Anda di halaman 1dari 17

1

Robert P. Maryunus
Makalah Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Program Pascasarjana Ilmu Kelautan / S2
Universitas Pattimura Ambon
Nopember 2010

Dosen :
Ir. J. J. Wattimury, M.Si

INTEGRASI INDERAJA DAN SIG


UNTUK MENDETEKSI FISHING GROUND
SUATU KAWASAN PERAIRAN LAUT

Oleh :

ROBERT P. MARYUNUS
E-mail : roby_pm@yahoo.co.id
NIM : 139 9109 027 / IK

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Minimnya nelayan dan perusahaan perikanan yang mampu melengkapi armada
penangkapannya dengan peralatan berteknologi maju, membuat nelayan pada umumnya
hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman dalam mendeteksi area yang diperkirakan
terdapat banyak ikan. Berbeda dengan negara Thailand, Filipina dan Malaysia yang
memiliki perangkat acoustic (echosounder) terpasang pada armada penangkapannya,
didukung informasi citra remote sensing (penginderaan jauh satelit), sehingga dapat
mengetahui dengan jelas dan pasti posisi (koordinat) lintang-bujur kawanan ikan secara
up to date (Febrianto, 2009). Keterbatasan panca indra nelayan dalam menduga fishing
ground tidak hanya menyebabkan inefisiensi penggunaan bahan bakar sebanyak 60%-
70%, tetapi juga menyebabkan terkonsentrasinya kapal-kapal penangkap ikan di lokasi
tertentu. Sebagai akibatnya pada daerah tertentu terjadi pengeksploitasian secara
berlebihan (over fishing). Jika hal ini dibiarkan terus menerus dalam jangka waktu lama
2

kelestarian sumberdaya perikanan akan terganggu, sebaliknya pada daerah yang


memiliki potensi ikan yang cukup besar justru tidak dimanfaatkan secara optimal
(Zudiana, 2004).
Kemajuan teknologi sebenarnya sudah bisa membantu keperluan nelayan ini,
bahkan sampai ke jenis ikan tertentu, salah satunya adalah tongkol, yang menjadi
komoditas andalan sektor kelautan. Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi
tongkol di antaranya adalah suhu dan arus. Umumnya tongkol menyenangi perairan
relatif panas dan hidup pada lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter, dengan
kisaran suhu 20oC-28oC. Perubahan parameter tersebut dapat diidentifikasi dengan
bantuan satelit inderaja. Untuk mengidentifikasi keberadaan tongkol di perairan
Indonesia, digunakan data citra Suhu Permukaan Laut (SPL) satelit NOAA-12 dan
Anomali Tinggi Permukaan Laut (ATPL) TOPEX/ERS-2 yang masing-masing
mengitari perairan Indonesia setiap dua kali sehari dan 10 hari (Syamsuddin, 2003;
Febrianto, 2009). Selanjutnya As-Syakur (2008), setiap jenis ikan mempunyai suatu
kriteria-kriteria lingkungan tersendiri untuk kenyaman hidupnya. Kriteria-kriteria
lingkungan tersebut seperti suhu, makanan (chlorophyl-a), salinitas, pertemuan masa air
(eddy), upwelling, dll. Contohnya untuk ikan albacore tuna di laut utara pasifik, ikan ini
suka hidup pada kisaran suhu 18.5 21.5 oC, dan tingkat klorofil-a 0.3 mg/m3 (Polovia
et al., 2001; Zainuddin et al., 2004 dalam Zainuddin, 2006), sedangkan ikan cakalang
dan tuna kecil (litle tuna) lebih senang hidup pada daerah dengan kisaran suhu 23 28
o
C (Leavestu dan Hela, 1970 dalam Kusuma, 2004).
Keadaan lingkungan yang merupakan syarat ikan ikan tersebut merupakan
suatu sebaran spasial yang dapat di olah dengan Sistem Informasi Geografi. Data-data
lingkungan tersebut dapat di peroleh dari data penginderaan jauh seperti Sea Surface
Temperature (SST) selanjutnya suhu laut dan klorofil-a yang bisa diperoleh dari citra
MODIS (As-Syakur, 2008; GeoMap, 2010).
Penggunaan data penginderaan jauh akan lebih cepat, efektif, efisien dan dapat
mencakup wilayah cakupan yang lebih luas bila dibandingkan dengan pengukuran
langsung yang membutuhkan biaya dan tenaga lebih banyak, dengan wilayah cakupan
relatif tidak luas. Citra satelit yang digunakan dalam pemetaan wilayah perairan
Indonesia antara lain citra satelit NOAA-AVHRR, TERRA dan AQUA. Citra satelit
TERRA dan AQUA membawa sensor multi spektral (data MODIS/ Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
3

GeoMap (2010), digunakan satelit AQUA MODIS yang berguna menentukan suhu
permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil, yang nantinya dapat menentuan daerah
potensi tangkapan ikan (fishing ground).

