Anda di halaman 1dari 37

PEMETAAN HABITAT BENTIK DARI CITRA SPOT 7 DAN

SENTINEL 2-A DI PULAU OPAK, KEPULAUAN SERIBU

SITI SARI KEMALA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul untuk Pemetaan Habitat
Bentik dari Citra SPOT 7 dan Citra Sentinel 2-A di Pulau Opak, Kepulauan Seribu
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2017

Siti Sari Kemala


NIM C54130043
ABSTRAK
SITI SARI KEMALA. Pemetaan Habitat Bentik dari Citra SPOT 7 dan Citra
Sentinel 2-A di Pulau Opak, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh JONSON
LUMBAN GAOL dan GATHOT WINARSO.

Pengelolaan sumberdaya secara optimal dapat dilakukan dengan tersedia data


spasial yang lengkap dan akurat. Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran
spasial habitat bentik di Pulau Opak, Kepulauan Seribu dengan menggunakan citra
satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A. Penelitian ini dilakukan dengan survei lapangan
dan pengolahan citra. Survei lapangan dilakukan untuk mengamati kenampakan
objek habitat bentik. Tahapan pengolahan citra yang dilakukan adalah koreksi
radiometrik dan koreksi geometrik dengan transformasi algoritma depth invariant
index. Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah maximum likelihood dengan
4 kelas objek habitat bentik. Hasil klasifikasi pada citra satelit SPOT 7 dan Sentinel
2-A terdapat 4 kelas habitat bentik di perairan Pulau Opak, Kepulauan Seribu
adalah dead coral alga, karang, makroalga dan pasir. Klasifikasi objek yang
mendominasi di perairan tersebut adalah dead coral alga. Sebaran habitat bentik
menggunakan citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A terjadi perbedaan luas
klasifikasi. Hal tersebut karena kedua citra tersebut memiliki perbedaan terutama
resolusi spasial.

Kata kunci: Depth invariant index, habitat bentik, maximum likelihood, Pulau
Opak, Sentinel 2-A, SPOT 7
ABSTRACT

SITI SARI KEMALA. Benthic Habitats Mapping from SPOT 7 Image and Sentinel
2-A Image in Opak Island, Kepulauan Seribu. Supervised by JONSON LUMBAN
GAOL and GATHOT WINARSO.

Optimal resource management can be done with the availability of complete


and accurate spatial data. The purpose of this research is to map spatial distribution
of benthic habitat in Opak Island, Seribu Islands by using SPOT 7 and Sentinel 2-
A satellite images. This research was conducted by field survey and image
processing. Field survey were conducted to observe the appearance of benthic
habitat objects. The image processing stage consisted from radiometric correction
and geometric correction using depth invariant index transformation algorithm. The
method used for image classification is maximum likelihood with 4 classes of
benthic habitat objects. Classification results on SPOT 7 and Sentinel 2-A satellite
images contain 4 classes of benthic habitat in the waters of Opak Island, Seribu
Islands, there were dead coral algae, corals, macroalgae, and sand. The
classification of objects that dominated the area is dead coral algae. The analysis of
spatial distribution of benthic habitat using SPOT 7 and Sentinel 2-A satellite
imagery resulted in width difference of classification. This is because both images
have differences, especially in their spatial resolution.

Keywords: Benthic habitat, depth invariant index, maximum likelihood, Opak


Island, SPOT 7 Image, Sentinel 2-A Image.
PEMETAAN HABITAT BENTIK DARI CITRA SPOT 7 DAN
SENTINEL 2-A DI PULAU OPAK, KEPULAUAN SERIBU

SITI SARI KEMALA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir yang
berjudul “Pemetaan Habitat Bentik dari Citra SPOT 7 dan Citra Sentinel 2-A di
Pulau Opak, Kepulauan Seribu”. Tugas akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Jonson Lumban
Gaol, MSi. selaku dosen pembimbing I dan Bapak Gathot Winarso, ST MSc.
selaku pembimbing II dari salah satu pihak Lembaga Penerbangan Antariksa
Nasional yang telah memberikan saran dan kritiknya dalam penyelesaian tugas
akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua
beserta keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan, teman-teman,
keluarga besar dari Ilmu dan Teknologi Kelautan angkatan 50 serta semua pihak
yang telah mendukung baik moril maupun materil demi terselesaikannya tugas
akhir ini.
Segala bentuk kritik, masukan, dan saran sangat penulis harapkan untuk
kajian evaluasi dan perbaikan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Bogor, Desember 2017

Siti Sari Kemala


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 3
Waktu dan Tempat 3
Alat dan Bahan 3
Pengolahan Data Citra 4
Koreksi Citra 4
Masking Citra 5
Transformasi Citra 5
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Pengamatan Visual Lapangan 7
Koreksi Radiometrik dan Geometrik 8
Klasifikasi Citra 10
Pemetaan Habitat Bentik Perairan Dangkal Berbasis Piksel 12
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 23
DAFTAR TABEL
1 Ciri karakteristik citra satelit SPOT 7 4
2 Ciri karakteristik citra satelit Sentinel 2-A 4
3 Luasan area klasifikasi citra komposit 12

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 3
2 Diagram alir proses pengolahan data 6
3 Objek kelas habitat bentik perairan dangkal 7
4 Histogram koreksi citra SPOT 7 8
5 Histogram koreksi citra Sentinel 2-A 9
6 Sebaran habitat bentik perairan dangkal dengan 4 kelas 11
7 Pemetaan habitat bentik perairan dangkal hasil transformasi citra 14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data lapangan 17
2 List titik GCP citra SPOT 7 dan citra Sentinel 2-A 22
3 Algoritma lyzenga pada masing-masing band 22
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang memiliki berbagai macam fungsi, baik secara


