REVIEW JURNAL
Oleh :
Robert P. Maryunus
Abstrak
Kawasan pesisir adalah kawasan yang sangat kompleks, dinamis dan rentan
karena adanya pengaruh baik ekosistem darat maupun laut. Sebagai suatu kawasan
yang rentan, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan hanya dapat dicapai
berdasarkan beberapa hal terbaik dan menggunakan akal dengan pendekatan
terpadu. Pendekatan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang
karakteristik struktur, fungsi, dan dinamika fisik pesisir dan lingkungan manusia.
Karena pendekatan pengelolaan terpadu sumber daya pesisir dan laut adalah suatu
keharusan, tujuan perencanaan utama biasanya diarahkan untuk mencapai
keseimbangan pada tiga tujuan utama: 1) prospek pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan, 2) mempertemukan keinginan masyarakat, dan 3)
mengakomodasi mata pencaharian atau kondisi yang ada. Pendekatan ini mengarah
pada keputusan apakah akan meningkatkan, untuk melestarikan, atau untuk
mengubah penggunaan sumber daya yang ada dengan menggunakan suatu
strategi. Indonesia dan negara-negara lain yang memiliki kawasan pesisir dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan terpadu ini dengan dukungan Sistem
Informasi Geografis (SIG) guna mengkarakterisasi sumber daya, dan untuk
mengidentifikasi potensi keterkaitan dan atau konflik diantara tiga tujuan diatas
termasuk diantaranya permukiman dan potensi bencana seperti banjir, tanah
longsor dan tsunami di kawasan pesisir. Melalui pemahaman aplikasi yang
ditujukan untuk pengelolaan sumber daya pesisir dan laut akan membantu dalam
identifikasi kebutuhan informasi dan analisis.
PENDAHULUAN
Fenomena ini menunjukkan bahwa perlu adanya sosialisasi mengenai tingkat bahaya
yang mungkin terjadi di daerah-daerah permukiman di sepanjang pantai dan pesisir,
terutama pada pantai yang berhadapan langsung dengan zona tumbukan lempeng
tektonik.
Permukiman merupakan daerah yang paling penting dalam kegiatan mitigasi
bencana alam, karena merupakan tempat tinggal dan tempat berkumpulnya penduduk
(Katayama, 2000). Kerugian terbesar akibat bencana umumnya terdapat pada daerah
permukiman penduduk. Dengan demikian identifikasi karakteristik permukiman
perlu dilakukan untuk dapat mengenali tingkat resiko bencana yang mungkin terjadi.
Lebih lanjut lagi dalam upaya mitigasi bencana seperti tanah longsor dan banjir
data yang diolah melalui Sistem Informasi Geografis dibutuhkan untuk
meminimalisir timbulnya resiko bencana di seluruh dunia sesuai dengan konsorsium
ProVention sebagai realisasi dari kerangka Hyogo (Hyogo framework for Action,
2005). Sehubungan dengan itu maka pada daerah rawan bencana perlu dibuat sebuah
peta zona resiko (Epizua dan Bengochea, 2002).
Struktur dan dinamika lingkungan pesisir harus dipahami sebagai suatu sistem
yang substansial dalam perencanaan pengelolaan sumber daya pesisir secara
berkelanjutan (Dahuri, et al., 1996). Ada tiga aspek utama: struktur, fungsi, dan
perubahan atau dinamika yang biasanya digunakan mengkarakterisasi ekosistem
sebagai suatu lanskap (Forman and Godron, 1986) atau suatu geo-ekosistem yang
lebih besar (Hugget, 1995). Ilmu geografi memiliki tujuan utama untuk
mengkarakterisasi struktur, fungsi dan dinamika ekosistem dengan pertimbangan
bahwa dalam faktanya ekosistem memiliki tiga dimensi yang berbeda : spasial,
temporal dan tematis (Gunawan, 1997).
Sistem Informasi Geografis (SIG) secara tradisional dipandang sebagai alat
bagi pengolahan data spasial maupun sebagai sistem dari informasi spasial. . Sebagai
alat, SIG memiliki kemampuan untuk menyimpan, mengambil, mengelola,
menganalisis dan memvisualisasikan hal-hal lain yang berhubungan dengan non-
spasial. Sebagai sistem, di sisi lain, SIG adalah sebuah proses mengkomunikasikan
informasi spasial (misalnya karakteristik sumberdaya) di antara anggota masyarakat
termasuk ilmuwan, perencana dan pengambil kebijakan di bidang sumberdaya.