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan Makalah ini adalah :
1. Memahami prinsip dasar integrasi Inderaja dan SIG untuk mendeteksi fishing
ground suatu kawasan perairan.
2. Sebagai salah satu syarat kelulusan Mata Kuliah Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis pada Program Studi Ilmu Kelautan, Program Pascasarjana
Universitas Pattimura Ambon, Semester Akhir 2010/2011.

II. KONSEP DASAR


2.1. Integrasi Inderaja dan SIG
Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS)
adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah
suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang
bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi (Barus dan
Widiasastra, 2000 dalam Widiastomo, 2010). Sedangkan menurut Anonim (2001), SIG
adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial)
dengan data teks (atribut) objek yang dihubungan secara geografis di bumi
(georeference). Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data
dan melakukan analisis data yang pada akhirnya akan menghasilkan keluaran yang
dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan
dengan geografi.
Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk pengenalan dan penentuan
objek di permukaan bumi tanpa harus melakukan kontak langsung dengan objek
tersebut. Data penginderaan jauh dapat bersifat kontinyu karena mempunyai resolusi
temporal, dapat dipergunakan untuk untuk berbagai aplikasi karena resolusi spektralnya
dan ditampilkan dalam berbagai bentuk skala karena resolusi spasialnya. Penginderaan
jauh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan data spasial yang susunan
4

geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan bumi dalam jumlah yang
banyak dan waktu yang cepat.
Pada dasarnya penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi
Geografi (SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu dasar
yang diperrgunakan dalam analisis SIG. Dalam perkembangannya data-data SIG juga
berguna dalam pengolahan data penginderaan jauh (Barus dan Widiasastra, 2000). SIG
sangat baik dalam proses manajemen data, baik itu data atribut maupun data spasialnya.
Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu sistem terkomputerisasi yang
bereferensi geografi merupakan keunggulan dari SIG.
Sistem informasi geografi merupakan suatu interaksi antara data-data atribut dan
data spasial yang bereferensi geografi. Keunggulan SIG ini dapat dijadikan masukan
berharga bagi para nelayan atau pengusaha perikanan untuk mengetahuai lokasi-lokasi
penangkapan ikan. Pertanyaan yang sering di lontarkan nelayan adalah dimana lokasi
penangkapan ikan yang baik? dan kapan waktunya? Dengan SIG perikanan pertanyaan-
pertanyaan ini bisa di jawab, dengan bantuan data SST, klorofil, PAR (Photosintesis
Active Radiation) dan lain-lain bulanan dalam beberapa tahun yang diperoleh dari PJ
dan dianalisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis kencendrungan
sebaran dari faktor-faktor lingkungan yang disukai oleh ikan yang akhirnya
memberikan gambaran daerah perkiraan penangkapan ikan.

2.2. Model Data Dalam SIG


Hingga saat ini, secara umum persepsi manusia mengenai bentuk representasi
entity spasial adalah konsep raster dan vektor. Dengan demikian data spasial
direpresentasikan di dalam basisdata sebagai raster atau vektor. Di dalam konteks ini,
sering digunakan terminologi model data sehingga untuk menyajikan entity spasial
digunakan model data raster atau model data vektor (Lab. Inderaja Prodi Meteorologi
ITB, 2009).

2.2.3. Model Data Raster


Model data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap
piksel atau sel ini memiliki atribut tersendiri, termasuk koodinat yang unik. Entity
5

spasial raster disimpan di dalam layer yang secara fungsionalitas direlasikan degan
unsur-unsur petanya.

Gambar 1.Data permukaan bumi di dunia nyata.


Sumber : Lab. Inderaja Prodi Meteorologi ITB, 2010

Gambar 2. Data permukaan bumi di dalam model raster.


