhadap mangrove yang sudah rusak, pembinaan
masyarakat untuk pembuatan tambak silvofishery dan dibuat peraturan desa atau
perdes tentang perusakan karena peraturan desa lebih efektif dan lebih ditaati oleh
masyarakat setempat.
Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi sosial, diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar 21.53 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan
dimensi sosial dikategorikan “tidak berkelanjutan”. Berdasarkan hasil analisis
sensitivitas yang terlihat pada Gambar 17, terdapat satu indikator yang sensitif
yaitu peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap ekosistem mangrove.
Peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove atribut yang
sangat sensitif dibandingkan atribut lainya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan
terhadap fungsi dan manfaat mangrove maka ekosistem mangrove akan tetap
terjaga dan dimanfaatkan secara optimal. Pengetahuan masyarakat pesisir tentang
ekosistem mangrove berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terhadap
pelestarian ekosistem mangrove, sedangkan sikap masyarakat terhadap pelestarian
ekosistem mangrove lebih besar pengaruhnya terhadap niat selanjutnya
melakukan pelestarian ekosistem mangrove.
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove mengakibatkan menurunnya nilai estetika dari ekosistem mangrove itu
sendiri, dampak negatif yang mungkin akan timbul dapat ditekan apabila
masyarakat di sekitar hutan mangrove dilibatkan dan diberi akses untuk
mengelola hutan dengan tetap melestarikan kelestariannya. Tingkat pendidikan
mayarakat yang rendah merupakan salah satu faktor kurangnya pemahaman,
kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian ekosistem
mangrove menjadi rendah. Oleh karena itu, sangat diharapkan partisipasi
masyarakat dalam upaya pelestarian eksosistem mangrove. Pemerintah juga harus
intensif mengadakan penyuluhan/pelatihan/pembinaan kepada msayarakat agar
masyarakat mempunyai wawasan tentang pengelolaan ekosistem mangrove.
Sesuai dengan pendapat Din et al. (2008), bahwa salah satu kendala dalam
42

pengelolaan mangrove adalah tidak memadainya undang-undang tentang


perlindungan mangrove.
Menurut Kustanti (2011), pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove antara lain adalah dalam hal: 1) pertukaran pendapat dalam penentuan
kebijakan, 2) konsultasi kebijakan teknis pelaksanaan pengelolaan dan 3)
penentuan keputusan tingkat tinggi. Peran serta masyarakat sekitar secara aktif
akan memberikan dampak positif dalam upaya pengelolaan dan pengamanan
hutan mangrove.
Agar indeks peningkatan pengetahuan terhadap ekosistem mangrove di
masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai, maka perbaikan-perbaikan
terhadap indikator yang paling sensitif ini, pemerintah daerah atau pihak
pengelola Taman Nasional Sembilang diharapkan dapat memberikan kegiatan
penyuluhan tentang pemanfaatan hasil hutan mangrove, seperti hasil kayu dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan kayu bakar, bahan makanan,
kerajinan, obat-obatan, pariwisata dan masih banyak lagi, hal ini akan
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat..
Hasil ordinasi RAPFISH terhadap dimensi ekonomi menunjukkan nilai
indeks keberlanjutan sebesar 55,35 yang berarti bahwa status keberlanjutan untuk
dimensi ekonomi dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Berdasarkan hasil analisis
sensitivitas yang ditunjukkan pada Gambar 19, dari ke lima indikator dimensi
ekonomi hanya indikator nilai ekonomi ekosistem mangrove bagi masyarakat
setempat yang berpengaruh dibandingkan indikator lainnya.
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap dimensi ekonomi seluruh
atribut (lima atribut) berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi. Atribut nilai ekonomi mangrove lebih berpengaruh dari atribut lainnya,
hal ini dikarenakan keberadaan mangrove yang dapat menambah pendapatan
masyarakat dan keberadaan mangrove untuk ekosistem keberlangsungan hidup
udang, ikan dan sebagainya. Adanya keberadaan yang seperti ini akan membantu
keberlangsungan hidup masyarakat setempat. Turner et al. (2000) dalam Yulianda
et al. (2013), menyatakan keanekaragaman hayati memberikan manfaat kepada
kesejahteraan manusia dalam konteks ecosystem life support functions, sistem
produksi barang dan jasa dan aspek bioetik yang merefleksikan pandangan moral
manusia terhadap keanekaragaman hayati. Fauziah et al. (2012) menyatakan
bahwa perairan mangrove merupakan tempat mencari makan pada waktu terjadi
pasang tinggi bagi ikan-ikan ekonomis maupun non-ekonomis.
Semakin tinggi nilai ekonomi mangrove tersebut ancaman terhadap
keberadaan mangrove makin terancam, misalnya harga kayu semakin tinggi, maka
masyarakat akan terus mengambil kayu mangrove akan menimbulkan ancaman
bagi ekosistem mangrove. Sama halnya Setyawan et al (2006) jenis-jenis
pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di
sekitarnya merupakan proses antropogenik yang secara nyata mempengaruhi
kelestarian ekosistem mangrove di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian
Pursetyo et al. (2013), di Surabaya, masyarakat memanfaatkan buah mangrove
Sonneratia sp untuk dijual dan dimanfaatkan sebagai sirup mangrove. Beberapa
aktivitas yang mempengaruhi kehidupan mangrove secara luas adalah: konversi
habitat ke pertambakan (ikan/udang dan garam), penebangan pohon secara
berlebih untuk diambil kayunya, sedimentasi, dan pencemaran lingkungan.
43

