TRANSFORMASI PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Oleh :
Oleh :
ROBERT P. MARYUNUS
NIM 136 9109 001
Bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, selain mempunyai
dampak positif, ternyata pembangunan ekonomi juga mempunyai dampak
negatif. Dari segi positif sudah jelas bahwa pembangunan ekonomi akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pendapatan nasional. Namun,
pembangunan ekonomi juga berdampak negatif bagi kelestarian alam,
diantaranya dengan berkurangnya sumberdaya alam akibat eksploitasi
berlebihan, pencemaran udara akibat polusi industri dan pembangunan
infrastruktur perekonomian yang identik dengan perusakan alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian merupakan sektor penting
yang harus senantiasa dikembangkan karena menyangkut hajat hidup orang
banyak. Namun, di tengah maraknya pembangunan perekonomian dewasa ini,
terjadi masalah dilematis yang cukup pelik, yaitu menyangkut disharmonitas
antara pembangunan perekonomian pada satu sisi dan pelestarian alam pada
sisi yang lain. Berkurangnya sumberdaya alam, polusi pabrik dan alih fungsi
lahan hijau menjadi lahan perekonomian, merupakan contoh akibat dari
pembangunan ekonomi yang tidak selaras dengan pelestarian alam.
Dalam beberapa dekade terakhir, berkembang banyak paradigma
tentang pembangunan. Masing-masing paradigma tersebut dikembangkan oleh
para pakar dengan menawarkan konsep pembangunan yang berbeda. Salah
satu diantara paradigma pembangunan yang akhir-akhir ini cukup populer
adalah konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah
pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World
Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of
Nature (IUCN), lalu pada tahun 1981 dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku
Building a Sustainable Society (Keraf, 2002).
Pada tahun 1992, dalam Konperensi Bumi di Rio de Janeiro,
pembangunan berkelanjutan menjadi tema yang umum yang mengkaitkan
sejumlah konvensi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan
untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Konvensi ini diratifikasi oleh lebih
dari 140 negara sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan dapat diterima di seluruh dunia. Istilah tersebut kemudian
menjadi sangat populer ketika pada tahun 1987 World Commision on
Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commision
menerbitkan buku berjudul Our Common Future (Fauzi, 2004). Tahun 1992
merupakan puncak dari proses politik yang akhirnya pada Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan
berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk
semua negara di dunia (Keraf, 2002). KTT Bumi juga menghasilkan Konsep
Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling
terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan
social dan pelestarian lingkungan hidup. Pokok perhatian dalam pembangunan
berkelanjutan adalah hubungan antara ekonomi dan ekologi (Panayotou, 1994).
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi
adalah bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan
pembangunan disatu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan
disisi lain (Fauzi,2004).
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
2.1. Transformasi
Salah satu tema/masalah pokok dalam dimensi ini adalah perubahan iklim.
Selama 50 tahun terakhir telah dapat dibuktikan bahwa pemanasan global yang
sekarang ini kita rasakan terjadi terutama karena ulah manusia sendiri. Emisi
dari gas-gas rumah kaca seperti CO2 dan N2O dari aktivitas manusia adalah
penyebabnya. Konsentrasi gas CO2 di atmosfer naik 30% selama 150 tahun
terakhir. Kenaikan jumlah emisi CO2 ini terutama disebabkan karena
pembakaran sumber energi dari bahan fosil (antara lain minyak bumi). Selain
itu, perubahan dalam penggunaan sumber daya alam lainnya juga memberikan
kontribusi pada kenaikan jumlah CO2 di atmosfer: 15% oleh penggundulan dan
pembakaran hutan dan lahan untuk diubah fungsinya (misalnya dari hutan
lindung menjadi hutan produksi) (WRI 2000).