ekologis maupun ekonomis bagi kehidupan di wilayah pesisir. Diantara fungsi
tersebut adalah sebagai sumber plasma nutfah dan biodiversitas bagi kehidupan laut,
tempat mencari makan, bertelur, dan berpijah bagi banyak biota laut, perlindungan
pantai dari gelombang, penstabil sedimen, penjernih air, penyerap karbon, sumber
material untuk farmasi dan industri serta pariwisata (Laffoley dan Grimsditch
2009). Wilayah terumbu karang tersebut dapat dijumpai salah satunya di Kepulauan
Seribu bagian utara adalah Pulau Opak.
Pulau Opak merupakan bagian dari kelurahan Pulau Harapan, Kepulauan
Seribu dengan luas daerah pulau sekitar 5,58 ha (BPS 2016). Pulau Opak termasuk
dalam pulau yang tidak berpenghuni sehingga kondisi lingkungan masih alami
seperti adanya pohon-pohon, serta beberapa fauna seperti monyet dan burung-
burung. Namun pulau ini sering dikunjungi para wisatawan untuk menikmati
suasana matahari terbit dan terbenam dengan pesona keindahan di sekitarnya yang
masih sejuk alami, serta sekedar berkemah di pesisir pantai.
Saat ini pemerintah Jakarta telah memberikan perhatian khusus dalam hal
kebijakan maupun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang berasal dari
sumberdaya perairan sebagai pusat aktivitas dan jasa-jasa lingkungan meliputi:
sektor perdagangan, transportasi, perikanan, dan pariwisata (Estradivari et al. 2009).
Jika kebijakan tersebut tidak dilakukan dengan baik, akan mengakibatkan
kerusakan pada wilayah habitat bentik dalam waktu jangka panjang. Biota yang
hidup di wilayah bentik bergantung terhadap ekosistem sekitarnya sehingga perlu
adanya upaya pelestarian dalam menjaga fungsi ekologis terumbu karang. Maka
dari itu, upaya yang dilakukan untuk menghindari kerusakan wilayah terumbu
karang tersebut dengan memberikan informasi spasial dan temporal mengenai
distribusi sumberdaya alam habitat bentik yang disajikan dalam bentuk peta
(Wicaksono et al. 2015).
Teknologi penginderaan jauh saat ini berkembang dengan pesat untuk
pemetaan sumberdaya alam seperti pemetaan habitat bentik dengan bantuan citra
satelit. Citra satelit diharapkan mampu mengidentifikasi kenampakan objek yang
ada di permukaan bumi. Penelitian ini menggunakan citra satelit SPOT 7 dan
Sentinel 2-A. Satelit SPOT dibentuk oleh perusahaan milik Prancis yang memiliki
generasi. Generasi citra satelit SPOT adalah SPOT 1, SPOT 2, SPOT 3, SPOT 4,
SPOT 5, SPOT 6 dan SPOT 7. Kemudian untuk citra satelit Sentinel merupakan
citra satelit terbaru yang di gagas oleh Amerika Serikat. Citra Sentinel ini juga
memiliki generasi diantaranya adalah Sentinel 1, Sentinel 2-A dan Sentinel 2-B.
Setiap generasi pada citra satelit SPOT dan Sentinel ini menunjukkan adanya
perubahan komponen dalam kemampuan citra untuk mengidentifikasi kenampakan
objek.
Penelitian untuk habitat bentik sudah dilakukan sebelumnya oleh Indayani
(2016) mengenai pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan citra
satelit SPOT-5 di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Riau. Penelitian mengenai hal
tersebut juga dilakukan oleh Prabowo (2015) tentang pemetaan habitat dasar
2

perairan dangkal menggunakan citra satelit Worldview-2 dengan skema klasifikasi


supervisi dan koreksi kolom air di perairan Pulau Tunda dan Rachman (2014)
tentang klasifikasi habitat dasar perairan dangkal gugusan Pulau Pari dengan
menggunakan citra Worldview-2. Pemetaan habitat bentik pada penelitian ini
menggunakan citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A.
Citra satelit SPOT 6 dan SPOT 7 merupakan generasi terbaru dari sistem
satelit SPOT yang memiliki spesifikasi yang sama namun waktu peluncuran
berbeda. Satelit SPOT 6 diluncurkan 9 September 2012 di Pusat Antariksa Satish
Dhawan, India, sedangkan satelit SPOT 7 akan diluncurkan pada tahun 2014.
Kemampuan SPOT 6/7 ini diharapkan mampu mengidentifikasi kenampakan objek
lebih baik dibandingkan dengan generasi SPOT sebelumnya. Satelit SPOT-6/7
memiliki keunggulan merupakan satelit generasi SPOT pertama yang mempunyai
kanal spektral warna biru. Kanal spektral biru berpotensi mempertegas batas tepi
pantai, sedimentasi laut dan mendeteksi terumbu karang yang sulit dideteksi oleh
kanal multispektral lainnya.
Sentinel 2-A merupakan satelit yang digagas oleh ESA (European Space
Agency). Satelit tipe ini diluncurkan pada tanggal 23 Juni 2015, sebelumnya sudah
diluncurkan satelit Sentinel 1-A yang merupakan satelit radar pada tanggal 3 April
2014, dan segera menyusul kemudian adalah satelit Sentinel 2-B pada tahun 2017
ini. Satelit Sentinel 2-A multispektral dengan memiliki 13 saluran spektral. Satelit
ini bertahan dalam waktu 7 tahun dengan resolusi spasial 10 meter (untuk saluran
cahaya tampak dan inframerah dekat), 20 meter dan 60 meter (untuk inframerah
dekat dan gelombang pendek inframerah).
Pengolahan citra satelit pada penelitian ini menggunakan metode klasifikasi
citra yang sama dengan resolusi spasial yang berbeda untuk melihat sebaran habitat
bentik di Pulau Opak, Kepulauan Seribu. Resolusi citra satelit SPOT 7 adalah 6 m
dan citra satelit Sentinel 2-A adalah 10 m dengan metode klasifikasi citra yang
digunakan sama adalah maximum likelihood. Penggunaan citra SPOT dipilih untuk
kelanjutan penelitian dari Indayani (2016) mengenai pemetaan habitat bentik
menggunakan citra SPOT 5, akan tetapi pada penelitian ini menggunakan citra
SPOT 7 dan citra Sentinel 2-A. Kedua sensor satelit ini dapat membantu dalam
menginterpretasi kenampakan visual yang ada di permukaan bumi dengan cakupan
area yang luas dan waktu tertentu tanpa adanya kontak langsung (Lillesand et al.
2007).
Penelitian mengenai pemetaan habitat bentik menggunakan citra SPOT telah
banyak dilakukan, namun untuk membandingkan dengan citra satelit Sentinel 2-A
belum pernah dilakukan sebelumnya khusus di Kepulauan Seribu. Perbandingan
citra satelit yang digunakan karena perbedaan resolusi spasial sehingga diharapkan
mampu memberikan informasi apakah dengan adanya perbedaan resolusi spasial
mempengaruhi hasil sebaran habitat bentik atau tidak. Oleh karena itu, studi
menggunakan citra satelit yang berbeda spasial perlu dilakukan untuk mengetahui
kemampuan citra SPOT 7 dan Sentinel 2-A dalam mengidentifikasi habitat dasar
perairan dangkal.
Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran habitat bentik di Pulau


Opak, Kepulauan Seribu dengan menggunakan citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-
A yang memiliki perbedaan resolusi spasialnya.
3

METODE

Waktu dan Tempat

Survei lapangan dilaksanakan pada bulan 26 Maret 2017 – 28 Maret 2017


di Pulau Opak Kepulauan Seribu tertera pada Gambar 1 dan Pengolahan Citra
dilakukan pada bulan April 2017 – Mei 2017 di Laboratorium Pemodelan dan
Pemetaan Geospasial FPIK IPB dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN).