Strategi yang direkomendasikan seperti harus adanya kesinambungan


antara kepentingan ekonomi dari nilai manfaat ekonomi dengan keberlangsungan
ekologi mangrove. Masyarakat diberi suatu pembelajaran bagaimana bisa
memananfaatkan mangrove dengan cara lain melalui penyuluhun ke masyarakat
dengan mengajarkan masyarakat untuk memanfakan batang mangrove yang besar
saja dan melakukan penanaman mangrove setelah mangrove ditebang. Jangan
hanya memanfatkan batang mangrove saja, tapi lebih memanfaatkan dibidang
perikanan. Semakin baik ekosistem mangrovenya maka ikannya akan semakin
banyak. Kondisi mangrove yang baik berkaitan dengan hasil tangkapan ikan di
sekitar mangrove. Menurut Kalitouw (2015), pemanfaatan langsung kawasan
hutan mangrove dengan melakukan penangkapan, pemancingan ikan dan kepiting
dianggap tidak akan merusak ekosistem yang ada, kegiatan tersebut tidak perlu
merubah ataupun merusak mangrove. Rajendar (2004) menyatakan mangrove
menyediakan lapangan kerja kepada 0,5 juta nelayan dan 1 juta pekerjaan
diseluruh dunia yang berkaitan langsung dengan perikanan. Pendapat Nagelkerken
et al. (2008), bahwa banyak penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara
eksosistem mangrove dan kegiatan menangkap ikan, hubungan ini diamati
terutama berasal dari spesies ekonomis. Studi tersebut memberikan informasi
tentang hubungan mangrove dan perikanan sebagai dasar untuk penilaian
ekonomi.
Hasil ordinasi RAPFISH untuk dimensi kelembagaan menunjukkan nilai
indeks keberlanjutan sebesar 52.36 yang berarti bahwa status keberlanjutan untuk
dimensi kelembagaan dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Atribut dimensi
kelembagaan semua atribut mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan
akan tetapi tidak ada yang paling sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan
pengelolaan ekosistem mangrove semuanya sama, akan tetapi untuk
meningkatkan status keberlanjutan dimensi kelembagaan agar lebih baik lagi perlu
dilakukan kerjasama dan keterbukaan semua stakeholders dalam melakukakan
pengelolaan ekosistem mangrove agar lebih berkelanjutan, dengan melakukan
regulasi dari masyarakat setempat untuk membuat suatu kebijakan seperti kearifan
lokal, misalnya aturan jika melakukan penebangan satu batang mangrove maka
wajib untuk menanam kembali mangrove. Tebang satu mangrove tanam dua
mangrove, jika melanggar akan mendapatkan sanksi tegas.
Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan, diharapkan dapat
mengurangi kerusakan ekosistem mangrove pada daerah ini, masyarakat wilayah
pesisir khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove secara turun menurun
telah melaksanakan berbagai pemanfaatan hutan mangrove sebagai sumber
ekonominya, sehingga dampak dari kerusakan tidak dapat dihindarkan kecuali
dengan adanya pengelolaan yang tepat.
Hasil ordinasi RAPFISH terhadap seluruh dimensi keberlanjutan yang
dipertimbangkan, baik itu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi dan
dimensi kelembagaan, menunjukkan status “kurang berkelanjutan” dengan nilai
indeks berada pada selang nilai 26-50. Kondisi tersebut dapat mencerminkan
bahwa pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.
Banyuasin Sumatera Selatan berada dalam kondisi kurang optimal masih ada
beberapa indikator yang perlu diperbaiki. Pada diagram segiempat indeks
keberlanjutan antar dimensi (Gambar 23), menunjukkan bahwa nilai indeks
44

keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 66,45; dimensi sosial 21,53; dimensi


ekonomi; 55.35 dan dimensi kelembagaan 52,36.
Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 21.53 merupakan
dimensi dengan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan dimensi ekologi,
ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan, persepsi masyarakat di kawasan
Taman Nasional Sembilang masih tergolong rendah. Menurut Diarto (2012),
persepsi dan partisipasi masyarakat merupakan faktor yang mendukung dalam
pengelolaan ekosistem mangrove. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan yang
tergolong masih rendah dimana rata-rata masyarakat setempat tamatan SD atau
tidak tamat SD, mengakibatkan keinginanan masyarakat untuk ikut menjaga
ekosistem mangrove serta berpartisipasi terhadap pengelolaan ekosistem
mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang masih rendah. Oleh karena itu
untuk lebih meningkatkan status keberlanjutannya dengan melakukan penyuluhan,
pendidikan dan latihan. Sumber daya manusia merupakan aset dalam pengelolaan
ekosistem mangrove.
Peningkatan capacity building dengan diklat diperlukan untuk
meningkatkan sumber daya manusia dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
Kembangkan forum dialog, terutama tentang pengelolaan ekosistem mangrove.
Forum dialog ini diperlukan sebagai sarana komunikasi dalam menggali aspirasi
masyarakat. Memberikan sarana dan prasana pada bidang IPTEK sehingga dapat
berinovasi memanfaat mangrove baik pada buah,biji,dan batang mangrove
sebagai sarana menciptakan produk unggulan yang memiliki daya saing agar
dapat menunjang kehidupan perekonomian masyarakat setempat sehingga timbul
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pengelolaan ekosistem
mangrove.
Mengefektifkan peran serta para POLHUT, Balai Taman Nasional
Sembilang, POLAIRUD semua stakeholders terkait dalam pengawasan ekosistem
mangrove. Pihak stakeholders dan masyarakat berkolaborasi untuk melakukan
pengelolaan ekosistem mangrove agar tercipta pengelolaan ekosistem mangrove
yang berbasis masyarakat.
Berdasarkan uraian setiap indikator yang sensitive dari keempat dimensi
keberlanjutan, disusun beberapa rekomendasi kebijakan pengelolaan yang dapat
diterapkam untuk menjaga dan meningkatkan status keberlanjutan ekosistem
mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan
sebagai berikut:
a. Pendidikan dan pelatihan SDM
Salah satu prioritas alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove
yang berkelanjutan di Taman Nasional Sembilang adalah pendidikan dan
pelatihan SDM di desa-desa yang berada di kawasan Taman Nasional Sembilang.
Sumberdaya manusia wilayah pesisir merupakan faktor kunci dalam usaha
pengembangan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Kondisi
alam yang berbatasan dengan lautan membentuk karakter masyarakat yang
tergantung pada hasil lautan. Sebagian besar masyarakat adalah nelayan , dan
sebagian lainnya pemanfaat kayu,pedagang dan pegawai. Tingkat pendidikan
masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang, sebagian besar hanya tamat
sekolah dasar, dan hanya sebagian kecil lulus dari pendidikan sarjana. Hal ini
menunjukkan bahwa masih tertinggalnya masyarakat sekitar kawasan Taman
Nasional Sembilang di bidang pendidikan.
45

Keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal


dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi penangkapan maupun
nilai tambah yang dihasilkan menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam
memberikan pendidikan dan pelaitihan bagi masyarakat. Pengembangan
sumberdaya manusia di wilayah pesisir, pemerintah perlu mempertimbangkan
aspek karakteristik masyarakat dan kondisi wilayah serta pendidikan dan pelatihan
yang diberikan adalah dalam bentuk pendidikan informal dan penyuluhan dari
berbagai instansi seperti pemerintah, perguruan tinggi, peneliti dan LSM.
b. Pengembangan pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional
Sembilang
Rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem mangrove selanjutnya yaitu
pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Sembilang.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu solusi agar penyerapan tenaga
kerja mengalami peningkatan. Berbagai pendekatan pengelolaan sosial ekonomi
masyarakat yang dilakukan meliputi peningkatan ekonomi masyarakat,
pengembangan kelembagan masyarakat, pembinaan usaha kecil dan menengah
dan ekowisata. Lebih jelasnya dapat dilihat rekomendasi program-program
pengelolaan ekosistem mangrove pada Lampiran 13.
c. Rehabilitasi, konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove
Berdasarkan hasil analisis nilai manfaat mangrove sebesar Rp.
14.007.740.119,00/tahun. Keterkaitan manfaat mangrove diketahui bahwa
hubungan perubahan luasan mangrove terhadapa nilai manfaat mangrove adalah
linear positive, artinya jika terjadi perubahan luasan mangrove yang positif
(semakin bertambah), maka nilai manfaat mangrove juga bernilai positif. Kondisi
ini mengindikasikan bahwa ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan
keberadaannya agar fungsi ekologis, sosial ekonomi dan nilai jasa lingkungannya
dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Adanya pelibatan masyarakat
setempat sebagai pengawas langsung untuk menjaga kelestarian ekosistem
mangrove membetuk suatu lembaga masyarakat disetiap desa di Taman Nasional
Sembilang. Oleh karena itu, penting dilakukan kebijakan rehabilitasi, konservasi
dan pemeliharaan ekosistem mangrove. Pengelolaan ekosistem mangrove yang
berbasis masyarakat dimana meningkatkan dan melestarikan nilai penting
ekologis, sosial ekonomi dan budaya yang akan berdampak pada kelestarian
eksositem mangrove. Rekomendasi program-program dalam pengelolaan
ekosistem mangrove di kawasan Taman Nasional Sembilang dapat dilihat pada
Lampiran 13. .
46

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa:
1. Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional
Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan berada dalam
kategori “kurang berkelanjutan”.
2. Rekomendai strategi pengelolaan yang direkomendasikan dari penelitian ini
ialah, pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia serta rehabilitasi, konservasi dan pemeliharaan ekosistem mangrove,
yang menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan status keberlanjutan
pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab.
Banyuasin Sumatera Selatan agar dapat berkelanjutan.

Saran

1. Diperlukan penerapan rekomendasi pengelolaan untuk menjaga dan


meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
2. Penting untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial,
dengan melibatkan masyarakat di Taman Nasional Sembilang dalam
pengelolaan ekosistem mangrove, baik dalam pengawasan dan pemeliharaan
ekosistem mangrove, serta di ikut sertakan masyarakat dalam semua kegiatan
pengelolaan ekosistem mangrove agar pengelolaan ekosistem mangrove di
Taman Nasional Sembilang lebih optimal dan berkelanjutan.
47

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L. 2013. Penilaian Indikator Untuk Pengelolaan Perikanan


Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approachto Fishheries
Management). Direktorat Sumberdaya Ikan Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Indonesia
Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Feriss B. 2000. How good isgood?
A Rapid appraisal technique for evaluation of the sustainable statusof
fisheriesof the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds). Methods
forevaluation the impact of fisheries on the North Atlantic ecosystem.
FisheriesCenter Research Reports.8(2).
Bahij AL. 2011. Perubahan luasan hutan mangrove dan partisipasi masyarakat
dalam pelestarian hutan mangrove di kawasan Segara Anakan Jawa Tengah
[Tesis]. Universitas Indonesia. Jakarta. 82 hlm.
Balai Taman Nasional Sembilang. 2012. Profil Taman Nasional Sembilang.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Depeartemen Kehutanan. Sumatera Selatan
Cisse AA, Fabian B, Oliver G. 2014. Sustainability of Trofical Small-Scale
Fisheries: Integrated Assessmentin French Guana. Marine Policy. 44:397-
405.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2003. Banyuasin Dalam Angka 2003.Banyuasin
Sumatera Selatan
_______________________ . 2004. Banyuasin Dalam Angka 2004. Banyuasin.
Sumatera Selatan
________________________.2005.Banyuasin Dalam Angka 2005. Banyuasin.
Sumatera Selatan
________________________.2006.Bayuasin Dalam Angka 2006. Banyuasin
Sumatera Selatan
_________________________.2007. Banyuasin Dalam Angka 2007. Banyuasin
Sumatera Selatan
_________________________.2008.Banyuasin Dalam Angka 2008. Banyuasin
Sumatera Selatan
_________________________.2009.Banyuasin Dalam Angka 2009. Banyuasin
Sumatera Selatan
Duke NC, Meynecke JO, Dittmann S, Ellison AM, Anger K, et al. 2007. A world
without mangroves?.Journal Science 317: 41–42
Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan. PT Gramnedia Pustaka Utama.343 hal
Fauziyah, Ulqodri TZ, Agustriani F, Simamora S. 2012. Biodiversitas
Sumberdaya Ikan untuk mendukung pengelolaan kawasan mangrove di
Taman Nasional Sembilangkab. Banyuasin Sumatera Selatan.Jurnal
Penelitian Sains. 15 4(D):165.
Giri C, Long J, Abbas S, Murali RM, Qamer FM, Pengra B, Thau D. 2014.
Distribution and dynamics of mangrove forests of South Asia. Journal of
Environmental Management. 1- 11. doi.org/10.1016/j.jenvman
Giri C, Ochieng C, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N.
2010. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Global Ecol Biogeography. 20: 154-159
48