Sumber : Lab. Inderaja Prodi Meteorologi ITB, 2010

Model data raster memberikan informasi spasial apa yang terjadi dimana ssaja
dalam bentuk gambaran yang digenerallisir. Dengan model ini, dunia nyata disajikan
sebagai elemen matriks atau sel-sel grid yang homogen. Degan model data raster, data
geografi ditandai oleh nilai-nilai (bilangan) elemen matriks persegi panjang dari suatu
objek. Dengan demikian, secara konseptual,model data raster merupakan data spasial
yang paling sederhana.
Model data raster memiliki suatu resolusi, yang dimaksudakan dengan resolusi
adalah dimensi linier minimum dari satuan terkecil geographic space yang dapat
direkam. Satuan terkecil ini pada umumnya berbentuk segi empat dan dikenal sebagai
sel-sel grid, elemen matriksm elemen terkecil dari suatu gambar atau piksel. Resolusi
suatu data raster akan merujuk pada ukuran permukaan bumi yang representasikan oleh
setiap pikselnya, makin tinggi reoslusi spasialnya. Demikian pula sebaliknya, maka luas
permukaan bumi yang dapat direpresentasikan oleh setiap pikselnya, maka rendah
resolusinya.
Raster biasanya digunakan untuk melambangkan data continue seperti suhu,
elevasi, atau bahkan data diskris yang pada kondisi tertentu juga bisa ditampilkan
6

kedalam raster dengan menggunakan iterpolasi, misalnya hasil survei topografi


dibentuk menjadi data terrain atau DEM (digital elevation model).

2.2.4. Model Data Vektor


Model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial
dengan menggunakan titik-titik, garis-garis atau kurva, atau poligon serta atribut-
atributnya. Bentuk-bentuk dasar representasi data spasial ini, di dalam sistem model
data vektor, didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x,y). Didalam
model data spasial vektor, garis-garis atau kurva merupakan sekumpulan titik-titik
terurut yang dihubungkan. Sedangkan luas poligon juga disimpan sebagai sekumpulan
data atau obejek yang saling terkait secara dinamis dengan menggunakan pointer,
tetepai dengan catatan bahwa titik awal dan titik akhir poligon memiliki nilai koordinat
yang sama.
Representasi vektor suatu objek merupakan suatu usaha di dalam menyajikan
objek yang berdangkutan sesempurna mungkin. Untuk itu, ruang atau dimensi koordina
tdisasumsikan bersifat kontinyu yang memungkinkan semua posisi, panjang dan
dimensi didefinisikan dengan presisi.

Gambar 3. Data Vektor


Sumber : Lab. Inderaja Prodi Meteorologi, ITB, 2010

2.3. Pengembangan SIG di Bidang Kelautan/Perikanan dan Permasalahannya


Khusus untuk penginderaan jauh dalam bidang eksploitasi sumberdaya kelautan
dan perikanan pada saat ini beberapa satelit sedang beroperasi, misalnya satelit sesStar,
7