Masalah ekologi lainnya adalah degradasi tanah atau hilangnya kesuburan
tanah. Ini dapat diakibatkan oleh erosi akibat air dan angin, penggaraman dan
pengasaman tanah, dll. Penyebab hilangnya kesuburan tanah lainnya adalah
hilangnya lapisan humus dan mikro organisme, zat makanan pada tanah, dan
kemampuan tanah menguraikan sampah/limbah. Tanah yang tandus (kering)
adalah akibat dari degradasi sumber daya tanah seperti yang sudah lama terjadi
pada beberapa daerah tandus di Indonesia, seperti di Jawa pada daerah Gunung
Kidul, Yogyakarta. Di seluruh dunia, 15% tanah mengalami degradasi. Selain
diakibatkan erosi oleh air dan angin, degradasi tanah ini juga disebabkan oleh
penggunaan zat-zat kimia (pestisida) (WRI, 2000). Terancamnya kelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati oleh tangan manusia juga menjadi
masalah ekologi lainnya. Setiap tahunnya 6000 jenis hewan punah yang terdiri
dari 13% unggas, 25% mamalia, dan 34% ikan (WRI 2000). Hilang atau
punahnya keanekaragaman biologis tidak hanya berarti sumber daya alam yang
tidak ternilai yang dapat digunakan untuk obat-obatan dan tempat berekreasi
hilang, tapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem secara keseluruhan,
mengancam kemampuan alam sebagai penyedia sumber daya untuk produksi
(fungsi ekonomis) dan dalam melakukan fungsi regulasinya.
Konsumsi air dari tahun ke tahun juga terus bertambah sejalan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk, industri dan usaha-usaha di sektor pertanian.
Dari total konsumsi air di seluruh dunia, sekitar 70% digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Pencemaran air dan tanah semakin
memperburuk ketersediaan air bersih bagi kelangsungan hidup manusia.
Pencemaran air dan tanah ini terutama disebabkan oleh penggunaan pupuk dan
pestisida untuk pertanian dan perkebunan (WRI, 2000).
Masalah utama dalam dimensi pada bidang sosial masalah utama adalah
ini adalah pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Dalam kurun waktu seratus
tahun terakhir, pertumbuhan penduduk melonjak cepat terutama pada negara
berkembang (UNDP, 2002). Diperkirakan jumlah penduduk dunia akan naik
sampai 7,8 milyar orang pada tahun 2025, dimana 6,7 milyar orang hidup di
Negara berkembang. Kenaikan jumlah penduduk ini antara lain disebabkan oleh
beberapa faktor, misalnya rendahnya tingkat pendidikan, tidak memadainya
jaminan sosial pada Negara yang bersangkutan, budaya dan
agama/kepercayaan, urbanisasi, dan diskriminasi terhadap wanita (Enquete
Commission, 2002).
Faktor-faktor diatas menimbulkan tingkat pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali, kemiskinan, dan kekurangan air yang tentunya berujung pada
masalah kekurangan gizi pada manusia. Antara tahun 1998-2000, menurut
perkiraan FAO, terdapat 840 juta manusia yang mengalami kekurangan gizi
kronis, 800 juta diantaranya hidup di Negara berkembang (FAO, 2002). Enam
juta anak di bawah 5 tahun meninggal akibat kekurangan gizi setiap tahunnya.
Kesehatan manusia yang hidup di negara berkembang juga diperburuk dengan
adanya peperangan dan pencemaran air. Saat ini lebih dari setengah milyar
manusia hidup tanpa akses ke air bersih dan 2,5 milyar manusia hidup tanpa
prasarana sanitasi (kebersihan) yang layak (UNDP, 2002). Akibatnya adalah
penyakit dan kematian sekitar 5 juta manusia setiap tahunnya.
Kesenjangan antara negara miskin dan kaya juga semakin besar pada
tahun-tahun belakangan ini (UNDP, 2002). Data pada tahun 1999, di negara
miskin, 2,8 milyar manusia hanya memperoleh 2 US Dollar untuk hidup tiap
harinya, 1,2 milyar lainnya bahkan harus hidup hanya dengan 1 US Dollar.
Kesenjangan ini tidak hanya terjadi antara negara kaya dan
miskin/berkembang, bahkan kesenjangan pendapatan ini juga terjadi di dalam
satu negara sendiri.
Ini tergambar dari makin sulitnya akses masyarakat terhadap sumber daya
alam sehingga kemiskinan makin meluas, kesehatan makin parah, krisis sumber
daya alam terus terjadi di mana-mana. Sebaliknya, korporasi-korporasi semakin
mendapat ruang gerak yang besar dengan berbagai liberalisasi dan privatisasi.