Giri C, Pengra B, Zhu Z, Singh A, Tieszen LL. 2007. Monitoring mangrove forest
dynamics of the Sundarbans in Bangladesh and India using multi-temporal
satellite data from 1973 to 2000. Estuarine Coastal and Shelf Science. 73:
91–100.
Guimaraes AS, Travassos P, Filho PWMES, Goncalves FD, Costa F. 2010.
Impact of aquaculture on mangrove areas in the northern Pernambuco Coast
(Brazil) using remote sensing and geographic information system.
Aquaculture Research. 41: 828–838.
Indica M, Ulqodry TZ, Hendri M. 2010. Perubahan Luasan Mangrove dengan
Menggunakan Teknik Penginderaan jauh di Taman Nasional Sembilang
Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Maspari Journal 02(2011): 77-81
JICA. 2013. Taman Nasional Sembilang (TNS)
http://www.jica.go.jp/project/indonesian/indonesia/008/outline/05.html. Di
akses pada tanggal Mei 2014 pukul 19.30 WIB.
Kalitow WH. 2015. Valuasi Ekonomi Hutan Mnagrove di Desa Tiwoho
Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara [skirpsi]. Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Manado
Kathiresan K, Qasim SZ. 2005. Biodiversity of Mangrove Ecosystems; Hindustan
Publishing Corporation (India). New Delhi :Pp.251
Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisalof Fishereis (RAPFISH) Project. RAPFISH
Software Descreption (for Microsoft Excel). University of British
Columbia, Fisheries Centre, Vancouver.
Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excell Software for
Rapfish: A Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status.
University of British Columbia. Fisheries Center Research Reports.
Kordi MG 2012.Potensi, fungsi, dan pengelolaan ekosistem mangrove. PT Rineka
Cipta. Jakarta. 16 hal
Kuenzer C, Bluemel A, Gebhardt S, Quoc TV, Dech S. 2011. Remote Sensing of
Mangrove Ecosystems.Remote Sensing. 3: 878- 928.
Li MS, LJ Mao, Shen WJ, Liu SQ, Wei AS. 2013. Change and fragmentation
trends of zhanjiang mangrove forests in southern china using multitemporal
landsat imagery (1977-2010). Journal Estuarine, Coastal and Shelf Science
130 (2013) 111-120
Loureen, George, Jared, James, Lilian.2015. The Facilitative Role of Sea Blight
(Suaeda monoica) in Faunal Recolonisation of Degraded Mangroves at
Mwache Creek, Kenya.IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology
and Food Technology IOSR-JESTFT.9(2): 42-47
Malik A, Fensholt R, Mente O. 2015. Economic Valuation of Mangroves for
Comparison with Commercial Aquaculture in South Sulawesi, Indonesia.
Forests (6): 3028-3044.
Masood, Afsar, Zamir, Kazmi. 2015. Application of Comparative Remote Sensing
Techniques for Monitoring Mangroves in Indus Delta, Sindh,
PakistanBiological Forum – An International Journal 7(1): 783-792.
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG,
Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, Somerfield PJ. 2008.
The habitat function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A
review. Aquatic Botany.89 (2008) 155–185.
49

Nfotabong-Atheull A, Din N. 2013. Qualitative and quantitative characterization


of mangrovevegetation structure and dynamics in a peri-urban settingof
Douala (Cameroon): an approach using air-borne imagery. Estuaries and
Coasts (2013). 36:1181–1192
Nfotabong-Atheull A, Din N, Essomè Koum LG, Satyanarayana B, Koedam N,
Dahdouh GF. 2011. Assessing forest products usage and local residents’
perception of environmental changes in peri-urban and rural mangroves of
Cameroon, Central Africa. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 7:
41 hal
Nguyen HH, McAlpine C, Pullar D, Johansen K, Duke NC. 2013. The
relationship of spatial –temporal changes in fringe mangrove extent and
adjacent land-use: case study of kien giang coast, vietnam. Journal Ocean &
Coastal Management 76 (2013):12-22
Nugroho TS. 2009. Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Kawasan
Hutan Lindung Di Desa Dabong, Kecamatan Kubu Raya, Kalimantan Barat
[tesis]. Bogor : Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Nurul AK, Shigeo F, Binaya RS.2015 . Applicability of Satellite Monitoring on
Mangrove Forests in Malaysia: A Review of Potential Benefits and
Challenges. International Journal of Research (IJR) 2(2)
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra NN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove
diIndonesia. Bogor (ID): Wetlands International Indonesia Programe
Pitcher TJ. 1999. RAPFISH, A Rapid Appraisal Technique For Fisheries and Its
Application to The Code Conduct for Responsible Fisheries FAO Fisheries
Circular No. 947. Rome
Pitcher, David P. 2001. RAPFISH; a rapid appraisal technique to evaluate the
sustainability status of fisheries. Fisheries Research 49(2001) 255-270
Rajendran N.2004. Mangroves, Environmental Information System (ENVIS),
Centre of Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University,
Parangipettai, Tamil Nadu, Ministry of Environment and Forests,
Government of India, New Delhi. ENVIS Publication Series, 25 p
Rencana Pengelolaan Taman Nasional.2010.Rencana Pengelolaan Jangka
Panjang Taman Nasional Sembilang 2010-2029.Balai Taman Nasional
Sembilang.Banyuasin.
Rusdianti K, Sunito S. 2012. Konversi lahan hutan mangrove serta upaya
penduduk lokal dalam merehabilitasi ekosistem mangrove. (Mangrove
Forest Conservation and The Role of Local Community in Mangrove
Ecosytems Rehabilitations). Jurnal Sosiologi Pedesaan. 6(1):1-17
Santos LCM, Matos HR, Novelli YS, Lignon MC, Bitencourt MD, Koedam N.
2014. Anthropogenic activities on mangrove areas (São Francisco River
Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis of CBERS and SPOT
images to aid in local management.Journal Ocean & Coastal Management
89 (2014):39-50 hal
Santoso N.2011. Arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove
berkelanjutan di Muara Angke daerah khusus ibukota Jakarta
[Disertasi].IPB(ID): Institut Pertanian Bogor
Sasidhar K, Rao PB. 2015. Conservation Servation and Management Of
Mangroves at Nizampama and Palarevu. Asia Pacific Journal of Research.
1(20)
50