satelit TOPEX/Poseidion (Topografi Experiment for Ocean Circulation) 1992 dan


satelit OKEAN yang berarti lautan 1995. Untuk satelit seastar merupakan satelit yang
dibiayai dan dioperasikan secara komersial oleh perusahaan swasta yaitu Orbital
Science Corporation (OSC) yang berkedudukan di Dulles. Dengan terpasangnya
peralatan SeaWiFS (Sea Viewing Wide Field of View Sensor) pada satelit seaStar maka
satelit ini akan mampu mengukur pertumbuhan dan konsentasi fitoplankton
dipermukaan laut (Zudiana, 2004).
Satelit TOPEX-Poseidion yang dikembangkan bersama oleh NASA-JPL USA
dan CNES (Centre National dEtudes Spatiales) Perancis dapat digunakan untuk
memetakan topografi lautan dan modelisasi perubahan global sirkulasi dan permukaan
laut. Untuk satelit OKEAN/Rusia dioperasikan untuk memantau temperatur permukaan
air laut, keepatan angin, warna laut, status liputan es, curah hujan dan liputan awan.
Selain ketiga satelit di atas , satelit cuaca NOAA-USA yang membawa sensor
AVHRR juga dapat dimanfaatkan untuk membantu eksplorasi sumberdaya laut. Citra
satelit yang dihasilkan dapat dianalisis dan dinterpretasikan untuk menentukan niali dan
distribusi suhu permukaan laut pada perairan yang cukup luas secara sinoptik (meliputi
seluruh wilayah Indonesia hanya dalam dua lintasan berurutan). Suhu permukaan laut
ini merupakan salah satu indikator dalam menentukan daerah fishing ground. Tingginya
frekwensi pengamatan (empat lintasan sehari) dan biaya operasional yang jauh lebih
murah jika dibandingkan dengan cara lainnya merupakan keunggulan dari pemanfaatan
tekhnik penginderaan jarak jauh. Observasi melalui satelit ini juga akan sangat berguna
untuk pengamatan fenomena oseanografi, khusunya upwelling dan temprature front
yang merupakan indikator dari daerah potensi ikan yang tinggi. Diharapkan dengan
tersedianya informasi seperti ini akan dapat meningkatkan efektivitas dan efisien
penangkapan ikan di laut.
SIG perikanan lebih sering bermain dengan bentuk data raster. Data-data SST,
klorofil dll tersebut merupakan suatu data dari citra satelit yang berbentuk raster. Data
raster mempunyai kelemahan dalam proses penyimpaan dan kemampuannya
berinteraksi dengan data atribut. Data bentuk raster membutuhkan tempat penyimpanan
yang sangat besar sehingga boros hardisk, data raster juga merupakan data angka per
pixel sehingga tidak bisa di gabung dengan data tabel, keadaan ini terjadi apabila data
raster tersebut bersifat degradasi. Untuk bisa menggabungkannya dengan data tabel
harus di reklasifikasi terlebih dahulu, sehingga membentuk ID2. Interkasi data atribut
8

dengan data spasial sangat berguna pada lokasi pendaratan ikan, dimana pelaporan
secara berkala tentang hasil penagkapan ikan akan memberikan informasi wilayah
penghasil ikan terbesar dan informasi tentang pemanfaatan potensi perikanan yang ada
disekitar lokasi pendaratan kapal (As-Syakur, 2008).
Pengembangan SIG untuk kelautan/perikanan mempunyai dua kendala umum,
pertama bahwa dasar-dasar perkembangan SIG adalah untuk keperluan analisis
keruangan pada suatu lahan (land-based sciences), kedua analisis SIG untuk laut lebih
banyak menggunakan 3D, sedangkan SIG sendiri masih kurang mampu
mengaplikasikan 3D secara baik pada daerah-daerah yang luas (Davis dan Davis 1988;
Wright dan Goodchild 1997 dalam Kusuma, 2004). Sedangkan hambatan secara umum
pemanfaatan data penginderaan jarak jauh di Indonesia (Handoyo dalam Hanggono,
1998), yaitu :
Masalah liputan awan, dimana kita ketahui bahwa keadaan alam tidak
selamanya sesuai dengan keadaan yang diinginkan sebagai syarat photo dari
citra yang baik;
Kendala mixel (mix-pixel);
Perbedaan respon spectral dalam objek yang sama pada sebuah citra satelit;
Ketersediaan data eksogen.
Dalam pemanfaatan data satelit NOAA-12 untuk perhitungan SPL dan
identifikasi data fishing ground. Diantara permasalahan di atas masalah liputan awan
dan ketersediaan data eksogen menjadi kendala utama dalam membantu
mengindetifikasi daerah tersebut.
Letak negara Indonesia yang membentang di sepanjang ekuator dalam iklim
tropis ternyata menyebabkan sulitnya perolehan data satelit. Sebagai ilustrasi dalam
SATTIN project (satellite application technologi transfer in Indonesia), upaya untuk
menghasilkan 176 lembar space map (peta citra) berskala 1:50.000 di wilayah Indonesia
bagian timur, dibutuhkan lebih dari 7000 scenes citra SPOT yang diperoleh dari satelit
SPOT 1, 2 dan 4. Dampak dari liputan awan yang tinggi adalah sulitnya memperoleh
citra (untuk daerah-daerah tertentu) hal ini terutama terjadi pada musim hujan dengan
liputan awan kurang dari 10%. Dalam penangkapan ikan di laut dengan bantuan satelit
penginderaan jauh, kendala umum yang dihadapi adalah keberadaan daerah fishing
ground yang bersifat dinamis/berpindah-pindah mengikuti pergerakan ikan. Secara
alami ikan akan memilih daerah yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat
9