Gambar 1 Lokasi penelitian

Pengamatan pada saat survei lapangan berfungsi dalam mengamati secara


langsung kenampakan objek yang ada pada citra dan sebagai acuan untuk titik
sampel dengan membuat training area. Data yang dihasilkan dari survei lapangan
digunakan untuk tahapan pengolahan citra dalam membuat skema klasifikasi
habitat bentik. Pengamatan dilakukan menggunakan transek dan GPS kemudian
marking daerah yang teridentifikasi objek di lapangan dengan GPS.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam melakukan survei lapangan adalah Global


Positioning System (GPS) untuk mendapatkan titik koordinat, Alat Dasar Selam
(ADS) untuk membantu proses pengambilan data, kamera underwater untuk
mendokumentasi hasil pengamatan, serta sabak dan alat tulis lainnya untuk
mencatat hasil pengamatan. Kemudian untuk alat dalam pengolahan data citra
4

menggunakan Software ArcMap, Software ENVI, Microsoft Office. Bahan


penelitian yang digunakan adalah berupa citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A.
Citra satelit SPOT 7 ini merupakan support data dari LAPAN dan citra satelit
Sentinel 2-A didapatkan dari website https://remotepixel.ca/. Kedua citra satelit
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda seperti resolusi spasial, panjang
gelombang, dan akuisisi. Ciri karakteristik citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A
tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Ciri karakteristik citra satelit SPOT 7


Mode Pencitraan Pankromatik Multispektral
Resolusi spasial 1.5 m GSD pada nadir 6 m GSD pada nadir
Blue (455-525 nm)
Red (530-590 nm)
Spectral band 450-745 nm
Green (625-695 nm)
NIR (760-890 nm)
Akuisisi 12 Juni 2016
Resolusi radiometrik 12 bit
Sumber : SPOT Imagery User Guide (2013)

Tabel 2 Ciri karakteristik citra satelit Sentinel 2-A


Band Wavelength Bandwidth Resolusi
(nm) (nm) Spasial (meter)
Band 1 - Coastal Aerosol 443 20 60
Band 2 - Blue 490 65 10
Band 3 - Green 560 35 10
Band 4 - Red 665 30 10
Band 5 - Vegetation Red Edge 705 15 20
Band 6 - Vegetation Red Edge 740 15 20
Band 7 - Vegetation Red Edge 783 20 20
Band 8 - NIR 842 115 10
Band 8A - Vegetation Red Edge 865 20 20
Band 9 - Water Vapour 945 20 60
Band 10 - SWIR – Cirrus 1380 30 60
Band 11 -SWIR 1610 90 20
Band 12 2190 180 20
Akuisisi 7 Oktober 2016
Resolusi radiometrik 12 bit
Sumber : ESA (2012)

Pengolahan Data Citra


Koreksi Citra

Pemrosesan data diawali dengan proses koreksi citra adalah geometrik dan
radiometrik. Koreksi geometrik sangat penting dilakukan karena banyak titik lokasi
sampel hasil survei lapangan berada pada daratan ketika diplot pada citra. Hal
tersebut karena citra yang digunakan belum terkoreksi geometrik sehingga perlu
adanya koreksi geometrik. Koreksi radiometrik yang dilakukan pada penelitian ini
adalah koreksi atmosferik. Koreksi ini untuk memperbaiki kualitas citra akibat
5

gangguan seperti hamburan awan atau objek lainnya. Metode koreksi radiometrik
dengan pergeseran histogram yang umum dilakukan adalah Dark Pixel
Substraction (DPS). Pergeseran histogram dilakukan dengan mengurangi seluruh
nilai piksel pada liputan citra dengan nilai bias :

NP ' =NP- NPmin (1)

Keterangan :
NP' = Nilai piksel hasil koreksi
NP = Nilai piksel citra pada saluran tertentu
NPmin = Nilai Piksel Minimum

Masking Citra

Sebelum proses klasifikasi dilakukan proses masking citra. Proses ini


memudahkan saat memasuki tahapan klasifikasi. Masking citra dilakukan untuk
memisahkan piksel daratan dan tubir yang terdeteksi oleh citra agar tidak ikut
terproses saat klasifikasi. Masking dilakukan dalam pemetaan habitat bentik dengan
menggunakan klasifikasi supervised adalah maximum likelihood.

Transformasi Citra

Transformasi citra digunakan untuk penajaman citra yang sudah terkoreksi


oleh koreksi radiometrik. Penajaman citra dilakukan sebelum klasifikasi habitat
bentik. Proses penajaman citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra
sehingga mudah untuk membedakan objek yang terekam oleh citra. Metode untuk
meningkatkan ketelitian informasi di bawah permukaan perairan dangkal dengan
menggunakan Depth Invariant Index (DII) atau metode koreksi kolom air.
Koreksi kolom air bertujuan untuk mengeliminasi kesalahan identifikasi
spektral habitat karena faktor kedalaman yang didasarkan pada kenyataan bahwa
cahaya yang dipantulkan dari bawah merupakan fungsi linear dari reflektansi dasar
perairan dan fungsi eksponensial dari kedalaman air (Arief 2013). Pada sinar
tampak, sinar merah terjadi atenuasi lebih cepat daripada sinar biru dan hijau.
Pengaruh kolom air pada citra dapat dikurangi melalui koreksi kolom air yang
dikembangkan oleh Lyzenga. Algoritma Lyzenga yang digunakan mengacu
terhadap kajian Green et al. (2000) :

𝑘𝑖
𝑌 = ln(𝐿𝑖 ) − [( ) 𝑥 ln(𝐿𝑗 )] (2)
𝑘𝑗

Keterangan :
Li = nilai digital pada band i
Lj = nilai digital pada band j
ki/kj = rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j
6

dimana :

𝑘𝑖
= 𝑎 + √(𝑎2 + 1)
𝑘𝑗
(3)
(𝜎𝑖𝑖 + 𝜎𝑗𝑗 )
𝑎=
(2𝜎𝑖𝑗 )

Keterangan :
𝜎𝑖𝑖 = varian band i
𝜎𝑗𝑗 = varian band j
𝜎𝑖𝑗 = covarian band ij

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini diawali survei lapangan yang dilakukan pada tanggal 26 – 28


Maret 2017 di Pulau Opak, Kepulauan Seribu. Survei lapangan ini berguna untuk
melihat kondisi habitat bentik yang akan diteliti secara langsung dari rekaman citra
satelit yang akan digunakan dalam pengolahan data citra satelit. Tahapan dalam
pengolahan data citra adalah koreksi citra, masking wilayah, transformasi citra,
klasifikasi citra, dan peta sebaran habitat bentik.

Gambar 2 Diagram alir proses pengolahan data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Visual Lapangan

Ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Opak dapat dilihat secara


visual yang mendominasi di daerah transek pengamatan. Pengamatan pada
penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dimana pengamatan yang dilakukan
secara subjektif berdasarkan keadaan lapangan. Kelas objek habitat bentik yang
terbentuk ada 4 kelas di antaranya pasir, dead coral alga, karang, dan makroalga.
Pasir yang terlihat dalam keadaan tidak bercampur atau menempel pada objek
lainnya. Dead coral alga yang terlihat karang yang mati tertutupi oleh alga di
sekitarnya. Karang yang terlihat yang berupa karang hidup, karang mati, dan
pecahan karang. Makroalga yang terlihat berupa spesies makroalga yang tidak
menempel pada karang. Data hasil survei lapangan terdapat pada Lampiran 1.
Contoh sampel dalam penentuan kelas habitat bentik tertera pada Gambar 3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3 Objek kelas habitat bentik perairan dangkal, (a) pasir, (b) karang,
(c) dead coral alga, (d) makroalga