Sasidhar K, Tirupathi CH, Krishna RH, Vishnuvardhan Z, Swamy, Brahmajirao


P.2013.Studies of mangroves and identification of various salt resistance
Species at southern Krishna delta.International Journal of Engineering &
Science Research. 3(1):555-562
Schaduw JNW, Yulianda F, Bengen DG, Setyobudiandi I. 2011. Pengelolaan
ekosistem mangrove pulau-pulau kecil Taman Nasional Bunaken berbasis
kerentanan. Jurnal Agribisnis 12 (3): 173- 181
Setyawan W. 2006. The direct exploitation in the mangrove ecosystem in Central
Java and the land use in its surrounding; degradation and its restoration
effort. Biodiversitas. 7(3):282-291
Sobari MP, Adrianto L, Azis N. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Kendari : Buletin
Ekonomi Perikanan.3(4)
Sofian A, Harahab N, Marsoedi. 2012. Kondisi dan Manfaat Langsung Ekosistem
Hutan Mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabuapaten
Pasuruan Vol 2 No.2 hlm 56-63. Malang : Prodi Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan dan Pembangunan Universitas Brawijaya
Sugiyono. 2013. Metode penelitian kombinasi (Mixed Method). Bandung :
Alfabeta.
Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta
[disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
[TNS] Taman Nasional Sembilang. 2009. Laporan Kegiatan: Analisis Daerah
Operasi (ADO) Balai Taman Nasional Sembilang. Banyuasin: Balai TNS.
Undang-undang no 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan.
Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti, Kusharjani, Sang Kang. 2013.
Kebijakan Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Bogor
(ID). Pusdiklat Kehutanan- Departeman Kehutanan RI dan SECEM- Korea
International Cooperation Agency
51

LAMPIRAN
52
Lampiran 1 Data ekologi mangrive di kawasan Taman Nasional Sembilang

Spesies n A(Satu Kerapatan Kerapatan Frekuensi Frekuensi Basal Area Dominansi Dominansi INP
stasiun/ha) Relatif Relatif Relatif

Avicenia Alba 11 1,2 9.167 6.707 0,222 8.511 54452,617 4,538 3,542 18,8

Rhizophora 47 1,2 39.167 28.659 0,667 25.533 587313,168 48,943 38,201 92,4
apiculata
Avicennia 7 1,2 5.833 4.268 ,.5 19.150 12359,415 1,030 0,804 24,2
officinalis
Brugueria 14 1,2 11.667 8.537 0,444 17.022 21198,672 1,767 1,379 26,9
gymnorrhiza
Excoecaria 78 1,2 65.000 47.561 0,556 21.278 849782,751 70,815 55,273 124,1
agallocha
Xylocarpus 1 1,2 0.833 0.610 0,111 4.256 223,621 0,019 0,015 4,9
granatum
Rhizophora 6 1,2 5.000 3.659 0,111 4.256 12109,712 1,009 0,788 8,7
mucronata
TOTAL 100 100 100 300
53

Lampiran 2 Nilai manfaat kayu bakar


No. Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 13
2. Jumlah produksi ikat/tahun 31.380
3. Harga jual Rp/ikat 3.000
4. Nilai Rp/tahun 94.140.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 25.560.000
6. Pendapatan Rp/tahun 68.580.00

Lampiran 3 Nilai manfaat langsung daun Nypah


No Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 7
2. Jumlah produksi ikat/tahun 5.720
3. Harga jual Rp/ikat 30.000
4. Nilai Rp/tahun 171.600.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 43.600.000
6. Pendapatan Rp/tahun 128.000.000

Lampiran 4 Nilai manfaat langsung Kayu Tinggi


No. Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 9
2. Jumlah produksi batang/tahun 2.275
3. Harga jual Rp/batang x12 meter 120.000
4. Nilai Rp/tahun 273.000.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 10.730.000
6. Pendapatan Rp/tahun 262.270.000

Lampiran 5 Nilai manfaat hasil perikanan tangkap di Taman Nasional Sembilang


No. Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 27
2. Jumlah produksi Kg/tahun 64.300
3. Kisaran Harga (Rp) Kg/tahun 8.000-150.000
4. Nilai Rp/tahun 1.898.300.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 839.250.000
6. Pendapatan Rp/tahun 1.059.050.000
54

Lampiran 6 Nilai manfaat Kepiting di Taman Nasional Sembilang


No. Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 7
2. Jumlah produksi Kg/tahun 5.725
3. Harga jual Rp/Kg 41.000
4. Nilai Rp/tahun 219.265.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 49.850.000
6. Pendapatan Rp/tahun 169.415.000

Lampiran 7 Nilai manfaat Udang di Taman Nasional Sembilang


No. Uraian Satuan Total
1. Jumlah responden Orang 5
2. Jumlah produksi Kg/tahun 10.200
3. Harga jual Rp/Kg 25.000
4. Nilai Rp/tahun 255.000.000
5. Biaya operasional Rp/tahun 112.000.000
6. Pendapatan Rp/tahun 143.000.000