dipengaruhi oleh kondisi oceanografi perairan, sehingga dengan demikian perlu


dilakukan pemanfaatan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Pemanfaatan satelit dengan sensor optik seperti sateli NOAA-AVHRR juga
sangat terpengaruh dengan liputan awan. Dengan demikian kondisi permukaan laut
tidak dapat dipantau pada saat tertutup awan. Dengan alasan ini penggunaan data satelit
yang dihasilkan dengan melalui system pencitraan radar, seperti citra satelit TOPEX
menjadi sangat membantu dalam mengupayakan estimasi daerah fishing ground, yang
artinya pengunaan citra ini akan semakin akurat apabila dikombinasikan dengan
penggunaan satelit lain (Zudiana, 2004).
Data eksogen yang berupa peta seringkali sangat membantu dalam kegiatan
verifikasi citra, tersedianya peta-peta distribusi salinitas, konsentrasi fitoplankton, peta
sebaran jenis ikan dan lain-lain, akan memudahkan seorang interpreter dalam
melakukan ektraksi informasi dari sebuah citra satelit. Terbatasnya ketersediaan peta-
peta termatik dan informasi lainnya dapat dianggap sebagai salah satu kendala dalam
pemanfaatan citra satelit NOAA-AVHRR di Indonesia.

III. APLIKASI
Pada bagian ini aplikasi integrasi Inderaja dan SIG diambil satu contoh kasus citra
NOAA-14/AVHRR guna mendeteksi lokasi fishing ground sebagaimana yang
dikemukakan Zudiana (2004) dalam makalahnya :

3.1. Teknik Pengumpulan Data


Data oseanografi fisika (suhu, salinitas dan arus permukaan) dan biologi
(kelimpahan plankton) merupakan data sekunder. Laporan tahunan pelabuhan
perikanan yang terdapat pada provinsi Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Selatan,
yaitu PPP pelangkat (Kalbar), PPP Tarempa (Riau) dan PPI manggar (Sumsel)
dianggap telah mewakili daerah penangkapan perikanan di Indonesia sebagai daerah
penelitian. Data citra satelit NOAA-14/AVHRR diperoleh dari stasiun penerima NOAA
BPP teknologi Jakarta pada koordinan 101oBT-113oBT dan 6oLS-9oLU pada musim
peralihan satu (Maret-Mei) dan musim Timur (Juni-Agustus). Selain data citra NOAA
data rerata konsentrasi pikmen phytoplankton (kelimpahan klorofil) dari satelit
10

SeaWiFS juga digunakan yaitu pada bulan April sampai Juni (musim peralihan satu)
dan Juli-september (musim timur) tahun 2000.
Tahapan pemrosesan analisis digital dan visual citra satelit NOAA- 14/AVHRR
sebagai berikut :
1. Pemilihan Citra : Citra hasil perekaman dari stasiun penerima dipilih yang bebas
awan atau citra dengan penutupan awan sedikit, sehingga tidak mengurangi
informasi dari sebahagian objek yang diteliti. Proses pemilihan citra dan
cropping dilakukan menggunakan perangkat lunak N Capture 3.0
2. Perhitungan Suhu Permukaan Laut (SPL) : Kanal yang dipakai untuk
memperoleh nilai SPL adalah kanal 4 dan 5 dari satelit NOAA-14/AVHRR.
Nilai SPL diperoleh melalui konversi bilangan integer 8 bit (dari citra kanal 4
dan 5 yang memiliki digital number 0-255) ke dalam derajat celcius (oC) dengan
menggunakan perangkat lunak ILWIS (Integrated Load and Water Information
System).
11

MULAI

Data Inderaja Data Sekunder


NOAA kanal - Oseanografi
4,5 - Data tangkapan
ikan

Bebas - Peta
Awan - Grafik
- Tabel

Interpretasi digital Floting


dan manual:

- Cropping
Layer
- Penajaman citra
- Formula SPL
- Koreksi
Geometrik

Peta SPL
Citra Digital

Konversi raster ke
Vektor

Analisis Spasial

Peta Daerah Penangkapan Ikan


Potensial
SELESAI

Gambar 4. Teknik Pengumpulan Data


12

3.2. Waktu Akuisisi Data Satelit


Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat memantau
permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat meliputi seluruh
permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada orbitnya di satu sisi bumi
(ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan pada sisi bumi yang lainnya
(descending pass) Untuk wilayah Indonesia, dalam satu kali liputannya satelit NOAA-
AVHRR dapat mencakup luasan maksimum 2048 pixel. Sebuah pixel citra satelit
NOAA-AVHRR berukuran 1,1 km X 1,1 km. Dengan demikian hanyadalam satu kali
orbita luas daerah Indonesia sebesar 2/3 dapat diliput.
Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station satelit NOAA_AVHRR milik
BPPT dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra untuk daerah yang berbeda
yaitu dua data dari ascending orbit dan dua citra dari descending orbit. Untuk seri
satelit NOAA-12 data ascending diterima pada sore dan malam hari, sedangkan data
descending diperoleh pada saat subuh dan pagi hari.