Dalam pengelolaan sumber daya pesisir, SIG dapat digunakan untuk
menyajikan fakta-fakta spasial dasar tentang fisik pesisir dan lingkungan manusia
dalam hal struktur, fungsi dan dinamika. Untuk lingkungan fisik pesisir, misalnya,
fakta spasial termasuk topografi dasar pesisir / batimetri, morfologi, vegetasi, aliran
sedimen, erosi dan pengendapan, iklim, batas habitat, dan banyak karakteristik fisik
lainnya. Untuk lingkungan masyarakat pesisir, fakta-fakta spasial dasar mencakup
batas administrasi, penyebaran penduduk, transportasi dan jaringan distribusi, dan
banyak lainnya tentang karakteristik manusia / sosial.
Secara umum, SIG dirancang dengan baik untuk pengelolaan sumberdaya
pesisir harus mampu, setidaknya, menghadirkan dan memvisualisasikan struktur
spasial sumber daya, proses spasial yang menggambarkan berbagai fungsi struktur,
dan perubahan spasial yang menggambarkan dinamika dari lingkungan pesisir. Lebih
lanjut, SIG pesisir dapat dijadikan model pada beberapa kondisi, tanggap, atau
perubahan dasar pada suatu skenario apa jika.
6
Dalam kaitannya dengan permukiman, bahwa Salah satu faktor yang sangat
perlu diperhatikan bagi permukiman-permukiman pada daerah pesisir adalah
kerawanan terhadap bencana alam, terutama yang disebabkan oleh aktivitas laut,
misalnya rob dan tsunami. Usaha mitigasi ataupun meminimalisasi resiko apabila
terjadi bencana sangat diperlukan untuk menghindari banyaknya korban bencana,
salah satu caranya adalah dengan melakukan pemintakatan tingkat bahaya bencana
untuk daerah-daerah di sepanjang pantai dan pesisir.
Aspek lain dari perencanaan sumber daya pesisir dan laut adalah
pengembangan skenario di bawah kondisi "apa-jika". Sebagai lingkungan pesisir dan
laut yang sangat dinamis dan komponennya, pemahaman terhadap dampak
perubahan atau kejadian dalam satu komponen
satu terhadap. Aplikasi SIG biasanya membutuhkan integrasi dari hasil analisis
lapisan tematik SIG untuk model tertentu yang memprediksikan hasil kondisi "apa-
jika". Dalam implementasinya, model integrasi-SIG ini terutama digunakan untuk
membandingkan dan mengidentifikasi beberapa skenario yang memiliki
kemungkinan terjadi.
Dari perspektif sistem informasi, pengembangan SIG termasuk database
standar bagi desain proses seperti identifikasi pengguna, pengguna yang dibutuhkan
dalam penilaian, desain sistem dan implementasi. Dalam pengelolaan sumber daya
pesisir, pendekatan terpadu adalah satu-satunya solusi, informasi menggambarkan
perspektif semua pemangku kebijakan harus dapat diketahui oleh pengguna. Dengan
kata lain, pengguna yang ditargetkan untuk pengelolaan pesisir dan laut SIG
termasuk semua orang peduli dengan lingkungan pesisir. SIG untuk perencanaan
pariwisata, misalnya, juga harus menyajikan semua fakta spasial yang terkait dengan
perikanan, pertanian, industri dan kegiatan lainnya yang mungkin berdampak bagi
penegembangan pariwisata.
Sebagai, contoh dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, telah
dikembangkan untuk daerah pesisir dan laut di pantai utara Sulawesi Utara antara
kota Manado dan Bitung. Ada dua skema analisis SIG yang dikembangkan. Skema
pertama merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan keberadaan prospek
pariwisata di daerah itu yakni kawasan konservasi/taman nasinal laut Bunaken inti
industry pariwisata di daerah itu. Empat entitas utama yang telah diidentifikasi yakni
: 1) struktur dasar morfologi, 2) kawasan konservasi bersangkutan, 3) proses-proses
pesisir dan 4) kepedulian lingkungan, khuusnya sungai sebagai transportasi polusi.
Skema analisis kedua yakni aplikasi SIG Manado Bitung yang merupakan tujuan
pembangunan pariwisata daerah, dengan menyediakan lokasi tawan wisata yang
lebih banyak disamping Taman Wisata Laut. Lima entitas yang diidentifikasi sesuai
bagi pengembangan pariwisata yaitu : 1) daya tarik wisata, 2) fasilitas pariwisata, 3)
aksesesibilitas dan 4) sumberdaya manusia.