Privatisasi air merupakan salah satu contoh yang mencemaskan di mana
pemerintah terkesan lebih pro-perusahan asing ketimbang memproteksi dan
memperjuangkan kebutuhan rakyatnya sendiri. Padahal, prioritas
pembangunan itu seharusnya bukan untuk melayani kepentingan ekonomi
global, tapi untuk melayani kepentingan ekonomi nasional, terutama untuk
kesejahteraan rakyat.
Widyananda (2009) meringkas beberapa kegiatan yang berdampak buruk
bagi keanekaragaman hayati pada Tabel 1 berikut ini :
Pada gambar 1 terlihat bahwa keberlanjutan ditopang oleh tiga pilar yakni aspek
yaitu : environment (lingkungan), social/community (sosial/kumunitas) dan
economics (ekonomi). Hal ini sejalan dengan pendapat Haris (2000 dalam Fauzy
2004) yang menyatakan bahwa bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci
menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu : (1) Keberlanjutan lingkungan: Sistem
yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya
yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan
lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati,
stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk
kategori sumber-sumber ekonomi. (2) Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan
secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan,
menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan
akuntabilitas politik. (3) Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai
pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu
untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan
industri.
Lebih lanjut Perman et al., (1996 dalam Fauzi 2004), setidaknya ada tiga
alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama,
menyangkut alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang
dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral
untuk menyisakan layanan sumberdaya alam tersebut untuk generasi
mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup tidak mengkestraksi
sumberdaya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan
kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati layanan yang sama.
Kedua, menyangkut alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya,
memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi
semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut.
Ketiga, menyangkut alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih
menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini
sudah atau belum memenuhi kriteria berkelanjutan. Dimensi ekonomi
keberlanjutan sendiri cukup kompleks, sehingga sering aspek keberlanjutan dari
sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan antargenerasi
(intergenerational welfare maximization).
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga
tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi
(ecological objective) dan tujuan sosial (social objective). Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan
ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam (natural resources
conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan
kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity). Dengan demikian, tujuan
pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi
antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial.
Pada Gambar 1 di atas, kita dapat memahami bahwa alam
menyediakan/mensuplai sistem ekonomi dengan sumber daya alam berupa
bahan baku dasar dan energi, baik yang dapat diperbaharui (dari hasil
kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan) maupun yang tidak dapat
diperbaharui (batubara, minyak bumi) yang menjadi input bagi mesin ekonomi.
Sistem ekonomi kemudian mentransformasikan input ini menjadi output untuk
memenuhi kebutuhan manusia (kayu menjadi kertas, minyak bumi menjadi
BBM).
Selain itu, alam juga memberikan servis dalam memungkinkan sistem
ekonomi menjalankan aktivitasnya. Dukungan ini dapat berupa regulasi iklim,
operasi dari siklus air, regulasi dari komposisi gas-gas di atmosfer, siklus nutrisi,
dsb. Tanpa adanya berbagai dukungan ini (basic life support) mustahil
kelangsungan hidup manusia dapat terjaga, apalagi sampai mampu
menjalankan sistem ekonomi. Tidak berhenti sampai disitu, alam juga
memberikan manusia nilai kepuasan/kebahagiaan yang dapat dinikmati secara
langsung (amenity values). Manusia akan mendapatkan kesenangan atau
kepuasan dengan melihat langsung atau menikmati pesona keindahan alam
(flora dan fauna), dengan melakukan hiking, mendaki gunung/panjat tebing,
dengan memancing, dsb. Ini semua adalah nilai kepuasan yang ditawarkan oleh
alam.
Namun sebaliknya, apa balas jasa yang diberikan oleh sistem ekonomi
kepada alam?. Ekonomi menggunakan alam sebagai tempat sampah, yang
dimulai dari eksploitasi sumber daya alam (material dan energi) untuk dijadikan
bahan baku, proses produksi, sampai pada aktivitas konsumsi, yang
kesemuanya menghasilkan sampah baik sampah padat, cair maupun gas.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa sistem ekonomi dan ekologi sangat
terkait satu sama lain. Kelangsungan sistem ekonomi sangatlah tergantung dari
sistem ekologi. Namun yang terjadi saat ini adalah sistem yang tidak
mutualisme. Sistem yang satu hanya menjadi parasit bagi sistem yang lain.