3.3. Kondisi Liputan Awan


Sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA adalah multi spectral scanner
dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari sinar tampak dan
far infrared(infrared jauh). Band 2 lebih sesuai digunakan untuk mengobservasi bumi
(dalam bentuk (quick look) pada siang hari. Sedangkan band 3 lebih bagus digunakan
untuk menampilkan quick look pada malam hari. Dengan menggunakan kedua band
spectral ini kita dapat melihat kondisi/data secara cepat, sehingga dapat dianalisis
dengan cepat termasuk kondisi awan.
Sebagaimana umumnya sensor yang berkerja pada sinar tampak dan infra merah,
sensor AVHRR tidak dapat menembus awan sehingga pada saat mengorbit di atas
lokasi yang tertutup awan sensor AVHRR tidak dapat mendeteksi kondisi perairan yang
ada di bawahnya. Untuk wilayah Indonesia liputan awan terbanyak umumnya terjadi
pada saat musim hujan yang biasanya berlangsung antara bulan oktober sampai bulan
februari. Liputan awan pada musim hujan tidak hanya menutupi wilayah di daratan saja,
namun juga wilayah perairan/lautnya. Ada saat musim hujan bukan hanya daerah yang
tertutup awan saja yang tidak dapat diolah lebih lanjut, tetapi data yang tertutup awan
tipis dan daerah bayangan awan juga tidak dapat diekstrak informasinya. Sehingga pada
periode musim hujan sngat sedikit citra yang dapat dimanfaatkan untuk dianalisis lebih
13

lanjut menjadi citra suhu permukaan laut (SPL) yang menjadi dasar pemetaan daerah
penagkapan ikan.

3.4. Pemilihan Data


Data terpilih adalah data hasil akusisi, baik pada saat ascending orbit (data pada
saat sore dan malam hari) maupun data ascending orbit (data pada saat subuh dan pagi
hari) yang bebas awan atau sedikit berawan pada lokaisi yang sedang diamati. Untuk itu
ditetapkan kriteria bahwa citra satelit yang digunakan adalah citra citra yang tutupan
awannya tidak lebih dari 50% untuk masing-masing daerah yang diamati. Dari data
BPPT sampai pada akhir februari 2002 data satelit NOAA-AVHRR yang dapat
diakusisi mencapai 152 citra (raw data). Data ini merupakan data akusisi global yang
meliputi daerah Indonesia bagian barat sampai bagian tengah dengan luas cakupan 2048
pixel. Sekitar 52% data yang dapat diakusisi tadi tertutup awan, dengan luasan tutupan
awan 75% sehingga tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. Sedangkan sisanya sebanyak
75 data lagi dapat dimanfaatkan. Sehingga dengan demikian kita dapat membuat
estimasi manfaat dari penggunaan data ini,
terutam ditinjau dari resiko dalam pengambilan datanya (raw data), contoh data akan
ditampilkan di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Data Satelit NOAA-AVHRR Januari Pebruari 2000.

Daerah Pengamatan Raw Berawan Berawan


Data Banyak Sedikit
Barat Sumatera-Selat Sunda 44 23 21
Selat Jawa dan Laut Jawa 31 22 9
Selat Makassar dan Flores 32 10 22
Nusa Tenggara dan Laut Timor 26 16 10
Perairan Kendari dan L. Banda 19 6 13
Jumlah 75

Dengan demikian data terpilih yang ada di atas saja yang akan digunakan dalam
menganalisis daerah potensi fishing ground. Berdasarkan hasil pengamatan kendati data
yang diberikan ini sudah dapat digunakan, namun beberapa daerah khususnya daerah
terpencil seperti Sibolga masih belum menggunkan data ini, hal ini menjadi salah satu
akibat kurangnya sosialisasi terhadap penggunaan data tersebut.
14