8
Contoh lain yang dapat dikemukakan disini adalah SIG untuk aplikasi
perencanaan kontigensi tumpahan minyak : Kalimantan Timur. Prototipe aplikasi
GIS untuk mengembangkan kontigensi tumpahan minyak dibangun sebagai suatu
wilayah studi di Kalimantan Timur, di lepas pantai delta Sungai Mahakam.
Fenomena di dunia nyata terwakili oleh tiga entitas utama yaitu : 1) karakteristik
lingkungan pesisir, 2) karakteristik oseanografi dan 3) skenario tumpahan minyak.
Entitas tersebut diterjemahkan kedalam lapisan tematik SIG. Karakteristik
lingkungan ditetapkan sebagai sensivitas terhadap degradasi lingkungan sedangkan
turunan pertama yang merupakan lapisan tematik baru menggambarkan Indeks
Sensivitas Lingkungan (ESI) dari lingkungan pesisir.
Karakteristik oseanografi dan skenario tumpahan minyak, keduanya
dikombinasikan dalam analisis spasial untuk menentukan dampak potensial berbagai
skenario dampak tumpahan minyak terhadap lingkungan pantai. Skenario tumpahan
berkisar pada rembesan dari kapal, tumpahan dinilai dengan menjalankan lintasan
dan penyebaran model. Model tumpahan minyak mempertimbangkan berbagai
karakteristik seperti jumlah minyak dan sifat fisik, dan karakteristik oseanografi
seperti angin dan arah arus dan kecepatan (Gunawan, et al., 1996).
penelitian/publikasi dan atau turunan dari peta Rupa Bumi Indonesia. Keseluruhan
peta selanjutnya dianalisis dengan SIG untuk menghasilkan model keterkaitan antar
faktor. Dari hasil analisis SIG selanjutnya dianalisis secara statistik (analisis
frekuensi dan tabel silang).
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa karakteristik permukiman
desa-desa pesisir sepanjang Pantai Selatan Jawa di Kabupaten Kulonprogo
menunjukkan pola mengelompok (clustered) berbentuk linear sejajar garis pantai,
kepadatan rumah sedang, terletak pada satuan bentuklahan beting gisik, tipe
morfologi pantai berpasir, lereng landai, aksesibilitas fisik baik, ditandai kepadatan
jalan tinggi, serta kondisi sosial ekonomi penduduk kategori menengah, dicirikan
oleh pekerjaan sektor pertanian, tingkat ekonomi sedang, tingkat pendidikan sedang.
secara umum tingkat bahaya terhadap bencana gelombang pasang di daerah
penelitian berada pada tingkat sedang.
Contoh lain adalah upaya mitigasi bencana yang dilakukan di Limbe, Provinsi
Fako selatan-barat Kamerun. Daerah ini adalalah kawasan pesisir yang berada
sekitar 50,5 km dari garis pantai Samudera Atlantik di barat daya. Selama bertahun-
tahun, ada sejumlah kasus yang tercatat dari tanah longsor dan banjir
di wilayah ini dan yang terburuk terjadi bulan Juni 2001, bencana yang menelan
korban sekitar 30 orang, pengungsi lebih dari 2000 orang lain, dan menghancurkan
property dan fasilitas sosial seperti jalan dan saluran telepon senilai ribuan dolar AS
(Aka et al., 2001).
Metodologi Hardware dan software yang digunakan untuk data penyusunan,
perakitan, interpretasi dan analisis citra guna pendeteksian, peta dan memverifikasi
fitur. Dalam penelitian tersebut digunakan gambar dari foto udara beresolusi tinggi.
Luasan daerah menggunakan dataset fitur yang ada dengan
mempertimbangkan sumber, kualitas, dan tanggal publikasi. Gambar diambil dari
citra satelit Landsat 7 ETM + (Http: www.mdafederal.com/com). Gambar tersebut
digunakan untuk mengkategorikan, menafsirkan dan digitalisasi fitur
03 time series, resolusi menengah ke tinggi (28.5m) orthorectified Landsat TM 7
Enhanced Thematic Mapper (ETM +) sub citra satelit tempat path 186, baris 57 dari
tanggal 26 Maret 1999, 26 April 2001 dan 14 Januari 2003 meliputi lokasi 01 skema
klasifikasi Landsat Kamerun. Peta topografi 1 : 50.000 yang mencakup wilayah yang
11
sesuai dengan fitur yang diverifikasi. Citra satelit Landsat ETM + memiliki resolusi
spasial 28,5 meter per piksel (saluran 1-5 dan 7) dan 14,5 meter per piksel (saluran
pankromatik) dan menjangkau hingga 183 x 170 km.