Survei lapangan dilakukan berdasarkan arah mata, adalah bagian utara,


selatan, barat, dan timur perairan pulau Opak. Pengamatan objek yang tertera pada
Gambar 3 berdasarkan dominansi dari area transek. Objek habitat bentik saat di
lapangan bersifat heterogen. Hal ini berarti pada setiap transek tidak murni satu
objek saja, namun ada beberapa objek lainnya yang ikut masuk ke dalam transek.
Objek habitat bentik pada wilayah pesisir sampai menuju tubir berbagai macam
diantaranya adalah pasir, pasir bercampur lamun, pasir bercampur dead coral alga,
pasir bercampur makroalga, pasir bercampur karang, dead coral alga, dan karang.
Bagian utara yang mendominasi objek habitat bentik adalah dead coral alga .
Bagian selatan yang mendominasi objek habitat bentik adalah pasir. Bagian barat
yang mendominasi objek habitat bentik adalah karang, dimana karang yang terlihat
8

berupa rubble atau pecahan karang. Bagian timur yang mendominasi objek habitat
bentik adalah dead coral alga.
Pembuatan dalam menentukan klasifikasi habitat bentik dapat
menggunakan lima kajian atau metode (Green et al. 2000), adalah (a) kajian
menggunakan pengertian khusus dari habitat-habitat, (b) kajian yang berfokus pada
tipe habitat tertentu untuk penerapan yang spesifik, (c) kajian dengan prinsip yang
terkait dengan pemetaan geomorfologi, (d) kajian ekologi yang menggambarkan
habitat sampai kuantifikasi dari kumpulan biotik, dan (e) kajian yang
mengkombinasikan lebih dari satu tipe informasi, seperti geomorfologi dan
kumpulan biotik. Penelitian ini menggunakan skema klasifikasi berdasarkan
ekologi yang mengacu terhadap kajian Green et al. (2000).

Koreksi Radiometrik dan Geometrik

Koreksi radiometrik yang dilakukan pada penelitian ini adalah koreksi


atmosferik. Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel akibat
gangguan atmosfer. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan objek di permukaan
bumi yang terekam oleh sensor tidak sesuai dengan nilai asli, akan tetapi menjadi
lebih besar karena adanya hamburan atau lebih kecil karena adanya serapan.
Koreksi radiometrik ini menggunakan metode pergeseran histogram, dimana
yang paling umum digunakan adalam metode Dark Pixel Substraction (DPS).
Asumsi yang melandasi metode ini adalah nilai piksel terendah tiap saluran
seharusnya bernilai 0. Apabila nilai piksel terendah lebih besar dari nol (>0), maka
dihitung sebagai bias (offset). Nilai bias menunjukkan adanya pengaruh atmosfir
sehingga perlu dilakukan koreksi. Selanjutnya koreksi radiometrik dilakukan
dengan cara menghilangkan bias tersebut, adalah mengurangi keseluruhan nilai
spektral pada saluran asli dengan nilai biasnya masing-masing (Danoedoro 2012).
Metode pergeseran histogram merupakan metode koreksi radiometrik yang
paling sederhana. Pergeseran histogram dapat dilakukan dengan mengurangi nilai
piksel minimum pada setiap saluran. Histogram pada nilai piksel minimum digeser
ke titik nol. Pergeseran histogram pada setiap band sebelum dan setelah terkoreksi
radiometrik yang tertera pada Gambar 4 dan Gambar 5.

(a)
9

(b)
Gambar 4 Histogram koreksi radiometrik SPOT 7, (a) sebelum terkoreksi, (b)
sesudah terkoreksi

(a)

(b)
Gambar 5 Histogram koreksi citra Sentinel 2-A, (a) sebelum terkoreksi, (b)
sesudah terkoreksi

Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan histogram koreksi atmosferik pada


citra SPOT 7 dan Sentinel 2-A. Kedua gambar tersebut bahwa adanya perbedaan
histogram citra sebelum dan sesudah terkoreksi terlihat dari pergeseran histogram
dimana nilai piksel citra pada setiap band dikurangi dengan nilai piksel minimum.
Setiap band memiliki nilai digital number yang berbeda-beda, namun jumlah
10

frekuensi ketika sebelum dan sesudah terkoreksi tidak mengalami perbedaan. Hal
tersebut dikarenakan pengurangan nilai piksel citra pada histogram sesudah
terkoreksi akan mempengaruhi pergeseran sumbu x adalah nilai digital number.
Nilai minimum digital number atau nilai piksel pada setiap band menjadi 0 dengan
asumsi konsep dari pergeseran histogram, sehingga pada histogram sesudah
terkoreksi dapat memperlihatkan bahwa citra SPOT 7 dan Sentinel 2-A sudah
terkoreksi atmosferik.
Suatu histogram menyediakan informasi yang berkaitan dengan kontras dan
distribusi intensitas keseluruhan citra. Histogram citra digambarkan secara
sederhana sebagai suatu bar grafik dari intensitas piksel-piksel (Murinto 2008).
Citra satelit SPOT 7 memiliki resolusi radiometrik sebesar 12 bit, dimana rentang
nilai keabuan atau digital number yang dimiliki citra adalah 0-4095. Sumbu x
menyatakan nilai tingkat keabuan pada citra sedangkan sumbu y menyatakan
banyaknya nilai digital number yang muncul. Histogram berfungsi mengetahui
bahwa citra itu bisa dikatakan gelap atau terang. Banyaknya grafik yang muncul
berada di posisi sumbu x bagian kiri yang berarti gelap, sedangkan untuk terang
grafik yang muncul di bagian sebelah kanan.
Tahapan selanjutnya adalah koreksi geometrik. Koreksi geometrik sangat
penting untuk dilakukan karena lokasi sampel hasil survei lapangan banyak yang
jatuh pada daratan ketika diplot pada citra yang belum dikoreksi geometrik (Murti
dan Wicaksono 2014). Koreksi yang dilakukan dengan membuat titik Ground
Control Point (GCP) dari citra yang akan dikoreksi dengan peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI). Nilai Root Mean Squared Error (RMSE) pada citra SPOT 7
adalah 0,05, dimana resolusi spasial citra SPOT 7 adalah 6 m. Maka terjadi
pergeseran jarak sebesar 0,05 x 0,05 x ukuran piksel adalah 0,015 m. Citra Sentinel
2-A memiliki nilai RMSE sebesar 0.3 dengan resolusi spasial 10 m. Artinya adanya
pergeseran sebesar 0,3 x 0,3 x ukuran piksel adalah 0,9 m. Jika nilai RMSE lebih
dari 0,5 maka perbaiki penandaan titik kontrol koordinat pada kenampakan yang
ditentukan berdasarkan data acuan (Prayuda B 2014). Titik GCP list pada kedua
citra tertera pada Lampiran 2.

Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra terbentuk dengan menggunakan algoritma yang umum


digunakan adalah maximum likelihood. Klasifikasi citra ini merupakan salah satu
pendekatan yang paling sering digunakan meskipun ada beberapa kelemahan dari
pendekatan ini salah satunya adalah banyaknya kesalahan klasifikasi terutama jika
piksel berada di luar area spesifik atau diantara area yang tumpang tindih, yang
dipaksakan untuk diklasifikasikan (Rusdi 2005). Sebelum klasifikasi citra terlebih
dahulu melakukan proses penajaman citra dengan menggunakan algoritma lyzenga
adalah koreksi kolom air.
Koreksi kolom air dilakukan dalam penelitian ini untuk memperbaiki
kualitas citra yang berada di kolom air. Citra yang belum terkoreksi kolom air tidak
bisa secara maksimal membedakan karakteristik objek bentik karena dipengaruhi
oleh kedalaman air (water column) sehingga koreksi kolom air sangat diperlukan
sebelum proses klasifikasi (Rachman 2014). Penajaman citra yang dilakukan
mengombinasikan dua citra dari kanal yang memiliki penetrasi air yang baik
dengan cara mengambil nilai piksel untuk substrat pasir yang terendam air pada
11

masing-masing kanal dengan kedalaman berbeda. Nilai piksel tersebut untuk


menghitung nilai varian, nilai covarian, dan nilai ki/kj.