3.5. Peta Daerah Potensi Penangkapan Ikan


Peta fishing ground yang ada di daerah Indonesia dibuat berdasarkan informasi
suhu permukaan laut yang merupakan salah satu parameter lingkungan laut dalam
menentukan lokasi front di wilayah terbuka dan diduga berkaitan dengan tingkah laku
ikan. Informasi ini akan diperoleh dari hasil pemrosesan data satelit NOAA-AVHRR
yang terpilih dan bebas/sedikit dari tutupan awan. Seperti yang digambarkan dalam
proses pengambilan data dan pengolahan data, tahapan-tahapan diatas telah termasuk
tahapan :
1. Konversi data mentah menjadi parameter fisis
2. Koreksi atmosferik
3. Deteksi dan eliminasi awan
Pada hakekatnya pemrosesan data untuk mendapatkan peta fishing ground adalah
pemrosesan data untuk menghasilkan temperatur menggunakan sensor thermal infrared
AVHRR.
Proses lanjutan yang dilakukan sebelum peta potensi tangkapan ikan adalah tes
akurasi algoritma yang digunakan untuk menentukan ketepatan suhu permukaan laut
(SPL) untuk setiap pixelnya, yang layak sebagai dasar pemetaan daerah tangkapan ikan.
Untuk mendukung tuntutan ini, peralatan stasiun bumi penerima data satelit di BPPT
dilengkapi dengan local application of remote sensing techniques (LARST). Sistem ini
terdiri atas sebuah motor penggerak antara horn, Sebuah receiver AVHRR dan dua
buah personal komputer dengan card penghubung satelit dan ekstra random access
memory (RAM). Dari semua data yang telah dipotong (yang bebas awan) hanya
sebagian saja yang akan diinterpretasikan dan akan mendapatkan indikasi front yang
digunakan sebagai dasar pendugaan lokasi potensial untuk daerah penangkapan ikan
(fishing ground).
Data yang telah berisi informasi indikator dugaan daerah fishing ground seperti
yang dipaparkan sebelumnya akan ditambahkan dengan informasi lain yang berasal dari
peta topografi (wilayah perairan) dan data in-situ lain yang dimiliki, selanjutnya akan
ditampilkan secara kartografis sebagai peta berefrensi geografis. Data ini akan semakin
mudah untuk dipakai oleh masyarakat, khususnya nelayan yang menangkap ikan
pelagis di sepanjang perairan Indonesia.
15

3.6. Aplikasi pada Masyarakat Nelayan ??


Setelah mendapatkan data dalam bentuk peta kartografi maka diharapkan data ini
dapat diakses keberbagai lapisan masyarakat yang membutuhkannya. Sejauh yang kita
lihat bahwa saat ini masyarakat Indonesia kurang begitu mengenal aplikasi dan
pemanfaatan dari data ini. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu faktor penyebab
keterlambatan majunya dunia perikanan kita, terutama nelayan-nelayan kecil.
Seperti yang kita ketahui bahwa pemanfaatan teknologi inderaja ini tidak hanya
dipakai oleh negara kita melainkan juga dinikmati oleh negara-negara lain. Kita
mengetahui bahwa penggunaan data citra satelit telah memajukan negara-negara
perikanan yang ada di sekitar perairan Indonesia, seperti Thailand yang sering sekali
melakukan pencurian ikan di sekitar perairan kita. Dari sudut pandang inilah diharapkan
pemerintah mau turut membantu penyampaian informasi sampai pada lapisan paling
bawah. Dengan adanya informasi ini maka kehidupan nelayan dapat lebih ditingkatkan.
Selain kendala dalam sosialisasi data kartografi, kendala teknologi manjadi salah
satu pemicu mengapa pemanfaatan sumberdaya perikanan di negara kita kurang begitu
optimum. Penulis mencoba menggambarkan bahwa di perairan Samudera Hindia
memiliki daerah fishing ground yang relatif jauh, sehingga dibutuhkan tenaga mesin
kapal yang lebih besar. Hal inilah yang belum dimiliki oleh semua masyarakat nelayan
di kawasan pesisir kita. Thailand mampu melakukan pencurian dan dapat melarikan diri
dari kejaran aparat karena mereka memiliki kemampuan dalam hal teknologi
perkapalan. Dimasa yang akan datang penggunaan citra akan semakin optimal bila kita
bisa memadukannya dengan teknologi kapal yang juga memenuhi syarat. Ada banyak
cara yang bisa kita lakukan untuk memajukan perikanan di kawasan perairan Indonesia,
yang menjadi pertanyaan bagaimana peran serta pemerintah, lembaga-lembaga
masyarakat (LSM) dan bantuan seluruh masyarakat untuk saling membantu.
Kendala klasik yang menghambat perkembangan teknologi ini adalah, paradigma
masyarakat pesisir (nelayan) cenderung untuk tidak mau diajari, seperti yang dilihat
oleh penulis di Sibolga bahwa masyarakat pesisir di Sibolga khususnya nelayan
penangkap ikan pelagis, tidak mau memanfaatkan data ini karena merasa bahwa diri
mereka telah mampu/pintar dalam hal menangkap ikan. Di sinilah peran serta
pemerintah harus lebih peka lagi dalam menghadapi masyarakat yang terbelakang.
Mereka selalu merasa bahwa teknologi memiliki harga yang sangat mahal, sehingga
mereka merasa dirugikan. Bila mereka berpandangan lebih jauh bahwa biaya bensin
16