ETM + mengukur reflektansi matahari dalam tujuh saluran spektral
dikenal sebagai band. Ini termasuk spektrum terlihat (band 1 - 3), infra merah dekat
(Band 4 dan 5), termal (band 6) dan menengah inframerah (band 7). Band ini
secara selektif digabungkan menjadi gambar komposit warna untuk meningkatkan
visibilitas. Kombinasi band yang berbeda-beda digunakan untuk memaksimalkan
visibilitas daerah bekas longsor, dan menggunakan lahan yang berbeda di bawah
berbagai kondisi. Kombinas Band terbaik yang digunakan meliputi; 7-5-3, 7-5-4, dan
5-4-3. Untuk meningkatkan deteksi daerah bekas longsor yang sempit dan fitur
kurang menonjol, band pankromatik (14.5 m resolusi) telah bergabung dengan band
lain (28.5m resolusi) untuk menciptakan sebuah gambar "pan-tajam". Pengayaan
gambar ini sangat meningkat visibilitas fitur sebelum kategorisasi dan digitasi. Band
kombinasi 5-3-2 digunakan untuk menyaring awan sebelum kategorisasi.
Update peta topografi dilakukan dengan analisis citra dan manipulasi.
Pixel transformasi dilakukan dengan menghitung perbedaan normalisasi
vegetatif index (NDVI) untuk meningkatkan interpretasi visual terhadap komposit
warna yang keliru (FCC) dari citra satelit. NDVI digunakan untuk mengelompokkan
perberbedaan vegetasi dan permukaan non-vegetasi. Perangkat tambahan visual ini
diizinkan untuk merpermudah digitasi fitur pada gambar.
Perbedaan kategori meliputi :
1) daerah Non-vegetasi (permukiman, tanah kosong atau pembukaan lahan, jalan)
2) wilayah vegetasi alamiah (hutan cemara, hutan daun);
3) wilayah pertanian (CDC perkebunan, lahan pertanian dll);
4) Air permukaan.
Citra satelit yang diinterpretasikan dan dikategorikan ke dalam kelas-kelas
spektral yang berbeda, menggunakan klasifikasi untuk bekas daerah longsor dan
identifikasi lereng curam. Daerah visual diartikan sebagai tanah longsor pada daerah
yang ditandai. Penandaan dilakukan, selanjutnya dilakukan penandaan dilapangan
dengan menggunakan Global Positioning System. Hal ini dilakukan karena resolusi
spasial Landsat 7 ETM + tidak menunjukkan secara jelas perbedaan antara tanah
12
terbuka biasa, tanah longsor ataupun lereng curam (Sigurdsson et. al., 1987).
eta topografi juga memberikan informasi yang berguna tentang zona potensi longsor
berdasarkan gradien topografi.
Daerah yang paling besar terkena dampak tanah longsor adalah daerah
pegunungan dengan lereng curam, yang mana disebabkan oleh kurang
diperhatikannya kemiringan lahan pada saat penggalian. Pembuangan sampah
kedalam sungai dan peningkatan intensitas curah hujan memberikan kontribusi
terhadap seringnya terjadi banjir di Limbe.
PENUTUP
Review Jurnal ini ditutup dengan kesimpulan bahwa untuk meminimalisir
dampak buruk yang terjadi di kawasan pesisir dan untuk mempertahankan
pembangunan berkelanjutan diperlukan upaya pengelolaan yang terpadu. Kawasan
pesisir sebagai kawasan peralihan antara ekosistem darat dan laut memilki tingkat
kerentanan tinggi sehingga dalam pengelolaannnya diperlukan upaya pengelolaan
terpadu dari semua stakeholders yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
bidang pesisir.
Mitigasi bencana yang bertujuan untuk meminimalisasi bencana perlu dilakukan
pada daerah-daerah rawan bencana. Upaya ini dapat ditempuh melalui penataan
14
DAFTAR PUSTAKA
Aka, F. 2001. Lanslide swam in Limbe. Institut for Geological and Mining
Research-Ekona.
Dahuri, R., Rais J., Ginting, S.P., dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 hal.
Forman, R.T.T and M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons,
New York, NY. 619 p
Sigurdsson, H., Hougton, B. F., Mc Nutt, S., Rymer, H., and J. Stix. 1987.
Encyclopedia of Volcanoes. Academic. San Diego. pp 915 930