(a) (b*)

(c) (d*)

(*) : Coklat = Deadcoral alga


Hijau = Pasir
Kuning = Karang
Merah muda = Makroalga

Gambar 6 Sebaran habitat bentik perairan dangkal dengan algoritma lyzenga, (a)
Komposit band citra SPOT 7, (b) Hasil klasifikasi maximum likelihood
citra SPOT 7, (c) Komposit band citra Sentinel 2-A, (d) Hasil klasifikasi
maximum likelihood citra Sentinel 2-A.

Gambar 6 menunjukkan kanal yang digunakan pada citra SPOT 7 dan


Sentinel 2-A adalah rasio band biru (B1)/rasio band hijau (B2), rasio band
biru(B1)/rasio band merah (B3), dan rasio band hijau (B2)/rasio band merah (B3).
Nilai koefisien atenuasi pada citra SPOT 7 dengan dua band (ki/kj) secara berurutan
adalah 0,47274755, 0,693365698, dan 1,476926609. Sedangkan pada citra Sentinel
2-A secara berurutan adalah 0,430122238, 0,558691969, dan 1,318698704.
Algoritma lyzenga pada nilai piksel masing-masing band tertera pada Lampiran 3.
Klasifikasi multispektral mengasumsikan setiap penutupan lahan yang
berbeda memiliki perbedaan spektral yang signifikan dan piksel-piksel yang
menyusun satu jenis penutupan lahan mempunyai kesamaan nilai spektral.
Penggunaan nilai spektral pada beberapa saluran dapat membantu pengelompokan
objek secara lebih baik (Danoedoro 2012). Transformasi dengan metode DII
menghasilkan indeks dasar perairan yang tidak dipengaruhi kedalaman dan berhasil
baik pada perairan dangkal yang jernih, seperti pada ekosistem terumbu karang.
Kelemahannya adalah nilai indeks tidak mewakili reflektansi objek dan sering
menimbulkan masalah untuk objek yang ditemukan pada beberapa kedalaman
sehingga terjadi bias dalam estimasi rasio koefisien atenuasi (Selamat et al. 2012).
12

Kemudian untuk komposit citra band yang digunakan SPOT 7 adalah Band
3 (Red), Band 2 (Green), dan Band 1 (Blue). Komposit band untuk citra satelit
Sentinel 2-A adalah Band 4 (Red), Band 3 (Green), dan Band 2 (Blue). Hasil
klasifikasi citra dengan metode supervised classification adalah maximum
likelihood. Maximum likelihood merupakan klasifikasi digital pada suatu citra
dimana piksel-piksel dengan karakteristik spektral yang sama diasumsikan sebagai
kelas yang sama, diidentifikasi dan ditetapkan dalam suatu warna (Gibson dan
Power 2000). Komposit band tersebut dengan memasukkan algoritma lyzenga yang
sudah dibuat. Hasil dari klasifikasi citra komposit dapat diketahui luas area masing-
masing objek habitat bentik. Berikut merupakan luas area klasifikasi citra satelit
tertera pada Tabel 3.

Tabel 3 Luasan area klasifikasi citra komposit


Kelas Habitat Citra SPOT 7 Citra Sentinel 2-A
Bentik Luas (ha) Persentase (%) Luas (ha) Persentase (%)
Deadcoral Alga 1,54 18,83 1,77 21,63
Karang 1,02 12,43 1,12 13,68
Makroalga 0,85 10,43 0,85 10,42
Pasir 1,16 14,23 0,83 10,19
Total 4,57 55,92 4,57 55,92

Tabel 3 menunjukkan luasan area pada setiap kelas habitat bentik. Kelas yang
terbentuk diantaranya adalah dead coral alga, karang, makroalga, dan pasir. Luasan
tutupan kelas objek hasil dari klasifikasi citra SPOT 7 yang paling mendominasi
adalah dead coral alga dengan luas sebesar 1,54 ha (18,83%) dari total luasan
seluruh objek habitat bentik di perairan. Kelas objek lainnya adalah karang dengan
luas sebesar 1,02 ha (12,43%), kelas pasir dengan luas sebesar 1,16 ha (14,23%)
dan kelas makroalga yang memiliki luas tutupan paling sedikit sebesar 0,85 ha
(10,43%). Citra satelit Sentinel 2-A untuk kelas dead coral alga juga yang paling
mendominasi dengan luas sebesar 1,77 ha (21,63%). Kelas objek lainnya adalah
karang dengan luas sebesar 1,12 ha (13,68%), kelas makroalga dengan luas sebesar
0,85 ha (10,42%), dan kelas pasir yang memiliki luas tutupan paling sedikit juga
adalah sebesar 0,83 ha (10,19%).
Klasifikasi citra yang terbentuk memiliki luas area yang berbeda-beda di
setiap kelas objek. Hal tersebut terjadi karena resolusi spasial citra SPOT 7 dan
Citra Sentinel berbeda. Resolusi spasial citra satelit berkaitan dengan ukuran piksel.
Ukuran piksel yang relatif kecil menggambarkan bagian permukaan bumi secara
detil dan halus, sedangkan ukuran piksel yang relatif besar menggambarkan bagian
permukaan bumi agak kasar (Prahasta 2009). Namun perbedaan luas area kelas
objek tidak berbeda jauh. Total luas tutupan kelas objek habitat bentik kedua citra
tersebut sama karena pada saat proses masking citra memiliki wilayah batasan yang
sama.

Pemetaan Habitat Bentik Perairan Dangkal Berbasis Piksel

Sistem penginderaan jauh bekerja dengan memantulkan dan memancarkan


gelombang elektromagnetik dimana pantulan dan pancaran gelombang
elektromagnetik dari setiap objek akan ditangkap oleh sensor satelit yang akan
13