yang mereka keluarkan untuk mencari daerah fishing ground jauh lebih besar
dibandingkan dengan meminta data peta kartografi daerah fishing ground yang telah
tersedia.

IV. PENUTUP
Penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis merupakan dua komponen
penting yang tidak dapat dipisahkan. Kedua komponen ini saling berkaitan,
mendukung, dan saling melengkapi sehingga tidak boleh ada yang terabaikan. Hal ini
dikarenakan data Penginderaan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang
terpenting bagi SIG karena ketersediaannya secara berkala. Data-data spasial hasil
penginderaan jauh merupakan salah satu data dasar yang digunakan dalam analisis SIG.
Oleh karena itu, pengolahan data penginderaan jauh dengan memanfaatkan SIG
diharapkan mampu memberikan informasi secara cepat dan tepat sehingga dapat
digunakan sesegera mungkin untuk keperluan analisis dan manipulasi data.
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maka diharapkan peran
serta masyarakat untuk mau belajar mengkonsumsi teknologi tersebut lebih
ditingkatkan. Untuk itu diharapkan kedepannya dengan pemanfaatan teknologi
Penginderaan Jauh maka pengembangan produktifitas perikanan khususnya di daerah
dapat lebih ditingkatkan.
NOAA-AVHRR sebagai salah satu alternatif penggunaan Penginderaan Jauh
dalam dunia perikanan, dimana dengan adanya satelit NOAA-AVHRR ini diharapkan
kita dapat mengetahui daerah penangkapan ikan, khususnya dengan menggunakan
parameter suhu perairan (SPL).

DAFTAR PUSTAKA
As-Syakur, A.R. 2008. Sistem informasi geografi perikanan: Sebuah Wacana.
http://mbojo.wordpress.com/category/sistem-informasi-geografi. Diakses tanggal
17 Nopember 2010.

Febrianto, A. 2009. Mendeteksi area penangkapan ikan.


http://cetak.bangkapos.com/opini/read/350/Mendeteksi+Area+Penangkapan+Ikan
Diakses tanggal 17 Nopember 2010.

GeoMap. 2010. Prediksi potensi daerah ikan menggunakan citra aqua modis Studi
Kasus: Perairan Selatan Jawa Timur Bali. Teknik Geomatika ITS. Surabaya.
17

Hanggono. 1998. Pemanfaatan teknologi remote sensing dalam penentuan daerah


penangkapan ikan di Indonesia. Makalah Ilmiah.

Lab. Inderaja Prodi Meteorologi ITB. 2009. GIS dan Spasial Data. Laboratorium
Inderaja Program Studi Meteorologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian.
Institut Teknologi Bandung.

Syamsuddin, F. 2003. Melacak lokasi tongkol di Selat Sunda. Kompas Cyber Media.
http://newtech.iwarp.com/image/news1.html. Diakses tanggal 17 November 2010.

Widiastomo, Y. 2009. Integrasi antara Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan


Jauh. http://yudhiplano.blogspot.com/2010/09/v-behaviorurldefaultvml-
o.html.Diakses tanggal 17 Nopember 2010.

Zudiana. 2004. Aplikasi teknologi remote sensing (NOAA) dalam penentuan fishing
ground. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Pascasarjana IPB Bogor.

Anda mungkin juga menyukai