Lampiran 8 Nilai manfaat wisata alam di Taman Nasional Sembilang


No. Uraian Satuan Jumlah
1. Pengunjung Orang 153
2. Biaya SIMAKSI Rp/tahun x 7 bulan 5.000
3. Pendapatan Rp/tahun 5.355.000

Lampiran 9 Nilai manfaat langsung bibit Mangrove


Jenis Mangrove Uraian Satuan Total
Rizhopora apiculata Jumlah produksi Bibit/tahun 240.000
Rizhopora mucronata Harga Jual Rp/Bibit 1.000
Nilai Rp/Tahun 240.000.000
Biaya operasional Rp/Tahun 26.700.000
Pendapatan Rp/Tahun 213.300.000

Lampiran 10 Nilai manfaat tidak langsung Breakwater


Jenis Mangrove Bahan Satuan Jumlah
Rizhpora apiculata Bibit mangrove 675 bibit Rp 675.000
Kayu gelam 225 batang Rp 3.375.000
Bambu 75 batang Rp 2.250.000
Karung goni 75 karung Rp 1.125.000
Jumlah Rp 7.425.00
55

Lampiran 11 Nilai manfaat keberadaan ekosistem Mangrove di Taman Nasional


Sembilang
No Tingkat Responden Kisaran Nilai Presentase
Pendidikan (Orang) Valuasi (Rp) (%)

1. SD 73 orang 300.000-1.860.000 84,88


2. SMP 4 orang 1.860.000-3.000.000 4,65
3. SMA 8 orang 3.000.000-6.000.000 9,30
4. D2 PGSD 1 orang 6.000.000 1,16
Jumlah 100
56
Lampiran 12 Skoring atribut dimensi ekologi,sosial,ekonomi dan kelembagaan pada pengelolaan Mangrove Taman Nasional Sembilang
Dimensi Ekologi Skor Keterangan
No Dimensi
Kriteria Baik Buruk Acuan pemberian skor
1 Jumlah jenis vegetasi mangrove 1,2,3 3 1 1 = <2 jenis mangrove 3 Data primer hasil pengukuran mangrove
2 = 2-10 jenis mangrove
3 = > 10 jenis mangrove

2 Kerapatan vegetasi mangrove 1,2,3 3 1 1 = <1000 pohon/ha 3 Data primer hasil pengukuran mangrove
2 = 1000-1500 pohon/ha
3 = > 1500 pohon/ha

3 Dominasi jenis vegetasi mangrove 1,2,3 3 1 1 = <1 3 Data primer hasil pengukuran mangrove
2 = 1<indeks<3
3 = indeks >3

4 INP vegetasi mangrove 1,2,3 3 1 1 = INP<100 3 Data primer hasil pengukuran mangrove
2 = 100<INP<300
3 = INP>300

5 Tutupan mangrove 1,2,3 3 1 1 = luas tutupan mangrove berkurang 1 Data citra landsat 7 dan landsat 8
2 = luas tutupan mangrove tetap sama
3 = luas tutupan mangrove bertambah

6 Jumlah jenis fauna mangrove 1,2,3 3 1 1= jumlah fauna berkurang 3 Data sekunder dari Balai Taman Nasional
2= Jumlah fauna tetap sama Sembilang
3 = jumlah fauna bertambah
Dimensi Sosial
No Dimensi Skor Keterangan
Kriteria Baik Buruk Acuan pemberian skor
1 Tingkat pendidikan 1,2,3 3 1 1 = Lulus SD 1 Hasil wawancara dan kuisioner
2 = Lulus SMP
3 = Lulus SMA dan PT
2 Mata pencaharian 1,2,3 3 1 1 = > 20 % tidak memiliki mata pencaharian 2 Hasil wawancara dan kuisioner
2 = 20-50 % memiliki mata pencaharian tetap
yang bergantung pada ekosistem mangrove
3 = < 50 % memiliki mata pencaharian tetap tetapi
memiliki mata pencaharian sampingan
3 Persepsi masyarakat tentang 1,2,3 3 1 1 = persepsi rendah 1 Hasil wawancara dan kuisioner
kondisi manrove 2 = persepsi sedang
3 = persepsi tinggi
4 Partisipasi masyarakat dalam 1,2,3 3 1 1 = partisipasi rendah 1 Hasil wawancara dan kuisioner
pengelolaan mangrove 2 = partisipasi sedang
3 = partisipasi tinggi
5 Peningkatan pengetahuan masyarakat 1,2,3 3 1 1 = tidak ada peningkatan 2 Hasil wawancara dan kuisioner
tentang mangrove 2 = sama saja
3 = peningkatan pengetahuan tinggi
6 Konflik pemanfaatan mangrove 1,2,3 3 1 1 = lebih dari 5 kali/tahun 1 survei dan hasil wawancara
2 = 2-5 kali/tahun
3 = kurang dari 2 kali/tahun

57
57
58
Dimensi Dimensi Kelembagaan
No Skor
Kriteria Baik Buruk Acuan pemberian skor Keterangan
1 Kepatuhan terhadap aturan-aturan 1,2,3 3 1 1 = Lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran 1 laporan atau catatan pelanggaran dari
pengelolaan 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum pengawas, serta survei dan hasil wawancara
3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

2 Kelengkapan aturan main 1,2,3 3 1 1 = tidak ada penegakan aturan main 2 survei dan dilakukan dengan wawancara dan
pengelolaan mangrove 2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif kuisioner
3 = ada penegakan aturan main dan efektif

3 Mekanisme pengambilan keputusan 1,2,3 3 1 1 = Tidak ada mekanisme pengambilan keputusan 2 survei dan hasil wawancara
dalam pengelolaan 2 = ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif
3 = ada mekanisme dan berjalan efektif

4 Rencana pengelolaan 1,2,3 3 1 1 = belum ada RPP 2 survei dilakukan dengan wawancara dan
2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan kuisioner
3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