diberi nilai sesuai dengan pantulan dan pancaran objek tersebut yang dinyatakan
dengan nilai piksel. Piksel merupakan sebuah titik yang merupakan elemen paling
kecil pada citra satelit.
Klasifikasi citra berbasis piksel terbagi menjadi dua adalah klasifikasi
terbimbing (supervised) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised). Pemetaan
habitat bentik dilakukan dengan proses klasifikasi supervised menggunakan skema
klasifikasi citra berdasarkan pengamatan visual di lapangan. Klasifikasi supervised
adalah proses pengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas
berdasarkan titik sample (training area) atau region of interest (ROI) yang
ditentukan sebagai acuan. Berikut pemetaan habitat bentik hasil transformasi citra
SPOT 7 dan Sentinel 2-A tertera pada Gambar 7.
Citra satelit penginderaan jauh mempunyai kemampuan dan keunggulan
dalam memetakan gambar yang bergantung pada resolusi masing-masing citra.
Beberapa jenis resolusi tersebut adalah resolusi spasial, resolusi temporal, resolusi
spektral dan resolusi radiometrik. Namun hal yang sangat penting yang berkaitan
dengan sensor adalah resolusi spektral dan spasial. Karakteristik dari resolusi
spektral berhubungan dengan lebar band, sedangkan resolusi spasial berhubungan
dengan Angular Field of View (AFOV) dan Instantaneous Field of View (IFOV)
(Syah 2010).
Gambar 7 menunjukkan hasil sebaran habitat bentik dengan menggunakan
citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A. Kedua hasil tersebut memiliki perbedaan dari
resolusi spasial dan resolusi spektral. Resolusi spasial untuk citra SPOT 7 adalah 6
meter dan citra Sentinel 2-A adalah 10 meter. Resolusi spasial citra satelit berkaitan
dengan ukuran piksel. Konsep karakteristik resolusi spasial berhubungan AFOV
dan IFOV. AFOV adalah sudut pandang maksimum sensor yang efektif mendeteksi
gelombang elektromagnetik dengan menentukan besarnya luas sapuan (swath
width). IFOV adalah sudut pandang sesaat yang berhubungan dengan sampling
untuk menentukan besarnya piksel yang di deteksi oleh sensor. Ukuran piksel
bergantung pada IFOV dan ketinggian sensor (Syah 2010).
Citra SPOT 7 memiliki wavelength pada band 1 (blue) berkisar 455-525 nm,
band 2 (green) berkisar 625-695 nm, dan band 3 (red) berkisar 530-590 nm.
Sedangkan Citra Sentinel 2-A memiliki central wavelength adalah band 2 (blue)
sebesar 490 dengan kisaran 458-522 nm, band 3 (green) adalah 560 dengan kisaran
543-577 nm, band 4 (red) sebesar 665 dengan kisaran 650-680 nm. Karakteristik
pada setiap citra terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Karakter utama citra dalam
penginderaan jauh adalah adanya rentang kanal (band) panjang gelombang
elektromagnetik (electromagnetic wavelength) yang dimilikinya. Daerah panjang
gelombang elektromagnetik dari daerah visible dan near sampai middle infrared
(Suwargana 2013).
Citra SPOT 7 memiliki 4 band multispektral dan 1 pankromatik, sedangkan
pada citra Sentinel 2-A memiliki 13 band multispektral. Hal tersebut
mengakibatkan resolusi spektral pada Sentinel 2-A lebih tinggi dibandingkan citra
SPOT 7 sehingga mempengaruhi sebaran pada habitat bentik. Resolusi spektral dari
suatu sensor adalah lebar dan banyaknya saluran yang dapat diserap oleh sensor.
Semakin banyak saluran yang dapat diserap dan semakin sempit lebar spektral tiap
salurannya maka resolusi spektralnya semakin tinggi. Resolusi spektral ini
berkaitan langsung dengan kemampuan sensor untuk dapat mengidentifikasi objek
(Suwargana 2013). Selain keberadaan kanal, resolusi spektral (rentang panjang
14

gelombang) pada kanal tersebut juga berpengaruh, karena dengan rentang kanal
yang lebih besar maka sensitivitas spektral respon akan berkurang (Ari dan
Budhiman 2013). Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan
jarak jauh bisa dibedakan dengan resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi
temporal, dan resolusi radiometrik (Jaya 2002).

(a)

(b)

Gambar 7 Pemetaan habitat bentik perairan dangkal hasil transformasi citra, (a)
Citra SPOT 7, (b) Citra Sentinel 2-A
15

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Hasil klasifikasi pada citra satelit SPOT 7 dan Sentinel 2-A terdapat 4 kelas
habitat bentik di perairan Pulau Opak, Kepulauan Seribu adalah dead coral alga,
karang, makroalga dan pasir. Klasifikasi objek yang mendominasi di perairan
tersebut adalah dead coral alga. Sebaran habitat bentik menggunakan citra satelit
SPOT 7 dan Sentinel 2-A terjadi perbedaan luas klasifikasi. Hal tersebut karena
kedua citra tersebut memiliki perbedaan terutama resolusi spasial.
Saran

Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan uji akurasi pada citra SPOT 7


dan citra Sentinel 2-A sehingga dapat di bandingkan informasi secara spasial yang
memiliki perbedaan resolusi spasial. Kemudian untuk pemerintah Jakarta dalam hal
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir perlu adanya monitoring setiap bulan untuk
memperhatikan kondisi wilayah bentik.

DAFTAR PUSTAKA
Ari K, Budhiman S. 2013. Kajian spesifikasi sensor satelit untuk pemantauan sumber
daya pesisir dan laut. Majalah Inderaja. Pusat Teknologi dan Data
Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 4 (6): 1-
83.
Arief M. 2013. Pengembangan metode lyzenga untuk deteksi terumbu karang di
kepulauan seribu dengan menggunakan data satelit avnir-2. Statistika. 13 (2):
55-64.
Badan Pusat Statistik (BPS). Kepulauan Seribu Utara dalam angka 2016
[Internet].[diunduh 2017 April 11]. Tersedia pada:
https://kepulauanseribukab.bps.go.id/Publikasi/
Danoedoro P. 2012. Pengantar penginderaan jauh digital. Yogyakarta (ID): Andi
Offset.
ESA. 2012. Sentinel-2: ESA’s Optical High-Resolution Mission for GMES
Operational Services. The Netherlands (NL): ESA Communications.
Estradivari, Setyawan E, Yusri S. 2009. Terumbu karang Jakarta, pengamatan
terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta (ID): Yayasan
TERANGI.
Gibson PJ, Power CH. 2000. Introductory remote sensing: Digital image processing
and applications. New York (US): Routledge.
Green EP, Mumby P, Edwards AJ, dan Clark CD. 2000. Remote sensing handbook
for tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO Publishing.
Indayani AB. 2016. Pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan citra
satelit SPOT-5 di pesisir Bintan Timur, Kepulauan Seribu.[skripsi]. Ilmu dan
Teknologi Kelautan (IPB) : Bogor.
Jaya INS. 2002. Penginderaan jauh satelit untuk kehutanan. Laboratorium
Inventarsisasi Hutan. Fakultas Kehutanan (IPB) : Bogor.
Laffoley D, dan Grimsditch G. (2009). The management of natural coastal carbon
sinks. (G. Grimsditch, Ed.) Gland, Switzerland (CH): IUCN.
16

Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2007. Remote sensing and image
interpretation (sixth edition). New York (US): John Wiley & Sons Inc.
Murinto. 2008. Analisis perbandingan histogram equalization dan model Logarithmic
Image Processing (LIP) untuk image enhancement. Jurnal Informatika. 2 (2) :
200-208.
Murti SH, Wicaksono P. 2014. Analisis saluran spektral yang paling berpengaruh
dalam identifikasi kesehatan terumbu karang: studi kasus pulau Menjangan
Besar dan Menjangan Kecil Kepulauan Karimunjawa. Majalah Ilmiah Globe.
16 (2) : 117-224.
Prabowo NW. 2015. Pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan citra
satelit Worldview-2 dengan skema klasifikasi supervisi dan koreksi kolom air
di perairan Pulau Tunda.[skripsi]. Ilmu dan Teknologi Kelautan (IPB) : Bogor.
Prahasta E. 2009. Sistem informasi geografis konsep-konsep dasar (perspektif
geodesi dan geomatika). Bandung : Informatika.
Prayuda B. 2014. Panduan teknis pemetaan habitat dasar perairan laut dangkal.
Jakarta (ID): COREMAP II LIPI.
Rachman FAA. 2014. Klasifikasi habitat dasar perairan dangkal gugusan pulau Pari
dengan menggunakan citra Worldview-2.[skripsi]. Ilmu dan Teknologi
Kelautan (IPB) : Bogor.
Remote Pixel. 2015. Remote Pixel : Earth observation for everyone.
[Internet].[diunduh 2017 Juli 28]. Tersedia pada:
https://remotepixel.ca/projects/satellitesearch.html
Rusdi M. 2005. Pengolahan citra digital teori dan aplikasinya dalam bidang
penginderaan jauh. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi. UGM.
Selamat BM, Jaya I, Siregar VP, Hestirianoto T. 2012. Akurasi tematik peta substrat
dasar dari citra Quickbird (studi kasus gusung Karang Lebar, Kepulauan
Seribu, Jakarta). Ilmu Kelautan. 17 (3) 132-140.
Suwargana N. 2013. Resolusi spasial, temporal dan spektral pada citra satelit Landsat,
SPOT, dan Ikonos. Jurnal Ilmiah Widya. 1 (2) : 167-174.
Syah AF. 2010. Penginderaan jauh dan aplikasinya di wilayah pesisir dan lautan.
Jurnal Kelautan . 3 (1) : 18-28.
SPOT Imagery User Guide. 2013. SPOT 6 & SPOT 7 Imagery User Guide. Paris
(FR): Astrium.
Wicaksono P. 2014. Uji akurasi data kategori. Kartografi dan Penginderaan Jauh.
Fakultas Geografi (UGM) : Yogyakarta.
Wicaksono P, Aryaguna PA, Akhyar H. 2015. Pemetaan habitat bentik sebagai dasar
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (studi kasus pulau
Menjangan Besar dan Menjangan Kecil Kepulauan Karimunjawa). Seminar
Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai. 1 : 370-383.
17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Lapangan

Koordinat Kelas
106.58209 -5.66858 Deadcoral Alga
106.57975 -5.66931 Deadcoral Alga
106.57881 -5.67031 Deadcoral Alga
106.57801 -5.67143 Deadcoral Alga
106.58352 -5.66869 Deadcoral Alga
106.5868 -5.66992 Deadcoral Alga
106.58383 -5.66796 Deadcoral Alga
106.58402 -5.66771 Deadcoral Alga
106.58415 -5.6686 Deadcoral Alga
106.58469 -5.66845 Deadcoral Alga
106.58519 -5.66829 Deadcoral Alga
106.58565 -5.66825 Deadcoral Alga
106.58643 -5.66799 Deadcoral Alga
106.58682 -5.66772 Deadcoral Alga
106.58759 -5.66734 Deadcoral Alga
106.58894 -5.66771 Deadcoral Alga
106.5851 -5.66885 Deadcoral Alga
106.58561 -5.66867 Deadcoral Alga
106.58664 -5.66839 Deadcoral Alga
106.5871 -5.66833 Deadcoral Alga
106.58833 -5.66807 Deadcoral Alga
106.58865 -5.66955 Deadcoral Alga
106.58824 -5.67018 Deadcoral Alga
106.58797 -5.67037 Deadcoral Alga
106.58716 -5.67004 Deadcoral Alga
106.58629 -5.66983 Deadcoral Alga
106.58588 -5.66971 Deadcoral Alga
106.58548 -5.66963 Deadcoral Alga
106.58542 -5.67085 Deadcoral Alga
106.5856 -5.67106 Deadcoral Alga
106.5858 -5.67123 Deadcoral Alga
106.58591 -5.6714 Deadcoral Alga
106.58608 -5.6716 Deadcoral Alga
106.58485 -5.67165 Deadcoral Alga
106.58467 -5.6714 Deadcoral Alga
106.58458 -5.67118 Deadcoral Alga
106.58421 -5.67051 Deadcoral Alga
106.58329 -5.67095 Deadcoral Alga
106.58328 -5.67137 Deadcoral Alga
106.58275 -5.67141 Deadcoral Alga
106.58196 -5.67092 Deadcoral Alga
18

Koordinat Kelas
106.58177 -5.67145 Deadcoral Alga
106.58059 -5.67153 Deadcoral Alga
106.57984 -5.67143 Deadcoral Alga
106.5798 -5.67154 Deadcoral Alga
106.58862 -5.66739 Deadcoral Alga
106.58873 -5.66911 Deadcoral Alga
106.58389 -5.6678 Deadcoral Alga
106.57962 -5.66941 Deadcoral Alga
106.57954 -5.66953 Deadcoral Alga
106.57885 -5.6703 Deadcoral Alga
106.57812 -5.67132 Deadcoral Alga
106.58575 -5.66821 Deadcoral Alga
106.58401 -5.66867 Deadcoral Alga
106.58427 -5.6686 Deadcoral Alga
106.58498 -5.66831 Deadcoral Alga
106.58539 -5.6683 Deadcoral Alga
106.58599 -5.6682 Deadcoral Alga
106.58659 -5.66786 Deadcoral Alga
106.58696 -5.66759 Deadcoral Alga
106.58885 -5.66743 Deadcoral Alga
106.58875 -5.66793 Deadcoral Alga
106.58538 -5.66875 Deadcoral Alga
106.58624 -5.66848 Deadcoral Alga
106.58678 -5.66833 Deadcoral Alga
106.58752 -5.66828 Deadcoral Alga
106.58868 -5.66944 Deadcoral Alga
106.58859 -5.66969 Deadcoral Alga
106.58805 -5.67037 Deadcoral Alga
106.58739 -5.67019 Deadcoral Alga
106.58711 -5.67001 Deadcoral Alga
106.58696 -5.66996 Deadcoral Alga
106.58661 -5.66987 Deadcoral Alga
106.58609 -5.66975 Deadcoral Alga
106.58569 -5.66967 Deadcoral Alga
106.58532 -5.66957 Deadcoral Alga
106.58547 -5.67092 Deadcoral Alga
106.58567 -5.6711 Deadcoral Alga
106.58584 -5.67128 Deadcoral Alga
106.58597 -5.67147 Deadcoral Alga
106.58513 -5.67184 Deadcoral Alga
106.58475 -5.67153 Deadcoral Alga
106.58462 -5.67129 Deadcoral Alga
106.58438 -5.67077 Deadcoral Alga
106.58333 -5.67059 Deadcoral Alga
106.58325 -5.6711 Deadcoral Alga
19