Konsep dan praktik tentang pembangunan berkelanjutan terus mengalami
perdebatan dalam dua dekade belakangan ini. Salah satunya dipicu oleh
tingginya tingkat kerusakan alam dan lingkungan hidup yang di antaranya
diakibatkan oleh rajinnya perusahaan dalam mengeksploitasi alam, utamanya
industri ekstraktif. Kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut juga tanpa
alasan karena dengan aktivitasnya diharapkan laju pertumbuhan ekonomi dan
akumulasi kapital di wilayah negara-negara berkembang dapat terus mengalami
kemajuan yang positif. Isitilah pembangunan berkelanjutan ini yang pada
akhirnya lebih ditujukan bagi negara-negar berkembang yang selalu dinilai oleh
banyak pihak terutama oleh negara maju, memiliki masalah sosial, ekonomi dan
lingkungan yang permanen. Lingkungan selanjutnya menjadi satu acuan
penting untuk dicermati karena selain dieksploitasi tanpa henti, dampak yang
terjadi ternyata bukan hanya berimplikasi negatif bagi negara yang
bersangkutan namun telah mencapai tingkatan global. Perubahan iklim dan
pemanasan global yang terjadi sebagai akibat menurunkan jumlah luasan hutan
di negara berkembang adalah contoh nyatanya.
Alam dan Lingkungan menjadi aset yang paling dikorbankan untuk
kepentingan akumulasi kapital bagi kepentingan negara maju karena apa yang
dihasilkan oleh alam di negara berkembang memang terlihat nyata dalam
memberikan daya dukung kehidupan bagi masyarakat di negara maju. Lebih
dari itu, aktivitas industri yang ada ternyata membutuhkan daya dukung alam
dan energi ekstraktif di dalamnya agar proses produksi dapat terus berjalan
tanpa henti.
Di negara maju, penekanan utama pembangunan berkelanjutan lebih pada
bagaimana memadukan pertimbangan ekonomi dan lingkungan dalam
pengambilan keputusan. Perhatian yang lebih juga diberikan pada persoalan
pemerataan lintas-generasi. Lebih lanjut, negara maju juga menekankan bahwa
dalam memadukan pertimbangan lingkungan tersebut pada akhirnya tidak
mengacaukan daya saing ekonomi mereka, khususnya untuk menandingi
tenaga murah yang tersedia di negara-negara berkembang. Negara maju juga
menyarankan bahwa negara berkembang harus merubah kegiatan ekonomi
mereka untuk menghindari kerusakan hutan tropis misalnya dan sumberdaya
alam lain dengan nilai-nilai global.
Sebaliknya, negara berkembang memberikan prioritas pembangunan
berkelanjutan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia saat ini, serta
menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi. Dengan demikian,
penekanannya lebih pada pemerataan antar generasi daripada lintas generasi.
Ada keengganan yang dapat dipahami dari negara berkembang ketika negara
maju menyarankan mereka untuk meninggalkan peluang pembangunan melalui
penebangan hutan tropis untuk melindungi lingkungan global. Para pemimpin di
negara berkembang meyakini bahwa rakyat mereka mempunyai hak yang sama
untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan mereka seharusnya tidak dilarang
melakukan sesuatu yang dulu juga dilakukan masyarakat negara maju untuk
mencapai satu tingkat kemapanan ekonomi seperti sekarang.
Barbier, E.B. 1993. Economics and Ecology: New Frontiers and Sustainable
Development. Chapman & Hall, London.
Fauzi, A. 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Pearce, D.W. and Turner, R.K. 1990. Economics of Natural Resources and the
Environment. Harvester Wheatsheaf, London.
World Resource Institute (WRI), 2000, World Resources 2000-2001: People and
Ecosystems The Fraying Web of Life, Washington D.C.