5 Tingkat sinergitas kebijakan dan 1,2,3 3 1 1 = Konflik antar lembaga (kebijakan antar 2 Survei dan wawancara
kelembagaan dalam pengelolaan lembaga berbeda kepentingan)
2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif
3 = Sinergi antar lembaga berjalan baik

6 Kapasitas pemangku kepentingan 1,2,3 3 1 1 = tidak ada peningkatan 1 survei dengan wawancara/kuisioner
2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang
didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaan)
3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat
sesuai dengan fungsi pekerjaan)
Dimensi Ekonomi
No Dimensi Skor Keterangan
Kriteria Baik Buruk Acuan pemberian skor
1 Nilai ekonomi total manfaat 1,2,3 3 1 1 = > 5 M/tahun 3 Hasil wawancara dan perhitungan
hutan mangrove 2 = 5-10 M/tahun valuasi manfaat mangrove
3 = >10 M/tahun

2 Jenis manfaat langsung 1,2,3 3 1 1 = < 3 jenis manfaat langsung 2 Hasil wawancara dan kuisioner
hutan mangrove terhadap masyarakat 2 = 3 - 5 jenis manfaat langsung
3 = > 5 jenis manfaat langsung

3 Pendapatan rata-rata masyarakat 1,2,3 3 1 1 = < UMR 2 survei dan hasil wawancara
sekitar kawasan 2 = sama dengan UMR
3 = > UMR

4 Nilai ekonomi ekosistem mangrove 1,2,3 3 1 1 = Masyarakat yang memanfaatkan rendah 3 survei dan hasil wawancara
bagi masyarakat setempat (<30%)
2 = Masyarakat yang memanfaatkan cukup banyak
(30-60%)
3 = Masyarakat yang memanfaatkan banyak
(>60 %)

5 Persentase nilai manfaat 1,2,3 3 1 1 = Persentasi nilai manfaat langsung > nilai
langsung terhadap nilai manfaat manfaat tidak langsung
tidak langsung 1 Hasil wawancara dan perhitungan
2 = Persentasi nilai manfaat langsung sama saja
valuasi manfaat mangrove
dengan manfaat tidak langsung
3 = Pernsentasi nilai manfaat langsung< nilai
manfaat tidak langsung

59
59
60
Lampiran 13 Rekomendasi program-program pengelolaan ekosistem mangrove di Taman Nasional
No
Sembilang
Program Kegiatan Input (yang diperlukan) Output (hasil) Outcome (hasil jangka panjang) Benefit Pihak terkait
1 Pemberdayaan 1. Peningkatan ekonomi masyarakat 1) Terbentuknya tambak yang ramah lingkungan; Kelestarian hasil tambak silvofishery Manfaat untuk masyarakat, peningkatan 1). Masyarakat;
masyarakat a. Pelatihan dan Pengembangan 1)Sumber daya manusia ahli budidaya; 2) Laporan kegiatan silvofishery ramah lingkungan dengan intensifikasi pengetahuan masyarakat mengenai silvofishery 2) Dinas kehutanan Provinsi dan kabupaten;
silvofishery Ramah Mangrove 2)Sumber daya manusia pendukung; produksi ramah lingkungan, meningkatkan ekonomi 3) Dinas kelautan dan perikanan provinsi
3) Lahan pertambakan yang sudah ada masyarakat dan kelestarian mangrove tetap dan kabupaten;
4)Jenis ikan yang akan dibudidayakan; terjaga 4) aparatur desa
5) Kelompok masyarakat
b. Pembinaan UMKM 1) Sumber daya industri kecil dan menengah Kondisi awal UMKM dan Tebinanya UMKM di kawasan Masyarakat:Meningkatkan ekonomi masyarakat , 1) masyarakat;
(pembuatan sirup dari buah mangrove, kerajinan batik, perkembangan UMKM Taman Nasional Sembilang masyarakat merasakan manfaat dengan adanya 2) Kepala desa;
terasi,presto ikan bandeng,kerupuk ikan pari dll); pembinaan UMKM, dapat membantu kegiatan 3) Balai Taman Nasional Sembilang;
2) Sumber daya manusia ahli ekonomi sumber daya alam; kelembagaan perekonomian daerah 4) Dinas Kesehatan;
3) Kelompok UMKM 5) Balitbang dan
6) POM
2. Pengembangan Kelembagaan 1) Sumber daya manusia ahli; 1). Kondisi kelembagaan desa yang kuat; Terbangunnya kelembagaan Masyarakat: Masyarakat mengerti bagaimana 1). Masyarakat;
2) Kelompok masyarakat 2). Terbentuknya lembaga pengawas yang kuat dan aktif untuk memanajemen kelompok kelembagaan, 2). Dinas Kehutanan Provinsi dan Daerah;
hutan mangrove pemerintah daerah dapat membantu kegiatan 3). Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
dan Daerah
pembinaan masyarakat 4). Aparatur Desa
3. Peningkatan Pendidikan
a. Pembuatan bahan ajar fungsi dan 1). Penyusunan bahan ajar dan penataan Terbitnya buku mengenai fungsi dan Terbangunnya pengetahuan Masyarakat: Masyarakat dapat mengetahui fungsi 1). Dinas Pendidikan;
manfaat mangrove di kawasan sumber daya manusia ahli mangrove; manfaat mangrove masyarakat akan pentingnya mangrove dan manfaat mangrove dan Pemerintah Daerah 2).Masyarakat;
Taman Nasional Sembilang 2). Sumber daya manusia ahli pendidikan; di kawasan Taman Nasional Sembilang dapat membatu dalam kegiatan pendidikan 3)Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang.
3). Kelompok masyarakat masyarakat

b. Pembuatan Kurikulum Muatan 1). Sumber daya manusia ahli pendidikan; Terbentuknya kurikulum muatan lokal Terbangunnya pengetahuan pendidik Masyarakat: Masyarakat mengetahui fungsi dan 1). Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten;
Lokal 2). Sumber daya manusia pendidik dan pelajar mengenai fungsi dan manfaat mangrove dan pelajar tingkat dasaar dan manfaat mangrove di wilayah Taman Nasional 2)Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang;
tingkat dasar dan menengah; menengah mengenai fungsi da Sembilang, khususnya pelajar sebagai penerima 3) Masyarakat dan Stakeholders lainnya
3). Kelompok masyarakat n manfaat mangrove di wilayah estafet pembangunan dan meningkatnya
Taman Nasional Sembilang kemampuan SDM