Koordinat Kelas
106.58192 -5.67106 Deadcoral Alga
106.58066 -5.67169 Deadcoral Alga
106.58051 -5.67128 Deadcoral Alga
106.57982 -5.67149 Deadcoral Alga
106.58842 -5.66736 Deadcoral Alga
106.58782 -5.66818 Deadcoral Alga
106.5831 -5.66824 Deadcoral Alga
106.5887 -5.66936 Deadcoral Alga
106.58311 -5.66811 Karang
106.58315 -5.66794 Karang
106.58349 -5.66778 Karang
106.57891 -5.66996 Karang
106.57833 -5.67059 Karang
106.57821 -5.67068 Karang
106.57795 -5.67113 Karang
106.58403 -5.66761 Karang
106.58618 -5.66815 Karang
106.58756 -5.67027 Karang
106.58629 -5.67185 Karang
106.58602 -5.67191 Karang
106.58577 -5.6719 Karang
106.58504 -5.67177 Karang
106.5833 -5.67152 Karang
106.58318 -5.67176 Karang
106.58292 -5.67173 Karang
106.58129 -5.67174 Karang
106.58103 -5.67177 Karang
106.58071 -5.67176 Karang
106.58068 -5.66875 Karang
106.58004 -5.66901 Karang
106.57917 -5.66973 Karang
106.57824 -5.67123 Karang
106.58823 -5.66805 Karang
106.58854 -5.66831 Karang
106.58845 -5.66979 Karang
106.58159 -5.67166 Karang
106.58201 -5.66837 Karang
106.57803 -5.67093 Karang
106.57786 -5.6715 Karang
106.58399 -5.66785 Karang
106.5862 -5.67168 Karang
106.58874 -5.66879 Karang
106.58309 -5.66802 Karang
106.58333 -5.66783 Karang
106.58358 -5.66775 Karang
20

Koordinat Kelas
106.57871 -5.67022 Karang
106.57829 -5.67061 Karang
106.57814 -5.67078 Karang
106.58392 -5.66774 Karang
106.58784 -5.67031 Karang
106.58775 -5.67029 Karang
106.58605 -5.6719 Karang
106.58328 -5.6716 Karang
106.58284 -5.67161 Karang
106.58124 -5.67174 Karang
106.58084 -5.67173 Karang
106.57851 -5.67065 Karang
106.57837 -5.67115 Karang
106.58392 -5.66767 Karang
106.58843 -5.66816 Karang
106.5883 -5.66997 Karang
106.58329 -5.67173 Karang
106.58304 -5.67171 Karang
106.58043 -5.66887 Karang
106.57878 -5.67011 Karang
106.57902 -5.6698 Karang
106.57792 -5.67122 Karang
106.57789 -5.67151 Karang
106.57791 -5.67151 Karang
106.58722 -5.66747 Karang
106.57986 -5.66918 Karang
106.58629 -5.67175 Karang
106.58561 -5.67192 Karang
106.58515 -5.67188 Karang
106.58172 -5.67154 Karang
106.58874 -5.66882 Karang
106.58389 -5.66792 Makroalga
106.58379 -5.66809 Makroalga
106.58347 -5.66867 Makroalga
106.58359 -5.66842 Makroalga
106.5837 -5.66824 Makroalga
106.58385 -5.66798 Makroalga
106.5835 -5.66851 Makroalga
106.58364 -5.66832 Makroalga
106.58373 -5.6682 Makroalga
106.58376 -5.66809 Makroalga
106.58274 -5.66881 Pasir
106.5831 -5.66839 Pasir
106.58391 -5.66821 Pasir
106.58583 -5.66856 Pasir
21

Koordinat Kelas
106.58495 -5.6705 Pasir
106.58524 -5.67064 Pasir
106.58452 -5.67105 Pasir
106.5843 -5.67064 Pasir
106.5833 -5.67076 Pasir
106.58273 -5.67124 Pasir
106.58256 -5.67091 Pasir
106.58343 -5.66879 Pasir
106.58387 -5.66864 Pasir
106.58446 -5.67022 Pasir
106.58522 -5.66952 Pasir
106.58238 -5.67068 Pasir
106.58222 -5.67072 Pasir
106.58313 -5.6686 Pasir
106.58394 -5.668 Pasir
106.58391 -5.66838 Pasir
106.58486 -5.66838 Pasir
106.58599 -5.66852 Pasir
106.5848 -5.67043 Pasir
106.58512 -5.67054 Pasir
106.58538 -5.67067 Pasir
106.58446 -5.6709 Pasir
106.58415 -5.67044 Pasir
106.58326 -5.67119 Pasir
106.58261 -5.671 Pasir
106.58055 -5.67141 Pasir
106.58354 -5.66858 Pasir
106.58435 -5.66855 Pasir
106.58455 -5.67026 Pasir
106.58246 -5.67067 Pasir
106.58234 -5.67069 Pasir
106.58218 -5.67075 Pasir
22

Lampiran 2 List titik GCP Citra SPOT 7 dan Citra Sentinel 2-A
Error X Error Y RMS
Titik Citra
GCP Citra Citra Citra Citra Citra Sentinel
SPOT 7 Sentinel 2-A SPOT 7 Sentinel 2-A SPOT 7 2-A
1 0,0117 0,0578 0,0096 0.1717 0,0152 0,18
2 -0,0748 -0,3282 -0,0614 -0,0943 0,0968 0,3414
3 0,0602 0,1311 0,0493 0,0962 0,0778 0,1626
4 0,0008 0,5298 0,0006 -0,0342 0,001 0,5309
5 0,0022 -0,3622 0,0018 -0,2065 0,0028 0,417
6 -0,3688 0,192 0,4157
7 -0,2764 0,2985 0,4068
8 0,1847 -0,0718 0,1981
9 0,1036 -0,3246 0,3407
10 -0,0329 -0,0085 0,034
11 0,3615 -0,0185 0,362
Nilai
0,05 0,33
RMSE

Lampiran 3 Algoritma Lyzenga pada masing-masing band


SPOT 7
Band 1 Band 2 Band 3
214 324 208
276 407 262
243 386 254
274 433 287
195 272 167
247 395 251
Varian 1039,5 3587,5 1868,566667
(Band 1 , Band 2) (Band 1 , Band 3) (Band 2 , Band 3)
Covarian 1551,25 1107,083333 2149,083333
a -0,821273167 -0,374437335 0,399922448
ki/kj 0,47274755 0,693365698 1,476926609
Sentinel 2-A
Band 1 Band 2 Band 3
613 663 632
771 1070 946
577 645 610
793 1036 905
543 577 532
679 844 739
Varian 10623,06667 44570,16667 28105,46667
(Band 1 , Band 2) (Band 1 , Band 3) (Band 2 , Band 3)
Covarian 17915,94444 14199,44444 29381,55556
a -0,94739912 -0,615601549 0,280187684
ki/kj 0,430122238 0,558691969 1,318698704
23

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 7 September
1995 dan anak kedua dari dua bersaudara. Orang tua penulis
bernama Ujang Saroni dan Yayan Dayanti. Penulis lulusan
Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kota Serang pada tahun
2010 dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Serang pada tahun
2013. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departmen
Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur SNMPTN pada
tahun 2013.
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis pernah mengikuti
organisasi di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi selama dua periode adalah
pada tahun 2015 dan 2016 divisi Biro Usaha. Penulis pernah mengikuti acara yang
diselenggarakan oleh HIMITEKA adalah KONSURV (Konservasi dan Survei
Lapangan) kegiatan penanaman mangrove di Prigi, Jawa Barat pada tahun 2015 dan
EKSPEDISI HIMITEKA di Kepulauan Seribu bagian Utara pada tahun 2016.
Selain itu penulis pernah menjadi asisten Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut dan
Sistem Informasi Geografis pada tahun 2017. Dalam rangka penyelesaian studi di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan
judul “Pemetaan Habitat Bentik dari Citra SPOT 7 dan Citra Sentinel 2-A di
Pulau Opak, Kepulauan Seribu” .

Anda mungkin juga menyukai