4. Ekosiwata 1). Sumber daya ahli ekowisata; 1). Program-program wisata yang dapat dilakukan; Peningkatan kemampuan sumber daya Mayarakat: Mendatangkan tambahan pendapatan 1). Masyarakat;
2). Kelompok masyarakat; 2). Sarana pendukung untuk aktivitas ekowisata; manusia di bidang ekowisata dan p bagi masyarakat melalui kegiatan ekowisata dan 2). Pihak Pengelola Taman Nasional Sembilang;
3). Ekosistem hutan mangrove; 3). Pelatihan sumber daya manusia yang engembangan potensi kawasan dalam membatu Pemerintah Daerah dalam perencanaan 3). Dinas Pariwisata dan
berhubungan dengan kegiatan ekowisata kegiatan ekowisata. pengembangan wilayah pesisir serta kelestarian 4). Aparatur Desa.
4). Pemancingan ikan mangrove di kawasan. eksosistem mangrove tetap terjaga walaupun
dimanfaatkan untuk kegiatan wisata
2 Research Center 1). Penelitian dan Modul 1). Ahli hutan mangrove; jurnal penelitiam dan publikasi ilmiah Terbangunnya capacity building staf PT Masyarakat: Mengikutsertakan masyarakat 1). Masyarakat;
2). Ahli pengembangan penelitian; bertaraf nasional dan internasional dalam berpikir ilmiah dalam pengamatan 2) Perguruan Tinggi;
3). Kelompok masyarakat fenomena alam dan pemecahan persoalan 3). Pihak pengelola Taman Nasional Sembilang
dan masyarakat luas mengetahui hasil-hasil 4). Aparatur Desa
penelitian yang telah dilakukan

2). Konsultasi Publik 1). Sumber daya manusia ahli komunikasi; Kegiatan konsultai publik ketika sesuatu Sosialisasi kepada publik mengenai Mayarakat: dilibatkan dalam kegiatan Semua pihak yang terkait
2). Sumber daya manusia ahli hutan mangrove; kegiatanakan sedang dan sudah berjalan suatu kegiatan pembangunan dan masyarakat mengetahui
3). Kelompok masyarakat dan tentang kegiatan yang akan dan sudah berjalan.
4). Stakeholders terkait. Pemerintah Daerah; dapat mengantisipasi
konflik yang bisa timbul akibat suatu kegiatan.
Perguruan tinggi; meningkatkan kemampuan
SDM dan Pengabdiankepada masyarakat.

3). Pelatihan-pelatihan 1). Sumber daya manusia ahli bidang yang dilatihkan; Event-event pelatihan Peningkatan pengetahuan dan Masyarakat: meningkatkan kemampuan SDM 1). Perguruan tinggi;
2). Kelompok masyarakat; keterampilan pengelolaan mangrove di Taman Nasional 2). Masyarakat;
Sembilang 3). Pihak Pengelola Taman Nasional Sembilang
semua pihak terkait.

3) Peserta pelatihan (pemerintah/swasta)

4). Informasi/Dokumentasi 1). Sumber daya manusia dan 1).Dokumen-dokumen hasil perkembangan Terdokumentasinya kegiatan-kegiatan Masyarakat: dilibatkan dalam kegiatan Semua pihak yang terkait.
2). Kelompok masyarakat kegiatan yang telah dilakukan dokumentasi dan informasi . Pemerintah daerah:
2).Buletin bulananTerdokumentasinya Mempermudah penelusuran data. Perguruan
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan tinggi: Meningkatnya kemapuan SDM dan
pengabdian kepada masyarakat.
61 61

Lampiran 14 Jenis-jenis manfaat langsung ekosistem Mangrove di Taman


Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Sumatera Selatan

Breakwater dengan Bentuk Segitiga Pemanfaatan Daun Nypah Mangrove

Pemanfaatan Kayu Tingi Mangrove Jenis Ceriops tagal

Pemanfaat kayu bakarJenis Udang Ebi di TNS


Rizhopora sp
62

Tim survei pengukuran mangrove Mangrove Trail

Pengukuran diameter pohon mangrove

Lahan mangrove yang dijadikan sebagai lahan tambak


63

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara


yang dilahirkan di Palembang pada tanggal 11 Oktober
1989. Penulis merupakan putri dari Bapak Makmun Harun,
BA dan Ibu Fatimah, S.Pd. Penulis melalui pendidikan
dasar di SD Negeri 1 Kayuagung OKI pada tahun 1995-
2001. Pendidikan menengah pertama dilalui di SMP Negeri
1 Kayuagung OKI pada tahun 2001-2004. Pendidikan
menengah atas dilalui pada tahun 2004-2007 di SMA
Negeri 1 Kayuagung OKI. Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada
jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
dan penulis menyelesaikan studi sarjana pada tahun 2012. Penulis sempat
mengikuti Sail Takabonerate tahun 2010 di Pulau Takabonerate dan Pulau Selayar
menggunakan Kapal Republik Indonesia (KRI 590) dengan rute Jakarta-
Makassar. Penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM
FMIPA) selama 2 periode tahun 2009-2010 dan tahun 2010-2011. Penulis juga
menjadi anggota Forum Penyelam Mahasiwa Indonesia pada tahub 2009 s.d
sekarang. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi Magister di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis melaksanakan peneitian tesis dengan Judul Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan.

Anda mungkin juga menyukai